BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PBB P2 SEBELUM DAN SETELAH PERALIHAN DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI A. Pajak Bumi dan Bangunan 1. Sejarah PBB di Indonesia - Kajian Yuridis Terhadap Beralihnya Kewenangan Pemungutan Pa

BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PBB P2 SEBELUM DAN SETELAH PERALIHAN DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI A. Pajak Bumi dan Bangunan

1. Sejarah PBB di Indonesia

  Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang saat ini dikenal oleh masyarakat luas sebagai pajak atas kepemilikan bumi dan bangunan di Indonesia merupakan perubahan atas berbagai jenis pajak atas bumi (dan juga bangunan) yang sebelum tahun 1986 diberlakukan di Indonesia. Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pajak atas bumi yang sebelum tahun 1986 diberlakukan di Indonesia. Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pungutan yang dikenakan atas bumi dan hasil bumi telah dikenakan oleh penguasa kepada rakyat sejak masa penjajahan, bahkan sebenarnya sudah sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hanya saja nama pungutan tersebut mungkin belum dibakukan, tetapi pada dasarnya sama saja dengan pajak bumi dan bangunan.

  Pada abad ke-17 dan seterusnya, pada saat Indonesia berada dalam penjajahan Belanda dan Inggris, pajak atas bumi diberlakukan secara resmi dengan nama yang baku. Berbagai jenis pajak atas bumi dan juga bangunan kemudian diterapkan di Indonesia dengan berbagai nama dan aturan, dimana ketentuan tentang pajak tersebut disesuaikan oleh pemerintah yang ketentuan tentang pajak tersebut disesuaikan oleh

  42 pemerintah yang berkuasa pada masa tertentu di Indonesia . 42 Marihot, Pajak Bumi dan Baangunan di Indonesia (teori dan praktik),(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 4

a. Pemungutan Pajak atas Tanah Sampai Masa VOC

  Pajak atas tanah sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala. Hanya saja dalam berbagai buku sejarah Indonesia tidak dapat ditemukan adanya bukti pemungutan pajak atas tanah di Indonesia pada masa pra sejarah. Hal ini wajar saja mengingat pada masa pra sejarah belum ada bukti-bukti tulisan, yang dapat menggambarkan adanya pemungutan pajak kepada masyarakat. Bukti tertulis tentang adanya pengenaan pajak atas tanah di Indonesia baru ditemukan pada masa sejarah.

  Dalam sejarah Indonesia suatu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelius de Houtman datang ke Indonesia dengan maksud untuk berdagang di Indonesia pada

  43

  akhir abad ke-16 . Pada tahun 1602 didirikan “Verenigde Oost-Indische Compagnie” disingkat dengan VOC atau kompeni, yang merupakan suatu persekutuan dagang.

  Kompeni memperoleh hak monopoli dari pemerintah Belanda, sehingga hanya Kompeni yang boleh berdagang di antara Tanjung Harapan dan Selat Megalhaes.

  Untuk itu kompeni memperoleh kekuasaan dari pemerintah Belanda, sehingga hanya kompeni yang boleh berdagang di antara Tanjung Harapan dan Selat Magelhaes.

  Untuk itu kompeni memperoleh kekuasaan sebagai pemerintahan dari pemerintah Belanda. Tujuannya adalah untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Kompeni melakukan aturan Verplicte leverantien atas masyarakat jajahan di Nusantara, yaitu

  44 pemberian yang diwajibkan, rata-rata 20% (1/5) dari semua hasil produksi .

  43 44 Ibid , hal. 5 Redaksi Majalah Berita Pajak, Meninjau Sejarah Perkembangan IPEDA Sebelum Era PBB, (Jakarta: Majalah Berita Nomor 1186), hlm. 38

b. Pemungutan Pajak Atas Tanah Masa Penjajahan Inggris

  Perebutan kekuasaan oleh negara-negara di Eropa terhadap negara jajahan di Asia menjadi awal masuknya Inggris ke nusantara. Tentara Inggris dalam bulan Agustus 1811 mendarat dari di Pulau Jawa dan menyerang Belanda. Sampai pada tanggal 17 September 1811 Janssens menyerah kepada Inggris. Pemerintah Inggris menunjuk Thomas Stanford Raffles menjadi kepala pemerintahan di jawa dan daerah

  45 taklukannya.

  Sistem pemajakan atas tanah yang diterapkan oleh Raffles diambil dari pajak tanah di Bombay yang sedikit banyak disesuaikan dengan keadaan di Pulau Jawa dan daerah taklukan Inggris lainnya pada waktu itu. Untuk itu Raffles mengeluarkan suatu instruksi yang disebut Landrevenue Instruction yang dilaksanakan di Pulau Jawa dan daerah taklukan Inggris lainnya yang merupakan saduran dari landrevenue

  46 tersebut diciptakan oleh Sultan Akhbar dan Kerajaan Islam Mongol.

  Landrent diberlakukan menurut peraturan yang sudah berlaku di Brits Indie (India). Peraturan baru ini didasarkan kepada dalil, yang dibawa dari India, yaitu bahwa semua tanah adalah milik “souverign” (raja) dan kepal-kepala desa dianggap sebagai penyewa dari tanah-tanah yang diusahakan oleh desa. Oleh sebab itu mereka

  47 harus membayar sewa atau landrent, berupa barang natura (hasil) yang tetap.

  Landrent

  sebagai pajak tanah merupakan pengganti dua macam pungutan yang dipungut pada masa kompeni (VOC) yaitu: 45 46 Ibid, hlm. 38 47 Ibid., hlm. 39 Soemitro Rochmat, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1994, (Bandung:

  PT. Eresco), hlm. 202 a. Contingenten, yaitu pungutan sebagian dari hasil bumi yang jenis tanamannya dipaksakan, dengan harga yang murah sekali di daerah yang langsung dikuasai kompeni.

  b. Verplichte Leveratien, yaitu pungutan oleh pemerintah VOC dengan diberi ganti rugi atas dasar persetujuan dengan penduduk dengan perantara raja-raja yang bersangkutan.

c. Pemungutan Pajak atas Tanah Masa Penjajahan Hindia Belanda

  Tidak berapa lama aturan landrent berlaku di Pulau Jawa, sudah tersiar kabar, bahwa Napoleon jatuh dan Negeri Belanda mendapat kemerdekaannya kembali.

  Conventie

  London tahun 1814 menetapkan, bahwa Belanda akan mendapat tanah jajahannya kembali, kecuali Ceylon dan kedudukannya di Afrika Selatan. Kabar ini mengecewakan Raffles dan pemerintah Inggris umumnya. Penggantiannya, John

  48 Fendall, menyerahkan Indonesia kepada Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816.

  Saat pemerintah penjajahan Hindia Belanda kembali berkuasa, nama landrent diganti manjadi landrente. Tata cara dan pelaksanaan pajak atas tanah dengan sistem yang dianut oleh Raffles dilanjutkan dengan beberapa perbaikan yang ditunjuk untuk keadilan dan kepentingan rakyat. Setelah pemerintah Penjajahan Hindia Belanda berkuasa di India Belanda (sekarang Indonesia), diundangkan Staatsblad (Lembaran Negara) 1818 Nomor 14, yang berlaku untuk tahun 1818 saja kemudian diganti dengan Staatsblad 1819 Nomor 5 yang berlaku untuk tahun 1819 dan untuk tahun tahun berikutnya yang menentukan bahwa landrente ditetapkan perdesa. 48

  , Redaksi Majalah Berita Pajak, hal. 40 Op.Cit

  d. Pemungutan Pajak atas Tanah Masa Penjajahan Jepang

  Selama pemerintahan Bala Tentara Jepang berkuasa di Indonesia mulai bulan Maret 1942 sampai saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal

  17 Agustus 1945, pajak tanah dilaksanakan terus seperti biasa dengan segala kegiatannya dan tetap menurut undang-undang pajak tanah 1939, Staatsblad 1939 No.

  240 sampai dengan 243. Dalam penerapannya pajak tanah (Landrente) diganti menjadi pajak bumi.

  Instansi yang menyelenggarakan pajak bumi dan bangunan adalah

  

Gunaekanbu Zaimubu bagian pajak bumi. Pimpinan-pimpinan instansi yang

  menangani pajak bumi bangsa Belanda diganti dengan pimpinan-pimpinan bangsa Indonesia.

  Departemen Van Financaien diubah menjadi Gunaekanbu Zaimubu dan sebagai bagian dari Zaimubu dibentuk Zaimubu Shuzeika yang mengurus macam- macam pajak dan beacukai. Pendudukan Jepang atas daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura berada di bawah kekuasaan bagian lain dari Bala Tentara Jepang, yaitu Minseibu sehingga kekuasaan Kantor Besar bagian Pajak Bumi hanya terbatas di Pulau Jawa dan Madura.

  e. Pajak atas tanah yang Berlaku Setelah Indonesia Merdeka

  Setelah Indonesia merdeka, berbagai jenis pajak yang sebelumnya dipungut oleh pemerintah penjajahan Belanda maupun Jepang tetap dipungut oleh pemerintah Indonesia, antara lain Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, Aturan Bea Materai 1921 dan Pajak Bumi. Pemungutan pajak pajak tersebut didasarkan pada ordonansi

  (undang-undang) yang dibuat pada masa penjajahan Belanda karena belum ada undang-undang yang menggantikannya. Penerapan berbagai ordonansi tersebut didasarkan pada ketentuan Peralihan Undang-Undang 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945.

  Dalam perkembangan selanjutnya dilakukan beberapa perubahan dalam pelaksanaan pemungutan pajak tersebut di Indonesia. Dalam hal pengenaan pajak atas bumi di Indonesia, Landrente yang dipungut berdasarkan Staatsblad 1939 yang ada pada masa penjajahan Jepang diubah menjadi Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

  Berbagai jenis pajak yang diberlakukan atas tanah dan juga bangunan di Indonesia sampai dengan tahun 1955 mengakibatkan adaya beban pajak berganda bagi masyarakat, karena atas suatu tanah dan bangunan dimungkinkan dipungut lebih dari satu jenis pajak, dan semua dilakukan secara legal karena didasarkan pada

  ordonansi

  dan undang-undang. Hal ini membuat wajib pajak enggan membayar pajak seharusnya hanya membayar pajak atas objek pajak yang dimiliki atau dimanfaatkannya saja.

  Seiring dengan reformasi perpajakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR sejak tahun 1983, maka sistem pemajakan atas tanah dan bangunan di Indonesia juga dirombak total mulai tahun 1986. Hal ini dilakukan dengan menghapus semua jenis pajak yang sampai dengan tahun 1985 dipungut terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan dan menggantinya dengan satu jenis pajak yang disebut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pemenuhan PBB dilakukan dengan dilandasi pada dasar hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

  Subjek pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata: memperoleh suatu hak atas bumi dan atau, memperoleh manfaat atas bumi dan atau, memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

  49 Badan hukum dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu :

  1. Menurut bentuknya, artinya pembagian badan hukum berdasarkan pendiriannya (diatur dalam NBW).

  a. Badan hukum publik Misalnya: negara, provinsi, kota praja, majelis-majelis, lembaga-lembaga dan bank negara.

  b. Badan hukum privat Misalnya: perkumpulan-perkumpulan, PT, yayasan dan sebagainya.

  2. Menurut peraturan yang mengaturnya, artinya pembagian badan hukum berdasarkan ketentuan yang mengatur badan hukum tersebut.

  a. Badan hukum yang terletak di lapangan hukum perdata (BW).

  Misalnya: maskapai Andil Indonesia, Perkumpulan Indonesia, Koperasi Indonesia.

  3. Menurut sifatnya terbagi atas dua macam, yaitu: 49 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia), hal. 21. a. Korporasi dan

  b. Yayasan Perseroaan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini

  50 serta peraturan pelaksanannya .

3. PBB Sebagai Pajak Properti

  Berdasarkan apa yang menjadi objek pajak dan siapa yang ditetapkan menjadi subjek pajak dan wajib pajak, maka PBB dapat diartikan sebagai pajak yang dipungut atas pemilikan/ penguasaan dan atau pemanfaatan bumi dan atau bangunan di Indonesia.

  PBB merupakan pajak yang ditunjuk secara luas yang dikenakan baik atas pemilikan maupun pemanfaatan bumi dan atau bangunan. Karena itu setiap pemilikan atau pemanfaatan atas bumi dan atau bangunan di Indonesia akan dikenakan pajak. Pengenaan PBB tidak terkait sama sekali dengan bukti pemilikan tanah dan atau

  51 bangunan .

  PBB adalah pajak negara yang bersifat kebendaan. Pajak kebendaan pada umumnya tidak memperhatikan keadaan wajib pajak dalam penentuan besarnya pajak terutang tetapi mendasarkan pada objek pajak yang sesuai ketentuan undang undang pajak harus dikenakan pajak. Objek pajak, baik yang besar maupun yang kecil, akan 50 Pasal 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 51 Marihot, Op. cit, hal 79

  dikenakan pajak sesuai dengan keadaan objek pajak tersebut. Pada PBB besarnya pajak terutang sepenuhnya didasarkan pada keadaan objek pajak yang tercermin pada

  52 besarnya NJOP bumi dan atau bangunan .

  PBB adalah pajak yang dikenakan atas harta tidak bergerak, oleh sebab itu yang dipentingkan adalah objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subjek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak terutang. Hal ini membuat PBB disebut juga pajak yang objektif. Walaupun pajak ini merupakan pajak yang objektif tetapi dipungut dengan surat ketetapan pajak yang pada prinsipnya dikeluarkan oleh fiskus setiap tahun pajak.

  Dari sisi pihak yang menanggung beban pajak, PBB termasuk dalam pajak langsung karena PBB terutang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang namanya tercantum pada surat ketetapan pajak yaitu SPPT dan SKP yang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.

4. Sektor-Sektor Pajak Bumi dan Bangunan

  Untuk mempermudah pelaksanaan pengenaan PBB, Direktorat Jendral Pajak mengelompokan objek pajak berdasarkan karakteristik ke dalam beberapa sektor,

  53

  yaitu perdesaan, perkotaan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan . Sektor pengenaan PBB tersebut adalah sebagaimana di bawah ini: 1) Sektor perdesaan, adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri perdesaan, seperti: sawah, ladang, empang tradisional, dan lain-lain 52 53 Marihot, Ibid, hal.77 Keputusan Direktorat Jendral Pajak Nomor Kep-16/PJ.6/1998 tentang Pengenaan Pajak

  Bumi dan Bangunan.

  2) Sektor perkotaan adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki cirri-ciri daerah perkotaan, seperti: pemukiman penduduk yang memiliki fasilitas perkotaan, real estate, komplek pertokoan, industri, perdagangan dan jasa. 3) Sektor perkebunan, adalah objek PBB yang diusahakan dalam bidang budidaya perkebunan, baik yang diusahakan oleh BUMN maupun swasta, yang meliputi areal pengusahaan benih penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, penganekaragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya.

  4) Sektor kehutanan adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil hutan areal pengusahaan hutan dan budidaya hutan.

  5) Sektor pertambangan, adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil tambang seperti: emas, batubara, minyak dan gas bumi dan lain- lain yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategi, bahan galian vital dan bahan galian lainnya.

  Pada prinsipnya untuk sektor perdesaan dan perkotaan tata cara perhitungannya tidak ada perbedaan, sehingga perbedaan pendapat tentang kriteria objek pajak yang masuk sektor perdesaan dan perkotaan sering terjadi. Hanya saja untuk tertib administrasi pengenaan PBB maka dalam suatu wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan hanya terdapat satu sektor PBB yaitu sektor perdesaan dan perkotaan.

  54

54 Marihot, Op. Cit, hal 109

B. Pemungutan PBB Pedesaan dan Perkotaan Oleh Pemerintah Pusat

1. Dasar Hukum

  Pada saat pemungutan pajak bumi dan bangunan dilakukan oleh pemerintah pusat, dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dengan pertimbangan bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena karena itu, perlu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya; bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak; bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujutkan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional; bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khusunya pajak kebendaan dan pajak kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil dan memberi kepastian hukum; bahwa untuk mancapai maksud tersebut di atas perlu disusun undang-undang tentang pajak bumi dan bangunan.

  Akan tetapi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan tersebut diubah menjadi undang undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional khususnya di bidang perekonomian, termasuk berkembangnya bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam undang- undang perpajakan yang sekarang berlaku; bahwa dalam usaha untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian sebagai tersebut di atas dapat tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan pada trilogi pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis Besar Haluan Negara dan seiring dengan itu dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang memadai terhadap berbagai undang-undang perpajakan yang telah ada; bahwa untuk mewujutkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

  Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan Undang undang nomor 12 tahun 1994 sendiri bahwa yang melakukan pelaksanaan pengelolaan pajak bumi dan bangunan adalah pemerintah pusat dan memberikan pembagian hasil kepada daerah provinsi dan Kota/ Kabupaten sedangkan yang diubah dalam Undang-Undang Nomor

  12 Tahun 1994 yaitu ketentuan Pasal 3 ayat 3 dan ayat 4 diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

  1. Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang: a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

  b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu; c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengebalan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

  d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.

  2. Objek Pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  3. Besarnya Nilai Jual objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.

  4. Penyesuaian besarnya Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana

  55

  dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh menteri keuangan Sedangkan dalam pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan berbunyi sebagai berikut:

  3. Batas nilai jual bangunan tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap satuan bangunan.

  4. Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh

  56 menteri keuangan .

  Perubahan berikutnya berada dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu:

  55 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 56 Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

  “Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-undangan lainnya”

  Di mana dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dikatakan: “Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini berlaku ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainya”. Perubahan berikutnya yaitu dengan menghapus pasal 17 Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu:

  1. Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak sebagaimana dimaksut dalam Pasal 4 ayat (6) dan pasal 16 ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diteimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak dengan dilampiri salinan surat keputusan tersebut.

  2. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

  57 3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak .

  Perubahan berikutnya yaitu dengan menghapus pasal 27 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang berisikan:

  1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan pasal 25 ayat (2) adalah pelanggaran.

  58 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 1 adalah kejahatan.

  Dalam penjelasan bagian umum Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 dinyatakan bahwa dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dalam 57 58 Pasal 17, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Pasal 27, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

  perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk, termasuk perairan dan kekayaan alam terkandung di dalamnya mempunyai fungsi peran yang penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.

  Sebelum berlakunya Undan-Undang Nomor 12 Tahun 1985, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat dipungut pajak berdasarkan Ordonasi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi Verponding 1928.

2. Subjek Pajak

  Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan:

  1.Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

  2. Subjek pajak sebagaimana dimaksut dalam ayat 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak wajib menjadi menurut undang-undang ini.

  3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sebagai wajib pajak.

  4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap obyek pajak dimaksud

  5. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.

  6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai dengan alasan- alasanya.

  7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

  Sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang mempunyai subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dari ketentuan ini pada dasarnya ada empat pihak yang menjadi subjek pajak, yaitu orang atau badan yang:

  a. Mempunyai hak atas atau menguasai bumi atau tanah dan atau

  b. Memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan atau

  c. Memiliki/ menguasai bangunan, dan atau

  d. Memperoleh manfaat atas bangunan Dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan dalam penjelasannya secara khusus tidak ada dirumuskan apa yang dimaksud dengan orang atau badan. Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor

  12 Tahun 1985, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang KUP serta peraturan perundang-undangan lainnya.

  Dalam Undang-Undang KUP terdapat ketentuan yang berkenaan dengan badan, yaitu dalam Pasal 1 huruf b yaitu bahwa badan adalah perseroan terbatas, perseroan konditer, badan usaha milik negara atau daerah dan bentuk apapun, persekutuan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi perkumpulan koperasi, yayasan

  59 atau lemabaga dan bentuk usaha tetap .

  Sedangkan perumusan tentang orang tidak diuraikan. Hanya saja secara umum dapat dikatakan orang adalah manusia yang memiliki darah dan daging.

  Seseorang dapat menjadi subjek pajak tanpa memandang pada usia, jenis kelamin, agama, suku dan sebagainya. Siapa saja, baik tua maupun muda, perempuan atau laki-laki dan apapun agama atau sukunya dapat menjadi subjek pajak, asalkan ia memenuhi syarat yaitu mempunyai dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau

  60 bangunan .

3. Objek Pajak

  Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985, dikatakan:

  a. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan

  b. Klasifikasi objek pajak sebagaimana dimaksut dalam ayat 1 diatur oleh Menteri Keuangan. 59 Marihot, Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Graha

  Ilmu, 2009), hal. 110-111 60 Ibid

  Obyek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah objek pajak yang: a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksutkan untuk memperoleh keuntungan

  b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu; c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalan yang dikuasai oleh desa dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak;

  d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas perlakuan timbale balik e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang

  61 ditentukan oleh Mentri Keuangan .

  Objek pajak yang berupa bumi mudah saja dapat dengan mudah ditemui, misalnya tanah kosong, sawah, ladang, kebun dan objek sejenis lainnya. Objek pajak berupa bangunan dapat dengan mudah ditemui misalnya rumah berdiri di atas sebidang tanah yang dimiliki oleh seseorang, bangunan gedung beserta tanah tempat bangunan berdiri, dan objek sejenis lainnya.

  Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.

  61

pasal 2, Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

  Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985, yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

  a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

  b. Jalan tol

  c. Kolam renang

  d. Pagar mewah

  e. Tempat olah raga

  f. Galangan kapal, dermaga

  g. Taman mewah

  h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat

  Dalam administrasi pengenaan dan pemungutan PBB untuk memudahkan proses pengenaan dan perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang akan digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, objek pajak dibedakan ke dalam beberapa jenis. Pembagian ini umumnya didasarkan pada bentuk, konstruksi umum bangunan serta keluasan bumi (tanah) dan bangunan yang menjadi objek pajak. Secara umum objek pajak terbagi ke dalam dua jenis yaitu objek pajak umum dan objek pajak khusus

  62

62 Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor Kep-533/PJ./2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan

  Pendaftaran, Pendataan dan Penilaian Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dalam rangka Pembentukan dan atau Pemeliharaan Basis Data Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) , Lampiran 1 Bagian 2.3.1

  4. Dasar Pengenaan Pajak

  Dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dikatakan:

  1. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak

  2. Besarnya nilai jual objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan setiap tiga tahun oleh menteri keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.

  3. Dasar penghitungan pajak adalah nilai jual kena pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi tingginya 100% (seratus persen) dari nilai jual objek pajak.

  4. Besarnya persentase nilai jual kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional

  63 .

  Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak setelah dikurangi dengan nilai jual objek pajak tidak kena pajak. Pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah tiga tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jula objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.

  5. Tarif Pajak

  Tarif pajak merupakan ketentuan hukum pajak materil yang sangat penting karena menjadi penentu besarnya pajak terhutang. Setiap undang-undang perpajakan harus mencamtumkan ketentuan tentang besarnya tarif pajak yang menjadi salah satu unsur penting dalam menentukan besarnya pajak terhutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dikatakan bahwa:

  63 Pasal 6, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh

  64 persen) .

  Besarnya tarif adalah 0,5 dari nilai jual kena pajak. Penentuan tarif tunggal 0,5% dilandasi pertimbangan kesederhanaan dan kemudahan bagi wajib dan aparat pemungut pajak untuk melaksanakannya, mengingat bahwa sebagian besar dari anggota masyarakat membayar pajak dewasa ini masih berpenghasilan rendah dan pada umumnya bertempat tinggal di pedesaan. Kesederhanaan dalam tarif pajak diperlukan agar mudah untuk dilaksanakan dan dimengerti baik oleh pembayar pajak maupun oleh petugas.

6. Perhitungan Pajak

  Besarnya PBB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak (tax

  rate

  ) dengan basis pajak (tax base). Pada PBB yang menjadi basis pajak adalah nilai jual kena pajak, yaitu dengan mengalikan persentase nilai jual kena pajak dengan nilai jual objek pajak. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dikatakan, besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara

  65

  mengalikan tarif pajak dengan nilai jual kena pajak Nilai jual objek pajak tidak kena pajak ditetapkan dalam Pasal 3 ayat 3

  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang menyatakan nilai jual 64 65 Pasal 5, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Pasal 7,Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

  objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp 8.000.000,00 (delapam juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Dalam ayat 4 dinyatakan penyesuaian besarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak sebagaimana ditetapkan oleh mentri keuangan.

  Karena persentase nilai jual objek pajak kena pajak dibagi menjadi dua, yaitu yang berlaku secara umum dan secara khusus, maka rumus perhitungan PBB terutama ada dua. Dimana persentase nilai jual objek pajak kena pajak secara umum adalah 20% sedangkan secara khusus 40% sebagaimana dituliskan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan

  66 Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan .

  Rumus perhitungan PBB untuk Objek Pajak Secara Umum (NJOP < Rp 1.000.000.000) adalah:

  PBB Terhutang : = 0,5% x Dasar Pengenaan Pajak = 0,5 x {20% x (NJOP-NJOPTKP)} = 0,1% x NJOPKP

66 Besarnya Nilai Jual Kena Pajak sebagai dasar penghitungan pajak yang terutang

  sebagaimana dimaksut dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, ditetapkan untuk:

  

a. Objek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40%(empat puluh persen) dari

Nilai Jual Objek Pajak

b. Objek pajak lainnya:

1. Sebesar 20%(dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya kurang dari Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

  Rumus Perhitungan PBB untuk Objek Pajak Secara Khusus (NJOP > Rp 1.000.000.000 adalah:

  PBB Terhutang = 0,5 x Dasar Pengenaan Pajak = 0,5% x {40% x (NJOP-NJOPTKP)} = 0,2% x NJOPKP

  Satu hal yang perlu diperhatikan dalam rumus di atas adalah yang dimaksut dengan NJOP adalah NJOP sebagai dasar perhitungan pajak. Karena itu untuk menggunakan rumus tersebut NJOP sebagai dasar pengenaan pajak harus terlebih dahulu dikurangi dengan NJOPTKP sesuai ketentuan yang berlaku sehingga menghasilkan NJOPKP

7. Dana Bagi Hasil PBB P2

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah:

  1. Hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam dibagi untuk pemerintah pusat dan daerah dengan perimbangan sebagai berikut:

  a. 10%(sepuluh per seratus) untuk pemerintah pusat

  b. 90%(sembilan puluh persen) untuk daerah

  2. Jumlah 90 % (sembilan puluh per seratus) yang merupakan bagian daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diperinci sebagai berikut : a. 16,2% (enam belas koma dua per seratus) untuk daerah propinsi yang

  bersangkutan;

  b. 64,8% (enam puluh empat koma delapan per seratus) untuk daerah

  kabupaten/kota yang bersangkutan;

  67 c. 9% (sembilan per seratus) untuk biaya pemungutan.

C. Peralihan Pemungutan PBB P2

1. Reformasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

  Berbagai jenis pajak yang diberlakukan atas tanah dan juga bangunan di Indonesia sampai dengan tahun 1985 mengakibatkan adanya beban pajak berganda bagi masyarakat, karena atas suatu tanah dan bangunan dimungkinkan dipungut lebih dari satu jenis pajak, dan semua dilakukan secara legal karena didasarkan pada ordonansi dan undang-undang. Hal ini dipandang oleh pemerintah tidak baik dalam suatu sistem perpajakan, karena akan menimbulkan keengganan pada wajib pajak untuk melunasi pajaknya. Seorang wajib pajak seharusnya hanya membayar pajak atas objek pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan nya di mana pengenaan pajak hanya boleh satu kali saja dengan cara pengenaan pajak yang adil bagi semua wajib pajak.

  Otonomi daerah di Indonesia telah dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Instrumen regulasi dalam mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dituangkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 dan diubah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999

  67 Pasal 2, Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2000 tentang Bagi Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan AntaraPusat dan Daerah.

  Istilah otonomi atau “outonomy” secara etimologis dari bahasa Yunani berasal dari kata “autos” yang berarti sendiri dan “nomous” yang berarti undang-undang, hukum atau peraturan dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving). Menurut

  encyclopedia of cocial science,

  bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence.

  Otonomi adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang

  68 lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi .

  Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelftandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafharzkelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Otonomi sekedar subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Otonomi adalah fenomena negara kesatuan. Negara

  69 kesatuan merupakan landasan dari pengertian dan isi otonomi.

  68 Bagir Manan, Perjalanan Hostoris Pasal 18 UUD 1945, (Jakarta: Unsika Karawang, 1993), hal. 33 69 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara

, (Bandung: PT. Alumni Bandung, 2004), hal. 129

  DPRD dan Kepala Daerah

  Seiring dengan reformasi perpajakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR sejak tahun 1983, maka sistem pemajakan atas tanah dan bangunan di Indonesia juga dirombak total mulai tahun1986. Hal ini dilakukan dengan menghapus semua jenis pajak sampai dengan tahun 1985 dipungut terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan dan menggantinya dengan satu jenis pajak yang disebut pajak bumi dan bangunan (PBB). Pemungutan PBB dilakukan dengan dilandasi pada dasar hukum yang kuat , yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak

70 Bumi dan Bangunan .

  Setelah sembilan tahun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 diberlakukan sebagai dasar hukum pemungutan pajak bumi dan bangunan, terdapat beberapa perkembangan yang terjadi dalam sistem perpajakan Indonesia sehingga pemerintah bersama dengan DPR melihat perlu dilakukan perubahan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985. Sehingga keluarlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun1994. Hanya saja karena yang diubah hanya empat pasal, maka pada dasarnya pasal-pasal lain tidak mengalami perubahan tetap berlaku utuh.

  Desentralisasi fiskal merupakan salah satu kebijakan publik yang merupakan bagian dari kebijakan desentralisasi kewenangan yang proses formulasi kebijakannya dilaksanakan pada masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Produk kebijakan yang disusun dalam masa transisi tersebut berada dalam tingkat ketidakpastian sehingga pada satu sisi tuntutan masyarakat yang sangat besar terhadap demokratisasi memperoleh tempat cukup 70 Marihot, Op. Cit, hal.51-52 dalam formulasi kebijakan. Sedangkan pada sisi lainnya kepentingan negara terhadap stabilitas pemerintah menjadi terabaikan serta berada di bawah tuntutan

  71 demokratisasi .

  Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan beberapa peraturan pelaksananya. Dengan adanya manfaat dari penguasaan atau kepemilikan suatu objek tanah dan bangunan , hasil penerimaan PBB digunakan untuk membangunan berbagai fasilitas umum yang dapat

  72 dinikmati oleh masyarakat.

  Rangkaian dalam implementasi desentralisasi kewenangan adalah dilakukannya restrukturisasi kelembagaan dalam pemerintahan khususnya dalam pemerintahan di daerah. Di dalam pendekatan desentralisasi yang sangat kuat, maka pola dan bentuk restrukturiasasi kelemabagaan sepenuhnya didesentralisasikan pada

  73 pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan daerah .

  Implementasi terhadap kebijakan desentralisasi fiskal dilaksanakan oleh para birokrat pemerintahan di daerah yang belum mempunyai pengalaman dalam melaksanakan desentralisasi fiskal. Implementasi desentralisasi fiskal semakin tidak efektif dan menimbulkan kerancuan bagi daerah sebagai akibat dari ambivalensi dalam berbagai produk kebijakan tersebut juga disebabkan tidak efektifnya 71 Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah, (Surabaya: Airlangga University

  Press, 2003), hal. 7 72 Harry Hartoyono dan Untung Supardi, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan

BPHTB, Pengalaman di Pemerintah Pusat dan Refrensi untuk Implementasi Pajak Daera ,(Jakarta:

Mitra Wacana Media, 2010), hal 73 73 , hal. 8

  Ibid komunikasi antara lembaga pemerintahan, khususnya antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/ kota, dimana ketidakefektifan tersebut disebabkan subjektifitas daerah yang berlebihan dalam menginterprestasikan demokratisasi dan

  

74

desentraslisasi kewenagan yang diberikan.

  Dalam perkembangannya di Indonesia otonomi selain mengandung arti “perundangan” (regeling), juga mengandung arti “pemerintahan” (bestuur). Oleh karena itu, dalam membahas otonomi berarti secara tidak langsung membahas pula mengenai desentralisasi. Hal ini disebabkan kedua hal tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan, apalagi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de” berarti lepas dan

  “centerum

  ” berarti pusat. Jadi berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.

  Menurut Juanda, dalam arti ketatanegaraan, desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah

  75

  tangganya sendiri (daerah-daerah otonom) . Desentralisasi adalah juga cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara. Indonesia dengan wilayahnya yang cukup luas dan jumlah penduduknya yang banyak serta dengan tingkat heterogenitas yang begitu kompleks, tentu tidak mungkin pemerintah pusat dapat secara efektif menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan tanpa melibatkan perangkat 74 75 Ibid , hal 9

  Op. Cit, Hukum Pemerintah Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD , Hal. 120 dan Kepala Daerah daerah dan menyerahkan beberapa kewenangannya kepada daerah otonom. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dimaksud, salah satunya diperlukan 76 desentralisasi.

  Lebih tegas dinyatakan oleh Bagir Manan, bahwa penyebutan asas

  77

  desentralisasi bagi pemerintahan yang otonom adalah berlebihan . Tidak ada otonomi tanpa desentralisasi. Selanjutnya dikatakan, pemerintahan dikaitkan dengan pengertian “pemerintahan daerah” adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut atau berdasarkan asas desentralisasi. Pemerintahan dalam ketentuan ini sekaligus mengandung makna sebagai kegiatan atau aktifitas menyelenggarakan pemerintahan dan lingkungan jabatan yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Satu hal yang perlu ditambahkan, bahwa pemerintahan daerah memiliki arti khusus yaitu pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan menurut atau berdasarkan asas desentralisasi. Desentralisasi mengandung dua unsur pokok. Unsur yang pertama adalah terbentuknya daerah otonom dan otonomi daerah. Unsur yang kedua adalah penyerahan sejumlah fungsi

  78

  pemerintahan kepada daerah otonom. Selain itu bahwa, desentralisasi merupakan instrumen pencapaian tujuan bernegara dalam kerangka negara kesatuan bangsa yang demokratis. Tujuan desentralisasi adalah untuk demokratisasi, efektifitas dan efisiensi serta keadilan. Untuk itu, harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk 76 Kaho, Josef Riwo , Prospek Otonomi Daerah di Negara RI , (Jakarta: Rajawali Press,

  1991), Hal. 33 77 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2002), hal. 102 78 HAW. Widjaya, Penyelenggaraan otonomi Di Indonesia (Dalam Rangka Sosialiasi UU

No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah) , (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal.

  18 menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional. Dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administrasi.

79 Kebijakan desentralisasi harus dipahami tidak hanya

  sebagai pelimpahan urusan atau administrasi, melainkan meliputi pelimpahan perencanaan, pengambilan keputusan dan bentuk akuntabilitasnya.

  80 Seperti dikutip dari Mariun, alasan dianutnya desentralisasi oleh The Liang

  Gie dalam bukunya : Pertumbuhan Daerah di Negara Republik Indonesia, 1968, adalah sbb :