Kajian Yuridis Terhadap Beralihnya Kewenangan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

TESIS

Oleh

ALBERT LODEWYK SENTOSA SIAHAAN

127011030/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALBERT LODEWYK SENTOSA SIAHAAN

127011030/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

BEDAGAI

Nama Mahasiswa : ALBERT LODEWYK SENTOSA SIAHAAN Nomor Pokok : 127011030

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Bastari, MM) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Anggota : 1. Dr. Bastari, MM

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum


(5)

Nim : 127011030

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : KAJIAN YURIDIS TERHADAP BERALIHNYA

KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DARI PEMERINTAH PUSAT KE PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :ALBERT LODEWYK SENTOSA SIAHAAN


(6)

ini telah membuat pajak memiliki peran dan kontribusi sangat signifikan tidak hanya dalam aspek ekonomi tetapi juga di luar aspek ekonomi. Cara pemungutan pajak dikategorikan menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah. PBB P2 merupakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang awalnya dipungut oleh pemerintah pusat tetapi dengan keluarnya Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 maka pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan untuk Kabupaten Serdang Bedagai dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai berkaitan dengan beralihnya kewenangan pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Berdagai. Dalam peralihan tersebut, dijumpai berbagai masalah yaitu bagaimana pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebelum dan setelah beralihnya pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai, bagaimana pemenuhan keadilan dalam penetapan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Serdang Bedagai, Bagaimana menagih utang PBB Perdesaan dan Perkotaan sebelum pengalihan pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah Serdang Bedagai.

Metode Penelitian yang dilakukan adalah penenelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif sehingga pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik studi pustaka dan pengumpulan data sekunder sebagai data pendukung dilakukan wawancara di kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.

Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan maka kewenangan pemungutan PBB P2 dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai. Tarif dalam Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sudah memenuhi asas keadilan yaitu keadilan vertikal dan keadilan horizontal karena membedakan pengenaan pajak terhadap wajib pajak berdasarkan NJOP yaitu 0,1% dan 0,2% serta pajak yang sama terhadap NJOP yang sama. Upaya hukum terhadap tunggakan pajak PBB P2 sebelum dialihkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai ikut beralih menjadi kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai untuk menagih tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan di daerah Kabupaten Serdang Bedagai dapat dilakukan dengan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997.

Kata Kunci: Peralihan Kewenangan, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan


(7)

expenses. The importance of taxation has caused tax to have significant role and contribution either in the economic aspect or outside the economic aspect. Tax collection consists of state and local taxes. PBB P2 (P2 Tax on Land and Building) is rural and urban tax on land and building which was initially collected by the central government; but, by the issuance of the Regional Regulation of Serdang Bedagai No. 1/2012, the tax on land and building for this district was collected by Serdang Bedagai District Administration. The transfer of the authority to collect this tax had caused various problems: how about the collection of PBB P2 before and after the transfer occurred, how about fulfilling justice in setting the tariff of PBB P2 in Serdang Bedagai District, and how about billing PBB P2 before the transfer occurred.

The research used judicial normative and descriptive approach. Primary data were gathered by conducting library research method, and secondary data as the supporting data were gathered by conducting interviews at Regional Revenue Office of Serdang Bedagai District.

By the imposition of Regional Regulation of Serdang Bedagai District No. 1/2012 on Tax on Rural and Urban Land and Building, the authority to collect it was transferred from the central government to Deli Serdang District Administration. The tariff in the Regional Regulation of Deli Serdang District No. 1/2012 on Tax on Land and Building had met the principle of justice vertically ands horizontally because it differentiates the imposition of tax on taxpayers based on NJOP (0.1% and 0.2%) and the same tax on the same NJOP. Legal remedy on delinquent taxes of PBB P2 before the transfer occurred was that Deli Serdang District Administration became the authority to bill the delinquent taxes of PBB P2 by using, if possible, Warrant according to Law No. 19/2000 as the amendment of Law No. 19/1997.


(8)

diberikan kesehatan, hikmat, kebijaksanaan dan kesempatan serta kemudahan dalam menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “KAJIAN YURIDIS TERHADAP

BERALIHNYA KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN

BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DARI PEMERINTAH PUSAT KE PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI (STUDI PADA DISPENDA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI)”.

Dengan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran, dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Dr. Bastari, S.E., M.M., anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, saran dan waktunya dalam penulisan tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H., M.S., CN, selaku anggota komisi pembimbing dan Ketua Program Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran, dalam penulisan tesis ini. 5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi S.H., CN., M.Hum., selaku dosen penguji Program


(9)

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

7. Seluruh dosen/pengajar mata kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

8. Rekan-rekan di Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 2012 yang senantiasa memberikan dukungan moral dan material untuk kelancaran penyelesaian studi ini.

Ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada ayahanda, Lunggu Siahaan, S.E. dan Ibunda, Paula Tobing tercinta serta kakak (Florina, Cory dan Sere) yang telah memberikan dukungan semangat, kasih sayang, kesabaran dan doa-doa yang tiada hentinya.

Hanya Tuhan yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.

.

Medan, Desember 2014 Penulis


(10)

2. Tempat, Tanggal Lahir : 27 Agustus 1990

3. Jenis Kelamin : laki-laki

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Kristen Protestan

6. Alamat : JL. Karya Wisata Komp. JIP 1,

Medan

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Lunggu Siahaan, S.E.

2. Nama Ibu : Paula Tobing

3. Nama Saudara/i : 1. Florina Gloria Siahaan, S.E. 2. dr. Cory Oriensia Siahaan 3. Sere Tiorida Siahaan, S.H.

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Perguruan Kristen Imanuel

Kota Medan Tahun 1996-2002

2. SMP : SMP Perguruan Kristen Imanuel

Kota Medan Tahun 2002-2005

3. SMA : SMA St. Thomas 1

Kota Medan Tahun 2005-2008

4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Sumatra Utara (USU) Kota Medan

Fakultas Hukum Tahun 2008-2012

5. Perguruan Tinggi (S2) : Universitas Sumatera Utara (USU) Kota Medan Magister Kenotariatan Tahun 2012 - 2014


(11)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian ... 20

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 20

2. Sumber Data Penelitian ... 22

3. Alat Pengumpulan Data ... 23

4. Analisa Data ... 24

BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PBB P2 SEBELUM DAN SETELAH PERALIHAN DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ... 25

A. Pajak Bumi dan Bangunan ... 25


(12)

vii

Pusat ... 35

1. Dasar Hukum ... 35

2. Subjek Pajak ... 39

3. Objek Pajak ... 41

4. Dasar Pengenaan Pajak ... 44

5. Tarif Pajak ... 44

6. Perhitungan Pajak ... 45

7. Dana Bagi Hasil PBB P2 ... 47

C. Peralihan Pemungutan PBB P2 ... 48

1. Reformasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ... 48

2. Peralihan Pemungutan PBB P2 dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai . 55 D. Pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 58

1. Dasar Hukum ... 58

2. Subjek Pajak ... 59

3. Objek Pajak ... 61

4. Dasar Pengenaan Pajak ... 63

5. Tarif Pajak ... 64

6. Perhitungan Pajak ... 66

BAB III PEMENUHAN ASAS KEADILAN TERHADAP TERIF PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ... 71

A. Keadilan Menurut Hukum ... 71

B. Keadilan Menurut Perpajakan ... 74


(13)

viii

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG

BEDAGAI ... 85

A. Utang Pajak ... 85

B. Tunggakan PBB Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Serdang Bedagai ... 87

C. Upaya Hukum Penagihan Tunggakan PBB Perdesaan dan Perkotaan Sebelum Beralih dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105 LAMPIRAN


(14)

centerum : pusat

iniciator : penggagas

landrente : pajak tanah

law : hukum

natura : hasil

nomous : undang-undang

onafharzkelijkheid : kemerdekaan

observaso : penelitian

outonomy : otonomi

onbeveghed : wewenang

planner : perencana

rechtmacht : hukum

regeling : perundangan

regulerend : mengatur

social empowerment : pemberdayaan masyarakat

souverign : raja

supervisor : pengurus

suprevisi : pengawasan

tempus : waktu


(15)

BW : Burgerlig Wetboek

DJP : Direktorat Jendral Pajak

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Ipeda : Iuran Pembangunan Daerah

KPP : Kantor Pelayanan Pajak

KUP : Ketentuan Umum Perpajakan

NJOP : Nilai Jual Objek Pajak

NJOPTKP : Nilai Jual Objek Pajak Tidaak Kena Pajak

PBB P2 : Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

PDRD : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

PPN : Pajak Pertambahan Nilai

PPh : Pajak Penghasilan

PPnBM : Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah

PSS : Penagihan Seketika Sekaligus

SKP : Surat Ketetapan Pajak

SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang

STP : Surat Tagihan Pajak

UU : Undang-Undang


(16)

ini telah membuat pajak memiliki peran dan kontribusi sangat signifikan tidak hanya dalam aspek ekonomi tetapi juga di luar aspek ekonomi. Cara pemungutan pajak dikategorikan menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah. PBB P2 merupakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang awalnya dipungut oleh pemerintah pusat tetapi dengan keluarnya Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 maka pemungutan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan untuk Kabupaten Serdang Bedagai dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai berkaitan dengan beralihnya kewenangan pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Berdagai. Dalam peralihan tersebut, dijumpai berbagai masalah yaitu bagaimana pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebelum dan setelah beralihnya pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai, bagaimana pemenuhan keadilan dalam penetapan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Serdang Bedagai, Bagaimana menagih utang PBB Perdesaan dan Perkotaan sebelum pengalihan pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah Serdang Bedagai.

Metode Penelitian yang dilakukan adalah penenelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif sehingga pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik studi pustaka dan pengumpulan data sekunder sebagai data pendukung dilakukan wawancara di kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.

Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan maka kewenangan pemungutan PBB P2 dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai. Tarif dalam Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sudah memenuhi asas keadilan yaitu keadilan vertikal dan keadilan horizontal karena membedakan pengenaan pajak terhadap wajib pajak berdasarkan NJOP yaitu 0,1% dan 0,2% serta pajak yang sama terhadap NJOP yang sama. Upaya hukum terhadap tunggakan pajak PBB P2 sebelum dialihkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai ikut beralih menjadi kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai untuk menagih tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan di daerah Kabupaten Serdang Bedagai dapat dilakukan dengan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997.

Kata Kunci: Peralihan Kewenangan, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan


(17)

expenses. The importance of taxation has caused tax to have significant role and contribution either in the economic aspect or outside the economic aspect. Tax collection consists of state and local taxes. PBB P2 (P2 Tax on Land and Building) is rural and urban tax on land and building which was initially collected by the central government; but, by the issuance of the Regional Regulation of Serdang Bedagai No. 1/2012, the tax on land and building for this district was collected by Serdang Bedagai District Administration. The transfer of the authority to collect this tax had caused various problems: how about the collection of PBB P2 before and after the transfer occurred, how about fulfilling justice in setting the tariff of PBB P2 in Serdang Bedagai District, and how about billing PBB P2 before the transfer occurred.

The research used judicial normative and descriptive approach. Primary data were gathered by conducting library research method, and secondary data as the supporting data were gathered by conducting interviews at Regional Revenue Office of Serdang Bedagai District.

By the imposition of Regional Regulation of Serdang Bedagai District No. 1/2012 on Tax on Rural and Urban Land and Building, the authority to collect it was transferred from the central government to Deli Serdang District Administration. The tariff in the Regional Regulation of Deli Serdang District No. 1/2012 on Tax on Land and Building had met the principle of justice vertically ands horizontally because it differentiates the imposition of tax on taxpayers based on NJOP (0.1% and 0.2%) and the same tax on the same NJOP. Legal remedy on delinquent taxes of PBB P2 before the transfer occurred was that Deli Serdang District Administration became the authority to bill the delinquent taxes of PBB P2 by using, if possible, Warrant according to Law No. 19/2000 as the amendment of Law No. 19/1997.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak mengenal istilah pajak. Bahkan boleh dikatakan semua negara di dunia ini telah menerapkan sistem perpajakan di negaranya. Pajak merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu negara dalam melaksanakan kebijakanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat kontraprestasi, yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.1Rumusan ini diartikan dengan lebih menekankan salah satu fungsi pajak tersebut yaitu fungsi budgter

(keuangan) dan fungsiregulered(mengatur)2.

Pajak memiliki arti sangat penting bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Pajak merupakan pungutan yang bersifat politis dan strategis sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat (1)3. Bersifat politis karena pemungutan pajak adalah perintah konstitusi dan bersifat strategis dimana pajak merupakan tumpuan utama bagi negara dalam membiayai kegiatan pemerintah

1

Darwin,Pajak Bumi dan Bangunan, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2009), hal.1 2

Saidi Djafar,Perlindungan Hukum Wajib Pajak dengan Penyelesaian Sengketa Pajak, (Makasar: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 5

3Pasal 23 ayat 1, berbunyi: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


(19)

dan pembangunan4. Bagi masyarakat sendiri, pajak adalah sarana konkrit untuk berkontribusi terhadap negara sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat dan negara terakselerasi.

Arti penting perpajakan ini telah membuat pajak memiliki peran dan kontribusi sangat signifikan tidak hanya dalam aspek ekonomi tetapi juga di luar aspek ekonomi. Sesuai dengan fungsi anggarannya, pajak menjadi pemasukan utama dalam APBN. Pada tahun 2013 penerimaan dari sektor pajak mencapai Rp 1.099 Trilliun dari penerimaan Negara sebesar Rp 1.529 Trilliun5, dimana pemungutan pajak tersebut berasal dari PPN, PPh, PPnBM dan jenis pajak lainnya selaku pajak pusat dan untuk penerimaan pajak daerah berasal dari PBB Pedesaan dan perkotaan dan BPHTB serta pajak lainya yang dipungut oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan kewenangan pemungutan pajak, pajak dapat dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat terdiri dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, PBB Perkebunan, PBB Perhutanan, PBB Pertambangan dan Bea Metrai, sedangkan pajak daerah terdiri atas pajak provinsi dan pajak kabupaten/ kota. Pajak Provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, sedangkan Pajak Kabupaten/ Kota terdiri atas Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air

4Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 7 5www.anggaran.depkeu.go.id,jumlah penerimaan pajak,tanggal. 6 maret 2014.


(20)

Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Salah satu dari jenis pajak daerah di Indonesia adalah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB P2). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dimana Pajak Bumi dan Bangunan ini dipungut oleh pemerintah Pusat melaui Direktorat Jendral Pajak Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka kewenangan memungut pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dialihkan kepada pemerintah daerah kabupaten/ kota sehingga pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan merupakan pajak kabupaten/ kota. Adapun tujuan dari pengalihan kewenangan pengelolaan pajak bumi dan bangunanan pedesaan dan perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini adalah agar adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga tujuan pembangunan daerah dapat lebih cepat terlaksana.

Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dikenakan atas bumi dan bangunan kecuali untuk pertambangan, perhutanan dan perkebunan, sedangkan subjeknya adalah orang atau badan hukum yang secara nyata mempunyai suatu hak dan atau memperoleh manfaat atas tanah dan bangunan6. Keberadaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan sebagai salah satu jenis pajak dapat dimengerti mengingat bumi dan bangunan telah memberikan keutungan dan atau kedudukan


(21)

sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai sesuatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari bumi atau bagunan kecuali kawasan yang digunakan dalam pertambangan dan perkebunan. Sudah wajar dan sepantasnya apabila mereka yang memperoleh manfaat atas bumi atau bangunan tersebut diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah daerah dalam bentuk pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka kewenangan memungut diserahkan kepada daerah. Kewenangan yang dialihkan meliputi rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang yaitu penetapan tarif pajak, penetapan NJOP, penetapan NJOPTKP, sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya. Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka terbit Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai nomor 1 tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai dasar pemungutan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang dialihkan dari pemerintah pusat.

Keadilan merupakan suatu cita-cita pemerintah dalam melakukan penyelenggaraan negara, prinsipnya adalah bahwa beban pengeluaran pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan


(22)

kesanggupan masing-masing golongan.7 Konsep ini merupakan konsep keadilan sosial yang dianut hampir seluruh negara.

Prinsip keadilan digunakan dalam pemungutan perpajakan. Keadilan tersebut terlihat dalam penetapan tarif pajak. Dalam hal ini terlihat pengenaan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan Perkotaan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang membedakan dua golongan saja antara nilai jual kena pajak sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 dikenakan tarif 0,1% dan nilai jual kena pajak diatas Rp 1.000.000.000,00 dikenakan tarif 0,2%. Berbeda dengan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2012 atas perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang dibedakan menjadi lima golongan, yaitu NJOP sampai dengan Rp 499.999.999,00 dikenakan tarif 0,115%, NJOP dari Rp 500.000.000,00 – Rp 999.999.999,00 dikenakan tarif 0,125%, NJOP Rp 1.000.000.000,00 – Rp 1.999.999.999,00 dikenakan tarif 0, 215%, NJOP dari Rp 2.000.000.000,00 – 3.999.999.999,00 dikenakan tarif 0,225%, NJOP lebih besar daripada Rp 4.000.000.000,00 sebesar 0,275%. Penggolongan ini dinilai mewakilkan golongan masyarakat antara golongan mampu dan golongan yang tidak mampu.

Selama dipungut oleh pemerintah pusat, terdapat tunggakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan sebesar Rp 20.540.330.000,008. Karena adanya

7Darwin,Op. Cit, hal. 71

8Hasil wawancara dengan Pegawai Bidang Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Serdang Bedagai, Nasruddin.


(23)

pengalihan kewenangan pemungutan pajak yang mana di dalamnya termasuk penagihan pajak, maka atas tunggakan tersebut penagihannya juga dialihkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai.

Upaya yang harus dilakukan pemerintah mengingat daluarsa penagihan pajak adalah lima tahun yaitu upaya penagihan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengingat pasal 1 angka 19 dan pasal 2 ayat 110 Undang Undang nomor 19 tahun 2000 perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, pasal 102 ayat 111 Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal 17 ayat 112Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai nomor 1 tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, maka tunggakan pajak daerah Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp 20.540.330.000,00 dapat ditagih dengan menggunakan surat paksa. Akan tetapi kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan penagihan pajak dengan surat paksa tersebut belum dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.

Adapun Kabupaten Serdang Bedagai merupakan tempat studi untuk meningkatkan mutu kajian penelitian ini dikarenakan Kabupaten Serdang Bedagai

9

Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masukdan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurtu undang-undangdan peraturan daerah.

10Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak daerah.

11Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

12Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.


(24)

merupakan daerah yang memiliki unsur pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, sehingga tepat kiranya untuk diharmonisasikan dengan dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai yang dikenakan kepada perdesaan dan perkotaan.

Dengan demikian sangat tepat kiranya karena memiliki unsur pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk meneliti lebih lanjut sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Kajian Yuridis terhadap Beralihnya Kewenangan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut di atas maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni:

1. Bagaimanakah kewenangan pemungutan PBB P2 sebelum dan setelah beralih dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai?

2. Bagaimanakah pemenuhan asas keadilan dalam penetapan tarif PBB P2 di Kabupaten Serdang Bedagai?

3. Bagaimanakah upaya hukum untuk menagih utang PBB P2 sebelum pengalihan kewenangan pemungutan dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai?


(25)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang merupakan tujuan dari tesis ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan jawaban dari perumusan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kewenangan pemungutan PBB P2 sebelum dan setelah beralih dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. 2. Untuk mengetahui pemenuhan asas keadilan dalam penetapan tarif PBB P2 di

Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Untuk mengetahui upaya hukum untuk menagih utang PBB P2 sebelum pengalihan kewenangan pemungutan dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang positif bagi pengembangan substansi disiplin di bidang ilmu hukum, khusunya hukum pajak, berkaitan dengan beralihnya kewenangan pengelolaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Manfaat lain yang diharapkan dalam penelitian ini, yakni agar pembuat kebijakan dan pembuat peraturan baik ketentuan umum, undang undang dan peraturan daerah agar lebih hati-hati membuat kebijakan peraturan sehingga tercipta kepastian hukum di masyarakat. Serta diharapkan pula memberikan masukan dalam meningkatkan


(26)

pemahaman masyarakat dan para praktisi hukum tentang pajak bumi bangunan perdesaan dan perkotaan.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas-universitas lainnya di Indonesia, maka penelitian dengan judul “Kajian Hukum terhadap Beralihnya Kewenangan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dari Pusat ke Daerah. (Studi kasus pada Dinas Pendapatan Daerah Serdang Bedagai)” belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.

Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut pajak bumi dan bangunan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascarjana, Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Marudut Situmorang (087005063), Judul Tesis: Analisis Yuridis Terhadap Penentuan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Dalam Sistem Otonomi Daerah di Kabupaten Pakpak Barat.

Permasalahannya adalah:

a. Bagaimana realisasi penentuan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan di Kabupaten Pakpak Barat?

b. Bagaimana mekanisme penentuan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan di Kabupaten Pakpak Barat?


(27)

c. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan masyarakat jika tidak menerima penetapan yang dilakukan pemerintah?

2. Elfiany Ginting (027011013), Judul Tesis: Penerapan Asas Keadilan dalam Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (Suatu Studi di Kantor Pelayanan PBB Medan II).

Permasalahannya adalah:

a. Bagaimana persoalan keadilan yang dihadapi dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan?

b. Bagaimana hak yang dimiliki wajib pajak untuk melakukan upaya hukum terhadap penetapan pajak bumi dan bangunan?

c. Apakah pajak bumi dan bangunan terkait dengan kemampuan ekonomis wajib pajak?

3. Heri Azwar Anas (087011048), Judul Tesis: AnalisaYuridis Penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Banda Aceh.

Permasalahannya adalah:

a. Bagaimana penetapan nilai jual objek pajak oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat?

b. Bagaimana prinsip-prinsip dalam penetapan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan?

c. Bagaimana kaitan antara nilai jual objek pajak dengan bea perolehan hak atas tanah dan pajak penghasilan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan?


(28)

Dari hasil penelusuran kepustakaan penelitian, penelitian yang menyangkut Pajak Bumi dan Bangunan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa diluar program studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Hernanda Bagus Priandana, B4A007120, (Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang)

Judul Tesis: Keberadaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak Pusat dalam era Otonomi Daerah.

Permasalahannya:

a. Apakah ada kemungkinan pemerintah pusat dapat menyerahkan pajak bumi dan bangunan kepada pemerintah daerah sebagai pajak daerah untuk menaikkan penerimaan daerahnya dengan berlakunya Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan Undang Undang Nomor 33 tahun 2004? b. Apakah pemerintah daerah mampu melaksanakan pengambilalihan

administratif pengelolaan pajak bumi dan bangunan?

2. Ni Luh Putu Miarmi, 1090561022, (Program Magister Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana).

Judul Tesis: Pengaturan Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan di Kawasan Jalur Hijau.

Permasalahannya adalah:

a. Bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpajakan?


(29)

b. Apa dasar pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan? c. Bagaimana harmonisasi hukum dalam pengaturan pembebasan kewajiban

pembayaran pajak di kawasan jalur hijau?

Dari hasil penulusuran kepustakaan yang dilakukan yang berkaitan dengan topik penelitian baik judul maupun permasalahan tidak ada yang sama. Oleh karena itu, secara akademis dapat dikatakan penulisan penelitian ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kontiunitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantng pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori13. Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus dilalui dengan menghadapkannya pada fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya14. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan memperkiraan serta menjelaskan gejala yang diamati15.

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu kepada teori kewenangan (Theorie Van Bevoegheid) berkaitan dengan beralihnya

13Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982), hal 6

14ibid

15JJJ. M. Wisman,Penelitian Ilmu Ilmu Sosial, Jilid I Penuntun M. Hisyam, (Jakarta: Uji Press, 1996), hal. 203


(30)

kewenangan pemugutan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Sehingga dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan”16.

F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan H.R. berpendapat “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara)17.

Ferrazi mendefenisikan kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu18.

Unsur kewenangan tersebut adalah:

a. Pengaruh, ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum.

b. Dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya.

c. Konformitas hukum, mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu standard umum (semua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu)19.

16Philipus M. Hadjon, “tentang Wewenang”, (Jakarta: Yuridika, No.5&6 Tahun XII, , 1997) , hlm.1

17Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara,(Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 100 18Ganjong,Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 93


(31)

Selain menggunakan teori kewenangan dalam penulisan tesis ini juga menggunakan teori keadilan. Menurut W. Fridman suatu undang-undang harus memberikan keadaan yang sama kepada semua pihak walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut20.

Keadilan merupakan fokus utama dari setiap hukum dan keadilan tidak dapat begitu saja dikorbankan seperti pendapat John Rawls sebagai berikut:

Nilai keadilan tidak boleh ditawar-tawar dan harus diwujutkan ke dalam masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Suatu ketidakadilan hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut dibenarkan jika hal tersebut diperlukan untuk manghindari ketidakadilan yang lebih besar. Karena merupakan kebajikan yang terpenting dalam kehidupan manusia, maka terhadap kebenaran dan keadilan tidak ada kata kompromi.21

Menurut Rawls, keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.22 Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu pertama memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbak balik bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal

20W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kasus atas Teori-Teori Hukum.hal.

21Munir Fuady,Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Galia Indonesia, 2007), hal. 94

22Jhon Rawls,A Theory of Justice. Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3


(32)

utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas dan diperuntukan bagi keutungan orang-orang yang paling kurang beruntung.

Fungsi teori dalam penulisan tesis ini adalah untuk memberikan arahan dan petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati sehingga kerangka teori yang dipaparkan adalah berdasarkan ilmu hukum. Maksudnya, penelitian ini berusaha untuk memahi hukum pajak dalam pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan kesiapan daerah untuk melakukan pengelolaan pajak bumi dan bangunan yang kewenangannya telah dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi sehingga terciptanya otonomi daerah.

Istilah otonomi dan “outonomy” secara etimologis dari bahasa Yunani berasal dari kata “autos” yang berarti sendiri dan”nomous” yang berarti undang-undang, hukum dan peraturan dan berarti “perundangan sendiri”(zelfwetgeving). Menurut

encyclopedia of cocial science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual indeoendence.

Otonomi adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid and zelfsatndigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.


(33)

Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian

(zelftandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafharzkelijkheid)23. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawaaban. Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Otonomi sekedar subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Otonomi adalah fenomena negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan landasan dari pengertian dan isi otonomi.

Sedangkan HAW. Widjaya mengatakan bahwa proses peralihan dari sistem dekosentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi dari pemungutan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan adalah mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan merata. Dimana pembangunan daerah yang merupakan bagian integral dari pembagunan nasional harus mengedepankan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Konteks otonomi sendiri adalah bahwa pemerintah daerah diberi keleluasaan menyelenggaraan dan mengatur sendiri urusan rumah tangganya. Ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah

23Bagir Manan,Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, 1993, (Bundung: Unsika Karawang), hal. 33


(34)

menyebutkan bahwa otonom daerah adalah “Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan daerah otonom berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah adalah:

“Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dengan otonomi daerah, kewenangan daerah otonomi untuk mengurus daerahnya sesuai dengan keinginan masyarakat semakin tinggi. Jika sebelumnya daerah hanya sebagai operator saja dalam pembangunan, maka kini peran daerah meluas menjadiiniciator, planner, fund rising, supervisor ataupun evaluator. Dengan demikian, paradigma “membangun daerah lebih difokuskan”, mempunyai arti bahwa daerah harus punya inisiatif, prakarsa, kemandirian dalam menyusun, merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerah. Alasannya adalah daerah lebih tahu tentang masalah dan potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstrak dan kenyataan. Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai sarana untuk mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai


(35)

penelitian (observasi) masalah yang akan diteliti24. Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dalam defenisi operasional25.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dan kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian26. Pentingnya defenisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu:

a) Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan27.

b) PBB adalah singkatan dari Pajak Bumi dan Bangunan yang artinya adalah pajak yang dikenakan atas harta tak gerak berupa bumi dan atau bangunan28.

24

John Creswell Research Design,Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Alih Bahasa Angkatan III dan IV, Kajian Ilmu Kepolisian (KIK)-UI Bekerjasama dengan Nur Khabibah, (Jakarta: KIK Press, 1994), hal. 79.

25Sumardi Surya Brata,Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 28.

26Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press, 1984), hal. 33. 27R. Santoso Brotodiharjo,Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Ketiga, (Bandung: PT Eresco, 1993), hal. 5-6


(36)

c) PBB P2 adalah singkatan dari Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan yang artinya adalah pajak atas bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan29.

d) Peralihan kewenanangan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan adalah suatu tindakan menyebabkan berubahnya hak pengelolaan terhadap pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan dari satu lembaga ke lembaga lain.

e) Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan30.

f) Desentralisasi fiskal adalah penyerahan kewenangan dalam bentuk fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.

g) Tarif Pajak adalah persentasi pengenaan pajak sesuai dengan objek pajaknya. h) NJOP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak yang artinya adalah harga

rata-rata jual beli yang diperoleh dari harga objek lain yang sejenis, Nilai Jual Objek Pajak Pengganti atau nilai baru.31

29www.pajak.go.id,Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan,tanggal 28 April 2014, hal 3.

30Noval Scene,Otonomi daerah di Indonesia, http://id/m.wikipedia.org/wiki.Otonomi, 6 Maret 2014, hal. 15

31Pasal 1Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.


(37)

i) NJOPTKP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang artinya sebagai pengurang dari harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.

j) Tunggakan pajak adalah besarnya pajak terutang yang belum dibayarkan oleh wajib pajak yang disebabkan karena pemeriksaan dan karena wajib pajak tidak sanggup membayar.

k) Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, melaksanakan penagihan seletika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.32

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, maksudnya peneltian ini berupaya untuk memaparkan segala permasalahan yang ada dengan tujuan memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis yang dimaksudkan berdasarkan gambaran fakta yang diperoeh

32Pasal 1Undang Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Penagihan Pajak Denga Surat Paksa.


(38)

akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan yang timbul khususnya pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dengan didasarkan pula kepada peraturan perundang-undangan tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.33

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang digunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan bahan-bahan pustaka dengan meneliti penelitian tehadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.34

Pendeketan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute opproach). Pendekatan undang-undangan (statute opproach)

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.35 Sedangkan pendekatan historis (historicalapproach) dilakukan dengan mengkaji latar belakang yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.36

33Ibid, hal17

34Muslan Abdurrahman,Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 127.

35Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 93 36Salim HS, Erlies Septiana Nurbani,Penerapan teori hukum pada penelitian tesis dan Disertasi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), hal 18


(39)

2. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan bahan hukum sekunder serta bahan-bahan hukum tersier.37

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau bahan non hukum. a. Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang berisikan peraturan

perundang-undangan, yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar 1945 dan hasil amendemennya.

2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah.

4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.

6) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

7) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2000 tanggal 10 Maret Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.


(40)

8) Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai nomor 1 tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan.

9) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 82/KMK.04/2000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu buku-buku, peraturan perundang-undangan, majalah-majalah, surat kabar, buletin maupun makalah makalah yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu permasalahan perpajakan.38

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder39, berupa: kamus bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, kamus yang memuat peristilahan hukum, Enslikopedia hukum, Situs di Internet dan bahasa lain yang menunjang penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data (bahan hukum) dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) yang digunakan untuk memperoleh data dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data primer, sekunder maupun tersier yang berkaitan dengan peralihan kewenangan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan. Disamping itu dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara langsung terhadap pegawani kantor Dinas

38Bambang,Op cit, hal 18 39Ibid


(41)

Pedapatan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai berkaitan dengan peralihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan di Kabupaten Serdang Bedagai.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, selanjutnya akan dilakukan proses pengeditan data. Ini dilakukan agar akurasi data dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara menjejaki kembali ke sumber data. Setelah pengeditan, selanjutnya akan dilakukan analisis data secara

deskriptif-analitis-kualitatif, dan khususnya terhadap data dalam dokumen-dokumen akan dilakukan kajian isi (content analysis).40

Lexy J. Moleong mengemukakan bahwa kajian isi adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan sehingga pokok permasalahan yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini dapat terjawab.41

Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan metode deduktif yakni berpikir dari yang umum menuju hal yang khusus dengan menggunakan perangkat normatif. Kesimpulan adalah jawaban atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan akan memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dalam penelitian ini.

40Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 163


(42)

BAB II

KEWENANGAN PEMUNGUTAN PBB P2 SEBELUM DAN SETELAH PERALIHAN DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH

DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI A. Pajak Bumi dan Bangunan

1. Sejarah PBB di Indonesia

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang saat ini dikenal oleh masyarakat luas sebagai pajak atas kepemilikan bumi dan bangunan di Indonesia merupakan perubahan atas berbagai jenis pajak atas bumi (dan juga bangunan) yang sebelum tahun 1986 diberlakukan di Indonesia. Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pajak atas bumi yang sebelum tahun 1986 diberlakukan di Indonesia. Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pungutan yang dikenakan atas bumi dan hasil bumi telah dikenakan oleh penguasa kepada rakyat sejak masa penjajahan, bahkan sebenarnya sudah sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hanya saja nama pungutan tersebut mungkin belum dibakukan, tetapi pada dasarnya sama saja dengan pajak bumi dan bangunan.

Pada abad ke-17 dan seterusnya, pada saat Indonesia berada dalam penjajahan Belanda dan Inggris, pajak atas bumi diberlakukan secara resmi dengan nama yang baku. Berbagai jenis pajak atas bumi dan juga bangunan kemudian diterapkan di Indonesia dengan berbagai nama dan aturan, dimana ketentuan tentang pajak tersebut disesuaikan oleh pemerintah yang ketentuan tentang pajak tersebut disesuaikan oleh pemerintah yang berkuasa pada masa tertentu di Indonesia42.

42Marihot,Pajak Bumi dan Baangunan di Indonesia (teori dan praktik),(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 4


(43)

a. Pemungutan Pajak atas Tanah Sampai Masa VOC

Pajak atas tanah sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala. Hanya saja dalam berbagai buku sejarah Indonesia tidak dapat ditemukan adanya bukti pemungutan pajak atas tanah di Indonesia pada masa pra sejarah. Hal ini wajar saja mengingat pada masa pra sejarah belum ada bukti-bukti tulisan, yang dapat menggambarkan adanya pemungutan pajak kepada masyarakat. Bukti tertulis tentang adanya pengenaan pajak atas tanah di Indonesia baru ditemukan pada masa sejarah.

Dalam sejarah Indonesia suatu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelius de Houtman datang ke Indonesia dengan maksud untuk berdagang di Indonesia pada akhir abad ke-1643. Pada tahun 1602 didirikan “Verenigde Oost-Indische Compagnie” disingkat dengan VOC atau kompeni, yang merupakan suatu persekutuan dagang. Kompeni memperoleh hak monopoli dari pemerintah Belanda, sehingga hanya Kompeni yang boleh berdagang di antara Tanjung Harapan dan Selat Megalhaes. Untuk itu kompeni memperoleh kekuasaan dari pemerintah Belanda, sehingga hanya kompeni yang boleh berdagang di antara Tanjung Harapan dan Selat Magelhaes. Untuk itu kompeni memperoleh kekuasaan sebagai pemerintahan dari pemerintah Belanda. Tujuannya adalah untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Kompeni melakukan aturan Verplicte leverantien atas masyarakat jajahan di Nusantara, yaitu pemberian yang diwajibkan, rata-rata 20% (1/5) dari semua hasil produksi44.

43Ibid, hal. 5

44Redaksi Majalah Berita Pajak,Meninjau Sejarah Perkembangan IPEDA Sebelum Era PBB, (Jakarta: Majalah Berita Nomor 1186), hlm. 38


(44)

b. Pemungutan Pajak Atas Tanah Masa Penjajahan Inggris

Perebutan kekuasaan oleh negara-negara di Eropa terhadap negara jajahan di Asia menjadi awal masuknya Inggris ke nusantara. Tentara Inggris dalam bulan Agustus 1811 mendarat dari di Pulau Jawa dan menyerang Belanda. Sampai pada tanggal 17 September 1811 Janssens menyerah kepada Inggris. Pemerintah Inggris menunjuk Thomas Stanford Raffles menjadi kepala pemerintahan di jawa dan daerah taklukannya.45

Sistem pemajakan atas tanah yang diterapkan oleh Raffles diambil dari pajak tanah di Bombay yang sedikit banyak disesuaikan dengan keadaan di Pulau Jawa dan daerah taklukan Inggris lainnya pada waktu itu. Untuk itu Raffles mengeluarkan suatu instruksi yang disebut Landrevenue Instruction yang dilaksanakan di Pulau Jawa dan daerah taklukan Inggris lainnya yang merupakan saduran dari landrevenue

tersebut diciptakan oleh Sultan Akhbar dan Kerajaan Islam Mongol.46

Landrent diberlakukan menurut peraturan yang sudah berlaku di Brits Indie (India). Peraturan baru ini didasarkan kepada dalil, yang dibawa dari India, yaitu bahwa semua tanah adalah milik “souverign” (raja) dan kepal-kepala desa dianggap sebagai penyewa dari tanah-tanah yang diusahakan oleh desa. Oleh sebab itu mereka harus membayar sewa atau landrent, berupa barang natura (hasil) yang tetap.47

Landrent sebagai pajak tanah merupakan pengganti dua macam pungutan yang dipungut pada masa kompeni (VOC) yaitu:

45Ibid, hlm. 38 46Ibid., hlm. 39

47Soemitro Rochmat,Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1994, (Bandung: PT. Eresco), hlm. 202


(45)

a. Contingenten, yaitu pungutan sebagian dari hasil bumi yang jenis tanamannya dipaksakan, dengan harga yang murah sekali di daerah yang langsung dikuasai kompeni.

b. Verplichte Leveratien, yaitu pungutan oleh pemerintah VOC dengan diberi ganti rugi atas dasar persetujuan dengan penduduk dengan perantara raja-raja yang bersangkutan.

c. Pemungutan Pajak atas Tanah Masa Penjajahan Hindia Belanda

Tidak berapa lama aturan landrent berlaku di Pulau Jawa, sudah tersiar kabar, bahwa Napoleon jatuh dan Negeri Belanda mendapat kemerdekaannya kembali.

Conventie London tahun 1814 menetapkan, bahwa Belanda akan mendapat tanah jajahannya kembali, kecuali Ceylon dan kedudukannya di Afrika Selatan. Kabar ini mengecewakan Raffles dan pemerintah Inggris umumnya. Penggantiannya, John Fendall, menyerahkan Indonesia kepada Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816.48

Saat pemerintah penjajahan Hindia Belanda kembali berkuasa, nama landrent diganti manjadi landrente. Tata cara dan pelaksanaan pajak atas tanah dengan sistem yang dianut oleh Raffles dilanjutkan dengan beberapa perbaikan yang ditunjuk untuk keadilan dan kepentingan rakyat. Setelah pemerintah Penjajahan Hindia Belanda berkuasa di India Belanda (sekarang Indonesia), diundangkan Staatsblad (Lembaran Negara) 1818 Nomor 14, yang berlaku untuk tahun 1818 saja kemudian diganti dengan Staatsblad 1819 Nomor 5 yang berlaku untuk tahun 1819 dan untuk tahun tahun berikutnya yang menentukan bahwa landrente ditetapkan perdesa.


(46)

d. Pemungutan Pajak atas Tanah Masa Penjajahan Jepang

Selama pemerintahan Bala Tentara Jepang berkuasa di Indonesia mulai bulan Maret 1942 sampai saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pajak tanah dilaksanakan terus seperti biasa dengan segala kegiatannya dan tetap menurut undang-undang pajak tanah 1939, Staatsblad 1939 No. 240 sampai dengan 243. Dalam penerapannya pajak tanah (Landrente) diganti menjadi pajak bumi.

Instansi yang menyelenggarakan pajak bumi dan bangunan adalah

Gunaekanbu Zaimubu bagian pajak bumi. Pimpinan-pimpinan instansi yang menangani pajak bumi bangsa Belanda diganti dengan pimpinan-pimpinan bangsa Indonesia.

Departemen Van Financaien diubah menjadi Gunaekanbu Zaimubu dan sebagai bagian dari Zaimubu dibentuk Zaimubu Shuzeika yang mengurus macam-macam pajak dan beacukai. Pendudukan Jepang atas daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura berada di bawah kekuasaan bagian lain dari Bala Tentara Jepang, yaitu Minseibu sehingga kekuasaan Kantor Besar bagian Pajak Bumi hanya terbatas di Pulau Jawa dan Madura.

e. Pajak atas tanah yang Berlaku Setelah Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka, berbagai jenis pajak yang sebelumnya dipungut oleh pemerintah penjajahan Belanda maupun Jepang tetap dipungut oleh pemerintah Indonesia, antara lain Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, Aturan Bea Materai 1921 dan Pajak Bumi. Pemungutan pajak pajak tersebut didasarkan pada ordonansi


(47)

(undang-undang) yang dibuat pada masa penjajahan Belanda karena belum ada undang-undang yang menggantikannya. Penerapan berbagai ordonansi tersebut didasarkan pada ketentuan Peralihan Undang-Undang 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam perkembangan selanjutnya dilakukan beberapa perubahan dalam pelaksanaan pemungutan pajak tersebut di Indonesia. Dalam hal pengenaan pajak atas bumi di Indonesia, Landrente yang dipungut berdasarkan Staatsblad 1939 yang ada pada masa penjajahan Jepang diubah menjadi Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

Berbagai jenis pajak yang diberlakukan atas tanah dan juga bangunan di Indonesia sampai dengan tahun 1955 mengakibatkan adaya beban pajak berganda bagi masyarakat, karena atas suatu tanah dan bangunan dimungkinkan dipungut lebih dari satu jenis pajak, dan semua dilakukan secara legal karena didasarkan pada

ordonansidan undang-undang. Hal ini membuat wajib pajak enggan membayar pajak seharusnya hanya membayar pajak atas objek pajak yang dimiliki atau dimanfaatkannya saja.

Seiring dengan reformasi perpajakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR sejak tahun 1983, maka sistem pemajakan atas tanah dan bangunan di Indonesia juga dirombak total mulai tahun 1986. Hal ini dilakukan dengan menghapus semua jenis pajak yang sampai dengan tahun 1985 dipungut terhadap


(48)

objek pajak berupa tanah dan atau bangunan dan menggantinya dengan satu jenis pajak yang disebut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pemenuhan PBB dilakukan dengan dilandasi pada dasar hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Subjek pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata: memperoleh suatu hak atas bumi dan atau, memperoleh manfaat atas bumi dan atau, memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Badan hukum dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu49: 1. Menurut bentuknya, artinya pembagian badan hukum berdasarkan pendiriannya (diatur dalam NBW).

a. Badan hukum publik

Misalnya: negara, provinsi, kota praja, majelis-majelis, lembaga-lembaga dan bank negara.

b. Badan hukum privat

Misalnya: perkumpulan-perkumpulan, PT, yayasan dan sebagainya.

2. Menurut peraturan yang mengaturnya, artinya pembagian badan hukum berdasarkan ketentuan yang mengatur badan hukum tersebut.

a. Badan hukum yang terletak di lapangan hukum perdata (BW).

Misalnya: maskapai Andil Indonesia, Perkumpulan Indonesia, Koperasi Indonesia.

3. Menurut sifatnya terbagi atas dua macam, yaitu:


(49)

a. Korporasi dan b. Yayasan

Perseroaan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanannya50.

3. PBB Sebagai Pajak Properti

Berdasarkan apa yang menjadi objek pajak dan siapa yang ditetapkan menjadi subjek pajak dan wajib pajak, maka PBB dapat diartikan sebagai pajak yang dipungut atas pemilikan/ penguasaan dan atau pemanfaatan bumi dan atau bangunan di Indonesia.

PBB merupakan pajak yang ditunjuk secara luas yang dikenakan baik atas pemilikan maupun pemanfaatan bumi dan atau bangunan. Karena itu setiap pemilikan atau pemanfaatan atas bumi dan atau bangunan di Indonesia akan dikenakan pajak. Pengenaan PBB tidak terkait sama sekali dengan bukti pemilikan tanah dan atau bangunan51.

PBB adalah pajak negara yang bersifat kebendaan. Pajak kebendaan pada umumnya tidak memperhatikan keadaan wajib pajak dalam penentuan besarnya pajak terutang tetapi mendasarkan pada objek pajak yang sesuai ketentuan undang undang pajak harus dikenakan pajak. Objek pajak, baik yang besar maupun yang kecil, akan

50Pasal 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


(50)

dikenakan pajak sesuai dengan keadaan objek pajak tersebut. Pada PBB besarnya pajak terutang sepenuhnya didasarkan pada keadaan objek pajak yang tercermin pada besarnya NJOP bumi dan atau bangunan52.

PBB adalah pajak yang dikenakan atas harta tidak bergerak, oleh sebab itu yang dipentingkan adalah objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subjek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak terutang. Hal ini membuat PBB disebut juga pajak yang objektif. Walaupun pajak ini merupakan pajak yang objektif tetapi dipungut dengan surat ketetapan pajak yang pada prinsipnya dikeluarkan oleh fiskus setiap tahun pajak.

Dari sisi pihak yang menanggung beban pajak, PBB termasuk dalam pajak langsung karena PBB terutang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang namanya tercantum pada surat ketetapan pajak yaitu SPPT dan SKP yang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.

4. Sektor-Sektor Pajak Bumi dan Bangunan

Untuk mempermudah pelaksanaan pengenaan PBB, Direktorat Jendral Pajak mengelompokan objek pajak berdasarkan karakteristik ke dalam beberapa sektor, yaitu perdesaan, perkotaan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan53. Sektor pengenaan PBB tersebut adalah sebagaimana di bawah ini:

1) Sektor perdesaan, adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri perdesaan, seperti: sawah, ladang, empang tradisional, dan lain-lain

52Marihot,Ibid, hal.77

53Keputusan Direktorat Jendral Pajak Nomor Kep-16/PJ.6/1998 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.


(51)

2) Sektor perkotaan adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki cirri-ciri daerah perkotaan, seperti: pemukiman penduduk yang memiliki fasilitas perkotaan,real estate, komplek pertokoan, industri, perdagangan dan jasa.

3) Sektor perkebunan, adalah objek PBB yang diusahakan dalam bidang budidaya perkebunan, baik yang diusahakan oleh BUMN maupun swasta, yang meliputi areal pengusahaan benih penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, penganekaragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya.

4) Sektor kehutanan adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil hutan areal pengusahaan hutan dan budidaya hutan.

5) Sektor pertambangan, adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil tambang seperti: emas, batubara, minyak dan gas bumi dan lain-lain yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategi, bahan galian vital dan bahan galian lainnya.

Pada prinsipnya untuk sektor perdesaan dan perkotaan tata cara perhitungannya tidak ada perbedaan, sehingga perbedaan pendapat tentang kriteria objek pajak yang masuk sektor perdesaan dan perkotaan sering terjadi. Hanya saja untuk tertib administrasi pengenaan PBB maka dalam suatu wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan hanya terdapat satu sektor PBB yaitu sektor perdesaan dan perkotaan.54


(52)

B. Pemungutan PBB Pedesaan dan Perkotaan Oleh Pemerintah Pusat 1. Dasar Hukum

Pada saat pemungutan pajak bumi dan bangunan dilakukan oleh pemerintah pusat, dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dengan pertimbangan bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena karena itu, perlu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya; bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak; bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujutkan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional; bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khusunya pajak kebendaan dan pajak kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil dan memberi kepastian hukum; bahwa untuk mancapai maksud tersebut di atas perlu disusun undang-undang tentang pajak bumi dan bangunan.


(53)

Akan tetapi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan tersebut diubah menjadi undang undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional khususnya di bidang perekonomian, termasuk berkembangnya bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam undang-undang perpajakan yang sekarang berlaku; bahwa dalam usaha untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian sebagai tersebut di atas dapat tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan pada trilogi pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis Besar Haluan Negara dan seiring dengan itu dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang memadai terhadap berbagai undang-undang perpajakan yang telah ada; bahwa untuk mewujutkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan Undang undang nomor 12 tahun 1994 sendiri bahwa yang melakukan pelaksanaan pengelolaan pajak bumi dan bangunan adalah pemerintah pusat dan memberikan pembagian hasil kepada daerah provinsi dan Kota/ Kabupaten sedangkan yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 yaitu ketentuan Pasal 3 ayat 3 dan ayat 4 diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:


(54)

1. Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang:

a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu;

c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengebalan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.

2. Objek Pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

3. Besarnya Nilai Jual objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.

4. Penyesuaian besarnya Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh menteri keuangan55

Sedangkan dalam pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan berbunyi sebagai berikut:

3. Batas nilai jual bangunan tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap satuan bangunan.

4. Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh menteri keuangan56.

Perubahan berikutnya berada dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu:

55Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.


(55)

“Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-undangan lainnya”

Di mana dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dikatakan: “Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini berlaku ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainya”.

Perubahan berikutnya yaitu dengan menghapus pasal 17 Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu:

1. Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak sebagaimana dimaksut dalam Pasal 4 ayat (6) dan pasal 16 ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diteimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak dengan dilampiri salinan surat keputusan tersebut.

2. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak57. Perubahan berikutnya yaitu dengan menghapus pasal 27 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang berisikan:

1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan pasal 25 ayat (2) adalah pelanggaran.

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 1 adalah kejahatan.58 Dalam penjelasan bagian umum Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 dinyatakan bahwa dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dalam

57Pasal 17, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 58Pasal 27, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.


(56)

perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk, termasuk perairan dan kekayaan alam terkandung di dalamnya mempunyai fungsi peran yang penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.

Sebelum berlakunya Undan-Undang Nomor 12 Tahun 1985, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat dipungut pajak berdasarkan Ordonasi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi Verponding 1928.

2. Subjek Pajak

Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan:

1.Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

2. Subjek pajak sebagaimana dimaksut dalam ayat 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak wajib menjadi menurut undang-undang ini.

3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sebagai wajib pajak.


(57)

4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap obyek pajak dimaksud

5. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. 6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai dengan alasan-alasanya.

7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

Sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang mempunyai subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dari ketentuan ini pada dasarnya ada empat pihak yang menjadi subjek pajak, yaitu orang atau badan yang:

a. Mempunyai hak atas atau menguasai bumi atau tanah dan atau b. Memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan atau

c. Memiliki/ menguasai bangunan, dan atau d. Memperoleh manfaat atas bangunan

Dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan dalam penjelasannya secara khusus tidak ada dirumuskan apa yang dimaksud dengan orang atau badan. Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor


(58)

12 Tahun 1985, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang KUP serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam Undang-Undang KUP terdapat ketentuan yang berkenaan dengan badan, yaitu dalam Pasal 1 huruf b yaitu bahwa badan adalah perseroan terbatas, perseroan konditer, badan usaha milik negara atau daerah dan bentuk apapun, persekutuan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi perkumpulan koperasi, yayasan atau lemabaga dan bentuk usaha tetap59.

Sedangkan perumusan tentang orang tidak diuraikan. Hanya saja secara umum dapat dikatakan orang adalah manusia yang memiliki darah dan daging. Seseorang dapat menjadi subjek pajak tanpa memandang pada usia, jenis kelamin, agama, suku dan sebagainya. Siapa saja, baik tua maupun muda, perempuan atau laki-laki dan apapun agama atau sukunya dapat menjadi subjek pajak, asalkan ia memenuhi syarat yaitu mempunyai dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau bangunan60.

3. Objek Pajak

Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985, dikatakan: a. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan

b. Klasifikasi objek pajak sebagaimana dimaksut dalam ayat 1 diatur oleh Menteri Keuangan.

59Marihot, Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 110-111


(1)

pemerintah daerah dapat terlaksana dengan baik dan tepat seperti halnya penetapan NJOP yang masih menggunakan NJOP dari pemerintah pusat. 2. Agar penetapan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan berdasarkan Peraturan

Daerah Kabupaten Serdang Bedagai yaitu 0,1% untuk NJOP sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 dan 0,2% untuk NJOP diatas Rp 1.000.000.000,00 diubah menjadi tiga atau lima tarif berdasarkan NJOP yang berbeda beda dari NJOP 1.000.000.000,00 tersebut. Sehingga penetapan tarif tersebut lebih adil sehingga menjangkau setiap lapisan keadaan ekonomi masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Agar pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai melakukan upaya aktif, yaitu menggunakan upaya yang bersifat lebih tegas terhadap tunggakan pajak sebelum dialihkan kepada pemerintah daerah yaitu sebesar Rp 20.540.330.000,00 dengan melakukan penagihan pajak dengan surat paksa karena pamerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai mempunyai kewenangan menerapkan Undang-Undang nomor 19 tahun 2000 perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdurrahman, Muslan,Sosiologis dan Metodologi Penelitian Hukum,Malang, UMM Press, 2009.

Advianto, L.,Diklat Tehnis Substantif Dasar Pajak, Jakarta: PT. Aresco.

Ali, Achmad, Mengenal Tabir Hukum suatu kajian Filosofis dan Sosiologis, Prananda Media, Jakarta, 2005.

Ali, Achmad, Menguak teori Hukum (Legal Theory) dan teori peradilan (Judical Prudence), termasuk interprestasi undang-undang (legisprudence), jakarta, kencana, 2012)

Billy Ivan Tansuria,Pokok Pokok Ketentuan Umum Perpajakan, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2011

Brata, Sumardi,Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998. Brotodihardjo, R.,Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi ketiga, Bandung: PT. Eresco,

1993.

Bohari, H.,Pengantar Hukum Pajak, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004.

Cairil A. Pohan,Optimizing Corporate Tax Management, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2011

Darwin,Pajak Bumi dan Bangunan, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2009.

Darwin, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta, Mitra Wacana Media, Juli 2010.

Darwin,Panduan Praktis Pengelolaan PBB P2, Mitra Wacana Media, 2014

Djafar, Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dengan penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada Makasar, September 2007.

Fahmi, Sudi, Penyelesaian Konflik Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Pada Era Otonomi Daerah, (Studi Kasus pada bidang kehutanan)


(3)

Freidman, W.,Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kasus atas Teori-Teori Hukum.

Fuandy, Munir,Dina Mika,Dinamika Teori Hukum, Bogor: Galia Indonesia, 2007. Ganjong, Pemerintah Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor, Ghalian Indonesia,

2007.

Hart, H.L.A., Hart,The Consept of law, Oxford University Press, 1975. Ilyas, Wirawan, Richard Burton,Hukum Pajak, Bandung: PT. Eresco, 1993.

Hartoyono, Harry dan Untung Supardi, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, pengalaman di Pemerintah Pusat dan Refrensi untuk Implementasi Pajak Daerah, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2010.

Hujbers, Theo,Filsafat Dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.

Hadjson, Philipus M.,Tentang Wewenang, Jakarta, Yuridika, No. 5 dan 6 Tahun XII, September- Desember, 1997.

Irmianto, Edi Slamat Syarifudin Jurdi Politik Perpajakan, Membangun Demokrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2005.

Jhon Creswell Researc Design, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Alih Bahasa Angkatan III DAN VI Kajian Ilmu Lepolis (KIK)-UI Bekerjasama dengan Nur khabibah, KIK Press, Jakarta, 1994.

Juanda,Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan kewenangan antara DPRD dan kepala daerah.

Kelsen, Hans,Teori hukum murni, Yogyakarta, Kanisius, 1982.

Lubis, Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Madju, 1994.

Lotulotung, Paulus dan Rukman Amanwinata,Judical Review, Sinar Grafika, 2012 Kaho, Josef Riwo, Prospek Otonomi Daerah di Negara RI, Jakarta, Rajawali Press,

1991.

Manan, Bagir, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, 1993, Unsika Karawang,1993.


(4)

Marihot, Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia Teori dan Praktik, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009

Marium, Azaz-Azaz, Ilmu Pemerintahan, Yogyakarta, Fakultas Sosial dan Politik UGM, 1994

Marzuki, Peter,Penelitian Hukum, Malang, UMM Press, 2009.

Moleng, Lexy, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya 2000.

Mustaqiem,Pajak Daerah, Yogyakarta, FH. UII Press, Feberuari, 2008. Raper,Filsafat Politik Plato, Jakarta, Rajawali, 1991

Raharjo, Handri,Hukum Perusahaan, Yogyakarta, PustakaYustisia.

Rasjidi, Lily, Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2010.

Rawls, Jhon,A Theory of Justice. Teori Keadilan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006. Resmi, Siti,Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat: Jakarta, 2003.

Ridwan,Hukum Administrasi Negara, Jakarta Rajawali Pers, 2006.

Rochmad, Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung, PT. Eresco, 1994.

Salim, H. S, Erlier Septiana Narbani,Penerapan teori hukum pada tesis dan disertasi, PT. Rajagrafindo Perda, Jakarta, 2013.

Saidi Djafar, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dengan Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo, Makasar, September 2007.

Soeroso, R.,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982.

Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah, Surabaya, Airlangga University Press, 2003


(5)

Sutikno,Filsafat Hukum jilid II, Penerbitan Paramita, Jakarta, 1975. Waliyo,Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2002.

Widjaya HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia dalam rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2014 (tentang pemerintah daerah), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Wisman, M., Penelitian Ilmu Ilmu Sosial, Jilid I penuntun M. Hisyam, Uji Press, Jakarta, 1996.

B. Peraturan Undang Undang

Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 1 tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Banngunan Perdesaan dan Perkotaan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bum dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah

Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2000 tanggal 10 Maret Pembagian Hasil

Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai nomor 1 tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 82/KMK.04/2000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.


(6)

C. Majalah

Redaksi Majalah Berita Pajak,Meninjau Sejarah Perkembangan IPEDA Sebelum Era PBB, (Jakarta: Majalah Berita Nomor 1186).

Ngadiman,Indonesia Tax Review, (Jakarta: Formasi Lemabaga Manajemen, 2014).

D. Internet

www.pajak.go.id, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, tanggal 28 April 2014.

Scene, Naval, Otonomi daerah di Indonesia, http: id/m.wikipedia.Otonomi, 6 Maret 2014.

E. Wawancara

Hasil wawancara dengan Syarifudin Chandra, staff Bidang PBB Kabupaten Serdang Bedagai.

Hasil wawancara dengan Bambang, Kepala Bidang PBB Kabupaten Serdang Bedagai.


Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN PENGALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERDESAAN PERKOTAAN (PBB-PP) DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

1 10 44

EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2) OLEH PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BOYOLALI.

0 0 16

ANALISIS PERALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2) DARI PAJAK PUSAT KE PAJAK DAERAH DAN KONTRIBUSI TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA SURAKARTA.

0 0 16

DAMPAK PENGALIHAN PENANGANAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2) DARI PEMERINTAH PUSAT KE PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN WONOGIRI.

0 1 14

Pelimpahan Wewenang Pengelolaan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dari Pemerintah Pusat ke Daerah besturc

0 0 7

Perencanaan Pemerintah Kabupaten Kudus Dalam Mempersiapkan Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Sektor Perdesaan Dan Perkotaan Sebagai Pajak Daerah

0 0 13

BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PBB P2 SEBELUM DAN SETELAH PERALIHAN DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI A. Pajak Bumi dan Bangunan 1. Sejarah PBB di Indonesia - Kajian Yuridis Terhadap Beralihnya Kewenangan Pemungutan Pa

0 0 46

BAB I - Kajian Yuridis Terhadap Beralihnya Kewenangan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 24

KAJIAN YURIDIS TERHADAP BERALIHNYA KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DARI PEMERINTAH PUSAT KE PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

0 4 15

ANALISIS TUNGGAKAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN TERHADAP REALISASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN PASCA PENGALIHAN PENGELOLAAN DARI PEMERINTAH PUSAT KE PEMERINTAH DAERAH DI KABUPATEN BOJONEGORO

0 0 17