Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita

(1)

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA IBU

YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

DENISE LAZZARONI

081301036

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA IBU

YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

DENISE LAZZARONI 081301036

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 08 November 2013

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Liza Marini, M.Psi Penguji I

NIP. 198105202005012003 Merangkap Pembimbing

2. Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog Penguji II NIP. 106405232000032001

3. Etty Rahmawati, M.Si Penguji III 4. NIP. 198107252008012013


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

“Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita”

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 04 November 2013


(4)

Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

Denise Lazzaroni dan Liza Marini

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita. Kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita adalah kondisi psikologis seorang ibu yang ditandai dengan keberfungsian hidup secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya sebagai seorang ibu dari anak tunagrahita, menerima sisi positif dan negatif dirinya dan anaknya, mempunyai kepuasan terhadap kehidupannya dan adanya realisasi potensi dalam diri ibu yang memiliki anak tunagrahita hingga mencapai kebahagiaan dan hidup yang bermakna.

Subjek penelitian adalah ibu yang memiliki anak tunagrahita yang berada di Kota Medan sebanyak 80 orang yang memiliki setidaknya satu anak tunagrahita yang berusia 3-13 tahun. Sampel diperoleh melalui teknik snowball sampling. Alat ukur berupa skala kesejahteraan psikologis yang disusun berdasarkan teori kesejahteraan psikologi Ryff (1989).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita berada pada kategori rendah sebesar 48.8 % yang artinya ibu yang memiliki anak tunagrahita kurang dapat menerima keadaan diri dan kondisi anaknya, kurang mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain, kurang mampu dalam mengelola lingkungan sekitarnya, belum menentukan arah dan tujuan hidup ke depan dan tidak bertumbuh secara pribadi, serta kurang membuka diri dan merasa tidak puas dengan kehidupan yang dimiliki.


(5)

Description of Psychological Well-Being on Mother with Mentally Retarded Children

Denise Lazzaroni dan Liza Marini

ABSTRACT

The aim of this study is to describe the psychological well-being on mother who have children with mental retardation. Psychological well-being on mother who have children with mental retardation is a maternal condition that characterized by an optimal functioning of life, satisfaction and acceptance of their situation, accepting positive and negative sides of themselves and their child, have a life satisfaction and self-potential realization inside of the mother with mentally retarded children until they gained their happiness and a meaningful life.

The subjects of this research were mothers of children with mental retardation residing in Medan as many as 80 people who have at least one mental retardation child aged 3-13 years. This research is using the snowball technique sampling. The measuring instruments is the psychological well-being scale developed based on psychological well-being theory of Ryff (1989).

The results of this study indicate that the description of psychological well-being on mother who have children with mental retardation are in the low category as much as 48.8 %, which means mothers of children with mental retardation can’t accept her life condition and her child, less able to build a positive relationships with others, depend on the others, less able to manage the environment, haven’t determine the direction and purpose of life forward yet and haven’t grow personally, as well as less open to the others and not satisfied with the life they have now.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia, kemudahan, dan ridho-Nya dalam penyelesaian skripsi ini dengan judul “Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita”. Adapun penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta, terbaik dan terhebat, Effi Andriani ibu yang sangat saya cintai yang selalu ada untuk saya dan memberikan dukungan terbesar serta selalu mendoakan saya dan dr.Sergio Lazzaroni ayah yang saya sayangi dan rindukan yang selalu memberikan dukungan dan doa meskipun jauh di Itali. Terima kasih atas doa yang tak henti dan dukungannya baik moril maupun materil. Semoga Allah selalu mencurahkan kebahagiaan kepada mereka di dunia dan akhirat. Tak lupa juga kepada dr.James Lazzaroni abang tersayang dan satu-satunya yang selalu memberikan semangat, motivasi dan doanya. Semoga kita berdua menjadi orang yang sukses dan membanggakan orang tua nantinya.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak baik sejak masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, maka sangat sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:


(7)

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2.

Kakak Liza Marini, M.Psi, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas segala masukan, arahan, saran, dan keluangan waktu yang telah kakak berikan sejak pengerjaan seminar hingga penyelesaian skirpsi ini. Terima kasih banyak atas motivasi dan bimbingan kakak.

3.

Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog, selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas kesabaran Ibu dalam menguji saya, serta atas waktu dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan revisi skripsi ini dengan lebih baik.

4.

Ibu Etty Rahmawati, M.Si, selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas kesabaran Ibu dalam menguji saya, serta atas waktu dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan revisi skripsi ini dengan lebih baik. 5. Ibu Meidriani Ayu, M.Kes, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu

peduli terhadap saya dan selalu bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing saya selama masa perkuliahan.

6. Ibu Lili Garliah, M.Si, psikolog, Kakak Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi, psikolog, Kakak Dina Nazriani, M.Si, dan Kakak Masitah, M.Si, yang telah banyak membantu dan direpotkan dengan banyak pertanyaan selama penyelesaian skripsi ini. Terima kasih banyak atas segala bantuan serta masukan dari ibu dan kakak-kakak departemen umeks.


(8)

7. Seluruh jajaran staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara khususnya Pak As, Kak Ari, Kak Eli dan Kak Devi.

8. Keluarga besar, Nenek yang selalu mendoakan tiada henti, Tante Adhe, Tenda, Nena, Teta dan sepupu-sepupu saya.

9. Jimmy Rully Putra Chaniago, terima kasih karena selalu mendukung, membantu dan memberi semangat juga perhatian yang tiada henti dalam menyelesaikan skripsi ini serta memotivasi untuk bisa segera wisuda. Terima kasih Nyimy.

10.Demyutivid. Sahabat-sahabat terbaik kesayangan saya, Dita Ardhina S.Psi, Husna Astria Aritonang S.Psi, Kinanti Mayangsari S.Psi, Kharissa Pratiwi Akbar S.Psi dan Vindy Fadhilla Nst. Terima kasih untuk semua hal yang sudah kita lalui bersama selama masa kuliah, untuk semua kenangan dan kebahagiaan demyutivid, dan terima kasih karena telah membuat masa kuliah menjadi lebih seru dan lebih menyenangkan. Terima kasih juga khususnya buat Didit, Mayang dan Iwik yang memberikan bantuan ekstra dalam menyelesaikan skripsi ini. Buat Vindy ceka skripsi, ayo segera kita selesaikan perkuliahan dan menyandang gelar sarjana bersama-sama. Denise sayang kalian semuanya.

11.Gangster. Emen, Meme, Caca, Kity, Jens dan Suri. Terima kasih untuk kenangan selama masa kuliah, tawa dan ducan di setiap harinya dan pastinya semangat yang kalian berikan dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga kebersamaan Demyutivid dan Gangster ini berlanjut sampai kita tua nanti ya, sayang kalian semua.


(9)

12.Chaidara Puspita Bangun, sahabat sejati sejak SMA yang tidak akan pernah terganti yang selalu memberikan kebahagiaan dan dukungan agar kita secepatnya bersama-sama menjadi sarjana, terima kasih banyak soulsister kesayanganku. Terima kasih juga untuk Geng Eleb yang paling seru, Dara, Ares, Gober, Dea, Biber, Cengir, Wirda, Andie dan Acong.

13.Seluruh teman-teman angkatan 2008 yang sangat kompak dan sangat saya sayangi yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Angkatan yang paling heboh dan membanggakan. Terima kasih untuk semua kenangan dan keseruan kita selama masa perkuliahan, semoga kita semua menjadi orang yang sukses. 14.Terima kasih kepada wiliam, cai, kaklili, dean, moyang, kemal, senior dan

para junior Fakultas Psikologi Universitas Sumatera atas masukan dan bantuannya dalam melakukan penelitian ini.

15.Terima kasih khususnya kepada Ibu Yus dan Ibu Sari yang telah banyak membantu dan mempermudah saya dalam pengambilan data.

16.Seluruh responden penelitian yang merupakan ibu-ibu yang memiliki anak tunagrahita dan anak berkebutuhan khusus. Terima kasih banyak atas kesediaan dan waktunya.

17.Segala pihak dan teman-teman yang mendukung proses penyelesaian penelitian ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua dan peneliti menyadari bahwa isi dari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan.


(10)

Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran membangun sebagai masukan yang berguna bagi penelitian ini. Harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 04 November 2013


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B.

Perumusan Masalah ... 12

C.

Tujuan Penelitian ... 13

D.

Manfaat Penelitian ... 13

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 14

E.

Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) ... 16

1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 16 2. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) ... 18


(12)

(Psychological Well-Being) ... 21

B. Ibu ... 24

1. Definisi Ibu ... 24

2. Perkembangan Wanita Dewasa sebagai Ibu ... 25

3. Peran Ibu ... 26

4. Kesejahteraan Psikologis Ibu ... 27

C. Anak Tunagrahita ... 28

1. Definisi Anak Tunagrahita ... 28

2. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tunagrahita ... 30

3. Faktor-faktor Penyebab Ketunagrahitaan ... 32

4. Dampak Ketunagrahitaan Anak Terhadap Keluarga ... 34

D. Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 36

Kerangka Pemikiran ... 45

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

A. Identifikasi Variabel ... 47

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 47

C. Populasi,Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 48

1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 48

2. Metode Pengambilan Sampel ... 49

D. Metode Pengumpulan Data ... 50

E. Validitas, Reliabilitas Alat Ukur dan Uji Daya Beda Aitem .... 53

1. Validitas alat ukur ... 54

2. Reliabilitas alat ukur ... 55

3. Uji Daya Beda Aitem ... 56


(13)

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 60

1. Tahap Persiapan ... 60

2. Tahap Pelaksanaan ... 61

3. Tahap Pengolahan Data ... 61

H. Metode Analisis Data ... 61

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 64

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 64

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 64

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir 65 3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Subjek Penelitian .. ... . 66

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Anak Subjek Penelitian .. ... . 66

B. Hasil Penelitian ... 67

1. Uji Normalitas ... 67

2. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 68

3. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita Berdasarkan Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 70

a. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Penerimaan Diri ... 71

b. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 72

c. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Otonomi ... 74 d. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada


(14)

Dimensi Penguasaan Terhadap Lingkungan ... 75

e. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Tujuan Hidup ... 77

f. Gambaran Umum Kesejahteraan Psikologis Pada Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 79

C. Pembahasan ... 80

BAB V KESIMPULAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 92

1. Saran Metodologis ... 92

2. Saran Praktis ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar I. Kerangka Pemikiran Kesejahteraan Psikologis


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 1. Cara Penilaian Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu

yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 51 Tabel 2. Blue Print Distribusi aitem Skala Gambaran

Kesejahteraan Psikologis ... 52 Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Skala Gambaran Kesejahteraan

Psikologis ... 58 Tabel 4. Distribusi Aitem-aitem Skala Gambaran Kesejahteraan

Psikologis ... 59 Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 64 Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir 65 Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Anak

Subjek Penelitian... ... 66 Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Anak Subjek

Penelitian ... ... 67 Tabel 9. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian Dari Skala Gambaran

Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak

Tunagrahita ... 68 Tabel 10. Kategorisasi Norma Gambaran Kesejahteraan Psikologis

Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 69 Tabel 11. Gambaran Kategorisasi Skor Gambaran Kesejahteraan

Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 69 Tabel 12. Gambaran Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu


(17)

Tabel 13. Median dan Standar Deviasi Tiap Dimensi Kesejahteraan

Psikologis ... 71 Tabel 14. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Penerimaan Diri ... 71 Tabel 15. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Penerimaan Diri ... 72 Tabel 16. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 73 Tabel 17. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Hubungan Positif

dengan Orang Lain ... 73 Tabel 18. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Otonomi ... 74 Tabel 19. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Otonomi ... 75 Tabel 20. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Penguasaan Terhadap Lingkungan ... 76 Tabel 21. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Penguasaan Terhadap

Lingkungan ... 76 Tabel 22. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Tujuan Hidup ... 77 Tabel 23. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Tujuan Hidup ... 78 Tabel 24. Gambaran Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis Pada

Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 79 Tabel 25. Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 79


(18)

DAFTAR GRAFIK

No. Judul Halaman

Grafik 1. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 70 Grafik 2. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

Penerimaan Diri ... 72 Grafik 3. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 74 Grafik 4. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi Otonomi 75 Grafik 5. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

Penguasaan Terhadap Lingkungan ... 77 Grafik 6. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi

Tujuan Hidup ... 78 Grafik 7. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Dimensi


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

Lampiran 1 Data Mentah dan Hasil Uji Coba ... 100

Lampiran 2 Tabel Gambaran Umum Subjek ... 109

Lampiran 3 Data Hasil Penelitian ... 115


(20)

Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

Denise Lazzaroni dan Liza Marini

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita. Kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita adalah kondisi psikologis seorang ibu yang ditandai dengan keberfungsian hidup secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya sebagai seorang ibu dari anak tunagrahita, menerima sisi positif dan negatif dirinya dan anaknya, mempunyai kepuasan terhadap kehidupannya dan adanya realisasi potensi dalam diri ibu yang memiliki anak tunagrahita hingga mencapai kebahagiaan dan hidup yang bermakna.

Subjek penelitian adalah ibu yang memiliki anak tunagrahita yang berada di Kota Medan sebanyak 80 orang yang memiliki setidaknya satu anak tunagrahita yang berusia 3-13 tahun. Sampel diperoleh melalui teknik snowball sampling. Alat ukur berupa skala kesejahteraan psikologis yang disusun berdasarkan teori kesejahteraan psikologi Ryff (1989).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita berada pada kategori rendah sebesar 48.8 % yang artinya ibu yang memiliki anak tunagrahita kurang dapat menerima keadaan diri dan kondisi anaknya, kurang mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain, kurang mampu dalam mengelola lingkungan sekitarnya, belum menentukan arah dan tujuan hidup ke depan dan tidak bertumbuh secara pribadi, serta kurang membuka diri dan merasa tidak puas dengan kehidupan yang dimiliki.


(21)

Description of Psychological Well-Being on Mother with Mentally Retarded Children

Denise Lazzaroni dan Liza Marini

ABSTRACT

The aim of this study is to describe the psychological well-being on mother who have children with mental retardation. Psychological well-being on mother who have children with mental retardation is a maternal condition that characterized by an optimal functioning of life, satisfaction and acceptance of their situation, accepting positive and negative sides of themselves and their child, have a life satisfaction and self-potential realization inside of the mother with mentally retarded children until they gained their happiness and a meaningful life.

The subjects of this research were mothers of children with mental retardation residing in Medan as many as 80 people who have at least one mental retardation child aged 3-13 years. This research is using the snowball technique sampling. The measuring instruments is the psychological well-being scale developed based on psychological well-being theory of Ryff (1989).

The results of this study indicate that the description of psychological well-being on mother who have children with mental retardation are in the low category as much as 48.8 %, which means mothers of children with mental retardation can’t accept her life condition and her child, less able to build a positive relationships with others, depend on the others, less able to manage the environment, haven’t determine the direction and purpose of life forward yet and haven’t grow personally, as well as less open to the others and not satisfied with the life they have now.


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan khusus semakin meningkat di Indonesia dan bahkan di dunia. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal menyatakan saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapat perhatian serius mencapai 1,2 juta orang atau 2,5% dari populasi anak-anak usia sekolah (Pelita, 2012). Hal ini dapat terjadi karena adanya pola hidup orangtua yang salah, kecelakaan yang dialami ibu selama masa kehamilan, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol selama kehamilan dan lain sebagainya. Dibutuhkan penanganan sedini mungkin mulai dari penambahan pengetahuan kepada calon orang tua hingga cara penanganan pada masa tumbuh kembang anak.

Anak merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang dapat meneruskan generasi dan semangat hidup dalam suatu rumah tangga. Bagi orang tua khususnya ibu yang melahirkan anak, tentunya mereka sangat memiliki keinginan untuk memiliki anak yang normal seperti anak pada umumnya. Namun ketika kenyataan tidak sejalan dengan harapan, umumnya mereka sulit untuk secara langsung menerima setiap keadaan yang ada (Hurlock, 1978).


(23)

Seperti yang juga dikemukakan oleh Satiadarma (2001), setiap orang tua menginginkan memiliki anak atau keturunan yang baik, sehat, berkualitas yang baik dan berpengetahuan baik, dalam artian orang tua memiliki harapan yang ideal bagi anak mereka tetapi apabila “berbeda” dengan kenyataan maka akan menimbulkan kekecewaan. Anak yang “berbeda” sering disebut dengan anak spesial (children with special needs) dimana anak memiliki perkembangan dan karakteristik fisik maupun mental yang berbeda dengan anak normal.

Anak-anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik ini disebut dengan anak berkebutuhan khusus (Heward, 1996). Salah satu yang termasuk dalam pembagian anak berkebutuhan khusus adalah tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial atau biasa sering disebut dengan retardasi mental (Somantri, 2007). Seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat dari IQ-nya tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana ia dapat menyesuaikan diri. Beberapa karakteristik umum tunagrahita yaitu keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya (Somantri, 2007).

Hampir seluruh orangtua tentunya mengharapkan mereka memiliki anak yang sehat dan normal, baik secara fisik maupun mental. (Hurriyati, 2009) Bila anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orang tua, maka orang tua akan merasa kecewa. Hal seperti ini tentunya tidak mudah diterima oleh para orang tua,


(24)

dimana anak mereka mengalami gangguan dan keterlambatan dalam perkembangannya. Anak tunagrahita membutuhkan penanganan dini dan intensif untuk membantu kesehariannya.

Terdapat beberapa reaksi emosional awal yang biasanya dimunculkan orang tua ketika mengetahui anak mereka berbeda dibanding anak-anak lainnya. Orang tua hendaknya memahami dan menyadari emosi-emosi yang dialaminya, sehingga orang tua dapat mengelolanya secara efektif. Beberapa reaksi emosional tersebut antara lain shock, penyangkalan dan merasa tidak percaya, sedih, perasaan terlalu melindungi atau kecemasan, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasaan marah, serta perasaan bersalah dan berdosa atas apa yang terjadi pada anak (Safaria, 2005).

Seperti kutipan wawancara dibawah ini :

“Semua orang juga pasti ngarepinnya punya anak normal kan, tapi ternyata saya dikaruniai anak yang ada gangguan gini. Ya sebenarnya saya masih gak percaya sampe sekarang tapi saya juga gak bisa buat apa-apa. Ya sekarang saya berusaha jaga anak saya sampe besar aja lah, walaupun berat.” (komunikasi interpersonal, 02 Maret 2013).

“Awalnya saya gak tau anak saya itu ternyata begini keadaannya. Pas sekitar umur 3 tahun baru ketauan. Saya tekejut kali rasanya, nangis gak percaya, rasanya kasian gak tega gitu liat anak saya. Saya juga ngerasa bersalah karena liat anak saya kayak gitu. Tiap hari sedih gitu liatnya tapi anak saya gak boleh liat saya sedih nanti dia sedih juga.” (komunikasi interpersonal, 03 Maret 2013).


(25)

Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat dilihat bahwa ibu dari anak tunagrahita mengalami berbagai bentuk reaksi awal mengenai kondisi anak mereka. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Mangunsong (1998) yang mengemukakan bahwa tahap pertama yang biasanya muncul adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan kecacatan yang diderita anaknya.

Penolakan yang dimunculkan oleh ibu sebagai bentuk reaksi emosional awal, mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh ibu dari anak tunagrahita tersebut.

Seperti kutipan wawancara dengan seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita berusia 7 dan 10 tahun dibawah ini:

“Kalo malu sih ya gimana ya, saya malesnya sih kalo diejek-ejek tetangga ato orang-orang lain gitu. Kadang-kadang saya sedih juga rasanya, pernah juga sampe stress. Gatau saya harus buat apa lagi.” (komunikasi interpersonal, 04 Maret 2013).

“Kadang-kadang liat keadaannya itu saya suka gak kuat, kayaknya saya gak bisa, rasanya pengen lari aja. Apalagi kalo bantuin dia apa-apa, aduh gak taulah. Tapi saya selalu kuat-kuatin diri saya buat biasa aja karena anak saya juga harus tumbuh kan.” (komunikasi interpersonal, 03 Maret 2013).

Berdasarkan kutipan wawancara diatas, dapat dilihat bahwa kedua ibu yang memiliki anak tunagrahita tersebut memiliki rasa malu dan rasa malu akan tetap ada pada diri ibu yang menerima keadaan anak tunagrahita yang memiliki keterbelakangan mental, namun hal tersebut tidak sepenuhnya menguasai orang tua, sehingga ada usaha lain yang dilakukan demi membantu perkembangan anak. Di sisi lain, penolakan pada diri ibu juga akan memunculkan rasa putus asa


(26)

terhadap perkembangan anak, yang juga berpengaruh pada kehidupan orang tua itu sendiri.

Terdapat beberapa tahapan penerimaan menurut Kubler-Ross (dalam Gargulio, 1985) dimana terdapat beberapa tahapan yang didalamnya terdapat shock (perasaan kaget dan shock dengan kondisi anak), denial (menolak kenyataan), grief and depression (perasaan berkabung dan depresi), ambivalent (ambivalensi atau kecenderungan untuk merawat anaknya sekaligus menolaknya), guilty feeling (perasaan bersalah karena kondisi anak), anger (perasaan marah), shame and embarrassment (perasaan malu terutama dalam lingkup sosial), bargaining (tawar-menawar demi membantu anak menjadi layaknya anak normal lainnya), adaptation and reorganization (adaptasi dan adanya rasa nyaman pada orang tua) dan acceptance and adjustment (penerimaan dan penyesuaian dengan kondisi diri dan anak). Tahapan-tahapan ini mungkin dapat terjadi satu demi satu pada beberapa orang, namun pada sebagian orang dalam mencapai tahap penerimaan tidak harus melalui keseluruhan tahap demi tahap diatas dan bisa hanya mengalami beberapa tahap saja serta tidak berurutan.

Dukungan dan penerimaan dari anggota keluarga khususnya ibu, akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak tunagrahita untuk lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki. Terdapat dua kemungkinan sikap yang akan dimunculkan oleh anggota keluarga terhadap anak tunagrahita, yaitu menerima atau menolak. Secara normatif, sebagian besar orang tentunya menyatakan telah menerima keberadaan mereka, sebab bagaimanapun


(27)

mereka telah ditakdirkan menjadi bagian dari keluarga (Hendriani, Handariyati & Sakti, 2006).

Pada kenyataannya, respon “penerimaan” dari seorang ibu tidaklah selalu sama pada setiap orang. Respon inilah yang akan menjelaskan apakah mereka

telah benar-benar menerima atau sebenarnya melakukan penolakan dengan

cara-cara dan perlakukan tertentu. Hal ini juga akan menjelaskan tentang bagaimana pola sebuah keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dengan keberadaan anak yang “berbeda” tersebut.

Ibu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian dikarenakan mereka berperan langsung dalam kelahiran anak. Pandangan yang terbentuk pada ayah ataupun ibu juga sering menyebabkan kesenjangan antara kegembiraan setelah masa penantian kehamilan dengan realitas keadaan anaknya. Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita (Mangunsong, 1998).

Sebagian besar orang tua dengan anak tunagrahita, menghadapi dua krisis utama (Kirk & Gallagher, 1989). Pertama, orang tua tentunya memiliki harapan-harapan mengenai masa depan dari anak yang akan lahir, seperti harapan-harapan mengenai kesuksesan, pendidikan, hingga kondisi finansial anak tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi orang tua yang mengetahui bahwa anaknya berbeda dari anak normal, akan kehilangan mimpi dan harapan mereka. Bahkan beberapa dari orang tua mengalami depresi berat ketika mengetahui kenyataan tersebut (Farber dalam Kirk & Gallagher, 1989). Kedua, krisis yang dialami orang tua berhubungan dengan masalah untuk memberikan pelayanan sehari-hari bagi anak mereka yang


(28)

tunagrahita dimana anak tersebut harus mendapatkan bantuan oleh orang tuanya, seperti membantu anak dalam urusan sekolah, dalam hal berpakaian, makan, minum dan sebagainya.

Bagi anak, tidak ada sumber kekuatan yang lebih penting selain orangtua. Ketika guru hanya bersifat sementara, orangtua merupakan figur utama dan tetap bagi kehidupan anak. Orangtua harus memberikan dukungan yang dibutuhkan anak secara konsisten, terus menerus dan sistematis (Smith, 2008). Bagi seorang anak tunagrahita tentunya lingkungan keluarga merupakan yang paling penting, khususnya orangtua, karena ketidakmampuan yang dirasakannya.

Walaupun berbeda dari anak normal lainnya, pada dasarnya anak tunagrahita tetap mempunyai hak-hak dasar sebagaimana anak normal. Anak-anak tunagrahita ini pun perlu memiliki waktu untuk bermain, belajar dan bersosialisasi dalam komunitas di lingkungannya. Mereka juga tidak luput dari kebutuhan untuk dicintai, dihargai serta diberikan kesempatan agar dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki (Payne dalam Hastuti & Zamralita, 2004). Dan terlebih bagi seorang ibu juga harus membantu anak tunagrahita dalam mengembangkan kemampuan pada berbagai aspek kehidupan seperti kognitif, komunikasi, bina-bantu diri, mobilitas, perkembangan panca indera, motorik halus dan kasar, dan sosial (Smith, 2008).

Seorang ibu merupakan sosok paling dekat terhadap anak karena berhubungan langsung dengan kelahiran si anak. Konsekuensinya, anak tunagrahita ini membutuhkan pengawasan dan perhatian lebih besar dari ibu mereka. Hal ini memerlukan waktu, usaha, tenaga dan dana yang tidak sedikit.


(29)

Ketika mengetahui anak mereka tidak akan melalui perkembangan layaknya orang normal akan menjadi stressor bagi ibu dari anak tunagrahita, dimana ibu merupakan figur yang lebih rentan terhadap stres dibandingkan ayah (Hallahan & Kauffman, 2006).

Beberapa studi menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak tunagrahita sering kali mengalami stres tingkat tinggi (Hendriks, DeMoor, Oud, & Savelberg; McKinney & Peterson; Rodrigue, Morgan, & Geffken; Smith, Oliver, & Innocenti dalam Lessenberry & Rehfeldt, 2004). Sebuah penelitian mengenai level stres orang tua dari anak yang memiliki gangguan dalam perkembangan (termasuk anak-anak tunagrahita), melaporkan bahwa ibu menunjukkan level stres yang sangat tinggi serta bereaksi negatif terhadap gangguan atau ketunaan si anak (McKinney & Peterson dalam Lessenberry & Rehfeldt, 2004). Hal ini berkaitan dengan ibu yang biasanya memegang peran utama, sedangkan ayah hanya memiliki peran sekunder dalam mengasuh anak. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa ayah menghabiskan waktu lebih sedikit dengan anak daripada ibu (Blairr, Wenk, & Hardesty, 1994).

Meskipun ibu yang memiliki anak yang “berbeda” lebih mungkin mengalami depresi dan tingkat stres yang tinggi daripada ibu dari anak-anak yang berkembang secara normal (Blacher et al, 1997; Deater-Deckard, 2004; Perry, 2005; Seligman, 1999), faktor-faktor yang berkaitan dengan tingkat stres dan gejala depresi yang tinggi perlu dipahami sebelum dapat diambil tindakan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu. Tingkat stres atau depresi seorang ibu ditemukan


(30)

berhubungan dengan jenis ketunaan anak , tingkat kognitif anak atau jenis kelamin anak.

Dari penelitian yang dilakukan Mitchell dan Hauser-Cram (2006) didapatkan bahwa penyedia layanan kesehatan mengantisipasi bahwa anak dengan tingkat kognitif rendah atau gangguan motorik tertentu akan menyebabkan stres tinggi pada ibunya. Tidak mengherankan, kesehatan anak secara keseluruhan ditemukan sebagai prediktif stres pada ibu, karena kekhawatiran tentang kesehatan fisik dan mental anak telah ditemukan dalam penelitian lain untuk menjadi sumber stres ibu dalam mengasuh anaknya (Turner, Sloper, Cunningham & Knussen, 1990).

Stres yang dialami oleh ibu yang memiliki anak tunagrahita berpengaruh pada cara ibu mengasuh anak yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada perkembangan kemampuan anak, baik dalam intelegensi, sosial dan fungsi mental lainnya. Oleh karena itu, agar dapat menjalankan peran efektif sebagai orang tua bagi si anak yang memiliki banyak keterbatasan, ibu harus bisa mengatasi stres yang dihadapi terlebih dahulu. Bila stres yang dialami dapat diatasi maka perlahan-lahan ibu juga akan mampu menerima kondisi anak mereka tersebut. Penerimaan diri si ibu sebagai orang tua dari anak tunagrahita serta penerimaan terhadap kondisi anak mereka akan memberikan energi positif bagi si ibu untuk mengembangkan kemampuan anak yang juga berdampak pada kesejahteraan ibu secara psikologis (Heward & Orlansky, 1992).

Peran orang tua khususnya ibu akan terlihat dalam kehidupan anak; tentang penerimaan atau penolakan ibu terhadap kondisi meraka dan kondisi anak


(31)

yang berdampak pada sikap dan pengasuhan terhadap sang anak, pengembangan dan pengaktualisasian potensi diri sebagai manusia, orang tua, istri dan bahkan anggota masyarakat dalam mencapai tujuan hidup yang semula sudah ditetapkan (Hastuti & Zamralita, 2004).

Bukan berarti seorang ibu, tidak mampu untuk menerima keadaan yang dimiliki oleh anaknya yang memiliki keterbatasan dan kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak lainnya, namun penerimaan mereka tersebut dapat muncul dan berkembang ketika seseorang memiliki kesejahteraan psikologis dalam keadaan yang baik, dimana penerimaan itu sendiri merupakan aspek dari kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989). Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being adalah sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, memiliki tujuan hidup, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 1989).

Menurut Ryff (dalam Palupi, 2008), kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well) dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Kesejahteraan psikologis diperlukan agar manusia didalam hidupnya


(32)

bahagia, tentram dan dapat melakukan sesuatu hal yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada keluarga terutama orang tua. Salah satu faktor utamanya adalah keadaan emosional dan kesehatan fisik orang tua. Orang tua khususnya ibu merupakan jantung dari sebuah keluarga. Ibu dari anak-anak tunagrahita adalah orang-orang yang berurusan dengan isu yang terkait dengan kecacatan mental anak mereka dan di sisi lain mereka juga diperlukan untuk dapat mempertahankan rumah tangga. Sikap masyarakat terhadap anak tunagrahita atau anak yang memiliki gangguan mempengaruhi reaksi ibu terhadap kehadiran anak tersebut di dalam keluarganya (Maramis, 1994). Mengasuh anak-anak tunagrahita juga bukan merupakan hal yang mudah. Dalam mengasuh anak tunagrahita yang memiliki keterbelakangan mental, orang tua akan merasa terusik secara psikologis. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha dan strategi dari orang tua yang melibatkan kognitif dan perilaku secara aktif dalam mencari cara untuk mengatasi suatu peristiwa yang penuh dengan tekanan.

Sangat penting sebagai seorang ibu, untuk meluangkan waktu untuk merawat diri sendiri sebagai individu dalam mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka (Ravindranadan, 2007). Seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita juga memerlukan dukungan dari segala pihak untuk mengurangi beban yang dirasakannya, dimana kondisi ibu yang memiliki anak yang memiliki keterbatasan secara intelegensi dan sosial tersebut memerlukan tenaga, pikiran dan biaya yang lebih besar dalam merawat anaknya sehingga membutuhkan


(33)

bantuan dari orang lain untuk meringankan beban yang dirasakan dan membantu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis ibu.

Ibu yang merasa stress dan memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah, akan merasa terganggu dalam membantu memenuhi kebutuhan anak tunagrahita sehari-hari dan memilih untuk lari dari keadaan (escape) dan menelantarkan anak mereka. Bagi ibu yang merasa bahagia dan sejahtera secara psikologis (psychologically-well) atau memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, tekanan dalam mengasuh dan memiliki anak tunagrahita akan dimaknai secara positif dan lebih baik. Keadaan tersebut tidak lagi dimaknai sebagai sebuah penderitaan yang menimbulkan keputus asaan, tetapi justru ibu akan berusaha melakukan upaya dan pengobatan yang terbaik bagi anak dengan mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi diri yang mereka miliki. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.

B. Perumusan Masalah

Penelitian ini akan mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita, dimana pertanyaan-pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut :

1. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita?

2. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi penerimaan diri?


(34)

3. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi hubungan positif dengan orang lain?

4. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi otonomi?

5. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi penguasaan terhadap lingkungan?

6. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi tujuan hidup?

7. Berapakah persentase kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita pada dimensi pertumbuhan pribadi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase dan memperoleh gambaran kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Menambah pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi ilmu psikologi, terutama di bidang psikologi perkembangan dan psikologi klinis

b. Menjadi masukan yang berguna bagi peneliti lain dan pembaca untuk mengetahui bagaimana kesejahteraan psikologis yang dimiliki orang tua


(35)

khususnya ibu yang memiliki anak tunagrahita atau keterbelakangan mental

2. Manfaat praktis

Memberikan informasi mengenai gambaran kesejahteraan psikologis pada orang tua khususnya ibu yang memiliki anak tunagrahita atau keterbelakangan mental.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah : BABI : Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah teori kesejahteraan psikologis, ibu dan anak tunagrahita.


(36)

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan mengenai metode-metode dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, instrument dan alat ukur penelitian, validitas dan reabilitas alat ukur, uji daya beda aitem, presedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

BAB IV : Hasil Analisa Data

Bab ini berisi analisa data dan pembahasan. Pada bagian ini berisi uraian yang akan membahas mengenai analisa data hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan mengenai hasil berkenaan dengan Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini mengenai kesimpulan dan saran. Pada bagian ini berisi uraian yang akan membahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian serta saran penelitian berupa saran metodologis dan saran praktis bagi penelitian selanjutnya.


(37)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING)

1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being ditemukan oleh Ryff (1989) yang menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Ryff (dalam Halim & Wahyu, 2005) juga menyatakan kesejahteraan psikologis sebagai hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya.

Selanjutnya Ryff (dalam Sumule dan Taganing, 2008) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai suatu keadaan ketika individu dapat berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, dapat mengontrol perilakunya sendiri, memiliki tujuan hidup, mampu mengendalikan lingkungan, serta memiliki keinginan untuk terus berkembang dan mengembangkan potensi diri. Di lain pihak, kesejahteraan psikologisdidefenisikan sebagai kepuasan pribadi, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan


(38)

dan optimisme termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki (Bartram & Boniwell, 2007).

Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Ryff menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian (happiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan keberfungsian secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya, menerima sisi positif dan negatif diri, mempunyai kepuasan hidup dan realisasi potensi diri yang dipengaruhi oleh fungsi psikologis


(39)

yang positif dalam diri yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

2. Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis atau psychological well-being, yaitu:

a. Penerimaan diri (Self acceptance)

Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif, yang ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini. (Ryff dalam Keyes, 2005). Menurut Maslow (dalam Calhoun & Accocela, 1990), penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri. b. Hubungan yang positif dengan orang lain (Positive relation with others)

Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan simpati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain


(40)

dengan baik. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Seseorang juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa seseorang kurang baik dalam dimensi ini.

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), kemandirian, bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis. d. Penguasaan terhadap lingkungan (Environmental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam mengembangkan diri. Dengan kata lain, seseorang mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik


(41)

dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar. e. Tujuan hidup (Purpose of life)

Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada masyarakat. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental.

f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)

Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh dalam dimensi ini adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya dan menyadari potensi yang dimiliki. Sebaliknya yang kurang dalam dimensi ini tidak dapat mengembangkan diri secara maksimal, kurang memiliki ketertarikan dalam kehidupan, tidak suka mencari pengetahuan dan pengalaman baru, dan merasa jenuh dengan kehidupan yang dimiliki.


(42)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada diri seseorang, yaitu:

a. Faktor Demografis 1. Usia

Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri, hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam Snyder & Lopez, 2002).

2. Tingkat Pendidikan

Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Snyder & Lopez, 2002) menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki individu. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik juga.

3. Jenis Kelamin

Menurut Ryff (dalam Papalia, Feldman & Olds, 2004), dimensi yang menunjukkan perbedaan menunjukkan signifikan antara pria dan wanita adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan


(43)

mandiri, sementara perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan pria.

4. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologisyang lebih tinggi.

b. Faktor Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif maupun memberi support pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari. Ryff (dalam Hoyer, 2003) mengatakan bahwa pada individu dewasa, semakin tinggi tingkat interaksi sosialnya maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologisnya. Sebaliknya individu yang tidak mempunyai teman dekat cenderung mempunyai tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah (Kramer dalam Hoyer, 2003). Oleh karena itu, dukungan sosial dipandang cukup memiliki dampak bagi kesejahteraan psikologis.


(44)

c. Faktor Kompetensi pribadi

Kompetensi pribadi yaitu kemampuan atau skill pribadi yang dapat digunakan sehari-hari, didalamnya mengandung kompetensi kognitif.

d. Faktor Religiusitas

Hal ini berkaitan dengan transendensi segala pesoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000).

e. Faktor Kepribadian

Para ahli berpendapat bahwa variable kepribadian merupakan bagian dari kesejahteraan psikologis. Hal ini ditunjukkan salah satunya dari penelitian yang dilakukan Costa & Mc Crae pada tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa kepribadian ekstrovert dan neurotis berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Pada dasarnya, kepribadian merupakan suatu proses mental yang mempengaruhi seseorang dalam berbagai situasi yang berbeda. Sementara di lain pihak, kesejahteraan psikologis mengacu pada suatu tingkatan dimana individu mampu berfungsi, merasakan, dan berfikir sesuai dengan standar yang diharapkan (Sheldon, 1997).


(45)

B. IBU

1. Defenisi Ibu

Ibu adalah wanita yang telah melahirkan seseorang (Depdiknas, 2001). Peranan ibu adalah sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anak. Menjadi ibu adalah dambaan bagi semua wanita karena ibu adalah seorang yang menentukan awal mula perkembangan anak dimana kodratnya sebagai wanita adalah melahirkan, menyusui dan merawat anak. Cinta kasih ibu terhadap anaknya merupakan jalinan emosi yang kuat (Kartono ,1992). Ibu mempunyai peranan penting untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota dalam keluarga (Effendy, 1998)

2. Perkembangan Wanita Dewasa sebagai Ibu

Masa dewasa awal merupakan masa-masa dimana paling banyak wanita memutuskan untuk menikah. Ketika seorang wanita mempunyai keputusan untuk menikah dan menjadi seorang istri, maka dia harus siap untuk menjaga keutuhan keluarga dan menjadi pendamping untuk suaminya. Pernikahan merupakan babak baru bagi seorang wanita, dimana itu merupakan saat-saat yang memerlukan persiapan diri yang tinggi yaitu menjalani kehidupan baru bersama suami (menjadi seorang istri yang baik), persiapan sebagai seorang ibu (dalam memiliki anak, termasuk hamil dan melahirkan), membesarkan anak dan sebagainya. Perannya sangat penting, dimana ia harus bisa mengendalikan diri dan meluangkan banyak waktunya untuk mengurus seluruh kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab untuk menjaga hubungan yang lebih sakral dan bertanggung


(46)

jawab untuk keluarga, memerlukan keterampilan dan kesiapan mental yang harus matang (Suryani & Hesti, 2008).

Seorang wanita menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya. Menjaga kehamilan hingga lahirnya anak merupakan hal yang seharusnya dilakukan setiap ibu. Menyeimbangkan peran sebagai seorang istri dan ibu bukanlah hal yang sepele.

Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga memberikan pengaruh besar bagi keluarga terutama bagi kehidupan seorang wanita karena mereka memiliki peran baru sebagai seorang ibu. Kondisi anak yang terlahir pun tentunya berpengaruh bagi kehidupan ibu secara keseluruhan. Membesarkan dan mengasuh anak tentunya juga merupakan tantangan yang lebih besar bagi seorang ibu.

3. Peran Ibu

Menjadi seorang ibu sangat sulit, karena beban seorang ibu adalah pemimpin untuk anak-anaknya. Dimana mereka menanggung beban yang berhubungan dengan anaknya, dan ibu merupakan orang pertama yang disalahkan ketika ada masalah atau anak berbuat kesalahan (Suryani & Hesti, 2008).

Pada masa sekarang ini, tidak sedikit wanita yang telah berumah tangga tetap berkarir. Berbagai peran (multiple role) wanita tersebut menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sikap kerja, terutama ibu, dimana pada kenyataannya disatu sisi ibu tetap terus bekerja dan berkarir sementara disisi lain mereka tidak bisa lepas dari perannya sebagai ibu dan istri, belum lagi bila dikaitkan dengan pembagian kerja domestik rumah tangga dimana ibu yang masih lebih banyak


(47)

mengerjakannya. Norma sosial yang ditanamkan pada wanita adalah untuk tampil feminin, yaitu patuh, mengabdi, pasif, mengurus rumah tangga, dan bergantung pada orang lain. Mereka sadar, mereka harus bisa menjadi ibu yang sabar dan bijaksana untuk anak-anak serta menjadi istri yang baik bagi suami serta menjadi ibu ruman tangga yang bertanggung jawab atas keperluan dan urusan rumah tangga. Sementara itu, dari dalam diri mereka pun sudah ada keinginan ideal untuk berhasil melaksanakan peran tersebut secara proporsional dan seimbang.

Selain masalah internal, masalah eksternal seperti pengasuhan terhadap anak, biasanya dialami oleh para ibu yang mempunyai anak kecil (balita). Semakin kecil usia anak, maka semakin besar tingkat stress yang dirasakan. Hal ini dapat diringankan dengan adanya dukungan dari suami, sehingga tugas yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan dan membahagiakan. Sebaliknya, jika suami istri dalam sebuah perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama, maka hal itu akan menyebabkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari dan mempengaruhi si istri dalam menjalankan perannya dalam kehidupan rumah tangga dengan optimal, khususnya berhubungan dengan anaknya.

4. Kesejahteraan Psikologis Ibu

Kesejahteraan psikologis diperlukan agar manusia didalam hidupnya bahagia, tentram dan dapat melakukan sesuatu hal yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Kesejahteraan psikologis pada seorang wanita dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya kinerja keibuan. Ibu sering dianggap sebagai peran sementara dalam keluarga yang dapat meningkatkan


(48)

kemungkinan bahwa mereka memperhatikan dan sebagai penerima reaksi emosi dari anggota keluarga lainnya (Larson dan Richards 1994). Kesejahteraan psikologis ibu bagaimanapun lebih cenderung dipengaruhi oleh rutinitas kegiatan pengasuhan sehari-hari. Ibu melaporkan kepuasan yang lebih besar mengenai pengasuhan dibandingkan ayah dan mereka lebih mendukung anak-anak mereka dibandingkan seorang ayah (Starrels, 1994). Dibandingkan dengan ayah, ibu lebih terlibat tanggung jawab untuk perawatan anak sehari-hari, yang menghadapkan mereka ke beberapa jenis perbedaan pendapat dan ketegangan dengan anak-anak mereka (Hochschild 1989). Jumlah anak-anak dalam rumah tangga juga menjadi prediktor penting ketegangan keluarga bagi ibu. Hal-hal ini jelas mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada ibu dimana ibu berusaha untuk menyeimbangkan perannya sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya, sebagai seorang istri yang mengurus rumah tangga dengan baik sekaligus memenuhi potensi-potensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai kepuasan hidupnya sendiri.

C. ANAK TUNAGRAHITA

1. Definisi Anak Tunagrahita

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Somantri, 2007). Dalam kepustakaan bahasa asing sering digunakan istilah-istilah seperti mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dll untuk menyebutkan anak tunagrahita. Anak tunagrahita dikenal juga dengan


(49)

istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sulit untuk mengikuti program pendidikan biasa dan membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut.

Seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat dari IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana ia dapat menyesuaikan diri. Beberapa karakteristik umum tunagrahita yaitu keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya. Suatu batasan yang dikemukakan oleh AAMR (American Association on Mental Retardation) menjelaskan bahwa keterbelakangan mental menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi yang mencakup fungsi intelektual yang dibawah rata-rata, dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang dll dan keadaan ini terjadi pada masa perkembangan dan tampak sebelum usia 18 tahun (Hallahan & Kauffman, 2006). Fungsi intelektual ditentukan melalui tes intelegensi yang menunjukkan pada kemampuan yang berhubungan dengan kinerja akademis. Sedangkan keterampilan adaptif menunjukkan pada kemampuan yang berkaitan dengan bagaimana seseorang melakukan ‘coping’ dengan lingkungannya (Mangunsong, 1998). Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama perbedaan pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal semakin terlihat jelas.


(50)

Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata anak seusianya, memiliki hambatan dalam perilaku adaptif, ketidakcakapan dalam interaksi sosial dan hal ini terjadi dalam periode perkembangan anak.

2. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tunagrahita

Pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya didasarkan pada tingkat kecerdasan atau taraf inteligensinya. Seseorang dapat dikatakan memiliki kecerdasan dibawah rata-rata biasanya dapat dilihat ketika adanya ketidaksesuaian antara Chronological Age (CA) dan Mental Age (MA). Chronological Age adalah usia kronologis si anak atau usia anak sebenarnya, sedangkan Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki seorang anak pada usia tertentu. Jika MA seorang anak lebih rendah daripada CA nya, maka anak tersebut memiliki kemampuan kecerdasan dibawah rata-rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA yang lebih rendah daripada CA secara signifikan (jelas). Klasifikasi menurut AAMD (American Assotiation on Mental Deficiency) dalam Amin (1995) adalah sebagai berikut:

a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)

Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar 50 – 70 mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan


(51)

lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyaraakat, mampu melakukan pekerjaan semi trampil dan pekerjaan sederhana.

b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)

Tingkat kecerdasan IQ berkisar 30–50 dapat belajar keterampilan sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri (self-help), mampu mengadakan adaptasi sosial dilingkungan terdekat, mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan.

c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)

Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas.

Selain karakteristik yang telah dijelaskan sebelumnya, Mangunsong (1998) juga memaparkan bahwa ada beberapa karakteristik psikologis dan tingkah laku anak tunagrahita. Namun tidak semua karakteristik psikologis dan tingkah laku ini terdapat pada anak tunagrahita. Banyak keragaman dalam tingkah laku tunagrahita yang menunjukkan keunikan diri mereka. Beberapa segi psikologis dan tingkah laku yang perlu dipertimbangkan adalah:


(52)

d. Atensi. Perhatian sangat diperlukan dalam proses belajar. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak tunagrahita mengalami kesulitan belajar karena adanya masalah dalam memusatkan perhatian.

e. Daya ingat. Kebanyakan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam mengingat suatu informasi terutama yang rumit dan teoritis.

f. Self-regulation. Anak tunagrahita sering mengalami kesulitan dalam self-regulation-nya yaitu kemampuan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. g. Perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa yang terlambat atau menyimpang merupakan gejala yang dialami oleh anak-anak tunagrahita. Masalah dalam berbicara yang muncul misalnya kesalahan dalam artikulasi. h. Prestasi akademis. Hubungan antara inteligensi dengan prestasi seseorang sangatlah erat, maka anak-anak tunagrahita akan terhambat dalam semua prestasi akademisnya dibandingkan mereka yang normal. Mereka juga cenderung menjadi ‘underachiever’ dalam kaitan dengan harapan-harapan yang didasarkan pada tingkat kecerdasannya.

i. Perkembangan sosial. Anak-anak tunagrahita sering dikatakan memiliki konsep diri yang buruk, sulit mendapatkan teman dan kurang memahami bagaimana cara berinteraksi secara sosial dengan orang lain atau kemungkinan tidak mendapat kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain.

j. Motivasi. Jika anak tunagrahita sering atau selalu mengalami kegagalan maka dapat berisiko untuk mengembangkan kondisi ‘learned helplessness’ dimana munculnya perasaan bahwa mereka tidak memiliki motivasi dan seberapa besar pun usaha mereka pasti akan menunjukkan kegagalan.


(53)

3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunagrahitaan

Beberapa di bawah ini akan dijelaskan faktor penyebab tunagrahita atau retardasi mental (Luckasson et al dalam Heward, 1996):

a. Penyebab Genetik dan Kromosom

Terdapat sejumlah bentuk-bentuk retardasi mental yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik dan kromosom.

1. Kerusakan Kromosom misalnya Trisomy 21 (Down Syndrome)

Down Syndrome adalah bentuk retardasi mental yang dikenal kebanyakan orang. Down Syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Keadaan yang paling sering terjadi adalah terbentuknya kromosom 21. kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.

2. Gangguan Metabolisme seperti Phenylketonuria (PKU)

Adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh keturunan dari dua gen yang terpendam dari orang tua yang membawa kondisi tersebut.

b. Penyebab Pra Kelahiran

Penyebab pada masa pra-kelahiran kadang-kadang terjadi setelah pembuahan sebelum kelahiran. Diantaranya:

1. Rubella (Cacar Air)

2. Penyakit Syphilis dan infeksi penyakit kelamin lainnya 3. Gangguan perkembangan otak, contohnya hydrocephalus


(54)

4. Pengaruh lingkungan seperti malnutrisi

5. Racun yang berasal dari obat-obatan dan alkohol

c. Penyebab Pada Saat Kelahiran

Masalah utama pada saat kelahiran yang mungkin menyebabkan retardasi mental adalah prematur. Bayi yang baru lahir sangat prematur berada pada resiko mengalami berbagai kesulitan fisik yang mungkin dapat dihubungkan dengan kerusakan otak. Namun banyak juga bayi yang lahir prematur akhirnya tumbuh dengan baik dan tidak menderita kerusakan. Semakin besar tingkat kelahiran prematur, maka semakin besar pula risikonya.

d. Penyebab Pada Masa Perkembangan Anak

1. Radang selaput otak (meningitis) 2. Kecelakaan yang menyebabkan cedera 3. Gangguan epilepsy atau kejang-kejang 4. Malnutrisi

4. Dampak Ketunagrahitaan Anak Terhadap Keluarga

Menurut Somantri (2007), orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan resiko keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara-saudara anak tersebut pun menghadapi hal-hal yang bersifat emosional.

Saat yang krisis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak tersebut tidak normal seperti yang lain. Jika anak tersebut menunjukkan


(55)

gejala-gejala kelainan fisik (misalnya mongolisme) maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari hasil pemeriksaan.

Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan tertentu. Reaksi orang tua berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahuinya atau terlambat diketahuinya. Faktor lain yang juga yang sangat penting ialah derajat ketunagrahitaannya dan jelas tidaknya kecacatan tersebut terlihat orang lain (Somantri, 2007).

Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi :

1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan, yang bisa dibagi dalam wujud: a. Proteksi biologis

b. Perubahan emosi yang tiba-tiba, yang dapat mendorong untuk menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin.

c. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan 2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan

3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal. 4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri.

5. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa orang tua merasa berdosa. Sebenarnya perasaan tersebut tidak selalu ada. Perasaan tersebut bersifat kompleks dan dapat mengakibatkan depresi.


(56)

6. Merasa bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dan lebih suka menyendiri.

Orang tua dari anak tunagrahita dapat terganggu ketika menghadapi peristiwa-peristiwa kritis. Adapun saat-saat kritis itu terjadi pada saat berikut : 1. Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat.

2. Memasuki usia sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan masuk sekolah biasa, sebagai tanda bahwa anak tersebut normal.

3. Meninggalkan sekolah.

4. Orang tua bertambah tua, sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya yang cacat.

Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang tunagrahita. Mereka tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat. Dilihat dari sudut tertentu, baik juga seandainya anak tunagrahita dipisahkan di tempat-tempat penampungan. Tetapi bila dilihat dari sudut lain pemisahan seperti ini dapat pula mengakibatkan ketegangan orang tua, terlebih-lebih bagi ibu-ibu yang selama ini menyayangi orang tersebut (Somantri, 2007).

D. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU YANG MEMILIKI ANAK

TUNAGRAHITA

Tidak ada satupun ibu yang menginginkan anaknya terlahir dan besar dengan kondisi yang berbeda dari anak normal. Engel et. al (1997) mengatakan, melalui penelitian ilmiah akhir-akhir ini dapat diketahui secara pasti bahwa faktor


(57)

lingkungan yang menjadi penyebab asli dari timbulnya berbagai bentuk kecacatan dan kelumpuhan anak. Ketidaknormalan yang terjadi pada seorang anak dapat disebabkan benih yang baik namun berada pada lingkungan yang buruk atau benih yang buruk yang berada pada lingkungan yang baik. Banyak sekali fenomena cacat fisik yang terjadi pada anak yang dahulu dianggap sebagai akibat turunan, namun kini diketahui bahwa penyebabnya adalah faktor lingkungan terutama karena kekurangan oksigen pada masa kehamilan. Perlu diketahui bahwa lingkungan pada masa perkembangan awal janin memberikan pengaruh kepada janin yang pengaruhnya lebih besar dari pengaruh lingkungan luar.

Kondisi anak yang “berbeda” dari harapan orang tua memicu tekanan dan kesedihan, khususnya ibu sebagai figur terdekat dengan anak. Ibu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian dikarenakan mereka berperan langsung dalam mengandung, melahirkan dan membesarkan anak. Pandangan yang terbentuk pada ibu juga sering menyebabkan kesenjangan antara kegembiraan setelah masa penantian kehamilan dengan realitas keadaan anaknya. Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita (Mangunsong, 1998). Bowlby dalam penelitiannya (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2002) mengemukakan bahwa kelekatan anak sangat kuat terhadap ibunya hingga usia 3-6 tahun dan setelah itu mulai berkurang. Reaksi yang terjadi membuat ibu sulit menerima kondisi anak tunagrahita dimana anak tunagrahita membutuhkan perhatian yang lebih besar jika dibandingkan anak yang normal (Mawardah, Siswati & Hidayati, 2012).


(58)

Sebagian besar orang tua dengan anak tunagrahita, menghadapi dua krisis utama (Kirk & Gallagher, 1989). Pertama, orang tua tentunya memiliki harapan-harapan mengenai masa depan dari anak yang akan lahir, seperti harapan-harapan mengenai kesuksesan, pendidikan, hingga kondisi finansial anak tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi orang tua yang mengetahui bahwa anaknya berbeda dari anak normal, akan kehilangan mimpi dan harapan mereka. Bahkan beberapa dari orang tua mengalami depresi berat ketika mengetahui kenyataan tersebut (Farber dalam Kirk & Gallagher, 1989). Kedua, krisis yang dialami berhubungan dengan masalah untuk memberikan pelayanan sehari-hari bagi anak mereka yang tunagrahita dimana anak tersebut harus mendapatkan bantuan oleh orang tuanya, seperti membantu anak dalam urusan sekolah, dalam hal berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Keberadaan anak berkelainan juga akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keluarga dan dalam interaksi satu sama lain.

Terdapat beberapa reaksi awal ibu terhadap anak tunagrahita hingga pada akhirnya mereka perlahan dapat menerima kondisi dirinya sebagai orang tua dari anak tunagrahita dan kondisi anak mereka. Kubler–Ross (dalam Garguilo,1985) membagi penerimaan menjadi tiga tahapan besar. Tahapan-tahapan itu adalah:

a. Primary Phase

1. Shock

Orangtua merasa terguncang, tidak mencapai apa yang telah terjadi. Timbul tingkah laku yang tidak rasional di tandai dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak berdaya.


(59)

Orangtua menolak keadaan keluarganya dengan cara merasionalisasi kekurangan yang ada atau mencari penegasan dari para ahli bahwa tidak ada kekurangan.

3. Grief and Depression

Merupakan reaksi yang wajar dan tidak perlu dihindari. Dengan adanya perasaan ini orangtua mengalami masa transisi, dimana harapan masa lalu mengenai ‘anak yang seumpama’ tidak sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini.

b. Secondary Phase

1. Ambivalence

‘Kecacatan’ yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat meningkatkan intensitas kasih sayang sekaligus perasaan bencinya. Dalam hal ini seseorang dapat mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk anak atau justru menolak memberikan kasih sayang kepada anak dan menganggap anaknya tidak berguna.

2. Guilty Feeling

Perasaan bersalah karena menganggap dirinyalah yang menyebabkan anaknya mengalami cacat, dan dirinya akan dihukum karena dosanya di masa lalu.

3. Anger

Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama, timbulnya pertanyaan: mengapa saya? Kedua, displacement dimana rasa marah ditunjukkan kepada orang lain, sepertidokter, terapis atau anggota keluarga yang lain.

4. Shame and embarrasment

Perasaan ini timbul saat menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani atau mengejek ‘kecacatan’ anak.


(1)

penelitian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif agar mendapatkan hasil yang lebih mendalam dan lebih personal.

d. Bagi penelitian selanjutnya mengenai kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita mungkin dapat meneliti dengan jumlah sampel yang lebih besar agar mendapatkan data yang lebih luas.

2. Saran Praktis

b. Bagi para ibu yang memiliki anak tunagrahita agar lebih mampu menerima kondisi anak dan mengoptimalkan potensi anak misalnya dengan bantuan terapi atau mengasah bakat yang dimiliki oleh anak.

c. Bagi para ibu yang memiliki anak tunagrahita baiknya memenuhi kebutuhan diri sendiri sehingga memperoleh kesejahteraan secara psikologis, dengan memenuhi dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi (kemandirian), penguasaan terhadap lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi agar kemudian dapat membantu anak dalam memenuhi kebutuhannya serta bersama-sama menjadi individu yang sejahtera secara psikologis (psychogically well).


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Moh. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Bandung : Depdikbud. Azwar, Saifuddin. (2002). Penyusunan Skala Psikologi.Yogyakarta: Pustaka

Pelajar Offset.

Azwar, Saifuddin. (2004). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar Offset cetakan ke V.

Azwar, Saifuddin. (2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2010). Sikap Manusia teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar cetakan ke VIII.

Bartram, D & Boniwell, I. (2007). The science of happiness: Achieving sustained psychological wellbeing, Positive Psychology. 478-482.

Bastaman, H.D (2000). Integrasi psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi

Islam. Yogyakarta : Pustaka pelajar

Blacher, J., Shapiro, J., Lopez, S., Diaz, L., & Fusco, J. (1997). Depression in Latina mothers of children with mental retardation: A neglected concern.

American Journal on Mental Retardation, 101, 483–496.

Blairr, S. L., Wenk, D., & Hardesty, C. (1994). Marital quality and paternal involvement: Interconnections of men's spousal and parental roles. The

Journal of Men's Studies, 2(3) 221-237.

Calhoun, J.F & Acocella, J.R. (1990). Psychology of Adjustment and Human

Relationship. New York: McGraw-Hill, Inc.

Cavanaugh, J. C. & Fields, F. B. (2006). Adult Development and Aging (5th Edition). Belmont.

Deater-Deckard, K. (2004). Parenting Stress. New Haven, CT: Yale University Press.


(3)

Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Effendy, Nasrul. (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC

Engel, P. C., P. Menon, & L. Haddad. (1997). Care and Nutrition: Concept and

Measurement. Washingkton DC: International Food Policy Research

Institute.

Garguilo, R.M. (1985). Working with parents of exeptional children: A Guide for

Professionals. Boston: Houghton Mifflin Company.

Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Penelitian. Jilid 1. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, Sutrisno. (2000). Statistik, jilid 2. Andi Yogyakarta.

Hadi, Sutrisno. (2002). Metodologi Penelitian. Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. Halim, M & Wahyu, H. (2005). Hubungan antara kecemasan akan HIV/AIDS dan

Psychological wellbeing pada waria yang menjadi pekerja seks komersial.

Jurnal Psikologi, Vol 15, No. 1.

Hallahan, D. P. & Kauffman, J. M. (2006) Exceptional Learners : Introduction to Special Education (10th Ed). New Jersey : Prentice Hall.

Hendriani, W., Handariyati, R., & Sakti, T,M. (2006). Penerimaan keluarga terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental. Insan Vol.8

No.2, Agustus 2006: 100-111.

Heward, W. L. (1996). Exceptional Children : An Introduction to Special

Education Fifth Edition. USA : Prentice-Hall Inc.

Heward, W. L., & Orlansky, M.D. (1992). Exceptional Children : An Introductory

survey of special education. Columbus: Merrill Publishing.

Hoyer, W.J & Roodin, P.A. (2003). Adult Development and Aging: 5th ed. New York: McGraw-Hill Companies.

Hasan, M. I. (2003) Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta : Ghalia Indonesia.

Hastuti R dan Zamralita. (2004). Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental Ringan. Jakarta: Arkhe Jurnal Ilmiah Psikologi.Vol 9 No. 2 September 2004. 90-100.


(4)

Hurriyati, Dwi. (2009). Hubungan antara dukungan sosial dengan strategi coping pada ibu yang memiliki anak penyandang autis di lembaga terapi Kota Palembang. Jurnal Psikologi. Palembang : Universitas Bina Dharma.

Hurlock, Elizabeth B. (1978). Child Development 6th edition. New York : McGraw-Hill.

Hurlock, Elizabeth B. (2004). Psikologi Perkembangan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Kartono ,K. (1992). Psikologi Wanita: Mengenal Wanita Sebagai Ibu&Nenek

Jilid2. Bandung : Penerbit Mandar Maju.

Kerlinger. (2000). Asas – Asas Penelitian Behavioral, Edisi 3, Cetakan 7. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kirk, A. S. & Gallagher, J. J. (1989). Educating Exceptional Children. Boston : Houghton Mifflin Company.

Larson, R. & Richards, M. H. (1994). Divergent Realities: The Emotional Lives of

Mothers, Fathers and Adolescents. New York: Basic Books.

Lessenberry, B.M., & Rehfeldt, R.A. (2004). Evaluating stress levels of parents of

children with disabilities. Journal of exceptional children, 70, 231-244.

Mangunsong, Frieda. (1998). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta : LPSP3 UI.

Maramis; W.F. (1994). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Penerbit Airlangga University Press.

Mawardah, Umi., Siswati & Hidayati, Farida. (2012). Relationship Between Active Coping With Parenting Stress in Mother of Mentally Retarded Child.

Jurnal Psikologi Empati, Vol.1 No.1, 1-14.

Mitchell, D. B. & Hauser-Cram, Penny. (2006). The well-being of mothers of adolescents with developmental disabilities in relation to medical care utilization and satisfaction with health care. Research in Developmental

Disabilities. United States : Boston College, MA.

Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.

Notosoedirjo, M. & Latipun. (2002). Kesehatan Mental : Konsep dan Penerapan.


(5)

Palupi, Eva. (2008). Psychological Well-Being pada Lansia. Diakses pada tanggal

10 Juni 201

Papalia, D.E., Feldman, R.D., & Olds, S.W. (2004). Human Development, 9th edition. New York: McGraw Hill.

Papalia, Diane E. (2008) Human Development: Psikologi Perkembangan Edisi

Kesembilan Bagian V s/d IX. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Pelita (2012). Diakses tanggal 01 Juni 2012.

Perry, A. (2005). A model of stress in childcare. American Journal of Mental

Retardation, 104, 422–436.

Ravindranadan, Vidhya. (2007). Adjustment and Attitude of Parents of Children with Mental Retardation. Journal of the Indian Academy of Applied

Psychology, Vol. 33, No.1, 137-141

Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological wellbeing. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081

Ryff, C.D., & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

Ryff, C.D. (1995). Psychological well-being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 4, 99-104.

Safaria, Triantoro. (2005). Autisme Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna

Bagi OrangTua. Yogyakarta: Graha Ilmu. 18-24

Satiadarma, Monty P. (2001). Persepsi Orangtua Membentuk Perilaku Anak.

Jakarta : Pustaka Populer Obor, Jakarta.

Seligman, M. (1999). Childhood disability and the family, Handbook of

psychosocial characteristics of exceptional children. New York: Plenum.

Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 2. Kanisius: Yogyakarta.

Sheldon, KM. Ryan MR. Rawsthorne LJ, Ilardi B. (1997). Trait Self and True Self: Cross Role Variation in the Big Five Personality Traits and Its Relation with Psychological authenticity and Subjective Well Being.


(6)

Smith, T. (2008). Discrete trial training in the treatment of Autism. Focus on Autism and other Development Disabilities in Effective Practices for Children with Autism, Educational and Behavioral Support Interventions.

New York: Oxford University Press, Inc.

Snyder, C & Lopez, S. (2002). Handbook of positive psychology. Amerika : Oxford University Press.

Somantri, T. Sutjihati. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT.Rafika Aditama.

Starrells. M. E. (1994). Gender Differences in Parent-Child Relations. Journal of

Family Issues 15: 148-165.

Sugiarto. (2003). Teknik Sampling. Jakarta: Gramedia.

Sugiyono. (2012). Statistik untuk penelitian. Bandung: Alfabeta

Sumule, P. R. & Taganing, K. (2008). Psychological Wellbeing To The Teacher That Work In Foundation Papua Pesat Nabire. Papers. Universitas Gunadarma.

Suryana, A. (2004). Terapi Autisme, Anak Berbakat, dan Anak Hiperaktif. Jakarta:Progress.

Suryani, E & Hesti, W. (2008). Psikologi Ibu dan Anak. Fitramaya : Yogyakarta. Tarwoto et al. (2003). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Edisi

1. Jakarta : Salemba Medika.

Triton, Prawira. (2006). SPSS 13.0 Terapan Statistik Parametik. Jakarta : CV Andi Offset

Turner, S., Sloper, P., Cunningham, C., & Knussen, C. (1990). Health problems in children with Down’s syndrome. Child Care Health Development, 16(2), 83–97.

Wenar, C., & Kerig, P. (2000). Developmental Psychopathology: From Infancy

Though Adolscence 4th. Singapore: Mc Graw Hill.

Wortman, C.B., Loftus, E.F., & Weaver, C. (1999). Psychology (5th edition). NY: McGraw Hill.


Dokumen yang terkait

Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme

13 102 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB II

0 2 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB IV

0 1 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga

0 2 109

BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) - Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita

0 0 15

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA SKRIPSI Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

0 0 19