Sintesis Dan Karakterisasi Selulosa Asetat Dari Kayu Kelapa Sawit (Elais Guenensiss Jacq)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineesis) berasal dari Afrika. Dalam bahasa
Inggris tanaman ini dikenal dengan nama oil palm. Tanaman kelapa sawit
memiliki bentuk menyerupai pohon kelapa. Di Indonesia, tanaman kelapa sawit
termasuk tanaman pendatang. Pohon kelapa sawit sendiri di Indonesia sudah
mulai dikenal sejak sebelum perang dunia kedua. Kelapa sawit dibudidayakan
dalam bentuk usaha perkebunan besar. Perkebunan kelapa sawit banyak
dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan (Roosita, 2007).
Sentra utama produksi sawit Indonesia antara lain Sumatera Utara, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Kontribusi produksinya
mencapai 80% dari produksi nasional. Perkembangan perkebunan di daerah sentra
utama produksi tersebut masih memungkinkan dilakukan. Potensi areal
perkebunan Indonesia masih terbuka luas untuk tanaman kelapa sawit.
Pengembangan perkebunan tidak hanya diarahkan pada sentra-sentra produksi
seperti Sumatera dan Kalimantan, tetapi daerah potensi pengembangan seperti
Sulawesi, Jawa, Papua juga terus dilakukan (Yan, 2012).
Pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq), merupakan tumbuhan dari orde

Palmales, family : Palmaceae; subfamily : Cocoideae. Tumbuhan tersebut
termasuk tumbuhan monokotil, ciri-ciri dari tumbuhan monokotil tersebut adalah,
tidak memiliki : kambium, pertumbuhan sekunder, lingkaran tahun, sel jari-jari,
kayu awal, kayu akhir, cabang, mata kayu. Batang terdiri dari serat dan parenkim.
Pohon kelapa sawit produktif sampai umur 25 tahun, ketinggian 9-12 m dan
diameter 45-65 cm diukur dari permukaan tanah. (Tomimura, 1992).
Pada bagian inti dari struktur dan anatomi kayu kelapa sawit (KKS) yang
paling dominan adalah jaringan dasar parenkim, sehingga memiliki kerapatan
yang rendah. Pada daerah pinggir dekat kulit penyusun utamanya adalah berkas
pengangkut yang terselimuti oleh serabut berdinding tebal sehingga rapat

Universitas Sumatera Utara

masanya lebih tinggi. Di daerah bagian kayu yang terdiri dari jaringan parenkim
mengandung kadar air lebih tinggi dan menurun seiring prosentase berkas
pengangkut naik.
Pada keadaan kering konstan, komponen-komponen yang terkandung dalam
KKS adalah selulosa (30,77 %), pentosa (20,05 %), lignin (17,22 %),
hemiselulosa (16,81 %), air (12,05 %), abu (2,25 %) dan SiO2 (0,84 %).


Gambar 2.1. Penampang melintang KKS

Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi
pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja
yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan
devisa negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit,
bahkan saat ini telah menempati posisi kedua di dunia (Yan, 2012).

2.2 Selulosa
Selulosa ialah polimer tak bercabang dari sejumlah glukosa yang bergabung lewat
ikatan 1,4-β-glikosidik. Pemeriksaan selulosa dengan sinar X menunjukkan bahwa
selulosa terdiri atas rantai linear dari unit selulosa, yang oksigen cincinnya
berselang-seling dengan posisi “ke depan” dan “ke belakang” (Hart, 2003).
Salah satu biomassa yang sangat berlimpah dan banyak diteliti adalah
selulosa. Sekitar 100 miliar ton selulosa per tahun dihasilkan oleh tumbuhan
dengan kandungan 10 – 20% di dalam daun kering, 50% di dalam kayu dan 90%

Universitas Sumatera Utara

di dalam kapas (Fessenden and Fessenden, 1982). Selulosa merupakan polimer

karbohidrat yang tersusun atas β D-glukopiranosa dengan ikatan β 1,4-glikosida
dan terdiri dari tiga gugus hidroksi per anhidro glukosa. Selulosa memiliki rumus
empiris (C6H10O5)n, dengan n menunjukkan derajat polimerisasi yakni jumlah
satuan glukosa. Kududukan β dari gugus OH pada atom C1 membutuhkan
pemutaran unit glukosa melalui sumbu C1-C4 cincin piranosa (Mathur and
Mathur, 2001). Selulosa terdiri dari rantai polimer linear D-glukosa yang
dihubungkan oleh ikatan β (1-4) glikosidik yang ditunjukkan pada Gambar 2.2:

Gambar 2.2 Struktur selulosa (Lehninger, 1990)
Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa
Natrium Hidroksida n(NaOH) 17,5 %, selulosa dapat dibagi menjadi tiga jenis
yakni:
a. Alpha Cellulose
α selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang yang tahan
dan tidak larut dalam larutan NaOH 17,5 % atau larutan basa kuat dengan
DP (Derajat Polimerisasi) 600 – 15000. α – selulosa digunakan sebagai
penduga atau tingkat kemurnian selulosa. Selulosa dengan derajat
kemurnian α di atas 92% memenuhi syarat untuk bahan baku pembuatan
propelan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa dengan kualitas
dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri pembuatan

kertas dan industri kain (serat rayon). Semakin tinggi kadar alpha
selulosa, maka akan semakinn baik mutu bahannya.
b. Betha Cellulose
β Selulosa (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek yang larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat

Universitas Sumatera Utara

Polimerisasi) berkisar antara 15 – 90. Betha selulosa ini dapat
mengendap jika ekstrak dinetralkan.
c. Gamma Cellulose
γ Selulosa (Gamma Cellulose) adalah selulosa berantai pendek yang larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat
Polimerisasi) kurang dari 15. Kandungan utamanya adalah hemiselulosa.
Selulosa merupakan bahan dasar yang penting bagi industri-industri yang
memakai selulosa sebagai bahan baku, misalnya: pabrik kertas, pabrik sutera
tiruan dan lain sebagainya (Dumanauw, 1990).
Pada aplikasi industri kertas, Alpha cellulose sangat menentukan sifat
tahanan kertas, dimana semakin banyak kadar alpha selulosa maka semakin tahan
lama kertas tsb. Sifat hidrofilik yang dimiliki beta dan ngamma selulosa lebih

besar daripada alpha selulosa ( Nurungtyas, 2010).
Selulosa dapat diisolasi dari tanaman.Untuk mengoptimalkan pengambilan
serat selulosa dari beberapa tahapan metode pengisolasian dapat diaplikasikan,
seperti metode mekanis sederhana, campuran metode kimiawi dan mekanik, serta
pendekatan metode enzim. Proses isolasi selulosa dari sabut buah pinang
menggunakan metode kimiawi meliputi tahap prehidrolisis, delignifikasi,
pemutihan dan pengeringan. Tahap prehidrolisis bertujuan untuk mempercepat
penghilangan hemiselulosa dalam bahan baku pada waktu pemasakan (cooking)
menggunakan air lunak (soft water) atau larutan asam encer (Tarmansyah, 2007).
Tahap delignifikasi dilakukan dengan larutan NaOH, karena larutan ini
dapat menyerang dan merusak struktur lignin, bagian kristalin dan amorf,
memisahkan lignin serta menyebabkan penggembungan struktur selulosa (Enari,
1983). Proses pemutihan bertujuan untuk melarutkan sisa senyawa lignin yang
dapat menyebabkan perubahan warna, dengan cara mendegradasi rantai lignin
yang panjang oleh bahan-bahan kimia pemutih menjadi rantai-rantai lignin yang
pendek, maka lignin dapat larut pada saat pencucian dalam air atau alkali (Fengel,
et.al., 1995). NaOCl secara tradisional digunakan untuk memutihkan warna dari
suatu zat.
Selanjutnya adalah proses penghilangan β-selulosa dan γ-selulosa dengan
menggunakan larutan NaOH 17,5%. Hal ini sesuai dengan pembagian selulosa


Universitas Sumatera Utara

berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium
hidroksida (NaOH) 17,5% (Tarmansyah, 2007) yaitu:
-

α-selulosa adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan
NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP 600-1500

-

β-selulosa adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH
17,5% ataubasa kuat dengan DP 15 – 90, dapat mengendap bila
dinetralkan.

-

γ-selulosasama dengan beta selulosa, tetapi DP nya kurang dari 15.


Proses selanjutnya adalah pemutihanmenggunakanhidrogen peroksida
karena merupakan pemutihyang ramah lingkungan. Di samping itu, hidrogen
peroksida juga mempunyai beberapa kelebihan antara lain bahan yang diputihkan
mempunyai ketahanan yang tinggi serta penurunan kekuatan serat sangat kecil.
Pada kondisi asam, hidrogen peroksida sangat stabil.Peruraian hidrogen peroksida
juga dipercepat oleh naiknya suhu.Zat reaktif dalam sistem pemutihan dengan
hidrogen peroksida dalam suasana basa adalah perhidroksil anion (HOO-) (Dence,
et.al., 1996).
Ada dua jenis selulosa yaitu selulosa termodifikasi dan selulosa tidak
termodifikasi.Secara umum, selulosa tidak termodifikasi tidak larut dalam air dan
pelarut organik.Hal ini berdasarkan ikatan hidrogen yang kuat antara molekul
selulosa berantai lurus.Sehingga kelarutan dari selulosa dapat diperbaiki dengan
turunan yang dimodifikasi.
Serat selulosa secara umum memiliki banyak gugus fungsi yang mampu
mengikat logam.Karena itu banyak yang sudah mencoba untuk menggunakan
selulosa sebagai pembersih logam melalui beberpa turunannya.Beberapa di
antaranya berdasarkan penambahan gugus dengan kemampuan mengkompleks
seperti gugus karboksilat dan amin.Seperti halnya kitosan dan juga alginate maka
selulosa ini juga memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks dengan unsur
logam yang memiliki d-orbital back donation, serta sekaliguas adanya ether

linkage C1 –C4 yang ekuatorial-ekuatorial (Kaban dkk,2005).

Universitas Sumatera Utara

2.3 Sifat Selulosa
Sifat selulosa terdiri dari sifat fisika dan kimia. Selulosa dengan rantai panjang
memiliki sifat fisik yang lebih kuat, tahan lama terhadap degradasi yang
disebabkan oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun pengaruh biologis. Sifat
fisik dari selulosa yang penting ialah panjang, lebar, dan tebal molekulnya. Sifat
fisik lain dari selulosa ialah:
a. Dapat terdegradasi oleh hidrolisa, oksidasi, fitokimia, maupun secara
mekanis sehingga berat molekulnya menurun.
b. Tidak larut dalam air maupun pelarut organik, tetapi sebagian larut pada
larutan alkali.
c. Dalam keadaan kering, selulosa bersifat higroskopis (baik menyerap air),
keras, jugfa rapuh. Jika selulosa mengandung banyak air, maka akan
bersifat lunak. Jadi fungsi air disini adalah sebagai pelunak.
d. Selulosa dalam kristal memiliki kekuatan lebih baik dibandingkan
dengan bentuk amorfnya.
Dilakukan tahapan untuk mendapatkan selulosa murni yang dipisahkan dari

zat pengotornya. Pemisahan dilakukan pada kondisi optimum untuk mencegah
terjadi degradasi terhadap selulosa. Kesulitan yang dihadapi dalam proses
pemisahan ini disebabkan oleh:
a. Berat molekul tinggi
b. Keasaman sifat antar molekul impurities dengan selulosa itu sendiri
c. Kristalinitas yang tinggi
d. Ikatan fisik dan kimia yang kuat
Selama proses pembuatan selulosa murni, degradasi terjadi, antara lain
karena beberapa hal sebagai berikut:
a. Degradasi oleh hidrolisa asam
Terjadi pada temperatur yang cukup tinggi dan berada pada media asam
pada waktu cukup lama. Akibat dari degradasi ini adalah terjadinya
reaksi yakni selulosa terhidrolisa menjadi selulosa dengan beratmolekul
rendah. Keaktifan asam pekatt untuk mendegradasi selulosa berbedabeda.
b. Degradasi oleh oksidator

Universitas Sumatera Utara

Senyawa oksidator sangat mudah mendegradasi selulosa menjadi
molekul yang lebih kecil. Hal ni tergantung dari oksidator dan

kondisinya. Macam-macam oksidator adalah sebagai berikut:
-

Chlorin mengoksidasi gugus karboksil dan aldehid. Oksidasi
karboksil menjadi CO 2 dan H 2 O, sedangkan oksidasi aldehid
menjadi karboksil dan jika oksidasi diteruskan akan menjadi CO 2
dan H 2 O.

-

Hipoklorit akan menghasilkan oksidasi selulosa yang mengandung
presentase gugus hidroksil tinggi pada kondisi netral/alkali.

-

NO 2 mengoksidasi hidroksil primer dari selulosa menjadi karboksil.
Oksidasi ini tidak akan memecah rantai selulosa kecuali jika terdapat
alkali.

c. Degradasi oleh panas

Pengaruh panas lebih besar jika dibandingkan dengan asam dan
oksidator. Serat selulosa yang dikeringkan pada temperatur tinggi akan
mengakibatkan hilangnya sebagian higroskopisitasnya (swealing ability).
Hal ini karena:
-

Bertambahnya ikatan hidrogen antara molekul selulosa yang
berdekatan

-

Terbentuknya ikatan rantai kimia diantara molekul selulosa yanng
berdekatan

-

Pemanasan serat pada temperatur sekitar 100 oC akan menghilangka
kemampuan menggembung sekitar 50% (Putera, 2012).

2.4 Lignin
Lignin adalah suatu polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi, tersusun
atas unit-unit fenilpropan. Meskipun tersusun atas karbon, hidrogen dan oksigen,
lignin bukanlah suatu karbohidrat. Lignin sangat stabil dan sukar dipisahkan dan
mempunyai bentuk yang bermacam-macam karena suatu lignin yang pasti di
dalam kayu tidak menentu.
Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Di antara sel-sel,
lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel-sel bersama-sama. Dalam

Universitas Sumatera Utara

dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi untuk
memberikan ketegaran pada sel. Lignin juga berpengaruh dalam memperkecil
perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kandungan air kayu dan juga
dikatakan bahwa lignin mempertinggi sifat racun kayu yang membuat kayu tahan
terhadap serangan cendawan dan serangga. Ketegaran yang diberikan oleh lignin
merupakan faktor penentu sifat-sifat kayu.
Lignin dapat diisolasi dari tanaman sebagai sisa yang tak larut setelah
penghilangan polisakarida dengan hidrolisis. Secara alternatif, lignin dapat
dihidrolisis dan diekstraksi ataupun diubah menjadi turunan yang larut. Adanya
lignin menyebabkan warna menjadi kecoklatan sehingga perlu adanya pemisahan
melalui pemutihan. Banyaknya lignin juga berpengaruh terhadap konsumsi bahan
kimia dalam pemasakan dan pemutihan (Wibisono, 2002).
Struktur kimia lignin mengalami perubahan dibawah kondisi suhu yang
tinggi dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin
terpecah menjadi pertikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzadeh,
2007). Pada suasana asam, lignin cenderung melakukan kondensasi, yakni fraksi
lignin yang sudah terlepas dari selulosa dan larut pada larutan pemasak. Dimana
peristiwa ini cenderung menyebabkan bobot molekul lignin bertambah, dan lignin
yang terkondensasi akan mengendap (Achmadi, 1990).
Disamping terjadinya reaksi kondensasi lignin yang mengendap, proses
pemasakan yang berlangsung pada suasana asam dapat pula menurunkan derajat
kerusaka pulp sehingga mengurangi degradasi selulosa dan hemiselulosa.
Suhu, tekanan, dan konsentrasi larutan pemasak selama proses pilping
merupakannnn faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi pelarutan
lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Selulosa tak akan rusak saat proses pelarutan
lignin jika konsentrasi larutan pemasak yang digunakan rendah dan suhu yang
digunakan sesuai. Pemakaian suhu diatas 180 oC menyebabkan degradasi selulosa
lebih tinggi, dimana pada suhu ini lignin telah habis larut (Casey, 1980).

2.5 Hemiselulosa
Rantai hemiselulosa lebih pendek dibandingkan rantai selulosa, karena derajat
polimerisasinya

yang

lebih rendah.

Berbeda dengan selulosa,

polimer

Universitas Sumatera Utara

hemiselulosa berbentuk tidak lurus tetapi merupakan polimer-polimer bercabang
dan strukturnya tidak terbentuk kristal. Hal ini yang menjadikan hemiselulosa
lebih mudah dimasuki pelarut dan bereaksi dengan larutan dibandingkan selulosa
selama pembuatan pulp. Hemiselulosa bersifat hidrofibil (mudah menyerap air)
yang mengakibatkan strukturnya yan kurang teratur. Kadar hemiselulosa pada
pulp jauh lebih kecil dibandingkan dengan serat asal, karena selama proses
pemasakan hemiselulosa bereaksi dengan bahan pemasak dan lebih mudah
terlarut dari pada selulosa.
Secara struktural, hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan
polimer gula. Namun berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun atas glukosa,
hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun
hemiselulosa dari monomer gula berkarbon lima (pentosa/C-5), gula berkarbon
enam (heksosa/C-6), asam heksuronat da deoksi heksosa. Hemiselulosa akan
mengalami reaksi oksidasi dan degradasi terlebih dahulu daripada selulosa, karena
rantai molekulnya yang lebih pendek dan bercabang.
Hemiselulosa tidak larut dalam air tapi larut dalam larutan alkali encer dan
lebih mudah dihidrolisa oleh asam dari pada selulosa. Sifat hemiselulosa yang
hidrofilik banyak mempengaruhi sifat dari pulp itu sendiri. Hemiselulosa
berfungsi sebagai perekat dan mempercepat pembentukan serat. Hilangnya
hemiselulosa akan mengakibatkan adaya lubang antar fibril dan berkurangnya
ikatan antar serat (Putera, 2012).

2.6 Selulosa Asetat
Selulosa asetat merupakan ester yang paling penting yang berasal dari asam
organik, digunakan untuk pabrik cat laker, plastik, film dan benang. Bila
dibandingkan dengan selulosa nitrat, selulosa asetat tidak mudah terbakar. Sifatsifat teknis selulosa asetat ditentukan oleh derajat substitusi yang berperan
terhadap kecocokannya dengan membuat plastik maupun kelarutannya dalam
pelarut. Kriteria kedua adalah derajat polimerisasi, yang dinyatakan dengan
kekentalan

yang

mempengaruhi

sifat-sifat

mekanik

produk-produk

dan

kesanggupan kerjanya (Fengeldan Wegener, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Selulosa dapat secara kimia dimodifikasi menghasilkan turunan yang secara
luas dipergunakan pada berbagai sektor industri termasuk aplikasi konvensional.
Seperti salah satu contohnya, pada tahun 2003, 3,2 juta ton bahan ini digunakan
sebagai material mentah untuk produksi serat dan film regenerasi termasuk
turunannya (Klemm, 2005).
Pada tahun 1996, Yang dan Wang mengklaim bahwa hanya asam
karboksilat yang membentuk siklik intermediet anhidrida ester selulosa. Pendapat
lain menyatakan bahwa kelompok karboksil dapat diesterifikasi selulosa tanpa
intermediet anhidrat (Gagliardi, et.al., 1963).
Bahan mentah selulosa asetat (CA) adalah selulosa. Selulosa merupakan
polisakarida yang tersusun atas satuan glukosa yang dihubungkan dengan ikatan
glikosida β-1,4 antar molekul glukosa penyusunnya. Selulosa membentuk
komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa merupakan rantairantai, atau mikrofibril dari D glukosa sampai 14.000 satuan yang terdapat sebagai
berkas-berkas terpuntir mirip tali, yang terikat satu sama lain oleh hidrogen
(Fessenden, 1989). Berat molekulnya bervariasi antara 500.000-1.500.000 yang
tiap unitnya mempunyai berat molekul 3000-9000. Setiap unit glukosa
mengandung 3 gugus hidroksil yang sangat tidak reaktif. Selulosa mempunyai
sifat seperti kristalin dan tidak mudah larut dalam air walaupun polimer ini sangat
hidrofilik. Hal ini disebabkan oleh sifat kristalinitas dan ikatan hidrogen
intermolekuler antara gugus hidroksil (Mulder, 1996).
Selulosa asetat berwujud padat (serbuk), mempunyai rumus molekul
(C6H7O2(CH3COO)3)x dengan titik lebur: 533,15K. Sedangkan sifat kimia
selulosa asetat: larut dalam acetone, dimetilformamida (DMF), dioksan
tetrahidrofuran (THF), asam asetat, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilasetamida
(DMAc).
Selulosa asetat berwarna putih, berbau menyengat, hambar dan tidak
beracun. Selulosa asetat diproduksi dengan kandungan asetil 38%-40,5%.
Selulosa asetat sangat berguna karena mudah larut dalam aseton, termoplastik,
warna yang bagus dan stabil (Mark et al., 1968).
Reaksi esterifikasi selulosa asetat pada dasarnya adalah pergantian satu, dua
atau tiga gugus hidroksil dari unit glukosa. Esterifikasi akan berlangsung lebih

Universitas Sumatera Utara

cepat dengan adanya katalisator asam kuat (H2SO4). Selain asam sulfat, asam
perklorat juga bisa digunakan sebagai katalisator karena keduanya merupakan
asam kuat yang dapat terdisosiasi sempurna dalam air sehingga reaksi
berlangsung lebih cepat (Fengel dan Wegener, 1995).
Faktor-faktor yang berkaitan dengan reaksi esterifikasi:
a. Suhu
Suhu tinggi dapat menyebabkan selulosa dan selulosa asetat dapat
terdegradasi sehingga menyebabkan yield produk turun
b. Waktu esterifikasi
Waktu esterifikasi yang panjang dapat menyebabkan selulosa dan
selulosa asetat terdegradasi sehingga yield produk menjadi kecil
c. Kecepatan pengadukan
Kecepatan pengadukan yang tinggi akan memperbesar perpindahan
massa sehingga semakin memperbesar kecepatan reaksi sehingga yield
yang dihasilkan akan meningkat.
d. Jumlah asam asetat
Jumlah reaktan yang besar akan memperbesar kemungkinan tumbukan
antar reaktan sehingga mempengaruhi kecepatan reaksi esterifikasi.
e. Jumlah pelarut
Jumlah pelarut akan mempengaruhi homogenitas dari larutan tetapi jika
jumlahnya terlalu besar akan mengurangi kemungkinan tumbukan antar
reaktan (memperkecil konsentrasi reaktan) sehingga akan memperkecil
yield dari produk (Savitri, 2004).
Rayon dan serat asetat secara khusus digunakan dalam tekstil, dan campuran
dengan serat lainnya. Juga dapat digunakan dalam pabrik tenun dan rajutan, kaus
kaki, dan benang untuk rajutan dan tenunan. Industri menggunakan rayon dan
asetat dalam pembuatan kain ban, konveyer dan sabuk, pengamplasan roda, dan
penguat untuk kertas dan plastik. Bentuk khusus dari selulosa asetat juga
digunakan sebagai jas hujan, pelapis kain, dan pita mesin tik. Bentuk lainnya
digunakan secara luas sebagai pelapis listrik karena koduktivitasnya rendah, dan
fleksibel (Bethel, 1962).

Universitas Sumatera Utara

2.7 Karakterisasi Polimer
2.7.1 Fourier Transform Infrared (FT-IR)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada
berbagai panjang gelombang disebut spektrometer inframerah. Pancaran
inframerah umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak
di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Pancaran inframerah yang
kerapatannya kurang dari pada 100 cm-1 (panjang gelombang lebih dari 100 μm)
diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran molekul.
Penyerapan itu tercatu dan demikian spektrum rotasi molekul terdiri dari garisgaris yang tersendiri (Hartomo, 1986).
Spektroskopi FT-IR (Fourier Transform Infrared) merupakan salah satu
teknik analitik yang sangat baik dalam proses identifikasi struktur molekul suatu
senyawa. Kesulitan-kesulitan yang ditemukan dalam identifikasi dengan
spektroskopi FT-IR dapat ditunjang dengan data yang diperoleh dengan
menggunakan metode spektroskopi yang lain.
Serapan radiasi inframerah oleh suatu molekul terjadi karena interaksi
vibrasi ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polarisabilitas dengan medan
listrik gelombang elektromagnetik (Wirjosentono, 1987). Terdapat dua macam
getaran molekul, yaitu getaran ulur dan getaran tekuk. Getaran ulur adalah suatu
gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar atom bertambah
atau berkurang. Getaran tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan
antara ikatan-ikatan pada sebuah atom, atau karena gerakan sebuah gugusan atom
terhadap sisa molekul tanpa gerakan nisbi atom-atom di dalam gugusan.
Contohnya liukan (twisting), goyangan (rocking) dan getaran puntir yang
menyangkut perubahan sudut-sudut ikatan dengan acuan seperangkat koordinat
yang disusun arbitter dalam molekul. Hanya getaran yang menghasilkan
perubahan momen dwikutub secara berirama saja yang teramati di dalam
inframerah (Hartomo, 1986).
Atom molekul bergerak dengan berbagai cara, tetapi selalu pada tingkat
energi tercatu. Energi getaran rentang untuk molekul organik bersesuaian dengan
radiasi inframerah dengan bilangan gelombang antara 1200 dan 4000 cm-1.
Bagian tersebut dari spektrum inframerah khususnya berguna untuk mendeteksi

Universitas Sumatera Utara

adanya gugus fungsi dalam senyawa organik. Memang daerah ini sering
dinyatakan sebagai daerah gugus fungsi karena kebanyakan gugus fungsi yang
dianggap penting oleh para kimiawan organik mempunyai serapan khas dan nisbi
tetap pada panjang gelombang tersebut (Pine, 1988).
Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah
spektrum inframerah hampir selalu merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa
gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula, tidak
adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum
inframerah biasnya berarti bahwa gugus tersebut yang menyerap pada daerah itu
tidak ada (Pine, 1980). Asam karboksilat mempunyai dua karakteristik absorbsi
IR yang membuat senyawa -CO2H dapat diidentifikasi sengan mudah. Ikatan O-H
dari golongan karboksil diabsorbsi pada daerah 2500 sampai 3300 cm-1, dan
ikatan C=O yang ditunjukkan diabsorbsi di antara 1710 sampai 1750 cm-1
(McMurry, 2007).

2.7.2 Derajat Substitusi
Derajatsubstitusi adalah nilai rata-rata persubstitusi per anhidroglukosa (UAG).
Selulosa mempunyai 3 gugus hidroksil pada setiap UAG yang dapatdisubstitusi,
oleh karena itu DS mempunyai kisaran nilai 0-3. jumlah substitusiester asetat
sangat mempengaruhi kelarutan dan sifat-sifat polimer (Anwar, K, 2006).

2.7.3 Derajat Kristalinitas
Material polimer dapat dijumpai dalam keadaan kristalin. Namun, karena polimer
tergolong molekul, bukan atom atau ion seperti halnya pada logam dan keramik,
maka susunann atomnya lebih kompleks. Kita berasumsi kristalinitas polimer
sebagai susunan rantai molekul yang membentuk geometri atom yang teratur.
Strukur kristal dapat digambarkan sebagai unit sel yang seringkali terlihat rumit.
Subtansi molekul yang memiliki molekul kecil hanya memiliki dua
kemungkinan struktur yaitu seluruhnya kristalin atau seluruhnya amorfus.
Sedangkan material polimer biasanya semi-kristalin, memiliki daerah kristalin
yang terdispersi dalam struktur amorfus. Adanya rantai yang tidak teratur akan
membentuk daerah amorfus karena adanya twisting, kinking, dan coiling

Universitas Sumatera Utara

(melintir, berkelok-kelok, memilin) dari rantai untuk menjaga susunan setiap
segmen tetap teratur pada rantai molekul. Pengaruh struktural lain terhadap luas
kristalinitas pada molekul polimer akan dibahas singkat.
Tingkat kristalinitas merupakan perbandingan antara struktur kristalin dan
struktur amorf. Densitas polimer kristalin lebih besar daripada densitas polimer
amorf meskipun material dan berat molekulnya sama. Hal ini dikarenakan rantai
molekul pada struktur kristalin lebih padat tersusun bersama. Derajat kristalinitas
ditentukan melalui perhitungan densitasnya dengan akurat sesuai dengan
persamaan berikut.
Perhitungan derajat kristainitas polimer:
Dimana p s adalah densitas spesimen saat persentasi kristalinitasnya diketahui, p a
adalah densitas ketika polimer seluruhnya amorf, dan p c adalah densitas ketika
polimer seluruhnya kristalin. Nilai p a dan p c harus diketahui secara eksperimental.
Derajat kristalinitas dari polimer bergantung pada laju pendinginan selama
solidifikasi (proses dimana konfigurasi rantai terbentuk). Selama kristalisasi
ketika pendinginan melewati temperatur melting, rantai yang sangat acak dalam
keadaan liquid harus diasumsikan sebagai susunan yang teratur. Dalam proses ini,
waktu yang cukup harus diberikan agar rantai dapat bergerak dan menyusun
dirinya hingga teratur.
Secara kimia, konfigurasi rantai dapat mempengaruhi kemampuan polimer
terkristalisasi. Kristalisasi tidak mudah terbentuk pada polimer yang memiliki
repeat unit yang kompleks seperti polyisoprene. Kristalisasi juga tidak mudah
dilakukan pada polimer yang sederhana meskipun dengan pendinginan cepat.
Untuk polimer linier, kristalisasi mudah diselsaikan karena hanya terdapat
sedikit halangan untuk mencegah proses penyusunan rantai. Adanya cabang akan
menggangu kristalisasi, sehingga polimer cabang biasanya tidak pernah memiliki
derajat kristalinitas tinggi. Pada kenyataannya terlalu banyak cabang akan
mencegah terjadinya kristalisasi. Sedangkan kebanyakan polimer ikat silang dan
jaringan seluruhnya amorf karena adanya ikat silang mencegah rantai polimer
untuk menyusun kembali struktur kristalnya. Sedikit diantara polimer ikat silang
memiliki struktur kristalin sebagaian. Pun demikian, streoisomers, atactic sulit
dikristalisasi. Sedangkan polimer isotactic dan syndiotactic polimer merupakan

Universitas Sumatera Utara

polimer yang lebih mudah dikristalisasi karena keteraturan geometrinya
menfasilitasi proses fitting (penyesuaian) bersama membentuk rantai yang
berdekatan. Pun, gugus atom yang besar cenderung sulit dikristalisasi.
Sedangkan untuk kopolimer, susunan atom yang acak akan memiliki
kecenderungan membentuk nonkristalin. Sehingga random dan graft kopolimer
berstruktur amorf. Sedangkan alternating dan block kopolimer cenderung mudah
terkristalisasi.
Sifat fisik material polimer juga seringkali dipengaruhi oleh derajat
kristalinitas ini. Polimer kristalin biasanya lebih kuat dan lebih tahann terhadap
dissolution dan pelunakan akibat panas (Callister, 2010).

2.7.4 Differential Scanning Calorimetry (DSC)
Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimeter biasa, hanya dalam hal
ini digunakan sampel dari polimer yang agak jauh lebih kecil ( maksimum 50 mg,
misalnya 10 mg ) dan peralatan kalor lebih teliti (David I. Bower,2002). Hasil
pengujian DSC merupakan kurva termogram yang dapat digunakan untuk
menentukan suhu transisi gelass dan suhu leleh (Cheremissinoff, N.P, 1996). Suhu
sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas.
Bila terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanasan
sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan.
Dalam polimer kristal, rantai polimer yang diberikan ada di atau melewati
beberapa zona kristal dan amorf. Zona kristal terdiri dari keselarasan antarmolekul
dan intramolekul atau susunan yang teratur dan karenanya erat dikemas molekul
atau segmen rantai, dan kurangnya hasil dalam pembentukan zona amorf.
Atas dasar berikut perubahan parameter sifat mekanik seperti modulus geser
dengan perubahan (kenaikan) dalam suhu pengamatan untuk sistem bahan
polimer, dapat diamati berturut-turut yaitu transisi gelas dan fenomena transisi
leleh, lebibh mudah dari plot grafis, dan juga mungkin memiliki ukuran suhu
transisi gelas (Tg) dan suhu leleh (Tm).
Respon suhu poplimer linear dapat dilihat menjadi tiga segmen yang
terpisah dan berbeda:
a. Di atas Tm

Universitas Sumatera Utara

Disegmen ini, polimer tetap sebagai lelehan atau cairan yang viskositas
akan tergantung pada berat molekul dan pada suhu pengamatan.
b. Antara Tm dan Tg
Domain ini bisa berkisar anatar hampir 100% rantai amorf klaster
molekul tergantung pada keteraturan struktur polimer dan pada kondisi
eksperimental. Bagian amorf berperilaku seperti super didinginkan cair
disegmen ini. Perilaku fisik keseluruhan dari polimer disegmen
menengah ini jauh seperti karet.
c. Di bawah Tg
Bahan polimer dipandang sebagai gelas yang keras dan kaku,
menunjukkan koefisien ditentukan ekspansi termal. Kaca lebih dekat
dengan kristal padat daripada cairan dalam pola perilaku dalam hal
parameter sifat mekanik. Dalam hal pesanan molekul, namun, kaca lebih
mirip cairan. Ada sedikit perbedaan antara linear dan silang polimer
bawah Tg. Termogram DSC dan daerahnya dapat dilihat pada Gambar

Universitas Sumatera Utara