perkembangan hukum islam di indonesia

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Sihabudin
A. Pendahuluan
Landasan filosofis bangsa Indonesia adalah Pancasila, yang berisi
nilai-nilai moral atau etika dari bangsa Indonesia. Moral dan etika bangsa
pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik, sedangkan nilai
yang baik merupakan pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi yang di
dalam ada nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan serta berbagai nilai
lainnya yang dianggap baik.
Tujuan hukum Islam dapat dipahami dari sudut asas dalam disiplin
hukum Islam, yaitu: asas keadilan yang merupakan asas penting dan
mencakup semua asas dalam bidang hukum islam, yang dikenal pula adanya
asas hukum pidana yang mendasari pelaksanaan hukum pidana islam,
meliputi asas legalitas, asas larangan memindahkan kepada orang lain, asas
praduga tak bersalah (presumption of innocen), asas kekeluargaan, asas
kebolehan (mubah), asas kebajikan dan asas kemaslahatan.
Islam merupakan sebuah total-sistem, yang terdiri dari aqidah (belief
system), syariah (worship system), muammalah (social system), dan akhlaq
(personality system). Syariah tersebut mengandung hukum-hukum normatif
yang bersifat empiris.
Berbagai pandangan menyebutkan, bahwa moral harus dijadikan

hukum dengan melalui proses pengundangan. Di dalam Islam terjadi jalinan
yang erat sekali antara etika atau moral, agama dan hukum, sebab
kebenaran islam merupakan kebenaran mutlak yang transendental, yang
harus ditaati secara mutlak. Tujuan hukum syara’ secara global untuk
kemaslahatan dunia dan akhirat bagi seluruh ummat manusia, sekaligus bukti
rahmat Allah bagi seluruh alam. Secara rinci syara’ memiliki 5 (lima) tujuan
utama, yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa,
memelihara aqal, memelihara keturunan, memelihara harta-benda dan
kehormatan diri.
Teori Hukum Islam (Islamic Legal Theory) menjelaskan, bahwa
pangkal nilai atau sumber dari terbentuknya hukum islam mengambil dari
kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Berdasarkan asas-asas umum hukum

islam, pemahaman terhadap islam sebagai sebuah total sistem dan teori
hukum islam, dapat dilihat dari segi aplikasi perkembangan legislasi hukum
islam dalam hukum positive di Indonesia.
Hukum islam dalam pelaksanaannya bukan hanya merupakan
persoalan kemasyarakatan yang terlepas dari akar tauhid, tetapi juga
merupakan ibadah dalam pengertian luas, yaitu penyerahan diri seorang
hamba kepada Allah swt sebagai Rabb-nya, karena pelaksanaan hukum

islam harus sesuai dengan ketentuan Allah. Oleh karena itu seringkali hukum
islam disebut sebagai hukum wahyu (syari’at), yang merupakan sistem
ketuhanan yang mendahului keberadaan negara, mengontrol masyarakat
Islam, dan tidak dikontrol olehnya.
Hukum Islam di Indonesia, baik pemberlakuannya maupun
pelaksanaannya mengalami perkembangan yang cukup dinamis.
Pertanyaannya adalah bagaimana perjalanan dan perkembangan berlakunya
hukum islam di Indonesia tersebut?
B. Pembahasan
Periode kemerdekaan (setelah tahun 1945), semula Peradilan Agama
hanya menyelesaikan sengketa perceraian bagi warga negara beragama
Islam berdasarkan UU No. 1/1974 ttg Pokok-pokok Perkawinan. Berdasarkan
undang-undang ini, maka yang tampak hukum Islam yang berlaku adalah
hukum keluarga, itupun sebatas hukum perkawinan dan hukum perceraian,
artinya pada periode ini, pengadilan agama hanya menyelesaikan sengketa
perceraian saja.
Selanjutnya Peradilan Agama sebagai salah satu dari lembaga negara
RI, yang menjalankan kekuasaan kehakiman, diatur dengan UU No. 7/1989
tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama diberi kewenangan yang
lebih luas dari sebelumnya, yaitu dengan menambah kewenangan menangani

sengketa kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan sadaqah. Mulai tahun 1989 ini
sengketa waris penyelesaiaannya menjadi kewenangan Pengadilan Agama
jika para pihak beragama Islam dan memilih hukum islam yang dipakai
sebagai dasar keputusan. “Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa
yang akan dipergunakan dalam pembagian waris”.

Sejalan dengan itu disahkan pula Kompilasi Hukum Islam melalui
KepPres No. 1/1990 sebagai Hukum Materiil atau hukum terapan berkenaan
dengan kewenangan baru Pengadilan Agama.
Berdasarkan UU No. 7/1989 dijadikan prinsip yang menjamin
pemberlakuan hukum islam secara imperatif bagi pemeluk agama islam
dalam upaya menyelesaikan sengketa. Hukum islam berlaku bagi setiap
orang dan siapapun yang telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslim,
ia terikat untuk patuh dan taat kepada hukum dan ajaran islam. Beberapa
pendapat menyatakan, bahwa orang islam jika menerima islam sebagai
agamanya, ia akan menerima otoritas hukum islam terhadap dirinya. Tetapi
ada penjelasan umum angka 2 alenia 3 menyebutkan, bahwa pasal tersebut
menyebabkan pendangkalan terhadap asas personalitas ke Islaman, dan
berdampak thd perubahan makna dari hukum yang bersifat imperatif menjadi

bersifat fakultatif. Hal ini juga kontra diktif dengan pasal 49, yang dijadikan
sebagai parameter kompetensi absolute bagi Peradilan Agama.
Adanya peraturan perundang-undangan yang memperluas
kewenangan Pengadilan Agama, maka secara langsung memperluas
berlakunya hukum islam di Indonesia. Contoh ditetapkanya penyelesaian
sengketa warisan harus di Pengadilan Agama bagi orang-orang islam, maka
berarti hukum waris islam (faro’id) secara otomatis yang diberlakukan.
Kemudian dikeluarkan UU No. 35/1999 ttg Perubahan atas UU No.
14/1970 ttg Pokok-2 Kekuasaan Kehakiman. Diperbaharui lagi dengan UU
No. 4/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman, dan selanjutnya diperbaharui dengan
UU No.48/2009.
Kemudian dikeluarkan UU No. 3/2006 ttg Perubahan atas UU 7/1989
ttg Peradilan Agama.
Sistem hukum Indonesia mengikuti kebiasaan civil law, yang sifat
utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi.
Sedangkan hukum islam, walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada
Al-Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para fuqaha (doktrin fiqih) pada
umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundang-undangan yang
mudah dijadikan sebagai rujukan. Oleh karena itu, hukum islam di Indonesia
seperti halnya hukum adat sering dipandang sebagai hukum tidak tertulis

dalam bentuk perundang-undangan.

Di sisi lain, umat Islam yang menghendaki pemberlakuan fiqih
muamalah sebagai hukum positif juga harus mengupayakan politik hukum
melalui proses legislasi dengan penyusunan draft Rancangan Undangundang yang diajukan kepada badan legislatif (DPR) untuk mendapatkan
persetujuan.1
Terkait dengan proses legislasi, dapat dikatakan mencakup kegiatan
mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang.
Pengajuan Rancangan Undang-Undang bisa dilakukan oleh Presiden atau
melalui inisiatif DPR.2
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengubah UU Nomor 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, maka memperluas kewenangan
Peradilan Agama, yang meliputi sejumlah bidang pekerjaan sebagai berikut:
1. Perluasan kewenangan pada pemeriksaan, memutuskan dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama islam di bidang: (a) perkawinan, (b) kewarisan, (c) wasiat, (d)
hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g) sadaqah, (h) infaq, (i) ekonomi islam;
2. Penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan
pada tahun Hijriyah, menentukan memasuki awal bulan Ramadhan, bulan

Syawal dan Tahun Baru hijriyah dalam rangka mendukung Menteri Agama
menetapkan secara nasional untuk rukyat-hilal.
Hukum yang mengatur kegiatan ekonomi syariah di Indonesia
berkembang cukup baik, contohnya: hukum perbankan syariah, asuransi
syariah, pasar modal syariah. Di daerah tertentu juga memberlakukan hukum
pidana islam (jinayat), misalnya di Aceh, dengan membentuk hukum tersendiri
dengan nama “Conun”.
Kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi tidak dibatasi di bidang bank syariah, tetapi juga di bidang ekonomi
syariah lainnya, sedangkan yang dimaksud ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,
antara lain: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah,
reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga
berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah,

pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis
syariah.
Penambahan atau perluasan kewenangan Peradilan Agama dengan
cara pengembangan hukum islam melalui jalur legislasi, terutama yang
mengatur bidang ekonomi syariah tetap diperlukan, dengan pertimbangan:

1. Pengaturan terhadap bidang ekonomi syariah sifatnya sudah mendesak;
termasuk kebutuhan legislasi merupakan tuntutan obyektif dan urgen,
sebab akan mendukung implementasi hukum islam secara pasti dan
mengikat secara yuridis formal.
2. Materi hukum ekonomi syariah adalah hukum privat islam, bukan hukum
publik, sehingga jika bidang inidiangkat ke jalur legislasi maka tidak akan
memunculkan konflik serius, baik di tingkat internal maupun eksternal,
karena sifatnya yang universal dan netral.
Lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
ekonomi syariah merupakan bagian dari fiqih muamalah mempunyai peluang
yang cukup besar untuk berkembang, beberapa hal penting yang berpotensi
sebagai faktor pendukung, antara lain:
a. Substansi hukum islam yang sudah mapan, di samping penggunaan fiqihfiqih produk imam-madzhab, yang telah lama menggagas hukum islam di
Indonesia.
b. Produk legislasi (produk politik), yang menunjukkan, bahwa meskipun
aspirasi politik islam bukanlah mayoritas, tetapi memperhatikan konfigurasi
politik saat ini yang berkembang cukup memberi angin segar bagi lahirnya
produk-produk hukum nasional yang bernuansa islami.
c. Materi hukum yang hendak diusung ke jalur legislasi mencakup hukum
privat yang bersifat universal dan netral, sehingga tidak memancing

sentimen agama lain, dan kemungkinan besar tidak akan menimbulkan
gejolak sosial.
d. Sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh dan
berkembangnya aspirasi politik islam, termasuk untuk melegislasikan
hukum islam.
e. Secara yuridis konstitusional, berdasarkan sila pertama Pancasila dan pasal
29 UUD 1945, hukum islam adalah bagian dari hukum nasional yang harus
ditampung dalam pembinaan hukum nasional, serta sejalan dengan
program legislasi nasional.

C. Penutup
Agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan
hukum. Oleh sebab itu, ketaatan setiap pemeluk agama kepada hukum
merupakan hal yang wajib, sebab hukum yang berlaku banyak dipengaruhi
oleh hukum-hukum agama.1 Prinsip yang mendasar adalah kaidah-kaidah
agama tersebut diyakini datangnya dari Tuhan. Keadaan yang demikian
mengandung arti bahwa kaidah-kaidah agama adalah kehendak Tuhan.
Pelembagaan hukum islam kedalam hukum nasional dan dijadikan
alasan perluasan kewenangan Pengadilan Agama merupakan tuntutan dari
kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) ummat islam dalam bidang hukum.

Hal ini disebabkan kesadaran berhukum pada syariat islam secara sosiologis
dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun.
Hal ini juga menunjukkan nilai-nilai ajaran islam di samping memiliki akar
yang kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang
lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja, sebab islam
merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan
seluruh alam.

192

1 Ibnu Emi, “Kewenangan Pengadilan Agama di Indonesia”, Disertasi, 2010, hlm.

Rifyal Ka’bah, “Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-undangan
Negara di Indonesia”, Majalah Hukum Suara Uldilag Vol. II, Nomor 5, Jakarta,
September 2004, hlm. 50.
Jimly Asshiddiqie, 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Konstitusi Press, Jakarta. Hlm. 29.
Ibnu Emi, “Kewenangan Pengadilan Agama di Indonesia”, Disertasi, 2010, hlm. 192

1Rifyal Ka’bah, “Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-undangan Negara di

Indonesia”, Majalah Hukum Suara Uldilag Vol. II, Nomor 5, Jakarta, September 2004,
hlm. 50.
2Jimly Asshiddiqie, 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta. Hlm. 29.