Usaha Perlindungan Hak Asasi Manusia Int

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin

Usaha Perlindungan Hak Asasi Manusia: Internasionalisasi VAWA dan
Perjuangan SOGI Rights Melalui PBB
VAWA Acts
Hak asasi manusia menjadi salah satu permasalahan krusial yang sangat diperhatikan
termasuk dalam kancah internasional saat ini. Hal-hal yang bersifat low politics seperti
permasalahan HAM memang sedang menjadi tren menarik untuk dibahas mengingat HAM
memang merupakan salah satu hal krusial yang sangat penting dalam menjamin kemanan
individual itu sendiri. Kepedulian internasional mengenai HAM kemudian memasuki
perkembangan penting pada tahun 1970 hingga 1980an. Pada tahun-tahun tersebut,
permasalahan HAM mulai memfokuskan kepada kajian-kajian mengenai hak asasi wanita
(Shawki, 2011: 175). Hak asasi wanita kemudian menjadi penting karena ternyata kejahatan
terhadap wanita juga mengalami peningkatan sehingga wanita perlu untuk dilindungi agar
kemudian kejahatan terhadap wanita dapat dicegah. Salah satu usaha untuk mencegah
terjadinya kejahatan terhadap perempuan adalah dengan dibentuknya act bernama VAWA
(Violence Against Women Act). Tulisan kali ini akan membahas mengenai VAWA dan
bagaimana act tersebut dapat kemudian diinternasionalisasikan.
Violence Against Women (VAW) menjadi salah satu permasalahan sosial yang sangat
diperhatikan sehingga kemudian masuk ke dalam agenda dalam kebijakan Pemerintah

Amerika Serikat dan agenda internasional. Masuknya VAW dalam agenda internasional dan
politik domestik Amerika Serikat ini sendiri kemudian menunjukkan bahwa ada interaksi
pemerintah dengan organisasi internasional dalam usaha-usaha mencegah terjadinya
kejahatan bagi perempuan. NGO di sini kemudian berperan sebagai pihak yang mendorong
atau menekan pemerintah untuk kemudian menjadikan norma baru, dalam hal ini norma
VAW, sebagai salah satu agenda politik dan hukum di dalam negeri (Shawki, 2011: 176).
Tesis utama yang ditunjukkan oleh Shawki (2011: 176-177) adalah bahwa kelompokkelompok advokasi yang terlibat dalam kampanye I-VAWA berakar pada konsep
kosmopolitanisme, yakni secara lebih jelas, terdiri dari usaha-usaha para aktor yang memiliki
agenda internasional dan koneksi transnasional, tetapi juga terlibat dalam proses politik
nasional dan menggunakan kesempatan politik dalam negeri, serta framing strategis untuk
memajukan tujuan mereka dan mendifusikan norma-norma yang didukung. Dijelaskan pula

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin
bahwa dalam menyusun artikelnya, Shawki menggunakan tiga langkah berikut, yakni: (1)
Meninjau literatur gerakan sosial yang berakar pada kosmopolitanisme, struktur kesempatan
dan framing, fokus pada argumen kunci dan temuan pada literatur yang ditulisnya; (2)
Memperkenalkan I-VAWA dan menjelaskan isi beserta isu-isu serta proses legislatif terkait;
(3) Analisis peran kelompok masyarakat sipil dalam mempromosikan I-VAWA dan
menjelaskan hasil yang telah dicapai sejauh ini.

Pada langkah pertama, adalah penting untuk memikirkan proses difusi norma dan kebijakan
melalui lima elemen berikut, yakni hasil, agen, mekanisme, power dan struktur arena. Dalam
model ini, hasil dari proses globalisasi maupun difusi norma, dijelaskan, dalam hal agen,
mekanisme yang mereka kerjakan, kekuatan yang dipraktekkan dan struktur serta arena di
mana power tersusun. Fokus dari artikel Shawki (2011) adalah pada agen dan pekerjaan yang
mereka lakukan untuk mendifusikan norma dan kebijakan yang mereka dukung. Caranya
adalah aktivis yang terlibat dalam kampanye I-VAWA, dapat dilihat memiliki akar tindakan
kosmopolitanisme yang memiliki agenda internasional dan kerangka internasional sebagai
acuan, tetapi juga menggabungkan peluang nasional dan internasional, serta menggunakan
proses-proses politik dalam negeri untuk memajukan tujuan mereka. Mengutip pendapat
Tarrow (2005, dalam Shawki 2011: 177-178) berpendapat bahwa aktor yang kosmopolit,
akan memobilisasi sumber daya domestik dan internasional, serta peluang untuk memajukan
klaim atas nama aktor eksternal terhadap lawan eksternal, atau mendukung tujuan mereka
yakini bersama dengan sekutu transnasional. Sebagai cosmopolitan, yang bergerak secara
fisik dan kognitif diluar asal-usul mereka, para kosmopolit akan terus dikaitkan dengan
tempat - untuk jaringan sosial yang menghuni ruang diluar asal usul mereka - sumber daya,
pengalaman dan kesempatan, yang disediakan oleh tempat dimana merka berada.
I-VAWA pada awalnya diperkenalkan oleh Senat AS pada tahun 2007, khususnya oleh John
Biden dan Richard Lugar. I-VAWA ini bertujuan untuk menjadikan norma-norma VAW di
AS lebih komprehensif lagi dengan menginternasionalisasikan permasalahan humanitarian

ini khususnya mengenai hak asasi perempuan (Shawki, 2011: 179). Dengan I-VAWA
diharapkan permasalahan mengenai VAW dapat diintegrasikan dalam politik luar negeri AS
secara lebih luas lagi sehingga pencegahan VAW tidak hanya dilakukan di AS saja, tetapi
dilakukan secara keseluruhan di seluruh dunia. Secara lebih khusus lagi, melalui I-VAWA
dapat diidentifikasikan 20 negara dengan kejahatan terhadap perempuan dengan angka yang

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin
tinggi sebagai fokus utama pencegahan VAW yang lebih lanjut lagi akan melibatkan
integrasi dan kerja sama antar negara-negara dalam melakukan pencegahan tersebut
(Shawki, 2011: 180). Kemudian pada langkah kedua, berkaitan dengan penjelasan I-VAWA,
dijelaskan oleh Shawki (2011: 179) bahwa I-VAWA adalah bill (Rancangan UndangUndang) yang diperkenalkan di Senat AS pada musim gugur tahun 2007 oleh Joseph Biden
(D-DE) dan Richard Lugar (R-IN) - keduanya berperan sebagai Chairman and Ranking
Member of the Senate Foreign Relations Committee pada Senat masing-masing- dan juga
diperkenalkan di the House pada musim semi 2008 oleh Perwakilan Howard Berman.
Tujuannya adalah dirancang untuk mengembangkan pendekatan AS yang komprehensif
untuk VAW dan memasukkan inisiatif terhadap VAW dalam pengembangan dan program
bantuan humanitarian AS, serta kebijakan luar negeri AS secara umum. Di antara langkahlangkah lain, bill ini akan menciptakan Office of Global Women’s Issues di bawah naungan
State Department. Selain itu, bill ini juga akan mewajibkan pemerintah AS untuk
menanggapi sejumlah isu berikut, yakni: (1) kekerasan terhadap perempuan yang terjadi

dalam situasi konflik atau keadaan kemanusiaan darurat bersenjata, seperti penggunaan
pemerkosaan sebagai senjata perang; (2) mengintegrasikan program VAW dalam operasi
kemanusiaan dan perdamaian dan memberikan pelatihan VAW untuk personil militer yang
berpartisipasi dalam operasi tersebut; (3) pencegahan terhadap VAW menjadi prioritas
kebijakan luar negeri yang lebih besar, mempromosikan reformasi hukum yang diperlukan
untuk mencegah dan menanggapi kekerasan terhadap perempuan dan memungkinkan
korban untuk mengakses sistem peradilan; (4) menggabungkan program-program terkait
VAW menjadi inisiatif dalam bidang kesehatan masyarakat dan meningkatkan kapasitas
sektor kesehatan untuk menanggapi kekerasan terhadap perempuan; (5) mendidik publik
tentang kekerasan terhadap perempuan dan mengubah persepsi publik mengenai VAW dan
norma-norma sosial di sekitarnya, serta menyediakan kesempatan pendidikan dan ekonomi
yang lebih baik bagi perempuan.
Dalam internasionalisasi I-VAWA ini, terdapat peran dari agensi internasional yang
memperjuangkan gerakan pencegahan tehadap kejahatan terhadap wanita sehingga gerakan
ini mendapatkan dukungan dan lebih lanjut lagi dapat diintegrasikan dalam norma baru di
AS khususnya. Agensi internasional yang mencoba untuk melakukan proses pendekatan ke
pemerintah AS ini kemudian melihat bahwa permasalahan mengenai wanita khususnya
inisiasi tentang VAW telah masuk ke dalam agenda pemerintahan AS, meski agenda

Journal of International Politics

Pebriyana Arifin
tersebut tersebar ke beberapa departemen. Hal ini kemudian dijadikan kesempatan bagi
agensi internasional wanita tersebut untuk kemudian bekerja sama dengan AS untuk
mencapai tujuannya (Shawki, 2011: 180). Pada dasarnya agensi meminta bantuan dana
kepada pemerintah AS dan juga UNIFEM PBB untuk melancarkan gerakan I-VAWA itu
sendiri. Lebih lanjut lagi, mereka jug melakukan proses framing dalam usaha advokasi
intenasionalisasi I-VAWA. Proses framing dilakukan untuk lebih memperkenalkan nilai
yang dibawa kepada masyarakat dan pemerintah agar kemudian muncul presepsi yang baik
atas nilai tersebut sehingga proses integrasi norma baru melalu berakan VAWA tersebut
menjadi lebih efektif (Shawki, 2011: 178). Dengan kerja sama NGO dan pemerintah US
dalam usaha melancarkan gerakan I-VAWA ini kemudian pada tahun 2009, House of
Representative AS menyetujui dan menyatakan dukungannya terhadap I-VAWA itu sendiri
dengan membuat kantor Global Women’s Issues menjadi permanen (Shawki, 2011: 181).
Mengapa kemudian Internasionalisasi VAWA ini memiliki urgensi tersendiri yang patut
mendapatkan dukungan? Shawki (2011) memberikan beberapa alasan bahwa yang pertama
struktur dari kongres itu sendiri mendukung VAWA ditempatkan sebagai isu yang memiliki
urgensi untuk diinternasionalisasikan. Struktur pada sistem politik pada pemerintahan
Obama itu sendiri memfasilitasi permintaan dari masyarakat sipil seperti pembuatan
organisasi perlindungan perempuan yang berasal dari permintaan masyakat sipil tersebut.
Hal ini tentu menyebabkan dukungan untuk internasionalisasi VAWA menjadi bertambah.

Kedua, ketika I-VAWA diperkenalkan, VAW memang sedang menjadi isu sosial yang
hangat dibicarakan, hal ini mengenai banyak munculnya gerakan untuk mencebah terjadinya
kejahatan terhadap wanita. Sehingga internasionalisasi VAWA menjadi mungkin dilakukan
karena tuntutan keadaan. Selain itu, NGO yang memang memiliki jaringan transnasional
yang luas pun turut serta dalam melakukan proses framing dan advokasi terhadap isu ini
sehingga semakin banyak dorongan dalam melakukan internasionalisasi terhadap VAWA itu
sendiri. Namun demikian, I-VAWA masih dianggap kontroversial karena alasan hak
reproduksi yang tidak terdapat pada agenda I-VAWA itu sendiri. Hal ini kemudian
menyebabkan I-VAWA belum dapat dijadikan sebagai sebuah hukum (Shawki, 2011: 181).

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin
How SOGI infiltrated the United Nations
Douglas Sanders, seorang professor Emeritus, Fakultas Hukum, University of British
Columbia, Canada, yang juga merupakan penulis artikel berjudul How Did We Get Here,
adalah seorang pejuang HAM yang menyuarakan hak-hak LGBT di ranah internasional—
tepatnya di panggung Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Tepatnya di bulan Juni
2011, the UN Human Rights Council untuk pertama kalinya mengekspresikan kekhawatiran
mengenai ketidakteraturan pola suara dukungan terhadap masalah kekerasan dan
diskriminasi berbasis orientasi seksual atau identitas gender (SOGI: Sexual Orientation or

Gender Identity) (Sanders, 2015: 1). Perihal tersebut kemudian diangkat ke dalam aturan
yang tercantum dalam piagam PBB setelah sekian puluh tahun diperjuangkan. Sebanyak 19
negara mengirimkan perwakilannya ke Jenewa, Swiss, untuk turut mendukung hak-hak
SOGI dalam pemberian suara Badan Hak Asasi Manusia—yang kemudian dikonfirmasi
kembali di bulan September 2014 ketika sebanyak 22 negara mendonorkan suara “yes”
terkait isu untuk mendukung SOGI rights.
Perjuangan Douglas Sanders untuk membawa isu SOGI rights bukan berarti tidak memiliki
hambatan. Douglas mengatakan bahwa PBB bukanlah tempat yang mudah untuk menerima
ide terkait SOGI. 20 tahun yang lalu ketika diadakan pemungutan suara di ECOSOC
(Economic and Social Council), pemerintah-pemerintah yang berada di dalam ruangan
seakan tak acuh dan tidak mendengarkan apa yang sedang disuarakan. Selain itu,
kesempatan untuk berbicara pun terkesan dibatasi—yang menghasilkan penundaan terhadap
pemberian suara terhadap perwujudan ILGA (International Lesbian and Gay Association).
Negara-negara berbasis Islam dengan budaya konservatif rata-rata member suara ‘tidak’ dan
‘abstain’ pada saat pemberian suara. Ketidakramahan PBB juga berlanjut ketika Douglas
menjadi juru bicara di tahun 1992 sebagai seorang homoseksual.
Selama tahun-tahun perjuangan, kaum LGBT menerima dukungan yang kuat dari beberapa
negara Eropa/Barat. Meskipun sebenarnya menurut Douglas negara-negara tersebut seperti
enggan karena takut perhatian atas isu SOGI dilihat oleh dunia global sebagai agenda Barat.
Setelah negara-negara Barat kemudian mendapat dukungan tambahan dari negara-negara

Amerika Latin seperti Argentina, Brazil, dan Kolombia, yang notabene memiliki peran
dalam PBB—sebuah poin aturan baru pun diwujudkan ke dalam UN political body pada
bulan Juni 2011; yang kemudian dikonfirmasi di bulan September 2014 dengan 22 negara

Journal of International Politics
Pebriyana Arifin
member suara “yes”. Momen tersebut menurut Douglas sangat penting karena sejak itu,
kaum LGBT menjadi agenda wajib PBB. Perjuangan kaum LGBT hingga bisa menjadi
sebuah aturan baru dalam UN Charter menurut Douglas didukung oleh perjuangan atas
beberapa hal: (1) women’s rights; (2) equality rights; (3) AIDS.
Sebanyak empat konferensi PBB untuk memperjuangkan hak-hak wanita telah dilaksanakan
yakni di: (1) Mexico City (1975); (2) Copenhagen (1980); (3) Nairobi (1985); dan (4)
Beijing (1995) dengan tinjauan ulang per lima tahun.1 Konvensi-konvensi tersebut kurang
lebih menuntut adanya perubahan pola pikir mengenai traditional roles, social and cultural
patterns, serta stereotyped roles yang cenderung konvensional dan tidak menjunjung nilai
HAM (Sanders, 2015: 4). Perdebatan substantif akan hak-hak LGBT diungkapkan untuk
pertama kalinya dalam konferensi untuk wanita keempat di Beijing, 1995—dengan tuntutan
terhadap rekognisi perbedaan seks dan gender. Jalan kedua adalah melalui perjuangan
mengenai equality rights dengan justifikasi Universal Declaration of Human Rights “all
human beings are born free and equal in dignity and rights” (Sanders, 2015: 5). Kemenangan

mengenai equality rights diwujudkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia di tahun 1994. Kasus
yang diangkat ke permukaan adalah perdebatan mengenai legalitas sodomi di berbagai
negara dengan kebudayaan dan peraturan yang berbeda.
Sebuah perubahan terhadap SOGI rights mencuat dan berkembang di Eropa Timur. Muncul
sebuah pola baru yang digagas oleh Rusia yakni propaganda untuk menentang adanya segala
bentuk homoseksual dengan tujuan untuk melindungi anak-anak (Sanders, 2015: 7).
Douglas mengatakan bahwa aturan tersebut ditujukan untuk mematikan segala kampanye
dan demonstrasi yang menuntut SOGI rights. Sehingga kaum LGBT pun diharapkan akan
mengunci diri kembali di dalam rumah dan tidak menyuarakan kepentingannya. Beberapa
aksi protes muncul sebagai tanggapan atas adanya aturan tersebut seperti ancaman untuk
memboikot Olimpiade Sochi. Kaum LGBT menghadapi perpecahan baru dalam SOGI
rights: aliansi Sub-Saharan black Africa dan Russian-led Eastern Europe; yang dilawan oleh
aliansi pendukung dari Western group dan negara-negara Amerika Latin (Sanders, 2015: 8).
Sementara mengenai Asia, belum ada pola jelas di kawasan regional terkait dengan budaya
Asia sendiri yang cenderung ke-Timur-an dan konservatif.
Dalam UN WOMEN; World Conferences on Women. [Online], dalam:
http://www.unwomen.org/en/how-we-work/intergovernmental-support/world-conferences-on-women
[5 Mei 2015].
1


Journal of International Politics
Pebriyana Arifin
Langkah ketiga SOGI rights adalah melalui AIDS 2 . AIDS merupakan sebuah penyakit
fenomenal yang membuat kaum gay terlihat di permukaan dengan bukti banyaknya kaum
gay yang terjangkit AIDS di Eropa pada awal tahun 1980. AIDS menjadi ancaman global
sehingga diharapkan warga dunia mau bersimpati terhadap isu ini, termasuk keterlibatan
peran badan internasional seperti WHO, World Bank, UN Development Programme,
UNESCO, UNICEF, serta bank-bank regional (Sanders, 2015: 9). Ketiga jalan tersebut telah
menjadi kendaraan LGBT untuk membawa SOGI rights ke ranah internasional yang pada
aksirnya terwujud dalam pasal UN Charter dan menjadi sebuah agenda yang harus
dilaksanakan/diwujudkan oleh PBB dan dunia global.

Referensi:
Sanders, Douglas. (2015). How Did We Get Here? Opening Overview: The Regional
Dialogue on LGBTI Rights and Health in Asia and the Pacific, United Nations
Conference Centre, Bangkok, February 25-27, 2015.
Shawki, Noha. (2011). Civil Society Advocacy and the Diffusion of Violence Against Women
Norms:An Analysis of the International Violence Against Women Act. USA: Illinois
State University.
Sepkowitz, KA. (2001). "AIDS—the first 20 years". N. Engl. J. Med. 344 (23): 1764–72.

doi:10.1056/NEJM200106073442306. PMID 11396444.
World Conferences on Women. [Online], dalam: http://www.unwomen.org/en/how-wework/intergovernmental-support/world-conferences-on-women [5 Mei 2015].

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala dan infeksi (atau
sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat virus HIV, dalam:
Sepkowitz, KA. (2001). "AIDS—the first 20 years". N. Engl. J. Med. 344 (23): 1764–72.
doi:10.1056/NEJM200106073442306. PMID 11396444.
2