Deponering Kasus AS dan BW Contoh Bobrok

Deponering Kasus AS dan BW Contoh
Bobroknya Penegakan Hukum
Indonesia
2K
DILIHAT

/
0
SHARE

/
12:49
04 MAR 2016

Dok. Bambang Widjojanto dan Abraham Samad
Editor
Stefanus Yugo
Sumber
Rimanews

Rimanews - Ahli Hukum Pidana Universitas Al Azhar, Dr Suparji Ahmad,

menilai langkah Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengesampingkan
(deponering) perkara yang menimpa dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, akan menjadi
preseden (contoh) bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
Sponsored

Perlindungan Terbaik Untuk Keluarga Anda, Cukup 4000 Rupiah

"Ada preseden buruk bahwa penegakan hukum dipengaruhi opini publik," kata
Suparji Ahmad.
Ia mengungkapkan, pengaruh opini publik yang sangat luar biasa sudah tampak
saat Jaksa Agung menghentikan perkara yang menimpa penyidik senior KPK,
Novel Baswedan. Dan kini terulang dalam penghentian kasus yang menimpa AS
dan BW.
"Bahkan, kasus Novel Baswedan itu kan sudah P-21. Kemudian ditarik
penuntutannya dan dihentikan. Ini merupakan pembelajaran hukum yang tidak
baik di masa mendatang. Ke depan, ketika seseorang terjerat kasus hukum, bisa
jadi menyewa media untuk memengaruhi opini publik agar kasusnya
dikesampingkan," katanya.
Suparji Ahmad pun mempertanyakan, mengapa ada semacam imunitas bagi

kalangan KPK. Orang-orang di lingkungan KPK ini, baik pimpinan maupun
penyidik, sepertinya tidak bisa disentuh hukum, kebal hukum.
Selain itu, masalah ini juga dinilai sebagai suatu contoh yang tidak baik buat
Kejaksaan Agung. Dimana ada semacam komunikasi yang tidak baik dengan
Kepolisian.
"Padahal Kepolisian sudah melakukan berbagai proses, sampai-sampai berani
dicemooh publik, berani dihujat publik. Ternyata dihentikan kasusnya. Ini contoh
yang tidak baik terkait sinergitas lembaga penegak hukum," Suparji Ahmad.
Menurutnya, jika memang Kejaksaan punya alasan kuat untuk menghentikan
kasus tersebut, semestinya dilakukan pada tingkat penyidikan. Pasalnya, sebelum
melakukan penyidikan, penyidik harus mengeluarkan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP).
"Kenapa tidak digunakan, dalam mengontrol kasus ini, jika seandainya memang
ada sesuatu yang menyimpang?"

Maka dari itu, langkah deponering yang diambil Jaksa Agung dianggap semakin
menunjukkan bahwa lebih banyak penegakan hukum itu sangat dipengaruhi oleh
anasir-anasir politik.
Sementara, terkait alasan kasus AS dan BW dihentikan karena dikhawatirkan
berdampak pada semangat pemberantasan korupsi, Suparji Ahmad menilai alasan

itu mengada-ada, bersifat spekulatif dan sangat prematur.
"Apakah yang memberantas korupsi hanya KPK? Kan masih ada Kejaksaan
sendiri. Ada Kepolisian. Jadi, kita tidak boleh mengambil langkah hukum dengan
asumsi-asumsi yang mengada-ada," ungkapnya.

Deponering Kasus Bibit dan Chandra:
Jalan Akhir ala Kejaksaan

Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah
Jakarta - Enam petinggi Kejaksaan Agung bergegas meninggalkan ruang kerja
Darmono. Pagi itu, Senin pekan lalu, sekitar pukul 10.00, mereka baru membahas
persoalan penting dengan Pelaksana Tugas Jaksa Agung tersebut, yakni perkara Bibit
Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah serta bocornya rencana tuntutan yang
melibatkan jaksa Cirus Sinaga. Rapat itu berlangsung sekitar satu jam.
Beberapa jam kemudian, hasil rapat itu “merembes” keluar. Yang membocorkannya
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Amari. Didesak wartawan perihal rapat pagi
itu, Amari kelepasan bicara. Ia menyatakan Kejaksaan telah mengambil opsi
deponering untuk kasus Bibit-Chandra. Kabar dari Kejaksaan Agung ini dengan cepat
melesat keluar.
Darmono rupanya terkejut dengan terlalu paginya anak buahnya itu memberikan

pernyataan. Tiga jam setelah Amari memberikan “keterangan pers” itu, Darmono
angkat bicara. Ia membantah Kejaksaan telah mengambil putusan seperti yang
dikatakan anak buahnya. “Masih akan dilakukan kajian oleh tim,” ujarnya. Ia juga
menyebutkan Amari telah meminta maaf atas pernyataannya yang dengan cepat
“disambar” wartawan itu.
Tapi sumber wartawan menyebutkan rapat Senin pagi pekan lalu itu memang telah
mengambil putusan deponering. Selain oleh Amari, rapat dihadiri oleh Jaksa Agung
Muda Intelijen Edwin Pamimpin Situmorang, Jaksa Agung Muda Pembinaan Iskamto,
serta Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kamal Sofyan. Satu-satunya
yang absen Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Pengawasan.
Dalam rapat itu, ujar sumber Tempo, Darmono hanya menyodorkan dua opsi
penyelesaian kasus Bibit-Chandra: deponering (pengesampingan perkara) atau dibawa
ke pengadilan. Tapi, dalam rapat, Darmono cenderung memilih deponering. “Pimpinan
rapat tak meminta pendapat peserta yang hadir,” ujar sumber itu. Karena tanpa
bantahan, rapat berlangsung kilat dan berlanjut membahas kasus Cirus.
Kendati Amari sempat ditegur, empat hari berselang kenyataannya memang demikian.
Jumat pekan lalu, Darmono mengumumkan Kejaksaan memilih opsi deponering untuk
perkara Bibit-Chandra. Menurut Darmono, pilihan itu diambil karena jika kasus BibitChandra dilimpahkan ke pengadilan, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi akan
terganggu. “Keputusan ini untuk kepentingan yang lebih luas, menyelamatkan
pemberantasan korupsi.”


Menurut Darmono, realisasi putusan akan disertai pertimbangan dari badan-badan
negara, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
dan presiden. Menurut dia, meski DPR berhak menolak putusan itu, penolakan tak
akan mengubah putusan Kejaksaan Agung. Deponering, ujarnya, merupakan hak
Jaksa Agung seperti tertuang dalam Pasal 35-C Undang-Undang Kejaksaan. Putusan
lembaga lain tak mengikat.
Mahkamah Agung, kata Darmono, bisa dianggap telah memberikan pertimbangan. Itu
berdasarkan amar putusan Mahkamah dalam perkara Bibit-Chandra ini. Mahkamah
menyatakan, jika pertimbangannya sosiologis, sebaiknya Kejaksaan menggunakan
deponering. Menurut sumber wartawan, tak semua petinggi Kejaksaan yang ikut rapat
Senin pagi itu setuju kasus Bibit-Chandra diselesaikan dengan mekanisme deponering.
Mereka menilai lebih pas kasus itu diselesaikan melalui opsi surat ketetapan
penghentian penuntutan (SKPP). Alasannya, opsi ini lebih simpel dan tak berbelit.
Memang pilihan opsi ini mensyaratkan sejumlah hal, antara lain didahului dengan
pemeriksaan tambahan seperti digariskan Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan. Selain
itu, Kejaksaan bisa menggunakan putusan terhadap Anggodo, yang dinyatakan
bersalah oleh pengadilan, sebagai novum atau bukti baru. Kendati opsi ini bisa
dipraperadilankan, tipis kemungkinan untuk dikabulkan. “Karena alasan penerbitan
SKPP memiliki argumen hukum kuat. Perkara tersebut tidak cukup bukti,” ujarnya.

Sedangkan opsi deponering, menurut sumber tadi, lebih berbelit karena harus
meminta saran badan-badan negara, serta berpotensi digugat. Opsi deponering juga
bisa mencoreng pemberantasan korupsi. “Apalagi belum pernah ada kasus korupsi
yang dikesampingkan demi kepentingan umum,” ujar sumber itu.
Darmono sendiri, menurut sumber wartawn yang lain, sudah meminta masukan
banyak pihak perihal opsi deponering ini. Salah satunya dari Tim Delapan, tim yang
dulu mengkaji perkara Bibit-Chandra. Kepada Tempo, salah satu bekas anggota Tim
Delapan, Todung Mulya Lubis, mengakui soal ini. “Kami mengusulkan opsi ini saat
menjumpai Jaksa Agung, pertengahan Oktober lalu,” katanya.
Menurut Todung, opsi tersebut diambil karena ia melihat, dalam kasus Bibit-Chandra,
tidak ada bukti dan dasar hukumnya. “Jika kasus ini dibawa ke pengadilan, kita akan
menyidangkan perkara yang tidak kuat,” kata Todung. Selain itu, ujarnya, mengganti
dua pemimpin KPK yang masa baktinya tinggal setahun tak lebih murah daripada
mengganti kelima anggotanya untuk lima tahun mendatang.
Hanya, Todung mengakui, dengan deponering, ada beban moral bagi Bibit dan
Chandra. “Sebab, ini berarti mereka dianggap bersalah dan harusnya diadili tapi tidak
diadili,” ujarnya. Namun Todung melihat ini bisa dikesampingkan demi kepentingan
lebih besar, yakni pemberantasan korupsi.
Tim kuasa hukum Bibit-Chandra mengaku tak begitu happy dengan putusan tersebut.
Menurut Ahmad Rifai, salah satu anggota tim, pilihan deponering merupakan putusan

yang menguntungkan bagi Kejaksaan. Bibit dan Chandra sendiri, ujarnya, lebih
menghendaki Kejaksaan mengeluar-kan surat penghentian penuntutan. “Sebab,
penghentian penuntutan berarti Kejaksaan memandang tidak ditemukan perbuatan
pidana dalam kasus tersebut.”

Menurut Ahmad, pihaknya belum bisa mengambil sikap terhadap pengumuman
Darmono. “Kami masih menunggu bagaimana pertimbangan hukum atas putusan
deponering tersebut,” katanya. Dia berharap Kejaksaan dapat menyampaikan alasan
dan pertimbangan hukum yang tepat dan kuat atas pilihan deponering itu. “Sehingga
tak memungkinkan munculnya gugatan,” ujarnya. Kepada Tempo, yang
mewawancarainya Jumat malam pekan lalu, Chandra Hamzah menyatakan, apa pun
opsi yang diambil Kejaksaan, pihaknya mau tak mau harus siap. “Karena posisi saya
dan Pak Bibit bukan pihak yang menentukan.”
Tanggapan sinis atas “turunnya” deponering ini muncul dari kubu Anggodo Widjojo,
pihak yang dulu mempraperadilankan SKPP Bibit-Chandra. Menurut kuasa hukum
Anggodo, O.C. Kaligis, semestinya perkara ini tak bisa dideponir karena sudah
dinyatakan lengkap, termasuk bukti dan saksinya. “Mau memberantas korupsi kok
koruptor dibebaskan,” kata Kaligis. Menurut dia, deponering hanya boleh diajukan
Jaksa Agung, bukan pelaksana tugas. Tiga hari sebelum Darmono mengumumkan
deponering ini, ujar Kaligis, pihaknya sudah berkirim surat ke Pelaksana Tugas Jaksa

Agung itu mempertanyakan opsi tersebut.
Anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Lumbuun, menilai deponering kasus Bibit dan
Chandra bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap, yang menyatakan perkara tersebut dilanjutkan ke pengadilan. Ia menunjuk opsi
ini mengabaikan penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Kejaksaan, yang menyebutkan
pengesampingan perkara hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung definitif. Kebijakan
deponering, ujarnya, melanggar tatanan hukum dan perundang-undangan. “Ini bisa
dipersoalkan sebagai pelanggaran hukum administrasi negara,” kata Gayus, yang juga
pakar hukum administrasi negara.
Memilih Deponering
Berjalan lebih dari setahun, drama kasus Bibit-Chandra akhirnya menuju titik akhir.
Kejaksaan memilih opsi pengesampingan (deponering) perkara ini. Deponering
merupakan wewenang Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara pidana
demi kepentingan umum meski sudah ada cukup bukti. Dalam membuat keputusan
ini, Jaksa Agung harus memperhatikan saran dan pendapat dari lembaga yudikatif,
legislatif, dan eksekutif.
Konsekuensi

 Terdakwa bebas demi kepentingan umum.
 Perbuatan tindak pidana dianggap ada.

 Keputusan berlaku permanen.
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 35c: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara
demi kepentingan umum.
Contoh Kasus

 Kejaksaan Agung pernah menerbitkan deponering untuk Letnan Jenderal
(Purnawirawan) Mochamad Jasin, yang dituduh menghina kepala negara
dengan menandatangani Petisi 50 di era kepemimpinan Presiden Soeharto.
Saat itu, Jaksa Agung adalah Ismail Saleh.

 Pada 15 Agustus 1953, Jaksa Agung R. Soeprapto mengesampingkan kasus
wartawan Pemandangan, Asa Bafagih. Asa dituding membocorkan rahasia
negara karena menulis rencana pemerintah membuka keran investasi asing
dan menaikkan gaji pegawai. Dalam pemeriksaan, Asa menolak menyebut
sumber beritanya. Tekanan publik kepada pemerintah datang bertubi-tubi.
Atas nama kepentingan umum, kasus ini dideponir.
15 Juli 2009
Anggodo Widjojo dan Ary Muladi mengaku telah menyerahkan uang Rp 5,1 miliar

kepada pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M.
Hamzah. Uang itu diberikan agar kasus yang membelit kakak Anggodo, Anggoro
Widjojo, dihentikan KPK.
7 Agustus 2009
Polisi menuduh Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang, yakni
mencekal Anggoro dan Joko Tjandra tanpa persetujuan pemimpin KPK yang lain.
15 September 2009
Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Bibit dan Chandra
sebagai tersangka.
29 Oktober 2009
Bibit dan Chandra ditahan di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok.
2 November 2009
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Delapan yang diketuai Adnan
Buyung Nasution.
3 November 2009
Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman percakapan Anggodo dengan
sejumlah pihak dalam persidangan uji materil.
4 November 2009
Bibit dan Chandra dibebaskan dari Rumah Tahanan Markas Brimob, Kelapa Dua,
Depok.

22 November 2009
Presiden Yudhoyono dalam pidatonya meminta kasus Bibit-Chandra diselesaikan
melalui jalur di luar pengadilan.

1 Desember 2009
Kejaksaan Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP)
untuk Bibit dan Chandra.
24 Maret 2010
Anggodo mengajukan gugatan praperadilan terhadap SKPP Bibit dan Chandra ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
19 April 2010
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan
praperadilan atas SKPP Bibit dan Chandra.

Anggodo

dalam

gugatan

3 Juni 2010
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak permohonan banding yang diajukan Kejaksaan
Agung atas SKPP perkara Bibit dan Chandra.
8 Oktober 2010
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali SKPP Bibit dan Chandra.
Bibit dan Chandra berstatus tersangka lagi.
29 Oktober 2010
Kejaksaan Agung mengeluarkan putusan deponering untuk kasus Bibit-Chandra.
Mereka Bicara Kasus Bibit-Chandra
“Saya tidak perlu mempermasalahkan buktinya kuat atau tidak. Tapi ini untuk
kepentingan yang lebih besar. Maka kami berkesimpulan harus dilakukan deponering.”
(Darmono, Pelaksana Tugas Jaksa Agung)
“Deponering dan abolisi itu sesuatu yang terpisah. Deponering dapat diambil dengan
mempertimbangkan aspek keadilan.” (Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi)
Deponering itu kalau ada perkara. Lha ini perkaranya saja rekayasa, jadi untuk apa
deponering?” (Bagir Manan, Ketua Dewan Pers)
Sumber Berita: Majalah Tempo, Senin, 1 November 2010

PENYAMPINGAN PERKARA
BAB I
DEPONERING (PENYAMPINGAN PERKARA)
1. Pengertian Deponering (Penyampingan Perkara)

Penyampingan perkara (deponering) yang dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No.
15 Tahun 1961 jo Pasal 32 huruf e Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo. Pasal 35
huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai
tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”.
Dalam Penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 pasal 35 huruf c disebutkan: “Yang
dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan Negara
dan/atau kepentingan masyarakat. mengesampingkan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuna ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, yang hanya
dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat
dari badan-badan kekuasaan Negara yang memepunyai hubungan dengan
masalah tersebut”.
Kemudian dalam KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf c yang berbunyi: “Perkara
tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup
demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”, dan terdapat dalam
Penjelasan Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Yang dimaksud dengan penghentian
penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum
menjadi wewenang Jaksa Agung”.
Kejaksaan dalam konteks Hukum Acara Pidana Indonesia disebut sebagai
Dominnus Litis (badan yang berhak mengadakan penuntutan). Dari hak
penuntutan tersebut, muncul apa yang dikenal dengan Asas Legalitas (penuntut
umum wajib menuntut suatu delik) dan Asas Opportunitas (opportuniteit beginsel)
yang menurut A.Z. Abidin Farid dirumuskan sebagai asas hukum yang
memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak
menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan hukum.
Dalam kontek penyampingan perkara (Deponering) pada Pasal 35 huruf c
Undang-Undang No 16 Tahun 2004, mengandung unsur-unsur yang terdiri dari:
1. Tugas dan wewenang Jaksa Agung, b. Tindakan penyampingan
perkara, c. Alasannya demi kepentingan umum.

Jelas disebutkan dalam Undang-undang kejaksaan, bahwa Jaksa Agung sebagai
penuntut umum tertinggi. Hak Jaksa Agung termasuk dalam penyampingan

perkara (Deponering) merupakan wewenang tunggal di tangan Jakasa Agung. Ini
dimaksudkan agar tetap menjamin untuk sejauh mungkin tidak disalahgunakan.
Jaksa Agung dalam pengambilan keputusan tersebut senantiasa bermusyawarah
dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dengan perkara tersebut.
BAB II
PERBEDAAN DEPONERING DAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN
Terkait dengan pembahasan Deponering, tak akan terlepas dari pembahasan
masalah penghentian penuntutan oleh kejaksaan (penerbitan Surat Keterangan
Penghentian Penuntutan/SKPP). Maka harus kita tekankan akan perbedaan antara
penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara (deponering). Berikut ini
adalah beberapa hal yang membedakan antara deponering dan penghentian
penuntutan:
1. Penyampingan perkara.

Perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan serta
diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan
besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi, perkara yang cukup fakta
dan bukti itu “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang
pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan ‘demi untuk kepentingan
umum’. Deponering ini hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung langsung.
1. Penghentian Penuntutan.

Alasan penghentian penuntutan bukan didasarkan atas kepentingan umum, tetapi
berdasarkan alasan dan kepentingan hukum itu sendiri. Alasan tesebut
diantaranya:
1. Ditutup dem kepentingan hukum
 Karena tidak cukup bukti. Contohnya: tidak mencapai minimal

dari alat bukti yang diharuskan seperti disebut dalam pasal 183
KUHAP, alat bukti yang ada tidak sah menurut hukum, tidak
terpenuhinya unsur delik dari pasal yang didakwakan.
1. Ditutup demi hukum

Apabila dijumpai suatu tindakan pidana yang oleh undang-undang telah
ditentukan bahwa hak kejaksaan untuk menuntut tindak pidana tersebut gugur,
maka tindak pidana tersebut haurs ditutup demi hukum. Ini disebutkan karena:
 “Nebis in idem” Pasal 76 KUHAP), Terdakwa meniggal (Pasal 77

KUHAP), Telah lewat waktu (Pasal 78 KUHAP), Penyelesaian di
luar proses (Pasal 82 KUHAP), Abolisi dan Amnesti.

Disamping perbedaan dasar alasan yang telah diungkapkan di atas, terdapat
perbedaan prinsipil antara deponering dengan penghentian penuntutan perkara:
 Deponering satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak

ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka
sidang pengadilan.
 Pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan
umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutan
kembali jika ternyata ditemukan alasan baru yang
memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang
pengadilan. Umpanya ditemukan bukti baru sehingga dengan
bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum.
Penghentian penuntutan dapat diajukan upaya hukum dalam
proses praperadilan (Pasal 77-81 KUHAP). Jika Deponering
dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan penghentian penuntutan
dapat dilakukan oleh jaksa pada lingkup kejaksaan RI.

BAB III
ANALISIS KASUS BIBIT-CHANDRA
Dalam sejarah Hukum Acara Pidana Indonesia penyampingan perkara demi
kepentingan umum sangat jarang dilakukan. Pada masa Orde Baru
pengenyampingan perkara demi kepentingan umum pernah diterapkan pada kasus
M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum
dalam tahap prapenuntutan, Jaksa Agung menggunakan hak opportunitasnya
sesuai dengan KUHP yaitu dengan mengenyampingkan perkara demi kepentingan
umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik.
Mengapa kepentingan politik yang menjadi pertimbangan dalam
mengenyampingkan perkara ini, pertimbangannya karena apabila perkara M.
Yasin dituntut dan diadili di persidangan, akan menimbulkan gejolak politik yang
luas di kalangan masyarakat termasuk di kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI
yang berdampak kepada stabilitas ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan,
dan lain-lain, jadi pertimbangann dalam perkara Jenderal M. Yasin ini adalah
pertimbagan kepentingan umum dalam aspek politik negara.
Pada masa reformasi, problem deponering ini kembali mencuat dalam kasus yang
dialami oleh Bibit-Chandra. Kasus petinggi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)
Bibit S. Rianto dan Chandra M Hamzah menyedop banyak perhatian masyarakat.
hal tersebut terlihat jelas hingga adanya akun pada salah satu situs jejaring social
yang mendukung kedua petinggi KPK tersebut. Kasus tersebut selanjutnya
ditangani oleh tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution, dalam situs resmi
liputan6.com Tim 8 menyimpulkan beberapa hal diantaranya:
1. Pada awalnya, proses pemeriksaan terhadap dugaan adanya
penyuapan dan/atau pemerasan pemerasan dalam kasus
Chandra dan Bibit adalah wajar (tidak ada rekayasa)
berdasarkan alasan-alasan:

1) Testimoni Antasari Azhar
2) Laporan Polisi oleh Antasari Azhar
3) Rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro di Singapura di Laptop
Antasari Azhar di KPK
4) Keterangan Anggodo tanggal 7 Juli 2009
5) Keterangan Anggoro tanggal 10 Juli 2009 di Singapura
6) Keterangan Ari Muladi.
b. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan
dan/atau pemerasan, namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan
penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan:
1) Surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anggoro;
2) Surat pencegahan dan pencabutan cegah keluar negeri terhadap Djoko Tjandra.
c. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas
dasar penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undangundang Tindak Pidana Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU
Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan kesimpulan yang dituangkan dalam situs tersebut, Tim 8 juga
mengusulkan beberapa usulan terkait penyelesaian kasus tersebut:
1. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) dalam hal perkara ini masih di tangan kepolisian;
2. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian
Penuntutan (SKPP) dalam hal perkara ini sudah dilimpahkan ke
kejaksaan; atau
3. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum,
perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas opportunitas,
Jaksa Agung dapat mendeponirkan perkara ini.

Permasalahan kasus Bibit-Chandra mulai timbul lebih runcing setelah Kejaksaan
memutusan untuk menghentikan kasus tersebut dengan menerbitkan SKPP.
Sayangnya SKPP tersebut dianggap terlalu lemah karena alasan-alasan yang
seharusnya diajukan oleh Kejaksaan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada
dalam KUHAP dan dianggap terlalu lemah. Hal tersebut berbuntut pada
praperadilan yang diajukan oleh Anggodo.
Dikarenakan alasan penerbitan SKPP lemah, maka SKPP itu dibatalkan oleh
hakim Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika Kejaksaan
banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Selatan atau

memenagkan tuntutan Anggodo. Menurut KUHAP, sampai disini perkara selesai,
artinya, kejaksaan wajib meneruskan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan.
Namun kejaksaan Agung masih coba-coba mengajukan PK ke Mahkama Agung
yang akhrinya Mahkama Agung memutuskan tidak berwenang mengadili
permohon PK tersebut.
Dari uraian di atas, timbul beberapa kemungkinan yang dapat di tempuh oleh
kejaksaan. tinggal dua alternatif: deponering atau meneruskan kasus ke
pengadilan. Pendapat lain yang mengemuka adalah penerbitan SKPP baru atau
SKPP jilid dua.
Akhir Oktober 2010, keputusan Kejaksaan Agung (Kejakgung) secara resmi
melakukan deponering atas kasus dugaan penyalahgunaan wewenang BibitChandra. Keputusan melakukan deponering disampaikan Pelaksana Tugas (Plt)
Jaksa Agung, Darmono, saat jumpa pers di Gedung Jaksa Agung, Jakarta, Jumat
(29/10). Sikap tersebut, menurutnya, diambil setelah pimpinan Kejaksaan Agung,
yakni Jaksa Agung Muda (JAM), Staf Ahli, dan Kepala Pusat Penerangan Hukum
(Kapuspenkum) berembuk untuk menentukan langkah hukum sesuai undangundang, terhadap kasus yang menuai perhatian publik itu.
Sekarang yang menjadi perdebatan banyak kalangan adalah apakah sudah tepat
deponering yang diambil oleh Jaksa Agung? dan bagaimana dengan opini
masyarakat terhadap para pihak yang memperoleh deponering dalam hal ini Bibit
dan Chandra?.
Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c, Jaksa
Agung mempunyai “tugas dan wewenang” untuk “mengesampingkan perkara
demi kepenitangan umum”. Banyak argument akan muncul, alasan
pendeponeringan perkara Bibit-Chandra karena keduanya adalah Pimpinan KPK
yang bertugas memberantas Korupsi (dianggap sebagai extra ordinary crime),
KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan pimpinannya.
Andai Bibit-Chandra diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara
dari jabatannya. Hanya saja apakah dengan pemberhentian sementara oleh
presiden ini dapat menyebabkan KPK tidak dapat menjalankan tugasnya?, Ini
yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak terkait UU Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Problematika yang muncul setelah putusan penerbitan deponering oleh Jaksa
Agung ialah, secara tidak langsung hal itu mengandung pengakuan bahwa BibitChandra adalah orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan
bukti-bukti untuk itu telah lengkap sebagaimana yang ditegaskan oleh jaksa dalam
surat dakwaan. Ini yang membedakan dengan SKPP yang dianggap tidak cukup
bukti atau landasan hukum yang digunakan ternyata tidak kuat. Artinya, tidak ada
kejahatan yang dilakukan. Sedangkan kasus Bibit-Chandra, oleh kejaksaan Agng
diduga dan diakui ada serta cukup bukti, hanya saja perkaranya “dikesampingkan”
demi “kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”.

Jika kita merujuk pada asas presumption of innocent, seharusnya ini menjadi
patokkan bahwa sebelum adanya putusan pengadilan setiap terdakwa dianggap
tidak bersalah, Tentu saja kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan,
selamanya Bibit-Chandra harus dianggap tidak bersalah, dengan belum atau tidak
ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mereka
bersalah. Bagaimana akan ada, kalau perkaranya memang “dikesampingkan” alias
tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak jelas
ujung pangkalnya.
Yang menarik dari deponering kasus ini, jelas membuat kondisi KPK dapat
berjalan normal. Hanya saja yang perlu diingat terkait bagaimana opini publik
yang timbul dikalangan masyarakat atas keduanya. Bagaimana mungkin orang
yang diberi amanah memberantas korupsi sebagai Pimpinan KPK, sementara
mereka diduga dan diakui sebagai pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering
oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak membawa konsekuensi hukum apa-apa.
Konsekuensinya hanya di bidang etis karena belum dapat diyakinkan secara
hukum yang berlaku terkait ketidakbersalahan keduanya dimata masyarakat luas.
Permasalahan lain yang mencuat terkait wewenang dan tugas deponering ini
apakah dapat dilakukan oleh Plt Jaksa Agung?. Kita ingat beberapa waktu lalu
judicial review pada Mahkama Konstitusi (MK) terkait Pasal 22 ayat (1) huruf d
UU Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 oleh Yusril Izha Mahendra, yang kemudian berakhir pada pemberhnetian
Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung dan digantikan oleh wakilnya sebagai
Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono.
Sebagaian praktisi hukum Indonesia beranggapan Plt Jaksa Agung tidak dapat
mengambil keputusan yang strategis termasuk deponering. Hal ini ditakutkan
akan menimbulkan resiko politik yang tinggi, dan politik balas budi antara KPK
dengan Kejaksaan. Yang artinya, mengharuskan deponering hanya dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung definitive yang dianggkat oleh Presiden.
Harus diakui keputusan kejaksaan mendeponir kasus tersebut secara tidak
langsung menampakkan ketidakpatuhan kejaksaan atas putusan praperadilan agar
perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Memang kejaksaan yang memiliki
hak penuntutan ‘dominus litis’, hanya saja, dalam kasus Bibit-Chandra ini
kejaksaan diangap lalai dalam mengelurkan SKPP dan berbuntut pada deponering.
Dari uraian panjang di atas, saya rasa deponering yang dikeluarkan oleh
Kejaksaan dianggap kurang tepat. Ini justru tambah mencederai kejaksaan di mata
masyarakat. Seharusnya Kejaksaan tidak terburu-buru mengambil deponering
sampai presiden menunjuk Jaksa Agung definitif. Adabaiknya Kejaksaan memilih
mematuhi putusan PN Jakarta Selatan dan PT Jakarta untuk meneruskan ke tahap
pengadilan.
Jika alasannya dapat mengakibatkan KPK tidak dapat menjalankan tugas dengan
maksimal, saya rasa KPK masih tetap dapat menjalankan tugas dengan dua
petinggi KPK yang lain. Tinggal bagaimana kredibilitas kejaksaan dan pengadilan

dalam mengadakan pemeriksaan di pengadilan. Dalam artian, jika keduanya
terbuki tidak bersalah maka putusan final adalah dinyatakan bebas, namun jika
bersalah nyatakan bersalah tidak lantas dijadikan seperti tanpa status pasti.
Kepastian ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK lebih bersih
dimata semua pihak, dan terwujudnya equality before the law, equality protection
on the law, and equality justice under the law di Indonesia.
BAB IV
KESIMPULAN
Deponering atau mengkesampingkan perkara tidak diatur secara jelas dalam
KUHAP maupun undang-undang, hanya diatur dalam beberapa: Pasal 35 huruf c
Undang-Undang No 16 Tahun 2004, KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf c,
Penjelasan Pasal 77 KUHAP. Deponering ini terjadi atas dasar asas Opportunitas
yang masih dianut di Indonesia dan merupakan hak Jaksa Agung.
Deponering berbeda dengan penghentian penuntutan (SKPP), jika deponering
danggap telah cukup bukti dan harus dikesampingkan karena alasan ‘demi
kepentingan umum’, maka secara rinci hal penghentian penuntutan dilakukan
dengan 2 alasan: ditutup demi kepentingan hukum karena tidak cukup bukti dan
ditutup demi hukum dikarenakan hal-hal yang terjadi sesuai dengan pada Pasal
76, Pasal 77, Pasal 78 , Pasal 82 KUHAP, Abolisi dan Amnesti serta dapat
dilakukan upaya praperadilan sedangkan deponering tidak.
Terkiat kausus Bibit-Chandra, SKPP Kejaksaan dianggap lemah mengakibatkan
praperadilan yang diajukan Anggodo dimenangkannya dengan putusan diteruskan
kasus tersebut ke pengadilan. Kejaksaan akhirnya mengeluarkan putusan
deponering dengan alasan demi kelancaran proses dalam pemberantasan korupsi.
Hanya saja hal ini malah menimbulkan pro-kontra karena secara etis petinggi
KPK tidak memiliki status pasti yang jelas dimata masyarakat apakah bersalah
atau tidak. Sehingga adabaiknya kasus ini diteruskan ke pengadilan dan diproses
seadil-adilnya dan sebenar-benarnya agar kredibilitas para aparatur penegak
hukum tidak diciderai kembali dan dan terwujudnya equality before the law,
equality protection on the law, and equality justice under the law di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 2007, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.
RM, Soharto.

Penuntutan dalam Praktek Peradilan

KUHAP Lengkap. 2008, Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Prakoso, Djoko. 1985. Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 jo Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo.
Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
http//:www.Liputan6.com
http://yusril.ihzamahendra.com
http//:www.sinarharapan.com
http//:www. Yustisi.com

By ifalatifaftriani
Nov 26 2011

UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN
BEBAS (VRIJSPRAAK) ATAU
LEPAS (ONSLAG VAN
RECHT VERVOLGING)
Berdasarkan KUHAP di Indonesia jelas akan kita lihat keanehan terkait masalah
upaya hukum biasa terkait putusan bebas (vrijspraak) atau pada putusan lepas
(onslag van recht vervolging). Dalam KUHAP pasal 67 terkait upaya hukum
banding, secara yuridis normatif terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan
lepas (onslag van recht vervolging) dari segala tuntutan hukum yang menyangkut
kurang tepatnya penerapan hukum tidak dapat dilakukan upaya banding.
Terkait masalah kasasi, diatur dalam pasal 244 KUHAP yang secara yurisdiksi
normatif menutup kemungkinan penuntut umum mengajukan kasasi pada putusan
bebas. Namun pada kenyataannya, pasal ini dinafikkan “contra legem” dengan
adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983
tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi
dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i)
terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan
bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.
Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan putusan lepas (onslag van recht
vervolging) apakah dapat diajukan kasasi dengan menggunkan acuan Pasal 244
KUHAP?. Sedangkan terhadap putusan bebas dapat diajukan kasasi dengan acuan
Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang

Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?.
Dari yang penulis pahami, terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum
yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dapat diajukan kasasi
menurut Pasal 244 KUHAP, dengan alasan hanya tertera putusan bebas yang tidak
dapat diajukan kasasi. Sedangkan terkait kasasi atas putusan bebas dengan acuan
Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP angka 19, dalam praktiknya telah
dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.
Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi
terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain: 1)
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan
hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6)
KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan
menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan
putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat
atau tidak dapat dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk
melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal
244 KUHAP, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri
Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap (Yurisprudensi)
bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan PerundangUndangan tidak diatur terkait keputusan menteri dapat mengganti undang-undang,
undang-undang hanya dapat diganti dengan peraturan pengganti undang-undang.
Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/
Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan
suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan
tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak.
Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus
perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari
apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran
“Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan
zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity”
melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang
bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus
ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan
referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu
perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundangundangan yang secara tegas mengaturnya.
Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu
memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangn di Indonesia,
juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi
inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya
mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya ).

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24