Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB II

(1)

10 TINJAUAN TEORITIS

2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang baik dalam penerimaaan kelebihan maupun kekurangan dirinya, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, mandiri, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup dan bertumbuh dalam pribadi (Ryff, 1989). Struktur dari kesejahteraan psikologis adalah perasaan positif dan negatif dari kepuasan hidup.

Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh situasi perasaan individu dalam aktivitasnya sehari-hari. Kesejahteraan psikologis didefinisikan juga sebagai kebahagiaan dan kepuasaan hidup. Berdasarkan literatur yang ada, positif psikologi ditentukan dengan konsep aktualisasi diri (self actualization) dari Maslow, pandangan Roger tentang individu yang berfungsi penuh (fully functioning person), perumusan Jung tentang individuation, dan konsep dewasa dari Allport.

Definisi lain dari positif psikologis dari perspektif perkembangan masa hidup menekankan pada perbedaan tantangan yang dihadapi dalam fase kehidupan. Termasuk


(2)

dalam definisi ini yaitu teori Erikson tentang tahap model psikososial, kecenderungan terhadap pemenuhan dasar hidup dari Buhler dan deskripsi Neugarten tentang perubahan kepribadian pada usia dewasa dan lansia (Ryff, 1989). Dari beberapa konsep mengenai positif psikologis sebelumnya, Ryff (1989) merangkum menjadi dimensi-dimensi. Kesejahteraan psikologis ini ditentukan oleh dimensi-dimensi tersebut, yakni terdapat 6 dimensi: penerimaan diri, relasi dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan diri.

Dalam penelitian ini kesejahteraan psikologis didasarkan pada pengertian yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yakni keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang baik dalam menerima kelebihan maupun kekurangan dirinya, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, mampu menentukan tindakannya sendiri, menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi diri, memiliki tujuan dalam hidup dan mengalami pertumbuhan diri.

2.1.2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) mengemukakan terdapat enam dimensi kesejahteraan psikologis (psychological well being):


(3)

a) Penerimaan diri (self acceptance)

Dimensi penerimaan diri, dimensi ini merupakan karakter dari aktualisasi diri, keberfungsian optimal dan kedewasaan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan menerima keadaan dirinya baik kekurangan maupun kelebihannya, berperilaku positif terhadap dirinya dan merasa puas dengan masa lalunya. Sebaliknya, penerimaan diri yang kurang baik adalah memiliki perasaan tidak puas dengan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personal dan menginginkan menjadi orang yang berbeda dari mereka sekarang ini.

b) Hubungan yang baik dengan orang lain (positive relations with others)

Memiliki perasaan hangat, puas dan mampu menjalin hubungan percaya dengan orang lain menunjukkan individu memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Selain itu, individu yang memiliki hubungan baik dengan individu lain memiliki rasa empati, kasih sayang dan kerukunan serta mengerti hubungan saling memberi dan menerima. Individu memiliki hubungan kurang baik dengan orang lain terlihat dari sulitnya untuk menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk terbuka dan memperhatikan orang lain.


(4)

c) Mandiri (autonomy)

Individu yang mandiri adalah individu yang dapat memutuskan sendiri tanpa tergantung orang lain, mampu melawan tekanan sosial dan bersikap dengan benar, mampu mengontrol perilaku dan mampu mengevaluasi kemampuan diri. Sedangkan, individu belum mandiri jika fokus pada harapan dan evaluasi orang lain, percaya pada pendapat orang lain untuk membuat keputusan penting, berpikir sesuai dengan tekanan sosial dan melakukannya.

d) Penguasaaan lingkungan (environmental mastery)

Memiliki penguasaan dan kompeten dalam mengatur lingkungan, mengatur peraturan dalam kegiatan eksternal, dapat memanfaatkan secara efektif dalam setiap kesempatan, dan dapat memilih atau menciptakan keadaan yang sesuai dengan nilai dan kepentingan merupakan hal yang dapat dilihat untuk mengetahui baiknya penguasaan lingkungan individu. Sebaliknya penguasaan lingkungan yang kurang baik terlihat dari sulitnya mengatur tanggung jawab setiap hari, merasa tidak bisa merubah atau memperbaiki keadaan sekitar, tidak sadar akan kesempatan yang ada dan tidak dapat mengontrol dunia luar.


(5)

e) Tujuan Hidup (purpose in life)

Individu yang memiliki tujuan dalam hidup, merasa bahwa saat ini dan masa lalunya memiliki arti, memiliki keyakinan dalam tujuan hidup menandakan individu tersebut memiliki tujuan hidup. Sedangkan, individu yang belum memiliki tujuan hidup akan tidak mengerti artinya kehidupan, memiliki sedikit tujuan, kehilangan arah, tidak melihat adanya tujuan hidup dan tidak memiliki keyakinan arti pemberian kehidupan.

f) Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Pertumbuhan pribadi individu dapat dinilai dari perasaan bahwa perkembangan terus berlanjut, melihat diri sendiri bertumbuh dan berkembang, membuka diri akan pengalaman baru, menyadari kemampuan diri sendiri, melihat perubahan diri dan perilaku setiap waktu. Individu yang tidak mengalami pertumbuhan pribadi akan merasa tidak mengalami perubahan atau kemajuan, merasa bosan dan tidak menarik setiap waktu serta merasa tidak bisa berkembang dengan sikap dan perilaku yang baru.


(6)

2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis a) Umur

Dalam penelitiannya Ryff dan Keyes (1995) memperlihatkan adanya umur mempengaruhi 5 dimensi kesejahteraan psikologis. Umur tidak mempengaruhi penerimaan diri individu. Namun umur mempengaruhi kelima dimensi lainnya. Pada kelompok dewasa muda dan pertengahan dewasa memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Kelompok dewasa muda menunjukkan nilai yang rendah dibandingkan dengan pertengahan dewasa dalam dimensi penguasaan lingkungan. Dimensi mandiri kelompok dewasa muda menunjukkan nilai yang lebih rendah kelompok dewasa tua dan pertengahan dewasa. Dalam dimensi hubungan baik dengan orang lain kelompok dewasa tua memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok lainnya.

b) Jenis kelamin

Dalam Ryff & Keyes (1995), menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada wanita dalam dimensi hubungan yang baik dengan orang lain dibandingkan dengan pria. Akan tetapi wanita memiliki tingkat stress yang tinggi, sehingga


(7)

kesejahteraan psikologis wanita lebih rendah dibandingkan pria.

c) Faktor ekonomi

Tingkat ekonomi yang baik maka kesejahteraan psikologis akan baik juga. Dalam Ryff (1989), menunjukkan tingkat ekonomi memiliki nilai yang tinggi dalam setiap dimensi kesejahteraan psikologis.

d) Pendidikan

Sama halnya dengan tingkat ekonomi, pendidikan juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi pendidikan individu maka kesejahteraan psikologis individu tersebut semakin tinggi (Ryff & Singer, 2008).

e) Kesehatan

Kesejahteraan psikologis yang baik berhubungan dengan kesehatan individu. Kesejahteraan psikologis yang baik menunjukkan fungsi imun lebih baik, resiko rendah penyakit kardiovaskuler, tidur lebih baik dan dapat lebih menyesuaikan diri (Ryff & Singer, 2008).


(8)

2.2. Anak Tunagrahita

2.2.1 Pengertian Tunagrahita

Tunagrahita digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata, ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan keterbatasan dalam interaksi sosial (Somantri, 2006). Santrock (2000), menyatakan retardasi mental adalah keadaan kemampuan mental yang terbatas, anak tunagrahita memiliki IQ di bawah 70 dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-harinya. Menurut American Psyciatric Association (2000), retardasi mental yaitu keterlambatan mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan sosial.

American Association of Mental Deficiency (AAMD) mendefinisikan keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata dan juga disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan. Ada beberapa istilah untuk menyebutkan anak tunagrahita, yaitu mental illness, mental defiency, mental retardation, mental defective, mental retarded, mentally handicapped, mental subnormality,

feeblemindedness, oligopheria, amentia, gangguan


(9)

dalam Somantri (2006), menampilkan konsep baru tentang psikologi bahwa kecerdasan tidak hanya dinilai dari pendidikannya saja. Anak tunagrahita sendiri tidak dapat bersekolah di sekolah normal sehingga teori ini diperkenalkan untuk membedakan anak normal dan anak tunagrahita berdasarkan kemampuan mental anak.

Untuk memahami teori Binet di atas ada disebutkan MA (mental age) dan CA (cronology age). MA sendiri adalah kemampuan mental yang dimiliki seorang anak pada usia tertentu. Sedangkan CA adalah usia anak. Anak tunagrahita sendiri memiliki MA yang lebih rendah dari pada anak pada umumnya seusianya (CA). Sebagai contoh anak normal berusia 6 tahun maka memiliki MA yang sama sesuai usianya, sedangkan anak tunagrahita yang berusia sama memiliki MA dibawah umur usianya. MA ini dipandang juga sebagai tolak ukur perkembangan kognitif anak (Somantri, 2006).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan tunagrahita adalah masalah keterbelakangan mental yang ditandai dengan rendahnya nilai IQ (<70) dan sulit dalam melakukan interaksi sosial.


(10)

2.2.2 Klasifikasi Tunagrahita

Tunagrahita dikelompokkan menjadi 3, yaitu tunagrahita ringan, sedang dan berat. Kemampuan intelegensi anak tunagrahita diukur dengan tes Binet dan Skala Weschler

(WISC) (Somantri, 2006). Pengelompokkan tunagrahita

tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut dengan moron atau debil. Menurut Binet kelompok ini memiliki IQ 68-52, sedangkan kelompok ini memiliki IQ 69-55 menurut Skala Weschler (WISC). Anak dengan tunagrahita ringan memiliki ciri fisik yang sama dengan anak normal. Anak dengan tunagrahita ringan juga masih dapat membaca, menulis dan berhitung sederhana.

2) Tunagrahita Sedang

Tunagrahita sedang dapat disebut juga dengan imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan IQ 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita sedang tidak dapat menulis, membaca dan berhitung, tetapi mereka dapat menulis nama sendiri dan alamat rumah mereka. Untuk perawatan diri, anak dengan tunagrahita sedang masih dapat mandi, berpakaian, makan dan minum secara mandiri.


(11)

3) Tunagrahita Berat

Anak dengan tunagrahita berat disebut dengan idiot. Kelompok ini dibedakan lagi menjadi tunagrahita berat dan tunagrahita sangat berat. Tunagrahita berat menurut Binet memiliki IQ 32-20 dan memiliki IQ 39-25 menurut Skala Weschler (WISC). Sedangkan tunagrahita sangat berat memiliki IQ dibawah 19 untuk skala Binet dan menurut Skala Weschler (WISC) dibawah 24. Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan diri secara total dalam berpakaian, mandi, makan dan mereka juga memerlukan perlindungan sepanjang hidupnya.

2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Ketunagrahitaan

Ketunagrahitaan disebabkan oleh beberapa faktor (Nevid, Rathus & Greene, 2003), yaitu:

1) Aspek Biologis

Kelainan gen menjadi faktor terjadinya ketunagrahitaan. Beberapa retardasi mental yang disebabkan oleh genetik atau kromosom, antara lain:

a) Down syndrome

Down syndrome merupakan abnormalitas yang paling umum menyebabkan retardasi mental. Down


(12)

syndrome ditandai dengan kelebihan kromosom atau

trisomi pada pasangan kromosom ke 21

mengakibatkan jumlah kromosom menjadi 47 bukan 46 seperti pada individu normal. Anak dengan down syndrome memiliki ciri fisik yang khas sehingga anak dengan down syndrome sering dikatakan kembar sedunia, karena semua anak down syndrome di seluruh dunia memiliki gangguan fisik yang sama. b) Sindrom Klinefelter

Sindrom Klinefelter hanya dapat muncul pada pria saja karena berpengaruh pada kromosom Y. Penderitanya memiliki kromosom yang lebih pada pola kromosom XY menjadi XXY. Sehingga, penderitanya gagal mengembangkan karakteristik seks sekunder yang tepat mengakibatkan testis yang kecil dan tidak berkembang sempurna, produksi

sperma rendah, pembesaran payudara,

perkembangan otot yang kurang baik dan infertilitas. c) Sindrom Turner

Sindrom turner hanya ditemukan pada wanita ditandai dengan kromosom seks X tunggal bukan ganda seperti wanita normal. Penderitanya memiliki genital luar normal namun indung telur tidak


(13)

berkembang dengan baik dan menghasilkan sedikit estrogen. Mereka cenderung pendek dan infertil saat dewasa. Mereka cenderung mengalami retardasi ringan.

2) Faktor Prenatal a) Rubella

Rubella dapat ditularkan oleh ibu pada bayi yang belum lahir. Rubella mengakibatkan kerusakan otak sehingga dapat menyebabkan retardasi mental atau ketunagrahitaan.

b) Infeksi penyakit kelamin

Infeksi penyakit kelamin seperti sifilis dan herpes genital dapat menambah resiko anak lahir dengan retardasi mental. Obat-obatan semasa kehamilan juga menjadi faktor anak memiliki retardasi mental.

c) Cytomegalovirus

Cytomegalovirus merupakan sumber infeksi yang terjadi pada wanita mengandung menimbulkan resiko retardasi mental pada bayi yang dikandungnya.


(14)

Resiko terjadinya kelahiran anak dengan retardasi mental adalah pada kelahiran anak prematur. Kekurangan oksigen atau cedera kepala selama kelahiran juga dapat menimbulkan resiko retardasi mental.

4) Faktor Post Natal

Infeksi otak seperti encephalitis dan meningitis atau trauma pada masa bayi dan kanak-kanak awal dapat menyebabkan retardasi mental. Keracunan timah pada anak-anak juga dapat menyebabkan retardasi mental.

2.2.4 Dampak Ketunagrahitaan

Keluarga dan orang tua adalah orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan (Somantri, 2006). Keluarga akan merasa sulit untuk menerima anak dengan kebutuhan khusus tersebut karena kecewa anak yang dilahirkan tidak memenuhi harapan keluarga. Akan terjadi krisis penerimaan dalam keluarga karena keluarga cenderung menolak kehadiran anak tersebut. Krisis yang dialami ditanggapi dengan bervariasi pada setiap anggota keluarga. Dalam jurnal (Ghoniyah & Savira, 2015) ibu dan keluarga mengaku menolak sang anak saat mengetahui anaknya terlahir berbeda.


(15)

Memiliki anak berkebutuhan khusus sangat berdampak pada keluarga itu sendiri. Orang tua akan mengalami shock, guncangan batin, dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anaknya saat pertama kali mengetahui anak mereka mengalami keterbelakangan mental (Mangunsong, 2009).

Perasaan dan tingkah laku orang tua dalam menghadapi anak tunagrahita berbeda-beda, ini dapat dibagi menjadi (Somantri, 2006):

1) Perasaan melindungi anak secara berlebihan, dibagi dalam wujud:

a. Proteksi biologis

b. Perubahan emosi yang tiba-tiba, diperlihatkan dengan:

i. Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin

ii. Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah dan hanya mendatangkan orang yang terlatih untuk mengurusnya

iii. Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi tidak memberikan kehangatan

iv. Memeliharanya dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak


(16)

2) Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, sehingga menimbulkan praduga, seperti:

a. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan, sehingga menimbulkan depresi

b. Tidak memiliki kepercayaan diri dalam mengasuh anak tersebut

3) Kehilangan kepercayaan akan memiliki anak yang normal, karena kehilangan kepercayaan ini orang tua menjadi cepat marah, tingkah laku menjadi agresif dan menjadikan orang tua depresi. Pada awalnya orang tua mampu menyesuaikan diri sebagai orang tua anak tunagrahita, namun saat kritis akan terjadi kembali. 4) Orang tua merasa terkejut dan kehilangan kepercayaan

diri.

5) Orang tua akan merasa berdosa, perasaan tersebut kompleks sehingga mengakibatkan depresi.

6) Orang tua merasa bingung dan malu sehingga orang tua kurang suka bersosialisasi.


(17)

2.3. Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

Tunagrahita dapat disebutkan juga retardasi mental. Dalam penelitian sebelumnya, terdapat pandangan yang sama yakni tentang penolakan yang orang tua alami saat pertama kali mengetahui anaknya berbeda. Penolakan ini dianggap wajar dan pasti terjadi karena setiap orang tua sudah memiliki harapan terhadap anak mereka sejak anak berada dalam kandungan. Penelitian yang sama dengan itu mengatakan pandangannya bahwa ABK ini mendapat perilaku yang buruk dari lingkungan karena penolakan tersebut (Hidayati, 2011; Ghoniyah & Savira, 2015).

Dalam penelitian yang lain diungkap bahwa terdapat masalah kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak

Down Syndrome. Down Syndrome sendiri merupakan salah

satu retardasi mental atau tunagrahita. Dalam penelitian tersebut memperlihatkan masalah kesejahteraan psikologis dilihat dari dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). masalah kesejahteraan psikologis yang dihadapi ibu dengan anak tunagrahita berbeda-beda.

Persamaan yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah kehadiran anak tunagrahita sangat mempengaruhi kehidupan ibu. Ibu menghadapi masalah lingkungan dimana lingkungan


(18)

menolak anaknya dan memperlakukan anaknya dengan buruk. Perlakuan yang buruk membuat ibu selalu berpikiran positif, sehingga lingkungan tidak lagi menolak namun menjadi mendukung ibu dalam membesarkan anaknya (Abbeduto, Seltzer & Shattuck, 2004).

2.4. Definisi Operasional

Kesejahteraan psikologis didefinisikan dalam 6 dimensi kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989) yaitu:

1) Penerimaan diri, (menerima keadaan dirinya baik kekurangan maupun kelebihannya, berperilaku positif terhadap dirinya dan merasa puas dengan masa lalunya), 2) Relasi yang baik dengan orang lain (memiliki perasaan

hangat, puas dan mampu menjalin hubungan percaya dengan orang lain),

3) Otonomi (individu yang dapat memutuskan sendiri tanpa tergantung orang lain, mampu melawan tekanan sosial dan bersikap dengan benar, mampu mengontrol perilaku dan mampu mengevaluasi kemampuan diri),

4) Penguasaan lingkungan (memiliki penguasaan dan kompeten dalam mengatur lingkungan, mengatur peraturan dalam kegiatan eksternal, dapat memanfaatkan secara efektif dalam setiap kesempatan, dan dapat memilih atau


(19)

menciptakan keadaan yang sesuai dengan nilai dan kepentingan),

5) Tujuan hidup (merasa sekarang dan masa lalu memiliki arti, memiliki keyakinan dalam tujuan hidup),

6) Pertumbuhan diri (perasaan bahwa perkembangan terus berlanjut, melihat diri sendiri bertumbuh dan berkembang, membuka diri akan pengalaman baru, menyadari kemampuan diri sendiri, melihat perubahan diri dan perilaku setiap waktu).


(1)

Resiko terjadinya kelahiran anak dengan retardasi mental adalah pada kelahiran anak prematur. Kekurangan oksigen atau cedera kepala selama kelahiran juga dapat menimbulkan resiko retardasi mental.

4) Faktor Post Natal

Infeksi otak seperti encephalitis dan meningitis atau trauma pada masa bayi dan kanak-kanak awal dapat menyebabkan retardasi mental. Keracunan timah pada anak-anak juga dapat menyebabkan retardasi mental.

2.2.4 Dampak Ketunagrahitaan

Keluarga dan orang tua adalah orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan (Somantri, 2006). Keluarga akan merasa sulit untuk menerima anak dengan kebutuhan khusus tersebut karena kecewa anak yang dilahirkan tidak memenuhi harapan keluarga. Akan terjadi krisis penerimaan dalam keluarga karena keluarga cenderung menolak kehadiran anak tersebut. Krisis yang dialami ditanggapi dengan bervariasi pada setiap anggota keluarga. Dalam jurnal (Ghoniyah & Savira, 2015) ibu dan keluarga mengaku menolak sang anak saat mengetahui anaknya terlahir berbeda.


(2)

Memiliki anak berkebutuhan khusus sangat berdampak pada keluarga itu sendiri. Orang tua akan mengalami shock, guncangan batin, dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anaknya saat pertama kali mengetahui anak mereka mengalami keterbelakangan mental (Mangunsong, 2009).

Perasaan dan tingkah laku orang tua dalam menghadapi anak tunagrahita berbeda-beda, ini dapat dibagi menjadi (Somantri, 2006):

1) Perasaan melindungi anak secara berlebihan, dibagi dalam wujud:

a. Proteksi biologis

b. Perubahan emosi yang tiba-tiba, diperlihatkan dengan:

i. Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin

ii. Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah dan hanya mendatangkan orang yang terlatih untuk mengurusnya

iii. Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi tidak memberikan kehangatan

iv. Memeliharanya dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak


(3)

2) Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, sehingga menimbulkan praduga, seperti:

a. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan, sehingga menimbulkan depresi

b. Tidak memiliki kepercayaan diri dalam mengasuh anak tersebut

3) Kehilangan kepercayaan akan memiliki anak yang normal, karena kehilangan kepercayaan ini orang tua menjadi cepat marah, tingkah laku menjadi agresif dan menjadikan orang tua depresi. Pada awalnya orang tua mampu menyesuaikan diri sebagai orang tua anak tunagrahita, namun saat kritis akan terjadi kembali. 4) Orang tua merasa terkejut dan kehilangan kepercayaan

diri.

5) Orang tua akan merasa berdosa, perasaan tersebut kompleks sehingga mengakibatkan depresi.

6) Orang tua merasa bingung dan malu sehingga orang tua kurang suka bersosialisasi.


(4)

2.3. Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

Tunagrahita dapat disebutkan juga retardasi mental. Dalam penelitian sebelumnya, terdapat pandangan yang sama yakni tentang penolakan yang orang tua alami saat pertama kali mengetahui anaknya berbeda. Penolakan ini dianggap wajar dan pasti terjadi karena setiap orang tua sudah memiliki harapan terhadap anak mereka sejak anak berada dalam kandungan. Penelitian yang sama dengan itu mengatakan pandangannya bahwa ABK ini mendapat perilaku yang buruk dari lingkungan karena penolakan tersebut (Hidayati, 2011; Ghoniyah & Savira, 2015).

Dalam penelitian yang lain diungkap bahwa terdapat masalah kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak Down Syndrome. Down Syndrome sendiri merupakan salah satu retardasi mental atau tunagrahita. Dalam penelitian tersebut memperlihatkan masalah kesejahteraan psikologis dilihat dari dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). masalah kesejahteraan psikologis yang dihadapi ibu dengan anak tunagrahita berbeda-beda.

Persamaan yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah kehadiran anak tunagrahita sangat mempengaruhi kehidupan ibu. Ibu menghadapi masalah lingkungan dimana lingkungan


(5)

menolak anaknya dan memperlakukan anaknya dengan buruk. Perlakuan yang buruk membuat ibu selalu berpikiran positif, sehingga lingkungan tidak lagi menolak namun menjadi mendukung ibu dalam membesarkan anaknya (Abbeduto, Seltzer & Shattuck, 2004).

2.4. Definisi Operasional

Kesejahteraan psikologis didefinisikan dalam 6 dimensi kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989) yaitu:

1) Penerimaan diri, (menerima keadaan dirinya baik kekurangan maupun kelebihannya, berperilaku positif terhadap dirinya dan merasa puas dengan masa lalunya), 2) Relasi yang baik dengan orang lain (memiliki perasaan

hangat, puas dan mampu menjalin hubungan percaya dengan orang lain),

3) Otonomi (individu yang dapat memutuskan sendiri tanpa tergantung orang lain, mampu melawan tekanan sosial dan bersikap dengan benar, mampu mengontrol perilaku dan mampu mengevaluasi kemampuan diri),

4) Penguasaan lingkungan (memiliki penguasaan dan kompeten dalam mengatur lingkungan, mengatur peraturan dalam kegiatan eksternal, dapat memanfaatkan secara efektif dalam setiap kesempatan, dan dapat memilih atau


(6)

menciptakan keadaan yang sesuai dengan nilai dan kepentingan),

5) Tujuan hidup (merasa sekarang dan masa lalu memiliki arti, memiliki keyakinan dalam tujuan hidup),

6) Pertumbuhan diri (perasaan bahwa perkembangan terus berlanjut, melihat diri sendiri bertumbuh dan berkembang, membuka diri akan pengalaman baru, menyadari kemampuan diri sendiri, melihat perubahan diri dan perilaku setiap waktu).


Dokumen yang terkait

Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita

9 114 115

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB IV

0 1 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga

0 2 109

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Strategi Koping pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahta di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Salatiga T1 462012092 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Religiusitas dengan Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental T1 802007090 BAB II

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Gratitude dengan Psychological Well-Being Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

0 0 2

BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita

0 0 15