Efek Penambahan Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel Pada Abu Sekam Padi Nanopartikel Terhadap Viabilitas Sel Pulpa (In Vitro).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Kerusakan gigi dapat berupa karies, keausan, trauma, penyakit periodontal,
dan tindakan iatrogenik yang dapat menyebabkan terbukanya tubulus dentin terhadap
mikroorganisme. Kerusakan gigi yang mencapai lebih dari setengah dentin atau
bahkan telah mencapai pulpa dikategorikan sebagai karies profunda. Pulpa
merupakan jaringan ikat yang memberi respon terhadap stimulus. Peradangan pulpa
terdiri dari pulpitis reversibel dan pulpitis irreversibel. Pulpitis reversibel merupakan
proses inflamasi ringan yang apabila penyebabnya dihilangkan maka inflamasi dapat
hilang dan pulpa akan kembali normal sedangkan pulpitis irreversibel merupakan
inflamasi yang tidak akan bisa pulih sendiri kecuali diberi bahan-bahan
dentinogenesis (Murray dkk., 2002).
Peradangan pulpa mengalami neurogenik inflamasi, dimana serabut saraf
afferent distimulasi oleh berbagai iritan yang menghasilkan neuropeptid-neuropeptid
seperti substansi P dan CGRP dari serabut nosiseptif C di dalam inti pulpa. Peptidpeptid ini memiliki sifat vasodilatasi yakni dapat meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan edema. Neurogenik inflamasi mengeluarkan sel imun seperti makrofag,
neurotrophil, sel mast, dan limphosit (Hargreaves, Cohen, 2011). Kerusakan
odontoblas dan pelepasan molekul-molekul bioaktif sel dalam merangsang
inflamatori pulpa (Gambar 2.1). Inflamasi pulpa tediri dari respon akut dan respon
kronis bergantung pada besar dan durasi rangsangan. Perubahan permeabilitas


vaskuler terjadi saat inflamasi akut, mengakibatkan pembentukan eksudat karena
ruang pulpa yang terbatas berekspansi menyebabkan tekanan intrapulpa meningkat
dan mengakibatkan rasa sakit. Inflamasi kronis dapat bertahan selama bertahuntahun, seringkali tanpa ada keluhan pasien. Apabila inflamasi ini tidak segera
ditanggulangi dapat menyebabkan efek yang membahayakan bagi pulpa sehingga
dapat menyebabkan nekrosis pulpa dan infeksi jaringan periradikuler (Murray dkk.,
2002).
Inflamasi pulpa dapat dicegah dengan melakukan proteksi pulpodentinal
kompleks berupa pengaplikasian bahan dentinogenesis atau bahan restoratif pada
jaringan gigi yang rusak akibat prosedur operatif, toksisitas bahan restoratif serta
penetrasi bakteri akibat terjadinya kebocoran mikro. Proteksi pulpodentinal kompleks
juga berguna untuk memulihkan vitalitas pulpa (Ferracane dkk., 2010).
Menjaga vitalitas jaringan pulpa dan mencegah perubahan patologis jaringan
periradikular maka daerah tubulus dentin harus ditutup. Produksi dentin sekunder dan
tersier berguna untuk melindungi pulpa gigi dan jaringan periapikal dari infeksi
(Murray dkk., 2002). Proses pembentukan dentin tersier bersifat reaksioner dan
reparatif. Dentin reaksioner biasanya diproduksi oleh odontoblas yang telah ada
sebagai respon terhadap bahan restorasi, sebaliknya dentin reparatif terbentuk oleh
sel-sel odontoblas baru ketika odontoblas primer mengalami injuri secara irreversibel.
Dentinogenesis reparatif dianggap lebih kompleks dibanding dentin reaksioner

(Murray dkk., 2002).

Banyak bahan yang telah digunakan untuk menutup tubulus dentin dengan
merangsang terjadinya dentinogenesis. Proses dentinogenesis merupakan reaksi
spesifik dari jaringan pulpa dan dianggap mekanisme perlindungan. Bahan yang
sering digunakan adalah kalsium hidroksida dan MTA, walaupun kalsium hidroksida
lebih ekonomis dan banyak beredar, peneliti-peneliti telah menunjukkan bahwa
kalsium hidroksida kurang mampu menstimulasi dentinogenesis dan membentuk
dentin reparatif dengan baik dan terlihat tidak dapat mengadakan deposisi dentin
seperti yang diharapkan, sehingga hasil akhir yang diharapkan tidak sebaik
dibandingkan menggunakan MTA (Eskandarizadeh dkk., 2006).

Gambar 2.1 Respons Odontoblas terhadap Stimulasi Patologis (Murray dkk., 2002)

Tujuan utama dari ilmu kedokteran gigi restoratif adalah mengembalikan dan
mempertahankan kesehatan gigi melalui perawatan restoratif yang adekuat guna
melindungi dan memperbaiki fungsi pulpa. Pulpa berperan penting dalam fungsi

formasi dan nutrisi bagi dentin serta fungsi inervasi dan pertahanan gigi (Smith dkk.,
2003).


2.1 Regenerasi pada Pulpodentinal Kompleks
Anatomi mikroskopik dentin primer terdiri dari tubulus dentin, dengan
mikrotubulus yang saling berhubungan, penyembuhan sel-sel odontoblas pulpa
perifer terjadi pada dentin intertubular yang mengandung kolagen-hidroksiapatit.
Mineralisasi struktur peritubular berlanjut sejalan dengan bertambahnya usia,
menghasilkan jaringan kurang permiabel dan kurang dinamis. Proses mineralisasi
dapat dipercepat setelah penempatan bahan restorasi dalam kavitas yang dipreparasi.
Dentin terdiri dari mineral hidroksiapatit, air, dan bahan organik. Sekitar 90% dari
bahan organik adalah kolagen, dan kebanyakan kolagen tipe 1. Sekitar 10 % sisanya
merupakan matrix ekstraseluler organik yang terdiri dari protein noncollagenous dan
proteoglycans (Dahl, Orstavik, 2010).
Secara anatomi dan fisiologi letak pulpa dan dentin sangat berdekatan
sehingga dianggap merupakan suatu kesatuan dan disebut pulpodentinal kompleks.
Pulpodentinal kompleks secara seluler spesifik mampu merespon aplikasi terapi
dalam membentuk jaringan keras. Hasil akhir dari proses penyembuhan apabila
odontoblas teriritasi oleh trauma, infeksi bakteri, ataupun produk degradasi maka
pada pulpodentinal kompleks terjadi penyusunan kembali susunan jaringan normal
dengan terbentuknya dentin tersier atau pembentukan jaringan lunak atau parut yang
menyerupai fibrodentin dalam waktu 4-6 minggu. Apabila iritasi tersebut dihilangkan


sebelum terjadi nekrosis pulpa, pembentukan dentin tersier menciptakan perisai
antara pulpa dengan iritan. Pembentukan dentin tersier berlangsung lebih cepat
dibandingkan pembentukan dentin sekunder dan merupakan mekanisme pertahanan
yang penting terhadap iritan patologis maupun fisiologis di dalam pulpodentinal
kompleks (Dahl, Orstavik, 2010).
Pola perbaikan pada pulpodentinal kompleks bergantung pada tiga kondisi
patofisiologi batas dentin-pulpa yang berbeda yaitu luas dan jenis jaringan yang
terluka, efek perlindungan dari struktur gigi dan integritas batas dentin-pulpa. Evolusi
jangka panjang dan perawatan pulpodentinal kompleks merupakan pertimbangan
utama dari kebanyakan prosedur restoratif gigi terutama pada pasien berusia lanjut
dimana proses reparatif menjadi kurang efektif (Hargreaves, Cohen, 2011).
Kelangsungan hidup odontoblas sangat bergantung pada sisa ketebalan dentin.
Menurut Pameijer, Stanley dan Ecker (1991) melaporkan bahwa sisa ketebalan dentin
adalah 1 mm atau lebih akan melindungi jaringan pulpa dari efek sitotoksik zinc
phosphate dan Semen ionomer kaca modifikasi resin selama proses luting. Dalam
satu tahun terakhir, telah diperkirakan bahwa estimasi yang benar terhadap sisa
ketebalan dentin adalah 0,5 mm, dimana pada sisa ketebalan dentin 0,5 mm masih
terdapat kelangsungan hidup odontoblas. Sisa ketebalan dentin dan sekresi dentin
reaksioner saling berkaitan. Bagian terpenting dalam sekresi dentin reaksioner pada

sisa ketebalan dentin antara 0,25 - 0,50 mm karena pada sisa ketebalan dentin 0,25 0,50 mm mempunyai molekul bioaktif untuk mendifusi sel odontoblas yang lebih
banyak dibandingkan ketebalan di atas 0,5 mm. Dentin reaksioner tidak terjadi pada

sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm, karena sisa ketebalan dentin di bawah 0,25
mm kehilangan sel odontoblas dalam jumlah banyak (Murray dkk., 2002) (Gambar
2.2). Aktivitas sisa ketebalan dentin memainkan peran utama dalam menentukan
tingkat cedera pulpa dan respon perbaikan dari bahan kaping pulpa (Tabel 2.1).

Gambar 2.2 Daerah Pulpodentinal Kompleks (Hargreaves, 2012)

Tabel 2.1 Pengaruh Sisa Ketebalan Dentin terhadap Kelangsungan Hidup Sel
Odontoblas, Aktifitas Dentin Reaksioner, dan Inflamasi Pulpa (Murray,
2002).
Sisa
Tipe Kavitas
Kelangsungan
Pembentukan
Aktifitas
ketebalan
hidup sel

dentin
inflamasi pulpa
Dentin
odontoblas (%)
reaksioner
>1mm

Dangkal

100

Sedikit

Sedikit

0,5-1 mm

Sedang

88,9


Sedikit

Sedikit

0,25-5
mm

Dalam

82,5

Makin tinggi

>>
-sealing ability
-penyembuhan
jaringan

- bahan hibrid

yang lebih kuat
dan tidak rapuh
-dapat melepaskan
fluoride

SIKMRn

Mempunyai asam amina,
anti toxic,Biokompatibel,
menstimulasi dentin
reparatif, biodegradable

-Compressive +flexural
strength
Proliferasi Sel

Viablitas Sel

ASP


-Silika tinggi
(SiO2 >>>)Osteoinduksi biokompatibilit
as biodegradasi

nilai
absorbansi

Penggunaan produk-produk alam di bidang kedokteran gigi saat ini semakin
berkembang pesat, contoh bahan alami yang dapat menstimulasi proliferasi sel adalah
abu sekam padi dan kitosan molekul tinggi. Sekam padi dikategorikan sebagai
biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan tetapi mempunyai nilai
ekonomis yang masih rendah sehingga perlunya dicari alternatif lain yang lebih
bermanfaat dan penanganan sekam padi yang kurang tepat akan menimbulkan
pencemaran lingkungan. Padahal Abu sekam padi merupakan sumber silika potensial
yang dapat digunakan sebagai bahan kedokteran gigi.
Nilai paling umum kandungan silika (SiO2) dalam abu sekam padi adalah 94 –
96% dan apabila nilainya mendekati atau dibawah 90 % dijumpai dalam bentuk
amorf terhidrat. Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi
(500–6000C) akan menghasilkan abu silika. Berdasarkan derajat pembakaran abu
sekam padi, maka warna abu sekam dapat diklasifikasi menjadi 3 lapisan warna, yaitu

abu-abu, putih dan merah jambu (Zakaria, 2002).
Silika terbukti mempengaruhi pembentukan tulang. Silika merupakan bahan
semi konduktor yang mempunyai potensi untuk mencapai sifat-sifat mekanis,
morfologis, biokompatibilitas dan biodegradasi. Makanan yang mengandung silika
dapat menstimulasi sel osteoblas dan osteo-blast-like cell untuk mensekresi kolagen
tipe I dan marker bio-kimia lain pada maturasi sel tulang dan pembentukan tulang
(Refitt dkk., 2003 cit Indahyani dkk., 2011).

Berdasarkan penelitian Indahyani dkk., 2011 menyatakan bahwa silika yang
berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi
osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi.
Kitosan merupakan biopolimer alami di alam dan merupakan hasil Ndiasetilisasi dari kitin. Kitin banyak terkandung pada hewan laut berkulit keras, salah
satunya adalah blangkas yang merupakan kitosan bermolekul tinggi dan dapat
menstimulasi dentin reparatif. Kitosan juga dibuat dalam bentuk nanopartikel.
Ukuran partikel kitosan yang berskala nanometer akan meningkatkan luas permukaan
sampai ratusan kali dibandingkan dengan partikel yang berukuran mikrometer,
sehingga dapat meningkatkan efektifitas kitosan dalam hal mengikat gugus kimia
lainnya. Kitosan nano juga dapat meningkatkan efisiensi proses fisika-kimia pada
permukaan kitosan tersebut karena memungkinkan interaksi pada permukaan yang
lebih besar (Trimurni dkk., 2007; Siregar, 2009).

Berkembangnya bahan material yang bergerak ke arah nanopartikel, maka
dengan ASPn+KMTn diharapkan dapat meningkatkan stimulasi proliferasi sel pada
pulpa yang dapat dilihat melalui uji viabilitas sel dengan menggunakan MTT assay.

2.7 Kerangka Konsep
-

-

ASPn
ASPn+KMTn
sebelum+ sesudah
setting
MTA sebelum+
sesudah setting
SIKMR

Viabilitas sel
MDPC
-

1 Hari
3 Hari
7 Hari

2.8 Hipotesis Penelitian
Dari uraian di atas dapat dibuat hipotesa yaitu :
1. ASPn+KMTn dapat menstimulasi viabilitas sel MDPC.
2. Terdapat

perbedaaan

viabilitas

sel

MDPC

bila

diaplikasikan

ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan ASPn.
3. Terdapat

perbedaaan

viabilitas

sel

MDPC

bila

diaplikasikan

ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan MTA sebelum dan
sesudah setting.
4. Terdapat

perbedaaan

viabilitas

sel

MDPC

bila

ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan SIKMR.

diaplikasikan