Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Berbentuk CV (Commanditaire Vennootschap) Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korporasi

dalam

ruang

geraknya

dimaksudkan

untuk

memberikan

kesejahteraan kepada masyarakat luas, sehingga tujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum dapat tercapai sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan
UUD 1945 serta di dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan guna

meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. 1
Korporasi dalam hal ini CV dapat melakukan suatu tindak pidana melalui
mereka yang mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan
para pengurus lainnya yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari
korporasi. Tindak pidana korporasi seringkali tidak tampak atau tidak kelihatan
karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang, serta
pelaksanaannya yang rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi.
Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan
prinsip ekonomi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi juga mempunyai
kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan
pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 2 Sebuah

Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

1

Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta : PT. SOFMEDIA, 2011), Hal. 57.
Ibid.

2


1

2

perusahaan yang baik tidak hanya memperhatikan kepentingan para pemegang
saham, tetapi juga memeperhatikan kepentingan stakeholder. Secara etis dunia bisnis
tidak hanya wajib berbuat baik kepada sesama manusia, tetapi juga kepada
lingkungan alamnya. 3
Pengertian korporasi dilihat dari etimologinya (asal katanya), yang dalam
istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), Corporation (Inggris), Korporation
(Jerman), berasal dari bahasa Latin yaitu corporatio.

4

Terkait dengan istilah

corporatio, menurut Mulhadi dan Dwija Prayitno :
“Seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran dengan “tio”, maka
corporatio dianggap sebagai kata benda (substantivum) yang berasal dari kata

kerja corporare yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan
atau sesudah itu. Corporare itu sendiri berasal dari kata corpus yang dalam
bahasa Indonesia berarti “badan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau
proses membadankan. Dengan demikian, maa akhirnya corporatio itu berarti
hasil pekerjaan membadankan atau dengan perkataan lain, korporasi
merupakan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan
perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi
menurut alam.” 5
Sutan Remi Sjahdeni menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupu melihat
dalam artinya yang luas. Sutan Remi Sjahdeni menyatakan bahwa:
“Menurut artinya yang sempit, yaitu badan hukum, korporasi merupakan figur
hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang
melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum
Ibid., Hal. 59.
Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,

3
4


(Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991), Hal. 13.
Ibid., Hal.12.

5

3

perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikanya suatu
hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu
figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu
korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh
hukum.” 6
Lalu pengertian luas korporasi dalam hukum pidana, Sutan Remy Sjahdeni
mendefinisikan korporasi sebagai berikut:
“Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan
badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas,
yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan
hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi
juga firma, persekutuan komanditer atau CV dan persekutuan atau maatschap,

yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan
hukum.” 7

Berdasarkan hukum pidana sebagai ius constituendum dalam Konsep
Rancangan KUHP Baru Buku I Tahun 2012 Pasal 182 yang menyatakan “Korporasi
adalah sekumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum”. 8 Dengan demikian pengertian korporasi
menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian korporasi dalam hukum
perdata, sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non
badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi mempunyai kedudukan
sebagai badan hukum. 9

6

Sutan Remi Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006),

Hal. 43
Ibid., Hal. 45.

7


Lihat Rancangan KUHP Baru Buku I Tahun 2012.
Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,

8
9

2010), Hal. 32-33.

4

Perkembangan perundang-undangan khusus diluar KUHPidana, khususnya
tentang subjek hukum pidana, yaitu korporasi

perumusannya lebih luas apabila

dibandingkan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut hukum
pidana pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum atau tidak. Misalnya dalam
tindak pidana subversi dikatakan perserikatan orang adalah maatschap (Pasal 16, 18
dan seterusnya KUHPerdata), firma (Pasal 16 dan seterusnya KUHDagang), dan

perseroan komanditer atau CV (Pasal 19 dan seterusnya dalam KUHDagang)
merupakan badan usaha yang bukan badan hukum. 10
Di beberapa negara, badan usaha CV masih dimasukan kedalam kategori
unincorporated business entity. 11 Sebagai perbandingan, CV dikategorikan sebagai
bentuk perusahaan maatschap (persekutuan) di Belanda dan sejak tahun 2002,
Pemerintah Belanda telah menyerahkan proposal perubahan peraturan hukum tentang
persekutuan kepada Parlemen Belanda khususnya Bab 13 Buku ke 7 Kitab Undangundang Hukum Perdata. Dalam hal ini, Belanda melakukan suatu terobosan dengan
memberikan pilihan kepada para pelaku usaha untuk mendirikan suatu persekutuan,
termasuk CV, sebagai suatu badan hukum. Konsep badan hukum ini ditujukan secara
khusus untuk membantu kejelasan status kepemilikan (interest) persekutuan. 12

Ibid., Hal. 34.
Allen Sparkman, Choice of entity From an Estate Planning Perspective, Colorado Lawyer,

10
11

1999, Hal.1.
12
Yetty Komalasari Dewi,, Pemiikiran Baru Tentang Commanditaire Venootschap (CV),

(Jakarta: BadanPenerbit FHUI, 2011), Hal. 11.

5

Badan usaha CV ternyata masih hidup dan berkembang di Indonesia
khususnya bagi pelaku usaha kecil-menengah,

13

walaupun ketentuan-ketentuan

hukumnya masih merupakan produk peninggalan pemerintahan Belanda dan telah
tersedia bentuk perusahaan lain seperti Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat
dengan PT) yang dari sisi pengaturannya jelas memberikan kepastian hukum. Secara
nasional, hal ini tercermin dalam Laporan Kumulatif Penerbitan Tanda Daftar
Perusahaan Departemen Perdagangan sampai tahun 2013 yang menyatakan bahwa
setidaknya terdapat 33.546 jumlah CV. 14 Data ini menunjukan jelas bahwa eksistensi
CV sebagai sebuah badan usaha masih diakui oleh masyarakat pelaku usaha di
Indonesia.
Keberadaan CV dalam lalu lintas bisnis telah dikenal masyarakat, terutama

masyarakat pengusaha, sebagai salah satu bentuk badan usaha. Dasar pengaturan CV
terdapat dalam KUHD tidak diatur secara khusus/tersendiri sebagaimana persekutan
firma dan persekutuan perdata (maatschap), ketentuan CV terdapat pada Pasal 19, 20,
21 dan Pasal 32 KUHD. Ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 KUHD yang
mengatur tentang Firma jika dikaji lebih jauh, jelaslah bahwa CV adalah Firma
dengan bentuk khusus. Kekhususan itu terletak pada eksistensi sekutu komanditer
yang tidak ada pada Firma. Firma hanya mempunyai sekutu aktif yang disebut

13

Lihat ketentuan mengenai Usaha Kecil Menengah dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang

Usaha kecil Mikro, Kecil, dan Menengah.
14
Laporan Kumulatif Penerbitan Tanda Daftar Perusahaan, Direktorat Bina Usaha,
Departemen Perdagangan Republik Indonesia Tahun 2014.

6

firmant, sedangkan pada CV selain ada sekutu aktif juga ada sekutu komanditer atau

sekutu pasif (sleeping partner). 15
Bentuk badan usaha perseorangan seperti Usaha Dagang atau Perusahaan
Dagang adalah bentuk yang paling tua, sederhana dan tumbuh berdasarkan hukum
kebiasaan yang saat ini pendiriannya tidak memerlukan persyaratan formal seperti
pendaftaran di institusi pemerintah tertentu. 16 Bentuk perusahaan dagang yang
banyak diminati oleh pelaku usaha adalah bentuk Perseroan Terbatas (PT) 17, hal ini
karena terdapatnya sifat pertanggungjawaban terbatas (limited liability) sebagai
bentuk perlindungan hukum terhadap resiko usaha yang dihadapi oleh pemegang
saham maupun direksi dan komisaris. 18 Sedangkan beberapa alasan lainnya adalah
proses pendirian PT yang saat ini relatif lebih mudah dengan diterapkannya Sistem
Adminitrasi Badan Hukum atau Sisbakum (yang saat ini telah diganti dengan Sistem
Administrasi Badan Hukum (SABH)), status badan hukumnya yang jelas, atau
keleluasaan untuk mengalihkan kepemilikan didalam perusahaan. 19
Akhir-akhir ini muncul kritikan bahwa perkembangan diterapkannya
pertanggungjawaban pidana korporasi telah menyebabkan ketakutan bagi para direksi

15

Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1 Bagian Kedua, (Jakarta: Rajawali Pers,


1991), Hal. 102.
16
Hardijan Rusli, Badan Hukum dan Bentuk Perusahaan di Indonesia, (Jakarta:
HUPERINDO, 1989), Hal. 17.
17

Biasa disingkat dengan “PT”. Lihat pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas.
18
Ibid, pasal 3 ayat (1), Pasal 97 ayat (5), Pasal 104 ayat (4), Pasal 114 ayat (5) dan Pasal 115
ayat (3).
19

Yetti , Loc. Cit., Hal. 2-3.

7

perusahaan karena mereka dapat dijutuhi hukuman pidana dalam menjalankan
usahanya. Para pakar ada yang berpendapat bahwa hukuman (pemidanaan) bagi
korporasi adalah suatu kekeliruan atau sebuah kesalahan, pertanggungjawaban pidana
tidak efesien dan harus dibatalkan cukup hanya menjatuhkan sanksi pidana dan
meminta pertanggungjawaban kepada individu karyawan/pegawai korporasi dan agen
korporasi. Akan tetapi, harus disadari bahwa korporasi bukan hanya sebagai suatu
entitas fiksi belaka, namun perbuatan (usaha yang dilaksanakannya) sesuatu yang
nyata dan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap individu dan
masyarakat luas. 20
Dalam melaksanakan kegiatannya, korporasi yang dalam tulisan ini adalah
Commanditaire Vennootschap (CV) yang merupakan bagian dari masyarakat yang
lebih luas perlu ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi
kepentingan hidup bersama dalam masyarakat. Beberapa peranan yang diharapkan
terhadap korporasi dalam memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna
tersebut dapat diwujudkan dalam kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup,
kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar dan seterusnya akan menciptakan
iklim yang lebih menerima perusahaan tersebut beserta produk-produknya. Peranan
korporasi dalam memperhatikan dan membina kelestarian kemampuan sumber alam
dan lingkungan hidup harus menyerasikan antara lingkungan hidup dengan

20

“Meminta

Pertanggungjawaban

Korporasi”,

http://alviprofdr.blogspot.com/2014/08/meminta-pertanggungjawaban-pidana.html, tanggal akses
januari 2015.

5

8

pembangunan bukanlah hal yang mudah, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 21
Terjadinya

pencemaran

dan/atau

kerusakan

lingkungan,

kebanyakan

dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga
merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau
melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.

22

Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentu lingkungan hidup perlu
mendapatkan perlindungan hukum. 23
Hukum pidana mengenal asas Legalitas, Nullum Delictum Nulla Poene Sine
Praevia Lege Poenali, yang artinya;” tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu
peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu
delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.” 24 Dalam
perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, CV sebagai korporasi dapat
dimintai pertanggungjawabannya, khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi
dalam hukum pidana, ada perumusan yang dibentuk oleh undang-undang, yakni: 25
yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah
orang. Rumusan ini dianut dalam KUHP (WvS); yang dapat melakukan tindak pidana
21
22

Alvi Syahrin, Loc., Cit., Hal. 60.
Baoed Wahono, Penegakan Hukum Lingkungan Melakui Ketentuan-ketentuan Hukum

Pidana, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1996), Hal. 42.
23

Alvi Syahrin, Op.,Cit., Hal. 62.

24

E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Jakarta: UI Press, 1958), hal. 192.

25

Ibid, Hal. 6.

9

adalah orang dan atau korporasi, tetapi yang dipertanggungjawabkan hanyalah orang.
Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana, maka yang dipertanggungjawabkan
adalah pengurus korporasi. Rumusan seperti ini terlihat dalam Ordonansi Devisa,
Undang-undang Penyelesaian Perburuhan, Undang-undang Pengawasan Perburuhan
dan Peraturan Kecelakaan; dan yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan, adalah orang atau korporasi. Rumusan ini, terdapat dalam
Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Subversi, Narkotika dan Undang-undang
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hukum pidana dapat memberikan sumbangan dalam perlindungan hukum
bagi lingkungan hidup. Dari sudut pandang hukum lingkungan, kemungkinan
mengatur masalah-masalah lingkungan hidup dengan bantuan hukum pidana sangat
terbatas 26. Dalam hal kebijakan lingkungan, tidak dirumuskan dalam bentuk norma
hukum, maka tidak dapat dilakukan penegakan hukum melalui pendayagunaan
hukum pidana. Upaya penegakan melalui sarana hukum pidana lebih merupakan
pelengkap daripada instrumen pengatur. 27
Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, berarti berbicara mengenai
orang yang melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana memisahkan antara
karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang
melakukan. George P. Fletcher secara lengkap menyatakan:

26

Alvi Syahrin, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan :

Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2002), Hal. 2-3.
27

Alvi Syahrin, Op., Cit.

10

We distinguish between characteristics of the act (wrongful, criminal) and
characteristics of the actor (insane, infant). Indeed, the Model Penal Code
builds on this ditinction by defining insanity as a state of non responsibility
involving, in part, the absence of “substantial capacity to apreciate the
wrongfulness” of the criminal act. This definition would not be coherent
unless the issue of responsibility were separable from the isuue of
wrongfulness; if non-responsibile acts were nor wrongful, it would not make
sense to say the insane actor did not appreciate the wrongfulness of his act 28.
Terjemahan Bebas: Kita harus membedakan antara karakter dalam perbuatan
(kesalahan, kriminal) dan karakter pelaku (jiwa, tubuh). Termasuk didalam Model
Penal Code juga membuat perbedaan ini dengan mendefinisikan jiwa sebagai suatu
keadaan yang tidak terlibat bertanggung jawab, termasuk ketiadaannya dalam
kapasitas besar untuk mengapresiasikan kesalahan dari perbuatan kriminal. Definisi
ini tidak bisa bersifat koheren kecuali masalah mengenai pertanggungjawaban dipisah
dari kesalahan; jika perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan bukanlah
kesalahan, hal ini tidak berarti bisa dikatakan jiwa pelaku tersebut tidak dinyatakan
sebagai perbuatan tanpa kesalahan

Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana
harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, harus dipastikan
dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah
ini sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan.
Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban
pidananya. 29 Hukum pidana pada saat sekarang ini seperti yang diketahui, pada
umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan adalah si pembuat, walaupun tidak
selalu demikian. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu dibedakan, yakni mengenai
hal melakukan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. 30

28

George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, (Oxford University Press, 2000), Hal. 455.

29

Muladi dan Dwija Prayitno, Loc., Cit., Hal. 66-67.

30

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), Hal.69.

11

Berdasarkan hukum pidana, syarat atau prinsip utama untuk adanya
pertanggungjawaban pidana adalah harus ada kesalahan dan pembuat harus mampu
bertanggungjawab. Definisi kesalahan secara jelas diberikan oleh Remmelink sebagai
pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat – yang menerapkan standar etis yang
berlaku pada waktu tertentu – terhadap manusia yang melakukan perilaku
meyimpang yang sebenarnya dapat dihindari. 31 Hal yang sama juga dikemukakan
oleh Mezger yang mengartikan kesalahan sebagai keseluruhan syarat yang memberi
dasar pencelaan pribadi terhadap pelaku perbuatan pidana. 32 Berdasarkan adagium
facianus quos inquinat aequat yang menyatakan bahwa kesalahan selalu melekat
pada orang yang berbuat salah, maka kesalahan bertalian dengan dua hal, yaitu sifat
dapat dicelanya (verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat dapat dihindarkannya
(vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum. 33 Mengenai hal ini, Roeslan
Saleh mengatakan bahwa unsur kesalahan tidak hanya kesengajaan atau kealpaan,
tetapi juga kemampuan bertanggung jawab. 34 Sedangkan Sudarto mengatakan bahwa

31

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 390.
32
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1990), Hal. 88.
33

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,

2014), Hal. 123.
34
Hatrik Hamzah, Strict Liability dan Vicarious Liability: asas pertanggungjawaban
korporasi dalam hukum pidana Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1966), Hal.7. dikutip
dari Roeslan Saleh, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1988),
Hal.114.

12

disamping mampu bertanggung jawab, kesalahan dan melawan hukum sebagai syarat
pengenaan pidana adalah pembahayaan masyarakat oleh si pembuat. 35
Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan
hidup, diatur dalam Pasal 116 UUPPLH yang berbunyi: 36
1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana pidana tersebut.
2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksudkan
dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan
kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja
badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Pengaturan dalam Pasal 116 UUPPLH yang meliputi baik badan usaha yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Dalam hal ini CV adalah

35

Ibid., dikutip dari Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, dalam BPHN,

Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Binacipta, 1987), Hal. 77.
36

Pasal 116 UU No.32 Tahun 2009 tentang UUPPLH

13

badan usaha yang bukan berbadan hukum. 37 Sebagaimana dalam putusan Pengadilan
Negeri Banyuwangi No: 410/Pid.B/2012/PN.Bwi. tentang tindak pidana “Dumping
limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin” oleh sekutu CV Pasific Harvest yang
berdasarkan Akta No.34 Tanggal 20 Agustus 2008 tentang Pemasukan dan
Pengeluaran Pesero Serta Anggaran Dasar CV Pasifik Harvest yang sudah dilegalisir
oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi dan Surat Kuasa tangggal 20 Agustus 2008
tentang Sdr. Sunarno selaku Manager CV Pasifik Harvest

bertanggung jawab

terhadap seluruh aktivitas Perusahaan yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri
Banyuwangi.
Pada tanggal 15 Maret 2011, terdakwa Sunarno selaku Direktur CV Pasific
Harvest bertindak untuk dan atas nama CV Pasific Harvest melanggar baku mutu air
limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan, dan perbuatan tersebut
dilakukan dengan membuang limbah cair tanpa izin yang sah tanpa melalui proses
IPAL yang benar dan melebihi baku mutu yang berasal dari proses produksi CV yang
keluar dari seluruh pembuangan luar dan dalam yang kemudian menuju Sungai
Traras yang bermuara ke Perairan Selat Bali, serta karakteristik air limbah industri
yang dibuang melalui saluran pembuangan atau outlet adalah berupa cairan, berwarna
kemerah-merahan (darah ikan), licin dan berbau amis seperti bau khas ikan dan juga
terdapat sisa-sisa potongan ikan yang ikut terlarut. Berdasarkan Sertifikat Pengujian

37

(Cv)”,

“Penerapan Pasal 116 UUPPLH Terhadap Badan Usaha Berbentuk Persekutuan Komanditer

http://alviprofdr.blogspot.com/2013/06/penerapan-pasal-116-uupplh-terhadap.html,

akses 5 Januari 2015.

tanggal

14

No.237 S/LKA-MJK/III/11 tanggal 25 Maret 2011 menyebutkan bahwa air limbah
industry CV Pasific Harvest terdapat beberapa parameter yang hasil ujinya melebihi
baku mutu dan dengan kesimpulan hasil analisa parameter tersebut tidak memenihi
Standar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.06 Tahun 2007.
Akhirnya berdasarkan surat peringatan I yang diberikan Bupati Banyuwangi
No: 660/025/429.023/2006 tanggal 16 Januari 2006, Surat Peringatan Perbaikan
Pengelolaan Lingkungan dari Sekda Banyuwangi No: 660/5858/429.023/2008
tanggal 15 Agustus 2008 kepada CV Pasific Harvest, terdakwa selaku Direktur CV
Pasific Harvest sudah mengetahui kewajiban untuk mengelolah limbah air tersebut,
namun kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, serta pengelolahan limbahnya melebihi
ambang batas baku mutu yang ditentukan dan proses pembuangan limbah industri
CV Pasific Harvest yang dibuang ke media lingkungan tanpa melalui proses
pengelolaan IPAL yang benar. Sehingga melalui perbuatan terdakwa tersebut
melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 100
ayat (1) UURI No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Dengan terbuktinya secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin”, Pengadilan Negeri
Banyuwangi mengadili dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa Sunarno selaku
Manager CV Pasific Harvest yang bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas
Perusahaan. 38

38

Lihat Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi No. 410/Pid.B/2012/PN.Bwi (2012).

15

Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, pertanggungjawaban pidana badan
usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Kemudian Pasal 116 ayat (2) UUPPLH
menetapkan bahwa: “Apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam ruang lingkup
kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut
dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.” 39
Memperhatikan ketentuan pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH yang
menetapkan: “kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup” dan
berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup,
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”, dan ketentuan Pasal 116
UUPPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dibidang
lingkungan hidup dikenakan kepada badan usaha dan para pengurusnya secara
bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 40

39

Alvi Syahrin, Loc., Cit., Hal. 64.

40

Ibid., Hal. 72-73.

16

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang ini meskipun mengatur
tentang alasan penghapusan pidana, akan tetapi KUHP sendiri tidak memberikan
pengertian yang jelas tentang makna dari alasan penghapusan pidana. Pengertiannya
hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHP (WvS Belanda). Menurut
sejarahnya yaitu melalui M.v.T (Memorie van Toelichting) mengenai alasan
penghapusan pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya
seseorang”. Hal ini berdasarkan pada dua alasan, yaitu: 41
1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada
diri orang tersebut, dan
2. Alasan tidak dapat dipertangungjawabkannya seseorang yang terletak di luar
dari diri orang tersebut.
Selain penghapusan pidana yang dibedakan menjadi alasan pembenar – alasan
pemaaf dan alasan yang berada dalam diri pelaku – alasan yang berada di luar diri
pelaku, pembagian alasan penghapus pidana lainnya adalah alasan penghapus pidana
umum dan alasan penghapus pidana khusus. Alasan penghapus pidana yang umum
adalah alasan penghapus pidana yang terdapat baik didalam KUHP maupun diluar
KUHP. 42
Fletcher menyatakan bahwa dalam alasan pembenar, perbuatan pelaku telah
memenuhi ketentuan larangan sebagaimana diatur didalam undang-undang, namun
41

Hamdan, Alasan Penghapus Pidana, (Bandung: Refika Aditama, 2012), Hal.27-28.

42

Eddy O.S. Hiariej, Op., Cit., Hal.210.

17

masih dipertanyakan apakah perbuatan tersebut dapat dibenarkan ataukah tidak;
dalam alasan pemaaf, perbuatan salah, akan tetapi masih dipertanyakan apakah
pelaku dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak. Alasan pembenar membicarakan
tentang kebenaran dari suatu perbuatan; alasan pemaaf mempertanyakan apakah
pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang salah. 43 Dalam
kaitannya dengan alasan penghapus pidana yang pada hakikatnya adalah alasan
penghapus pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa alasan pembenar
menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan, sedangkan alasan pemaaf
menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku.
Alasan penghapus pidana dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf
memiliki arti penting dalam kaitannya dengan delik penyertaan. Jika dua orang atau
lebih melakukan suatu perbuatan pidana dan salah seorang dilepaskan dari tanggung
jawab pidana karena terdapat alasan pembenar, maka semua pelaku peserta lainnya
juga harus dibebaskan. Sebaliknya, jika dua orang atau lebih melakukan suatu
perbuatan pidana dan salah seorang dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena
alasan pemaaf, maka tidak serta merta pelaku lainnya juga dilepaskan karena alasan
pemaaf. Artinya, alasan pemaaf ini lebih bersifat individual pada diri pelaku. 44
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

43

Ibid., Hal. 209.

44

Ibid.

18

1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Commanditaire Venootschap
dibidang lingkungan hidup?
2. Bagaimana alasan pemaaf terhadap pertanggungjawaban Commanditaire
Venootschap dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup?
C. Tujuan Penelitian
Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini
yang menitikberatkan pertanggungjawaban pidana badan usaha berbentuk CV
(Commanditaire Vennootschap) dalam perlindungan dan pengelolahan lingkungan
hidup, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk

mengetahui

dan

menjelaskan

pertanggungjawaban

pidana

bagi

Commandiatire Venootschap dibidang lingkungan hidup.
2. Untuk mengetahui serta menjelaskan mengenai alasan pemaaf terhadap
pertanggungjawaban Commanditaire Venootschap dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
D. Maanfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat yang baik yang bersifat
praktis maupun teoritis.
Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta menjadi bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Dengan penelitian ini juga
diharapkan dapat memperkaya pemahaman akademisi dibidang ilmu hukum,

19

khususnya hukum pidana dan hukum bisnis, serta menambah khasanah kajian
dibidang lingkungan hidup.
Manfaat dari segi praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pembuat kebijakan dalam memformulasikan pertanggungjawaban
pidana bagi Commanditaire Venootschaps dalam hal perlingungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Bagi aparat penegak hukum diharapkan penelitian ini dapat
menjadi bahan masukan dalam menentukan kebijakan serta langkah-langkah
penanganan dan penyelesaian perkara-perkara yang berkaitan dengan Commanditaire
Venootschap.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di
perpustakaan

Universitas

Sumatera

Utara,

bahwa

penelitian

mengenai

“Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Berbentuk CV (Commanditaire
Venootschap) Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” belum
pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh mahasiswa
terdahulu yang berkaitan dengan pertanggungjawaban badan usaha dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain:
1. Penelitian

thesis

oleh

Zairida

pada

tahun

2005

dengan

judul

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Pencemaran dan Perusakan
Lingkungan Hidup (studi kasus pencemaran sungai Belumai Kabupaten Deli
Serdang).

20

2. Penelitian thesis oleh Barus Kariawan pada tahun 2011 dengan judul Analisis
Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Di
Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Walaupun telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana ataupun tindak pidana lingkungan hidup, namun aspek
yang dibahas berbeda. Maka penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian
yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan
nuansa

keilmuan,

kejujuran,

rasional,

objektif,

terbuka

dan

dapat

dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konseptual
1.

Kerangka Teori
Commanditaire Venootschap atau CV adalah suatu bentuk badan usaha yang

cukup banyak dan populer dalam masyarakat Indonesia. Jumlahnya mencapai
puluhan ribu perusahaan. Bentuk usaha ini bermula diformulasikan kembali dalam
kodifikasi Napoleon Code yang mengangkatnya dari bentuk badan usaha abad
pertengahan di Eropa, Napoleon Bonaparte menguasai Eropa termasuk Negeri
Belanda. Berdasarkan asas Konkordasi Hukum Belanda kemudian berlaku di Hindia
Belanda.

21

Penelitian ini menggunakan teori principal agent relationship 45 yang mengkaji
hubungan hukum antara dua jenis sekutu dalam CV, yakni sekutu pengurus yang
sangat mengetahui jalannya badan usaha dan sekutu komanditer yang tidak terlalu
mengetahui jalannya badan usaha. Hal ini yang memperbesar terjadinya
kecenderungan penyalahgunaan kewenangan (moral hazard) yang dilakukan oleh
sekutu pengurus terhadap jalannya perusahaan.
Dalam Hukum Indonesia, hubungan principal-agent relationship ini diatur
didalam Pasal 1792 KUHPerdata tentang Hubungan Pemberian Kuasa dan kemudian
diatur khusus dalam Pasal 76 KUHD tentang Komisioner dalam hal perusahaan.
Pasal

76

KUHD

mendefinisikan

komisioner

sebagai

seseorang

yang

menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup
persetujuan atas nama atau firma itu sendiri, namun dengan amanat dan tanggungan
orang lain dan dengan menerima upahan atau provisi tertentu.
Hubungan principal-agent relationship dalam pertanggungjawaban sekutusekutu

dalam

badan

usaha

berbentuk

CV

dapat

dilihat

bagaimana

pertanggungjawaban para sekutu dalam CV (sekutu komanditer dan sekutu
kompelementer) apabila dalam kegiatannya dalam menjalankan usahanya, terjadi
45

Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fifth Edition, (New York: Aspen Law &

Bussiness, 1998), Hal.25. Lihat juga Eric A. Posner, Agency Models in Law and Economics, Chicago
Lectures in Law and Economics, (New York: Foundation Press, 2000), Hal.225. menyebutkan bahwa
Agency Relationship juga dapat diartikan sebagai perjanjian dimana satu pihak (principal) meminta
pihak lain (agent) untuk melakukan suatu jasa tertentu atas nama principal dengan menyerahkan
kewenangan pengambilan keputusan kepada agent. (Agency relationship as a contract under which
one or more person (principlas) engage another person (the agent) to perform some service on their
behalf which involves delegating some decision making authority to the agent).

22

tindak pidana dibidang lingkungan hidup, maka dapat diidentifikasikan bagaimana
pertanggungjawaban bagi para sekutu dalam CV itu. Hal ini dikarenakan didalam
CV, sekutu dapat menyerahkan inbreng berupa modal, tenaga dan kerajinan maupun
dengan pikiran, dan apabila sekutu dalam CV lalai menjalankan kewajibannya, maka
sekutu tersebut harus bertanggungjawab dan mengganti kerugian yang diderita
persekutuan akibat kelalaiannya. 46 Serta pertanggungjawaban pidana badan usaha
dapat dimintakan kepada badan usaha, dan orang yang memberikan perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut. 47 Dalam hal ini, maka sekutu komanditerlah
yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun sekutu komanditer hanya dapat
dimintai pertanggungjawabannya sebatas ganti rugi terhadap tindak pidana
lingkungan hidup yang terjadi dalam tindakan badan usaha tersebut. Sekutu
komplementer dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindak pidana tersebut
sebagai orang yang menjalankan badan usaha tersebut. Mengingat asas “tiada
pertanggungjawaban

pidana

tanpa

kesalahan”,

maka

pembuat

dapat

dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. 48 Pertanggungjawaban pidana
korporasi didasarkan kepada doktrin respondeat superior, suatu doktrin yang
menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan tindak pidana dan
memiliki kesalahan. Hanya agen-agen yang bertindak untuk dan atas nama korporasi
46

Lihat Pasal 19 ayat (2) jo. Pasal 16 KUHD jo. Pasal 1647 KUHPerdata.

47

Alvi Syahrin, Loc., Cit., Hal.64.

48

Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2013), Hal. 97.

23

saja yang dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan, 49 sebagaimana
dalam CV adalah sekutu komplementer.
Dalam Konsep Rancangan KUHP 2012, korporasi diatur didalam Pasal 47
sampai dengan Pasal 53. Berdasarkan Pasal 47, korporasi merupakan subjek tindak
pidana, sedangkan dalam Pasal 48 Konsep Rancangan KUHP tindak pidana
dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk
dan atas nama korporasi berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain
dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Pasal 49 Konsep Rancangan KUHP menyatakan bahwa jika tindak pidana dilakukan
oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya. Adapun didalam Pasal 50 Konsep Rancangan KUHP menyatakan
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut
termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana dalam anggaran dasar atau ketentuan
lain. 50
Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan hidup
diatur didalam Pasal 116 UUPPLH. Pada Pasal 116 UUPPLH menyebutkan apabila
tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha,
tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. Badan usaha; dan/atau
49

Ibid., Hal. 100.

50

Muladi dan Dwidja Priyatno, Op., Cit., Hal. 51-52.

24

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
dan dalam pasal 118 UUPPLH menyebutkan : Terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a UUPPLH, sanksi pidana dijatuhkan
kepada badan usaha dalam hal ini adalah CV yang diwakilkan oleh pengurus yang
didalam CV adalah para sekutu komanditer dan sekutu komplementar yang
berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH ini, pertanggungjawaban pidana badan
usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberikan
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. 51 Pertanggungjawaban pidana
pengurus korporasi yang berbentuk CV ini dibatasi sepanjang pengurus mempunyai
kedudukan fungsionalis dalam struktur organisasi korporasi. Sedangkan didalam
Pasal 53 Rancangan KUHP 2012 menyatakan bahwa alasan pemaaf yang diajukan
oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan
oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan
yang didakwakan kepada korporasi. 52

51

Alvi Syahrin, Op., Cit., Hal. 64.

52

Muladi dan Dwidja Priyatno, Loc., Cit. Hal.51.

25

2.

Konsep
Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan

dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk dijelaskan beberapa kerangka
konseptual sebagaimana yang terdapat dibawah ini.
a. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendallian, pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum. 53
b. Persekutuan komanditer adalah perseroan yang terbentuk dengan cara
meminjamkan uang atau disebut juga dengan perseroan komanditer, didirikan
antara seorang atau antara beberapa orang persero yang bertanggungjawab secara
tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai
pemberi pinjaman uang 54 , bandingkan dengan pengertian Limited Partnership
menurut Black Law’s Dictionary sebagai “a partnership composed of one or
more persons who control the business and are personally liable for the
partneship’s debts (called general partner), and one or more persons who
contribute capital and share profits but who cannot manage the business and are
liable only for the amount of their contribution (called limited partners)”. 55

53

Lihat Pasal 1 ayat (2) UUPPLH.

54

Lihat Pasal 19 KUHD.

55

Bryan A. Garner, Black Law’s Dictionary, 7th Ed. (St. Paul, Minn: West Group, 1999).

26

c. Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku
dalam hubungannya dengan perbuatannya yang dapat dipidana serta berdasarkan
kejiawaanya itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya.
d. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa.
Alasan pemaaf ini menyangkut pribadi pelaku dalam arti bahwa orang ini tidak
dapat dicela menurut hukum, dengan kata lain ia tidak bersalah dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum 56
e. Perusahaan diartikan sebagai bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap
dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik
yang diselenggarakan oleh perorangan maupun badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam
wilayah Negara Republik Indonesia.
f. Sekutu pengurus, sekutu komplementer, atau sekutu aktif adalah sekutu yang
melakukan pengurusan terhadap persekutuan dan bertanggung jawab sampai
harta pribadi (tidak terbatas) terhadap seluruh utang dan kerugian perusahaan. 57
g. Sekutu komanditer, sekutu pasif atau sekutu pelepas uang adalah sekutu yang
hanya memasukan atau memberikan modal berupa uang atau barang dan
memiliki tanggung jawab terbatas sejumlah modal yang diberikannya kepada
persekutuan (tanggung jawab terbatas). 58

56

Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), Hal. 139.

57

Lihat Pasal 19 ayat (1) jo. Pasal 18 KUHD.

58

Lihat Pasal 19 ayat (1) jo. Pasal 20 KUHD.

27

G. Metode Penelitian
1.

Spesifikasi dan Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum/normatif, yakni

suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan dari sisi normatifnya. 59 Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai
asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian serta doktrin (ajaran). 60 Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan
menggunakan

data-data

“Pertanggungjawaban

sekunder

Pidana

Badan

yang

berkaitan

Usaha

Berbentuk

dengan
CV

masalah

(Commanditer

Vennootschap) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.
Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan
yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual
(conseptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). 61
Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini,
karena yang menjadi pusat perhatian utama dalam penelitian ini adalah kebijakan
dalam menetapkan dan merumuskan pertanggungjawaban badan usaha CV dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, penelitian ini
59

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia

Publishing, 2011), Hal.57.
60
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hal. 34.
61

Bandingkan dengan Johny Ibrahim, Op. Cit., Hal 302 dan Mukti Fajar ND dan Yulianto

Achmad, Op. Cit., Hal. 185.

28

menitikberatkan kepada peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan
kegunaan dari metode penelitian hukum/normatif, yaitu untuk mengetahui dan
mengenal apakah dan bagaimanakan hukum positifnya mengenai suatu masalah
tertentu. 62
2.

Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini didasarkan pada bahan hukum yang bersumber dari tulisan-tulisan

yang berkaitan dengan tesis ini. Adapun sumber bahan hukum yang dimaksud,
diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis,
yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, risalah resmi, dan dokumen
resmi negara yang terkait dengan pelanggaran korporasi terutama pelanggaran
terhadap tindakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
dilakukan oleh CV. Dalam penelitian ini diantaranya adalah UUPPLH, KUHP,
KUH Perdata dan KUHD.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat digunakan untuk
menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada, seperti buku-buku,
jurnal-jurnal hukum, hasil penelitian, karya tulis ilmiah, beberapa sumber dari
internet yang berkaitan dengan penelitian tesis ini.

62

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, (Bandung:

Alumni, 1994), Hal.140.

29

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan
sekunder, serta bahan-bahan primer, seperti kamus hukum.
3.

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan teknik

penelitian kepustakaan (library research). Teknik penelitian kepustakaan dilakukan
dengan mengumpulkan bahan hukum melalui studi kepustakaan terhadap undangundang, literatur-literatur, serta tulisan-tulisan pakar hukum yang berkaitan dengan
penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh dengan menggunakan penelitian studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, kemudian diuraikan dan
dihubungkan sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
4.

Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh selanjutnya akan disusun dan dianalisis

secara kualitatif, yakni dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, juga dengan
analisis konten dengan melakukan penafsiran terhadap norma-norma, doktrin, dan
pasal-pasal didalam undang-undang yang relavan dengan permasalahan. Selanjutnya
bahan hukum dikelola dengan deskriptif-analisis, yaitu dengan menarik kesimpulan
dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap masalah yang konkret yang
dihadapi, selanjutnya bahan hukum yang dianalisis untuk melihat pola kecendrungan
dalam penanganan pertanggungjawaban CV dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Sehingga kemudian dapat menjadi dasar acuan dan pertimbangan

30

hukum dalam penyusunan perundang-undangan badan usaha dan lingkungan hidup
secara tepat.
H. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus
diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan tesis ini, maka
diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab
yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah:
BAB I

:PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang didalamnya
terurai mengenai latar belakang penelitian tesis, perumusan masalah,
kemudia dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, keaslian
penelitian, kerangka teori dan landasan konseptual, metode penelitian,
yang diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II

:COMMANDITER VENNOOTSCHAP (CV) SEBAGAI BADAN
USAHA
Dalam bab ini menguraikan tinjauan umum tentang Comanditaire
Vennootschap,

dan

juga

menguraikan

tentang

commanditaire

vennootschap sebagai badan usaha.
BAB III

:KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB COMMANDITAIRE
VENNOOTSCHAP

SEBAGAI

BADAN

USAHA

TERHADAP

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

31

Pada bab ini menguraikan mengenai kewajiban sekutu complementer
dan sekutu commanditer. Bagaimana tanggung jawab sekutu
complementer dan sekutu commanditer, dan bagaimana kewajiban dan
dan tanggung jawab CV sebagai badan usaha terhadap perlinduungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, serta menguraikan bagaimana
pertanggungjawaban pidana bagi commanditaire vennootschap di
bidang lingkungan hidup.
BAB IV

:ALASAN

PENGHAPUS

VENNOOTSCHAP

PIDANA

DALAM

COMMANDITAIRE

PERLINDUNGAN

DAN

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Bab ini menjelaskan bagaimana alasan penghapus pidana bagi
pertanggungjawaban

commanditaire

vennootshap,

dan

juga

menguraikan bagaimana alasan pembenar dan pemaaf dalam
pertanggungjawaban commanditer vennootschap dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB V

:KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah
dibahas sebelumnya dan juga saran-saran yang berguna bagi
penyelesaian

permasalahan

pertanggungjawaban

pidana

yang
badan

berkaitan
usaha

dengan

berbentuk

CV

(Commanditaire Vennootschap) dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.