Partai Islam dalam Dinamika Demokrasi di

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

ISSN 1410-4946
Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 (1-100)

DAFTAR ISI

Menimbang Birokrasi, Partai, dan Politik di Indonesia
1. Ekonomi-Politik Kebijakan Impor Garam Indonesia
Periode 2007-2012
Lukman Baihaki

1-16

2. Etnisitas sebagai Instrumen Politik dan Keamanan
di Kalimantan Barat Pasca Rezim Orde Baru
Jumadi, Mohammad Rizal Yakoop

17-34

3. Partai Islam dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

Gonda Yumitro

35-50

4. Membongkar Veto Player
dalam Politik Kepartaian Indonesia Menuju Pemilu 2014
Arya Budi

51-66

5. Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia:
Belajar dari Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012
Wisnu Prasetya Utomo

67-84

6. Mereformasi Birokrasi dari Perspektif Sosio-Kultural:
Inspirasi dari Kota Yogyakarta
Erisandi Arditama


85-100

i

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Volume 17, Nomor 1, Juli 2013 (35-50)
ISSN 1410-4946

Partai Islam dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

Gonda Yumitro •

Abstract
Some surveys showed that though Islamic parties had significant supports in 1999 and 2004 elections and
their existences are in the largest Muslim population in the world, the current development indicates the decline
supports of people on them. This paper will analyze various factors which cause such phenomena and predict
the Islamic parties position on 2014 election. The result found that Islamic parties will face tough position on
next election because of democracy, Indonesian Islamic characteristics and history, the competence of Islamic
parties, and other external factors. The democracy causes a lot of problems, like the conflict among Islamic
groups in Indonesia, which had dark history as the consequence of the politization of Islam by the elites.

Moreover, the involvement of Islamic parties in Indonesian politics has not able to solve the real problems
within the society, such as poverty, unemployment, corruption, etc. Unfortunately, the public opinion and
education characters in Indonesia also don’t support the Islamic political parties position.

Keywords:
Islam; parties; democracy; election; history.

Abstrak
Berbagai survei menunjukan bahwa meskipun sempat mendapat suara yang signifikan pada
pemilu 1999 dan 2004, dan berada di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia,
perkembangan terkini menunjukkan penurunan dukungan masyarakat terhadap partai Islam. Tulisan ini akan menganalisis berbagai faktor yang menyebabkan penurunan dukungan
tersebut dan memprediksi posisi partai Islam dalam pemilu 2014. Hasilnya ditemukan bahwa
partai Islam mempunyai posisi yang sulit dalam pemilu 2014 karena faktor demokrasi, sejarah,
kompetensi partai Islam, dan faktor eksternal. Demokrasi ternyata menyebabkan banyak
persoalan, di antaranya adalah perpecahan di antara sesama kelompok Islam. Selain itu, sejarah
Indonesia menunjukkan bahwa Islam seringkali hanya dijadikan sebagai alat politik para
elite. Apalagi keterlibatan partai Islam dalam politik Indonesia selama ini dinilai belum mampu
menyelesaikan berbagai masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat, seperti kemiskinan,
pengangguran, korupsi, dan sejenisnya. Kondisi tersebut menjadi semakin rumit dengan opini
publik dan karakter pendidikan di Indonesia yang kurang menguntungkan partai Islam.


Kata Kunci:
Islam; partai; demokrasi; pemilu; sejarah.

Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara
demokrasi terbesar di dunia. Pada tahun


Dosen Hubungan Internasional, Universitas
Muhammadiyah Malang.

2014, Indonesia akan menyelenggarakan
pemilu keempat pasca reformasi.
Menghadapi momentum penting ini, pada
tanggal 1 s.d 8 Oktober 2012 yang lalu,
Lingkaran Survey Indonesia (LSI)
35

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013


mengadakan penelitian yang menunjukkan
bahwa jika pemilu diadakan sekarang, maka
semua partai Islam mendapatkan suara
kurang dari 5 persen, dan jika semua suara
mereka dikumpulkan, maka totalnya tidak
lebih dari 21,1 persen. Bahkan tidak ada satu
pun partai Islam yang bisa masuk menjadi
lima besar pemenang pemilu (Republika, 22
Oktober 2012). Salah satu alasan kekalahan
tersebut adalah terdapat lebih dari 46,1 persen
responden yang menilai apabila menang dan
memimpin, partai Islam akan menerapkan
hukum syariah.
Senada dengan hasil tersebut, penelitian
yang dilakukan oleh The Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada tanggal 5
dan 16 September 2012, menemukan bahwa
PKS, PKB, dan PPP sebagai partai Islam
hanya akan mendapatkan 3 persen suara, jika
pemilu diadakan pada waktu itu. Partai Islam lain bahkan mendapatkan suara yang

lebih kecil lagi. Berbeda dengan partai
nasionalis seperti Golkar, Nasdem, dan
Gerindra yang justru mendapat banyak
suara
dari
pemilih
muslim
(www.thejakartapost.com).
Sekitar 230 juta atau sekitar 85 persen
dari total penduduk Indonesia beragama Islam, jumlah yang lebih besar dari total
penduduk Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil penelitian ini menarik dikaji karena
indikasi lemahnya partai Islam justru terjadi
di tengah masyarakat yang mayoritas
beragama Islam. Bahkan pandangan
“negatif” terhadap partai Islam datang dari
sebagian umat Islam sendiri.
Berdasarkan keadaan tersebut, maka
muncul pertanyaan, mengapa posisi partai
Islam lemah dan bagaimana prospek partai

Islam dalam dinamika demokrasi di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan
dijelaskan berbagai persoalan yang
mempengaruhi masa depan politik Islam, di
antaranya adalah masalah demokrasi dalam
dinamika politik Indonesia dan sejarah Islam
dalam politik Indonesia.

36

Pada bagian akhir, untuk membaca
prospek mereka ke depan, akan dianalisis
berbagai persoalan partai Islam seperti
menurunnya dukungan publik dalam
pemilu. Sebelumnya, akan dijelaskan
konsep dasar demokrasi dan politik Islam
terlebih dahulu.
Konsep Dasar Demokrasi dan Politik
Islam
Sebagai ide, demokrasi bukan hal baru
melainkan telah melalui proses panjang,

bahkan dinilai sebagai salah satu bentuk
pemerintahan. Menurut Aristoteles,
demokrasi merupakan produk dari
perubahan bentuk pemerintahan yang
dimulai dari monarki, kemudian berubah
menjadi tirani. Dari tirani berubah menjadi
aristokrasi, kemudian oligarki. Oligarki
digantikan oleh polity, yang kemudian
menjadi demokrasi.
Dalam hal ini, Aristoteles percaya bahwa
bentuk pemerintahan ideal adalah monarki,
aristokrasi, dan polity. Sementara demokrasi,
sama halnya dengan pemerintahan tirani dan
oligarki, tidak lagi memperhatikan equality
dalam partisipasi politik dan pengambilan
kebijakan (Grigsby, 2011: 81). Singkatnya,
demokrasi merupakan produk gagal dari
tesis dan antitesis bentuk pemerintahan
sebelumnya.
Secara istilah, demokrasi berasal dari kata

demos dan kratos atau kratein. Demos artinya
rakyat dan kratos berarti pemerintahan.
Sehingga, secara sederhana demokrasi
dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebagai
implikasinya, diharapkan muncul political
equality, popular participation, dan rule in the
public interest (Sidney Verba, 1969: 3).
Pada awalnya, demokrasi langsung
menjadi
gambaran
penentangan
masyarakat terhadap sistem otoriter dalam
pemerintahan, dengan menerapkan sistem
mass meeting. Pemerintah yang otoriter
biasanya berbentuk monarchial absolutism,

Partai Islam Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

traditional dictatorship, military rule, dll.

Namun dalam perkembangannya, seiring
makin luasnya wilayah negara dan
meningkatnya jumlah penduduk,
demokrasi representatif menjadi pilihan
sejak era renaissance Eropa. Meski dalam
praktiknya, semangat dan nilai yang ada
dalam demokrasi langsung tetap tidak bisa
ditinggalkan, karena sifat kedua formula
demokrasi tersebut yang saling melengkapi
(David Altman, 2011: 40-41).
Dalam demokrasi perwakilan, pemilu
menjadi elemen penting untuk melakukan
proses perubahan pemerintahan. Pemilu
menggambarkan peran penting dan
strategis masyarakat dalam menentukan
kehidupan mereka dalam sistem politik
yang berjalan. Pada perkembangannya,
demokrasi bergeser dan mempunyai
beberapa varian, di antaranya adalah konsep
good governance, political democracy, industrial democracy, liberal democracy, participatory democracy, dll. Dari beberapa varian

tersebut, analisis tentang demokrasi sering
mengerucut pada dua perdebatan penting,
baik dalam konteks pemaknaan demokrasi
prosedural maupun substansif. Yang
pertama fokus pada aturan-aturan dalam
demokrasi yang harus dilaksanakan secara
konstitusional, sedangkan yang kedua lebih
menekankan pada aspek produk dari
demokrasi untuk kepentingan bersama
(Shapiro, 1996:123).
Adapun partai Islam, berkaitan erat
dengan pemahaman terhadap hubungan
antara Islam dan politik. Bernhard
Platzdasch (2009: xi), mendefinisikan bahwa
politik Islam terdiri dari berbagai partai dan
gerakan yang menginginkan penerapan
syariat Islam dalam kehidupan politik dan
sosial. Dengan makna yang sama, Olivier
Roy menjelaskan bahwa partai dan gerakan
Islam merupakan kelompok aktivis yang
menjadikan Islam sebagai ideologi politik
sebagaimana mereka memahami agama
(1994: vii).

Sementara Anis Rasyid Baswedan
menjelaskan bahwa politik Islam
merupakan upaya untuk memperjuangkan
aspirasi kelompok dan agenda-agenda Islam, agar mempengaruhi hukum dan
kebijakan pemerintah, melalui proses
elektoral dan institusi legislatif (2004: 670).
Artinya, gerakan meng-Islamisasi
masyarakat dalam tatanan demokrasi
sangat erat kaitannya dengan partai Islam,
melalui lembaga demokrasi yang tersedia.
Dinamika Demokrasi di Indonesia
Meskipun demokrasi dalam pandangan
barat merupakan upaya untuk menghargai
keberadaan manusia dalam hidup ini
sehingga terwujud persamaan, realita
menunjukkan bahwa negara-negara
berkembang yang notabene mayoritas Islam “dipaksa” melaksanakan demokrasi ala
Amerika, yang belum tentu sesuai dengan
kondisi sosial politik negara-negara tersebut.
Padahal demokrasi seharusnya bisa
dimaknai seperti sepatu, boleh jadi berbeda
antara yang satu dengan lainnya. Bangsabangsa Islam semestinya bisa diberi
keleluasaan untuk mendefinisikan sendiri
makna demokrasi yang sesuai dengan
budaya politik yang mereka miliki.
Nyatanya, dominasi dan hegemoni
barat terhadap negara berkembang,
termasuk Indonesia, begitu kentara. Tidak
ada persamaan, justru hukum rimba yang
berlaku. Siapa yang paling kuat secara
ekonomi, politik, dan militer, maka ia akan
menguasai dunia. Kelompok realis percaya
bahwa negara yang powerful akan mendikte
negara yang lemah sesuai dengan
kepentingan mereka.
Adapun Marxisme meyakini bahwa
dalam konteks ekonomi, negara yang kuat
akan mengeksploitasi negara yang lemah (
Kivimaki, 2003: 17). Indonesia pun belum
bisa mandiri di berbagai aspek kehidupan
bernegara. Ia menjelma sebagai negara
lemah yang banyak bergantung dengan

37

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

kekuasaan asing, terutama yang melabeli
dirinya sebagai negara paling demokratis.
Di ranah domestik, Indonesia juga
mengalami masalah serius. Kesejahteraan
rakyat yang diinginkan atas nama
demokrasi belum terwujud. Pilkada-pilkada
yang awalnya dimaksudkan menjadi
sarana distribusi kekuasaan, justru menjadi
ajang menumpuk kekayaan dan kekuasaan
pribadi. Hak otonomi daerah hanya
memindahkan korupsi dari Jakarta ke
berbagai daerah.
Belum lagi biaya yang dikeluarkan
negara untuk menyubsidi kebutuhan daerah
yang baru memekarkan diri dan belum
mempunyai pemasukan unggulan,
jumlahnya sangat besar. Bahkan program
pemekaran wilayah seringkali digunakan
untuk kepentingan segelintir elite di daerah
(Aspinall & Mietzner, 2010: 8-9). Masih
banyak contoh lain yang menggambarkan
persoalan demokrasi di Indonesia.
Bahkan patut menjadi pertanyaan, di
negara mana demokrasi benar-benar
mampu menyejahterakan kehidupan
masyarakat dan terhindar dari partai-partai
pragmatis? Buktinya, Amerika yang
menganggap diri sebagai negara paling
demokratis justru memperlakukan negara
lain dengan tidak elegan. Negara ini dengan
mudah menyerang negara lain tanpa
menghargai HAM dan kebebasan
sebagaimana yang mereka dengungkan.
Akibatnya, kerugian dan korban
berjatuhan akibat demokrasi. Meskipun
demikian, sebagian mereka yang sudah
terbius dengan demokrasi mengganggap
persoalan-persoalan yang terjadi
merupakan biaya transisi menuju demokrasi
(Nagle & Mahr, 1999: 264-265). Dalam
konteks Indonesia misalnya, beberapa hal
yang terjadi sebagai konsekuensi dari
demokratisasi antara lain:
Pertama, biaya proses demokrasi sangat
mahal. Dalam pemilu 2009, berita Kompas,
3 Maret 2009 menyebutkan bahwa paling

38

tidak pemilu memerlukan 512.188 TPS dan
1.024.376 anggota satuan perlindungan
masyarakat. Meski berbeda dengan data
dari Menkopolkam yang menyampaikan
bahwa dalam pemilu 2009 terdapat 611.636
TPS dan memerlukan 1.223.272 personil
satlinmas, kedua data tersebut sama-sama
mengindikasikan besarnya biaya
operasional pelaksanaan pemilu di negeri ini.
Ketua KPU 2009, Abdul Hafidz,
menyebutkan bahwa total anggaran KPU
untuk melaksanakan pemilu tersebut
berjumlah Rp 47,9 triliun. Dana tersebut
digunakan pada tahun 2008 untuk
kebutuhan KPU sebesar Rp 18,6 triliun dan
pada proses pemilu 2009 dianggarkan
menghabiskan dana Rp 29,3 triliun
(www.anggaran.depkeu.go.id). Jauh
membengkak dibandingkan pemilu 2004
yang hanya menghabiskan Rp 3,5 triliun
untuk semua pemilihan DPR, DPRD I,
DPRD II dan Pilpres. Padahal, jumlah
tersebut belum termasuk dana yang
dikeluarkan oleh partai dan individu calon
anggota dewan atau kepala daerah, presiden,
dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Pemilu 2009 yang lalu tersiar kabar
tentang bantuan asing sebesar U$ 37,5 juta
untuk mendukung calon yang dapat
membuka dan mengamankan pintu agar
pihak asing dapat masuk dalam proses
globalisasi di Indonesia dengan mengangkat
beberapa isu seperti HAM, demokrasi,
persamaan gender, dan sejenisnya (http://
beritasore.com).
Terlebih jika dihitung dengan dana
pilkada yang berlangsung lebih dari 400 kali
selama 5 tahun, dana pemilu tentu menjadi
lebih besar. Terhitung 31 Desember 2004,
Indonesia terdiri dari 33 Provinsi, 349
kapubaten, dan 91 kota/kota administrasi.
Menurut data yang disampaikan oleh Indonesian Public Institute, dalam satu pilkada
saja dana yang dikeluarkan untuk calon
kepala daerah tingkat kabupaten bisa
mencapai Rp 5 milyar, sedangkan untuk

Partai Islam Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

tingkat provinsi bisa mencapai Rp 100
milyar
(http://banjarmasin.tribunnews.com). Biaya yang besar tersebut pada
akhirnya membuka peluang para elite
untuk korupsi.
Kedua, proses demokrasi mengancam
persatuan masyarakat, terlihat dari semakin
terfragmentasinya masyarakat di negeri ini.
Konflik begitu mudah disulut hanya karena
persoalan sepele. Maklum, setiap lima tahun
sekali, mereka seakan dilatih untuk
berkonflik karena banyaknya jumlah
pilkada yang diadakan. Jangankan dalam
masyarakat, keluarga pun banyak yang
berpisah karena perbedaan partai. Lebih
berbahaya lagi ketika konflik ini tidak hanya
di tataran pandangan politik, pada beberapa
kasus bahkan telah menjadi kekerasan fisik.
Ketiga, demokrasi ternyata belum
mampu benar-benar menjadi sarana
perjuangan terhadap kepentingan
masyarakat. Buktinya, banyak partai politik
yang berkembang menjadi partai
pragmatis, bahkan yang melekatkan
identitas keagamaan sekalipun. Perjuangan
mereka bukan lagi untuk kepentingan
rakyat atau bangsa, tetapi lebih pada
kepentingan golongan atau pribadi.
Suara rakyat hanya dibutuhkan pada
saat pemilu saja, dilupakan setelah masa
pemilu berakhir. Dalam mencari kader
partai yang benar-benar militan
memperjuangkan kepentingan rakyat,
komitmen partai politik yang ada juga
diragukan. Mereka bahkan terlihat
memberikan kesempatan kepada politisipolitisi lompat pagar karena sistem
pengkaderan internal partai yang kurang
solid.
Indikasi pragmatisme partai politik
terlihat pula dari pola koalisi berorientasi
kekuasaan yang dibangun. Bagi mereka,
ideologi atau komitmen terhadap moral
politik terkadang bukan menjadi hal
penting. Akibatnya, upaya memperjuangkan masyarakat yang kehilangan pekerjaan

dan diliputi oleh kemiskinan, terutama di
kalangan petani dan buruh, tidak serius
dilakukan. Masyarakat pun mulai
kehilangan kepercayaan terhadap politik,
terlihat dari besarnya arus golput terutama
pada kalangan terdidik (Soebagio, 2008: 8385).
Sejarah Islam dalam Politik Indonesia
Berkenaan dengan dinamika demokrasi
sebagaimana dijelaskan di atas, perlu
kiranya mengetahui perjalanan panjang
posisi Islam. Menurut sejarah kemerdekaan
Indonesia, Islam merupakan faktor yang
sangat strategis dan berperan penting.
Mengusung semangat jihad dan penolakan
Islam terhadap segala bentuk penjajahan,
para ulama di berbagai daerah memobilisasi
massa untuk mengusir penjajahan sehingga
Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Hanya saja, seringkali Islam digunakan
sebagai alat politik atau manipulasi
terhadap masyarakat dan bukan murni
untuk perjuangan Islam itu sendiri (Eliraz,
2004 :91). Pada setiap penggalangan massa
para tokoh-tokoh agama akan didekati,
atau istilah-istilah agama akan keluar dari
mulut para pencari kekuasaan. Ketika
dukungan umat Islam berdatangan dan
pemerintahan kembali pada posisi stabil
atau pemerintahan sudah mulai terbentuk,
maka Islam dimarginalkan. Tidak sekadar
disingkirkan, bahkan pemerintah seakan
memberikan dukungan untuk munculnya
Islamophobia di tengah masyarakat.
Beberapa gerakan Islam dan tokoh-tokoh
yang selama ini dikenal “sholeh” ditangkapi,
menggunakan perangkat seperti “polisi
antiteror”.
Islam yang pada awalnya diberikan
ruang dalam politik Indonesia pelan-pelan
disingkirkan. Awalnya, pasal pertama
Pancasila mencantumkan kewajiban untuk
melaksanakan syariat Islam bagi para
pemeluknya, kemudian bagian tersebut
dihapus atas dasar persatuan bangsa.

39

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

Soekarno
berjanji
akan
tetap
memperhatikan kepentingan umat Islam
dengan mendirikan kampus-kampus Islam,
waktu itu IAIN dan sekarang menjadi UIN.
Meskipun dalam perkembangannya
ternyata kampus-kampus Islam tersebut
tidak signifikan dalam menghasilkan
ulama.
Perbedaan pemahaman di kalangan
umat Islam dalam memandang politik pun
berkembang luas. Meskipun mempunyai
pandangan yang sama tentang arti penting
dakwah dalam upaya menyebarkan ajaran
Islam dan meningkatkan pemahaman keIslaman di tengah masyarakat, Islam
ternyata berdebat tentang hubungan Islam
dengan negara. Satu kelompok menginginkan Islam bersatu dengan negara dalam arti
ditegakkannya syariat Islam. Namun, pihak
lain mengatakan bahwa antara Islam dan
negara harus dipisahkan, tidak sepantasnya
negara membiayai atau mendukung
berbagai kegiatan ke-Islaman (An-Na’im,
2008: 228).
Kelompok pertama sering disebut
sebagai kelompok muslim nasionalis.
Mereka memiliki komitmen yang kuat
terhadap keyakinannya dan sangat
menginginkan Islam sebagai dasar negara.
Menurutnya, Islam tidak membedakan
urusan dunia dan akhirat, sama halnya
urusan agama dan politik. Kesemuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan.
Adapun kelompok yang terkenal
sebagai sekuler nasionalis tidak
menginginkan agama bersatu dengan
negara. Mereka adalah para pemimpin
politik yang tidak hanya berasal dari Islam,
tetapi juga berasal dari agama lain seperti
Katolik, Protestan, Hindu, dan agama
lainnya. Menurut mereka, tidak sepantasnya
politik dicampuradukkan dengan agama
karena agama lebih kepada persoalan
pribadi. Bentuk sekularisme yang mereka
kembangkan sesungguhnya juga belum

40

pasti mereka lakukan dalam kehidupan
sehari-hari, yang tidak berkenaan dengan
politik. Dalam hal pakaian, makanan, atau
kebiasaan tidak menutup kemungkinan
bahwa mereka sangat memegang teguh
prinsip agama.
Kian hari perpecahan umat Islam pada
masa Orde Lama kian kentara. Pada waktu
itu kelompok Islam terbagi dalam tiga
kekuatan politik yaitu Masyumi, NU, dan
DI/TII. Masing-masing gerakan politik ini
berbeda karakter, Masyumi lebih kritis,
sementara NU cenderung bersikap
kooperatif dengan pemerintah dan justru
mendukung ide NASAKOM yang
dikembangkan Soekarno (Azra, 2006: 204).
Menurut mereka, kaedah fikih bahwa
apabila tidak bisa mendapat semuanya
maka memperoleh sedikit sudah
mencukupi, berlaku dalam keadaan ini.
Atau dalam pepatah tak ada rotan, akar pun
jadi.
Adapun DI/TII terkenal sebagai gerakan
ekstremis yang berusaha untuk mendirikan
negara sendiri, terpisah dari NKRI yang
berdasarkan syariat Islam (Kimura, 2013:
42). Kondisi ini membuat pemerintah
menganggap Islam sebagai ancaman
sehingga Soekarno membubarkan
Masyumi. Namun di sisi lain, pemerintah
menjadi semakin dekat dengan komunisme
(Hasyim, 2010: 189).
Belum lagi persoalan berkaitan dengan
pemahaman ke-Islaman masyarakat
muslim Indonesia yang masih sangat lemah.
Mereka memahami agama lebih sebagai
simbol ideologis dibandingkan alat dan
panduan implementatif. Ketika simbolsimbol agama dipersoalkan akan
menyebabkan kemarahan besar, namun
saat isi ajarannya diremehkan umat Islam
justru turut ambil bagian.
Contohnya adalah konflik Tanjung
Priok saat kemarahan masyarakat
disebabkan oleh seorang tentara masuk ke
masjid tanpa melepas sepatu, kartun nabi

Partai Islam Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

yang dibuat di Denmark, atau masalah film
fitnah di Belanda. Konflik tersebut menyulut
kemarahan masyarakat muslim di berbagai
belahan dunia, sebagai bukti kecintaan
mereka kepada Nabi dan Islam.
Namun mengenai banyak orang tidak
melaksanakan sholat maupun kemaksiatan
yang merajalela, jarang ada yang berani
atau sekadar menunjukkan penentangannya sebagai bukti kecintaan terhadap Islam.
Bahkan ia sendiri terkadang berada di
barisan penghancur Islam. Lebih lanjut,
masyarakat Islam begitu mudah
dimobilisasi atas nama agama. Konflik
Maluku atau Poso, semula hanya
merupakan konflik pemuda tanpa sangkut
paut agama, berubah menjadi perang antar
agama yang menakutkan (Lloyd & Smith,
2001: 247).
Setelah Orde Lama jatuh dan
digantikan Orde Baru, posisi Islam kembali
diperhatikan. Pemerintah Orde Baru
memerlukan dukungan umat Islam dalam
upaya
melawan
komunisme.
Muhammadiyah pada waktu itu
mendirikan Komando Keamanan
Muhammadiyah (KOKAM) dan NU
membentuk Barisan Serba Guna (Banser).
Hal ini dapat dimaklumi karena Soeharto
sangat menaruh perhatian terhadap
legitimasi politik di masa kekuasaanya, salah
satunya menggunakan media Islam dan
para tokohnya (Tickamyer & Kusujiarti,
2012: 43-44) .
Kemudian setelah posisi Orde Baru
semakin kuat, kondisi yang terjasi pada
masa Orde Lama terulang kembali. Orde
baru memberikan kekuatan politik dan
ekonomi yang lebih baik kepada kelompok
Kristen, China, dan militer.
Kelompok China lebih kuat secara
ekonomi dan CSIS yang didirikan oleh Ali
Murtopo makin berkembang. Soeharto pun
mulai menggunakan pola pembangunan
ekonomi sebagai alat penguat legitimasinya.
Pada saat yang sama, kelompok Islam yang

berjasa bebas bagi Soeharto dalam
menghancurkan kekuatan PKI menjadi
termarginalkan (Hua, 2009: 198).
Meskipun demikian, posisi umat Islam
ternyata masih cukup kuat, Soeharto
memberi kesempatan kelompok Islam
untuk bersatu dengan mendirikan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1975.
Namun, hal tersebut hanyalah strategi
untuk memunculkan kesan perhatiannya
pemerintah terhadap umat Islam.
Perpecahan yang terlanjur terjadi tetap
semakin memanas. Nurcholis Madjid
bahkan mengeluarkan pernyataan yang
menjadi perdebatan berkepanjangan, yaitu
yes to Islam, no to Islamic party (Assyaukanie,
2009 :55). Para aktivis mahasiswa juga
terpengaruh dengan perdebatan itu seperti
HMI yang kemudian terpecah menjadi dua
yaitu HMI Dipo dan HMI MPO.
Menyikapi suasana yang tidak sehat
tersebut, para ilmuwan dan intelektual
muslim mencari solusi. Mereka mendirikan
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI) di Malang, pada 8 Desember 1990.
Mereka ingin mengesankan Islam dalam
bentuk yang lebih eksis, terprogram, dan
mampu mengikuti perkembangan zaman.
Lebih utama bahwa Islam mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan.
Rencana ini berjalan semakin lancar
dengan keterlibatan B.J Habibie yang
merupakan seorang menteri populer pada
waktu itu, sekaligus vokal menyuarakan
kerjasama antara pemerintah dengan
kelompok Islam (Salim & Azra, 2003: 155).
Dalam perkembangannya, organisasi
ini banyak dipengaruhi oleh sikap anggota
yang tidak kooperatif terhadap pemerintah.
Pada tahun 1993 misalnya, Amien Rais
melakukan gerakan mengkritik pemerintah
secara massif. Menurutnya, Indonesia
mengalami persoalan serius berkenaan
dengan sistem pemerintahan, KKN yang
merajalela, dan kebijakan yang jarang
berpihak kepada rakyat.

41

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

Dalam sistem pemerintahan, menurut
Amien Rais, sistem pemerintahan terpusat
harus digantikan dengan federalisme karena
hanya menguntungkan pusat. Perasaan
tidak adil dari daerah-daerah menimbulkan
gejolak. Begitupun dengan KKN, banyak
kroni Soeharto yang menjadi pejabat
melakukan korupsi. Hal ini tentu
membahayakan
negara,
apalagi
pembangunan ditopang dari hutang.
Perhatian pemerintah lebih kepada
persoalan makro dan melupakan masalah
keadilan ekonomi, dalam arti pemerataan
pembangunan.
Amien Rais mengenalkan konsep
tauhid sosial, dan amar ma’ruf nahi munkar.
Menurutnya, Islam tak hanya dipahami
dalam artian normatif tetapi harus
operasional, tidak hanya sekadar pribadi
tetapi juga untuk masyarakat. Meskipun
seseorang telah dapat dibilang soleh tetapi
merasa aman dari kemungkaran yang
dilakukan oleh orang di sekitarnya, maka
akibat dari kejahatan di sekitarnya akan
tetap ia rasakan. Oleh karena itu, perlu
adanya transformasi intelektual secara masif
di tengah masyarakat untuk mewujudkan
rasa keadilan (Saleh, 2001: 188).
Penurunan Dukungan dan Masa Depan
Partai Islam Indonesia
Meski sebagai negara dengan
mayoritas penduduk Islam dan keberadaan
Islam sudah mengalami sejarah panjang
dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
baik sebelum kemerdekaan maupun pasca
kemerdekaan, namun dalam hal politik Islam rupanya seringkali disingkirkan.
Sebelum kemerdekaan, ada banyak
kerajaan Islam seperti Perlak, Samudra
Pasai, Demak, Mataram, Banten, Cirebon,
Goa Tallo, Ternate Tidore, Banjar, dll., tetapi
setelah kemerdekaan, hampir semua
kebijakan pemerintah tidak berpihak
kepada Islam. Bahkan pada Orde Baru,
Kikue Hamayotsu menjelaskan bahwa

42

karakter politik Indonesia adalah politik
“anti-Islamic” dan lebih dekat dengan barat
(Hamayotsu, 2002: 369).
Pada awal masa reformasi 1998,
perkembangan partai Islam meningkat
pesat. Jika sebelumnya kekuatan hanya ada
di PPP, ICMI, serta dua organisasi Islam
yaitu NU dan Muhammadiyah, maka sejak
reformasi muncullah beberapa partai Islam
baru seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), dll. Beberapa gerakan dan kelompok
Islam pun lahir dan berkembang pesat
seperti Hidayatullah, Hizbuttahrir, Salafi,
Laskar Pembela Islam (LPI), Laskar Jihad,
Laskar Mujahidin Indonesia, dll (Hasan,
2006: 13).
Kondisi ini sesuai dengan pendapat Vali
Nasr yang menyatakan bahwa penarikan
militer dari politik Indonesia, merupakan
kesempatan besar bagi kelompok Islam
untuk melakukan manuver dalam politik
(Nasr, 2005). Momentum reformasi adalah
kesempatan kaum muslim untuk
mengekspresikan ideologi yang lama
mereka pendam seperti Wahabism,
Ikhwanul Muslimin, Jamaát Movement, Iranian Revolution, dll.
Pun demikian dalam perolehan suara
pemilu tahun 1999 dan 2004, partai-partai
Islam masih mendapatkan posisi penting di
hati rakyat. Namun pada 2009, turun secara
signifikan. Jika pada tahun 2004, partai Islam bisa mendapatkan suara sebesar 38,1
persen misalnya, maka pada 2009, terjun
bebas menjadi 27,8 persen saja (Mietzner,
2009: 12). Dukungan tersebut lebih rendah
dari yang mereka dapatkan pada puncak
kemenangan partai Islam tahun 1999.
Pada tahun 1999, PPP mendapatkan 11
persen suara, tetapi pada tahun 2004 dan
2009 secara berturut-turut suaranya
menyusut menjadi 8 persen dan 5 persen.
Nasib serupa dihadapi PKB yang hasil
pemilu merosot dari 13 persen pada tahun

Partai Islam Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

1999, menjadi hanya 11 persen pada tahun
2004, dan 5 persen pada pemilu 2009.
Demikian juga dengan PAN yang
mendapatkan 7 persen suara pada tahun
1999, turun menjadi 6,4 persen pada tahun
2004, dan tinggal 6 persen pada tahun 2009.
Hanya PKS yang sedikit menunjukkan
peningkatan dari 1,4 persen pada tahun 1999
dan 7,3 persen suara pada tahun 2004
menjadi 15 persen pada tahun 2009. Namun
partai ini harus berjuang keras menghadapi
pemilu 2014 untuk mempertahankan
suaranya, mengingat kasus korupsi yang
dihadapi beberapa kadernya, termasuk
mantan
ketua
umum
(http://
www.thejakartapost.com).
Penurunan suara partai Islam ini justru
diikuti dengan tingginya dukungan rakyat
terhadap partai-partai nasionalis dan sekuler,

seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat. Golkar
mendapatkan posisi bertahan 22 persen
suara pada tahun 1999 dan 2004, PDIP
memperoleh 34 persen pada pemilu 1999
dan 19 persen pada pemilu 2004. Stagnansi
suara pada pemilu 2004 diperkirakan
karena munculnya partai Demokrat yang
pada waktu itu mendapatkan 7 persen
suara. Namun demikian, pada pemilu 2009,
suara Demokrat melonjak menjadi 21
persen, dan membuat suara Golkar dan
PDIP turun menjadi 14,4 persen dan 14
persen (Fealy, 2009).
Data di atas menunjukkan bahwa
meskipun jumlah pemilih muslim di Indonesia hampir mencapai 90 persen, kekuatan
politik Islam semakin melemah. Penurunan
dukungan terhadap partai-partai Islam
tersebut dapat terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 1.
The Voice of Islamic Political Parties in Indonesia Since 1970

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa
partai Islam mulai mengindikasikan
penurunan sejak tahun 2009, setelah
mengalami kenaikan pada tahun 1999 dan
2004. Tidak mustahil dengan berbagai
perkembangan yang ada, perkembangan
partai Islam pada pemilu 2014 semakin
menunjukkan penurunan.
Secara umum, ada dua faktor yang
menyebabkan kemunduran partai Islam
tersebut, baik internal maupun eksternal.
Dalam aspek internal, beberapa hal yang

menghalangi partai Islam untuk menang
dalam pemilu di Indonesia, di antaranya:
Pertama, berkaitan dengan karakter
pemahaman Islam di Indonesia. Selama ini
Islam lebih banyak dimaknai dalam artian
ritual dibandingkan dengan pelibatan
agama dalam semua dimensi kehidupan.
Jika dihubungkan dengan pendapat Peter
Mandavelle, maka penurunan dukungan
terhadap partai Islam di Indonesia bisa
dimaklumi. Dalam bukunya, ia berargumen
bahwa meskipun di negara mayoritas
43

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

beragama Islam, tidak ada jaminan bahwa
Islam akan relevan dalam kehidupan politik
mereka. Lebih lanjut, ia menggambarkan
beberapa kondisi yang berkaitan dengan
politik Islam, antara lain pemahaman teologi
yang tekstual, atau kooptasi kekuasaan
terhadap agama dan pengalaman sekuler
dari kehidupan seseorang yang seringkali
membuat jauhnya agama dari politik
(Mandavelle, 2007: 2 & 14).
Douglas E. Ramage pun menjelaskan
bahwa, sebagai bangsa yang multikultural,
Indonesia telah mengambil pilihan yang
tepat untuk menjadikan Pancasila sebagai
jalan kompromi perdebatan antara
kelompok Islamis dengan sekuler pada era
awal kemerdekaan Indonesia (1995: 1).
Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian
besar masyarakat Indonesia lebih
menjadikan komitmen nasionalis, atas dasar
Pancasila, sebagai pilihan politik mereka.
Hanya sedikit saja yang menjadikan Islam
sebagai komitmen politik.
Kedua, kemunduran dukungan
terhadap partai Islam disebabkan
perpecahan yang terjadi di antara umat Islam sendiri. Clifford Geertz menggambarkan perpecahan ini dengan membagi
kelompok Islam Indonesia menjadi
kelompok abangan, priyayi, dan santri
(Suryadinata, 2002: 6). Bahkan dalam artian
politik, Zachary Abusa mengklasifikasikan
gerakan Islam di Indonesia menjadi
beberapa jenis, seperti gerakan khalifah,
pendirian negara Islam, dan kelompok
pluralis demokrasi (2007: 10). Secara
sederhana kelompok tersebut terbagi
menjadi dua, yaitu kelompok pendukung
dan penentang demokrasi.
Kelompok yang mendukung demokrasi
adalah mereka yang tergabung dalam
partai-partai Islam seperti PKS, PPP, PBB,
PBR, PAN dan PKB. Sementara kelompok
yang menentang demokrasi meliputi Dewan
Dakwah Islam Indonesia (DDII), Salafi, dan
Hizbuttahrir (Kunkler & Stepan, 2013: 122-

44

123). Karena perbedaan pola gerakan
antara yang mendukung dan menolak
demokrasi, maka seperti dapat dilihat di
lapangan, antara satu kelompok dengan
lainnya pun belum maksimal dalam
menyinergikan gerakan dakwah mereka.
Tak jarang, di antara sesama mereka
membongkar aib dan kelemahan kelompok
yang lain.
Oleh karena itu, wajar ketika muncul
pendapat yang mengatakan bahwa
demokrasi membuat umat Islam terpecah
belah. Bahkan di antara sesama kelompok
pendukung demokrasi sendiri terjadi
perbedaan pendapat, perihal masyarakat
Islam di Indonesia cenderung memilih partai
berdasarkan kedekatan kultural. Kelompok
Nahdiyin memilih partai yang berlatar
belakang NU, begitu juga dari kelompok
Muhammadiyah cenderung kepada PAN.
Kelompok Islam abangan bahkan lebih
memilih partai-partai nasionalis
dibandingkan partai Islam (Denny J.A.,
2006: 219).
Ketiga, ketidakmampuan partai-partai
Islam untuk menyelesaikan persoalan riil
yang terjadi di tengah masyarakat, seperti
isu kemiskinan, pengangguran, dan lainlain. Walaupun partai-partai sekuler
kondisinya hampir sama tetapi mereka
mampu menampilkan diri dengan lebih
menarik. Dalam konteks ini, partai Islam di
Indonesia belum mampu menyaingi partaipartai sekuler dalam hal menjual platform
partai (Nasr, 2005 :17). Padahal masyarakat
sekarang sudah banyak yang berfikir
rasional pragmatis, dengan hanya memilih
partai yang dinilai akan mampu
memperjuangkan kepentingannya saja.
Di sisi lain, Burhanuddin Muhtadi
menjelaskan bahwa partai-partai sekuler
mempunyai kemampuan unggul untuk
merangkul para pemilih dari kelompok Islam (Halim, 2013). Di antaranya, partaipartai tersebut mulai membuat berbagai
wadah keagamaan yang memungkinkan

Partai Islam Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

kelompok Islam untuk mengekspresikan
kepentingan mereka.
Aspek publikasi program partai sekuler
pun berjalan mulus. Hal ini dikarenakan
mereka mampu menampilkan berbagai program yang dinilai lebih feasible dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Terlebih
lagi, menurut hasil survey LSI masyarakat
tidak lagi menjadikan agama sebagai
landasan mereka dalam menentukan
pilihan, melainkan atas pilihan rasional demi
kepentingan mereka, terutama dalam aspek
ekonomi dan kesejahteraan (Tanuwijaya,
2010: 34-35). Hal ini membuat partai-partai
Islam semakin kalah bersaing dibandingkan
dengan partai sekuler.
Selain itu, berbagai faktor eksternal
juga memberikan peran dalam penurunan
dukungan terhadap partai Islam, di
antaranya adalah: Pertama, opini publik
yang dibangun oleh media massa ternyata
kurang menguntungkan partai Islam.
Berbagai opini tersebut membuat gerakan
Islam mendapatkan image tidak begitu baik
di tengah masyarakat. Berbagai kelompok
Islam identik dengan tindak kekerasan,
terorisme, dan ketidakmampuan dalam
menyesuaikan diri di tengah perkembangan zaman. Contohnya seperti isu GAM
yang
dinilai
menjadi
masalah
berkepanjangan di tanah Aceh karena
keinginan mereka untuk menerapkan
syariat Islam.
Demikian juga dengan berbagai
tindakan brutal dan cenderung melakukan
kekerasan yang dilakukan oleh Front
Pembala Islam (FPI), Laskar Jihad (LK), dan
Jama’ah Islamia. Meskipun gerakangerakan tersebut tidak secara langsung
berkaitan dengan partai Islam, tetapi posisi
mereka bisa mempengaruhi penilaian
masyarakat pada umumnya dalam
mempersepsikan Islam (Lee, 2004: 103-104).
Kondisi ini diperburuk dengan isu terorisme
yang banyak dialamatkan kepada aktivisaktivis Islam sehingga mempersulit posisi

Islam dalam politik, termasuk pandangan
terhadap partai Islam.
Berdasarkan survey yang dilakukan
oleh LSI, terdapat indikasi bahwa politik Islam mengarah pada konservatisme dan
kekerasan dalam politik. Hal ini dinilai akan
menciderai semangat pluralisme di tengah
masyarakat. Apalagi, tidak sedikit dari
kelompok Islam tersebut yang menolak
proses politik demokrasi dengan media
partai. Pada akhirnya, hal ini pun
memperlemah dukungan terhadap partai
Islam. Sementara itu, partai-partai sekuler
dengan sigap mencoba mengambil hati
pemilih muslim, seperti berkoalisi dengan
partai-partai Islam (Mustarom & V. Arianti,
2009: 1-2).
Kasus tersebut dialami oleh PKS. Dari
opini publik yang berkembang, masyarakat
curiga bahwa PKS memiliki agenda untuk
mendorong penerapan syariat Islam di Indonesia yang heterogen (Steele, 2006).
Berbagai pendapat senada lainnya
menyebabkan PKS mulai berusaha menjadi
partai terbuka. Namun, selain khalayak
tetap belum percaya, yang justru terjadi
adalah membuat para simpatisan PKS yang
selama ini memang mendukung ideologi
Islam, mulai menilai sikap PKS tidak
konsisten.
Kedua, sistem pendidikan dan sejarah
politik Indonesia yang cenderung sekuler.
Sejauh ini, pendidikan Indonesia tidak
terlalu banyak memberikan perhatian
dalam persoalan keagamaan. Indonesia
sudah merasa mapan dengan Pancasila,
yang dinilai mampu menyatukan semua
golongan dan agama. Oleh karena itu,
meskipun peran Islam terhadap kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia
sangat besar, pendidikan tetap diarahkan
kepada semangat nasionalisme dan
kebersamaan semua golongan.
Catatan sejarah Indonesia lebih banyak
menempatkan militer sebagai pahlawan
dalam perebutan kekuasaan, bukan para

45

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

ulama yang selama ini telah mengobarkan
semangat jihad di tengah masyarakat yang
berasal dari berbagai daerah seperti Aceh,
Sumatera Barat, Banten, Demak, Makasar,
dan sebagainya. Akibatnya, sekian lama
Indonesia dibayangi persoalan demokratisasi karena adanya dwifungsi ABRI yang
begitu kental dalam dunia politik dan bisnis
di Indonesia. Meskipun reformasi 1998
menjadi momentum perubahan peta dan
warna politik Indonesia, kenaikan sesaat
dukungan partai Islam pun tidak bertahan
lama.
Namun demikian, terdapat hal menarik
di tengah menurunnya dukungan publik
terhadap partai Islam, budaya Islam justru
semakin menyebar luas di tengah
masyarakat. Jika sebelumnya ucapan
assalamu’alaikum masih merupakan hal
yang tabu, di era ini menjadi ucapan salam
yang sangat umum, bahkan disampaikan
oleh orang-orang nonmuslim sekali pun.
Demikian juga dengan budaya keberagamaan yang lain, seperti budaya belajar AlQuran, pakaian-pakaian Islami baik lakilaki maupun wanita, penerapan sistem bank
syariah dan sejenisnya, terus meningkat dari
waktu ke waktu.
Realita ini dapat merupakan indikasi
masyarakat Indonesia memahami Islam
dalam konteks kebudayaan dan keselarasan
nilai Islam dengan kehidupan harian
mereka, bukan pada simbol dan formalitas.
Apalagi ketika sebagian kelompok
menggunakan Islam hanya untuk
kepentingan kelompok dan golongan,
masyarakat Indonesia sudah mulai bisa
menilai secara objektif. Mereka akan
meninggalkan partai Islam yang korup,
tidak pandai mengambil hati rakyat, dan
mempunyai pola pengkaderan yang tidak
kuat.
Bagi rakyat, yang dibutuhkan adalah
partai yang mampu memperjuangkan
aspirasi mereka, membantu rakyat
menghadapi berbagai persoalan keseharian

46

mereka. Bukan partai yang salah urus,
mendukung korupsi, terlibat berbagai
konflik internal, miskin misi dan visi, tidak
punya sistem pengkaderan yang baik, serta
kepemimpinan yang tidak berwibawa.
Karenanya, partai-partai Islam harus
benar-benar memahami budaya politik yang
ada di tengah masyarakat Indonesia dan
meningkatkan pelayanan mereka terhadap
rakyat. Tidak semua mendukung piagam
Jakarta dengan penegakan syariat Islam bagi
pemeluknya. Tak sedikit pula yang
mendukung syariat Islam, tetapi tidak
percaya dengan sistem demokrasi yang
diterapkan oleh partai-partai Islam,
sebagaimana pemahaman yang dimiliki oleh
Hizbuttahrir. Apalagi dengan misi yang
dibawa, partai-partai Islam tadi terlibat
konflik berkepanjangan antarsesama
mereka. Biasanya masyarakat akan
kehilangan kepercayaan terhadap partaipartai seperti ini.
Jika dilihat dengan perspektif yang lain,
hal ini menunjukkan bahwa partai Islam
tetap mempunyai peluang jika sungguhsungguh mampu memberdayakan budaya
Islam, yang sudah memasyarakat di
kalangan rakyat. Apalagi sejarah
kemerdekaan dan pembangunan Indonesia
banyak dipengaruhi oleh keterlibatan
berbagai gerakan Islam. Muhammadiyah
misalnya, mempunyai ribuan sekolah dan
ratusan kampus, serta rumah sakit untuk
membantu pemerintah menyelesaikan
persoalan pendidikan, kesehatan dan sosial
lainnya yang terjadi di tengah masyarakat.
Belum lagi gerakan NU, Hidayatullah, dan
lain-lain yang juga banyak terlibat dalam
bidang sosial dan pendidikan.
Maka berdasarkan tantangan kekinian
dan potensi dari sejarah Islam di atas, masa
depan partai Islam sangat ditentukan oleh
kemampuan para tokoh Islam, terutama
para politisi yang berjuang di partai-partai
Islam untuk menampilkan nuansa partai
yang benar-benar mencerminkan nilai Islam.

Partai Islam Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

Partai-partai Islam perlu bersatu,
berkomitmen menjadi partai bersih, dan
berjuang untuk rakyat dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Bukan
sekadar slogan, tetapi dibuktikan dengan
aksi nyata. Jika hal ini bisa dilakukan, maka
masa depan partai Islam bisa menjadi lebih
cerah. Namun sebaliknya, mengatasnamakan Islam untuk kepentingan pribadi,
kelompok dan hanya sesaat, hanya akan
membuat masyarakat tambah benci dan
menjauh dari partai Islam.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat
bahwa posisi partai Islam dan dinamika
demokratisasi di Indonesia tidak mudah.
Mereka dihadapkan pada berbagai realita
yang tidak hanya menuntut wacana,
melainkan aksi nyata. Rakyat sudah cerdas
dan tidak mau lagi dibodohi dengan hal-hal
yang berbau SARA dan kurang mendidik.
Bagi mereka, yang diperlukan adalah
bagaimana caranya agar nilai Islam benarbenar diimplementasikan dalam
perpolitikan di Indonesia. Artinya, sistem
pemerintahan yang tidak berdasarkan Islam
tidak menjadi kendala serius bagi partai Islam untuk melebarkan sayapnya, jika dinilai
sebagai peluang.
Hanya saja, realita di lapangan yang
tidak boleh dilupakan adalah bahwa
demokrasi telah memunculkan perbedaan
pandangan di kalangan umat Islam sendiri.
Sebagian umat Islam mendukung
demokrasi dengan alasan kesesuaian nilai
yang dimiliki dengan Islam, dan sejarah
kemajuan bangsa barat yang terjadi melalui
proses demokratisasi. Sementara sebagian
kelompok Islam lainnya menilai bahwa
demokrasi tidak sesuai dengan Islam dan
mahal secara finansial dan sosial, padahal
tidak memberikan apa yang masyarakat
butuhkan.
Umat Islam dan partai Islam pun
terpecah. Sebagian partai Islam mulai

terjebak dengan indahnya kata demokrasi.
Bahkan tidak sedikit dari partai Islam yang
justru tidak lagi mampu menunjukkan
identitas ke-Islamannya, karena budaya
korupsi yang mulai menggerogoti barisan
mereka. Sementara kelompok lain menutup
diri dari perkembangan politik yang ada.
Akhirnya, partai Islam dalam dinamika
politik Indonesia akan sangat ditentukan
oleh komitmen awal mereka terhadap nilai
ke-Islaman dan komitmen membangun
bangsa. Jika ingin menyelesaikan
kecenderungan suara partai Islam yang
terus menurun, maka partai-partai Islam tadi
harus benar-benar mampu menampilkan
diri sebagai partai yang solutif, di tengah
mulai muaknya masyarakat terhadap
tingkah partai-partai korup. Partai Islam
tidak hanya bisa berwacana, tapi harus
mampu memberikan terobosan-terobosan
baru dan memanfaatkan potensi kekuatan
yang mereka miliki. Sungguh, sejarah Islam
dalam membangun bangsa, akan
mendapatkan dukungan dari mayoritas
masyarakat Indonesia jika benar-benar
ditapak tilasi dengan sistem, manajemen
dan komitmen moral yang kuat.

Daftar Pustaka

Buku
Abusa, Zachary. (2007). Political Islam and
Violence in Indonesia. New York:
Roudledge.
An-Na’im, Abdullahi Ahmad. (2008). Islam
and The Secular State, Negotiating The
Future of Shari’ah. USA: President and
Fellow of Harvard College.
Assyaukani, Luthfi. (2009). Islam and The
Secular State in Indonesia. Singapore:
ISEAS Publication.

47

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

Azra, Azyumardi. (2006). Indonesia, Islam,
and Democracy: Dynamics in a Global
Context. Jakarta: Solstice Publishing.

J.A, Denny. (2006). Melewati Perubahan:
Sebuah Catatan Atas Transisi Demokrasi
Indonesia. Yogyakarta: LKIS.

Beinin, Joel & Stork, Joe. (1997). Political Islam: Essay From Middle East Report.
New York: IB. Tauris Publisher.

Kimura, Ehito. (2013). Political Change and
Territoriality in Indonesia, Provincial
Proliferation. New York: Routledge.

Budiarjo, Miriam. (1999). Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Kivimaki, Timo. (2003). US- Indonesian Hegemonic Bargaining, Strength of Weakness. England: Ashgate Publishing Limited.

Cesari, Jocelyne. (2004). When Islam and Democracy Meet: Muslims in Europe and
in the United States. New York: Palgrave
Macmillan.

Kunkler, Mirjam & Stepan, Alpred. (2013).
Democratization and Islam in Indonesia.
USA: Columbia University Press.

Altman, David. (2011). Direct Democracy
Worldwide. New York: Cambridge University Press.
Diamond, Larry. (2003). Developing Democracy toward Consolidation (terjemahan).
Yogyakarta: IRE Press.
Eliraz, Giora. (2004). Islam in Indonesia, Modernism, Radicalism, and the Middle East
Dimension. UK: Sussex Academic Press.
Feldman, Noah. (1970). After Jihad: America
and Struggle for Islamic Democracy. New
York: Farrar.
Grigsby, Ellen. (2011). Analyzing Politics: An
Introduction to Political Science. USA:
RRD Crawfordsville.
Hasan, Noorhaidi, (2006). Laskar Jihad, Islam, Militancy and The Quest for Identity, In Post New Order Indonesia. Ithaca,
NY: Cornell Southeast Asia Program
Publication.
Hasyim, Rosnani. (2010). Reclaiming The
Conversation, Islamic Intellectual Tradition in The Malay Archipelago. Selangor:
Mutiara Majestic.
Hua, Shiping. (2009). Islam and Democratization in Asia. New York: Cambria
Press.

48

Lloyd, Grayson & Smith, Shannon. (2001).
Indonesia Today: Challanges of History.
Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies.
Mandavelle, Peter. (2007). Global Political Islam. New York: Routledge.
Mietzner, Marcus. (2009). Military Politics,
Islam, and the State in Indonesia: From
Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Singapore: ISEAS Publications.
Nagle, John D & Mahr, Alison. (1999). Democracy and Democratization. London:
SAGE Publications.
Platzdasch, Bernhard. (2009). Islamism in Indonesia: Politics in The Emerging Democracy. Singapore: ISEAS Publishing.
Ramage, Douglas E. (1995). Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and the Ideology
of Tolerance. London: Routledge.
Roy, Olivier. 1994. The Failure of Political Islam. Translated by Carol Volk. USA:
President and Fellows of Harvard College.
Saleh, Fauzan. (2001). Modern Trend in Islamic Theological Discource in 20th Century Indonesia: A Critical Study. Leiden:
Koninklijke Brill NV.

Partai Islam Dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

Salim, Arskal & Azra, Ayzumardi. (2003).
Shari’a and Politics in Modern Indonesia. Singapore: Institute of South East
Asian Studies.
Shapiro, Ian. (1996). Democracy’s Place. USA:
Cornell University Press.
Suryadinata, Leo. (2002). Election and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of
South East Asian Studies.
Tickamyer, Ann R & Kusujiarti, Siti. (2012).
Power, Change and Gender Relations in
Rural Java, A Tale of Two Villages. USA:
Ohio Univerity Research.
Jurnal
Baswedan, Anies Rasyid. (2004). Political Islam in Indonesia, Present and Future
Trajectory. Asian Survey. September/
October, Vol.XLIV, No.5. ISSN 00044687, electronic ISSN 1533-838X. The
regents of the University of California,
670.
Hamayotsu, Kikue. (2002). Islam and Nation Building in Southeast Asia: Malaysia and Indonesia in Comparative Perspective. Pacific Affairs, Fall 2002, Vol.
75 No.3. Pa Pacific Affairs: University of
British Columbia, 369.
Mustarom, Tuty Raihana & V Arianti. (2009).
Declining Support for Islamic Parties:
Exploring the Indonesia “Paradox”.
(Online). (http://www.rsis.edu.sg/publications/Perspective/RSIS0432009.pdf).
Lee, Jeff. (2004). The Failure of Political Islam in Indonesia. Stanford Journal of East
Asian Affairs, Vol 4. No.1, Winter 2004.
(Online). (http://www.stanford.edu/
group/sjeaa/journal41/seasia1.pdf).
Nasr, Vali. (2005). The Rise of Muslim Democracy. Journal of Democracy Volume
16, Number 2 April 2005.

Sein, Laila. (22-23 April 2005). Democracy and
Development: Challenges for Islamic
World. CSID sixth Annual Conferences.
Soebagio. (2008). Implikasi Golongan Putih
dalam Perspektif Pembangunan
Demokrasi Indonesia. Jurnal Makara,
Sosial Humaniora Vol.12 No.2 Desember
2008. Universitas Indonesia, Jakarta.
(Online). (http://journal.ui.ac.id/
index.php/humanities/article/viewFile/
171/167).
Tanuwijaya, Sunny. (2010). Political Islam
and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s
Political Decline. Contemporary Southeast Asia Vol. 32 No. 1 April 2010.
Artikel dari Internet
Damanik, Caroline. (2009). Penetapan Jumlah
TPS Terkait DPT. (Online). (http://
nasional.kompas.com/read/2009/03/03/
1 2 1 2 5 8 2 3 / P e n e t a pan.Jumlah.TPS.Terkait.DPT, diakses
18 September 2012 pukul 13.14 WIB).
Fealy, Greg. (2009). Indonesia’s Islamic Parties in Decline. (Online). (http://
inside.org.au/indonesia%E2%80%99sIslamic-parties-in-decline/, diakses 30
September 2012 pukul 14.00 WIB).
Halim, Haeril. (2013). Secular Parties to
Benefit from Muslim Vote. (Online).
(http://www.thejakartapost.com/news/
2013/12/18/secular-parties-benefitmuslim-vote.html, diakses 18 Desember
2013).
Steele, Andrew. (2006). The Decline of Political Islam in Indonesia. Asia Times.
(Online). (http://www.atimes.com/
atimes/Southeast_Asia/
HC28Ae03.html, diakses 28 Maret
2006).
Verba, Sidney. (1969). Thoughts about Political Equality What Is It? Why Do We

49

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17, Nomor 1, Juli 2013

Want
It?.
(Online).
(www.hks.harvard.edu/inequality/Summer/Summer01/papers/Verba.pdf,
diak