PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN RESI GUDANG DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR.

(1)

1

SKRIPSI

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN

JAMINAN RESI GUDANG

DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA

DENPASAR

DEWA MADE ARI WIDIYATMIKA NIM.1203005069

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN

JAMINAN RESI GUDANG

DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA

DENPASAR

DEWA MADE ARI WIDIYATMIKA NIM.1203005069

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN

JAMINAN RESI GUDANG

DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA

DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

DEWA MADE ARI WIDIYATMIKA NIM. 1203005069

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

(5)

v


(6)

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat serta karuniaNYA, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Resi Gudang Dalam Praktek Perbankan di Kota Denpasar”. Skripsi ini disusun dalam rangka untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Pembuatan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini baik berupa bimbingan, arahan, saran, dan dukungan teknis maupun moril. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wirocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH. Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan sebagai Dosen Pembimbing I atas


(8)

viii

bimbingan, saran, serta waktu yang diluangkan untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum. Dosen Pembimbing II atas bimbingan, saran, serta waktu yang diluangkan untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak I Ketut Keneng, SH., MH. Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

8. Bapak/Ibu Dosen/Asisten Dosen yang telah membimbing dan membekali ilmu selama mengikuti perkuliahan.

9. Bapak/Ibu Staff Tata Usaha, Staff Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dalam mengurus segala keperluan administrasi selama mengikuti perkuliahan dan sehubungan dengan penulisan skripsi ini.

10.Bapak Gatot Supriatin KASIDALUR Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali yang banyak memberikan informasi dalam penulisan skripsi ini. 11.Bapak Anak Agung Gede Bagus Nareswara Relationship Manager PT. Bank

Mandiri (Persero) Tbk. yang banyak memberikan informasi dalam penulisan skripsi ini.

12.Gde Indrawan Martama Associate Account Officer BRIguna PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Denpasar Renon yang banyak memberikan informasi dalam penulisan skripsi ini.


(9)

ix

13.Istri dan anak tercinta Putu Maya Widya Chandrayani dan Dewa Ayu Tiara Purnamasari Diatmika atas segala doa dan dukungannya selama menyelesaikan penulisan skripsi ini.

14.Orang tua tercinta Dewa Made Puja, dan Desak Putu Istami, dan kakak tercinta Dewa Putu Gede Wedha Anggarayana, SE. dan adik Dewa Ayu Intan Fridayanti, ayah mertua Bapak Agus Supardi, SE. dan ibu mertua Ibu Ni Wayan Sartikawati, SE, serta Kadek Kharisma Suryandari dan Komang Gede Pradnyan atas semua dukungan, saran dan doanya yang tulus dan tiada hentinya selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 15.Sahabat tercinta Eric Hendrawan, Pebry Dirgantara, Gede Adi Nugraha, I.B.

Komang Paramartha, Wriyawan Aries, dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yakni rekan-rekan angkatan 2012, dan semua teman-teman di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan dukungan dan motivasi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, dan masih banyak kekurangannya. Untuk itu sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 15 Maret 2016


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 6

1.4 Orisinalitas ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 9

1.5.1 Tujuan umum ... 9

1.5.2 Tujuan khusus ... 10


(11)

xi

1.6.1 Manfaat teoritis ... 10

1.6.2 Manfaat praktis ... 10

1.7 Landasan Teoritis ... 11

1.8 Metode Penelitian ... 19

1.8.1. Jenis penelitian ... 19

1.8.2. Jenis pendekatan ... 20

1.8.3. Sifat penelitian ... 20

1.8.4. Data dan sumber data ... 21

1.8.5. Teknik pengumpulan data ... 22

1.8.6. Pengolahan dan analisis data ... 22

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DAN JAMINAN KREDIT ... 24

2.1. Pengertian Pernjanjian Kredit Bank ... 24

2.2. Fungsi dan Jenis Perjanjian Kredit ... 27

2.3. Prinsip-Prinsip Dalam Pemberian Kredit Bank ... 31

2.4. Jaminan Dalam Pernjanjian Kredit ... 33

2.5. Jenis-Jenis Jaminan Kredit ... 34

BAB III PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMININAN RESI GUDANG DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR ... 45

3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Resi Gudang ... 45

3.2. Manfaat dan Tujuan Sistem Resi Gudang ... 54


(12)

xii

3.4. Resi Gudang Sebagai Jaminan Kredit ... 59

3.5. Prosedur Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Resi Gudang ... 62

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI KENDALA PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN RESI GUDANG DALAM PRAKTEK DI KOTA DENPASAR ... 81

4.1.Faktor-Faktor Yang Menjadi Kendala Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Resi Gudang Dalam Praktek Di Kota Denpasar ... 81

4.2.Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Resi Gudang ... 92

BAB V PENUTUP ... 95

5.1. Simpulan ... 95

5.2. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

1.1 Materi Perbedaan Penelitian ... 7

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman

3.1 Prosedur Pelaksanaan Pemberian Kredit


(14)

xiv

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN RESI GUDANG DALAM PRAKTEK PERBANKAN

DI KOTA DENPASAR ABSTRAK

Sistem Resi Gudang dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi petani maupun kelompok petani dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang. Menurut ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem resi gudang bahwa Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan jaminan utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar melihat resiko usaha tani masih sangat tinggi karena sangat bergantung pada faktor alam atau cuaca yang sulit untuk dikendalikan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pelaksanaan dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di kota Denpasar. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis bagaimana pelaksanaan dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di kota Denpasar.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum empiris. Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan fakta dan, pendekatan perundang-undangan.

Kesimpulan dalam skripsi ini adalah masih belum terlaksana karena belum terpenuhinya empat komponen yang terdiri dari ketersediaan gudang Sistem Resi Gudang, kesiapan pengelola, keandalan sistem, dan ketersediaan komoditas Sistem Resi Gudang. Dari segi petani kendala yang dihadapi yaitu keterbatasan pemahaman mengenai manfaat dari sistem resi gudang, sedangkan dari segi Perbankan di Kota Denpasar masih ada keraguan dalam pemberian kredit dengan jaminan resi gudang lebih percaya pada fix asset, dan Belum terdapat Kantor Wilayah Lembaga Jaminan Resi Gudang di Provinsi Bali. Saran dari penelitian ini untuk melaksanakan sosialisasi secara komperhensif dengan dilanjutkan pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung untuk terlaksananya pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di kota Denpasar.


(15)

15

IMPLEMENTATION OF CREDIT GUARANTEE WAREHOUSE RECEIPT IN PRACTICE BANKING IN DENPASAR

ABSTRACT

Warehouse Receipt System can facilitate the provision of credit to farmers and groups of farmers with collateral inventory or goods stored in the warehouse. According to the provisions of Article 4 (2) of Law Number 9 of 2006 on the warehouse receipt system that the warehouse receipt as a document of ownership can be used as security for the debt completely without required any other collateral. In the implementation of the provision of credit to guarantee the warehouse receipt in the banking practice in Denpasar look at the risks of farming are still very high because it is very dependent on natural factors or weather that is difficult to control. The problem in this paper is how to exercise and any factors that constrain lending with collateral warehouse receipts in the banking practice in the city of Denpasar. The purpose of this thesis was to analyze how the implementation and any factors that constrain lending with collateral warehouse receipts in the banking practice in the city of Denpasar.

The method used in this thesis is empirical legal research. Approach to the problem that will be used in this research is to use facts and approach, the approach of legislation.

The conclusion of this thesis is still yet to be done because it has not fulfilled the four components consisting of warehouse with Warehouse Receipt System, preparedness manager, system reliability, and availability of commodities Warehouse Receipt System. In terms of farmers' constraints faced by the limited understanding of the benefits of the warehouse receipt system, while in terms of Banking in Denpasar there are still doubts in the provision of credit to guarantee the warehouse receipt believe more in fixed assets, and the lack of a regional office Guarantee Institute Warehouse Receipt in the Province Bali. Suggestions from this study to conduct socialization comprehensively with the continued construction of support facilities for the implementation of the provision of credit to guarantee the warehouse receipt in the banking practice in the city of Denpasar.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang mememiliki sumber daya alam yang melimpah, hamparan lahan yang luas, keragaman hayati yang melimpah, tanah yang subur dan beriklim tropis melihat keadaan alam tersebut bercocok tanam dapat dilakukan sepanjang tahun dan dapat dimanfaatkan sescara maksimal guna dapat menghasilkan produk-produk pertanian yang berkualitas tinggi. Seperti diketahui bahwa mayoritas penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani, dan pertanian merupakan sektor yang sangat penting pada perekonomian dalam pemenuhan kebutuhan pangan serta bisa dapat menjadi sumber pendapatan negara.

Permasalahan yang sering muncul dalam usaha agribisnis di Indonesia yang menimpa petani kecil adalah jatuhnya harga pada saat musim panen raya.1 Hal ini sering terjadi pada petani padi, dimana petani padi cenderung memiliki jadwal tanam seragam, sehingga saat panennya pun bersamaan.2 Pola tanam padi yang dilakukan secara bersamaan tersebut bertujuan agar semua padi yang ditanam dapat memperoleh jatah pengairan yang cukup dan meminimalkan serangan hama atau penyakit, sehingga masa panen padi cenderung bersamaan yang berakibat harga jual gabah merosot tajam.3 Para petani padi tidak mampu menyimpan hasil panen lebih lama karena sudah kehabisan biaya dan tidak

1Iswi Hariyani dan R. Serfianto, 2010, Resi Gudang Sebagai Jaminan Kredit & Alat Perdagangan, Sinar Grafika, Jakarta, h.1.

2Ibid.


(17)

mempunyai gudang penyimpanan yang memadai. Sehingga dalam kondisi saat terjadi kelebihan persedian yang berakibat harga pasaran jatuh dan merugikan produsen yaitu petani.

Guna mewujudkan pembangunan di bidang ekonomi khususnya kelancaran produksi dan distribusi barang dalam sistem perdagangan diarahkan pada upaya memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa diselenggarakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing, dan melindungi serta menumbuhkan suasana yang kondusif. Efisiensi perdagangan dapat tercapai apabila didukung oleh iklim usaha yang kondusif dengan tersedianya dan tertatanya sistem pembiayaan perdagangan yang dapat diakses oleh setiap pelaku usaha secara tepat waktu berdasarkan ketentuan penjelasan atas Undang-Undang No 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, Ketentuan Umum Paragraf 1.

Guna menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat pada era globalisasi diperlukan kesiapan untuk menghadapi perubahan yang sangat cepat di bidang ekonomi khususnya perdagangan. Salah satu upaya untuk menghadapi persaingan tersebut adalah diperlukannya suatu instrumen dalam penataan sistem perdagangan yang efektif dan efisien, sehingga menyebabkan harga barang yang ditawarkan dapat bersaing di pasar global. Sistem pembiayaan perdagangan tersebut harus dapat diakses setiap waktu oleh setiap pelaku usaha, terutama


(18)

pengusaha kecil dan petani kecil, yang selama ini masih terbentur masalah permodalan dan keterbatasan jaminan kredit.

Semenjak adanya Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang diberlakukan, jatuhnya harga komoditas agribisnis pada saat musim panen raya bisa teratasi serta untuk mendukung terwujudnya kelancaran produksi dan distribusi barang. Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 09 Tahun 2006 yang dimaksud dengan Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang Sistem Resi Gudang merupakan salah satu instrumen penting dan efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan. Sistem Resi Gudang dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang. Sistem Resi Gudang juga bermanfaat dalam menstabilkan harga pasar dengan memfasilitasi cara penjualan yang dapat dilakukan sepanjang tahun. Di samping itu, Sistem Resi Gudang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk pengendalian harga dan persediaan nasional, Resi Gudang sebagai atas hak (document of title) atas barang dapat digunakan sebagai agunan karena Resi Gudang tersebut dijamin dengan komoditas tertentu dalam pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi.

Sistem resi gudang merupakan sistem yang paling aman dan canggih jika dibandingkan dengan beberapa sistem yang pernah ada di Indonesia. Dalam sistem resi gudang terdapat jaminan keamanan bagi perbankan karena semua data penatausahaan resi gudang terpusat di Pusat Registrasi dan diawasi oleh Badan Pengawas (BAPPEBTI), serta terdapat kepastian mutu bagi pemilik barang


(19)

maupun calon pemilik barang karena barang yang disimpan dan dikelola dengan baik oleh pengelola gudang dan dilakukan uji mutu sebelumnya oleh lembaga penilaian kesesuaian independen yang telah mendapat sertifikasi dari KAN dan disetujui oleh BAPPEBTI.4

Provinsi Bali memiliki potensi pertanian tanaman pangan dengan komoditas andalan seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan buah-buahan hampir tersebar di seluruh wilayah pulau Bali yang sering disebut pulau Dewata ini. Luas panen komoditas utama di Bali pada tahun 1997 menunjukkan hasil-hasil berikut: luas panen padi, sawah dan ladang 151.735 ha, hasil-hasil produksinya 818.613 ton; luas panen jagung 44.190 ha, hasil produksinya 107.395 ton; luas panen ubi kayu 17.946 ha, hasil produksinya 211.499 ton, luas panen ubi jalar 7.486 ha, hasil produksinya 86.856 ton; luas panen kedelai 20.749 ha, hasil produksinya 29.443 ton. Untuk 1998, produksi padi di Bali mengalami penurunan sekitar 2,05%, meski luas panennya meningkat 2,35% dibandingkan 1997. begitu juga dengan luas panen dan produksi palawija, secara umum juga mengalami penurunan kecuali jagung dan kacang hijau. luas panen dan hasil produksi pertanian di Bali tahun 1998 adalah sebagai berikut: luas panen padi sawah dan ladang 155.304 ha, hasil produksinya 818.600 ton; luas panen jagung 45.107 ha, hasil produksinya 111.598 ton; luas panen ubi kayu 17.917 ha, hasil produksinya 210.010 ton; luas panen kedelai 4.028 ha, hasil produksinya 7.135 ton.5 Melihat data yang di uaraikan diatas Provinsi Bali memiliki potensi di sektor pertanian,

4 Irma Devita Purnamasari, 2011, Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa, Bandung, h.137.

5Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia 2007, “Potensi Pertanian dan Perkebunan”, Indonesia.go.id, diakses tanggal 6 Oktober 2015.


(20)

maka demi meningkatkan, mengelola, dan mengembangkan hasil pangan serta membantu kesejahteraan petani kecil yang terdapat dalam Provinsi Bali sehingga sistem resi gudang sangat diperlukan guna untuk mewujudkan hal tersebut.

Bank di dalam menyalurkan dana dalam bentuk kredit kepada pihak-pihak yang membutuhkan khususnya pada para petani yang membutuhkan modal atau dana tidaklah mudah, karena harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Salah satu persyaratan terpenting untuk memperoleh fasilitas kredit adalah adanya jaminan atau agunan. Di butuhkannya jaminan atau agunan dalam suatu pemberian fasiltas kredit adalah semata-mata berorientasi untuk melindungi kepentingan kreditur, agar dana yang telah diberikannya kepada debitur dapat dikembalikan sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Mengingat angunan atau jaminan merupakan salah satu unsur dalam pemberian kredit dan sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur untuk adanya kepastian atas pelunasan utang debitur, atau untuk pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur, maka meskipun berdasarkan unsur-unsur lain telah di diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, jaminan tambahan atau agunan masih tetap diminta oleh pihak bank.6 Dalam pemberian kredit dengan jaminan resi gudang pihak bank melakukan analisa kredit sebelum kredit tersebut diberikan. Dalam perkembangannnya jaminan dan agunan tersebut haruslah barang-barang yang bermutu tinggi dan mudah di perjual belikan. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek

6 Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Peranan Asas Pemisahan Horisontal (Suatu Konsep dalam Menyongsong lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), Pt Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 233.


(21)

perbankan di Kota Denpasar melihat resiko usaha tani masih sangat tinggi karena sangat bergantung pada faktor alam atau cuaca yang sulit untuk dikendalikan.

Bedasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Resi

Gudang Dalam Praktek Perbankan Di Kota Denpasar”.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat ditarik beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar ?

2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Guna menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu adanya pembatasan atas permasalahan yang dibahas. Adapun masalah yang dibahas dibatasi ruang lingkupnya sebagai berikut ;

1. Pertama membahas pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar

2. Kedua membahas tentang Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar.


(22)

1.4. Orisinalitas Penelitian

Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi dengan judul "Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Resi Gudang Dalam Praktek Perbankan Di Kota Denpasar " ini merupakan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat referensi terhadap karya orang lain atau pihak lain, maka dituliskan sumbernya dengan jelas. Beberapa penelitian dengan jenis yang sama yang ada dalam internet atau perpustakaan skripsi diantaranya tentangPelaksanaan Pembinaan Sistem Resi Gudang Di Kabupaten Blitar͇dan

͆ Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Sebagai Kreditur

Penerima Hak Jaminan Resi Gudang”. Dari kedua penelitiaan yang telah ada tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian saya karena penelitian saya berfokus pada penelitian pada Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Resi Gudang Dalam Praktek Perbankan Di Kota Denpasar. Berikut terlampir materi perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini :

Tabel 1.1 Materi Perbedaan Penelitian

No Penulis Judul No Rumusan Masalah

1 Angrito Bimo Satriyo (Alumni Univ.Brawi jaya Malang) " Pelaksanaan Pembinaan Sistem Resi Gudang Di Kabupaten Blitar”

1. Bagaimana pelaksanaan pembinaan Sistem Resi Gudang di Kabupaten Blitar oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur di


(23)

2.

Kabupaten Blitar?

Apa hambatan dan upaya dalam pelaksanaan pembinaan Sistem Resi Gudang di Kabupaten Blitar oleh Dinas Perindustrian & Perdagangan, Dinas Pertanian dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur di Kabupaten Blitar ?

2 Larisa Muchdani Batubara (Univ. Sumatera Utara)

“Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Sebagai Kreditur Penerima Hak Jaminan Resi Gudang”

1.

2.

Bagaimana perkembangan sistem Resi Gudang dalam pemberian kredit oleh perbankan ?

Bagaimana perlindungan hukum bagi bank sebagai penerima hak jaminan Resi Gudang ?


(24)

3 Dewa Made Ari

Widiyatmika

“Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Resi Gudang Dalam Praktek Perbankan Di Kota Denpasar”

1.

2.

Bagaimanakah pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar ?

Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar ?

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain:

1.5.1 Tujuan umum

1) Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi Fakultas Hukum Universitas Udayana khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan mahasiswa.

2) Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.


(25)

3) Untuk pembulat studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana, sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum.

4) Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar

5) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar

1.5.2 Tujuan khusus

a. Untuk memahami dan menganalisis pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar b. Untuk memahami tentang faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar.

1.6. Manfaat Penulisan

1.6.1Manfaat teoritis

1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum

2. Untuk memperluas khasanah berpikir tentang pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar

1.6.2 Manfaat praktis

1. Memberikan tambahan refrensi bagi institusi pendidikan dan mahasiswa dalam penelitian hukum jaminan khususnya mengenai pelaksanaan


(26)

pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar.

2. Bagi masyarakat, memberikan pengetahuan praktis mengenai hukum jaminan dalam hal pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar.

3. Penulisan ini diharapkan sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah mengenai pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan di Kota Denpasar.

1.7. Landasan Teroristis

Teori Efektivitas Hukum yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto terdapat lima faktor-faktor terhadap efektivitasnya hukum atau peraturan yang berlaku di masyarakat melipiuti :

1. Faktor hukumnya sendiri

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan atau pelaksanaan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.7

7Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h.8.


(27)

Mengenai kredit menurut ketentuan pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dirumuskan bahwa “Kredit adalah penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana disebut diatas, suatu pijam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;

1. Adanya penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyedian uang. Penyedian uang atau tagihan dapat dipersamakan dengan penyedian uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang dapat dipersmakan dengan penyediaan uang dalam praktik perbankan misalnya berupa pemberian (penerbitan) garansi bank dan penyediaan fasilitas dana untuk pembukaan letter of credit (LC).

2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam merupakan dasar dari penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau


(28)

kesepakatan pinjam-meminjam dibuat oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit.

3. Adanya kewajiban melunasi utang. Pinjam-meminjam uang adalah suatu utang bagi peminjam. Peminjam wajib melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit oleh bank kepada debitur adalah suatu pinjaman uang, dan debitur wajib melakukan pembayaran pelunasan kredit sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam ketentuan perjanjian kredit. Dengan demikian, kredit perbankan bukan suatu bantuan dana bank yang diberikan secara cuma-cuma.Kredit perbankan adalah suatu utang yang harus dibayar kembali oleh debitur.

4. Adanya jangka waktu tertentu. Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka tertentu. Jangka waktu tersebut ditetapkan pada perjanjian kredit yang dibuat bank dengan debitur. jangka waktu yang ditetapkan merupakan batas waktu kewajiban bank untuk menyediakan dana pinjaman dan menunjukan kesempatan dilunasinya kredit. Berdasarkan jangka waktu tertentu yang ditetapkan atas pemberian kredit, maka kredit perbankan dapat dibedakan atas kredit jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kredit jangka pendek adalah kredit yang mempunyai jangka waktu satu tahun atau dibawah satu tahun. Kredit jangka menengah adalah kredit yang mempunyai jangka waktu diatas satu tahun sampai dengan tiga tahun, dan kredit jangka waktu panjang adalah kredit ditetapkan berdasarkan kebijakan yang berlaku pada masing-masing bank


(29)

dan mempertimbangkan tujuan penggunaan kredit serta kemampuan membayar dari calon debitur setelah dinilai kelayakannya. Berdasarkan pengertian kredit tentang jangka waktu tertentu tersebut dapat disimpulkan bahwa jangka waktu kredit harus ditetapkan secara tegas karena menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak.

5. Adanya pemberian bunga kredit. Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang dipinjamkan dan disetujui bank kepada debitur. Namun, sering pula di sebut sebagai balas jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur. Sepanjang terhadap bunga kredit yang ditetapkan dalam perjanjian kredit dilakukan pembayarannya oleh debitur, akan merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama bagi bank.8

Kelima unsur-unsur yang diuraikan diatas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Hal ini sesuai dengan pengertian kredit yang ditetapkan oleh ketentuan pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Unsur-Unsur kredit yang dikemukakan oleh Thomas Suyatno terdiri atas :

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa pestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar

8 M. Bahsan, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajawali Pers Jakarta, h.76-78.


(30)

diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahakan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.

c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari.

d. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi dapat juga berbentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit dalam bentuk uanglah yang lazim dalam praktek perkreditan.9

Dalam kegiatan pembiayaan melalui bank, penyaluran kredit dikaji dan dikembangkan secara ke ilmuan, melalui teori perkreditan (find lending theory).10 Teori ini mengkaji penyaluran kredit oleh bank kepada masyarakat terutama pengusaha yang menjalankan perusahaan dan manfaatnya bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Agar penyaluran kredit lebih berdaya guna, bank menerapkan prinsip kehati-hatian yaitu penyaluran

9 Thomas Suyatno et Al, 2003, Dasar Dasar Perkreditan, Pt Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, h.14.

10Abdulkadir Muhamad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti Bandung, h.279.


(31)

kredit berdasarkan barang jaminan.11 Asas-asas perkreditan yang sehat dan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam kaitannya dengan pemberian kredit, yaitu :

1. Mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang di perjanjikan,

2. Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan oleh Bank Indonesia.12

Keyakinan dimaksud didapat setelah dilakukan analisis yang mendalam terhadap apa yang disebutkan dengan prinsip 5C, yang dapat memberikan informasi mengenai itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya.13 5C dijadikan pedoman untuk pemberian kredit oleh bank yang meliputi :

1. Character (Penilaian Watak/Kepribadian)

Penilaian watak/kepribadian calon debitur dimaksud untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari.

2. Capacity (Penilaian Kemampuan)

Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerial, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan

11Ibid.

12 Djoni S. Gazali dan Racmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, h.272 13Ibid.


(32)

dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.

3. Capital ( Penilaian terhadap Modal)

Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang bersangkutan.

4. Colletral (Penilaian terhadap agunan)

Untuk menanggung pembayaran kredit macet dikarenankan debitur wanprestasi, maka calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya.

5. Condition of Economy (Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur) Bank harus menganalisa keadaan pasar di dalam dan di luar negeri, baik masa lali maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai dapat pula diketahui.14

Perjanjian kredit merupakan dasar pemberian kredit oleh Bank, tanpa adanya perjanjian kredit yang dibuat, disepakati, dan ditanda tangani oleh bank dan debitur maka tidak ada pemberian kredit. Perjanjian kredit dijadikan dasar pengikatan antara bank dan debitur yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit. Perjanjian kredit

14Ibid, h.273-274.


(33)

merupakan sebagia perjanjian pokok dan diikuti dengan perjanjian accessoir yaitu perjanjian jaminan merupakan perjanjian ikutan dan berhenti atau berakhirnya perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokok (perjanjian kredit).

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.9 Tahun 2006 Resi gudang adalah surat berharga yang mewakili barang yang disimpan di gudang. Sifat Resi Gudang sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang No.9 Tahun 2006 meliputi dua hal, yaitu :

1. Resi Gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau digunakan sebagai dokumen penyerahan barang;

2. Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan jaminan utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya.15

Sifat hak jaminan resi gudang adalah sebagai berikut : a. Hak jaminan sebagai perjanjian accesoir

Sesuai dengan sifat lembaga pengikatan jaminan, perjanjian pembebanan hak jaminan juga merupakan perjanjian accesoir (ikutan) dari suatu perjanjian utang piutang (pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No.9 Tahun 2006). Artinya keberadaan atau lahirnya perjanjian Hak jaminan tersebut didahului adanya perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang piutang,

b. Hak jaminan hanya untuk menjamin satu utang

Setiap resi gudang yang diterbitkan menurut ketentuan pasal 12 ayat 2 Undang-Undang No.9 Tahun 2006 hanya dapat dibebani satu jaminan utang dan untuk melindungi kepentingan penerima Hak jaminan serta memudahkan eksekusi


(34)

apabila debitor cedera janji, maka resi gudang yang telah dijadikan utang tersebut wajib diserahkan kepada kreditor,

c. Pembuatan Akta pengikatan jaminan Hak jaminan

Pemebanan hak jaminan resi gudang menurut pasal 14 ayat 1 Undang-Undang No.9 Tahun 2006 dilakukan dengan pembuatan akta perjanjian hak jaminan antara pemegang resi gudang atau pemilik barang dengan kreditor,

d. Pemberitahuan Hak jaminan

Di dalam Undang-Undang No.9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang tidak diatur mengenai kewajiban pendaftaraan hak jaminan, tetapi diatur kewajiban bagi penerima hak jaminan untuk memberitahukan perjanjian pengikatan resi gudang sebagai hak jaminan tersebut kepada pengelola gudang dan pusat registrasi diatur dalam pasal 13 Undang-Undang No.9 Tahun 2006 tujuan pemberitahuan pembebanan jaminan tersebut adalah untuk mempermudah pusat registrasi dan pengelola gudang dalam rangka mencegah adanya penjaminan ganda serta memantau peredaran Resi gudang dan memberikan kepastian hukum tentang pihak yang berhak atas barang dalam hal terjadi cedera janji.16

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk katagori jenis penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki, menyatakan penelitian hukum empiris adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan, wawancara,


(35)

ataupun penyebaran kuisioner.17 Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara teori dan realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan atau adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan sistem akademik. Penelitian hukum empiris atau sosiologis lebih menitikberatkan pada penelitian data primer yaitu melalui wawancara.18 Dipilihnya jenis penelitian ini karena penelitian ini didasarkan pada realita dan kenyataan sosial yang terdapat pada masyarakat dan mengkaji mengenai pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan resi gudang dalam praktek perbankan Di Kota Denpasar.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah menggunkan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta karena menjelaskan untuk mengkaji suatu permasalahan di dalam masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk mendapatkan fakta, yang dilanjutkan dengan menemukan masalah, pada pengidentifikasian masalah dan untuk mencari penyelesaian masalah.19

1.8.3. Sifat Penelitian

Sifat penelitian lebih mengarah kepada penelitian deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum,

17Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Predia Media Group, Jakarta, Cetakan I, h. 35.

18Amiruddin dan Zaenal Azikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.

19Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI PRESS, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h. 10.


(36)

bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.20

1.8.4. Data dan Sumber Data

Data-data yang diperoleh dari penelitian ini dari dua sumber data :

1. Bahan Hukum Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama dilapangan dimana data itu berasal dari observasi dan pengamatan tentang informan. Informasi yang diperoleh dari wawancara itu di dalamnya termasuk fakta-fakta, pendapat dan persepsi. 21

2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer di antaranya: Undang-Undang, hasil penelitian, hasil karya dari pakar huku/literatur, jurnal, makalah dan sebagainya.22 Penulis menggunakan bahan hukum sekunder berupa berupa literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan yang dibahas, baik literatur-literatur hukum (buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 09 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, pendapat para sarjana, dan artikel atau berita yang diperoleh via internet.

3. Sumber bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya kamus,

20M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43.

21Amiruddin dan H. Zaenal Azikin, op.cit, h. 30.


(37)

ensiklopedi dan indeks komulatif.23 Disini penulis juga menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai sumber bahan hukum tersier.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris, maka dalam teknik pengumpulan data ada beberapa teknik yaitu studi dokumen, wawancara (interview). Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui:

a. Teknik Wawancara: dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada informan yang dirancang atau yang telah dipersiapkan sebelum untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan mendukung permasalahan yang diajukan dalam penelitian. Dan dari jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian diolah dan dianalisa. Dalam teknik wawancara yang dilakukan penulis informan terdiri dari pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, dan Perbankan yang terdapat di Kota Denpasar. b. Teknik Studi Dokumen: studi pustaka ini diperoleh dengan cara mempelajari

kitab peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, jurnal, dan bahan-bahan lain yang dapat dijadikan sebagai data yang mendukung penyusunan skripsi ini.

1.8.6 Pengolahan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dengan analisis kualitatif. Adapun yang dimaksud analisis kualitatif adalah analisa yang tidak digambarkan dengan angka-angka tetapi berbentuk penjelasan dan

23.Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Ed. 1, Cet. 6, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13.


(38)

pendeskripsian,24 dan data yang diperoleh tersebut diolah menjadi rangkaian kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi.25Data yang telah didapatkan dan dikumpulkan tersebut, berupa data primer maupun data sekunder yang merupakan hasil dari wawancara dan studi kepustakaan yang diolah secara kaulitatif. Kemudian mengkualifikasikan dan mengumpulkan data berdasarkan kerangka penulisan penelitian secara menyeluruh. Selanjutnya data yang diklasifikasikan dianalisa secara deskriptif kualitatif yaitu dengan cara menggambarkan secara jelas dan sistematis yang kemudian dapat diperoleh suatu kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.

24Amarudin dan Zainal Azikin, op.cit, h. 167.

25Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, Universitas Triksakti, Jakarta, h. 93.


(39)

BAB II

TINJAUN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN KREDIT

2.1.Pengertian Perjanjian Kredit

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti mengukapkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.26 Sementara pengertian kredit menurut para ahli Achmad Anwari memberikan arti kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh satu pihak kepada pihak lain dan prestasi (jasa) itu akan dikembalikan lagi pada waktu tertentu yang akan datang dengan disertai suatu kontra prestasi (balas jasa berupa biaya).27 Menurut Djuhaendah Hasan dari beberapa pengertian yang dikemukakan para sarjana dalam literatur kredit adalah suatu perjanjian yang objeknya dapat berupa uang atau barang, meskipun titik temu antara semua pendapat sarjana itu akan menuju keapada pengertian peminjaman uang.28 Didalam pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pengertian Kredit adalah penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

26 Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, h.1.

27 Achmad Anwari, 1980, Praktek Perbankan di Indonesia, Balai Aksara, Jakarta, h.14. 28 Djuhaendah Hasan, op.cit, h. 149.


(40)

Berdasarkan jangka waktu dan penggunaanya kredit dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu :

1) Kredit investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasaan, ataupun pendirian proyek baru;

2) Kredit modal kerja, yaitu kredit modal kerja yang diberikan baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam siklus usaha dengan jangka waktu maksimal satu tahun dan dapat diperpanjang sesuia kesepakatan antara pihak yang bersangkutan;

3) Kredit konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan bulanan nasabah debitur yang bersangkutan.29

Pengertian perjanjian kredit di dalam KUH Perdata tidak ditemukan. Perjanjian dalam KUHPerdata yang mirip dengan perjanjian kredit yaitu perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku III Bab XIII. Ciri-Ciri perjanjian kredit yang membedakan dengan perjanjian pinjam-meminjam yaitu sebagai berikut :

1) Perjanjian kredit merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil. Hal ini jelas berbeda dengan pinjam meminjam yang bersifat riil dalam pasal 1754 KUH Perdata.


(41)

2) Tujuan dan syarat kredit, menurut ketentuan pasal 1755 KUH Predata, uang yang diperoleh oleh debitur dari kreditur menjadi milik debitur. Oleh karena itu dalam perjanjian pinjam meminjam uang, debitur sebagai pemilik uang berkuasa penuh untuk menggunakan uang tersebut untuk keperluan apapun dan kreditur tidak berhak mencampuri tujuan pemakaian uang tersebut. Hal tersebut tidak berlaku untuk perjanjian kredit bank. Penggunaan kredit harus dilakukan sesuai dengan tujuan kredit sebagaimana ditetapkan di dalam perjanjian kredit. Pemakain kredit oleh nasabah debitur yang menyimpang dari tujuan kredit memberikan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit tersebut secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh sisa kredit.

3) Syarat penggunaan kredit, kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindah bukuan. Pada perjanjian kredit bank, kreditur tidak diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak debitur. Kredit diberikan dalam bentuk yang penarikan atau penggunaannya selalu di bawah pengawasan bank. Dilihat dari hal ini, maka perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam uang. Dalam perjanjian pinjam pinjam-meminjam uang, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak disyaratkan bagaimana caranya debitur akan menggunakan uang pinjaman tersebut30.

30 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Insitut Bankir Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Sutan Remy Sjahdeini I), h.160-161.


(42)

Dari hal itu, maka Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini Bank) yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.

2.2.Fungsi dan Jenis Perjanjian Kredit Bank 2.2.1 Fungsi Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun pelaksanaan kredit itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu diantaranya:

1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya (misalnya perjanjian pengikatan jaminan).

2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiaban diantara kreditor dan debitor dan

3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit31.

2.2.2. Jenis-Jenis Perjanjian Kredit

Secara yuridis bahwa terdapat dua jenis perjanjian kredit yang digunakan bank, yaitu;

1) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan

31 H.R Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.183.


(43)

Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (kreditor dan debitor) tanpa notaris. Akta perjanjian kredit dibawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

a. Apabila akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan karena misalnya alasan debitor wanprestasi, maka seandainya debitor yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tandatangannya akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seseorang memungkiri tulisan atau tandatangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan atau tandatangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan, tentunya hal ini akan merepotkan bank.

b. Oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (formulir baku), maka ada kemungkinan terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit, bahkan dapat terjadi karena alasan-alasan pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko kosong, bila terjadi perselisihan, debitor dapat menyangkal menandatangani akta perjanjian tersebut atau mengelak mengakui


(44)

perjanjian kredit dengan alasan yang bersangkutan menandatangani blangko kosong.

c. Apabila akta perjanjian kredit dibawah tangan tersebut hilang karena sebab apapun, maka bank tidak lagi memiliki arsip asli mengenai adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti, keadaan ini akan membuat posisi bank menjadi lemah bila terjadi perselisihan. Berbeda dengan akta perjanjian kredit notaril, walaupun arsip di bank hilang, masih ada arsip lainnya di notaris.

2) Perjanjian Kredit Notaril

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit notaril (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris. Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal 1868 KUH Perdata. Dari ketentuan/definisi akta otentik yang diberikan oleh Pasal 1868 KUH Perdata tersebut, dapat ditemukan beberapa hal sebagai berikut :

(1) Yang berwenang membuat akta-otentik adalah notaris, terkecuali wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain.Pejabat lain yang dapat membuat akta otentik adalah misalnya seorang panitera dalam sidang-pengadilan, seorang juru sita, seorang jaksa atau polisi dalam membuat pemeriksaan pendahuluan, seorang pegawai catatan sipil yang membuat akta kelahiran atau perkawinan, pemerintah dalam membuat peraturan, sedang orang lain adalah yang


(45)

dikenal sebagai “onbezoldigde-hulpmagistraten” ex pasal 39 (6) HIR yang dapat pula membuat proses verbal suatu akta otentik.

(2) akta otentik dapat dibedakan dalam : yang dibuat “oleh” dan yang dibuat “dihadapan” pejabat umum. Jika dalam hal “membuat proses verbal akta” adalah menulis apa yang dilihat dan yang dialami sendiri oleh seorang notaris tentan perbuatan (handeling) dan kejadian (daadzaken); membaca dan menadatangani hanya bersama para saksi akta tersebut di luar hadirnya atau karena atau karena penolakan para penghadap maka dalam hal “membuat partij akta” notaris membaca isi akta tersebut, disusul oleh penandatangan akta tersebut oleh para penghadap dan para saksi, terakhir oleh notaris itu sendiri.

(3) isi dari akta otentik adalah : semua “perbuatan” yang oleh undang-undang diwajibkan dibuat didalam akta otentik dan semua perjanjian dan penguasaan yang dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan. Suatu akta otentik dapat berisikan suatu perbuatan hukum yang diwajibakan oleh undang-undang, jadi bukan perbuatan oleh seseorang notaris atas kehendaknya sendiri.

(4) akta otentik memberikan kepastian mengenai atau tentang

penanggalan. Seorang notaris memberi kepastian tentang penanggalan pada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta bersangkutan tahun, bulan, dan tanggal pada waktu mana akta tersebut dibuat. Pelanggaran dari kewajiban tersebut berakibat akta tersebut kehilangan sifat otentiknya dan dengan demikian hanya berkekuatan


(46)

akta di bawah tangan ( pasal 25 S. 1860-3) Reglement tentang jabatan notaris di Indonesia.32

2.3. Prinsip-Prinsip Dalam Pemberian Kredit

Di dalam praktek perbankan dikenal beberapa prinsip yang digunakan dalam pemberian kredit pada pihak debitur. Prinsip-Prinspin tersebut antara lain :

1) Prinsip kepercayaan, maksudnya bahwa kredit adalah kepercayaan

kreditur bagi debitur, sekaligus kepercayaan bahwa debitur akan mengembalikan hutangnya,

2) Prinsip kehati-hatian adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam pemberian kredit.

3) Prinsip 5C’s Meliputi :

a. Watak (character), yaitu kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit;

b. Modal (capital), yaitu modal dari pemohon kredit yang untuk mengembangkan usahanya memerlukan bantuan bank.

c. Kemampuan (capacity), yaitu kemampuan untuk mengendalika,

memimpin, menguasai bidang usahanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon berjalan dengan baik dan memberikan untung (rendable);

d. Kondisi ekonomi (condition of economic), yaitu situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu, dimana kredit diberikan bank pada pemohon;


(47)

e. Jaminan (collateral), adalah kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan, guna kepastian pelunasan di belakang hari, kalau menerima kredit tidak melunasi hutangnya. Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain jaminan kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit, jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur, dan fungsi yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan.33

4) Prinsip 5 P, meliputi :

a. Para pihak (party), dilakukan penggolongan calon debitur yang dibagi dalam beberapa golongan berdasarkan character, capacity, dan capital. b. Tujuan (purpose) maksudnya analisis tentang tujuan penggunaan

kredit yang telah disampaikan oleh calon debitur;

c. Pembayaran (payment), artinya sumber pembayaran dari calon debitur; d. Perolehan laba (profitability) yaitu penilaian terhadapa kemampuan

calon debitur untuk memperoleh keuntungan dalam usahanya;

e. Perlindungan (protection) merupakan analisis terhadap sarana perlindungan terhadap kreditur.

5) Prinsip 3 R meliputi :

a. Return, adalah penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh perusahaan peminjam setelah memperoleh kredit;


(48)

b. Repayment adalah meperhitungkan kemampuan, jadwal dan jangka waktu pembayaran kredit oleh debitur, tetapi perusahaannya tetap berjalan; c. Risk bearing ability adalah besarnya kemampuan perusahaan debitur

untuk menghindari resiko, dan apakah resiko perusahaan debitur besar atau kecil.34

2.4. Jaminan Dalam Perjanjian Kredit 2.4.1 Pengertian Jaminan

Dalam Bahasa Belanda istilah jaminan memiliki terjemahan yaitu Zekerheid atau cutie yang mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Menurut dalam Pasal 1131 KUH Perdata Jaminan yaitu “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”. Hartono Hadisoeprapto mengungkapkan jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan35.

Pengertian kata jaminan kredit dalam perpektif Undang-Undang No.07 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 disebutkan dalam ketentuan pasal 8 ayat (1) bahwa “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah , Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan

34 Djuhaendah Hasan, op.cit, h. 21. 35 M. Bahsan, op.cit, h.70.


(49)

kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Istilah jaminan dalam perspektif Undang-Undang No.07 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 diartikan sebagai “keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.36

Berkaitan dengan pemberian kredit bank tetap meminta agunan dari pemohon kredit selain analisis itikad baik dan kemampuan permohonan kredit. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Perbankan yang mengartikan Agunan adalah “Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir artinya perjanjian pengiktan jaminan keberadaanya tergantung dari perjanjian pokonya yaitu perjanjian kredit. Tujuan agunan ini untuk mendapatkan fasilitas pemberian kredit dari bank.

2.5. Jenis-Jenis Jaminan Kredit

Pada umunya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut objeknya, menurut kewenangan menguasainya dan


(50)

lain-lain.37 Menurut sifatnya, jaminan digolongkan menjadi jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. antara lain :

1) Jaminan Perorangan

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan bahwa jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya (contoh borgtocht).38

Dikenal asas kesamaan dalam hak peroranganyang diatur dalam Pasal 1311 dan 1312 KUH Perdat. asas ini memiliki arti bahwa tidak ada pembedaan atas piutang terdahulu dengan piutang yang terjadi kemudian. Semua debitur mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan debitur.

Pada jaminan perorangan kreditur mempunyai hak menuntut pemenuhan piutangnya selain kepada debitur yang utama juga kepada penanggung atau dapat menuntut pemenuhan kepada debitur lainnya. Jaminan perorangan yang demikian dapat terjadi jika kreditur mempunyai seorang penjamin (borg) atau jika pihak ketiga mengikatkan diri secara tanggung menanggung dalam debitur.39 Kata “perorangan” dalam jaminan perorangan harus diartikan sebagai subjek hukum, yang terdiri dari orang-perorangan (manusia) dan badan hukum. Oleh karena itu jaminan perorangan ini dapat berupa personal

37 Tan Kamelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni,

Bandung, h.185.

38 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2007, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, h.46-47.


(51)

guaranty (jamina orang/pribadi) dan corporate guaranty (jaminan badan hukum/ badan usaha).40 Terdapat 3 jenis jamina perorangan, yaitu :

a. Perjnajian penanggungan/Borgtocht (pasal 1820 KUH Perdata)

b. Perjanjian Garansi (Pasal 1316 KUH Perdata)

c. Perjanjian Tanggung-menanggung/tanggung renteng (Pasal 1278

KUH Perdata).

2) Jaminan Kebendaan

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan bahwa jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (dnoite de suite) dan dapat diperalihkan (contoh hipotik, gadai dan lain-lain.41 Hukum jaminan di Indonesia mengenat 5 (lima) jenis hak jaminan kebendaan :

a. Gadai

Hak gadai menurut KUH Perdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata, “Gadai adalah suatu huk yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya

40 Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan,

Nuansa Aulia, Bandung, h.68-69.


(52)

dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas

tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya

penyelamatan barang itu, yang dikeluarakan setelah barang itu

diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan”.Dari

pengertian gadai yang diatur dalam ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata, belum dapat disimpulkan tentang sifat umum dari gadai. Sifat umum gadai harus dicari lagi didalam ketentuan-ketentuan lain KUH Perdata yaitu sebagai berikut42:

- Gadai berlaku untuk benda bergerak

Benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak; baik berwujud maupun tidak berwujud.

- Gadai bersifat kebendaan

Tujuan sifat kebendaan sebagaimana ketentuan Pasal 528 KUH Perdata adalah untuk memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa di kemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai jaminan.

- Benda gadai dikuasai oleh pemegang gadai

Sesuai dengan objek benda gadai yang merupakan benda bergerak, maka harus ada hubungan yang nyata antara benda dan pemcgang gadai. Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai

42 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Bab-bab Tentang Credietverband Gadai & Fducia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, h. 56-57.


(53)

kepada pemegang gadai. Benda gadai tidak boleh berada dalam kekuasaan wakil atau petugas pemberi gadai. Ratio dari penguasaan ini ialah sebagai publikasi untuk umum; bahwa hak kebendaan (jaminan) atas benda bergerak itu ada pada pemegang gadai.

Demikian juga hak gadai hapus apabila barang gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai kecuali jika barang itu hilang atau dicuri padanya, sesuai dengan bunyi Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata.

- Hak menjual sendiri benda gadai

Berdasarkan ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata, pemegang gadai berhak menjual sendiri benda gadai dalam hal debitur wanprestasi. Dari hasil penjualan tersebut, pemegang gadai berhak mengambil pelunasan piutang beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.

- Hak yang didahulukan

Pasal 1133 jo Pasal 1150 KUH Perdata

- Hak accesoir

Perjanjian gadai merupakan perjanjian ikutan atau accesoir, yaitu perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya yang dalam hal ini yaitu perjanjian kredit. Dengan demikian perjanjian gadai menjadi hapus apabila perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokoknya berakhir.


(54)

Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever, yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai, untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Pandnemer adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk

pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai

(pandgever).43

b. Hipotik

Pasal 1162 KUH Perdata mendefinisikan hipotik sebagai suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Sebagaimana halnya gadai, hipotik ini pun merupakan hak yang bersifat accesoir. Pasal 1168 KUH Perdata menentukan bahwa hipotik hanya dapat dilakukan oleh pemilik barang dan pemasangan hipotik atau kuasa memasang hipotik harus dilakukan dengan akta Notaris, sebagaimana ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata.

Objek hipotik sesuai dengan Pasal 1164 KUH Perdata adalah bacang tidak bergerak. Hipotik tidak dapat dibebankan atas benda bergerak. Dengan berlakunya UUHT, maka hak-hak atas tanah hanya dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.


(55)

Berdasar ketentuan Pasal 29 UUHT, ketentuan mengenai Credieltierband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staat.sblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 ja. Staatsblaal 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Saat ini hipotik hanya dapat dibebankan atas:

- Kapal-kapal isi kotor 20 M3 dan terdaftar (Pasal 314 KUH Dagang jo Pasal 49 Undang-Undang Pelayaran No. 21 Tahun 1992)

- Pesawat terbang dan helikopter (Pasal 12 Undang-Undang No. 15

Tahun 1992 tentang Penerbangan).

c. Hak Tanggungan

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) disahkan pada tanggal 9 April 1996, 36 tahun setelah pengamanatannya dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Lembaga hak tanggungan yang diatur oleh UUHT dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (hipotik) sebagaimana diatur dalam

Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai tanah dan Credretvenband


(56)

dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan pasal 57 UUPA masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tersebut.44

Dari pengertian hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan adalah “hak jaminan yang dibebankan pada hak alas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap

kreditur-kreditur lain”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak

tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

d. Fidusia

Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law.45

Lembaga jaminan fidusia sesungguhnya sudah sangat tua dan dikenal serta digunakan dalam masyarakat Romawi. Dalam hukum

44

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sutan Remy Sjahdeini II), h.1-2.


(57)

Romawi lembaga jaminan ini dikenal dengan nama fiducia cum creditorecontracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor. Lembaga jaminan fidusia sebagaimana yang dikenal sekarang

dalam bentuk fiduciare eigendomsoverdracht atau FEO, yaitu

pengalihan hak milik secara kepercayaan timbul berkenaan dengan adanya ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata tentang gadai yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai.

Berdasar pengertian fidusia dan jaminan fidusia yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tiduk bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sehagaimnna dimuksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Jaminan fidusia dapat diuraikan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan, dimana pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan fiducia dilakukan dengan cara Ganstitutittn possessorium (verklaring van houderschap) yang berarti pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia


(58)

seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima fidusia.46

Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud; yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.

e. Sistem Resi Gudang (SRG)

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 1 UUSRG, Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.

Sistem Resi Gudang merupakan salah satu instrumen penting dan efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan. Sistem Resi Gudang dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang. Sistem Resi Gudang juga bermanfaat dalam menstabilkan harga pasar dengan memfasilitasi cara penjualan yang dapat dilakukan sepanjang tahun. Di samping itu, Sistem Resi Gudang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk pengendalian harga dan persediaan nasional.

Sesuai dengan ketentuan penjelelasan umun Undang-Undang No.9 Tahun 2006 paragraf VI Resi Gudang sebagai alas hak (document of title) atas barang

46 Arie S. Hutagalung, 2007 “Analisa Yuridis Normatif Mengenai Pemberian dan Pendaftaran Jaminan Fidusia” dalam Kumpulan Transaksi Berjamin: (Secured Transaction) Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Jakarta, h.784.


(59)

dapat digunakan sebagai agunan karena Resi Gudang tersebut dijamin dengan komoditas tertentu dalam pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi. Sistem Resi Gudang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemasaran yang telah dikembangkan di berbagai negara. Sistem ini terbukti telah mampu meningkatkan efisiensi sektor agroindustri karena baik produsen maupun sektor komersial dapat mengubah status sediaan bahan mentah dan setengah jadi menjadi suatu produk yang dapat diperjualbelikan secara luas. bahwa hal ini dimungkinkan karena Resi Gudang juga merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan. derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa berjangka.


(1)

Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever, yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai, untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Pandnemer adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever).43

b. Hipotik

Pasal 1162 KUH Perdata mendefinisikan hipotik sebagai suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Sebagaimana halnya gadai, hipotik ini pun merupakan hak yang bersifat accesoir. Pasal 1168 KUH Perdata menentukan bahwa hipotik hanya dapat dilakukan oleh pemilik barang dan pemasangan hipotik atau kuasa memasang hipotik harus dilakukan dengan akta Notaris, sebagaimana ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata.

Objek hipotik sesuai dengan Pasal 1164 KUH Perdata adalah bacang tidak bergerak. Hipotik tidak dapat dibebankan atas benda bergerak. Dengan berlakunya UUHT, maka hak-hak atas tanah hanya dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.


(2)

Berdasar ketentuan Pasal 29 UUHT, ketentuan mengenai Credieltierband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staat.sblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 ja. Staatsblaal 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Saat ini hipotik hanya dapat dibebankan atas:

- Kapal-kapal isi kotor 20 M3 dan terdaftar (Pasal 314 KUH Dagang jo Pasal 49 Undang-Undang Pelayaran No. 21 Tahun 1992)

- Pesawat terbang dan helikopter (Pasal 12 Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan).

c. Hak Tanggungan

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) disahkan pada tanggal 9 April 1996, 36 tahun setelah pengamanatannya dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Lembaga hak tanggungan yang diatur oleh UUHT dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (hipotik) sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai tanah dan Credretvenband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah


(3)

dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan pasal 57 UUPA masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tersebut.44

Dari pengertian hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan adalah “hak jaminan yang dibebankan pada hak alas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

d. Fidusia

Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law.45

Lembaga jaminan fidusia sesungguhnya sudah sangat tua dan dikenal serta digunakan dalam masyarakat Romawi. Dalam hukum

44

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sutan Remy Sjahdeini II), h.1-2.


(4)

Romawi lembaga jaminan ini dikenal dengan nama fiducia cum creditore contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor. Lembaga jaminan fidusia sebagaimana yang dikenal sekarang dalam bentuk fiduciare eigendomsoverdracht atau FEO, yaitu pengalihan hak milik secara kepercayaan timbul berkenaan dengan adanya ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata tentang gadai yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai.

Berdasar pengertian fidusia dan jaminan fidusia yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tiduk bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sehagaimnna dimuksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Jaminan fidusia dapat diuraikan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan, dimana pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan fiducia dilakukan dengan cara Ganstitutittn possessorium (verklaring van houderschap) yang berarti pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia


(5)

seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima fidusia.46

Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud; yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.

e. Sistem Resi Gudang (SRG)

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 1 UUSRG, Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.

Sistem Resi Gudang merupakan salah satu instrumen penting dan efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan. Sistem Resi Gudang dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang. Sistem Resi Gudang juga bermanfaat dalam menstabilkan harga pasar dengan memfasilitasi cara penjualan yang dapat dilakukan sepanjang tahun. Di samping itu, Sistem Resi Gudang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk pengendalian harga dan persediaan nasional.

Sesuai dengan ketentuan penjelelasan umun Undang-Undang No.9 Tahun 2006 paragraf VI Resi Gudang sebagai alas hak (document of title) atas barang

46 Arie S. Hutagalung, 2007 “Analisa Yuridis Normatif Mengenai Pemberian dan Pendaftaran Jaminan Fidusia” dalam Kumpulan Transaksi Berjamin: (Secured Transaction) Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Jakarta, h.784.


(6)

dapat digunakan sebagai agunan karena Resi Gudang tersebut dijamin dengan komoditas tertentu dalam pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi. Sistem Resi Gudang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemasaran yang telah dikembangkan di berbagai negara. Sistem ini terbukti telah mampu meningkatkan efisiensi sektor agroindustri karena baik produsen maupun sektor komersial dapat mengubah status sediaan bahan mentah dan setengah jadi menjadi suatu produk yang dapat diperjualbelikan secara luas. bahwa hal ini dimungkinkan karena Resi Gudang juga merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan. derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa berjangka.