MENAKAR NAWA CITA KELIMA MELALUI WAJIB B

MENAKAR NAWA CITA KELIMA MELALUI
WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
Gatot Subroto *)

Janji Nawa Cita ke lima Presiden Jokowi-JK yaitu, 'Meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia dengan program Indonesia Pintar, melalui Wajib Belajar 12 tahun
bebas pungutan’. Hal tersebut sejalan dengan pasal 28C dan 31 UUD 1945, Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan.
Koheren dengan Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dalam
pemenuhan hak warganegara menyebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Meskipun dalam
pelaksanaan aksinya, program tersebut perlu diklarifikasi. Siapa yang menjadi obyek
wajib belajar 12 tahun dan darimana sumber pendanaannya?
Menjual isu pendidikan dalam janji kampanye merupakan komoditas strategis
meskipun masih berkutat pada isu-isu klasik, seperti pendidikan murah hingga gratis
(baca: bebas pungutan) dan kesejahteraan guru. Belum ada lompatan ide baru dalam
mengatasi permasalahan pendidikan menuju peradaban generasi emas 100 tahun
Indonesia merdeka 2045. Seolah-olah Nawa Cita justru hanya menguatkan stigma ganti
menteri ganti kebijakan. Perubahan merupakan keniscayaan, jika tanpa kajian
mendalam hanya akan menghasilkan kebijakan instan dan pragmatis sifatnya.

Pendidikan memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi
telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Pengaruh pendidikan terhadap
pembangunan ekonomi harus diakui keberadaannya dan telah terbukti di negara
manapun. Para ahli menjelaskan pertumbuhan ekonomi adalah suatu formula
kausalitas antara investasi, tabungan, modal, dan kualitas penduduk dalam
mempengaruhi output pembangunan.
1

Hubungan antara kualitas pendidikan dan pertumbuhan ekonomi telah teruji.
PDB Indonesia (2004), menunjukkan perkembangan menyakinkan dari US$ 257 Milyar
meningkat empat kali lipat hingga mencapai US$ 1063,1 Milyar (2014), dengan laju
pertumbuhan ekonomi berkisar antara 4,6 sampai 6,5 persen (Bappenas, 2013).
Sementara, perkembangan kinerja pendidikan dilihat dari angka partisipasi kasar (APK)
pendidikan menengah (SMA/sederajat) baru mencapai 85 persen (Kemendikbud, 2013),
meningkat hampir dua kali dalam sepuluh tahun terakhir, dari 49,01 persen tahun
2004.
Belanja untuk Pendidikan
APBN 2014 mencapai Rp. 1842,5 Trilyun, sedangkan total anggaran fungsi
pendidikan sebesar Rp. 368,5 Trilyun (20 persen). Total anggaran fungsi pendidikan
tersebut terdiri atas belanja melalui Pemerintah Pusat sebesar Rp. 129,9 Trilyun atau

sekitar (35,25 persen) dan melalui transfer ke daerah sebesar Rp. 238,6 Trilyun atau
sekitar (64,75 persen).
Postur anggaran fungsi pendidikan tahun 2014 terdiri atas anggaran belanja
pendidikan melalui pemerintah pusat yang terbagi dalam Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengelola sebesar Rp. 80,26 Trilyun (61,8 persen) termasuk pendidikan
tinggi yang menyedot hampir setengahnya, Kementerian Agama Rp. 42,57 Trilyun (32,8
persen), selebihnya tersebar pada 20 kementerian/lembaga lainnya sebesar 7.05
Trilyun (5,4 persen).
Sedangkan komponen anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah terdiri
atas, DBH Migas yang dialokasikan untuk pendidikan (0,41 persen), DAK pendidikan
(4,21 persen), Alokasi anggaran pendidikan dalam DAU (56,85 persen) termasuk gaji
dan nongaji, Tambahan penghasilan guru (0,78 persen), Tambahan DAU untuk
tunjangan profesi guru (25,37 persen), Dana Otonomi Khusus yang dialokasikan untuk
pendidikan (1,72 persen), Dana insentif daerah (0,58 persen), dan BOS (10,09 persen).
Apabila kita tinjau data Kemdikbud (2013), peserta didik pendidikan dasar ada
23, 6 juta siswa dan pendidikan menengah ada 1,89 juta siswa, berarti jumlah
2

keseluruhan peserta didik mencapai 25,5 juta siswa. Secara sederhana, jika rata-rata
untuk biaya operasional sekolah setiap siswa sebesar Rp.1 juta selama setahun.

Artinya, alokasi anggaran pendidikan setiap tahun untuk BOS sebagai konsekuensi
’khusus’ program wajib belajar 12 tahun akan mencapai lebih dari Rp. 25,5 Trilyun.
Artinya anggaran kementerian pendidikan dan kebudayaan yang tidak lebih dari
40 Trilyun masih harus menanggung BOS sebagai pelaksanaan Nawa Cita kelima wujud

tag line wajib belajar 12 tahun. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan program
pendidikan lainnya? Anggaran kementerian lain atau sektor pembangunan lainnya?
Sesungguhnya bila kita cermati kelemahan sistem pendidikan di Indonesia
adalah belum adanya pola dan mekanisme pendanaan pendidikan yang baik. Dari sudut
pandang keuangan publik, pengeluaran untuk sektor pendidikan merupakan bagian
penting dari pengeluaran negara untuk pelayanan publik. Kepentingan politik sangat
berpengaruh dalam penentuan prioritas pendanaan. Kepentingan politik tersebut
tampak dari persetujuan DPR maupun DPRD untuk tingkat daerah.
Rubin1 (1990), menegaskan bahwa anggaran publik tidak berbeda dengan
anggaran lainnya, yakni bagaimana membuat pilihan antara kemungkinan pengeluaran,
keseimbangan dan proses memutuskannya. Meskipun, anggaran publik memiliki tipikal
yang berbeda, harus bersifat terbuka, melibatkan berbagai aktor dalam penyusunannya
yang memiliki tujuan berbeda‐beda, mempergunakan dokumen anggaran sebagai
bentuk akuntabilitas publik, dan keterbatasan (budget constraint) yang harus
diperhatikan.

Keterlibat berbagai aktor pembangunan sepanjang proses penganggaran, mulai
dari perencanaan dan penyusunan di lingkungan birokrasi, sampai pengesahaanya di
DPR, menjadikan anggaran sebagai arena kontestasi politik penting dalam mewujudkan
keberpihakan kekuasaan.

1

Rubin, Irene S., 1990. Budget Theory and Budget Practice: How Good the Fit? Public Administration Review,
Vol. 50, No. 2. (Mar. - Apr., 1990), pp. 179-189.
3

Tidak mengherankan, banyak pihak menilai anggaran sebagai proses politik
arena perebutan sumber daya publik antara berbagai kepentingan, baik aktor‐aktor di
dalam lingkaran sistem politik yang berlaku maupun kelompok kepentingan lain yang
memiliki pengaruh terhadap keputusan politik anggaran.
Jika pemerintah sungguh-sungguh berkomitmen melaksanakan wajib belajar 12
tahun bebas pungutan. Maka anggaran yang dibutuhkan tidaklah hanya sebesar Rp. 25
Trilyun saja, akan tetapi jauh lebih besar karena tergantung dari jumlah penduduk usia
7-18 tahun dan nilai manfaat yang diterima oleh setiap siswa.
Besarnya nilai manfaat harus juga memperhatikan berapa besar biaya

operasional sekolah, biaya personal siswa, serta biaya trade-off dari orangtua yang
menanggungnya. Sebab masih banyak orangtua siswa di perdesaan menjadikan
anaknya bagian tenaga kerja (forgone earning) dalam mendukung produktivitasnya
sebagai buruh tani.
Terakhir, dalam APBN-P 2015 alokasi anggaran pendidikan sekitar 408,5 trilyun
meningkat sebesar 40 trilyun atau sebesar 11 persen dari alokasi tahun sebelumnya.
Dalam memperingati hari pendidikan nasional tahun ini, semoga Nawa Cita kelima
dapat diwujudkan sebagai titik tolak pemenuhan janji politik Presiden Jokowi-JK.
Sehingga rakyat dapat merasakan nuansa kesungguhan secara bertahap sebagai aksi
afirmatif terhadap rakyat yang membutuhkannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
-o------*)
Penulis adalah Peneliti pada Pusat Penelitian Kebijakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
pengajar pada Fakultas Ekonomi, Universitas Nasional Jakarta.

4