IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERMENDIKNAS NOMOR 70 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI SULAWESI SELATAN.

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERMENDIKNAS NOMOR 70 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

FACHRI MAZHUD NIM. 1103447

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

2013

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERMENDIKNAS NOMOR 70

TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF


(2)

Oleh Fachri Mazhud S.Pd UNM Makassar, 2009

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana Pendidikan Kebutuhan

Khusus

© Fachri Mazhud 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERMENDIKNAS NOMOR 70 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF

DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

Oleh

Fachri Mazhud, S. Pd (1103447)

Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus (S2)

Disahkan oleh: Pembimbing Akademik

Dr. Djadja Rahardja, M. Ed.

NIP. 19590414 198503 1 005

Mengetahui, Ketua Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

Dr. Djadja Rahardja, M. Ed.


(4)

ABSTRAK

FACHRI MAZHUD. 2013. “Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Di Provinsi Sulawesi Selatan” (dibimbing

oleh Dr. Djadja Rahardja, M. Ed.). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) Kondisi faktual implementasi kebijakan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 (2) Faktor pendukung dan penghambat realisasi dari Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 terkait upaya pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan; (3) Desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 yang sesuai kebutuhan dan sebaiknya dilakukan di provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan berdasarkan sifat data maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Lokasi Penelitian bertempat di Sulawesi Selatan yang ditujukan kepada para kepala Dinas Pendidikan dan Komisi Pendidikan DPRD Sulawesi Selatan. Teknik pengumpulan data melalui studi wawancara, observasi dan dokumentasi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 di provinsi Sulawesi Selatan telah diselenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif sejak tahun 2002. Dari 24 kabupaten/kota, telah terdapat 15 kabupaten/kota yang telah mengimplementasikan pendidikan inklusif dan masih terdapat 9 kabupaten yang belum melaksanakan sama sekali; (2) Pemerintah telah melakukan berbagai sosialisasi dan koordinasi kepada pihak-pihak terkait namun hal tersebut belum berjalan dengan efektif dan efisien, termasuk penyiapan sumber daya dalam mendukung implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Sulawesi Selatan. Selain itu, para aktor dan individu/kelompok sasaran yang ada, masih belum memahami secara umum mengenai isi dan tujuan dari kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 namun mereka telah menunjukkan sikap penerimaan dan dukungan yang positif; (3) Desain implementasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 dirangkai dengan memperhatikan berbagai variabel. Variabel yang krusial adalah aktivitas pendidikan pendidikan inklusif dan komunikasi antar organisasi yang harus mengintergrasikan perpaduan sinergis di antara 5 (lima) aktivitas kebijakan yakni ukuran dan tujuan pemerataan pendidikan inklusif, karakteristik badan pelaksana, sikap aparat pelaksana, sumber daya, dan kondisi pendidikan inklusif.


(5)

ABSTRACT

FACHRI MAZHUD. 2013. “The Policy Implementation - Permendiknas Number 70 of 2009 About Inclusive Education in South Sulawesi Province”. (guided by Dr. Djadja Rahardja, M. Ed.). This study aimed to describe (1) The condition of the factual implementation of inclusive education policies in the province of South Sulawesi by Ministerial Regulation No. 70 of 2009 (2) The supporting and inhibiting the realization of the Ministerial Regulation No. 70 of 2009 factors related to the inclusive educational equity efforts in the province of South Sulawesi, (3) The Design of Permendiknas policy implementation No. 70 of 2009 that is according to the needs and should be done in the province of South Sulawesi. This research uses a qualitative approach based on the nature of the data and the methods used in this research is the descriptive method. The Research Site located in South Sulawesi, addressed to the head of the Department of Education and the Education Commission of South Sulawesi DPRD. The Data collection techniques gained through the study interview, observation and documentation are then analyzed using qualitative analysis. The results showed that (1) The implementation of policies Permendiknas No. 70 of 2009 in the province of South Sulawesi has been organized and the inclusive education since 2002 has been developed. From 24 districts / cities, there have been 15 districts / cities that have implemented inclusive education and there are 9 districts which are not implemented at all, (2) The Government has conducted a variety of outreach and coordination to the relevant parties, but it is not working effectively and efficiently, including preparing resources to support the implementation of inclusive education policies in South Sulawesi. In addition, the actors and individual / group targets exist, in general still do not understand the contents and purpose of the policy Permendiknas No. 70 of 2009, but they have shown acceptance and positive reinforcement; (3) The Design of implementation Permendiknas No. 70 of 2009 arranged with the attention to various variables. The crucial variable is the educational activities of the inclusive education and communication between organizations must integrate a synergistic blend of the 5 (five) activity and the size of the policy objectives the inclusive educational equity, the characteristics of implementing agencies, implementing agency attitudes, resources, and conditions of the inclusive education.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORI ... 11

A. Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 11

B. Kebijakan Pendidikan Sebagai Bagian Dari Kebijakan Publik ... 18

C. Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 ... 23

D. Proses Pengkajian dan Model Implementasi Kebijakan ... 25

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan ... 32

F. Model Proses Implementasi Kebijakan ... 33

G. Kebijakan Merupakan Bagian Dalam Dimensi Indeks Inklusi ... 36

H. Hakekat Pendidikan Inklusif ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 68


(7)

B. Desain Penelitian ... 72

C. Defenisi Konsep ... 73

D. Lokasi, Waktu dan Subjek Penelitian ... 77

E. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen ... 78

F. Teknik Keabsahan Data ... 87

G. Teknik Analisis Data ... 89

H. Prosedur Penelitian ... 92

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 96

A. Hasil Penelitian ... 97

B. Pembahasan ... 202

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 225

A. Kesimpulan ... 225

B. Rekomendasi ... 230

DAFTAR PUSTAKA ... 234

LAMPIRAN ... 238


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 84

Tabel 4.1 Pemaparan Hasil Wawancara Terkait Kebijakan Pemerataan Pendidikan dan Program Pembangunan Pendidikan ... 99

Tabel 4.2 Perkembangan Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk ... 130

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Usia Kerja Menurut Kegiatannya ... 132

Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Menurut Daerah Pendidikan ... 133

Tabel 4.5 Jumlah Sarana Pendidikan Di Provinsi Sulawesi Selatan ... 136

Tabel 4.6 Pemaparan Hasil Wawancara Terkait Perencanaan Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif di Sulawesi Selatan ... 143

Tabel 4.7 Data Sekolah Penyelenggara inklusi dan Siswa yang Memperoleh Layanan Pendidikan inklusif Se-Sulawesi Selatan (Tingkat Sekolah Dasar dan Menengah Pertama) ... 145

Tabel 4.8 Data Sekolah Penyelenggara inklusi dan Siswa yang Memperoleh Layanan Pendidikan inklusif Pendidikan Menengah Atas Se-Sulawesi Selatan ... 146

Tabel 4.9 Pemaparan Hasil Wawancara Terkait Mekanisme dan Teknik Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif di Sulawesi Selatan ... 148

Tabel 4.10 Pemaparan Hasil Wawancara Terkait Faktor Pendukung dan Penghambat Realisasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 1 – 4 Tentang Pemerataan Pendidikan Inklusif di Sulawesi Selatan ... 138


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Estimasi Jumlah Penduduk Sulawesi Selatan ... 130 Gambar 4.2 Organigram Konteks Institusi Pendidikan yang Memfasilitasi

Penyelenggara Satuan Pendidikan Inklusif ... 191 Gambar 4.3 Organigram Model Struktur Tata Kerja Organisasi Pendidikan

Dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif ... 194 Gambar 4.4 Desain Implementasi Penuntasan Wajar Dikdas Sembilan

Tahun Berbasis Kultural Kewilayahan. ... 196 Gambar 4.5 Desain Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70

Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Desain Diseminasi Perwujudan Pemerataan Pendidikan Inklusif di Sulawesi

Selatan) ... 198 Gambar 4.6 Hasil Penilaian Ahli Terhadap Desain Implementasi Kebijakan

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif (Desain Diseminasi Perwujudan Pemerataan


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Peta Sulawesi Selatan ... 236

Lampiran II Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 ... 237

Lampiran III Pergub dan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan ... 243

Lampiran IV Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan inklusif Di Provinsi Sulawesi Selatan ... 269

Lampiran V Data Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif dan Siswa yang Memperoleh Layanan Pendidikan Inklusif Di Sulawesi Selatan... 307

Lampiran VI Pedoman Wawancara, Observasi dan Dokumentasi ... 321

Lampiran VII Pernyataan Expert Judgement ... 328


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan. Namun ironisnya sistem pendidikan di Indonesia belum secara merata dapat mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.

Perubahan pemikiran kepada masyarakat untuk memberikan kesempatan mengenyam pendidikan kepada anak-anak mereka dalam kondisi normal ataupun memiliki kelainan baik dari segi fisik maupun mental. Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok disabilitas dalam menyuarakan hak–haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusif. Salah satu kesepakatan internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007.


(12)

Pada pasal 24 dalam Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam praktiknya sistem pendidikan inklusif di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru, akademisi dan termasuk di dalamnya antara pemerintah, pihak sekolah serta masyarakat.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengentaskan wajib belajar pendidikan dasar (Wajardikdas 9 tahun) yang dijabarkan dalam UU Sisdiknas nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 telah mengatur Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Implementasinya dijabarkan melalui Permendiknas nomor 70 Tahun 2009 yaitu dengan memberikan kesempatan atau peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah reguler (Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan) terdekat. Berdasarkan hal tersebut maka hadirlah istilah pendidikan inklusif.

Suatu alternatif pendidikan yang diselenggarakan dengan menggabungkan anak berkebutuhan khusus dan anak normal yang muncul sebagai terminologi pendidikan inklusif. Hal ini sebagai bentuk penekanan untuk mengakomodir bentuk pemisahan antara pendidikan bagi ABK dan


(13)

anak-anak lainnya seperti anak-anak yang memiliki hambatan dalam kondisi fisik dan mental, hambatan dalam kondisi sosial, geografis, tertinggal jauh dari sarana, budaya, bekas bencana alam dan terpencil. Pendidikan inklusif menjadi solusi dalam memberikan kesempatan pada seluruh anak untuk mengenyam pendidikan yang sama.

Sunanto (2004) mengemukakan paradigma baru pendidikan inklusif yang merujuk pada kebutuhan belajar bagi semua peserta didik dengan suatu fokus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi atau pemisahan. Melalui pendidikan inklusif berarti sekolah harus menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas dan mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi lainnya.

Pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya adalah tujuan penyelenggaran pendidikan inklusif. Pemerataan pendidikan inklusif diupayakan dapat terlaksana secara maksimal. Namun kondisi yang terjadi di lapangan yang kemudian dikaitkan dengan hasil penelitian terdahulu dan penyelengaraan sekolah inklusi, menunjukkan bahwa dalam realisasinya masih terjadi ketidakseimbangan dalam implementasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, seperti masih banyaknya Anak Berkebutuhan Khusus yang secara permanen maupun temporer belum terakomodasi dalam pendidikannya.


(14)

Di sisi lain berdasarkan data Kementerian Sosial RI tahun 2008 total Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1.544.184 anak, dan prediksi bahwa sensus nasional tahun 2010, angka anak-anak berkebutuhan khusus (5-18 tahun) adalah 21,42% dari jumlah ABK dengan berbagai kekurangan/kecacatan 330.764 anak. Selanjutnya angka anak berkebutuhan khusus yang sudah mendapatkan layanan pendidikan di sekolah khusus (Sekolah Luar Biasa) dan/atau di sekolah inklusi. Dari jenjang Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Pertama hanya 85.737 anak (25,92%). Artinya, ada 245.027 (74,08%) anak dengan kebutuhan khusus yang belum mendapatkan pendidikan yang layak diseluruh Indonesia dengan berbagai jenis hambatan/kelainan, dan sebagian besar berada di pedesaan dan pusat-pusat perkotaan.

Jika dibandingkan dengan jumlah sekolah inklusi secara nasional dari SD hingga SMA berdasarkan data tahun 2010 hanya berjumlah 254 Sekolah Dasar Negeri dan Swasta dari sekian banyak sekolah yang ada di Indonesia dan jika dibandingkan dengan prevalensi anak berkebutuhan khusus yang ada di Indonesia. Rata-rata sekolah inklusi hanya ada di ibu kota provinsi dan sebagian di ibu kota kabupaten/kota dan juga karena berbagai kondisi geografis sehingga tidak mampu melayani anak berkebutuhan khusus. Maka yang menjadi sorotan yaitu masih belum terwujudnya pemerataan sekolah inklusi sebagai upaya mengakomodir dan pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk di provinsi Sulawesi Selatan.


(15)

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di provinsi Sulawesi Selatan diperoleh informasi bahwa dari 24 kabupaten/kota, masih terdapat beberapa daerah/kabupaten belum sama sekali mengimplementasikan kebijakan pendidikan inklusif sehingga dalam hal ini amanah Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif belum berjalan dengan semestinya di provinsi Sulawesi Selatan. Di sisi lain masih banyak pula sekolah yang belum siap menyelenggarakan sekolah inklusi dikarenakan oleh kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah daerah terkait sebagai bentuk pemberian pemahaman akan pentingnya diselenggarakan pendidikan inklusif disetiap jenjang sekolah di provinsi Sulawesi Selatan dengan berdasar pada amanah Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif.

Hadirnya Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif merupakan bentuk aplikasi perwujudan kebijakan pendidikan yang berupaya mewujudkan pemerataan sekolah inklusif diberbagai daerah sehingga anak berkebutuhan khusus, baik yang permanen, temporer maupun mereka yang berada di perkotaan dan daerah terpencil dapat terakomodasi dengan layak dalam aspek pendidikannya tanpa memandang segala perbedaan yang dimilikinya seperti yang digaris bawahi dalam pasal 1-4, yakni:

Pasal 1

Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pasal 2


(16)

(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;

(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.

Pasal 3

(1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 terdiri atas:

a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras;

g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis;

j. memiliki gangguan motorik;

k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya;

l. memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda

Pasal 4

(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

Merujuk pada kutipan pasal-pasal di atas, terkandung makna bahwa pentingnya implementasi kebijakan dalam pemerataan sekolah inklusi sebagai langkah mengakomodasi anak berkebutuhan khusus bersama anak lainnya di sekolah reguler sehingga kebutuhan akan pendidikannya dapat terpenuhi tanpa


(17)

membedakan kondisi fisik, sosial, agama maupun ras antara anak yang satu dengan yang lainnya.

Kompleksitas kebijakan pendidikan tidak hanya terletak pada proses perumusan kebijakan. Kompleksitas kebijakan pendididikan justru terletak ujung dari proses kebijakan yaitu implementasi kebijakan pendidikan tersebut. Implementasi kebijakan pendidikan harus dimulai pada manajemen puncak dan kebijakan harus disampaikan oleh kekuatan kerja yang secara kritis dapat menghindari kegagalan untuk mencapai tujuan. Efektivitas pembuatan kebijakan adalah kesamaan dan penerimaan dari sasaran dari semua level untuk meningkatkan peluang pencapaian sasaran organisasi dan tidak menghamburkan energi dalam konflik. Van Velzen, et al 1985:126 (Syafaruddin, 2008:125).

Salah satu aspek implementasi kebijakan pendidikan yaitu tentang peningkatan pemerataan pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan lanjutan. Kebijakan pemerataan pendidikan pada pemerintahan saat ini diartikulasikan dengan tema kebijakan ketersediaan dan keterjangkauan. Olehnya itu, kriteria keberhasilannya, termasuk dalam hal ini pendidikan inklusif adalah meningkatnya angka partisipasi dari setiap sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA/SMK.

Implementasi kebijakan pendidikan inklusif semestinya setiap sekolah tidak hanya sekedar menyelenggarakan pendidikan inklusif dan mengakomodasi anak tanpa terkecuali tetapi agar tidak terhambat dan realisasinya dapat berjalan dengan ideal sesuai dengan harapan Permendiknas


(18)

Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif maka semestinya ada desain implementasi kebijakan yang jelas dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan yang dapat mengakomodasi seluruh sekolah dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang efektif secara merata dan menyeluruh di bumi Indonesia ini, baik dari tingkat provinsi maupun kota/kabupaten termasuk di provinsi Sulawesi Selatan.

Berangkat dari permasalahan tersebut di atas maka peneliti ingin melakukan analisis secara sistematis berkaitan dengan implementasi kebijakan pendidikan dalam hal ini Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan, sehingga solusi dari permasalahan pendidikan inklusif yang terjadi saat ini dapat di atasi sedini mungkin dan amanah pendidikan dapat terwujud, termasuk pemerataan sekolah inklusi dan pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi penyandang disabilitas di provinsi Sulawesi Selatan.

B. Fokus Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Adapun fokus masalah penelitian ini berkaitan dengan pemerataan sekolah inklusi di provinsi Sulawesi Selatan yakni “Bagaimanakah implementasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 pasal 1 – 4 tentang pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan?” Selanjutnya akan dijabarkan dalam pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Bagaimanakah kondisi faktual implementasi kebijakan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009?


(19)

2. Apa faktor pendukung dan penghambat realisasi dari Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 terkait upaya pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan?

3. Bagaimanakah desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 yang sesuai kebutuhan dan sebaiknya lakukan di provinsi Sulawesi Selatan?

4. Bagaimanakah hasil expert judgement terhadap desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada rumusan masalah penelitian, secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi secara jelas mengenai implementasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 pasal 1 - 4 tentang pendidikan inklusif sebagai bentuk pemerataan sekolah inklusi di provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Kondisi faktual implementasi kebijakan di provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009?

2. Faktor pendukung dan penghambat realisasi dari Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 terkait upaya pemerataan pendidikan inklusif di Provinsi Sulawesi Selatan.

3. Desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 yang sesuai kebutuhan dan sebaiknya dilakukan di provinsi Sulawesi Selatan.


(20)

4. Hasil expert judgement terhadap desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat bagi sekolah, yaitu:

Dengan harapan diterapkannya pendidikan inklusif pada semua sekolah pada setiap jenjang pendidikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan kebijakan sehingga semua siswa memiliki hak yang sama dalam mengenyam pendidikan.

2. Manfaat bagi dinas pendidikan yaitu;

Dengan adanya desain implementasi pendidikan inklusif maka dapat menjadi acuan dalam sosialisasi pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.

3. Manfaat bagi instansi terkait atau pengambil kebijakan lainnya yaitu; Sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan evaluasi kebijakan dalam implementasi sistem pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.


(21)

BAB III

METODE PENELITIAN

Berdasarkan sifat data dalam penelitian ini maka digunakan metode deskriptif. Terkait dalam penelitian ini, maka penelitian deskriptif ini digunakan untuk memperoleh informasi yang mendalam kemudian dilakukan analisis dan menggambarkan implementasi kebijakan Permendiknas No. 70 tahun 2009 di provinsi Sulawesi Selatan terkait pemerataan sekolah inklusi di provinsi Sulawesi Selatan. Menurut Whitney (Nasir, 2009: 54) menjelaskan

bahwa “penelitian deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik evaluative. Tujuan dari penelitian deskripsi adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor dan melihat hubungan antar satu faktor dengan faktor yang lain.

Penelitian deskriptif ini diarahkan untuk mengidentifikasi situasi pada waktu penyelidikan (investigasi) dilakukan, melukiskan variable atau kondisi

“apa yang ada” dalam situasi (Surakhmad, 1980; Donald, 1982; Rachmat, 1989;

dan Nasution, 1992). Dari kepustakaan tersebut juga dijelaskan karakteristik penelitian deskriptif sebagai berikut:

1. Penelitian deskriptif menuturkan sesuatu secara sistematis tentang data atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat, serta menganalisis dan menginterpretasikan data yang ada;


(22)

alamiah (natural setting), ia mencari teori (Hypothesis-generating) dan bukan menguji teori (Hypothesis-testing), serta heuristic bukan verivikatif;

3. Terdapat beberapa jenis penelitian deskriptif, antara lain: studi kasus (case study), survei, studi peningkatan (development study), studi perkembangan (longitudinal study), studi tindak lanjut (follow-up studies), analisis dokumen (document analysis), analisis kecenderungan (trend analysis), analisis tingkah laku (behavior analysis), studi waktu dan gerak (time and motion studies), dan studi korelasional (correlational study).

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa substansi penelitian ini tidak dirancang untuk menguji hipotesis, tetapi hanya mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan fenomena-fenomena simbolik dan merefleksikan secara apa adanya, sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitan yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengutamakan teknik studi deskriptif.

Studi deskriptif dalam penelitian ini merupakan studi eksplorasi yang difokuskan pada penelaahan lokasi penelitian sebagai pra-kondisi dalam memperoleh informasi tentang kondisi faktual implementasi kebijakan pendidikan inklusif, faktor pendukung dan penghambat serta desain implementasi kebijakan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan. Dalam hal ini dilakukan studi pada Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif.

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan alat untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Dalam usaha untuk mengejar atau memperoleh kebenaran diperlukan suatu cara pendekatan pada fakta-fakta


(23)

empiris agar dapat dipahami dalam suatu keteraturan. Pendekatan biasanya dimaksudkan dengan arah atau cara yang diambil untuk menuju sesuatu sasaran. Dalam pengertian yang lebih luas pendekatan juga dapat diartikan sebagai to come near to in any sense atau jalan yang diambil untuk melakukan sesuatu. Pendekatan-pendekatan yang dipilih biasanya berasaskan teori-teori atau generalisasi tertentu.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (Sugiyono, 2010: 9). Selain itu, masalah dalam penelitian kualitatif bersifat sementara, tentatif dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada di lapangan (Sugiyono, 2010: 238).

Berdasarkan fokus, tujuan, subjek penelitian dan karakteristik data maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang bertujuan untuk mengkaji permasalahan dan memperoleh makna yang lebih mendalam mengenai kondisi faktual implementasi, faktor pendukung dan penghambat realisasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 serta desain implementasi kebijakan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan. Dalam hal ini dilakukan studi pada Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif.

Penelitian ini menggunakan paradigm alamiah (naturalistic paradigm) dengan pendekatan penelitian kualitatif. Dengan menggunakan paradigma alamiah dan pendekatan kualitatif serta jenis penelitian deskriptif maka


(24)

penelitian ini dimaksudkan untuk melihat gambaran dan gejala-gejala dari kerangka acuan si pelaku sendiri. Melalui pendekatan ini, diharapkan terangkat gambaran mengenai aktualitas, realitas sosial dan persepsi sasaran penelitian tanpa tercemar oleh pengukuran formal sehingga dapat memberikan gambaran yang otentik terhadap apa yang terjadi serta bagaimana mereka memahami kejadian-kejadian tersebut.

Teknik penelitian melalui pengungkapan banyak cerita yang bersifat ideosinkratis namun penting, yang diceritakan oleh orang-orang yang ada dilapangan, tentang peristiwa-peristiwa nyata dengan cara-cara yang alamiah. Karena itu akan diusahakan keterlibatan peneliti, namun tanpa intervensi terhadap variable-variabel proses yang sedang berlangsung apa adanya. Penelitian ini disebut penelitian naturalistik, karena situasi lapangan

penelitian bersifat “natural” atau wajar, sebagaimana adanya, tanpa manipulasi yang diatur dengan eksperimen atau test.

Dengan penelitian ini maka apa yang terlaksana dilapangan, dianalisis dan dievaluasi berdasarkan suatu kriteria tertentu sesuai dengan topik permasalahan yang menjadi fokus. “Dalam hal ini masalah peneltian merupakan fokus penelitian”, (Nasution, 1998: 9). Lebih jauh ciri-ciri pokok dari penelitian kualitatif (Qualitative Inquiry) menurut Patton (2002: 40-41) dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Naturalistic Inquiry 2. Inductive analysis 3. Holistic perspective 4. Qualitatve data

5. Personal contact and insight 6. Dynamic system


(25)

7. Unique case orientation 8. Context sensitivity 9. Emphatic neutrality 10.Design flexibility.

Dari pendapat di atas nampak bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memerlukan kecermatan dalam pelaksanaannya, hal ini tidak lain karena setting alamiah perlu tetap terjaga agar data yang diperoleh dapat benar-benar menunjukkan kondisi lapangan yang sebenarnya. Selain itu analisis dilakukan bersifat induktif dari hal-hal khusus berdasarkan fakta lapangan untuk kemudian dipahami dan ditafsirkan dalam konteks keseluruhan kejadian yang bersifat holistik, serta data yang dikumpulkan merupakan data yang berkategori kualitatif.

Di samping itu penelitian kualitatif juga menunjukkan suatu penelitian yang menunjukkan penggunaan manusia sebagai alat dalam pengumpulan data dengan titik berat kepada proses ketimbang hasil dari suatu fenomena lapangan dan karena apa yang terjadi di lapangan banyak yang sulit atau tidak mungkin diperkirakan sebelumnya maka desain penelitian ini bersifat fleksibel dalam arti memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan yang terjadi.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian (Nasir, 2009: 84). Untuk menerapkan metode ilmiah dalam praktek penelitian, maka diperlukan suatu desain


(26)

penelitian yang sesuai dengan kondisi, seimbang dengan dalam dangkalnya penelitian yang akan dikerjakan.

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi mengenai kejadian yang telah terjadi di provinsi Sulawesi Selatan dengan mendasarkan diri pada konsep-konsep yang ada pada teori yang diperoleh dari studi pustaka, dilakukan identifikasi mengenai impementasi kebijakan, memaparkan faktor pendukung dan penghambat realisasi kebijakan pendidikan inklusif, serta implementasi diseminasi Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Desain Penelitian

C. Defenisi Konsep

Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: KONDISI FAKTUAL

PERMENDIKNAS NO. 70 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF FAKTOR PENDUKUNG

DAN PENGHAMBAT IMPLEMANTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

BENTUK

IMPLEMENTASI DISEMINASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF


(27)

1. Pengertian Implementasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi adalah pelaksanaan, penerapan pertemuan yang kedua bermaksud mencari bentuk tentang hal yang disepakati dulu (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005: 427). Secara sederhana implementasi diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai “evaluasi”. Browne dan Wildavsky

(Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian

implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (Nurdin dan Usman, 2004).

Sedangkan menurut Susilo (2007: 174) “implementasi merupakan suatu penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan

pengetahuan, ketrampilan maupun nilai dan sikap”. Dalam Oxford

Advance Learner Dictionary dikemukakan bahwa implementasi adalah put something into effect (penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak).

Dari beberapa definisi di atas, maka disimpulkan bahwa implementasi adalah suatu kegiatan atau usaha untuk penerapan ide, konsep, kebijakan, dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak dalam bentuk perubahan pengetahuan, ketrampilan, maupun nilai dan sikap dalam suatu proses interaksi.


(28)

2. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan adalah istilah yang digunakan untuk merangkum rancangan dasar, dan langkah-langkah kecil. Istilah kebijakan juga sering untuk menjamin dan menambah legitimasi dan kadang-kadang untuk mengindari penetapan tindakan: ini harus dilakukan karena merupakan kebijakan pemerintah, spesifikasi dan artikulasi kebijakan dapat menjadi hal yang menarik dalam cara pandang ke depan. Implementasi kebijakan harus dimulai pada manajemen puncak dan kebijakan harus disampaikan oleh kekuatan kerja yang secara kritis dapat menghindari kegagalan untuk mencapai tujuan.

Efektivitas pembuatan kebijakan adalah kesamaan dan penerimaan dari sasaran dari semua level untuk meningkatkan peluang pencapaian sasaran organisasi dan tidak menghamburkan energi dalam konflik. Van Velzen, et al 1985:126 (Syafaruddin, 2008:125).

Sedangkan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. (UU No. 20 tahun 2003).

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan adalah serangkaian keputusan-keputusan atau regulasi yang menjelaskan sebab akibat dan dengan mengatur kinerja


(29)

sebuah kebijakan yang berkaitan dengan upaya penyempurnaan pendidikan dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan nasional melalui upaya pembangunan manusia seutuhnya supaya siap menghadapi tantangan masa depan. Implementasi kebijakan dalam organisasi pendidikan bertitik tolak pada reformasi yang dapat mengoreksi, visi, misi dan fungsi pendidikan yang dikontruksi secara konseptual dalam kriteria keefektifan organisasi.

3. Konsep Pendidikan Inklusif

Menurut Tim pendidikan inklusif Jawa Barat (2003: 4) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah:

Layanan pendidikan yang mengakomodasi semua anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapat sekolah di sekolah atau lembaga pendidikan (diutamakan yang terdekat dengan tempat tinggal anak) bersama dengan teman-teman sebayanya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.

Sedangkan menurut Sunanto (2004: 3) dalam tulisannya menjelaskan bahwa pendidikan inklusif adalah:

Pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali. Pendidikan yang memberikan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik di kelas/ sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak.

Apabila ditinjau dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa model pendidikan inklusif yang dituangkan dalam sebuah organisasi sekolah inklusi dapat diartikan sebagai sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan


(30)

program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil. Oleh karena itu, implementasi pendidikan inklusif adalah aktivitas pelaksanaan, penerapan dan evaluasi pendidikan yang memberikan pelayanan terhadap semua anak tanpa memandang kekurangan dan kelemahan anak agar dapat belajar bersama-sama, baik di kelas/luar kelas sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kebutuhan masing-masing anak.

4. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif

Adalah suatu cara atau tindakan dalam bentuk fisik maupun psikis yang mendukung implementasi pendidikan inklusif.

5. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif

Adalah suatu cara atau tindakan dalam bentuk fisik maupun psihis yang menghambat implementasi pendidikan inklusif.

D. Lokasi, Waktu dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di provinsi Sulawesi Selatan yang ditujukan pada dinas pendidikan provinsi Sulawesi Selatan dan Komisi Pendidikan DPRD provinsi Sulawesi Selatan. Waktu penelitian berlangsung selama tiga bulan terhitung mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2013. Adapun informan penelitian ini adalah praktisi pendidikan (para kepala Dinas pendidikan provinsi Sulawesi Selatan, Kepala dinas Pendidikan Kabupaten kota yang telah direkomendasikan, serta ketua komisi pendidikan


(31)

DPRD Provinsi Sulawesi Selatan) baik yang belum dan yang telah memperoleh pemahaman tentang pendidikan inklusif atau telah pernah mengikuti pelatihan-pelatihan mengenai pendidikan berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusif serta telah menjalankan proses implementasi pendidikan inklusif.

E. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen

Dalam kaitannya dengan teknik pengumpulan data, Rahardjo (2011), mengemukakan bahwa pengumpulan data merupakan salah satu tahapan sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan data yang benar akan menghasilkan data yang memiliki kredibilitas tinggi, dan sebaliknya. Oleh karena itu, tahap ini tidak boleh salah dan harus dilakukan dengan cermat sesuai prosedur dan ciri-ciri penelitian kualitatif.

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teknik wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk mewawancarai para responden yang dianggap sebagai tokoh kunci dalam penelitian ini. Peneliti menggunakan pedoman wawancara agar tidak keluar dari fokus yang telah ditentukan. Data yang dikumpulkan melalui wawancara bersifat uraian kata. Dalam penelitian ini, wawancara ditujukan terhadap praktisi pendidikan dari dinas pendidikan kemudian dilakukan kroscek kepada penyelenggara pendidikan inklusif dibeberapa kepala sekolah sekolah


(32)

provinsi Sulawesi Selatan. Sasaran-saranan wawancara dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

a). Wawancara terhadap kepala dinas pendidikan provinsi atau yang mewakili dalam hal ini praktisi dinas pendidikan yang telah memahami implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 Tentang pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan untuk memperoleh data-data tentang kondisi faktual implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 Tentang pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan, faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 Tentang pendidikan Inklusif serta memperoleh informasi berkaitan dengan desain implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 yang sesuai kebutuhan di provinsi Sulawesi Selatan.

b). Wawancara terhadap beberapa kepala dinas pendidikan kabupaten/kota dalam hal ini stake holder di lapangan yang menjadi aktor penyelenggara pendidikan inklusif yang ditunjuk sebagai penyelenggara oleh pihak dinas pendidikan provinsi dan telah memahami implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 Tentang pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan. Dalam hal ini untuk memperoleh data-data tentang kondisi faktual implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 Tentang pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan, faktor-faktor pendukung dan penghambat serta memperoleh informasi berkaitan dengan desain implementasi


(33)

Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 yang sesuai kebutuhan di provinsi Sulawesi Selatan.

c). Wawancara terhadap ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dalam hal ini diwakili oleh ketua komisi pendidikan DPRD Sulawesi Selatan sebagai pemangku kebijakan dan sebagai pengemban implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 Tentang pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan. Wawancara terhadap salah satu anggota DPRD yang telah memahami mengenai implementasi Pendidikan Inklusif diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kondisi faktual implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 serta faktor pendukung dan penghambat yang ditemui di lapangan pada proses implementasinya.

Dalam melakukan penelitian kualitatif, digunakan wawancara yang tidak berstruktur dan lebih bersifat informal. Pertanyaan-pertanyaan tentang pandangan, sikap dan keyakinan subyek/informan atau tentang keterangan lainnya dapat diajukan secara bebas kepada subyek. Wawancara dilakukan terhadap individu (pemerintah daerah dari dinas pendidikan terkait dengan pendidikan inklusif) dan kepala-kepala sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan provinsi Sulawesi Selatan) dengan maksud untuk memperoleh informasi implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 Tentang pendidikan Inklusif sebagai upaya pemerataan sekolah inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.


(34)

2. Teknik Obsevasi

Observasi digunakan selama penelitian berlangsung untuk mencermati beragam fenomena sejak tahap studi orientasi suasana lingkungan penelititan, implementasi, sampai evaluasi hasil. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat fenomena-fenomena yang berkaitan dengan implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 Tentang pendidikan Inklusif.

Adapun observasi tersebut bersifat langsung non partisipatori, artinya dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan secara langsung tanpa terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan sehingga tidak mempengaruhi kealamian dari segala sesuatu yang terjadi di lokasi penelitian. Observasi dilakukan sistematis terhadap perilaku dan implementasi kebijakan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan terhadap sekolah-sekolah yang telah menyelenggarakan sekolah inklusi. 3. Teknik Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti barang-barang tertulis. Teknik dokumentasi berarti cara mengumpulkan data dengan mencatat data yang sudah ada. Teknik ini lebih mudah dibandingkan dengan teknik pengumpulan data yang lain. Alasan mengapa metode ini lebih baik digunakan untuk penelitian sebagaimana yang diungkapkan Riyanto (1996: 83) adalah sebagai berikut: (1) dokumen merupakan sumber yang stabil, (2) berguna sebagai bukti untuk pengujian, (3) sesuai untuk penelitian kualitatif, (4) tidak reaktif, sehingga tidak sukar


(35)

ditemukan dalam teknik kajian isi, dan (5) hasil pengkajian isi akan membuka sesuatu yang diselidiki.

Data dokumentasi baik dalam bentuk visualisasi maupun dokumen tertulis digunakan sebagai data pendukung, melengkapi dan mempertegas data hasil wawancara dan observasi tentang kondisi faktual implementasi, faktor pendukung dan penghambat implementasi Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 serta desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 yang sesuai kebutuhan di provinsi Sulawesi Selatan. Peneliti memanfaatkan visualisasi dan dukumen-dokumen tertulis yang dihasilkan oleh peneliti sendiri. Dalam pengambilan visualisasi dan dokumen-dokumen tertulis, peneliti berusaha menjaga keaslian dari gambar dan data tertulis yang diambil.

Dokumentasi dilakukan dengan menganalisis dokumen-dokumen kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 dan dokumen-dokumen sekolah terkait dengan pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan. Setelah mengumpulkan data berdasarkan teknik pengumpulan data yang digunakan, maka data yang dihasilkan berupa gambaran implementasi kebijakan, memaparkan kondisi faktual implementasi kebijakan, faktor pendukung dan penghambat realisasi, serta bagaimana desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif yang sesuai kebutuhan dan yang sebaiknya dilakukan di provinsi Sulawesi Selatan.


(36)

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009. Sumber data dalam penelitian ini dibagi atas dua bagian, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah realisasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif dalam pelaksanaan di sekolah yang diperoleh melalui dokumen-dokumen sekolah. Sumber data sekunder adalah responden dan informan.

Peneliti menggunakan manusia sebagai instrumen utama yaitu peneliti sendiri, karena instrumen manusia dalam penelitian kualitatif dipandang lebih cermat dan teliti, manusia sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulans dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakna bagi peneliti, manusia sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus, (Nasution, 1998: 55).

Sebagai instrumen utama dalam menjaring data, peneliti juga menggunakan instrumen pengumpulan data berupa pedoman wawancara, pedoman observasi dan pedoman dokumentasi dengan tujuan untuk memperoleh data berkenaan dengan kondisi faktual, faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 dan bagaimana desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif yang sesuai kebutuhan di provinsi Sulawesi Selatan. Berkaitan dengan kisi-kisi instrument penelitian diuraikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:


(37)

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian

Pertanyaan Penelitian

Aspek/Ruang Lingkup

yang Diamati Indikator

Teknik Pengumpulan Data Instrumen Pengumpulan Data Informan

1 2 3 4 5 6

Kondisi faktual implementasi kebijakan

pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009?.

1. Kebijakan Pemerataan

Pendidikan dan

program pendidikan

sebagai upaya

pencapaian visi dan misi pendidikan. 2. Implementasi

Kebijakan

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 pasal 1

– 4 tentang pemerataan pendidikan inklusif yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah.

1. Pihak pemerintah daerah mampu menjelaskan kebijaksanaan pembangunan pendidikan di Sulawesi Selatan.

2. Pemerintah daerah mampu menjelaskan kebijakan pemerataan pendidikan di provinsi Sulawesi Selatan.

3. Pemerintah daerah mampu menjelaskan visi dan misi pencapaian pendidikan di provinsi Sulawesi Selatan.

4. Pemerintah daerah mampu menjelaskan perkembangan aspek pendidikan di provinsi Sulawesi Selatan.

5. Pemerintah daerah mampu menjelaskan seperti apakah program pendidikan yang mendukung perkembangan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.

6. Pihak Pemerintah daerah mampu menjelaskan implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 sebagai upaya pemerataan Pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan, ditinjau dari aspek:

a. Gambaran Perencanaan implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 terkait pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.

Wawancara Observasi Dokmentasi Pedoman observasi Pedoman wawancara Pedoman dokumentasi Pedoman observasi Pedoman wawancara Pedoman dokumentasi Pedoman wawancara Pedoman observasi Pedoman 1. Pemerintah

Provinsi Sulawesi Selatan (Kepala Dinas Pendidikan dan Ketua Komisi Pendidikan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.


(38)

1 2 3 4 5 6

b. Gambaran Mekanisme dan teknis

implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif (tindakan pemerintah daerah dalam proses implementasi dalam mewujudkan pemerataan sekolah inklusi di provinsi Sulawesi Selatan). Pedoman wawancara Pedoman observasi Pedoman dokumentasi

Faktor pendukung

dan Penghambat

realisasi Permendiknas Nomor 70 tahun

2009 tentang

Pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan?

1. Faktor Pendukung implementasi

kebijakan pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.

2. Faktor Penghambat implementasi

kebijakan pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.

1. Menjelaskan komunikasi dan sosialisasi pemerintah daerah kepada para aktor pelaksana di lapangan dalam kaitan dengan implementasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif.

2. Menjelaskan sumber daya yang dimiliki pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.

3. Menjelaskan sikap pelaksana dalam

implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif. 4. Menjelaskan struktur dan lingkungan birokrasi

dalam implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.

5. Menjelaskan dukungan masyarakat dalam implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif. 6. Upaya-upaya teknis yang dilakukan pemerintah

daerah dalam mengatasi masalah dalam implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif

Wawancara Observasi Dokumentasi Pedoman Observasi Pedoman Wawancara Pedoman dokumentasi

- Kepala Dinas

Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan

- Kepala Dinas

Pendidikan Kota

- Kepala Dinas

Pendidikan Kabupaten


(39)

1 2 3 4 5 6

Desain Implementasi kebijakan

Pendidikan Inklusif

yang sesuai

kebutuhan dan

sebaiknya dilakukan di provinsi Sulawesi Selatan?

1. Kiprah pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pengambilan

keputusan.

2. Desain implementasi kebijakan pendidikan inklusif yang sesuai

kebutuhan dan

sebaiknya dilakukan di provinsi Sulawesi Selatan.

1.Mampu menjelaskan kiprah pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pengambilan keputusan terkait penyelenggaraan dan pemerataan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.

2.Mampu menyusun desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif sebagai upaya pemerataan sekolah inklusi di provinsi Sulawesi Selatan. Wawancara Dokumentasi Pedoman wawancara Pedoman dokumentasi

1. Kepala dinas

terkait

2. Studi literatur Peneliti


(40)

F. Teknik Keabsahan Data (Pengecekan Validitas dan Reliabilitas Data)

Semua bentuk penelitian memerlukan keabsahan data yang dapat dibuktikan dengan berbagai cara. Dalam penelitian kualitatif untuk mengukur keabsahan data tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, sebagaimana yang dikemukakan oleh Lincoln & Guba (1985: 289) berikut ini: “Validitas internal yang dinyatakan dalam kredibilitas (credibility), validitas eksternal yang dinyatakan dalam transferability. Reliabilitas dinyatakan dalam dependability dan objektivitas yang dinyatakan dalam confirmability”.

1. Credibility

Credibility (kepercayaan) adalah mengusahakan agar hasil-hasil penelitian dapat dicapai kebenarannya oleh peneliti untuk kenyataan ganda yang sedang diteliti atau kepercayaan penemuan yang dapat dicapai atau dengan kata lain kesesuaian antara konsep peneliti dengan konsep responden. Kredibilitas dalam penelitian kualitatif dapat dicapai dengan cara memperpanjang waktu penelitian sehingga penemuannya sesuai dengan keadaan sebenarnya. Untuk keabsahan data diperlukan keikutsertaan peneliti dalam penelitian. Dengan demikian, peneliti akan dapat memperlajari seluk beluk dari penelitian itu sendiri secara terperinci dan dijamin kebenarannya.

2. Persistence Observation

Ketelitian/ketekunan dalam pengamatan akan menghasilkan kedalaman data yang diinginkan sehingga data yang dibutuhkan lebih akurat.


(41)

3. Trianggulation

Trianggulation (trianggulasi) adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu sendiri, yaitu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data. Trianggulasi adalah proses untuk memeriksa kebenaran data dengan cara membandingkan dengan data yang didapat dari sumber lain pada berbagai tahapan penelitian di lapangan, pada waktu yang berbeda dengan memakai metode yang berbeda pula.

4. Peer Debriefing

Peer Debriefing dimaksud adalah untuk menjelaskan hasil sementara dari hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.

5. Referential Adequacy

Referential Adequacy adalah untuk menampung dan menyesuaikan dengan kritik tertulis untuk keperluan evaluasi.

6. Negative Case Analysis

Negative Case Analysis, teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.

7. Member Check

Member Check adalah pengecekan sumber utama dalam proses pengumpulan data.


(42)

8. Transferability

Dalam penelitian kualitatif, transferability adalah kemampuan melihat sampai sejauhmana hasil penelitian dapat digunakan dalam situasi yang lain. Sehubungan dengan transferability ini, Nasution (1992: 119)

mengemukakan bahwa: “bagi peneliti kualitatif, transferability bergantung pada si pemakai, yaitu hingga manakah hasil penelitian itu dapat mereka

gunakan dalam konteks dan situasi tertentu”

9. Dependability

Dependability (ketergantungan) adalah ingin melihat seberapa jauh hasil penelitian bergantung pada keandalan.

10.Confirmability

Confirmability adalah keyakinan terhadap data yang diperoleh. Hal ini dapat dilakukan dengan cara audit trail. Artinya, dapat dikonfirmasikan dengan jejeak yang dapat diikuti. Untuk dapat melakukan pemeriksaan ini, peneliti mempersiapkan bahan-bahan berikut: (1) data mentah, berupa catatan lapangan, (2) hasil analisis data berupa rangkuman, (3) catatan mengenai proses penelitian.

G. Teknik Analisis Data

Karena data yang diperoleh lebih bersifat kualitatif, maka teknik analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif (Strauss, 1990). Selanjutnya Miles dan Huberman (1984: 27) menjelaskan bahwa menganalisis data secara kualitatif sangat sulit disebabkan karena metode dan instrument-instrumen belum dapat dirumuskan dengan jelas.


(43)

Berdasarkan pandangan para ahli tersebut, teknik analsis data yang akan dilakukan peneliti merupakan proses yang berkesinambungan yaitu mulai saat pengambilan data, dimana data sudah diolah dan dimaknai, triangulasi untuk menjaga keotentikan informasi, pemaknaan dilakukan dengan berpijak pada teori dan dalil yang bersumber dari referensi yang relevan. Dilakukannnya rumusan kesimpulan dan diajukannya model atau desain implementasi diseminasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan.

Dalam penelitian ini terdapat dua corak yang akan dianalisis. Pertama, analisis saat mempertajam keabsahan data, melalui “simultaneous eross seetional”, dan kedua melalui interpretasi pada data secara keseluruhan. Pada analisis corak pertama, dilakukan penyusunan data, yakni penyusunan kata-kata hasil wawancara, observasi, dan dokumen-dokumen berdasarkan kategorisasi yang sesuai dengan masalah penelitian.

Berdasarkan data yang diperoleh, dikembangkan penajaman data melalui pencarian data selanjutnya. Dalam penelitian ini, data tidak dianggap sebagai error reality yang dipersalahkan oleh teori sebelumnya, tetapai dianggap sebagai another reality (Stuart A. Sehlegel, 1984: 12). Dalam hal ini peneliti mencatat data apa adanya, tanpa intervensi dari teori atau paradigm peneliti selama ini dimiliki. Situasi wajar, apa adanya (natural setting) dijadikan bahan penelitian yang dimasuki peneliti tanpa intervensi situasi, baik melalui bentuk angkat, tes atau eksperimen.


(44)

Namun demikian peneliti berusaha mencari makna inti dari kelakuan dan perbuatan yang terlihat. Hal ini dilakukan dalam rangka memahami gejala dan kelakukan tersebut dalam konteks yang lebih luas, dipandang dari kerangka pikiran dan perasaan si pelaku. Berdasarkan hal tersebut, data yang didapat merupakan data yang langsung dari tangan pertama,tanpa melalui tes atau angket yang pada gilirannya hal tersebut justru membuat jarak dengan sumber data (Nasution, 1988: 9-10).

Dalam menganalisis data (diadopsi dari Moleong, 2009: 247) berbagai langkah-langkah yang digunakan, sebagai berikut:

1. Menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu berdasarkan hasil wawancara, observasi, dokumentasi, dan kajian kepustakaan.

2. Mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti berkaitan dengan kondisi faktual implementasi kebijakan, memaparkan faktor pendukung dan penghambat realisasi serta desain implementasi desiminasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal tentang pendidikan inklusif..

3. Langkah selanjutnya adalah menyusun data dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorisasikan sambil melakukan koding data. Koding data yang dibuat berdasarkan instrumen analisis yang telah disusun. Hasil koding data selanjutnya akan dianalisis gambaran faktual implementasi kebijakan, memaparkan faktor pendukung dan penghambat realisasi


(45)

kebijakan serta gambaran desain implementasi diseminasi permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif.

4. Langkah terakhir adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, untuk selanjutnya menjadikan hasil analisis data sebagai acuan untuk menyusun kesimpulan dan rekomendasi implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif.

Adapun skema analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini tergambar pada gambar di bawah ini:

Gambar 3.2. Langkah-Langkah Analisis Data Kualitatif

Sumber: Miles dan Huberman (1984: 16)

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian kualitatif menurut beberapa sumber, antara lain, Bogdan (1972) dan Moleong (1990) mengemukakan ada tiga tahapan dalam penelitian kualitatif, yaitu (1) pra lapangan, (2) kegiatan lapangan, dan (3) analisis intensif. Berikut dikemukakan langkah-langkah penelitian yang dilakukan di lapangan, meliputi delapan tahapan dari pra survey sampai tahap pengujian data hasil penelitian.

Data Collection

Data Reduktion

Data Display

Conclusion Drawing/Verifying


(46)

1. Pra Survey/orientasi

Hal ini dilakukan peneliti melalui observasi kegiatan terkait di lapangan dan dialog dengan pimpinan dinas pendidikan sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam mengimplementasikan kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan, kemudian dilanjutkan dengan observasi diiringi dengan dialog dengan informan lain yang dipandang perlu dan dapat memberikan penambahan informasi guna lebih memberikan pemahaman akan masalah yang menjadi fokus penelitian.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada para pejabat yang dapat memberikan pedalaman akan masalah yang menjadi fokus penelitian. Pada tahap ini, materi wawancara bersifat umum. Pada tahap berikutnya wawancara akan lebih diarahkan pada fokus penelitian dan langsung menghubungi sumber-sumber yang berhubungan langsung (first hand). Kemudian data hasil wawancara dikomparasikan dengan studi dokumentasi dan observasi. 3. Diskusi

Dalam rangka lebih menangkap ide-ide yang dikemukakan para responden/yang diwawancarai, peneliti juga akan melakukan diskusi secara berkesinambungan dengan informan/responden yang berada di pemerintahan. Diskusi ini sifatnya berkesinambungan, selama terjun ke lapangan dan selam penulisan. Ini dilakukan juga untuk triangulasi data.


(47)

4. Triangulasi

Triangulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi tidak langsung. Observasi tidak langsung ini dilakukan dalam bentuk pengamatan atas beberapa kelakuan dan kejadian, yang kemudian dari hasil pengamatan tersebut ditarik benang merah yang menghubungkan antara berbagai fenomena kejadian.

5. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi dimaksudkan untuk memperkuat apa yang terjadi, dan sebagai bahan untuk melakukan komparasi dengan hasil wawancara.

6. Observasi langsung

Observasi dilakukan pertama terhadap seluruh aktivitas pengawasan, yang dilakukan para pejabat di Dinas Pendidikan, kemudian setelah observasi yang bersifat keseluruhan ini diperoleh data-data yang bersifat umum maka peneliti akan lebih memfokuskan observasi pada kegiatan-kegiatan yang langsung terkait dengan fokus penelitian. Kemudian data hasil observasi dikomparasikan dengan studi dokumentasi, sebagai upaya untuk melihat konsistensi serta kesinambungan informasi yang diperoleh, sehingga layak dan dapat benar-benar menunjukkan fenomena yang sebenarnya.

7. Pengolahan data

Berdasarkan penulisan kembali baik dari alat rekam maupun dari alat tulis, peneliti mengkategorisasi dan mengklarifikasi data. Pengolahan


(48)

demikian dilakukan tidak secara simultan saat seluruh pendapat dari responden sudah terkumpul, tapi akan dilakukan setahap demi setahap, seiring dengan muncul dan berkembangnya masalah baru. Amat dimungkinkan subjek penelitian tidak mendapatkan materi wawancara yang sama. Hal ini berkaitan dengan pedalaman objek materi dari penelitian itu sendiri.

Tahap-tahap pelaksanaan penelitian di lapangan, secara kronologis dikemukakan sebagaimana tersaji pada gambar 3.3 berikut ini:

Gambar 3.3. Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian Tahap I Pra lapangan Tahap II Studi Deskriptif Implementasi Kebijakan Tahap III Analisis Implementasi Kebijakan Tahap IV Validasi Data Tahap V Laporan Penelitian

Penyusunan Desain Penelitian Studi Penjajakan/pendahuluan Penentuan lokasi penelitian Mengurus izin penelitian Pengumpulan data, observasi,

wawancara, dokumentasi, kepustakaan

Mengadakan koordinasi dengan pihak yang berwenang;

Pengumpulan data awal Penyusunan kerangka model konseptual

Penyusunan program penelitian Pengumpulan data: wawancara, dokumentasi, kepustakaan

Tindakan penelitian

Analisis implementasi kebijakan yang terkumpul melalui observasi,

wawancara, dokumentasi, kepustakaan

- Penyusunan Desain implementasi Kebijakan berdasarkan hasil analisis data peneliti. - Penyusunan Desain implementasi Kebijakan

berdasarkan hasil expert judgement

Laporan penelitian

Kesimpulan dan Rekomendasi

A nali si s D at a


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Merujuk pada hasil temuan dan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya yang berdasar pada fenomena-fenomena esensial di lapangan, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Kondisi Faktual Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009.

Secara faktual kondisi implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan telah diselenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif sejak tahun 2002 yakni sebelum adanya Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif. Saat ini, penyelenggaraan pendidikan inklusif telah tersebar di beberapa kabupaten/kota dengan merintis sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif mulai jenjang TK, SD, SMP hingga SMA/SMK. Hal tersebut telah ditunjukkan dengan data yang diperoleh dari 24 kabupaten/kota, telah terdapat 15 kabupaten/kota yang telah mengimplementasikan pendidikan inklusif, namun masih terdapat 9 kabupaten yang belum melaksanakan sama sekali. Pada dasarnya implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 dapat dikatakan bahwa dalam penyelenggaraanya pendidikan inklusif telah menunjukkan dukungan di provinsi Sulawesi Selatan yang selanjutnya


(50)

ditidak lanjuti oleh para pemangku kebijakan pada di tingkat provinsi yakni Dinas Pendidikan dan Kebudayaan melalui penyusunan dan penulisan petunjuk teknis pendidikan inklusif. Namun hingga saat ini belum ada pelaksana yang menangani pendidikan inklusif secara khusus dan secara professional pada tingkat kabupaten/kota, yakni masih ditangani secara umum oleh pihak Dikdas dan Dikmen sehingga secara prosesnya pengembangan dan pemarataan sekolah inklusif berjalan cenderung lamban dan belum tepat pada sasaran yang diamanahkan dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pemerataan Pendidikan Inklusif. Olehnya itu, kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Daerah yang ada di Sulawesi Selatan.

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Realisasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Upaya Pemerataan Pendidikan Inklusif di Provinsi Sulawesi Selatan.

Realisasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif di provinsi Sulawesi Selatan selain memperoleh dukungan, juga dihadapkan dengan berbagai hambatan, baik dari lingkungan internal maupun eksternal, seperti:

a. Faktor Pendukung

1) Pendidikan inklusif di Sulawesi Selatan telah memperoleh dukungan penuh dari pemerintah pusat baik secara finansial maupun fasilitas.


(51)

2) Adanya Pergub tentang pendidikan inklusif di Sulawesi Selatan sebagai bentuk dukungan dan tindak lanjut dari kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009.

3) Hadirnya kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif telah menuai dukungan positif dari masyarakat Sulawesi Selatan.

b. Faktor Penghambat

1) Kebijakan Pendidikan di kabupaten/kota belum secara menyeluruh mendukung kebijakan provinsi Sulawesi Selatan tentang pendidikan inklusif, yakni belum adanya Perda yang mengatur tentang pendidikan inklusif.

2) Belum ada sistem manajemen informasi yang memadai dalam upaya melakukan koordinasi dan komunikasi sosialisasi pendidikan inklusif antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. 3) Kondisi Wilayah di Sulawesi Selatan yang terdiri dari pegunungan,

pedaratan, dan pesisir pantai menyebabkan akses informasi dan komunikasi cenderung lamban.

4) Belum adanya sumber daya yang menangani secara khusus tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Dinas-dinas Kabupaten/kota.

5) Masih banyak aparat pelaksana yang belum memahami isi, maksud dan tujuan kebijakan pendidikan inklusif dan apa saja yang harus


(52)

dilakukan dalam implementasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009.

6) Belum adanya petunjuk teknis dan desain implementasi kebijakan yang sesuai kebutuhan dan yang sebaiknya dilakukan di tingkat kabupaten/kota yang menunjang implementasi pendidikan inklusif.

Implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif dalam penyelenggaraannya telah dilakukan berbagai sosialisasi dan koordinasi kepada seluruh pihak-pihak terkait namun hal tersebut belum berjalan dengan efektif dan efisien dikarenakan belum ada pemangku kebijakan yang menangani secara khusus terkait pendidikan inklusif di dinas-dinas terkait di kabupaten/kota. Pihak pemerintahpun telah menyiapkan berbagai sumber daya manusia dan sumber daya material sebagai pendukung dalam menangani implementasi kebijakan pendidikan inklusif. Secara keseluruhan telah dibangun upaya-upaya formal maupun informal dalam satu kesatuan struktur dan budaya birokrasi. Selain itu faktor sikap pelaksana dan dukungan masyarakat juga menjadi modal utama dalam upaya pemerataan pendidikan inklusif, meskipun secara umum para aktor dan individu/kelompok sasaran yang ada belum memahami secara umum mengenai isi dan tujuan dari kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pemerataan Pendidikan Inklusif namun mereka telah menunjukkan sikap penerimaan dan dukungan dalam implementasinya. Hal ini dianggap dapat


(53)

memberikan sebuah dampak positif karena berkaitan dengan pelayanan pendidikan bagi seluruh anak di daerahnya masing-masing.

3. Desain Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Sebagai Upaya Pemerataan Pendidikan Inklusif Di Provinsi Sulawesi Selatan.

Desain implementasi Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pemerataan Pendidikan Inklusif di Sulawesi Selatan dirangkai dengan memperhatikan berbagai variabel. Variabel yang paling krusial adalah aktivitas pendidikan pendidikan inklusif dan komunikasi antar organisasi yang harus mengintergrasikan perpaduan sinergis diantara 5 (lima) aktivitas kebijakan, yaitu (a) Mendorong penyusunan dan pengesahan Perda di setiap kabupaten/kota, (b) Penyusunan operasional teknis penyelenggaraan pendidikan inklusif berdasar pada kondisi wilayah, (c) Optimalisasi dan pembentukan tim koordinasi pendidikan inklusif sebagai pelaksana tugas yang bekerja secara efektif dan efisien. (d) Penguatan sistem teknologi informasi dan pemetaan pendidikan inklusif. (e) Penerimaan terhadap ABK dilingkungan terdekat dengan sekolah yang ada disetiap desa/kecamatan. Kemudian untuk melihat hasil kinerja pemerataan pendidikan inklusif dari aktivitas implementasi yang ada maka hal-hal atau variabel lain harus diperhatikan adalah ukuran dan tujuan pemerataan pendidikan inklusif, karakteristik badan pelaksana, sikap aparat pelaksana, sumber daya, kondisi pendidikan inklusif, baik dari sosial, ekonomi, politik maupun kultural kewilayahan. Keseluruhan dari variabel desain implementasi harus terpadu secara sinergis untuk


(54)

memberikan hasil yang maksimal dalam mencapai tujuan yang diharapkan dalam implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 sebagai wujud pemerataan pendidikan inklusif.

4. Hasil Expert Judgement Terhadap Desain Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Sebagai Upaya Pemeratan Pendidikan Inklusif Di Provinsi Sulawesi Selatan.

Expert judgement terhadap desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan yang secara umum tentunya memberikan dampak positif terhadap penyempurnaan desain implementasi kebijakan pendidikan inklusif yang telah disusun sebelumnya. Meskipun tidak memberikan perubahan secara siginifikan secara esensi maupun redaksi variabel dan point-point dari desain implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan yang telah disusun sebelumnya namun penilaian ahli dapat memberikan kejelasan mengenai hal-hal yang akan dilakukan dalam upaya mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan.

B. Rekomendasi

Berdasarkan penelitian ini ditemukan berbagai permasalahan yang tentunya perlu dilakukan langkah antisipasi untuk mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam implementasi kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif dan sebagai upaya


(1)

Fachri Mazhud, 2013

Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Di Provinsi Sulawesi Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pemetaan pendidikan inklusif. (e) Penerimaan terhadap ABK dilingkungan terdekat dengan sekolah yang ada disetiap desa/kecamatan.

Desain implementasi pemerataan pendidikan inklusif tersebut, dalam tataran implementasinya diterapkan pada setiap kabupaten/kota dengan melibatkan seluruh kecamatan dan desa yang ada pada masing-masing wilayah, hal itu diperoleh sebagai dasar informasi bagi perencana di tingkat kabupaten/kota dan provinsi untuk menghitung keberadaan dan kebutuhan komponen-komponen yang ada dan dapat dijadikan acuan dalam pembagian alokasi sumber daya pada masing-masing wilayah, termasuk di dalamnya kebutuhan khusus untuk mengakomodasi karakteristik kultural wilayah yang secara spesifik memerlukan penganganan secara khusus pula.

Pemerintah selaku pengemban kebijakan diharapkan mampu memperhatikan kinerja pemerataan pendidikan inklusif dengan menyediakan sumber daya professional di setiap dinas-dinas pendidikan kabupaten/kota dan dinas-dinas pendidikan pada tingkat kecamatan sehingga memungkinkan penanganan pendidikan inklusif yang optimal karena hal tersebut didukung oleh pihak-pihak yang sesuai dengan kualifikasinya di bidang pendidian inklusif. Pemerintahpun harus memperhatikan kondisi pendidikan inklusif dengan melihat secara khusus terkait kondisi sosial, ekonomi, politik, kultural kewilayahan, kurikulum pembelajaran yang fleksibel, serta dapat memberikan aksesibilitas yang


(2)

memadai dan memungkinkan terlaksananya lingkungan pendidikan yang kondusif.

2. Belum adanya sumber daya yang menangani secara khusus tentang pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Dinas-dinas Kabupaten/kota maka disarankan agar membentuk badan-badan pelaksana kebijakan yang bekerja secara professional dalam mengembangkan dan mengimplementasikan pendidikan inklusif.

3. Tidak adanya kebijakan di tingkat kabupaten/kota yang mendukung kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, olehnya itu disarankan agar menyusun Perda tentang pendidikan inklusif sehingga menjadi pedoman bagi para praktisi di lapangan dalam implementasi kebijakan pendidikan inklusif di daerahnya masing.


(3)

Fachri Mazhud, 2013

Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Di Provinsi Sulawesi Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J. E. (1966) . Cases in Public Making. New York: Preager Publisher.

Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and Participation in School, London: CSIE.

BPPKB. (2011). Data Statistik Gender Tahun 2011. (online). http://bppkbsulsel.files.wordpress.com. Diakses 21 Mei 2013

BPS. (2011). Survei Angkatan Kerja Nasional. Makassar: Pusdatinaker Danim, S. (1997). Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Depdikbud. (2012). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Sulawesi Selatan. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Selatan Depdiknas. (2009). Materi Pelatihan KTSP 2009. Jakarta: Direktorat Pembinaan

Sekolah Luar Biasa. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.

Dunn, W, N. (2004). Public Policy Analysis. An Introduction, (Third Edition), Prentice Hall Inc. Englewood Clifts New Jersey.

Dye, T, R. (1995). (Understanding of Public Policy. Penerjemah: Muhadjir Darwin. Jakarta: Hanindita Graha Widya.

Edwards III, G, C. (1980). Implementing Public Policy. Congessional Quarterly Press. Washington.

Echols John, M. & Shadily Hassan. (1996). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Fattah, N. (2007). Analisis Kebijakan Dan Pengelolaan Pendidikan Dasar. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Pendidikan Indonesia.

Islamy, I. (1998). Kebijakan Pubik. Jakarta: Karunika.

---, (2000). Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Kemdikbud. (2012). Sarana Pendidikan di Sulawesi Selatan. Jakarta: Data Referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Komara, Moeslihat. (2008). Implementasi Kebijakan Akselerasi Wajib Belajar Sebagai Upaya Optimalisasi Perluasan dan Pemerataan Pendidikan Dasar (Studi


(4)

Evaluasi Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Berbasis Kultural Kewilayahan di Kabupaten Subang). Bandung: Disertasi SPs UPI

Lincoln, Y. S & Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills. CA: Sage. Miles, MB, dan Huberman A.M. (1984). Qualitative Data Anolysis. Beverly Hills: Sage

Publications.

Moleong, L, J. (2005). Metodelogi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Yosda Karya.

Nasir, Moh. (2009). Metode Penelitian. Cetakan Ketujuh. Bandung: Ghalia Indonesia. Nasution (1992). Metode Research. Bandung: Jemmars.

--- (1998). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Patton, M. Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods. (3rd) Thousand Oaks, CA: Sage.

Perda (2009). Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan: Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 4 dan Tambahan Lembaran daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 246.

Pergub. (2011). Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Di Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Berita Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 Nomor 31.

Permendiknas. (2009). Nomor 70 Tahun 2009. Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Anak Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Khusus. Jakarta: Depdiknas.

Poerwadarminta, W.J.S. (1995). Kamus Umum bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahardjo, Mudjia. 2011. Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif. http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/materi-kuliah/288-metode-pengumpulan-data-penelitian-kualitatif.html diakses tanggal 20 Juni 2012.

Riyanto, Y. (1996). Metodologi Penelitian Pendidikan: Suatu Tinjauan Dasar. Surabaya: SIC.

RPJMD. (2008). Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 12 tahun 2008. Sulawesi Selatan: BAPPEDA


(5)

Fachri Mazhud, 2013

Implementasi Kebijakan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Di Provinsi Sulawesi Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Singadilaga, D. (2002). Bahan Kuliah dan Diskusi Analisis Kebiiakan Publik; Kebijakan Reformasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Skjorten M. (2003). Menuju Inklusi dan Pengayaan. Artikel dalam Johsen B.H &

Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan kebutuhan Khusus sebuah Pengantar, Bandung: Program Pasca Sarjana UPI Bandung.

Somantri, Manap. (1999). Pengembangan Model Perencanaan Strategis Penuntasan Wajib Belajar dan Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar. (Berdasarkan Hasil Studi Kasus Kewilayahan dan Implementasi Sistem Perencanaan dan Manajemen SLTP di Bengkulu, Jawa Barat dan Ujung Pandang). Bandung: Disertasi PPs IKIP Bandung.

Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basic of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques (1st ed.). Newbury Park. CA: Sage

Sudjana, D. (2007). Sistem dan Manajemen Pelatihan Teori dan Aplikasi. Bandung: Penerbit Falah.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sunanto J, (2004). Konsep Pendidikan Untuk Semua, Bandung, Makalah tidak diterbitkan Jurusan PLB UPI Bandung.

Suradinata (1998). Administrasi Lingkungan dan Ekologi Pemerintahan Dalam Pembangunan. Bandung: Ramadhan.

Surakhmad, W. (1982). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung: Tarsito.

Syafaruddin (2008). Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan menuju Organisasi Sekolah yang Efektif. Jakarta: Rineka Cipta. Thoha, Miftah. (1997). Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo.

Tim PKP3B. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Beserta penjelasannya. Bandung: Citra Umbara.

Universitas Pendidikan Indonesia. 2011. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI

UNESCO, (1999), The Journey to Inclusive Schools, Published By Inclussion Internasional.


(6)

Wahab, S, A. (2004). Analisa Kebijaksanaan dan Formulasi Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Winardi, J. (1993). Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang Manajemen. Bandung: Mandar Maju.