Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik,
kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan
khusus dapat dialami oleh setiap individu. Menurut Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, sekitar 4% dari anak
usia 15-19 tahun mengalami kelainan dalam penglihatan,
pendengaran, berjalan, berkonsentrasi dan memahami
orang lain serta perawatan diri. Sensus 2010 menemukan
bahwa sekitar 2% dari anak usia 0-14 tahun memiliki
disabilitas. Dua persen dari semua anak usia 0-18 di
Indonesia berjumlah sekitar 1,5 juta anak, ini berarti 4%
dari jumlah semua anak akan meningkatkan jumlah total
sebesar 3 juta anak-anak dan remaja yang hidup dengan
disabilitas (UNICEF, 2013).
Pada
tahun
2013,
menurut
BKKBN
anak
berkebutuhan khusus (ABK) diperkirakan berjumlah 4,2 juta
jiwa di Indonesia. Kelahiran dan perkembangan ABK ini
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kelainan gen dan
pengaruh peristiwa-peristiwa traumatis yang menyebakan
terhambatnya pertumbuhan biologis (Suharmini, 2009).
1
2
Dari data di atas tersebut patut disadari dalam
kehidupan tidak semua orang dilahirkan dengan sempurna.
Tidak ada keluarga yang tidak menginginkan kehadiran
seorang anak terutama seorang anak yang normal. Namun
pada kenyataan orang tua harus menerima bila kehadiran
anak yang mereka tunggu adalah anak yang spesial. Anak
yang spesial ini sering disebut dengan anak luar biasa, atau
sekarang lebih dikenal dengan anak berkebutuhan khusus
(ABK) (Delphie, 2006).
Disabilitas bukan hanya masalah kesehatan, namun
sebuah fenomena kompleks yang mencerminkan ciri
individu
dan
bagaimana
individu
bertumbuh
dan
berinteraksi dengan lingkungan dimana ia tinggal (WHO,
2013). Anak berkebutuhan khusus yang juga adalah
penyandang disabilitas dapat diklasifikasikan menjadi
tunanetra, tunawicara, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita ,
tunalaras, tunaganda serta anak berbakat (Suharmini,
2009). Dari klasifikasi ABK, anak dengan tunagrahita
merupakan anak dengan disabilitas mental.
Tunagrahita adalah istilah untuk menyebut anak yang
memiliki
kemampuan
intelektual
di
bawah
rata-rata,
ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan keterbatasan
dalam interaksi sosial (Somantri, 2006). Ada beberapa
3
istilah yang disebutkan oleh Somantri (2006) untuk
menyebut anak tunagrahita, yaitu mental illness, mental
defiency, mental retardation, mental defective, mental
retarded, mentally handicapped, mental subnormality,
feeblemindedness,
oligopheria,
amentia,
gangguan
intelektual dan terbelakang mental.
Santrock (2000), menyatakan tunagrahita (retardasi
mental) adalah keadaan kemampuan mental yang terbatas,
anak tunagrahita memiliki IQ di bawah 70 dan kesulitan
untuk menyesuaikan diri dengan kesehariannya. Menurut
American Psyciatric Association dalam Nevid, Rathus dan
Greene (2003), retardasi mental yaitu keterlambatan dalam
rentang yang luas mencakup perkembangan fungsi kognitif
dan sosial.
Keluarga yang memiliki ABK akan memiliki kesulitan
untuk menerima anak tersebut karena kecewa anak yang
dilahirkan tidak memenuhi harapan keluarga. Akan terjadi
krisis
penerimaan
dalam
keluarga
karena
keluarga
cenderung menolak kehadiran anak tersebut. Krisis yang
dialami ditanggapi dengan bervariasi pada setiap anggota
keluarga. Memiliki anak berkebutuhan khusus ini sangat
berdampak pada keluarga itu sendiri (Ghoniyah & Savira,
2015).
4
Orang tua akan mengalami shock, guncangan batin
dan tidak mempercayai kenyataan yang terjadi pada
anaknya saat pertama kali mengetahui anak mereka
mengalami keterbelakangan mental (Mangunsong, 2009).
Bagi keluarga memiliki anak dengan keterbelakangan
mental dapat menjadi beban karena pandangan yang
kurang pantas sehingga sering kali ABK diperlakukan
dengan tidak sepantasnya dan cenderung diperlakukan
dengan kejam (Mangunsong, 2009).
Dalam keluarga yang akan paling merasakan stress
memiliki anak keterbelakangan mental adalah ibu, karena
ibu adalah orang yang akan paling dekat dengan anaknya.
Ibu juga adalah orang yang melahirkan dan orang yang
memiliki frekuensi waktu yang lebih banyak dengan
anaknya ketimbang ayahnya (Ghoniyah & Savira, 2015).
Tidak jarang ibu merasa malu dengan keadaan anaknya
yang memiliki keterbelakangan mental. Perasaan malu,
kecewa dan putus asa ini mempengaruhi kehidupan orang
tua sendiri. Namun, tidak hanya perasaan tersebut saja,
orang tua terutama ibu akan mengusahakan cara yang
terbaik untuk anaknya (Wijayanti, 2015).
Dukungan
dan
penerimaan
orang
tua
akan
mempengaruhi perkembangan anaknya. Orang tua yang
5
tidak menerima anaknya yang memiliki keadaan berbeda
akan terlihat oleh anak, sehingga anak akan berkembang
dengan penolakan dari orang tua. Salah satu faktor yang
akan menentukan penerimaan anak ABK adalah orang
tuanya
terutama
ibu
yaitu
mengenai
kesejahteraan
psikologis ibu. Kesejahteraan psikologis adalah keadaan
dimana seseorang memiliki kondisi yang baik dalam
penerimaaan
kelebihan
maupun
kekurangan
dirinya,
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, mandiri,
mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup dan
dapat bertumbuh dalam pribadi (Ryff, 1989).
Terdapat
6
dimensi
kesejahteraan
psikologis
(psychological well-being) menurut Ryff (1989), yaitu
penerimaan diri (self-acceptance), relasi yang baik dengan
orang lain (positive relations with others), kemampuan
menentukan tindakan sendiri (autonomy), kemampuan
untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan kondisi diri (environmental mastery), tujuan dalam
hidup (purpose in life) dan pertumbuhan diri (personal
growth). Kesejahteraan psikologis yang baik memenuhi
semua dimensi di atas.
Orang tua yang memiliki kesejahteraan psikologis
yang baik akan menerima anaknya, sehingga itu menjadi
6
positif
bagi perkembangan anak
menerima
keadaaan
anak
ini
tersebut. Perasaan
dapat
muncul
dan
berkembang ketika seseorang memiliki kesejahteraan
psikologis yang baik, dimana penerimaan itu merupakan
salah satu dimensi dari kesejahteraan psikologis (Ryff,
1989).
Dalam sebuah penelitian mengatakan kesejahteraan
psikologis
ibu
dengan
anak-anak
retardasi
mental,
khususnya ibu yang memiliki anak down syndrome memiliki
kesejahteraan psikologis yang baik dibanding dengan ibu
yang memiliki anak retardasi mental lainnya. Dikatakan
demikian, karena ibu yang memiliki anak down syndrome
memiliki stres yang lebih rendah dan mendapat dukungan
sosial yang banyak. Ibu dengan anak down syndrome juga
memiliki lebih optimis terhadap masa depan anaknya
(Abbeduto, Seltzer & Shattuck, 2004).
Studi
pendahuluan
dilakukan
peneliti
dengan
mewawancarai salah seorang ibu yang memiliki anak
tunagrahita di Kota Salatiga. Ibu ini berinisial E dan memiliki
anak
down
syndrome
berumur
11
tahun.
Masalah
kesejahteraan psikologis yang menonjol dari ibu E adalah
dimensi relasi yang baik dengan orang lain. Masalah
tersebut kerap kali ibu alami bila berada dalam suatu
7
lingkungan yang baru. Ibu E mengatakan anaknya dilihat
dengan tatapan aneh oleh orang di sekitarnya, sehingga
ibu E harus membiasakan diri dengan hal tersebut tiap kali
berjalan bersama anaknya. Ibu E dapat membangun relasi
yang baik dengan orang lain yang melihat anaknya seperti
itu dengan terlebih dahulu menjelaskan keadaan anaknya.
Dengan demikian relasi tersebut terjalin secara perlahanlahan.
Melihat pentingnya kesejahteraan psikologis ibu yang
memiliki anak tunagrahita dari latar belakang yang
dijelaskan sebelumnya, peneliti tertarik untuk mengetahui
gambaran kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak
tunagrahita.
1.2. Fokus Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana gambaran kesejahteraan psikologis ibu
yang memiliki anak tunagrahita?
8
1.3. Signifikansi dan Keunikan Penelitian
Penelitian
kesejahteraan
ini
memperlihatkan
psikologis
ibu
yang
ini
untuk
gambaran
memiliki
anak
tunagrahita.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan
penelitian
mendeskripsikan
kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak
tunagrahita.
1.4.2. Tujuan Khusus
Penelitian ini memiliki tujuan khusus, antara lain
adalah:
1. Mendeskripsikan penerimaan diri ibu yang memiliki
anak tunagrahita.
2. Mendeskripsikan relasi ibu yang memiliki anak
tunagrahita dengan orang lain.
3. Mendeskripsikan otonomi atau kemandirian ibu yang
memiliki anak tunagrahita.
4. Mendeskripsikan penguasaan lingkungan ibu yang
memiliki anak tunagrahita.
5. Mendeskripsikan tujuan hidup ibu yang memiliki anak
tunagrahita.
9
6. Mendeskripsikan pertumbuhan diri ibu yang memiliki
anak tunagrahita.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai
informasi tentang kesejahteraan psikologis sehingga
dapat memberikan wawasan yang lebih baik lagi untuk
keperawatan
keluarga
maupun
komunitas
dalam
peningkatan derajat kesehatan.
1.5.2. Manfaat Praktis
1.5.2.1. Bagi Perawat
Sebagai
tambahan
informasi
untuk
perawat
terutama bagi perawat keluarga maupun komunitas
agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan
kesejahteraan psikologis ibu.
1.5.2.2. Bagi Peneliti
Sebagai tambahan informasi dan wawasan bagi
peneliti dalam berhadapan dengan keluarga-keluarga
yang
memiliki
anak
tunagrahita
berkebutuhan khusus lainnya.
ataupun
anak
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik,
kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan
khusus dapat dialami oleh setiap individu. Menurut Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, sekitar 4% dari anak
usia 15-19 tahun mengalami kelainan dalam penglihatan,
pendengaran, berjalan, berkonsentrasi dan memahami
orang lain serta perawatan diri. Sensus 2010 menemukan
bahwa sekitar 2% dari anak usia 0-14 tahun memiliki
disabilitas. Dua persen dari semua anak usia 0-18 di
Indonesia berjumlah sekitar 1,5 juta anak, ini berarti 4%
dari jumlah semua anak akan meningkatkan jumlah total
sebesar 3 juta anak-anak dan remaja yang hidup dengan
disabilitas (UNICEF, 2013).
Pada
tahun
2013,
menurut
BKKBN
anak
berkebutuhan khusus (ABK) diperkirakan berjumlah 4,2 juta
jiwa di Indonesia. Kelahiran dan perkembangan ABK ini
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kelainan gen dan
pengaruh peristiwa-peristiwa traumatis yang menyebakan
terhambatnya pertumbuhan biologis (Suharmini, 2009).
1
2
Dari data di atas tersebut patut disadari dalam
kehidupan tidak semua orang dilahirkan dengan sempurna.
Tidak ada keluarga yang tidak menginginkan kehadiran
seorang anak terutama seorang anak yang normal. Namun
pada kenyataan orang tua harus menerima bila kehadiran
anak yang mereka tunggu adalah anak yang spesial. Anak
yang spesial ini sering disebut dengan anak luar biasa, atau
sekarang lebih dikenal dengan anak berkebutuhan khusus
(ABK) (Delphie, 2006).
Disabilitas bukan hanya masalah kesehatan, namun
sebuah fenomena kompleks yang mencerminkan ciri
individu
dan
bagaimana
individu
bertumbuh
dan
berinteraksi dengan lingkungan dimana ia tinggal (WHO,
2013). Anak berkebutuhan khusus yang juga adalah
penyandang disabilitas dapat diklasifikasikan menjadi
tunanetra, tunawicara, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita ,
tunalaras, tunaganda serta anak berbakat (Suharmini,
2009). Dari klasifikasi ABK, anak dengan tunagrahita
merupakan anak dengan disabilitas mental.
Tunagrahita adalah istilah untuk menyebut anak yang
memiliki
kemampuan
intelektual
di
bawah
rata-rata,
ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan keterbatasan
dalam interaksi sosial (Somantri, 2006). Ada beberapa
3
istilah yang disebutkan oleh Somantri (2006) untuk
menyebut anak tunagrahita, yaitu mental illness, mental
defiency, mental retardation, mental defective, mental
retarded, mentally handicapped, mental subnormality,
feeblemindedness,
oligopheria,
amentia,
gangguan
intelektual dan terbelakang mental.
Santrock (2000), menyatakan tunagrahita (retardasi
mental) adalah keadaan kemampuan mental yang terbatas,
anak tunagrahita memiliki IQ di bawah 70 dan kesulitan
untuk menyesuaikan diri dengan kesehariannya. Menurut
American Psyciatric Association dalam Nevid, Rathus dan
Greene (2003), retardasi mental yaitu keterlambatan dalam
rentang yang luas mencakup perkembangan fungsi kognitif
dan sosial.
Keluarga yang memiliki ABK akan memiliki kesulitan
untuk menerima anak tersebut karena kecewa anak yang
dilahirkan tidak memenuhi harapan keluarga. Akan terjadi
krisis
penerimaan
dalam
keluarga
karena
keluarga
cenderung menolak kehadiran anak tersebut. Krisis yang
dialami ditanggapi dengan bervariasi pada setiap anggota
keluarga. Memiliki anak berkebutuhan khusus ini sangat
berdampak pada keluarga itu sendiri (Ghoniyah & Savira,
2015).
4
Orang tua akan mengalami shock, guncangan batin
dan tidak mempercayai kenyataan yang terjadi pada
anaknya saat pertama kali mengetahui anak mereka
mengalami keterbelakangan mental (Mangunsong, 2009).
Bagi keluarga memiliki anak dengan keterbelakangan
mental dapat menjadi beban karena pandangan yang
kurang pantas sehingga sering kali ABK diperlakukan
dengan tidak sepantasnya dan cenderung diperlakukan
dengan kejam (Mangunsong, 2009).
Dalam keluarga yang akan paling merasakan stress
memiliki anak keterbelakangan mental adalah ibu, karena
ibu adalah orang yang akan paling dekat dengan anaknya.
Ibu juga adalah orang yang melahirkan dan orang yang
memiliki frekuensi waktu yang lebih banyak dengan
anaknya ketimbang ayahnya (Ghoniyah & Savira, 2015).
Tidak jarang ibu merasa malu dengan keadaan anaknya
yang memiliki keterbelakangan mental. Perasaan malu,
kecewa dan putus asa ini mempengaruhi kehidupan orang
tua sendiri. Namun, tidak hanya perasaan tersebut saja,
orang tua terutama ibu akan mengusahakan cara yang
terbaik untuk anaknya (Wijayanti, 2015).
Dukungan
dan
penerimaan
orang
tua
akan
mempengaruhi perkembangan anaknya. Orang tua yang
5
tidak menerima anaknya yang memiliki keadaan berbeda
akan terlihat oleh anak, sehingga anak akan berkembang
dengan penolakan dari orang tua. Salah satu faktor yang
akan menentukan penerimaan anak ABK adalah orang
tuanya
terutama
ibu
yaitu
mengenai
kesejahteraan
psikologis ibu. Kesejahteraan psikologis adalah keadaan
dimana seseorang memiliki kondisi yang baik dalam
penerimaaan
kelebihan
maupun
kekurangan
dirinya,
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, mandiri,
mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup dan
dapat bertumbuh dalam pribadi (Ryff, 1989).
Terdapat
6
dimensi
kesejahteraan
psikologis
(psychological well-being) menurut Ryff (1989), yaitu
penerimaan diri (self-acceptance), relasi yang baik dengan
orang lain (positive relations with others), kemampuan
menentukan tindakan sendiri (autonomy), kemampuan
untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan kondisi diri (environmental mastery), tujuan dalam
hidup (purpose in life) dan pertumbuhan diri (personal
growth). Kesejahteraan psikologis yang baik memenuhi
semua dimensi di atas.
Orang tua yang memiliki kesejahteraan psikologis
yang baik akan menerima anaknya, sehingga itu menjadi
6
positif
bagi perkembangan anak
menerima
keadaaan
anak
ini
tersebut. Perasaan
dapat
muncul
dan
berkembang ketika seseorang memiliki kesejahteraan
psikologis yang baik, dimana penerimaan itu merupakan
salah satu dimensi dari kesejahteraan psikologis (Ryff,
1989).
Dalam sebuah penelitian mengatakan kesejahteraan
psikologis
ibu
dengan
anak-anak
retardasi
mental,
khususnya ibu yang memiliki anak down syndrome memiliki
kesejahteraan psikologis yang baik dibanding dengan ibu
yang memiliki anak retardasi mental lainnya. Dikatakan
demikian, karena ibu yang memiliki anak down syndrome
memiliki stres yang lebih rendah dan mendapat dukungan
sosial yang banyak. Ibu dengan anak down syndrome juga
memiliki lebih optimis terhadap masa depan anaknya
(Abbeduto, Seltzer & Shattuck, 2004).
Studi
pendahuluan
dilakukan
peneliti
dengan
mewawancarai salah seorang ibu yang memiliki anak
tunagrahita di Kota Salatiga. Ibu ini berinisial E dan memiliki
anak
down
syndrome
berumur
11
tahun.
Masalah
kesejahteraan psikologis yang menonjol dari ibu E adalah
dimensi relasi yang baik dengan orang lain. Masalah
tersebut kerap kali ibu alami bila berada dalam suatu
7
lingkungan yang baru. Ibu E mengatakan anaknya dilihat
dengan tatapan aneh oleh orang di sekitarnya, sehingga
ibu E harus membiasakan diri dengan hal tersebut tiap kali
berjalan bersama anaknya. Ibu E dapat membangun relasi
yang baik dengan orang lain yang melihat anaknya seperti
itu dengan terlebih dahulu menjelaskan keadaan anaknya.
Dengan demikian relasi tersebut terjalin secara perlahanlahan.
Melihat pentingnya kesejahteraan psikologis ibu yang
memiliki anak tunagrahita dari latar belakang yang
dijelaskan sebelumnya, peneliti tertarik untuk mengetahui
gambaran kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak
tunagrahita.
1.2. Fokus Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana gambaran kesejahteraan psikologis ibu
yang memiliki anak tunagrahita?
8
1.3. Signifikansi dan Keunikan Penelitian
Penelitian
kesejahteraan
ini
memperlihatkan
psikologis
ibu
yang
ini
untuk
gambaran
memiliki
anak
tunagrahita.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan
penelitian
mendeskripsikan
kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak
tunagrahita.
1.4.2. Tujuan Khusus
Penelitian ini memiliki tujuan khusus, antara lain
adalah:
1. Mendeskripsikan penerimaan diri ibu yang memiliki
anak tunagrahita.
2. Mendeskripsikan relasi ibu yang memiliki anak
tunagrahita dengan orang lain.
3. Mendeskripsikan otonomi atau kemandirian ibu yang
memiliki anak tunagrahita.
4. Mendeskripsikan penguasaan lingkungan ibu yang
memiliki anak tunagrahita.
5. Mendeskripsikan tujuan hidup ibu yang memiliki anak
tunagrahita.
9
6. Mendeskripsikan pertumbuhan diri ibu yang memiliki
anak tunagrahita.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai
informasi tentang kesejahteraan psikologis sehingga
dapat memberikan wawasan yang lebih baik lagi untuk
keperawatan
keluarga
maupun
komunitas
dalam
peningkatan derajat kesehatan.
1.5.2. Manfaat Praktis
1.5.2.1. Bagi Perawat
Sebagai
tambahan
informasi
untuk
perawat
terutama bagi perawat keluarga maupun komunitas
agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan
kesejahteraan psikologis ibu.
1.5.2.2. Bagi Peneliti
Sebagai tambahan informasi dan wawasan bagi
peneliti dalam berhadapan dengan keluarga-keluarga
yang
memiliki
anak
tunagrahita
berkebutuhan khusus lainnya.
ataupun
anak