MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK TARI BAMBU YANG DISERTAI DENGAN LKS PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP.

(1)

DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR DIAGRAM ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Hipotesis Penelitian ... 14

F. Variabel Penelitian ... 15

G. Definisi Operasional ... 15

BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Kooperatif ... 18

B. Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu ... 22

C. Pengertian Pendekatan Pemecahan Masalah ... 26

D. Penalaran Matematis ... 28

E. Komunikasi Matematis ... 30

F. Pembelajaran Konvensional ... 33


(2)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian ... 35

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

C. Instrumen Penelitian ... 37

D. Teknik Pengumpulan Data ... 47

E. Prosedur Penelitian ... 48

F. Pengolahan Data Penelitian ... 49

G. Waktu Penelitian ... 55

H. Prosedur Penelitian ... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 57

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97

LAMPIRAN LAMPIRAN A ... 103

LAMPIRAN B ... 199

LAMPIRAN C ... 220

LAMPIRAN D ... 231


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

2.1 Tahap-Tahap Model Pembelajaran Kooperatif ... 19

2.2 Langkah-langkah Penerapan Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu ………. …... 24

2.3 Komponen Penalaran ……… 29

3.1 Pemberian Skor Soal Penalaran Matematis ... 38

3.2 Pemberian Skor Soal KomunikasiMatematis ... 39

3.3 Nilai Koefisien Korelasi Validitas dan Interprestasi ... 40

3.4 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 40

3.5 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 41

3.6 Interpretasi Koefisien Korelasi Reliabilitas ... 42

3.7 Uji Reliabilitas ... 42

3.8 Koefisien Daya Pembeda dan Interprestasi ... 43

3.9 Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 43

3.10 Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis .... 43

3.11 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 44

3.12 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 45 3.13 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 45 3.14 Rekapitulasi Analisis hasil Ujicoba Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 45 3.15 Rekapitulasi Analisis hasil Ujicoba Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 46 3.16 Klasifikasi Gain (g) ... 50

3.17 Jadwal Kegiatan Penilitian ... 55

4.1 Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis ... 58

4.2 Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Penalaran Matematis ... 61


(4)

4.4 Uji Mann-Whitney Rerata Pretes Kemampuan Penalaran

Matematis ... 63

4.5 Uji Mann-Whitney Rerata Pretes Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 64

4.6 Statistik Deskriptif Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 66

4.7 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 67

4.8 Uji Homogenitas Variansi Data Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 67

4.9 Uji Perbedaan Rerata Data Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis ... 68

4.10 Statistik Deskriptif Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 70

4.11 Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 71

4.12 Uji Mann-Whitney Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ... 72

4.13 Kualifikasi Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa ... 73

4.14 Hasil Uji Korelasi Penalaran dan Komunikasi Matematika Siswa ... 74

4.15 Distribusi Sikap Siswa terhadap Matematika ... 76

4.16 Uji-t Satu sampel Data Sikap Siswa terhadap Matematika ... 77

4.17 Dsitribusi Sikap Siswa terhadap Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu yang disertai dengan LKS Pemecahan Masalah ... 78

4.18 Uji-t Satu sampel Data Sikap Siswa terhadap Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu yang disertai LKS Pemecahan masalah ... 79

4.19 Distribusi Sikap Siswa terhadap Soal Penalaran dan Komunikasi matematis ... 80


(5)

4.20 Uji-t Satu sampel Data Sikap Siswa terhadap Soal Penalaran dan

Komunikasi matematis ... 81 4.21 Hasil Pengamatan Aktivitas Guru selama Pembelajaran dengan

Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari

Bambu yang disertai dengan LKS Pemecahan Masalah ... 82 4.22 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa selama Pembelajaran dengan

Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari


(6)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Hal


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

2.1 Posisi kelompok dan cara berpindah kelompok pada

penerapan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu ... 23 2.2 Siswa berdiskusi di kelompok masing-masing ... 23 2.3 Kelompok A bergabung dengan kelompok B dan kelompok C


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dengan adanya peningkatan sumber daya manusia diharapkan siswa Indonesia dapat bersaing di tingkat Internasional. Berhubungan dengan hal itu, pendidikan memiliki peranan yang cukup besar karena kualitas sumber daya manusia dapat dikembangkan melalui pendidikan. Sumber daya manusia yang diperlukan antara lain memiliki kemampuan berpikir kritis, logis, dan kreatif. Cara berpikir tersebut dapat dikembangkan melalui mata pelajaran matematika (Depdiknas, 2006).

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 1989)

mengungkapkan bahwa belajar dan menggunakan matematika adalah aspek yang penting dari keseluruhan kurikulum sekolah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila matematika merupakan mata pelajaran yang terdapat dalam setiap jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Adapun tujuan pembelajaran matematika di SMP yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu agar siswa memiliki kemampuan untuk: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,


(9)

atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006).

Penjabaran KTSP di sekolah meliputi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar matematika yang merupakan landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Selain itu juga untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram dan media lain. Kemampuan-kemampuan tersebut tersimpul dalam kemampuan matematis.

Selain kemampuan matematis, kemahiran matematis juga diharapkan dapat tercapai dalam pembelajaran matematika, yang diharapkan penerapannya dimulai dari SD dan MI sampai SMA dan MA, adalah sebagai berikut: (1) Dapat mengaplikasikan pengetahuan – pengetahuan yang telah di peroleh sebelumnya dalam mencari pemecahan masalah terhadap masalah yang belum pernah diperoleh sebelumnya; (2) Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau


(10)

masalah; (3) Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan ide, gagasan atau pernyataan matematika; (4) Menunjukkan kemampuan strategi dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah.

Dari tujuan serta kecakapan atau kemahiran matematika di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran matematika sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa dan sebagai ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru matematika di salah satu SMPN Pekanbaru sebagian besar siswanya mempunyai kemampuan rendah dalam bidang studi matematika. Hal ini dilihat dari adanya masalah - masalah sebagai berikut: (1) Terhadap pertanyaan yang guru ajukan berkaitan dengan materi pelajaran sebelumnya atau materi yang telah diajarkan yang ada hubungannya dengan materi yang akan diajarkan ternyata kebanyakan siswa tidak tahu dan tidak mengerti materi yang mana yang ada hubungannya dengan materi yang akan dipelajari; (2) Siswa jarang bertanya karena belum mampu membuat pertanyaan tentang matematika yang dipelajari; (3) Siswa jarang memberikan tanggapan karena belum mampu menjelaskan ide-ide matematika dengan baik; (4) Masih banyak siswa yang tidak mampu membuat kesimpulan dari materi yang dipelajari; (5) Ada siswa yang mampu menyelesaikan soal


(11)

matematika tetapi tidak mengerti apa yang dikerjakannya dan kurang memahami apa yang terkandung di dalamnya; dan (6) Siswa sering terkendala dalam menjawab soal dalam bentuk kasus atau pemecahan masalah.

Dari penjelasan di atas dapat diduga bahwa siswa pada SMPN di Pekanbaru mempunyai kemampuan penalaran dan komunikasi matematis yang rendah. Hal ini didukung oleh studi lain yang dilakukan Rohaeti (2003) dan Wihatma (2004) bahwa rata-rata kemampuan komunikasi dan mengkomunikasikan ide-ide matematika siswa berada pada kualifikasi kurang.

Salah satu alasan ketidakberhasilan siswa dalam mata pelajaran matematika adalah karena siswa tidak mampu menggunakan nalarnya secara baik dalam menyelesaikan persoalan matematika. Wahyudin (1999: 191-192) mengemukakan bahwa “salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika yaitu siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan.”

Menurut hasil survey IMSTEP-JICA (2000), salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman siswa dalam proses pembelajaran matematika guru selalu berkonsentrasi pada hal-hal yang prosedural dan mekanistik seperti pembelajaran berpusat pada guru, konsep matematika disampaikan secara informatif, dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam. Akibatnya kemampuan penalaran siswa tidak berkembang sebagaimana mestinya.


(12)

Selain penalaran, kompetensi matematis lain yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan komunikasi. Komunikasi baik lisan maupun tulisan membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika dan dapat memecahkan masalah dengan baik. Pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas, siswa melakukan kegiatan berkomunikasi ketika belajar matematika dan siswa belajar berkomunikasi secara matematis. Misalnya pada saat siswa berdiskusi dalam belajar matematika, siswa akan saling bertanya atau menjawab pertanyaan dengan mengemukakan penjelasan tentang ide, situasi, atau relasi matematis secara lisan maupun tulisan, dan menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa simbol, ide, atau model matematika. Menurut Polla (1999) secara umum mutu proses pembelajaran matematika dianggap rendah, salah satu penyebabnya adalah aspek dari komunikasi belum ditekankan. Lim dan Pugalee (2005: 1) juga menyatakan bahwa, bahasa (komunikasi) merupakan komponen penting dalam pemahaman konsep matematika siswa. Menurut Lindquist dan Elliott (1996: 3), komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan mengakses matematika. Sebagai konsekuensi, para guru harus melakukan beberapa usaha untuk menerapkan aspek komunikasi dalam pembelajaran matematika. Ada tiga faktor utama yang secara langsung dilibatkan dalam proses pembelajaran matematika di sekolah, yaitu: para siswa, kurikulum, dan guru.

Pada proses pembelajaran matematika, kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, di mana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan


(13)

bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika (Within, 1992), hal yang sama juga diungkapkan oleh Pimm (1996) dalam penelitiannya bahwa anak-anak yang diberikan kesempatan untuk bekerja secara kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan kemajuan, di mana mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain, mendiskusikannya bersama dan mengangkat ide tersebut sebagai ide kelompok mereka, bahkan mereka mampu menyajikan data dalam bentuk diagram batang secara vertikal maupun horizontal. Budiono (2000) mengatakan, komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus diupayakan peningkatannya sebagaimana kemampuan dasar yang lainnya, seperti kemampuan bernalar dan pemecahan masalah.

Masalah-masalah yang ditemukan di sekolah khususnya pada pembelajaran matematika SMP, merupakan masalah yang berhubungan dengan kemampuan penalaran, komunikasi dan pemecahan masalah. Oleh sebab itu, penulis mencoba mengusulkan suatu model pembelajaran baru yaitu model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah. Hal ini didasari, karena pada langkah-langkah model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu banyak melibatkan siswa ke dalam diskusi kelompok, sehingga siswa dapat aktif dan mampu berkomunikasi dengan sesamanya dalam menyelesaikan soal-soal yang terdapat di dalam LKS. Salah satu kesulitan yang selama ini dialami siswa dalam memecahkan soal-soal yang berorientasi pada pemecahan masalah atau studi kasus dapat terbantu dengan seringnya mereka berdiskusi. Dengan kata lain, tahapan pada model pembelajaran


(14)

teknik tari bambu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dari kelompok lain, sehingga soal-soal yang berorientasi pada pemecahan masalah atau studi kasus dapat terjawab, oleh sebab itu LKS yang digunakan dalam proses pembelajaran ini adalah LKS pemecahan masalah.

Pengkombinasian model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah juga didasari berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Anggi (2009), dalam penelitian tersebut diperoleh beberapa saran, salah satunya yaitu dalam pembuatan soal-soal LKS, sebaiknya soal dibuat dalam jumlah yang banyak atau bisa juga dalam jumlah yang sedikit, tetapi bobot soal harus tinggi. Selain itu, yang mendasari pengkombinasian model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah adalah pemanfaatan dari langkah-langkah yang terdapat di dalam model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu, dengan banyaknya kesempatan siswa untuk berdiskusi dengan kelompok-kelompok lain, maka guru dapat membuat soal-soal yang dapat merangsang siswa berpikir dalam memecahkan suatu permasalahan. Sehingga penggunaan LKS pemecahan masalah sangat cocok dikombinasikan dengan model kooperatif teknik tari bambu.

Dalam pembelajaran kooperatif, para siswa terlibat konflik-konflik verbal yang berkenaan dengan pendapat anggota-anggota kelompoknya. Para siswa akan terbiasa dan merasa senang meskipun ada konflik-konflik verbal itu, karena mereka menyadari konflik semacam itu akan dapat meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang dihadapi atau didiskusikan (Suherman, 2001: 221).


(15)

Pembelajaran kooperatif mengacu pada pembelajaran yang siswa-siswanya bekerja sama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Dalam perkembangannya, pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa teknik misalnya teknik tari bambu, mencari pasangan (Make a match), kepala bernomor

(Numbered - Heads - Together), dua tinggal dua tamu (Two Stay - Two Stray) dan

lain sebagainya. Banyak penelitian menunjukkan, bahwa penerapan teknik dalam pembelajaran kooperatif dapat memberikan efek yang positif terhadap nilai akademik siswa dan menimbulkan rasa kesetiakawanan yang tinggi antar siswa.

Kooperatif teknik tari bambu pertama kali dikembangkan oleh Anita Lie yang dimodifikasi dari teknik lingkaran kecil lingkaran besar yang dikembangkan oleh Spencer Kagan. Pada model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu setiap anggota kelompok berdiskusi dalam kelompok masing-masing untuk menyelesaikan LKS yang diberikan guru, dua kelompok yang berpapasan dari kelompok yang saling berhadapan dan setiap kelompok yang berpasangan saling tukar informasi. Kemudian, salah satu kelompok bergeser atau berpindah ke kelompok lain dijajarannya searah jarum jam. Dengan cara ini masing-masing kelompok mendapat pasangan yang baru untuk berdiskusi dan bertukar informasi. Setiap anggota kelompok kembali ke kelompok semula untuk mengambil keputusan akhir dari jawaban LKS.

Pembelajaran kooperatif teknik tari bambu memiliki unsur positif yang terkait dengan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis dapat terlihat pada saat siswa berdiskusi dengan mengemukakan ide kepada teman sekelompok maupun dengan teman dari


(16)

kelompok lainnya dan berusaha agar semua anggota kelompok mengerti dan siap menghadapi presentasi. Menurut Kramarski (2000: 168) menyatakan bahwa, aktivitas siswa dalam kelompok kooperatif memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan komunikasi matematik melalui sejumlah pertanyaan metakognitif yang terfokus pada: (1) sifat permasalahan; (2) membangun pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru; (3) penggunaan strategi yang tepat dalam memecahkan suatu permasalahan. Sedangkan kemampuan penalaran dapat terlihat pada saat diskusi kelompok yaitu siswa bepikir mengemukakan ide dan menarik kesimpulan yaitu menyelesaian soal-soal dengan mengemukakan alasan.

Pendekatan pemecahan masalah adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar (Ibrahim dan Nur, 2002).

Ruseffendi (2006) mengajukan 5 langkah dalam pemecahan masalah yang harus dilakukan, yakni: (1) menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas; (2) menyatakan masalah dalam bentuk operasional (dapat dipecahkan); (3) menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah itu; (4) mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya (pengumpulan data, pengolahan data, dan lain-lain), hasilnya mungkin lebih dari sebuah; (5) memeriksa kembali (mengecek) apakah hasil yang diperoleh itu benar, mungkin memilih pula pemecahan yang paling baik.


(17)

Semakin berbeda jenis masalah yang dihadapi oleh siswa dan semakin besar keinginannya untuk memikirkan pemecahannya, maka siswa tersebut akan semakin besar kesempatannya untuk mampu menghadapi soal-soal kehidupan nyata (Slavin, 1991: 25). Siswa pun akan lebih mampu mentransfer ketrampilan dan pengetahuan mereka pada situasi yang baru. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa pemecahan masalah dapat menumbuhkan kreatifitas siswa. Kreativitas yang muncul pada diri siswa meliputi kreatifitas siswa untuk mengaitkan satu topik dengan topik lainnya, mengaitkannya dengan mata pelajaran lainnya, dan dapat mengaitkannya dengan kehidupan nyata.

Karakteristik khusus dalam suatu pendekatan pemecahan masalah adalah (Taplin, 2004):

a. Interaksi antara siswa/siswa dan pengajar/siswa; b. Dialog matematis dan konsensus antar siswa;

c. Pengajar menyediakan informasi secukupnya untuk menetapkan latar belakang atau tujuan dari masalah, dan siswa mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba untuk mengkonstruksi satu atau lebih proses solusi;

d. Pengajar menerima jawab yang salah atau benar, dalam cara yang non-evaluatif;

e. Pengajar menuntun, membimbing, bertanya, dan berbagi dengan siswa dalam proses pemecahan masalah;

f. Pengajar menyadari bilamana mengintervensi dan menarik diri, dan membiarkan siswa mencari caranya sendiri;


(18)

g. Pendekatan ini dapat digunakan untuk mendorong siswa membuat generalisasi tentang aturan dan konsep, suatu proses yang sentral dalam matematika.

NCTM (2000) merekomendasikan pentingnya para siswa mengalami proses matematika pemecahan masalah, penalaran matematis, koneksi matematis, komunikasi matematis, dan representasi dalam pembelajaran matematika.

Kombinasi antara model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah sangat cocok dengan permasalahan di atas, dimana dengan seringnya siswa berdiskusi dengan kelompok lain, diharapkan kecakapan siswa dalam bernalar dan berkomunikasi menjadi meningkat, serta kesulitan siswa dalam menjawab soal-soal yang berorientasi pada pemecahan masalah atau studi kasus dapat terpecahkan, sehingga kombinasi ini sangat cocok dalam mengatasi permasalahan di SMPN Pekanbaru.

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan studi yang lebih

dalam tentang kemampuan penalaran dan komunikasi matematis dengan judul ”Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu yang disertai dengan

LKS Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas dan agar lebih terpusat permasalahan yang akan dibahas maka dapat dibuat suatu rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu: ”Apakah terdapat perbedaan peningkatan


(19)

kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan pembelajaran konvensional?”.

Kemudian akan lebih difokuskan rumusan masalah itu yang dapat diuraikan dalam beberapa bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2) Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah lebih baik dibandingkan dengan siswa mendapat melalui pembelajaran konvensional?

3) Apakah ada hubungan antara kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa?

4) Bagaimana sikap siswa terhadap kegiatan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan?


(20)

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang pembelajarannya dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah dibanding siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah dibanding siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

3. Menelaah keterkaitan antara kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis siswa;

4. Mendeskripsikan aktivitas siswa selama pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah dalam meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa.

5. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah dalam meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa.


(21)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas pembelajaran matematika. Secara khusus, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, diantaranya:

1. Bagi guru

Melalui penelitian ini, diharapkan semakin menambah pengetahuan dalam pembelajaran matematika, sehingga dapat menjadi alternatif pembelajaran yang dapat diterapkan oleh para guru dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa dalam matematika.

2. Bagi siswa

Melalui penelitian ini, diharapkan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah, dapat mengoptimalkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa.

3. Bagi peneliti

Melalui penelitian ini dapat menjadi sarana bagi pengembangan diri peneliti dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian yang sejenis. Sekaligus sebagai langkah awal dalam mengembangkan proses belajar mengajar yang tepat di kelas.

E.Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, tujuan penelitian, dan kajian teoretis, maka rumusan hipotesis penelitiannya adalah:


(22)

1. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan cara konvensional;

2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan cara konvensional;

3. Terdapat hubungan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan komunikasi matematis siswa.

F. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri atas variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol, sedangkan variabel terikat adalah kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis.

G.Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang terdapat pada rumusan masalah dalam penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut.


(23)

1. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran dengan penekanan pada aspek sosial dalam belajar dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa dengan struktur kelompok-kelompok yang heterogen dalam mencapai tujuan (Slavin, 1995).

2. Pembelajaran kooperatif teknik tari bambu terdiri dari empat komponen pokok, yaitu: 1) Separuh kelas duduk berjajar. Kemungkinan lain adalah siswa belajar disela-sela deretan bangku; 2) Separuh kelas lainnya belajar dengan menghadap jajaran yang pertama; 3) Dua siswa yang berpasangan dari kedua jajaran berbagi informasi; 4) Kemudian, salah satu kelompok bergeser atau berpindah ke kelompok lainnya di jajarannya. Dengan cara ini, masing-masing kelompok mendapat pasangan yang baru untuk berbagi. Pergeseran bisa dilakukan terus sesuai dengan kebutuhan.

3. Penalaran matematis adalah kemampuan dalam menarik kesimpulan logis melalui proses berpikir yang dilakukan, baik dari yang bersifat umum ke khusus atau sebaliknya. Dalam hal ini siswa dapat menyelesaikan soal-soal matematika dengan berdasarkan argumen logis. Adapaun indikator penalaran dalam penelitian ini adalah 1) Kemampuan memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta dan hubungan dalam menyelesaikan soal; 2) Kemampuan menarik kesimpulan logis dengan memberikan penjelasan berdasarkan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan; 3) Kemampuan menganalogi-kan antar topik matematika dalam pokok bahasan yang berbeda; 4) Kemampuan menarik kesimpulan dari pola-pola yang diberikan.


(24)

4. Komunikasi matematis adalah kemampuan berkomunikasi yang meliputi kegiatan penggunaan keahlian membaca, menulis menyimak, menelaah, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide, simbol, istilah, serta informasi matematika yang diamati melalui proses mendengar, mempresentasi, dan diskusi. Adapaun indikator komunikasi dalam penelitian ini adalah 1) Kemampuan memberikan penjelasan secara sistematis dan tersusun secara logis; 2) Kemampuan menjelaskan suatu persoalan secara tertulis dalam bentuk gambar.

5. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran ekspositori (secara kelompok), guru menjelaskan materi pelajaran, kemudian siswa mengerjakan latihan.


(25)

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki peningkatan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah terhadap kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Peningkatan pembelajaran dilihat dengan cara membandingkan kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi pembelajaran dengan kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah, sedangkan kelas kontrol diberi pembelajaran konvensional.

Pemilihan sampel penelitian dilakukan berdasarkan data yang ditawarkan oleh pihak sekolah, sampel yang ditawarkan oleh pihak sekolah berdasarkan atas: nilai kemampuan siswa dan adanya pembagian guru (di mana setiap dua kelas di ajarkan oleh satu orang guru) Artinya, pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dinyatakan bahwa bentuk penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Desain penelitian berbentuk Pre-test Post-test

Control Group Design. Menurut (Ruseffendi, 2003) desain ini digambarkan

seperti berikut.

O X O O O


(26)

O = Pretes dan Postes (tes kemampuan penalaran dan komunikasi matematis) X = Perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang

disertai dengan LKS pemecahan masalah.

Pada disain ini, setiap kelompok masing-masing diberi Pretes (O) dan setelah diberi perlakuan (X) diukur dengan Postes (O). Hal ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa sebelum dan sesudah pembelajaran.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Subjek populasi penelitian adalah kemampuan penalaran dan komunikasi matematis seluruh siswa pada SMP Negeri 25 Pekanbaru Propinsi Riau yang rencana penelitiannya akan dilaksanakan pada awal semester II (genap). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 25 Pekanbaru di Propinsi Riau. Sampel penelitian dipilih secara purposive. Purposive Sampling

merupakan penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005: 54). Informasi awal dalam pemilihan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan dari guru bidang studi matematika sebelumnya. Agar penentuan sampel tidak bersifat subjektif, maka pertimbangan dalam menentukan sampel juga didasarkan pada perolehan nilai matematika siswa pada semester sebelumnya.


(27)

a. Berdasarkan hasil (UN) siswa pada pelajaran matematika siswa SMP Negeri 25 Pekanbaru ini berada pada peringkat menengah di Kota Pekanbaru dan sekolah tempat pelaksanaan penelitian ini memungkinkan untuk dilakukan pengujian strategi pembelajaran yang baru.

b. Dipilih kelas VIII, dengan asumsi bahwa mereka telah beradaptasi pada proses pembelajaran di sekolah dan tidak mengganggu program sekolah untuk menghadapi ujian nasional. Penelitian ini berfokus pada kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa SMP melalui pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah.

c. Siswa SMP kelas VII tidak dijadikan subjek penelitian, karena siswa kelas VII baru mengalami masa transisi dari SD dan mereka masih terbiasa dengan gaya belajar di SD sehingga lebih sulit diarahkan dan khawatir penelitian ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

d. Siswa kelas IX tidak dijadikan subjek penelitian, karena siswa kelas IX sudah dipersiapkan untuk menghadapi ujian nasional (UN) dan apabila dijadikan subjek penelitian dikhawatirkan akan mengganggu kegiatan yang telah dijadwalkan oleh pihak sekolah.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini yaitu tes dan non-tes. Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari tes kemampuan penalaran matematis dan


(28)

skala sikap siswa. Uraian selengkapnya dari masing-masing instrumen disajikan sebagai berikut.

1. Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Matematis dan Komunikasi Matematis Tes kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis siswa yang digunakan berbentuk uraian, dengan maksud untuk melihat proses pengerjaan yang dilakukan siswa agar dapat diketahui sejauh mana siswa mampu melakukan penalaran dan komunikasi matematis.

Dalam penyusunan tes, diawali dengan penyusunan kisi-kisi yang mencakup kompetensi dasar, indikator, aspek yang diukur beserta skor penilaiannya dan nomor butir soal. Setelah membuat kisi-kisi soal, dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawabannya dan aturan pemberian skor untuk masing-masing butir soal.

Adapun pemberian skor untuk soal-soal penalaran dan komunikasi mengikuti pedoman dari Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996), Ansari (2004) adalah seperti tabel berikut:

Tabel 3.1 Pemberian Skor Soal Penalaran Matematis

Respon Siswa terhadap Soal Skor

Tidak ada jawaban / menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan / tidak ada yang benar

0

Hanya sebagian aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 1 Hampir semua aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 2 Semua aspek pertanyaan dijawab dengan lengkap / jelas dan benar 3


(29)

0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada jawaban berisi informasi yang terkait dengan soal / masalah.

1 Hanya sedikit dari penjelasan yang benar

Hanya sedikit dari gambar, diagram, atau tabel yang benar

Hanya sedikit dari model matematika yang benar

2 Penjelasan secara matematis masuk akal namun hanya sebagian yang benar

Melukiskan diagram, gambar, atau tabel namun kurang lengkap dan benar

Membuat model matematika dengan benar, namun salah mendapatkan solusi 3 Penjelasan secara

matematis masuk akal dan benar, meskipun tidak tersusun secara logis atau terdapat kesalahan bahasa

Melukiskan diagram, gambar, atau tabel secara lengkap dan benar

Membuat model matematika dengan benar kemudian melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara benar dan lengkap

4 Penjelasan secara matematis masuk akal dan jelas serta tersusun secara logis

- -

Skor maksimal= 4 Skor maksimal= 3 Skor maksimal= 3

Sebelum instrumen tes diujicoba, terlebih dahulu instrumen tersebut dikonsultasikan kepada dua orang dosen pembimbing. Instrumen diperiksa dari segi bahasa dan redaksi, sajian, serta akurasi gambar atau ilustrasi, kemudian soal diujicobakan secara empiris. Tujuan ujicoba empiris ini untuk mengetahui tingkat reliabilitas dan validitas butir soal.

Instrumen tes diujicobakan kepada siswa kelas IX A SMPN 5 Pekanbaru sebanyak 33 orang. Kemudian data hasil tes diolah untuk mengetahui tingkat validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukarannya. Perhitungan tingkat validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal tes tersebut diuraikan sebagai berikut.


(30)

Validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir soal dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir soal tersebut (Sudijono, 2001). Sebuah butir soal dikatakan valid bila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Interpretasi berdasarkan nilai koefisien korelasi validitas butir soal disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.3

Nilai Koefisien Korelasi Validitas dan Interpretasinya Koefisien Korelasi Interpretasi

0,80 1,00 Sangat tinggi

0,60 0,80 Tinggi

0,40 0,60 Cukup

0,20 0,40 Rendah

0,20 Kurang

Sumber : Arikunto (2009)

Data uji coba diolah dengan bantuan Program Anates versi 4.0, sehingga diperoleh nilai koefisien korelasi validitas butir soal. Rangkuman uji validitas tes kemampuan penalaran matematis disajikan pada Tabel 3.4. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.

Tabel 3.4

Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis Nomor Soal Koefisien Korelasi Interpretasi

1 0,670 Tinggi

2 0,615 Tinggi

3 0,624 Tinggi

4 0,587 Cukup

Dari Tabel 3.4, tampak bahwa tiga butir soal tes kemampuan penalaran matematis termasuk katagori tinggi dan satu butir soal tes kemampuan penalaran matematis termasuk katagori cukup dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.


(31)

butir soal terhadap skor totalnya, termasuk kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji validitas ini, keempat butir soal tersebut layak untuk mengukur kemampuan penalaran matematis siswa.

Rangkuman uji validitas tes kemampuan komunikasi matematis disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.5

Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Nomor Soal Koefisien Korelasi Interpretasi

1 0,715 Tinggi

2 0,692 Tinggi

3 0,684 Tinggi

Dari Tabel 3.5, tampak bahwa ketiga butir soal tes kemampuan komunikasi matematis dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Hal ini dapat terlihat dari tingginya koefisien korelasi dari skor masing-masing butir soal terhadap skor totalnya. Berdasarkan hasil uji validitas ini, ketiga butir soal tersebut layak untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa.

b. Analisis Reliabilitas Soal

Reliabilitas tes berhubungan dengan maslah ketetapan hasil tes, suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap (Arikunto, 2010: 86). Reliabilitas sama dengan konsistensi atau keajekan. Suatu instrumen dapat dikatakan mempunyai nilai reliabilitas yang tinggi, apabila tes yang dibuat mempunyai hasil yang konsisten dalam mengukur yang hendak diukur (Sukardi, 2008: 128). Untuk menghitung reliabilitas soal digunakan program Anates versi 4.0.


(32)

alat evaluasi dapat digunakan tolok ukur yang dibuat oleh J.P. Guilford (Suherman, 2003: 139) seperti pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Interpretasi Koefisien Korelasi Reliabilitas Koefisien Korelasi Interpretasi

0,90 ≤ r11≤ 1,00 Reliabilitas sangat tinggi (sangat baik)

0,70 ≤ r11< 0,90 Reliabilitas tinggi 0,40 ≤ r11< 0,70 Reliabilitas sedang 0,20 ≤ r11< 0,40 Reliabilitas rendah

11

r < 0,20 Reliabilitas sangat rendah

Rangkuman perhitungan reliabilitas tes untuk kedua kemampuan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.7 Uji Reliabilitas Tes

No. Kemampuan Interpretasi

1 Penalaran Matematis 0,62 Sedang

2 Komunikasi Matematis 0,61 Sedang

Dari Tabel 3.7, tampak bahwa tes kemampuan penalaran dan tes kemampuan komunikasi memiliki konsistensi reliabilitasnya yang sedang .

c. Daya Pembeda

Daya pembeda sebuah soal adalah kemampuan soal tersebut untuk dapat membedakan antara testee yang berkemampuan tinggi dengan testee yang kemampuannya rendah. Sebuah soal dikatakan memiliki daya pembeda yang baik bila memang siswa yang pandai dapat mengerjakan dengan baik, dan siswa yang kurang tidak dapat mengerjakan dengan baik. Daya pembeda instrumen tes


(33)

interpretasi sebagai berikut.

Tabel 3.8

Koefisien Daya Pembeda dan Interpretasinya Koefisien Daya Pembeda Interpretasi

DP 0,40 Sangat baik

0,30 DP 0,40 Baik

0,20 DP 0,30 Cukup

DP 0,20 Tidak baik

Sumber: Depdiknas (2006)

Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan penalaran matematis disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.9

Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis No. Soal Koefisien Daya Pembeda Interpretasi

1 0,33 Baik

2 0,28 Cukup

3 0,28 Cukup

4 0,33 Baik

Dari Tabel 3.9, dapat dilihat bahwa keempat butir soal kemampuan penalaran matematis dapat dengan baik membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan komunikasi matematis disajikan pada tabel berikut

Tabel 3.10

Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis No. Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0,50 Sangat baik

2 0,41 Sangat baik


(34)

matematis dapat dengan baik membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

d. Analisis Tingkat Kesukaran Soal

Bermutu atau tidaknya butir-butir item pada instrumen dapat diketahui dari derajat kesukaran atau taraf kesulitan yang dimiliki oleh masing-masing butir item tersebut. Menurut Sudijono (2001: 370) butir-butir item tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai butir-butir item yang baik, apabila butir-butir item tersebut tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu mudah. Dengan kata lain, butir-butir item tes baik jika derajat kesukaran item itu adalah sedang atau cukup.

Klasifikasi interpretasikan dengan menggunakan kriteria tingkat kesukaran butir soal yang dikemukakan oleh (Arikunto, 2010: 210) yaitu pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11 Kriteria Tingkat Kesukaran Tingkat Kesukaran Interpretasi 0,00 < TK ≤ 0,30 Sukar 0,31 < TK ≤ 0,70 Sedang 0,71 < TK< 1,00 Mudah

Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal tes kemampuan penalaran matematis dapat dilihat pada tabel berikut.


(35)

No. Soal Koefisien Tingkat

Kesukaran Interpretasi

1 0,50 Sedang

2 0,69 Sedang

3 0,58 Sedang

4 0,58 Sedang

Dari Tabel 3.12, dapat dilihat bahwa keempat soal termasuk baik karena tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah.

Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk tiap butir soal tes kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.13

Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis No. Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 0,58 Sedang

2 0,72 Mudah

3 0,56 Sedang

Dari Tabel 3.13, dapat dilihat bahwa ketiga soal termasuk baik karena tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah, kecuali soal no 2 termasuk kategori mudah. Hal ini tidak berarti bahwa soal yang diberikan memang benar-benar mudah. Rekapitulasi analisis hasil ujicoba tes penalaran dan komunikasi matematis disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.14

Rekapitulasi Analisis Hasil Ujicoba Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis Nomor

Soal Validitas

Daya Pembeda

Tingkat

Kesukaran Reliabilitas

1 Tinggi Baik Sedang

Sedang

2 Tinggi Cukup Sedang

3 Tinggi Cukup Sedang


(36)

Kemampuan Komunikasi Matematis Nomor

Soal Validitas

Daya Pembeda

Tingkat

Kesukaran Reliabilitas

1 Tinggi Sangat baik Sedang

Sedang

2 Tinggi Sangat baik Mudah

3 Tinggi Baik Sedang

Berdasarkan hasil analisis keseluruhan terhadap hasil ujicoba tes kemampuan penalaran dan komunikasi matematis yang dilaksanakan di SMPN 5 Pekanbaru kelasIX A, dapat disimpulkan bahwa soal tes tersebut layak untuk mengukur kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa SMP kelas VIII yang merupakan sampel pada penelitian ini.

Setelah diperoleh hasil ujicoba, instrumen tes dikonsultasikan kembali kepada pembimbing. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki instrumen tes meliputi penegasan kalimat serta kejelasan gambar (grafik).

2. Skala Sikap

Skala sikap digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah diberikan. Pernyataan-pernyataan disusun dalam bentuk pernyataan tertutup tentang pendapat siswa. Model skala sikap yang digunakan adalah model skala sikap Likert.

Tes skala sikap diberikan kepada siswa pada kelompok eksperimen setelah kegitan pembelajaran berakhir yaitu setelah postes. Skala sikap pada penelitian ini terdiri atas 20 butir pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju


(37)

disusun dengan menggabungkan skala yang berarah positif dan negatif, untuk menghindari jawaban siswa yang tidak seimbang. Pemberian skor skala sikap untuk setiap pilihan jawaban berturut-turut 4, 3, 2, 1 untuk pernyataan positif dan sebaliknya pemberian skor 1, 2, 3, 4 untuk pernyataan negatif. (Suherman & Kusumah, 1990: 236).

Untuk mengetahui validitas isi dari angket yang digunakan, peneliti melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing mengenai isi dari angket sehingga angket yang dibuat sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan, dan akan memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan.

Untuk menganalisa respon siswa pada skala sikap yang diberikan, digunakan dua jenis skor respon yang dibandingkan yaitu, skor respon siswa yang diberikan melalui angket dan skor respon netral. Jika skor subjek lebih besar daripada jumlah skor netral, maka subjek tersebut mempunyai sikap positif. Sebaliknya jika skor subjek kurang dari jumlah skor netral maka subjek tersebut memiliki sikap negatif.

D.Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian diperoleh melalui tes dan angket skala sikap. Data yang berkaitan dengan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa diperoleh melalui tes (pretes dan postes). Sedangkan data yang berkaitan dengan sikap siswa dalam pembelajaran matematika dengan pembelajaran kooperatif


(38)

melalui angket skala sikap siswa.

E. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode pembelajaran penemuan terbimbing, sebagai berikut:

1. Tahap I Studi Pendahuluan: 1.1 Identifikasi Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Studi Literatur 2. Tahap II Validasi

2.1 Bahan Ajar

2.2 Pendekatan Pembelajaran 3. Instrumen Penelitian dan Uji Coba

4. Tahap III Pemelihan Responden Penelitian 5. Tahap IV Pretes dan Postes

5.1 Kelas Eksperimen pelaksanaan Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah

5.2 Kelas Kontrol, pelaksanaan pembelajaran konvensional 6. Tahap V Obserasi dan Angket sikap Siswa

7. Tahap VI Pengumpulan data 8. Tahap VII Analisis Data


(39)

Data yang dianalisis adalah hasil tes kemampuan representasi dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa serta hasil skala sikap siswa. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software SPSS 16, dan Microsoft Excell 2007.

1. Pengolahan Data Tes Hasil Tes Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis

Dalam melakukan pengolahan terhadap hasil tes kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa digunakan Microsoft Office Excel dan software

SPSS16. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan analisis deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran umum pencapaian kemampuan penalaran dan komunikasi matematis yang terdiri dari rerata dan simpangan baku. Kemudian dilakukan analisis inferensial terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis dengan uji t.

Kemampuan siswa sebelum diberi pembelajaran dapat dilihat dari hasil pretes, dan kemampuan siswa setelah diberi pembelajaran dapat dilihat dari hasil postes. Peningkatan dalam penelitian ini diperoleh dari selisih antara skor pretes dan postes serta skor ideal kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang dinyatakan dalam skor gain ternormalisasi.

Sebelum data hasil penelitian diolah, terlebih dahulu dipersiapkan beberapa hal, antara lain:

a) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan alternatif jawaban dan rubrik penskoran yang digunakan.


(40)

kontrol.

c) Peningkatan yang terjadi dihitung dengan rumus gain ternormalisasi, yaitu: Gain ternormalisasi (N-gain) =

(Meltzer, 2002).

Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai berikut:

Tabel 3.16 Klasifikasi Gain (g)

Besarnya Gain (g) Interpretasi

0,7 1,0 Tinggi

0,3 0,7 Sedang

0,0 0,3 Rendah

d) Menetapkan tingkat kesalahan atau tingkat signifikansi yaitu 5% ( ! 0,05). Data yang diperoleh dari hasil tes awal dan tes akhir dianalisis untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. Skor yang diperoleh dari hasil tes siswa sebelum dan setelah diberi perlakuan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai dengan LKS pemecahan masalah dianalisis dengan cara membandingkan skor siswa yang diperoleh dari hasil tes siswa sebelum dan setelah diberi perlakuan pembelajaran konvensional. a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data yang menjadi syarat untuk menentukan jenis statistik yang digunakan dalam analisis selanjutnya. Hipotesis yang diuji adalah:


(41)

H1 : data berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

Uji normalitas ini menggunakan statistik Uji yaitu Kolmogorov-Smirnov. Kriteria pengujian, jika nilai signifikansi lebih besar dari maka H0 diterima (Trihendradi, 2009).

b. Uji Homogenitas

Pengujian homogenitas antara dua kelompok data dilakukan untuk mengetahui apakah varians kedua kelompok homogen atau tidak homogen. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : # 12 = # 22 varians antar kelas kontrol dan eksperimen homogen H1 : #12 $# 22 varians antar kelas kontrol dan eksperimen tidak homogen Keterangan:

#%&: varians skor kelompok eksperimen #&&: varians skor kelompok kontrol

Uji statistiknya menggunakan Uji Levene. Kriteria pengujian H0 diterima apabila nilai signifikansi lebih besar dari taraf signifikansi ( ! 0,05) (Trihendradi, 2009).

c. Uji Kesamaan Dua Rerata

Uji kesamaan dua rerata ini digunakan untuk menguji kesamaan antara dua rerata data pretes, yaitu antara data kelas eksperimen dan data kelas kontrol, penalaran dan komunikasi. Hipotesis yang akan diuji adalah:


(42)

H0 : ' ! '

H1 : ' $ '

Keterangan:

' : rerata pretes penalaran atau komunikasi kelompok eksperimen ' : rerata pretes penalaran atau komunikasi kelompok kontrol

Selanjutnya melakukan uji perbedaan dua rerata untuk data skor gain

ternormalisasi pada kedua kelompok tersebut. Berikut ini adalah rumusan hipotesisnya:

Uji sepihak/searah (one-tailed) H0 : ' ! '

H1 : ' ( '

Keterangan:

' : rerata gain ternormalisasi penalaran atau komunikasi kelompok eksperimen ' : rerata gain ternormalisasi penalaran atau komunikasi kelompok kontrol

Jika kedua data berdistribusi normal, maka uji kesamaan dua rerata menggunakan uji statistik parametrik, yaitu uji Independent-Samples T Test. Jika variansi kedua kelompok data homogen, nilai signifikansi yang diperhatikan yaitu nilai pada baris “Equal variances assumed”. Jika variansi kedua kelompok data tidak homogen, nilai signifikansi yang diperhatikan yaitu nilai pada baris “Equal

variances not assumed”. Jika terdapat minimal satu data tidak berdistribusi

normal, maka uji kesamaan dua rerata menggunakan uji statistik nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney U. Alasan pemilihan uji Mann-Whitney U yaitu dua


(43)

penerimaan H0 untuk uji dua pihak yaitu bila nilai signifikansi lebih besar dari 1 2⁄ (Trihendradi, 2009 ; Santoso, 2011)

c. Uji Korelasi

Untuk menguji hipotesis ke-3 digunakan uji korelasi. Uji korelasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau asosiasi antara dua variabel atau lebih yang diamati. Jika data sebaran normal maka perhitungan dilakukan dengan uji korelasi rang Spearman, sedangkan jika sebaran data tidak normal maka perhitungan menggunakan uji statistik non parametrik.

2. Pengolahan Data Skala Sikap

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap siswa terhadap matematika dan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing. Perhitungan skor sikap siswa dilakukan dengan memberikan skor pada setiap jawaban siswa. Menurut Ghozali (2006) dan Sugiyono (2011) skala Likert merupakan skala interval. Berdasarkan hal tersebut, maka operasi hitung berlaku pada data skor sikap.

Untuk menjawab rumusan masalah deskriptif, pertama-tama ditentukan terlebih dahulu skor ideal. Skor ideal adalah skor yang ditetapkan dengan asumsi bahwa setiap siswa pada setiap pernyataan memberi jawaban dengan skor tertinggi. Selanjutnya untuk menjawab rumusan masalah tersebut, dapat dilakukan dengan cara membagi jumlah skor hasil penelitian dengan skor ideal Sugiyono (2011).

Untuk mengetahui apakah sikap positif siswa signifikan atau tidak, maka dilakukan uji hipotesis. Sikap siswa dikatakan positif jika rerata skor sikap siswa


(44)

siswa dinyatakan negatif jika rerata skor sikap kurang dari skor netral. Karena pada skala sikap menggunakan skor 1, 2, 3, dan 4, maka skor netral yang digunakan adalah 2,5 atau 62,5% dari skor ideal per item pernyataan. Adapaun hipotesis uji sepihak yang diuji antara lain:

H0 : ' ! 62,5%

H1 : ' ( 62,5%

Uji hipotesis dilakukan menggunakan uji One-Sample T Test (uji-t satu sampel). Kriteria pengujian adalah terima H0 apabila nilai signifikansi lebih besar dari = 0,05 (Trihendradi, 2009).

3. Pengolahan Data Hasil Observasi

Data hasil observasi yang dianalisis adalah aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Tujuannya adalah untuk membuat refleksi terhadap proses pembelajaran, agar pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik dari pembelajaran sebelumnya dan sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Data yang diperoleh dari observasi merupakan data interval, sehingga pengolahan data hasil observasi dilakukan dengan menghitung persentase jawaban dari observer. Kemudian dihitung persentase rerata masing-masing pernyataan.


(45)

Penelitian dilakukan mulai bulan Januari 2012 sampai dengan April 2012. Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat dalam Tabel 3.17 berikut:

Tabel 3.17

Jadwal Kegiatan Penelitian

No Kegiatan

Bulan

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr 1. Pembuatan Proposal

2. Seminar Proposal 3. Menyusun Instrumen

Penelitian

4. Kunjungan ke Sekolah dan pelaksanaan KBM di kelas Eksperimen 5. Pengumpulan Data 6. Pengolahan Data 7. Penulisan Tesis


(46)

Prosedur penelitian ini dirancang untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian. Selanjutnya prosedur penelitian ini dapat dilihat dalam bentuk diagram berikut:

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian

Angket Skala Sikap

Pengolahan data Postes

Kelas Eksperimen: Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu

yang disertai dengan LKS Pemecahan Masalah Matematis Kelas Kontrol:

Pembelajaran Konvensional

Studi pendahuluan Identifikasi masalah

Penyusunan modul, penyusunan instrumen, validasi, uji coba instrumen

& perbaikan instrumen Penentuan sampel

Pretes

Analisis data

Laporan dan Kesimpulan


(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dikemukakan pada bab IV, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berkut.

1. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai LKS pemecahan masalah lebih baik daripada pembelajaran konvensional, dan berdasarkan kualifikasi peningkatan (gain), kedua kelas berada pada kategori sedang.

2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai LKS pemecahan masalah lebih baik daripada pembelajaran konvensional , dan berdasarkan kualifikasi peningkatan (gain), kedua kelas berada pada kategori sedang.

3. Terdapat korelasi antara kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Tingkat korelasi pada kedua kemampuan tersebut berada pada kategori cukup.

4. Siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai LKS pemecahan masalah memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika.


(48)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang berhubungan dengan penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian ini hanya terbatas pada materi Kubus dan Balok. Diharapkan pada peneliti lainnya untuk mengembangkan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai LKS pemecahan masalah pada materi-materi pelajaran lainnya.

2. Diharapkan kepada peneliti lainnya agar bisa menggunakan sampel yang lebih besar, dengan tujuan memperkecil kesalahan dan mendapatkan generalisasi yang lebih akurat.

3. Untuk peneliti lebih lanjut, disarankan untuk meneliti kemampuan yang lain dan materi yang berbeda dengan menggunakan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai LKS pemecahan masalah.

4. Diharapkan kepada peneliti lainnya agar melakukan beberapa kali simulasi sebelum melakukan penelitian, agar siswa lebih terbiasa dengan model pembelajaran yang diterapkan.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Apriyandi, R. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu yang Disertai LKS Berbasis Problem Solving terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri Salido

Kabupaten Pesisir Selatan. Tesis PPS UNP Padang: Tidak diterbitkan.

Anggi. (2009). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu Untuk

Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X.B2 MA Darel

Hikmah Pekanbaru T.A 2008/2009. Skripsi UNRI: Tidak diterbitkan.

Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematik Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write.

Disertasi pada PPS UPI: Tidak diterbitkan.

Ansari, B.I. (2004) Prosiding Seminar Nasional Matematika: “Kontribusi Aspek

Talking and Writing dalam Pembelajaran untuk Mengembangkan

Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematika Siswa”. Bandung: UPI.

Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, S. (2010). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Baig, S., dan Anjun H. (2006). “Learning Mathematical Rules With Reasoning”.

Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education. 2, (2),

15-39.

Baxter, J. A. (2008). “Writing in Mathematics: Alternative Form of Discourse for Academically Low-Achieving Students”. ProQuest Education Journals. 34, (2), 37-40.

Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics in Scondary School. New York : Win C. Brown Company Publisher.

Budiono, dkk. (Eds) (2000). Standar Nasional Kemampuan Dasar SD/MI,

SLTP/MTs, SMU/SMA, Jakarta:Balitbang Depdiknas.

Depdiknas., 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Pusat Kurikulum, Jakarta: Balitbang Depdiknas.


(50)

Depdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran

Matematika. Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat

Pembinaan Sekolah Menengah Pertama: Jakarta.

Duren, P.,E. dan Cherrington, A. (1992). "The Effective of Cooperative Group Work Versus Independent Practice on the Learning of Some Problem Solving Strategies". Official Journal of School Science and Mathematics,

92(2). 80-83.

Ghozali, I. (2006). Statistik Non-parametrik, Teori dan Aplikasi dengan Program SPSS. Semarang: Universitas Diponegoro.

Hudoyo, H. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya

di Depan Kelas. Surabaya : Usaha Nasional.

Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan

Masalah Matematik Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif.

Bandung: Disertasi PPs UPI. Tidak diterbitkan.

Ibrahim, Muslim., (2000), Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: Unesa-University Press.

Ibrahim, M. dan Nur, M. 2002. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press.

IMSTEP-JICA. (2000). Monitoring Report on Current Practice on Mathematics

and Science Teaching and Learning. Bandung: IMSTEP-JICA.

Kusumah, Y. S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Komputer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical

Thinking. Makalah disajikan dalam Pengukuhan Guru Besar Pendidikan

Matematika FMIPA UPI.

Kramarski, B. (2000). “The Effect of Different Instructional Methods on The Ability to Communicate Mathematical Reasoning”. Hiroshima: Hiroshima University.

Lie, Anita., (2008), Cooperative Learning, Jakarta: Grasindo.

Lim, L dan Pugalee, D.K. (2005). Using Journal Writing to ExploreThey Communicate to Learn Mathematics and They Learn to Communicate

Mathematically”.[Online]. Tersedia:


(51)

Lindquist, M.M dan Elliott, P.S. (1996). “Communication an Imperactive for Change: A Conversation with Mary Lindquist”. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Meltzer, D.E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores. Dalam American Journal of Physics. [Online]. Vol. 70 (12) 1259 - 1268. Tersedia: http://www.physics.iastate. edu/per /docs/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf. [Agustus 2006].

National Council of Teachers of Mathematic (NCTM) . (1989). Curiculum and

Evaluation Student for School Mathematic. Reston: NCTM.

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principle and Standards for

School Mathematics. NCTM.

Pimm, D. (1996). Meaningful Communication among Children: Data Collection. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Polla, G. (1999), Efforts to Increase Mathematics for all through Communication

in Mathematics Learning. [Online]. Tersedia: http://72.14.203.104/search?

q=eache:IVSmQCvwl-4J:www.icmc-organiser.dk/dg03/Gerardus.doc+ gerardus+polla%2Bin+mathematics&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=5.

Rohaeti, E. (2003). Pembelajaran dengan Metode IMPROVE untuk Meningkatkan

Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SLTP. Tesis

Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Ruseffendi, E.T. (2003). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non

Eksakta Lainnya. Bandung: Penerbit Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Santoso, S., (2011). Mastering SPSS Versi 19. Jakarta: Kompas Gramedia. Slavin,R., (1991). Educational Psychology. New Jersey : Englewood Cliffs.


(52)

Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research and Practice.

Second Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publishers.

Sudijono, A. (2001) Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : CV. Alfabeta. Suherman, E dan Kusumah, Y.S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan

Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah.

Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA. Sukardi. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara Sumarmo, U. (2003). “Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika”.

Makalah pada Pelatihan Nasional TOT Guru Matematika dan Bahasa

Indonesia SLTP. Bandung: tidak diterbitkan.

Taplin, M. (2004). Mathematics Through Problem Solving. [Online]. Tersedia: http://www.mathgoodies.com/articles/problem_solving.html

Trihendradi, C. (2009). Step by Step SPSS 16 Analisis Data Statistik. Yogyakarta: Andi.

Ulya, N. (2007). Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa Smp/MtsMelalui Pembelajaran KooperatifTipe

Teams-Games-Tournaments (TGT). Tesispada SPs UPI: Tidakditerbitkan.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa Dalam Mata Pelajaran Matematika ( Studi Terhadap Tingkat Penguasaan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika, serta Kemampuan Mengajar Para Guru

Matematika). Disertasi. UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Whidiarso, W. (2007). Uji Hipotesis Komparatif. [online]. Tersedia: http://elisa.ugm.ac.id/files/wahyu_psy/maaio0d2/Membaca_t-tes.pdf (27 Juni 2009).


(53)

Wihatma, U. (2004). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui “Cooperative Learning” Tipe Student Teams-Achievement

Divisions (STAD). Bandung: Tesis SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Within. (1992). Mathematics Task Centre; Professional Development and Problem Solving. In J Wakefield and L. Velardi (Ed). Celebrating

Mathematics Learning. Melbourne: The Mathematical Association of


(1)

96

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang berhubungan dengan penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian ini hanya terbatas pada materi Kubus dan Balok. Diharapkan pada peneliti lainnya untuk mengembangkan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai LKS pemecahan masalah pada materi-materi pelajaran lainnya.

2. Diharapkan kepada peneliti lainnya agar bisa menggunakan sampel yang lebih besar, dengan tujuan memperkecil kesalahan dan mendapatkan generalisasi yang lebih akurat.

3. Untuk peneliti lebih lanjut, disarankan untuk meneliti kemampuan yang lain dan materi yang berbeda dengan menggunakan pembelajaran kooperatif teknik tari bambu yang disertai LKS pemecahan masalah.

4. Diharapkan kepada peneliti lainnya agar melakukan beberapa kali simulasi sebelum melakukan penelitian, agar siswa lebih terbiasa dengan model pembelajaran yang diterapkan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Apriyandi, R. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu yang Disertai LKS Berbasis Problem Solving terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI Madrasah Aliyah Negeri Salido Kabupaten Pesisir Selatan. Tesis PPS UNP Padang: Tidak diterbitkan. Anggi. (2009). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Teknik Tari Bambu Untuk

Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X.B2 MA Darel Hikmah Pekanbaru T.A 2008/2009. Skripsi UNRI: Tidak diterbitkan.

Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematik Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write.

Disertasi pada PPS UPI: Tidak diterbitkan.

Ansari, B.I. (2004) Prosiding Seminar Nasional Matematika: “Kontribusi Aspek Talking and Writing dalam Pembelajaran untuk Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematika Siswa”. Bandung: UPI.

Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, S. (2010). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Baig, S., dan Anjun H. (2006). “Learning Mathematical Rules With Reasoning”.

Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education. 2, (2), 15-39.

Baxter, J. A. (2008). “Writing in Mathematics: Alternative Form of Discourse for Academically Low-Achieving Students”. ProQuest Education Journals. 34, (2), 37-40.

Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics in Scondary School. New York : Win C. Brown Company Publisher.

Budiono, dkk. (Eds) (2000). Standar Nasional Kemampuan Dasar SD/MI, SLTP/MTs, SMU/SMA, Jakarta:Balitbang Depdiknas.

Depdiknas., 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Pusat Kurikulum, Jakarta: Balitbang Depdiknas.


(3)

98

Depdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Matematika. Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama: Jakarta.

Duren, P.,E. dan Cherrington, A. (1992). "The Effective of Cooperative Group Work Versus Independent Practice on the Learning of Some Problem Solving Strategies". Official Journal of School Science and Mathematics, 92(2). 80-83.

Ghozali, I. (2006). Statistik Non-parametrik, Teori dan Aplikasi dengan Program SPSS. Semarang: Universitas Diponegoro.

Hudoyo, H. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya : Usaha Nasional.

Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Bandung: Disertasi PPs UPI. Tidak diterbitkan.

Ibrahim, Muslim., (2000), Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: Unesa-University Press.

Ibrahim, M. dan Nur, M. 2002. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press.

IMSTEP-JICA. (2000). Monitoring Report on Current Practice on Mathematics and Science Teaching and Learning. Bandung: IMSTEP-JICA.

Kusumah, Y. S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Komputer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Makalah disajikan dalam Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Matematika FMIPA UPI.

Kramarski, B. (2000). “The Effect of Different Instructional Methods on The Ability to Communicate Mathematical Reasoning”. Hiroshima: Hiroshima University.

Lie, Anita., (2008), Cooperative Learning, Jakarta: Grasindo.

Lim, L dan Pugalee, D.K. (2005). Using Journal Writing to Explore “They Communicate to Learn Mathematics and They Learn to Communicate

Mathematically”.[Online]. Tersedia:


(4)

Lindquist, M.M dan Elliott, P.S. (1996). “Communication an Imperactive for Change: A Conversation with Mary Lindquist”. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Meltzer, D.E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores. Dalam American Journal of Physics. [Online]. Vol. 70 (12) 1259 - 1268. Tersedia: http://www.physics.iastate. edu/per /docs/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf. [Agustus 2006].

National Council of Teachers of Mathematic (NCTM) . (1989). Curiculum and Evaluation Student for School Mathematic. Reston: NCTM.

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principle and Standards for School Mathematics. NCTM.

Pimm, D. (1996). Meaningful Communication among Children: Data Collection. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Polla, G. (1999), Efforts to Increase Mathematics for all through Communication in Mathematics Learning. [Online]. Tersedia: http://72.14.203.104/search? q=eache:IVSmQCvwl-4J:www.icmc-organiser.dk/dg03/Gerardus.doc+ gerardus+polla%2Bin+mathematics&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=5.

Rohaeti, E. (2003). Pembelajaran dengan Metode IMPROVE untuk Meningkatkan

Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SLTP. Tesis

Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Ruseffendi, E.T. (2003). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Penerbit Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Santoso, S., (2011). Mastering SPSS Versi 19. Jakarta: Kompas Gramedia. Slavin,R., (1991). Educational Psychology. New Jersey : Englewood Cliffs.


(5)

100

Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Second Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publishers.

Sudijono, A. (2001) Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : CV. Alfabeta.

Suherman, E dan Kusumah, Y.S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah.

Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA. Sukardi. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara Sumarmo, U. (2003). “Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika”.

Makalah pada Pelatihan Nasional TOT Guru Matematika dan Bahasa Indonesia SLTP. Bandung: tidak diterbitkan.

Taplin, M. (2004). Mathematics Through Problem Solving. [Online]. Tersedia: http://www.mathgoodies.com/articles/problem_solving.html

Trihendradi, C. (2009). Step by Step SPSS 16 Analisis Data Statistik. Yogyakarta: Andi.

Ulya, N. (2007). Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa Smp/MtsMelalui Pembelajaran KooperatifTipe Teams-Games-Tournaments (TGT). Tesispada SPs UPI: Tidakditerbitkan.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa Dalam Mata Pelajaran Matematika ( Studi Terhadap Tingkat Penguasaan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika, serta Kemampuan Mengajar Para Guru Matematika). Disertasi. UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Whidiarso, W. (2007). Uji Hipotesis Komparatif. [online]. Tersedia: http://elisa.ugm.ac.id/files/wahyu_psy/maaio0d2/Membaca_t-tes.pdf (27 Juni 2009).


(6)

Wihatma, U. (2004). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui “Cooperative Learning” Tipe Student Teams-Achievement Divisions (STAD). Bandung: Tesis SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Within. (1992). Mathematics Task Centre; Professional Development and Problem Solving. In J Wakefield and L. Velardi (Ed). Celebrating Mathematics Learning. Melbourne: The Mathematical Association of Victoria