Hubungan Tipe Penderita Tuberkulosis Paru dengan Tingkat Depresi di RSUP H.Adam Malik Medan

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit radang parenkim paru karena
infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari
keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan
tuberkulosis ekstrapulmonar (Djojodibroto, 2009).
2.1.2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi
tunggal setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada tahun 2013 ditemukan
kasus sebanyak 6,1 juta kasus dan 5,7 juta diantaranya sebagai kasus baru dan kambuh
dan 0,4 juta kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Insidensi kasus TB secara
global telah mengalami penurunan selama beberapa tahun. Pada tahun 2000 sampai
dengan tahun 2013 telah mengalami penurunan insidensi dengan rata-rata 1,5 % setiap

tahunnya. Angka mortalitas TB dan prevalensi rate juga mengalami penurunan antara
tahun 1990 dan 2013. Penurunan angka mortalitas yang diperkirakan adalah sebesar
45 % dan prevalensi rate sebesar 41 %. Indonesia merupakan salah satu dari enam
negara yang memiliki kasus baru TB BTA positif terbanyak dengan jumlah antara
420.000-520.000 jiwa (WHO, 2014).
Pada tahun 2013 diperkirakan dari 2,6 juta kasus TB paru, 300.000 merupakan
kasus MDR TB. Sekarang ini jumlah MDR TB di seluruh dunia adalah sebesar
480.000 kasus ( 350.000- 610.000) dan diperkirakan 210.000 jiwa akan meninggal
karena ini. Indonesia merupakan satu dari 10 negara yang memiliki kasus MDR TB
terbanyak dengan berada di urutan ke-8. Selain Indonesia negara lain yang mempunyai
kasus MDR TB terbanyak adalah China, India, Myanmar, Pakistan, Filipina, Federasi
Rusia, Afrika Selatan, Ukraina dan Uzbekistan. Selama tahun 2011 kasus MDR TB di
Indonesia dilaporkan terdapat sejumlah 260 kasus dan diperkirakan pada tahun 2013
akan terdeteksi 1.800 kasus (WHO, 2014).

6

2.1.3. Patogenesis
Jalan masuk awal bagi basilus tuberkel ke dalam paru atau tempat lainnya
pada individu yang sebelumnya sehat menimbulkan respon peradangan akut

nonspesifik yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama
sekali tanpa gejala. Basilus kemudian ditelan oleh makrofag dan diangkut ke kelenjar
limfe regional. Bila penyebaran organisme tidak terjadi pada tingkat kelenjar limfe
regional, lalu basilus mencapai aliran darah dan terjadi diseminata yang luas.
Kebanyakan lesi tuberkulosis diseminata menyembuh, sebagaimana lesi paru primer,
walaupun tetap ada fokus potensial untuk reaktivasi selanjutnya. Diseminasi dapat
mengakibatkan tuberkulosis meningeal atau miliaris yaitu penyakit dengan potensial
terjadinya morbiditas dan mortalitas yang utama, terutama pada bayi dan anak kecil
(Isselbacher et al., 2013).
Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus
berkembang biak di lingkungan intraselulernya, timbul hipersensitivitas pada pejamu
yang terinfeksi. Limfosit yang cakap secara imunologik memasuki daerah infeksi, di
situ limfosit menguraikan faktor kemotaktik, interleukin dan limfokin. Sebagai
responsnya, monosit masuk ke daerah tersebut dan mengalami perubahan bentuk
menjadi makrofag dan selanjutnya menjadi sel histiosit yang khusus, yang tersusun
menjadi granuloma. Mikrobakterium dapat bertahan dalam makrofag selama
bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan pembentukan lisozim dalam sel ini,
namun multiplikasi dan penyebaran selanjutnya biasanya terbatas. Kemudian terjadi
penyembuhan, seringkali dengan kalsifikasi granuloma yang lambat yang kadang
meninggalkan lesi sisa yang tampak pada foto rontgen paru. Kombinasi lesi paru

perifer terkalsifikasi dan kelenjar limfe hilus yang terkalsifikasi dikenal sebagai
kompleks ghon (Isselbacher et al., 2013).
Tuberkulosis sebagai penyakit klinis timbul pada sebagian kecil individu yang
tidak mengalami infeksi primer. Pada beberapa individu, tuberkulosis timbul dalam
beberapa minggu setelah infeksi primer. Pada kebanyakan orang, organisme tetap
dorman selama bertahun-tahun sebelum memasuki fase multiplikasi eksponensial
yang menyebabkan penyakit. Di antara banyak keadaan, usia dapat dianggap sebagai
faktor bermakna yang menentukan jalannya penyakit tuberkulosis. Pada bayi, infeksi
tuberkulosis seringkali cepat berkembang menjadi penyakit, dan berisiko tinggi
menderita penyakit diseminata, antara lain meningitis dan tuberkulosis miliaris. Pada

7

anak di atas usia 1 atau 2 tahun sampai sekitar usia pubertas, lesi tuberkulosis primer
hampir selalu menyembuh. Sebagian besar akan menjadi tuberkulosis pada masa akil
balig atau dewasa muda. Individu yang terinfeksi pada masa dewasa memiliki risiko
terbesar untuk terjadinya tuberkulosis dalam waktu sekitar 3 tahun setelah infeksi
penyakit tuberkulosis dan lebih sering pada perempuan dewasa muda, sementara pada
laki-laki lebih sering pada usia yang lebih tua (Isselbacher et al.,2013).


2.1.4. Klasifikasi Tuberkulosis
Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan :
1. Berdasarkan letak anatomi penyakit
a. Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru.
Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya
yang terletak dalam paru (PDPI,2011).
b. Tuberkulosis ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain
selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk
mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit,
sendi, tulang dan selaput otak (PDPI, 2011).
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
a. Tuberkulosis paru BTA positif, apabila:
Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat
external quality assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan
dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari (PDPI,2011).
b. Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila:
Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif. Sedikitnya
dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang
memenuhi syarat EQA (PDPI,2011).

c. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial (dalam 2 bulan) menunjukkan gambaran yang menetap.

8

Riwayat

pengobatan

OAT

adekuat

akan

lebih

mendukung


(PDPI,2011).

3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Riwayat pengobatan sebelumnya sangat penting diketahui untuk
melihat risiko resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan
pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe pasien berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya, yaitu:
a. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah mendapat OAT kurang dari satu
bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA postif atau negatif dengan lokasi
anatomi penyakit di manapun (PDPI,2011).
b. Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang
sudah pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal
selama satu bulan dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan
lokasi anatomi penyakit di manapun (PDPI, 2011).
4. Status HIV
Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan pengobatan
(PDPI, 2011)


2.1.5. Diagnosis
Diagnosis

tuberkulosis

dapat

ditegakkan berdasarkan

gejala klinik,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya (PDPI, 2011).
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik dapat berupa batuk lebih dari atau
sama dengan tiga minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Sedangkan gejala
sistemik yaitu adanya demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan
menurun (PDPI, 2011).
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada pemeriksaan awal perkembangan penyakit umumnya tidak (atau

sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus

9

inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum (PDPI, 2011).
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis yang
mempunyai arti sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat bersasal daru dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, dan
jaringan biopsi termsauk biopsi jarum halus. Cara pengambilan dahak tiga kali, setiap
pagi tiga hari berturut-turut atau dengan cara sewaktu pagi sewaktu yaitu sewaktu saat
kunjungan, keesokan harinya dan pada saat mengantarkan dahak pagi (PDPI, 2011).
Selain pemeriksaan dahak, terdapat pemeriksaan radiologik dalam penegakan
diagnosa. Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacammacam bentuk. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB aktif adalah bayangan
berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior
lobus bawah, bayangan bercak milier, kaviti, dan efusi pleura unilateral. Sedangkan

gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah fibrosis pada segmen apikal
dan atau posterior lobus atas, kalsifikasi, kompleks ranke dan fibrosis parenkim paru
(PDPI, 2011).
Selain pemeriksaan diatas, terdapat pemeriksaan penunjang lainnya berupa
polymerase chain reaction (PCR), pemeriksaan BACTEC,pemeriksaan cairan pleura,
pemeriksaan

histopatologi

jaringan,pemeriksaan

darah,

uji

tuberkulin

dan

pemeriksaan serologi seperti ELISA, mycodot, uji peroksidase anti peroksidase (PAP),

dan immunochromatographic tuberculosis (PDPI, 2011).

2.1.6. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang
dipakai terdiri dari obat lini pertama dan kedua. Obat lini pertama adalah INH,
rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Sedangkan obat lini kedua
adalah kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid, dan paraamino salisilat(PAS). Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat,

10

terutama TB multidrug resistant (MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin,
sikloserin, etionamid dan PAS belum tersedia di pasaran Indonesia tetapi sudah
digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR (PDPI, 2011).
Pengobatan TB standar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Pasien baru
Paduan obat yang dianjurkan 2RHZE/4HR dengan pemberian dosis setiap hari.
Bila menggunakan OAT program, maka pemberian dosis setiap hari pada fase
intensif dilanjutkan dengan pemberian dosis tiga kali seminggu dengan DOT
2RHZE/4R3H3 (PDPI, 2011).

2. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama pengobatan sebaiknya
berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil uji
kepekaan, diberikan paduan obat 2RHZES/HRZE/5RHE (PDPI, 2011).
3. Pasien multi-drug resistant (MDR).
Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
sedangkan kasus TB-MDR dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR (PDPI, 2011).

2.1.7. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan (PDPI, 2011).
Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan efek samping
umum yaitu mayor dan minor. Pada umumnya, pasien yang mengalami efek samping
minor sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan TB dan diberikan pengobatan
simtomatis. Apabila pasien mengalami efek samping berat (mayor), OAT penyebab
dapat dihentikan dan segera pasien dirujuk ke pusat kesehatan yang lebih besar atau
dokter paru untuk tatalaksana selanjutnya (PDPI, 2011).

11

Tabel 2.1. Efek samping Mayor OAT
Efek Samping Mayor

Kemerahan kulit dengan atau
tanpa gatal

Tuli (bukan disebabkan oleh
kotoran)
Pusing (vertigo dan nystagmus)
Kuning (setelah penyebab lain
disingkirkan), hepatitis

Obat

Streptomisin,
Isoniazid,
Rifampisin,
Pirazinamid
Streptomisin

Tatalaksana
Hentikan Obat Penyebab
dan rujuk secepatnya
Hentikan OAT

Hentikan Streptomisin

streptomisin
Hentikan Streptomisin
Isoniazid,
Hentikan pengobatan TB
Pirazinamid,
Rifampisin
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2011.
Tabel 2.2. Efek samping Minor OAT

Efek Samping Minor

Obat

Bingung (diduga gangguan
hepar berat bila bersamaan
dengan kuning)
Gangguan penglihatan (setelah
gangguan lain disingkirkan)
Syok, purpura, gagal ginjal akut
Penurunan jumlah urin
Tidak nafsu makan, mual dan
nyeri perut

Sebagian besar
OAT

Nyeri sendi

Pirazinamid

Rasa terbakar, kebas atau
kesemutan pada tangan atau
kaki

Isoniazid

Teruskan pengobatan /
Evaluasi Pengobatan
Hentikan pengobaatan TB

Etambutol

Hentikan etambutol

Rifampisin
Streptomisin
Pirazinamid,
Rifampisin,
isoniazid

Hentikan rifampisin
Hentikan streptomisin
Berikan obat bersamaan
dengan makanan ringan
atau sebelum tidur dan
anjurkan pasien untuk
minum obat dengan air
sedikit demi sedikit.
Apabila terjadi muntah
yang terus menerus, atau
ada tanda perdarahan
segera pikirkan efek
samping mayor dan segera
rujuk
Aspirin atau NSAID atau
parasetamol
Piridoksin dosis 100-200
mg/hari selama 3 minggu.
Sebagai profilaksis 25-100
mg/hari

12

Mengantuk

Isoniazid

Urin bewarna kemerahan atau
oranye

Rifampisin

Sindrom flu (demam,
Dosis
menggigil, malaise, sakit
rifampisin
kepala, nyeri tulang)
intermitten
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2011.

Yakinkan kembali, berikan
obat sebelum tidur
Yakinkan pasien dan
sebaiknya pasien diberi
tahu sebelum mulai
pengobatan
Ubah pemberian dari
intermitten ke pemberian
harian

2.1.8. Resisten Ganda (Multi Drug Resistance/ MDR)
Resitensi ganda menujukkan M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan
2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan strategi DOTS.
Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang 1 bulan.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahun pasti apakah penderitanya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumya atau tidak.
3. Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya (PDPI, 2011).
Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua suspek TBMDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M.tuberculosis yang resisten minimal
terhadap rifampisin dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR (PDPI,
2011).
Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan
frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Di bawah ini adalah beberapa strategi
pengobatan TB-MDR yaitu:
1. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi
pasien yang representative digunakan sebagai dasar regimen
pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual.

13

2. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdsarkan
riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan
populasi representatif.
3. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan (PDPI, 2011).
Regimen

standar TB MDR di Indonesia adalah: 6 pirazinamid-

etambutol - kanamisin - levoflosasin - etionamid- sikloserin atau 18
pirazinamid – etambutol – kanamisin – levoflosasin – etionamid - sikloserin
(PDPI, 2011).
Tabel 2.3. Efek Samping Obat TB MDR
Efek Samping Obat

Obat

Evaluasi Pengobatan

Hepatitis

Z,H,R,Of,L,PAS

Hentikan pengobatan

Renal Failure

S, Km, Am, Cm

Hentikan pengobatan
yang diduga sebagai
penyebab

Arthralgia

Z, Of, L

1.Berikan Pengobatan
dengan NSAID
2.Kurangi dosis obat yang
diduga sebagai penyebab.
3.Hentikan pengobatan
bila tidak ada
pengurangan gejala

Gastritis

PAS, H, E, Ctz

1.Berikan pengobatan
antasida
2.kurangi dosis obat yang
diduga sebagai penyebab
3.hentikan pengobatan

Mual dan muntah

PAS, H,E,Ctz, Z

1.Rehidrasi
2.Mulai dengan
memberikan anti-muntah
3. kurangi dosis obat yang
diduga sebagai penyebab
4.hentikan pengobatan

14

Kejang

Cs, H, Of, L,

1.Mulai dengan memberi
obat anti kejang
(phenytoin)
2. kurangi dosis obat yang
diduga sebagai penyebab
3.hentikan pengobatan

Neuropati perifer

S, Km, Am, Cm, M, 1.Tingkatkan pemberian
Cs, E, Of, L

pyridoxine s.d. 300
mg/hari
2.kurangi dosis obat yang
diduga sebagai penyebab
3.hentikan pengobatan

Tuli

S, Km, Am, Cm,

1.kurangi dosis obat yang

Clr

diduga sebagai penyebab
2..hentikan pengobatan

Gejala Psikotik

Cs, Of, L, H

1.Berikan obat antipsikotik
2.kurangi dosis obat yang
diduga sebagai penyebab
3. Hentikan pengobatan

Depresi

Cs, Of,L, H

1.konseling dengan dokter
psikiatri
2. berikan obat antidepresan
3.kurangi dosis obat yang
diduga sebagai penyebab
4. Hentikan pengobatan

Hipotiroid

PAS, Tha

1.Berikan terapi thyroxine
2. Hentikan Pengobatan

Sumber: Mtonga.V. 2008. Guideline for The Programmatic Management of
Drug-Resistant Tuberculosis. The National TB programme.

15

2.2. Depresi
2.2.1. Definisi Depresi
Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan adanya perasaan
sedih, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur, nafsu
makan berkurang, perasaan lelah dan penurunan konsentrasi (World Health
Organization, 2015).
Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai
gejala utama afek depresi kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi
yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas.
Disamping itu gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, pikiran
bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis,
gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu
makan berkurang (PPDGJ, 1993).

2.2.2. Klasifikasi Depresi
Gangguan depresi teridiri dari berbagai jenis, yaitu:
1. Gangguan depresi mayor
Terjadinya satu atau lebih periode atau episode depresi (disebut episode depresi
mayor) tanpa ada riwayat terjadinya episode manik atau hipomanik alami. Seseorang
dapat mengalami satu episode depresi mayor, yang diikuti dengan kembalinya mereka
pada keadaan fungsional biasa (Nevid et al., 2003). Pada episode ini setidaknya ada 2
minggu dan memiliki setidaknya empat gejala seperti perubahan berat badan dan nafsu
makan, perubahan tidur dan aktivitas, tidak ada energy, rasa bersalah, masalah dalam
berpikir dan membuat keputusan, serta pikiran berulang mengenai kematian dan bunuh
diri (Sadock dan Sadock, 2004).
2. Gangguan distimik
Pola depresi ringan, tetapi mungkin saja menjadi mood yang menyulitkan pada
anak-anak atau remaja yang terjadi dalam suatu rentang waktu sedangkan pada orang
dewasa, biasanya dalam beberapa tahun (Nevid et al., 2003).
3. Gangguan depresi psikotik
Gangguan depresi berat yang ditandai dengan gejala-gejala, seperti halusinasi dan
delusi (National Institute of Mental Health, 2010).

16

4. Gangguan depresi persisten
Perasaan depresi yang berlangsung selama minimal 2 tahun. Seseorang didiagnosis
dengan gangguan depresi yang terus-menerus mungkin memiliki episode depresi
utama bersama dengan periode gejala yang lebih ringan, tetapi gejala harus
berlangsung selama 2 tahun (National Institute of Mental Health, 2010).

5. Gangguan depresi postpartum
Perempuan setelah melahirkan mengalami perubahan hormon dan fisik serta
tanggung jawab baru dalam merawat bayi yang baru lahir. Diperkirakan bahwa 10
sampai 15 persen wanita mengalami depresi postpartum (National Institute of Mental
Health, 2010).

2.2.3. Alat Ukur Depresi
Beck Depression Inventory dibuat oleh dr.Aaron T.Beck BDI merupakan salah
satu instrumen paling sering digunakan untuk mengukur tingkat depresi. Para
responden akan mengisi 21 pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki skor 1 s.d. 3,
setelah responden menjawab semua pertanyaan kita dapat menjumlah skor tersebut,
skor tertinggi adalah 63 jika responden mengisi 3 poin seluruh pertanyaan. Skor
terendah adalah 0 jika responden mengisi poin 0 pada keseluruhan pertanyaan. Total
dari keseluruhan akan menjelaskan tingkat depresi yang akan dijelaskan dibawah ini.

Tabel 2.4 Skor BDI
Skor Total

Tingkat Depresi

0-9

Minimal/Normal

10-16

Depresi ringan

17-29

Depresi sedang

30-63

Depresi berat

Sumber: Beck, T. Aron. 1996. Beck Depression Inventory. San Antonio: The Psychological
Corporation Harcourt Brace & Company.

2.3.

Hubungan Tuberkulosis Paru dengan Depresi

17

Depresi adalah suatu keadaan yang sering menyertai penderita TB. Ini terbukti
dari studi penelitian dimana tingginya angka prevalensi depresi pada penderita TB.
Prevalensinya berkisar dari 11,3 % sampai 80,2%, dengan rata-rata prevalensi 48,9 %
(Sweetland et al., 2014). Seperti halnya

studi penelitian yang dilakukan di India,

angka prevalensi penderita TB yang mengalami depresi juga tinggi. Dari 110 sampel
penderita TB, 62 % mengalami depresi, 2/3 mengalami depresi ringan-sedang dan 5,5
% mengalami depresi berat (Basu et al., 2012).
Berdasarkan penelitan yang dilakukan vega et al., (2003) di Peru dari 75
sampel yang diteliti terdapat 36 orang atau 52,2 % penderita MDR TB mengalami
depresi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa penderita TB-MDR
yang mengalami depresi lebih rendah yaitu 7 orang dari 45 penderita TB atau sekitar
16 %. Dari 7 penderita TB MDR ini, terdapat 4 penderita yang mengalami depresi
sedang-berat (Das et al., 2014). Efek samping obat pada regimen pengobatan TBMDR juga sebagai penyebab timbulnya depresi dan keinginan bunuh diri. Obat yang
diduga pemicu timbulnya hal tersebut adalah sikloserin (Mtonga, 2008).
Banyaknya penderita TB yang mengalami depresi selama proses pengobatan
akan berpengaruh kepada ketidakpatuhan berobat oleh penderita TB. Hal-hal yang
menyebabkan banyak penderita TB yang mengalami depresi adalah ketidaktahuan
mereka tentang penyakitnya, penderita mengira bahwa TB adalah suatu penyakit
berbahaya dengan angka kesembuhan dan survival yang rendah.Selain itu, proses
pengobatan akan berlangsung dan lama dan menganggu rutinitas keseharian penderita
TB. Sehingga mereka melakukan pengobatan dengan tidak baik (Aamir dan Aisha,
2010).
Begitu juga halnya dengan penelitian yang dilakukan di negara Nigeria,
dimana penelitian yang dilakukan membandingkan depresi pada penderita TB dengan
Non-TB keluarga penderita didapatkan hasil bahwa yang mengalami depresi adalah
yang usia yang lebih tua, riwayat pengobatan yang sudah lama, belum menikah dan
termasuk pengobatan kategori II ( Ige dan Lasebikan, 2011).
Hal ini juga dipaparkan oleh Rachmawati dan Turniani (2009) bahwa TB paru
merupakan penyakit kronis dan memerlukan pengobatan secara teratur selama 6-8
bulan. Karena pengobatan memerlukan waktu yang lama maka penderita TB paru
sangat memungkinkan mengalami depresi yang cukup berat sehingga selain

18

diperlukan pengobatan secara medis juga diperlukan dukungan sosial dari keluarga
maupun orang di sekitarnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Riskiyani et al., (2013) di Desa Ajangale,
TB paru dapat sembuh bila dilakukan pengobatan secara teratur selama 6-8 bulan.
Karena pengobatan memerlukan waktu yang lama maka penderita TB paru berisiko
mengalami kebosanan yang cenderung akan mengakibatkan putus obat. Di samping
itu setelah mengonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkulosis), penderita mengalami efek
samping obat yang sangat keras sehingga penderita berhenti minum obat karena
kurangnya informasi tentang pengobatan penyakit TB paru yang diterima.
Tingginya tingkat depresi yang dialami penderita TB membuat perlunya
peningkatan screening pada seluruh penderita TB, sehingga penderita TB yang
mengalami depresi mendapatkan pengobatan yang komprehensif dari bidang psikiatri
selain dari dokter yang mengobati Tuberkulosis nya (Peltzer et al., 2012). Menangani
depresi yang terjadi pada penderita TB akan mendapatkan hasil pengobatan TB yang
lebih baik dan adekuat. Seperti studi secara prospektif yang dilakukan di India
ditemukan penderita TB yang mendapatkan psikoterapi individual selama pengobatan
TB secara segnifikan akan mendapatkan pengobatan TB yang maksimal dan baik
(Sweetland et al., 2014).