Studi Mengenai Kontribusi Explanatory Style Terhadap Resiliency Pada Guru SLB C "X" Bandung.

(1)

Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian dilakukan untuk memeroleh gambaran mengenai kontribusi explanatory style terhadap resiliency pada guru guru – guru yang secara langsung terlibat dalam mengajar siswa – siswa berkebutuhan khusus di SLB C “X” yaitu siswa – siswa yang mengalami keterbelakangan mental, down syndrome, dan autis.

Explanatory style merupakan kebiasaan seseorang dalam menjelaskan terhadap dirinya sendiri tentang penyebab situasi, situasi baik maupun situasi buruk. Explanatory style ini kemudian akan mempengaruhi resiliency guru dalam menghadapi adversity yang dialami dalam situasi pekerjaan di SLB C karena ia menghadapi hambatan dan tantangan dalam menjalankan tugas serta tanggung jawab sebagai seorang guru SLB C. Resiliency merupakan kemampuan guru untuk bertahan dan beradaptasi ketika mengalami adversity.

Pada penelitian ini terdapat dua alat ukur yang digunakan untuk pengambilan data yaitu Attributional Style Questionnaire yang dikonstruksi oleh Martin Seligman dan alat ukur resiliency yang terdiri atas 54 item yang disusun berdasarkan 4 aspek resiliency yang diungkapkan oleh Bonie Benard. Perhitungan reliabilitas kuesioner resiliency menggunakan Alpha Cronbach menunjukkan hasil 0,959, yang berarti item-item dalam alat tes resiliency memiliki reliabilitas yang tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa explanatory style memiliki kontribusi yang signifikan sebesar 57% terhadap resiliency. Explanatory style moderat memiliki kontribusi yang sangat tinggi yaitu sebesar 98,8% dan kontribusi yang ada bersifat signifikan. Sedangkan explanatory style pesimis memiliki kontribusi sebesar 76,2%. Explanatory style optimis tidak memiliki kontribusi terhadap resiliency guru di SLB C “X”.

Kesimpulan yang diperoleh melalui hasil penelitian adalah explanatory style moderat sangat berkontribusi bagi guru SLB C “X” untuk mengembangkan resiliency dalam menghadapi situasi pekerjaannya. Sebaliknya ketika seorang guru mengembangkan explanatory style pesimis, maka resiliency yang ia miliki akan menurun. Saran untuk penelitian lain adalah menggunakan populasi yang lebih besar agar data yang diperoleh dapat lebih bervariasi Saran untuk psikolog, kepala sekolah, dan guru – guru yang mengajar di SLB C”X” adalah data – data dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan kinerja guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai guru di SLB C “X”.


(2)

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

The study was conducted to receive a picture of the explanatory style’s contribution to resiliency of teachers who are directly involved in teaching students with disabilities in SLB (school for student with special needs) C “X” (students who have mental retardation, down syndrome, and autism).

Explanatory style is a person's habit in explaining to him/herself about the cause of the situations, both good and bad situations. Explanatory style will then affect the resiliency of teachers in the face of adversity experienced in the job situation in SLB C, where he/she faces obstacles and challenges in carrying out duties and responsibilities as a special education teacher. Resiliency is the ability of teachers to survive and adapt when subjected to adversity.

In this study there are two measuring devices that was used for capturing data. The first one is Attributional Style Questionnaire made by Martin Seligman based on his explanatory style theory and 54 items resiliency questionnaire based on four aspects of Bonie Benard’s resiliency theory. Calculation of resiliency questionnaire’s reliability using Cronbach Alpha showed 0,959 results, which means the items in the test kits have a high reliability.

The results showed that explanatory style has a significant contribution by 57% of resiliency. Explanatory style moderates have a very high contribution that is equal to 98.8% and the contribution is significant. While pessimistic explanatory style had a negative correlation to the resiliency so that the contributions are owned in the amount of 76.2% is weaken resiliency. Optimistic explanatory style did not contribute to the resiliency of teachers in SLB C "X".

Conclusions obtained through the research is explanatory style moderates greatly contribute to the special education teacher in SLB C "X" to develop resiliency in the face of his/her job situation. Conversely when a teacher develops pessimistic explanatory style, the resiliency that he/she had to decline. Suggestions for other research is to use a larger population so that the data obtained can be more varied. Suggestions for psychologist and headmaster in SLB C "X" and also teachers - teachers who teach in SLB C "X" is the data obtained in this study can be used to improve the performance of teachers in performing their duties and responsibilities as teacher in SLB C "X".


(3)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….……i

KATA PENGANTAR..………..…..iii

DAFTAR ISI………..…...iv

DAFTAR BAGAN………..…..x

DAFTAR TABEL………..…...xi

BAB I. PENDAHULUAN………..……..1

1.1 Latar Belakang Masalah………1

1.2 Identifikasi Masalah……….10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian……….10

1.4 Kegunaan Penelitian……….10

1.5 Kerangka Pikir………..………….11

1.6 Asumsi………..….20

1.7 Hipotesis………21

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………22

2.1 Resiliency………...22

2.1.1 Pengertian Resiliency………..………22

2.1.2 Empat Aspek Personal Strength………..…………...22


(4)

Universitas Kristen Maranatha

2.1.2.2 Keterampilan Pemecahan Masalah………..…24

2.1.2.3 Autonomy……….26

2.1.2.4 Sense of Purpose dan Bright Future………28

2.1.3 Protective Factors………..30

2.1.3.1 Caring Relationship………...30

2.1.3.2 High Expectations………...30

2.1.3.3 Opportunities to Participate and Contribute………..31

2.2 Explanatory Style………..31

2.2.1 Pengertian Explanatory Style……….31

2.2.2 Dimensi Explanatory Style……….31

2.2.2.1 Permanence……….…32

2.2.2.2 Pervasiveness………..….33

2.2.2.3 Personalization………..…..34

2.2.3 Faktor – Faktor Pembentuk Explanatory Style………..….35

2.2.3.1 Explanatory Style Ibu……….….35

2.2.3.2 Kritik Orang Dewasa : Guru dan Orang Tua……….….36

2.2.3.3 Krisis pada kehidupan masa kanak – kanak………..…..36

2.3 Anak Tunagrahita………..…37

2.3.1 Pengertian Anak Tunagrahita……….…37


(5)

Universitas Kristen Maranatha

2.3.3 Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita………..…..43

2.3.4 Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita………..…44

2.3.5 Emosi, Penyesuaian Sosial, dan Kepribadian Anak Tunagrahita………..…….45

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……….47

3.1 Rancangan Penelitian………...47

3.2 Bagan Rancangan Penelitian……….…47

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………...48

3.3.1 Variabel Penelitian……….…48

3.3.2 Definisi Operasional……….…..48

3.3.2.1 Definisi Operasional Explanatory Style……….….48

3.3.2.2 Definisi Operasional Resiliency……….….49

3.4 Alat Ukur………52

3.4.1 Alat Ukur Explanatory Style……….….52

3.4.2 Alat Ukur Resiliency……….….53

3.4.3 Data Pribadi……….…..54

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………...54

3.4.4.1 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Explanatory Style……….….55

3.4.4.2 Validitas Alat ukur Resiliency………..……….…..54

3.4.4.3 Reliabilitas Alat ukur Resiliency……….…56

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel………....57


(6)

Universitas Kristen Maranatha

3.5.2 Karakteristik Populasi………..…...57

3.6 Teknik Analisis Data……….57

3.7 Hipotesis Kerja………..59

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….60

4.1 Hasil Penelitian……….60

4.1.1 Gambaran Populasi Berdasarkan Masa Kerja………... 60

4.1.2 Gambaran Kontribusi Explanatory Style terhadap Resiliency………..…….61

4.1.3 Gambaran Kontribusi Explanatory Style Optimis terhadap Resiliency………...62

4.1.4 Gambaran Kontribusi Explanatory Style Moderat terhadap Resiliency……...…62

4.1.5 Gambaran Kontribusi Explanatory Style Pesimis terhadap Resiliency……..…63

4.2 Pembahasan……….64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….……….68

5.1 Kesimpulan……….……...68

5.2. Saran………69

5.2.1 Saran bagi penelitian lanjutan……….…69

5.2.2 Guna laksana……….…..69

DAFTAR PUSTAKA………...xii

DAFTAR RUJUKAN……….…...xiii

DAFTAR LAMPIRAN……….….xiv LAMPIRAN


(7)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

1.5 Bagan Kerangka Pikir………..20 3.2 Bagan Rancangan Penelitian………..…..47


(8)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Populasi berdasarkan masa kerja………...60 Tabel 4.2 Besar Kontribusi Explanatory Style terhadap Resiliency………..61 Tabel 4.3 Signifikansi Kontribusi Explanatory Style terhadap Resiliency…………..61 Tabel 4.4 Besar Kontribusi Explanatory Style Optimis terhadap Resiliency………..62 Tabel 4.5 Signifikansi Kontribusi Explanatory Style Optimis terhadap

Resiliency………..…62 Tabel 4.6 Besar Kontribusi Explanatory Style Moderat terhadap Resiliency…...62 Tabel 4.7 Signifikansi Kontribusi Explanatory Style Moderat terhadap

Resiliency………..63 Tabel 4.8 Besar Kontribusi Explanatory Style Pesimis terhadap Resiliency………..63 Tabel 4.9 Signifikansi Kontribusi Explanatory Style Pesimis terhadap


(9)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I: PROFIL SLB C “X” BANDUNG

LAMPIRAN II: KISI – KISI ALAT UKUR RESILIENCY

LAMPIRAN III: KISI – KISI ALAT UKUR EXPLANATORY STYLE

LAMPIRAN IV: KUESIONER RESILIENCY DAN EXPLANATORY STYLE

LAMPIRAN V: VALIDITAS DAN RELIABILITAS KUESIONER RESILIENCY

LAMPIRAN VI: GAMBARAN SAMPEL


(10)

Universitas Kristen Maranatha

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi yang terjadi di Indonesia, terdapat berbagai perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu perkembangan yang terjadi adalah meningkatnya pemahaman masyarakat mengenai hak – hak sebagai seorang warga negara Indonesia, yang salah satunya adalah hak untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai. Seperti yang dituangkan dalam UU Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 pasal 5 yang menjelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Dari pemaparan pasal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh warga negara, termasuk warga negara yang memiliki keterbatasan fisik dan keterbelakangan mental, memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak.


(11)

Universitas Kristen Maranatha Untuk menjamin setiap warga negara dapat memeroleh pendidikan yang layak, maka pemerintah Indonesia membangun sekolah – sekolah, baik sekolah umum, sekolah inklusi, maupun sekolah bagi anak berkebutuhan khusus atau yang biasa dikenal dengan sekolah luar biasa (SLB). Sekolah luar biasa merupakan sekolah yang menampung anak – anak berkebutuhan khusus, anak – anak yang karena keterbatasannya tidak dapat memperoleh pendidikan di sekolah – sekolah umum. Dengan adanya sekolah luar biasa ini diharapkan anak – anak yang memiliki keterbatasan dapat memperoleh pendidikan yang tepat, sehingga mereka mampu menumbuh kembangkan semua potensi yang mereka miliki secara optimal dan terintegrasi agar bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat (http://memeww.blogspot.com/2009/12/meneliti-keseharian-penderita-slb.html).

Berdasarkan statisitik, di Propinsi Jawa Barat sendiri terdapat 7 SLB – A yaitu sekolah luar biasa yang khusus menampung anak – anak dengan keterbatasan penglihatan (tunanetra), 7 SLB – B yaitu sekolah yang khusus menampung anak – anak dengan keterbatasan pendengaran (tunarungu), 15 SLB – C yaitu sekolah yang khusus menampung anak – anak yang mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita) rendah, ada sekitar 144 SLB campuran, dan terdapat 2 buah SLB untuk anak - anak yang mengalami tunaganda di Jawa Barat (http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1900.0).


(12)

Universitas Kristen Maranatha Di SLB maupun di sekolah umum, guru merupakan pelaksana utama dalam pemberian pengajaran terhadap siswa – siswa dan tidak jarang guru menghadapi kendala dalam melaksanakan tugas – tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru. Guru SLB sendiri dapat dikatakan menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan guru – guru di sekolah umum. Ini dapat terjadi mengingat tanggung jawab yang berbeda dibandingkan guru – guru di sekolah umum, sistem pengajaran yang berbeda, siswa yang memiliki keterbatasan khusus, serta kebijakan – kebijakan khusus yang hanya berlaku di SLB.

Kurikulum di sekolah luar biasa berbeda dengan di sekolah umum, yaitu kurikulum di sekolah luar biasa lebih menekankan pada penguasaan keterampilan atau life skill, dengan perbandingan 60 % life skill dan 40 % akademik. Diharapkan ketika lulus SMA, siswa - siswa berkebutuhan khusus ini memiliki keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk bekerja sehingga setidaknya tidak lagi menjadi beban bagi orangtua mereka (http://www.pos-kupang.com/read/artikel /52072/ tamukita/2010/8/27/drs-falentinus-bhalu-ria-siswa-slb-harus-bisa-mandiri). Ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru karena mengajarkan keterampilan tertentu kepada anak yang memiliki keterbatasan khusus tidaklah semudah mengajarkannya pada siswa normal, mengajarkan keterampilan pada siswa yang memiliki keterbatasan khusus membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang tinggi dari pihak siswa maupun dari guru pengajar. Kurangnya jumlah guru SLB di Indonesia


(13)

Universitas Kristen Maranatha saat ini membuat tantangan – tantangan guru SLB yang sudah berat menjadi semakin berat karena berbeda dengan siswa – siswa pada umumnya, dalam mengajar siswa – siswa berkebutuhan khusus guru harus memberikan perhatian yang besar. Oleh karena itu, pada umumnya sistem pengajaran di SLB bersifat individual.

Salah satu SLB yang terdapat di kota Bandung adalah SLB C “X”. Sekolah ini

merupakan SLB berstatus sekolah swasta yang menerima siswa – siswa dengan keterbelakangan mental atau disebut sebagai tunagrahita. Selain menerima siswa dengan keterbelakangan mental, sekolah ini juga menerima siswa - siswa down syndrome dan autis. Ada dua kategori siswa tunagrahita yang bersekolah di SLB C

“X” yaitu siswa - siswa yang tergolong mampu didik yaitu mereka yang memiliki IQ di atas 50, dan siswa - siswa yang tergolong mampu latih yaitu mereka yang memiliki IQ di bawah 50. Usia siswa yang bersekolah di SLB C “X” ini juga bervariasi, mulai dari anak – anak usia taman kanak – kanak sampai dengan mereka yang berumur di atas 40 tahun (kelas keterampilan). Usia siswa yang bervariasi ini menjadi tantangan sendiri bagi guru –guru yang mengajar di SLB C “X” ini. Seperti kurikulum sekolah luar biasa pada umumnya, kurikulum di sekolah ini juga lebih menekankan pada penguasaan keterampilan. Untuk siswa - siswa yang tergolong mampu didik diajarkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Untuk siswa - siswa yang tergolong mampu latih, mereka diajarkan keterampilan – keterampilan untuk


(14)

Universitas Kristen Maranatha mengurus diri mereka sendiri atau disebut sebagai KMDS (kemampuan menolong diri sendiri).

Menjadi guru bagi siswa - siswa tunagrahita membutuhkan kesabaran dan dedikasi yang tinggi karena keterbelakangan mental membuat siswa - siswa tunagrahita mengalami keterbatasan dalam hal emosi, intelegensi, dan fungsi – fungsi mental lainnya. Tidak jarang siswa tunagrahita mengalami tantrum dan menenangkan siswa tunagrahita yang sedang tantrum tentu saja lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan menenangkan anak balita sekalipun. Berkomunikasi dengan siswa - siswa tunagrahita juga membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi karena mereka juga mengalami keterbatasan dalam hal komunikasi. Selain mengajar siswa – siswa yang memiliki keterbatasan khusus, guru – guru juga harus menghadapi tuntutan dari orangtua siswa tunagrahita yang menginginkan anak – anaknya dapat melakukan hal – hal seperti anak normal, sedangkan pada kenyataannya anak tunagrahita memiliki kemampuan yang berbeda dengan anak normal.

Keterbatasan yang dialami siswa tunagrahita membuat guru harus menaruh perhatian yang sangat besar kepada siswa - siswa tersebut, terutama agar jangan sampai mereka menyakiti diri sendiri maupun menyakiti orang lain. Sekolah ini memiliki asrama untuk menampung siswa - siswa yang berasal dari luar kota dan juga siswa - siswa yang dititipkan oleh departemen sosial (DEPSOS). Di sekolah ini


(15)

Universitas Kristen Maranatha tidak ada perbandingan yang pasti mengenai berapa jumlah guru dan siswa dalam setiap kelas, jumlah siswa dan guru disesuaikan dengan jumlah siswa yang ada di setiap tingkat. Terdapat 19 orang guru yang terlibat secara langsung dalam mengajar siswa – siswa tunagrahita. Walaupun sekolah ini merupakan sekolah swasta namun tidak semua guru berstatus pegawai swasta, terdapat juga guru – guru yang berstatus pegawai negeri sipil. Persyaratan utama yang harus dipenuhi untuk dapat mengajar di sekolah ini adalah guru harus merupakan lulusan S1 pendidikan luar biasa dan harus lulus tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory)yang diselenggarakan

oleh yayasan yang menaungi SLB C “X”.

Beratnya tugas yang harus dijalani oleh para guru SLB ini dapat ditafsirkan sebagai adversity. Terdapat dua perbedaan penghayatan guru terhadap adversity yang dihadapi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai guru SLB C. Ada guru yang memandang adversity sebagai tantangan sehingga guru akan optimistis dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya karena akan melihat situasi yang berat itu sebagai tantangan yang mendorongnya untuk meningkatkan kinerjanya. Sebaliknya, bagi guru yang memandang adversity sebagai hambatan, maka akan mengembangkan sikap pesimistis dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya dan karenanya akan lebih rentan mengalami depresi sehingga semakin menenggelamkan kinerjanya.


(16)

Universitas Kristen Maranatha Ketika seorang guru menghadapi situasi pekerjaan yang rentan dengan adversity, maka bagaimana guru menghayati adversity tersebut − apakah dihayati sebagai hambatan yang membuatnya pesimistis atau sebagai tantangan yang

membuatnya optimistis − dipengaruhi oleh pandangan guru tentang mengapa situasi – situasi, situasi buruk maupun situasi baik, dapat terjadi padanya atau yang disebut sebagai explanatory style. Explanatory style ini akan membentuk kepribadian seseorang menjadi optimistis atau pesimistis (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Guru yang optimistis ketika mengalami kegagalan, tidak akan berfokus pada kegagalan yang dialami dan menyesal terus menerus, namun justru dapat segera bangkit dari kegagalan yang dialaminya. Seorang guru yang optimistis juga melihat masalah – masalahnya sebagai sesuatu yang dapat diatasi, dapat menghadapi stress secara lebih efektif, dan mencari dukungan sosial. Guru yang pesimistis cenderung kurang bersemangat dalam menjalankan pekerjaannya yang rentan dengan adversity karena berpikir bahwa situasi baik bersifat sementara sedangkan situasi buruk bersifat menetap, menyeluruh dan terjadi karena kesalahannya sendiri sehingga merasa bahwa apapun yang ia lakukan tidak akan dapat mengubah atau mengurangi adversity yang ia alami. Selain guru yang pesimistis dan optimistis, juga terdapat guru yang memiliki explanatory style moderat yaitu guru yang tidak terlalu optimistis namun juga tidak terlalu pesimistis.


(17)

Universitas Kristen Maranatha Explanatory style optimis, explanatory style moderat dan explanatory style pesimis guru SLB dalam memandang dan menjalankan pekerjaannya kemudian akan memengaruhi tindakan guru dalam menghadapi serta mengatasi adversity yang terjadi dan pada akhirnya akan memengaruhi ketahanan atau resiliency yang dimiliki dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sebagai seorang guru SLB. Perbedaan tipe explanatory style yang dimiliki oleh seorang guru memiliki kontribusi yang berbeda juga terhadap resiliency dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya

di SLB C “X”. Guru dengan explanatory style optimis akan resilience dalam menjalani pekerjaannya dan karenanya yakin bahwa dirinya dapat mengatasi adversity serta akan berusaha menjadi orang yang pantang menyerah. Walaupun explanatory style optimis memiliki banyak keuntungan, namun Martin Seligman juga mengungkapkan sisi negatif dari explanatory style optimis. Seseorang dengan explanatory style optimis akan menyalahkan situasi eksternal ketika mengalami kegagalan atau situasi buruk, walaupun mungkin saja situasi buruk atau kegagalan tersebut disebabkan karena dirinya sendiri. Hal ini akan membuat seseorang tidak belajar untuk mengakui kekurangan atau kesalahan yang ia miliki dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya. Bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukan ini penting agar seseorang dapat merubah dirinya menjadi orang yang lebih baik lagi dari sebelumnya (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Selain itu, seseorang yang optimistis cenderung hanya melihat sisi positif dari setiap


(18)

Universitas Kristen Maranatha situasi yang dialaminya dan menutup mata terhadap situasi negatif. Optimisme yang diperlukan agar seseorang dapat resilience, dalam pekerjaan maupun dalam hidupnya, adalah optimisme yang realistis yaitu menyadari bahwa outcome positif diperoleh tidak secara otomatis, namun diperoleh melalui usaha, pemecahan masalah, dan perencanaan serta menyadari bahwa dalam setiap situasi tidak hanya terdapat sisi positif namun juga terdapat sisi negatif dan sisi negatif tersebut tidak dapat diabaikan (resiliency guide, www.reachinginreachingout.com).

Penjelasan yang diungkapkan bahwa tidak selamanya optimistis membawa keuntungan, menandakan bahwa tidak dapat ditentukan apakah seorang guru yang memiliki explanatory style optimis akan memiliki resiliency yang lebih tinggi daripada guru yang memiliki explanatory style moderat karena resiliency guru dalam menghadapi situasi pekerjaan yang rentan dengan adversity ini diperoleh melalui pembelajaran dan kerja keras bukan diperoleh secara otomatis. Sebaliknya, guru dengan explanatory style pesimis akan kurang resilience dalam menjalakan pekerjaannya karena memandang bahwa pekerjaannya merupakan situasi yang penuh tekanan sedangkan dirinya tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengatasi keadaan tersebut. Guru yang pesimistis juga akan lebih memiliki kemungkinan untuk melepaskan pekerjaannya karena merasa tidak berdaya dalam menghadapi situasi pekerjaannya yang rentan dengan adversity.


(19)

Universitas Kristen Maranatha Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Charles P. Martin-Krumm, Philippe G Sarazin, Christopher Peterson, dan Jean-Pierre Famose terhadap mereka yang mengalami kegagalan dalam pertandingan olahraga ditemukan bahwa explanatory style optimis dapat membantu agar orang dapat bertahan ketika menghadapi adversity. Sebaliknya, explanatory style pesimis dapat membuat orang mudah merasa cemas ketika menghadapi tekanan dan membuat konsekuensi – konsekuensi yang ia alami karena adversity menjadi semakin intens (misalnya : semakin menurunnya kepercayaan diri dan semakin tingginya tingkat kecemasan). Hasil penelitian tersebut menandakan bahwa explanatory style memiliki kontribusi terhadap resiliency, dapat berupa kontribusi positif, yang memperkuat resiliency, atau kontribusi negatif, yang memperlemah resiliency.

Melihat kondisi serta situasi yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti seberapa besar kontribusi explanatory style, yang merupakan pembentuk kepribadian optimistis, moderat, dan pesimistis, terhadap resiliency pada

guru SLB C “X” dalam menjalani beban, tanggung jawab, dan tugas - tugasnya secara menyeluruh.

1.2Identifikasi Masalah

Melalui penelitian ini, ingin diketahui seberapa besar kontribusi explanatory style terhadap resiliency pada guru SLB C “X” Bandung.


(20)

Universitas Kristen Maranatha

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran explanatory style dan resiliency dengan tujuan untuk memeroleh gambaran kekuatan kontribusinya.

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah

- Memberikan informasi tambahan bagi bidang Psikologi khususnya Psikologi Pendidikan serta Psikologi Industri dan Organisasi mengenai kontribusi explanatory style terhadap resiliency terutama pada guru SLB C.

- Selanjutnya penelitian ini dapat pula digunakan sebagai bahan pertimbangan dan referensi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian serupa maupun penelitian lanjutan mengenai resiliency dan explanatory style.

1.4.2 Kegunaan Praktis

-

Memberi informasi yayasan yang menaungi SLB C „X‟ Bandung mengenai kontribusi explanatory style terhadap resiliency. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan melakukan training and development untuk meningkatkan job performance guru – guru yang akan dan sedang


(21)

Universitas Kristen Maranatha - Sebagai informasi bagi guru SLB C “X” Bandung mengenai pentingnya

explanatory style untuk meningkatkan resiliency yang mereka miliki dan informasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengevaluasi diri sehingga guru SLB C dapat mengoptimalkan kemampuan diri mereka dan mampu bertahan serta mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai tuntutan, stress, hambatan, tanggung jawab dan masalah yang mungkin terjadi baik di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, maupun lingkungan masyarakat umum.

1.5Kerangka Pikir

Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata – rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, M.Si., psi., Psikologi Anak Luar Biasa, 2007). Mengingat keterbatasan intelektual yang dimiliki oleh anak – anak tunagrahita, maka tidak memungkinkan baginya untuk mengikuti sistem pendidikan klasikal di sekolah umum, oleh karena itu anak – anak tunagrahita membutuhkan sistem pendidikan disesuaikan dengan kemampuan yang mereka miliki (Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, M.Si., psi., Psikologi Anak Luar Biasa, 2007). Sistem pendidikan yang dikhususkan untuk pendidikan bagi anak tunagrahita adalah sekolah luar biasa (SLB) C.


(22)

Universitas Kristen Maranatha Tugas – tugas guru SLB C adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik, memberikan bimbingan dan konseling, serta melakukan home visit bagi siswa – siswanya. Tugas – tugas guru yang mengajar di SLB C dapat dikatakan lebih berat dibanding guru – guru yang mengajar di sekolah umum karena guru – guru yang mengajar di SLB C harus mendidik siswa – siswa yang mengalami keterbelakangan mental, terutama mengajarkan siswa membaca dan menulis. Hal tersebut tidaklah mudah karena berhubungan dengan hambatan – hambatan, terutama dalam hal emosional dan kognitif sehingga guru harus memiliki daya tahan dan kesabaran yang lebih tinggi untuk mengajar siswa – siswa tersebut.

Hambatan – hambatan serta tantangan – tantangan yang dialami guru dalam menjalankan tugasnya menjadi seorang pengajar di SLB C dapat dihayati sebagai adversity oleh guru. Ketika seorang guru menghadapi adversity, tindakan yang akan dilakukan untuk menghadapi adversity tersebut bergantung pada belief guru terhadap setiap situasi yang terjadi padanya, eksplanasi dan interpretasi terhadap situasi buruk dan situasi baik yang terjadi padanya. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam cara guru menghayati adversity yang mereka alami, perbedaan cara guru dalam menghayati situasi, situasi buruk maupun situasi baik, dipengaruhi oleh explanatory style. Explanatory style dapat didefinisikan sebagai cara seseorang dalam menjelaskan penyebab – penyebab dari situasi, situasi buruk maupun situasi baik,


(23)

Universitas Kristen Maranatha yang terjadi padanya (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Terdapat tiga jenis explanatory style dalam diri seseorang yaitu explanatory style optimis, explanatory style pesimis, dan explanatory style moderat. Explanatory style seseorang dapat diukur melalui tiga dimensi penting yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990).

Permanence terkait dengan cara pandang seseorang mengenai seberapa lama penyebab - penyebab situasi buruk atau situasi baik akan menetap dalam dirinya. Seorang guru yang memiliki explanatory style optimis ketika dihadapkan pada situasi buruk akan memandang bahwa penyebab situasi tersebut bersifat sementara saja. Seorang guru yang memiliki explanatory style optimis ketika mengalami kegagalan, hanya akan merasa tidak berdaya sementara saja dan ia juga akan dapat segera bangkit kembali. Sedangkan guru yang memiliki explanatory style pesimis, ketika dihadapkan pada situasi buruk akan menghayati bahwa penyebab situasi buruk bersifat menetap dan percaya bahwa situasi tersebut akan selalu mempengaruhi kehidupannya. Ketika mengalami kegagalan, seorang guru yang memiliki explanatory style pesimis akan merasa tidak berdaya dalam jangka waktu yang lama sehingga ia akan sulit untuk bangkit kembali.

Dimensi pervasiveness terkait dengan jangkauan dari penyebab - penyebab situasi yang tidak menguntungkan (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism,


(24)

Universitas Kristen Maranatha 1990). Ada dua cara pandang yang berbeda yaitu specific dan universal. Seorang guru yang memiliki explanatory style optimis akan memiliki cara pandang bahwa penyebab situasi buruk bersifat specific atau tertentu. Seorang guru yang memiliki explanatory style optimis ketika menghadapi situasi buruk, akan merasa tidak berdaya pada satu aspek atau area spesifik dalam kehidupannya saja, yaitu aspek kehidupan yang terkait dengan situasi buruk yang terjadi padanya sedangkan aspek kehidupan lainnya tidak terpengaruh oleh situasi buruk tersebut. Seorang guru yang memandang bahwa penyebab situasi buruk bersifat spesifik, akan resilience dalam menjalankan pekerjaannya sebagai guru SLB. Berbeda dengan guru yang memiliki explanatory style optimis, seorang guru yang memiliki explanatory style pesimis akan memandang bahwa penyebab situasi buruk bersifat universal atau menyeluruh. Ketika dihadapkan pada situasi buruk, seorang guru yang memiliki explanatory style pesimis akan menyerah dan merasa sangat tidak berdaya dalam seluruh area atau aspek kehidupannya, walaupun pada kenyataannya situasi buruk tersebut hanya terjadi pada salah satu area kehidupannya saja. Hal tersebut akan menyebabkan guru kurang resilience dalam menjalankan pekerjaannya sebagai guru SLB.

Berbeda dengan kedua dimensi sebelumnya, dimensi personalization terkait dengan bagaimana penghayatan seseorang terhadap dirinya sendiri karena dimensi personalization terkait dengan self esteem yang dimiliki oleh seseorang (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Seorang guru yang memiliki explanatory


(25)

Universitas Kristen Maranatha style optimis akan memiliki self esteem yang lebih tinggi dibanding guru yang memiliki explanatory style pesimis. Hal ini dikarenakan ketika dihadapkan pada situasi buruk, seorang guru yang memiliki explanatory style optimis akan menyalahkan situasi eksternal sebagai penyebab situasi tersebut, sedangkan seorang guru yang memiliki explanatory style pesimis akan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab situasi buruk yang terjadi padanya. Sebaliknya, ketika mengalami situasi baik, guru yang memiliki explanatory style optimis akan menganggap bahwa situasi baik tersebut disebabkan karena dirinya sedangkan guru yang memiliki explanatory style pesimis akan menganggap bahwa situasi baik disebabkan oleh eksternal.

Explanatory style guru terhadap situasi yang dialami dalam pekerjaannya sebagai guru SLB akan memengaruhi tindakannya dalam menghadapi hambatan dan tantangan dalam mengajar yang dihayati sebagai adversity, apakah akan menyerah pada adversity atau berusaha untuk mengubah adversity menjadi situasi yang lebih favorable baginya. Ketiga jenis explanatory style yang diungkapkan oleh Martin Seligman yaitu explanatory style optimis, explanatory style moderat, dan explanatory style pesimis memiliki kontribusi yang berbeda – beda terhadap resiliency guru dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya. Guru yang memiliki explanatory style optimis akan lebih resilience dalam menjalankan tugas – tugasnya sebagai guru karena ketika mereka mengalami adversity, yang dapat dihayati sebagai situasi buruk


(26)

Universitas Kristen Maranatha namun juga dapat dihayati sebagai situasi baik yang membuatnya merasa tertantang, guru akan persistence, berusaha untuk tidak mudah menyerah dan berusaha bangkit kembali ketika menghadapi kegagalan atau hambatan. Guru yang memiliki explanatory style optimis juga akan lebih memiliki energi untuk menghadapi hambatan serta tantangan karena mereka menganggap bahwa hambatan serta tantangan bukanlah penghalang untuknya dan guru juga tidak akan mudah mengalami stress walaupun menghadapi situasi yang sulit dan menghadapi tantangan yang sangat berat sekalipun.

Guru yang memiliki explanatory style moderat merupakan guru yang merasa optimistis pada beberapa aspek explanatory style namun merasa pesimistis pada beberapa aspek explanatory style lainnya. Guru yang memiliki explanatory style moderat juga akan dapat mengembangkan resiliency dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang guru SLB C. Sebaliknya, guru yang memiliki explanatory style pesimis akan cenderung kurang resilience dalam pekerjaannya karena ia akan mudah menyerah ketika menghadapi adversity, bahkan ia akan menjadi lumpuh karena tidak tahu bagaimana cara menghadapi adversity serta ia juga akan lebih rentan mengalami stress dibandingkan guru dengan explanatory style optimis dan explanatory style moderat. Guru yang memiliki explanatory style pesimis juga akan menganggap bahwa situasi pekerjaannya yang rentan dengan adversity


(27)

Universitas Kristen Maranatha merupakan situasi buruk yang membuat ia terhambat karena itu ia akan menjadi kurang resilience dalam pekerjaannya.

Resiliency merupakan kemampuan seseorang untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara maksimal walaupun ia berada dalam kondisi yang menekan, atau banyak rintangan dan halangan (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Resiliency ini penting untuk dimiliki oleh guru terutama dalam menghadapi dan mengatasi stress di tempat kerja dan agar dapat bertahan dan beradaptasi dengan cara – cara yang positif dalam menjalankan tugas – tugas sebagai seorang guru SLB. Resiliency dapat tercermin melalui personal strengths, yang merupakan karakteristik – karakteristik individu, yang disebut juga sebagai aset internal atau kompetensi personal, dan personal strengths ini terkait dengan perkembangan yang sehat dan kesuksesan dalam hidup. Personal strengths bukan merupakan faktor pembentuk resiliency namun personal strengths inilah yang memberikan gambaran mengenai resiliency yang dimiliki oleh seorang individu (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004) . Personal strengths ini dapat terukur dan terlihat melalui empat aspek yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose and a bright future (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004).

Social competence meliputi karakteristik, kemampuan, dan sikap yang penting dalam membangun relasi dan kedekatan yang positif dengan orang lain di sekitarnya


(28)

Universitas Kristen Maranatha (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Social competence ini dapat diukur melalui keterampilan responsiveness, communication, empathy dan caring, serta compassion, altruism, dan juga forgiveness. Seorang guru yang memiliki keterampilan social competence yang baik akan lebih mampu membina relasi yang positif dengan rekan sesama guru, orang tua siswa, siswa – siswa yang ia ajar, serta orang – orang yang memiliki hubungan dengannya dalam kaitan pekerjaannya sebagai seorang guru SLB. Relasi yang positif ini diperlukan sehingga guru bisa mendapatkan dukungan dari orang – orang di sekitarnya dalam menghadapi adversity yang dialaminya. Sedangkan, guru yang kurang memiliki keterampilan social competence akan kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat ia bekerja dan ia juga akan cenderung menarik diri. Guru yang kurang memiliki social competence akan merasa sendirian karena merasa bahwa ia kurang mendapat dukungan dari orang – orang di sekitarnya dalam menghadapi adversity dalam pekerjaanya sebagai guru SLB sehingga ia akan cenderung lebih cepat menyerah dan kurang memiliki daya tahan dalam bekerja.

Aspek kedua adalah keterampilan guru dalam melakukan problem solving atau pemecahan masalah. Kemampuan problem solving ini meliputi kemampuan guru untuk melakukan planning, flexibility, resourcefulness, critical thinking, dan insight (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Seorang guru yang memiliki kemampuan problem solving yang baik akan mampu mencari jalan keluar


(29)

Universitas Kristen Maranatha terhadap masalah – masalah yang ia hadapi dan ia juga mampu berpikir secara flexible sehingga guru mampu memikirkan alternatif – alternatif untuk memecahkan masalah yang sedang ia hadapi. Sedangkan guru yang kurang memiliki kemampuan problem solving akan kurang mampu mencari jalan keluar ketika menghadapi masalah dan ia juga cenderung belarut – larut dalam menghadapi masalah yang ia hadapi. Ketidakmampuan guru dalam melakukan problem solving akan membuat guru tidak dapat melakukan tanggung jawabnya sebagai guru dengan baik karena ia akan sulit mencari pemecahan ketika menghadapi masalah atau kesulitan.

Autonomy dapat terlihat melalui positive identity, internal locus of control dan initiative, self efficacy dan mastery, adaptive distancing dan resistance, self awareness dan mindfulness, serta humor (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Guru yang memiliki autonomy yang kuat akan lebih resilience dalam menjalankan tugas – tugasnya sebagai guru karena ia mampu untuk memotivasi dirinya sendiri untuk mencapai goal yang telah ditetapkan. Selain itu, ia juga memiliki self efficacy yang tinggi yang membuat ia mampu mengubah adversity menjadi keadaan yang lebih favorable bagi guru sehingga ia merasa yakin bahwa ia mampu menjalankan tugas – tugasnya dengan sebaik mungkin. Ketika menghadapi adversity, guru yang memiliki autonomy yang kuat juga mampu menggunakan humor untuk mengurangi stress akibat adversity yang ia alami di tempat kerja. Sedangkan, guru yang kurang memiliki autonomy akan merasa tidak yakin diri dan tergantung


(30)

Universitas Kristen Maranatha kepada orang lain dalam mengatasi adversity yang ia alami, hal ini kemudian akan berakibat ia kurang mampu melakukan pekerjaannya sebagai guru dengan optimal.

Sense of purpose atau tujuan hidup merupakan keyakinan seseorang secara mendalam bahwa hidupnya berharga dan ia memiliki tempat di dunia ini (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Sense of purpose dan bright future dapat dikatakan merupakan pemacu terkuat bagi seseorang untuk menghasilkan outcomes yang positif walaupun mengalami adversity. Kategori ini memiliki kekuatan – kekuatan yang saling berhubungan mulai dari goal direction, optimism, creativity, a sense of meaning, dan coherence. Seorang guru yang memandang secara positif tujuan hidup dan masa depannya, akan bersikap optimis dan memiliki harapan tinggi, tidak hanya terhadap tujuan dan masa depan dirinya saja namun juga tujuan dan masa depan siswa – siswa yang mereka didik dan guru akan lebih bersemangat untuk mewujudkan harapan – harapan yang ia miliki, terutama harapan yang ia miliki terhadap masa depan siswa – siswanya. Guru yang tidak memiliki harapan positif terhadap masa depannya dan masa depan siswa – siswanya akan kurang memiliki harapan dan merasa bahwa siswa – siswanya tidak memiliki masa depan yang cerah, hal ini akan berakibat guru kurang bersemangat dalam mendidik siswa – siswanya karena guru merasa tidak ada tujuan yang ingin dicapai mengenai masa depan dirinya dan siswa – siswanya.


(31)

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.5 Bagan Kerangkan Pemikiran

1.6Asumsi

- Guru yang mengajar di SLB C mengalami situasi – situasi yang dikategorikan sebagai adversity.

- Untuk dapat mengajar dengan optimal, guru SLB C harus memiliki pandangan yang positif terhadap adversity yang mereka alami.

- Guru yang pesimistis akan memandang peristiwa baik sebagai sesuatu yang bersifat temporary, specific, dan eksternal.

Explanatory Style Pervasiveness Permanence Personalization

Resiliency Social

Competence Problem Solving Autonomy

Sense of Purpose Guru SLB C

Adversity guru di


(32)

Universitas Kristen Maranatha - Guru yang optimistis akan memandang peristiwa baik sebagai sesuatu yang

bersifat permanent, universal, dan internal.

- Guru yang pesimistis akan memandang peristiwa buruk sebagai sesuatu yang bersifat permanent, universal, dan internal.

- Guru yang optimistis akan memandang peristiwa buruk sebagai sesuatu yang bersifat temporary, specific, dan eksternal.

- Guru yang optimistis akan memiliki daya tahan yang lebih baik pada situasi adversity.

- Guru yang pesimistis akan kurang memiliki daya tahan ketika dihadapkan pada situasi adversity.

1.7Hipotesis


(33)

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik suatu gambaran umum mengenai kontribusi explanatory style terhadap resiliency pada guru SLB C “X”, dengan kesimpulan sebagai berikut:

1) Terdapat tiga jenis explanatory style yang pada guru – guru SLB C “X” yaitu explanatory style optimis, explanatory style moderat, dan explanatory style pesimis. Setiap explanatory style memiliki kontribusi yang berbeda – beda terhadap resiliency pada guru SLB C “X”.

2) Explanatory style memiliki kontribusi yang tergolong sedang (57%) terhadap resiliency guru dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sebagai

guru di SLB C “X”.

3) Pada guru SLB C “X”, explanatory style moderat memiliki kontribusi yang sangat tinggi terhadap resiliency yaitu sebesar 98,8%. Hal ini dapat berarti

bahwa guru SLB C “X” yang memiliki explanatory style moderat akan dapat mengembangkan resiliency dalam menghadapi situasi pekerjaan.


(34)

Universitas Kristen Maranatha 4) Explanatory style pesimis memiliki hubungan yang negatif dengan resiliency

yang berarti bahwa kontribusi yang ada yaitu sebesar 76,2% . Hal ini berarti semakin pesimistis seorang guru, semakin rendah pula resiliency yang ia miliki dalam menghadapi situasi adverse dalam pekerjaannya.

5.2. Saran

5.2.1 Saran bagi penelitian lanjutan

Apabila ingin melakukan penelitian lanjutan maka dapat melakukan pengambilan data terhadap populasi yang berukuran lebih besar agar data – data yang diperoleh dapat lebih beragam untuk menggambarkan kontribusi explanatory style terhadap resiliency. Penelitian juga dapat diperdalam dengan mengukur faktor – faktor yang dapat mempengaruhi resiliency guru dalam menghadapi situasi pekerjaan yang rentan dengan situasi adverse sehingga dinamika kontribusi explanatory style dan resiliency dapat tergambar lebih jelas dan dapat dipahami dengan baik. Selain itu, diharapkan dapat mengadakan perbaikan terhadap item – item kuesioner resiliency sehingga validitasnya tetap terjaga.


(35)

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2. Guna laksana

1. Bagi yayasan yang menaungi SLB C “X”

Agar dapat menggunakan informasi yang diperoleh melalui penelitian ini untuk dapat lebih memahami mengenai dinamika intra individual dalam diri manusia, yaitu bagaimana tipe kepribadian (optimis – pesimis – moderat) dapat mempengaruhi daya tahan guru dalam menghadapi situasi pekerjaan sebagai guru SLB C yang penuh dengan tantangan. Informasi ini kemudian dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam melakukan recruitment calon guru di SLB

C “X”. Selain itu mengingat bahwa terdapat banyak guru yang memiliki explanatory style pesimis, maka informasi yang diperoleh melalui penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam melakukan training dan development untuk meningkatkan performance kerja guru –guru di SLB C “X”

2. Bagi guru –guru di SLB C “X”

Agar dapat menggunakan informasi mengenai kontribusi explanatory style terhadap resiliency ini untuk dapat merefleksikan diri dan mengembangkan diri menjadi guru yang berperformance lebih baik lagi dalam menjalankan tugas serta tanggung jawab di SLB C “X”.


(36)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. California: WestEd

Cook, Thomas D. dan Campbell, Donald T. 1979. Quasi-Experimentation: Design & Analysis Issues for Field Settings. Boston: Houghton Mifflin Company

Kumar, Ranjit. 1996. Research Methodology. London: SAGE Publications Ltd

Luthans, Fred. 2002. Organizational Behaviour. New York: McGraw – Hill Irwin

Nasir, Mohhamad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia

Reivich, Karen dan Shatte, Andrew. 2003. The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner Strength and Overcoming Life's Hurdles. New York: Three Rivers Press

Seligman, Martin E. P. 1990. Learned Optimism: How To Change Your Mind And Your Life. New York: Pocket Books

Somantri, Dra. Hj. T. Sutjihati, M.Si., Psi. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama

Sudjana, Prof. Dr. M.A., M.Sc. 2002. Metode Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito


(37)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2006. Siapa Yang Butuh Alamat Slb Di Jawa Barat. Web Forum UPI. (Online). (http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1900.0, diakses 22 September 2010)

Chitrana, Yesicka. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Resiliency pada Orangtua Anak Tunagrahita. Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Dama, Alfred. 2010. Drs. Falentinus Bhalu Ria: Siswa SLB Harus Bisa Mandiri. Pos Kupang. (Online). (http://www.pos-kupang.com/read/artikel /52072/ tamukita /2010/8/27/drs-falentinus-bhalu-ria-siswa-slb-harus-bisa-mandiri, diakses 18 September 2010)

Martin – Krumm, Charles P., Sarrazin, Philippe G., Peterson, Christopher., and Famose, Jean – Pierre. 2003. Explanatory Style and Resilience after Sports Failure. Personality and Individual Differences 35, 7 (2003) 1685 - 1695. (Online). (http://halshs.archives-ouvertes.fr/docs/00/38/85/64/PDF/Martin-Krumm_et_al_PAID_2003.pdf, diakses 23 Januari 2011)

Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus. 2010. 2011, Gaji Guru SLB Paling Kecil Rp 4 Juta. Psibkusd's Blog. (Online). (http://psibkusd.wordpress.com/ 2010/09/17/2011-gaji-guru-slb-paling-kecil-rp-4-juta/, diakses 21 September 2010)

Resiliency Guidebook. Reaching IN... Reaching OUT (RIRO). (Online) (www.reachinginreachingout.com/, diakses 15 September 2010)

Resiliency Module: Curriculum Resources for College and University Programs. Reaching IN... Reaching OUT (RIRO). (Online) (www.reachinginreachingout.com/, diakses 15 September 2010)

Sabrina, Yuyun. 2009. Meneliti Keseharian Penderita SLB (Sekolah Luar Biasa) Nusantara. Blog Yuyun Sabrina. (Online). (http://memeww. blogspot.com /2009/12/meneliti-keseharian-penderita-slb.html, diakses 18 September 2010)


(1)

Universitas Kristen Maranatha - Guru yang optimistis akan memandang peristiwa baik sebagai sesuatu yang

bersifat permanent, universal, dan internal.

- Guru yang pesimistis akan memandang peristiwa buruk sebagai sesuatu yang bersifat permanent, universal, dan internal.

- Guru yang optimistis akan memandang peristiwa buruk sebagai sesuatu yang bersifat temporary, specific, dan eksternal.

- Guru yang optimistis akan memiliki daya tahan yang lebih baik pada situasi

adversity.

- Guru yang pesimistis akan kurang memiliki daya tahan ketika dihadapkan pada situasi adversity.

1.7Hipotesis


(2)

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik suatu gambaran umum mengenai kontribusi explanatory style terhadap

resiliency pada guru SLB C “X”, dengan kesimpulan sebagai berikut:

1) Terdapat tiga jenis explanatory style yang pada guru – guru SLB C “X” yaitu

explanatory style optimis, explanatory style moderat, dan explanatory style

pesimis. Setiap explanatory style memiliki kontribusi yang berbeda – beda terhadap resiliencypada guru SLB C “X”.

2) Explanatory style memiliki kontribusi yang tergolong sedang (57%) terhadap

resiliency guru dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sebagai guru di SLB C “X”.

3) Pada guru SLB C “X”, explanatory style moderat memiliki kontribusi yang

sangat tinggi terhadap resiliency yaitu sebesar 98,8%. Hal ini dapat berarti

bahwa guru SLB C “X” yang memiliki explanatory style moderat akan dapat


(3)

Universitas Kristen Maranatha 4) Explanatory style pesimis memiliki hubungan yang negatif dengan resiliency

yang berarti bahwa kontribusi yang ada yaitu sebesar 76,2% . Hal ini berarti semakin pesimistis seorang guru, semakin rendah pula resiliency yang ia miliki dalam menghadapi situasi adverse dalam pekerjaannya.

5.2. Saran

5.2.1 Saran bagi penelitian lanjutan

Apabila ingin melakukan penelitian lanjutan maka dapat melakukan pengambilan data terhadap populasi yang berukuran lebih besar agar data – data yang diperoleh dapat lebih beragam untuk menggambarkan kontribusi explanatory style

terhadap resiliency. Penelitian juga dapat diperdalam dengan mengukur faktor – faktor yang dapat mempengaruhi resiliency guru dalam menghadapi situasi pekerjaan yang rentan dengan situasi adverse sehingga dinamika kontribusi explanatory style

dan resiliency dapat tergambar lebih jelas dan dapat dipahami dengan baik. Selain itu, diharapkan dapat mengadakan perbaikan terhadap item – item kuesioner


(4)

Universitas Kristen Maranatha 5.2.2. Guna laksana

1. Bagi yayasan yang menaungi SLB C “X”

Agar dapat menggunakan informasi yang diperoleh melalui penelitian ini untuk dapat lebih memahami mengenai dinamika intra individual dalam diri manusia, yaitu bagaimana tipe kepribadian (optimis – pesimis – moderat) dapat mempengaruhi daya tahan guru dalam menghadapi situasi pekerjaan sebagai guru SLB C yang penuh dengan tantangan. Informasi ini kemudian dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam melakukan recruitment calon guru di SLB

C “X”. Selain itu mengingat bahwa terdapat banyak guru yang memiliki

explanatory style pesimis, maka informasi yang diperoleh melalui penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam melakukan training dan

development untuk meningkatkan performance kerja guru –guru di SLB C “X” 2. Bagi guru –guru di SLB C “X”

Agar dapat menggunakan informasi mengenai kontribusi explanatory style

terhadap resiliency ini untuk dapat merefleksikan diri dan mengembangkan diri menjadi guru yang berperformance lebih baik lagi dalam menjalankan tugas serta tanggung jawab di SLB C “X”.


(5)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. California: WestEd

Cook, Thomas D. dan Campbell, Donald T. 1979. Quasi-Experimentation: Design & Analysis Issues for Field Settings. Boston: Houghton Mifflin Company Kumar, Ranjit. 1996. Research Methodology. London: SAGE Publications Ltd

Luthans, Fred. 2002. Organizational Behaviour. New York: McGraw – Hill Irwin Nasir, Mohhamad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia

Reivich, Karen dan Shatte, Andrew. 2003. The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner Strength and Overcoming Life's Hurdles. New York: Three Rivers Press

Seligman, Martin E. P. 1990. Learned Optimism: How To Change Your Mind And Your Life. New York: Pocket Books

Somantri, Dra. Hj. T. Sutjihati, M.Si., Psi. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama

Sudjana, Prof. Dr. M.A., M.Sc. 2002. Metode Statistika.Bandung: Penerbit Tarsito


(6)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2006. Siapa Yang Butuh Alamat Slb Di Jawa Barat. Web Forum UPI. (Online). (http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1900.0, diakses 22 September 2010)

Chitrana, Yesicka. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Resiliency pada Orangtua Anak Tunagrahita. Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Dama, Alfred. 2010. Drs. Falentinus Bhalu Ria: Siswa SLB Harus Bisa Mandiri. Pos Kupang. (Online). (http://www.pos-kupang.com/read/artikel /52072/ tamukita /2010/8/27/drs-falentinus-bhalu-ria-siswa-slb-harus-bisa-mandiri, diakses 18 September 2010)

Martin – Krumm, Charles P., Sarrazin, Philippe G., Peterson, Christopher., and Famose, Jean – Pierre. 2003. Explanatory Style and Resilience after Sports Failure. Personality and Individual Differences 35, 7 (2003) 1685 - 1695. (Online). (http://halshs.archives-ouvertes.fr/docs/00/38/85/64/PDF/Martin-Krumm_et_al_PAID_2003.pdf, diakses 23 Januari 2011)

Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus. 2010. 2011, Gaji Guru SLB Paling Kecil Rp 4 Juta. Psibkusd's Blog. (Online). (http://psibkusd.wordpress.com/ 2010/09/17/2011-gaji-guru-slb-paling-kecil-rp-4-juta/, diakses 21 September 2010) Resiliency Guidebook. Reaching IN... Reaching OUT (RIRO). (Online)

(www.reachinginreachingout.com/, diakses 15 September 2010)

Resiliency Module: Curriculum Resources for College and University Programs.

Reaching IN... Reaching OUT (RIRO). (Online)

(www.reachinginreachingout.com/, diakses 15 September 2010)

Sabrina, Yuyun. 2009. Meneliti Keseharian Penderita SLB (Sekolah Luar Biasa) Nusantara. Blog Yuyun Sabrina. (Online). (http://memeww. blogspot.com /2009/12/meneliti-keseharian-penderita-slb.html, diakses 18 September 2010)