Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Self Care pada Pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Definisi
Diabetes secara harfiah artinya “mengalirkan”, yang menunjukkan
pengeluaran urin dalam jumlah besar pada penyakit ini. Melitus artinya “manis”,
urin pasien dengan diabetes melitus terasa manis karena banyaknya glukosa yang
manik ke dalam urin (Sherwood, 2011). DM adalah penyakit metabolisme yang
merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya
peningkatan kadar glukosa darahdi atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan
gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut
maupun relatif (Guyton, 2009).
DM adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak mampu
memproduksi hormon insulin atau tidak dapat menggunakan insulin dengan
efektif. Insulin merupakan hormone yang diproduksi di kelenjar pankreas yang
membawa glukosa yang berasal dari makanan masuk ke dalam sel tubuh yang
akan dikonversi menjadi energi untuk digunakan oleh otot dan jaringan dalam
menjalankan fungsinya. Seseorang dengan DM tidak dapat mengabsorbsi glukosa
dan menyalurkan hasilnya ke sirkulasi darah (hiperglikemia) yang menyebabkan
kerusakan jaringan tubuh dalam waktu yang lama. Kerusakan ini menyebabkan
ketidakseimbangan dan komplikasi (IDF, 2013).
Menurut PERKENI (2011) dan ADA (2012) Diabetes Melitus adalah
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya,
yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan
pembuluh darah. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) (1999)
DM sebagai suatu kelainan metabolik yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan
dimanifestasikan dengan keadaan hiperglikemia kronis dan terjadi dan terjadi
7
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein yang disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
2.1.2. Epidemiologi
Menurut IDF (2013), terdapat 382 juta penderita DM di dunia dan akan
meningkat menjadi 592 juta pada tahun 2035 dimana 80 % terdapat di negara
dengan pendapatan rendah atau sedang. 175 juta orang menderita DM dan tidak
terdiagnosa dan lebih dari 79.000 anak-anak menderita DM tipe 1 pada tahun
2013. Usia rata-rata penderita DM antara 40-59 tahun dengan jumlah 184 juta di
tahun 2013 meningkat menjadi 264 juta pada tahun 2035. Pada tahun 2013
terdapat 198 juta laki-laki dan 184 juta perempuan penderita DM meningkat
menjadi 303 juta laki-laki dan 288 juta perempuan pada tahun 2035. Menurut
distribusinya pada tahun 2013, penderita DM di daerah urban sebanyak 246 juta
dan 136 juta di daerah rural meningkat menjadi 347 juta di daerah urban dan 145
juta di daerah rural pada tahun 2035. Penderita DM di Indonesia pada tahun 2013
sebanyak 8,5 juta jiwa dan diprediksikan meningkat menjadi 14,1 juta jiwa pada
tahun 2035 dengan usia 20-79 tahun.
WHO
memprediksi
adanya
peningkatan
jumlah
penderita
diabetes yang cukup besar pada tahun -tahun mendatang. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Meskipun
terdapat
perbedaan
prevalensi,
data
dari
WHO
maupun
IDF
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2 -3
kali di Indonesia pada tahun 2030.
Prevalensi DM di Indonesia berdasarkan wawancara yang terdiagnosis
dokter sebesar 1,5 persen. DM terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 2,1 persen.
Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta
(2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur
(2,3%). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di
Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan
Nusa Tenggara Timur 3,3 persen. Lampung merupakan propinsi dengan gejala
8
DM terendah dengan DM terdiagnosis dokter sebanyak 0,7% dan terdiagnosis
dokter atau gejala 0,8%. Sedangkan prevalensi DM di Sumatera Utara yang
terdiagnosis dokter sebesar 1,8% dan terdiagnosis dokter atau gejala 2,3%
(RISKESDAS, 2013).
2.1.3. Klasifikasi
ADA (2010) mengklasifikasikan DM menjadi empat jenis yaitu DM tipe
1, DM tipe 2, DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lain, dan DM
gestasional. Pengelompokan ini berdasarkan pada diagnosis keadaan pasien dan
banyak dari penderita DM ini tidak masuk dalam satu kelas saja.
a. DM tipe 1
Disebut juga DM tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus
[IDDM] ), disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas menyebabkan defisiensi
insulit absolut yang disebabkan oleh proses autoimun atau idiopatik. 5% sampai
10% penderita diabetes termasuk dalam tipe ini. Sel-sel beta pankreas yang
normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan
suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah.
Menurut laporan Konsensus Nasional Pengelolaan DM Tipe 1 (2009)
insiden DM tipe 1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam suatu
negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan insidens
yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun. Insidens
DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya.
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat dua puncak insidens DM tipe-1 pada
anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50 %
penderita baru DM tipe-1 berusia >20 tahun. Faktor genetik dan lingkungan
sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1. Walaupun hampir 80 % penderita
DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa,
namun faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor
genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan
faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistim
HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan.
9
Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin
dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan.
b. DM tipe 2
Disebut juga DM tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus [NIDDM] ). DM tipe 2 disebabkan karena berkurangnya sekresi
insulin secara progresif yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. 90%
sampai 95% penderita DM termasuk dalam tipe ini.
Perkiraan jumlah pasien DM tipe 2 di dunia pada tahun 2010 sebanyak
285 juta jiwa dari total populasi dunia sebanyak 7 miliar jiwa dan meningkat
sebanyak 439 juta jiwa pada tahun 2030 dari total populasi dunia sebanyak 8,4
miliar jiwa. Kenaikan insidensi pasien DM tipe 2 juga terjadi di Asia Tenggara.
Total populasi di Asia Tenggara pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 838 juta
jiwa pada tahun 2010. Dari total populasi tersebut, terdapat 58,7 juta jiwa (7,6%)
pasien DM tipe 2. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2030, yaitu dari total
populasi pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 1,2 miliar, terdapat 101 juta
(9,1%) pasien DM tipe 2 (Yuanita, et al., 2014).
c. DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
Merupakan DM yang disebabkan karena defek genetic fungsi sel beta,
gangguan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), obatobatan atau zat kimia (seperti pada penatalaksanaan AIDS atau setelah
transplantasi organ).
d. DM Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus [GDM])
Merupakan DM yang terjadi selama kehamilan. DM jenis ini akan
berdampak terhadap pertumbuhan janin yang kurang baik. DM gestasioanl
merupakan DM yang benar-benar terjadi akibat kehamilan dan baru terdeteksi
saat kehamilan.
GDM didefinisikan berupa setiap kelainan kadar glukosa yang ditemukan
pertama kali pada saat kehamilan. GDM didiagnosa pada sekitar 4% dari semua
kehamilan di Amerika Serikat. Selama kehamilan, plasenta dan hormon plasenta
menimbulkan resistensi insulin yang paling mencolok pada trimester ketiga.
Penilaian resiko timbulnya GDM dianjurkan dimulai pada kunjungan prenatal
10
pertama. Wanita yang beresiko tinggi harus segera diskrining. Pemeriksaan dapat
ditangguhkan pada wanita beresiko rendah hingga minggu ke-24 sampai minggu
ke-28 gestasi (Nolte dan Karam, 2010).
Tabel 2.1. Klasifikasi Diabetes Melitus
I. Diabetes Melitus Tipe 1
(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
A. Melalui Proses Imunologik
B. Idiopatik
II. Diabetes Melitus Tipe 2
(Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi insulin disertai
defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin)
III. Diabetes Melitus Tipe Lain
A. Defek Genetik fungsi sel Beta :
- Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY4)
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)
- DNA Mitochondria, dan lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A leprechaunism,
sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
D.
Endokrinopati
:
akromegali,
sindrom
cushing,
feokromotositoma,hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa,
lainnya
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. I u ologi jara g : si dro
“tiff- a , antibody anti reseptor insulin
lainnya
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
si dro Wolfra ’s, Ataksia Friedrei h’s, Chorea Huti gto , si dro Laure eMoon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya
IV Diabetes kehamilan
Sumber : ADA (2010)
11
2.1.4. Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan DM, yaitu :
a. Faktor Genetik
Resiko seseorang untuk mederita DM tipe 2 lebih besar jika orang tersebut
mempunyai orangtua yang menderita DM (ADA, 2013). Orang yang memiliki
riwayat keluarga menderita DM beresiko lima kali lebih besar menderita DM tipe
2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita
DM (Wuwungan et al., 2012).
Riwayat dalam keluarga serta faktor keturunan dapat menjadi penyebab
yang penting terhadap kejadian penyakit DM karena pola familial yang kuat
mengakibatkan terjadinya kerusakan sel-sel beta pankreas yang memproduksi
insulin, sehingga terjadi kelainan dalam sekresi insulin maupun kerja insulin
(Suriani N, 2012).
b. Obesitas
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunjaya, menemukan bahwa
individu yang mengalami obesitas mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar untuk
terkena diabetes melitus dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami
masalah obesitas. Obesitas sentral berdasarkan lingkar pinggang lebih berperan
sebagai faktor resiko DM dibandingkan dengan obesitas umum berdasarkan
Indeks Masa Tubuh (IMT) (Farida et al., 2010).
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan
glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh
termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya (kurang sensitif). Akibat
kondisi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah
(Soegondo, 2009). Resistensi insulin paling sering dihubungkan dengan obesitas.
Pada obesitas sel-sel lemak juga ikut gemuk dan sel seperti ini akan menghasilkan
beberapa zat yang digolongkan sebagai adipositokin yang jumlahnya lebih banyak
dari keadaan pada waktu itu gemuk. Zat-zat itulah yang menyebabkan resistensi
terhadap insulin (Hartini, 2009).
12
c. Aktifitas Fisik
Meskipun faktor keturunan memiliki pengaruh dalam menentukan
seseorang berisiko terkena DM atau tidak, gaya hidup juga memiliki peran besar
terhadap risiko terjadinya DM Tipe 2. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik
Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa salah
satu faktor yang berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2 yaitu aktivitas fisik
olahraga (Wicaksono, 2011). Oleh karena itu, pencegahan diabetes bagi yang
berisiko dapat dilakukan dengan membiasakan hidup sehat dan berolahraga secara
teratur (Adib, 2011).
d. Usia
Terdapat hubungan antara umur penderita dengan kejadian DM tipe 2.
Orang yang berumur ≥ 45 tahun delapan kali lebih beresiko menderita DM tipe 2
dibandingkan orang yang berumur kurang dari 45 tahun (Wuwungan et al, 2012).
Umur berhubungan secara bermakna dengan DM dimana umur 55-64 tahun
adalah kelompok
yang paling beresiko.
Semakin tua semakin
tinggi
kecenderungan terkena DM (Nainggolan et al, 2013). Kelompok usia 36-45 tahun
beresiko 1,30 kali memiliki kadar gula darah tinggi, usia 45-46 tahun beresiko
1,52 kali memiliki kadar gula darah tinggi dibandingkan dengan usia < 35 tahun
(Syafei, 2010).
Semakin bertambah usia, kemungkinan terkena DM semakin besar.
Ketika masih berumur dibawah 30 tahun, kemungkinan DM hanya ditemukan
kurang lebih satu persen. Artinya dari 100 penduduk yang berusia dibawah 30
tahun kemungkinan satu orang yang terkena DM. Bila dia atas 40 tahun,
kemungkinan terkena DM menjadi delapan persen. Di atas 50 tahun,
kemungkinan terkena DM naik sampai 20%. Di atas 60 tahun, menjadi 25%
(Tandra, 2014).
e. Hipertensi
Hipertensi adalah satu faktor penyebab terjadinya terkena penyakit DM.
Hipertensi dan DM merupakan masalah kesehatan yang berkaitan erat dan
keduanya perlu mendapatkan penanganan secara seksama. Hipertensi merupakan
salah satu faktor utama kematian akibat diabetes dan penyakit kardiovaskular
13
(Nainggolan et al, 2013). Hipertensi diduga merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam terjadinya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular pada DM
(Kurniawan I, 2010).
Penderita DM tipe 2 pada umumnya memiliki kondisi yang disebut dengan
resistensi insulin, yaitu kondisi di mana seseorang memiliki jumlah insulin yang
cukup untuk mengubah glukosa, namun tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Insulin yang ada, tidak digunakan untuk mengubah glukosa, dan mengakibatkan
kadar glukosa dalam darah naik, yang mengakibatkan diabetes. Insulin yang tidak
bekerja ini tidak akan di rombak menjadi apa pun, akan tetap berada dalam bentuk
insulin. Insulin berlebih inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi pada
pasien DM (National Diabetes Services Scheme, 2010).
f. Jenis Kelamin
Perempuan lebih banyak menderita DM dibandingkan dengan laki-laki
(Efendi, 2012).
2.1.5. Patogenesis
Semua tipe Diabetes Melitus, sebab utamanya adalah hiperglikemi atau
tingginya gula darah dalam tubuh yang disebabkan sekresi insulin, kerja dari
insulin atau keduanya (Ignativicius & Workman, 2006).
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu (ADA, 2012) :
1. Rusaknya sel-sel
pancreas. Rusaknya sel beta ini dapat dikarenakan
genetik, imunologis atau dari lingkungan seperti virus. Karakteristik ini
biasanya terdapat pada DiabetesMelitus tipe 1.
2. Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
3. Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Apabila di dalam tubuh terjadi kekurangan insulin, maka dapat
mengakibatkan (Ignativicius dan Workman, 2006; Smeltzer et al, 2008) :
1. Menurunnya transpor glukosa melalui membran sel, keadaan ini
mengakibatkan sel-sel kekurangan makanan sehingga meningkatkan
metabolisme lemak dalam tubuh. Manifestasi yang muncul adalah
penderita Diabetes Melitus selalu merasa
14
2. lapar atau nafsu makan meningkat atau yang biasa disebut poliphagia.
3. Meningkatnya pembentukan glikolisis dan glukoneogenesis, karena proses
ini disertai nafsu makan meningkat atau poliphagia sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya hiperglikemi. Kadar gula darah tinggi
mengakibatkan ginjal tidak mampu lagi mengabsorpsi dan glukosa keluar
bersama urin, keadaan ini yang disebut glukosuria. Manifestasi yang
muncul yaitu penderita sering berkemih atau poliuria dan selalu merasa
haus atau polidipsi.
4. Menurunnya glikogenesis, dimana pembentukan glikogen dalam hati dan
otot terganggu.
5. Meningkatkan glikogenolisis, glukoneogenesis yang memecah sumber
selain karbohidrat seperti asam amino dan laktat
6. Meningkatkan lipolisis, dimana pemecahan trigliserida menjadi gliserol
dan asam lemak bebas
7. Meningkatkan ketogenesis (merubah keton dari asam lemak bebas
8. Proteolisis, dimana merubah protein dan asam amino dan dilepaskan ke
otot.
2.1.6. Patofisiologi
Kelainan dasar yang terjadi pada DM tipe 2 yaitu : 1). Resistensi insulin
pada jaringan lemak, otot, dan hati menyebabkan respon reseptor terhadap insulin
berkurang sehingga ambilan, penyimpanan, dan penggunaan glukosa pada
jaringan
tersebut
menurun;
2).
Kenaikan
produksi
glukosa
oleh
hati
mengakibatkan kondisi hiperglikemia; 3). Kekurangan sekresi insulin oleh
pankreas yang menyebabkan turunnya kecepatan transport glukosa ke jaringan,
lemak, otot, dan hepar (Guyton dan Hall, 2007).
Resistensi insulin adalah kondisi dimana sensitivitas insulin menurun.
Sensitivitas insulin adalah kemampuan dari hormone insulin untuk menurunkan
kadar gula darah dengan cara menekan produksi glukosa hepatik dan
menstimulasi pemanfaatan glukosa di dalam otot skelet dan jaringan adiposa.
Resistensi insulin awalnya belum menyebabkan DM secara klinis. Sel
pankreas
15
masih dapat melakukan kompensasi bahkan sampai overkompensasi, insulin
disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia dengan
tujuan normalisasi kadar gula darah. Mekanisme kompensasi yang terjadi terus
menerus menyebabkan kelelahan sel
pankreas (exhaustion) yang disebut
dekompensasi, mengakibatkan produksi insulin yang menurun secara absolute.
Kondisi resistensi insulin diperberat oleh produksi insulin yang menurun
akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga memenuhi kriteria
diagnosis DM (Waspadji dalam Soegondo, 2009).
2.1.7. Kriteria Diagnosis
Diagnosis dari DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa
darah. Penegakan diagnosis DM harus memperhatikan asal bahan darah yang
diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Penegakan diagnosis berdasarkan
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood),
vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO, sedangkan
untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler (PERKENI, 2011).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. PERKENI (2011)
membagi keluhan DM menjadi dua jenis yaitu :
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200
mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
16
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan
adanya keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada
TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar
WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75
g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
HbA1C merupakan hemoglobin yang dibentuk oleh penempelan nonenzimatik glukosa pada kelompok amino N-terminal dari hemoglobin A rantai .
Kadar normal HbA1C adalah < 6,5% (Guerin, 2013). Pemeriksaan kadar HbA1c
(≥ 6,5%) oleh ADA β011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis
DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan
baik. Kadar HbA1C normal pada yang bukan penderita DM antara 4% sampai
dengan 6%. Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C), disebut juga
glycohemoglobin atau disingkat sebagai A1C, merupakan salah satu pemeriksaan
darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian gula darah. HbA1C adalah
zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin (bagian dari
sel darah merah). Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah
tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh
karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur
kadar HbA1C. Bila kadar gula darah tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar
HbA1C akan tinggi pula. Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat
bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan usia sel darah merah). Kadar HbA1C
akan mencerminkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan
sebelum pemeriksaan.
17
Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik DM
1. A1C ≥ 6,5 % atau
2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl atau
3. Kadar Glukosa Darah Puasa > 126 mg/dl atau
4. Kadar Glukosa Plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gr pada TTGO
Sumber : ADA (2010)
Gambar 2.1. Langkah – Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu
Sumber : PERKENI (2011)
18
2.1.8. Gejala Klinis
Gejala klinis DM tipe 2 dapat digolongkan menjadi gejala akut dan kronik
(Perkeni, 2011) :
1. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus
Gejala penyakit Diabetes Melitus dari satu penderita ke penderita lain
bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat
tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli)
yaitu banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi) dan banyak
kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan
timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai
berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg dalam waktu 2
– 4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa
mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma
diabetik.
2. Gejala Kronik Diabetes Melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan,
kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit,
kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata,
gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah
lepas kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi dan para ibu hamil
sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
2.1.9. Tatalaksana
Menurut
PERKENI
(2011),
tujuan
penatalaksanaan
DM
adalah
meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Penatalaksanaan ini dikenal dengan
empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu : edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani, dan intervensi farmakologis.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
19
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus
(PERKENI, 2011).
a. Edukasi
Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan
pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku
yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang
memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi
(PERKENI, 2011).
b. Terapi Gizi Medis
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
baik sebagai berikut (PERKENI, 2011):
1. Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi
2.
Protein : 10 – 20% total asupan energi
3. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali
kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk
wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi
20
status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan
kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan
non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik
maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal
(PERKENI, 2011).
c. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti :
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).
d. Pengelolaan Farmakologis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes mellitus dapat berupa Obat
Hipoglikemik Oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4
golongan, antara lain (Soegondo,2007) :
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
21
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR- ), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan
meningkatkan
jumlah
protein
pengangkut
glukosa,
sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama
dipakai
pada
penyandang
diabetes
gemuk.
Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
22
2.1.10. Komplikasi
1. Komplikasi Akut
Komplikasi metabolik DM disebabkan oleh perubahan relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma.
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah 300 mg/hari) awalnya
disertai dengan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang normal, namun setelah
terjadi protenuria berlebih (protein dalam urin >0,5 g/24 jam), GFR menurun
secara progresif dan terjadi gagal ginjal.
Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1 akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah
awitan DM. Individu dengan DM tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi
gagal ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan insidensi mendekati 50%.
Nefropati diabetik adalah penyebab nomor satu gagal ginjal di Amerika Serikat
dan negara-negara barat lainnya
a.3. Neuropati Diabetik
Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen
sensorik dan motorik divisi somatik otonom. Penyakit saraf yang disebabkan DM
disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel
saraf yang kronis serta efek hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein yang
melibatkan fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel Schwann mulai
menggunakan metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa
kronis, yang akhirnya mengakibatkan demielinisasi segmental saraf perifer.
Neuropati diabetik terjadi 60-70% individu DM. Neuropati diabetik yang
paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan otonom. Neuropati perifer,
pada awalnya menyebabkan hilangnya sentakan pergelangan kaki dan tidak
26
adanya sensasi getar pada extremitas bawah. Kemudian sensasi raba dan nyeri
menghilang. Pasien sering kali mengeluh baal (kesemutan), dan rasa seperti
terbakar di malam hari. Ulkus kronis tanpa nyeri berkembang di tempat-tempat
yang terkena trauma berulang.
Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki karena kulit pada
daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi.
Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi
biasanya melibatkan banyak mikroorganisme, yang sering terlibat adalah
stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.
Neuropati otonom dapat menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi
seksual) pada 25% pasien pria dan disfungsi gastrointestinal serta infeksi saluran
kemih. Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang DM tipe 2 lebih dari 10
tahun cukup tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati
dan masalah psikis. Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol
glukosa darah senormal mungkin dan memperbaiki faktor risiko disfungsi ereksi
lain seperti dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi.
b. Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi
makrovaskular
terutama
terjadi
akibat
aterosklerosis
(pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan
gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan peningkatan
mortalitas. Pada DM terjadi kerusakan pada lapisan sel endotel arteri dan dapat
disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit
glukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada
pasien DM. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat
sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel
endotel akan mencetuskan reaksi imun dan inflamasi sehingga akhirnya terjadi
pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos
berproliferasi. Penebalan dinding arteri menyebabkan hipertensi, yang semakin
merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya yang merobek-robek selsel endotel.
27
Komplikasi makrovaskular akan mengakibatkan penyumbatan vaskular.
Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi
vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermitten dan ganggren pada
ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri
koronaria dan aorta maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardiun.
Pada penderita DM, risiko penyakit serebrovaskular meningkat dua kali
lipat, penyakit jantung koroner meningkat tiga sampai lima kali lipat, dan penyakit
pembuluh darah perifer meningkat 40 kali. Risiko relatif penyakit kardiovaskular
adalah dua sampai empat kali lipat lebih tinggi pada pria dan tiga sampai empat
kali lebih tinggi pada wanita DM dari pada kelompok kontrol berusia sama.
Makrovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM tipe 2,
mencakup 50% kematian pada kelompok ini.
2.2. Perilaku Self Care
2.2.1. Definisi
Pengertian perilaku self care menurut Orem adalah suatu pelaksanaan
kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri unutuk
memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan
kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit (Tomey dan Alligood,
2006). Perilaku self care DM merupakan program atau tindakan yang harus
dijalankan sepanjang kehidupan penderita dan menjadi tanggung jawab penuh
bagi setiap penderita DM (Bai et al., 2009).
Perilaku self care DM adalah tindakan yang dilakukan perorangan untuk
mengontrol DM yang meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan komplikasi
(Sigurdardottir, 2005 ; Medical dictionary, 2009). Sedangkan Sousa dan
Zauszniewski (2005) mendefinisikan self care DM merupakan kemampuan
seseorang dalam melakukan self care dan penampilan tindakan self care DM
untuk meningkatkan peningkatan pengaturan gula darah. Menurut Kusniawati
(2011) perilaku self care DM merupakan tindakan yang dilakukan perorangan
yang bertujuan mengontrol DM yang meliputi tindakan pengobatan dan
pencegahan komplikasi.
28
2.2.2. Pengukuran Perilaku Self Care
Pengukuran perilaku self care meggunakan pengukuran perilaku self care DM
(The Summary of Diabetes Self-Care Activities / SDSCA) yang dikembangkan oleh
Toobert, DJ et al. (2000). Perilaku self care tersebut meliputi pengaturan pola makan
(diet), latihan fisik/ exercise, pemantauan gula darah, pengobatan dan perawatan kaki.
2.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi Perilaku Self Care DM
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi penderita dalam melakukan perilaku
self care DM yaitu :
2.3.1. Umur
Usia mempunyai hubungan yang positif terhadap perilaku self care DM.
semakin meningkat usia maka akan terjadi peningkatan dalam perilaku self care
DM. Peningkatan usia menyebabkan terjadinya peningkatan kedewasaan/
kematangan seseorang sehingga penderita dapat berfikir secara rasional tentang
manfaat yang akan dicapai jika penderita melakukan perilaku self care DM secara
adekuat dalam kehidupan sehari-hari (Sousa et al., 2005).
Hasil penelitian berbeda dijelaskan oleh Kusniawati (2011) bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara usia dengan perilaku self care DM. Hal ini
disebabkan penderita DM tipe 2 baik yang berusia muda maupun berusia tua,
mereka sama-sama melakukan perilaku self care DM dengan tujuan untuk
mencapai kadar gula darah normal dan mencegah atau meminimalkan komplikasi
yang mungkin timbul akibat DM.
2.3.2. Jenis Kelamin
Terdapat perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam menerapkan
perilaku self care. Penderita DM tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki memiliki
perilaku self care yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan
oleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang dimiliki oleh penderita DM tipe 2
berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, sehingga berpengaruh dalam
melakukan perilaku self care (Svartholm, 2010).
29
Penderita DM tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki memiliki perilaku self
care yang lebih baik daripada perempuan (Bai et al., 2009). Penderita DM tipe 2
lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibanding laki-laki. Perempuan
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah daripada laki-laki dan memiliki
perilaku self care yang lebih rendah daripada laki-laki (Made, 2014).
2.3.3. Tingkat Pendidikan
2.3.4. Sosial Ekonomi
DM merupakan kondisi penyakit yang memerlukan biaya yang cukup
mahal sehingga akan berdampak terhadap kondisi ekonomi keluarga terutama
bagi masyarakat golongan ekonomi rendah. Masyarakat golongan ekonomi
rendah, mereka tidak dapat melakukan pemeriksaan kesehatan secara kontinu
disebabkan karena keterbatasan biaya, sedangkan penderita DM harus melakukan
kunjungan ke pelayanan kesehatan minimal 1-2 minggu sekali untuk memantau
kondisi penyakitnya agar terhindar dari komplikasi potensial yang dapat muncul
akibat DM (Nwanko et al., 2010). Menurut Bai et al. (2009) yang menjelaskan
bahwa sosial ekonomi berpengaruh terhadap perilaku self care DM.
2.3.5. Lama Menderita DM
Penderita DM tipe 2 yang lebih dari 11 tahun dapat mempelajari perilaku
self care DM tipe 2 berdasarkan pengalaman yang diperolehnya selama menjalani
penyakit tersebut sehingga penderita dapat lebih memahami tentang hal-hal
terbaik yang harus dilakukannya untuk mempertahankan status kesehatannya,
salah satunya dengan cara melakukan perilaku self care dalam kehidupannya
sehari-hari dan melakukan kegiatan tersebut secara konsisten dan penuh rasa
tanggung jawab. Durasi DM tipe 2 yang lebih lama pada umumnya memiliki
pemahaman yang adekuat tentang pentingnya perilaku self care sehingga dapat
dijadikan sebagai dasar bagi mereka untuk mencari informasi yang seluas-luasnya
tentang perawatan DM tipe 2 melalui berbagai cara/media dan sumber informasi
lainnya (Bai et al., 2009).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Definisi
Diabetes secara harfiah artinya “mengalirkan”, yang menunjukkan
pengeluaran urin dalam jumlah besar pada penyakit ini. Melitus artinya “manis”,
urin pasien dengan diabetes melitus terasa manis karena banyaknya glukosa yang
manik ke dalam urin (Sherwood, 2011). DM adalah penyakit metabolisme yang
merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya
peningkatan kadar glukosa darahdi atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan
gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut
maupun relatif (Guyton, 2009).
DM adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak mampu
memproduksi hormon insulin atau tidak dapat menggunakan insulin dengan
efektif. Insulin merupakan hormone yang diproduksi di kelenjar pankreas yang
membawa glukosa yang berasal dari makanan masuk ke dalam sel tubuh yang
akan dikonversi menjadi energi untuk digunakan oleh otot dan jaringan dalam
menjalankan fungsinya. Seseorang dengan DM tidak dapat mengabsorbsi glukosa
dan menyalurkan hasilnya ke sirkulasi darah (hiperglikemia) yang menyebabkan
kerusakan jaringan tubuh dalam waktu yang lama. Kerusakan ini menyebabkan
ketidakseimbangan dan komplikasi (IDF, 2013).
Menurut PERKENI (2011) dan ADA (2012) Diabetes Melitus adalah
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya,
yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan
pembuluh darah. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) (1999)
DM sebagai suatu kelainan metabolik yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan
dimanifestasikan dengan keadaan hiperglikemia kronis dan terjadi dan terjadi
7
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein yang disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
2.1.2. Epidemiologi
Menurut IDF (2013), terdapat 382 juta penderita DM di dunia dan akan
meningkat menjadi 592 juta pada tahun 2035 dimana 80 % terdapat di negara
dengan pendapatan rendah atau sedang. 175 juta orang menderita DM dan tidak
terdiagnosa dan lebih dari 79.000 anak-anak menderita DM tipe 1 pada tahun
2013. Usia rata-rata penderita DM antara 40-59 tahun dengan jumlah 184 juta di
tahun 2013 meningkat menjadi 264 juta pada tahun 2035. Pada tahun 2013
terdapat 198 juta laki-laki dan 184 juta perempuan penderita DM meningkat
menjadi 303 juta laki-laki dan 288 juta perempuan pada tahun 2035. Menurut
distribusinya pada tahun 2013, penderita DM di daerah urban sebanyak 246 juta
dan 136 juta di daerah rural meningkat menjadi 347 juta di daerah urban dan 145
juta di daerah rural pada tahun 2035. Penderita DM di Indonesia pada tahun 2013
sebanyak 8,5 juta jiwa dan diprediksikan meningkat menjadi 14,1 juta jiwa pada
tahun 2035 dengan usia 20-79 tahun.
WHO
memprediksi
adanya
peningkatan
jumlah
penderita
diabetes yang cukup besar pada tahun -tahun mendatang. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Meskipun
terdapat
perbedaan
prevalensi,
data
dari
WHO
maupun
IDF
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2 -3
kali di Indonesia pada tahun 2030.
Prevalensi DM di Indonesia berdasarkan wawancara yang terdiagnosis
dokter sebesar 1,5 persen. DM terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 2,1 persen.
Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta
(2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur
(2,3%). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di
Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan
Nusa Tenggara Timur 3,3 persen. Lampung merupakan propinsi dengan gejala
8
DM terendah dengan DM terdiagnosis dokter sebanyak 0,7% dan terdiagnosis
dokter atau gejala 0,8%. Sedangkan prevalensi DM di Sumatera Utara yang
terdiagnosis dokter sebesar 1,8% dan terdiagnosis dokter atau gejala 2,3%
(RISKESDAS, 2013).
2.1.3. Klasifikasi
ADA (2010) mengklasifikasikan DM menjadi empat jenis yaitu DM tipe
1, DM tipe 2, DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lain, dan DM
gestasional. Pengelompokan ini berdasarkan pada diagnosis keadaan pasien dan
banyak dari penderita DM ini tidak masuk dalam satu kelas saja.
a. DM tipe 1
Disebut juga DM tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus
[IDDM] ), disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas menyebabkan defisiensi
insulit absolut yang disebabkan oleh proses autoimun atau idiopatik. 5% sampai
10% penderita diabetes termasuk dalam tipe ini. Sel-sel beta pankreas yang
normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan
suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah.
Menurut laporan Konsensus Nasional Pengelolaan DM Tipe 1 (2009)
insiden DM tipe 1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam suatu
negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan insidens
yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun. Insidens
DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya.
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat dua puncak insidens DM tipe-1 pada
anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50 %
penderita baru DM tipe-1 berusia >20 tahun. Faktor genetik dan lingkungan
sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1. Walaupun hampir 80 % penderita
DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa,
namun faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor
genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan
faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistim
HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan.
9
Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin
dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan.
b. DM tipe 2
Disebut juga DM tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus [NIDDM] ). DM tipe 2 disebabkan karena berkurangnya sekresi
insulin secara progresif yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. 90%
sampai 95% penderita DM termasuk dalam tipe ini.
Perkiraan jumlah pasien DM tipe 2 di dunia pada tahun 2010 sebanyak
285 juta jiwa dari total populasi dunia sebanyak 7 miliar jiwa dan meningkat
sebanyak 439 juta jiwa pada tahun 2030 dari total populasi dunia sebanyak 8,4
miliar jiwa. Kenaikan insidensi pasien DM tipe 2 juga terjadi di Asia Tenggara.
Total populasi di Asia Tenggara pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 838 juta
jiwa pada tahun 2010. Dari total populasi tersebut, terdapat 58,7 juta jiwa (7,6%)
pasien DM tipe 2. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2030, yaitu dari total
populasi pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 1,2 miliar, terdapat 101 juta
(9,1%) pasien DM tipe 2 (Yuanita, et al., 2014).
c. DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
Merupakan DM yang disebabkan karena defek genetic fungsi sel beta,
gangguan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), obatobatan atau zat kimia (seperti pada penatalaksanaan AIDS atau setelah
transplantasi organ).
d. DM Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus [GDM])
Merupakan DM yang terjadi selama kehamilan. DM jenis ini akan
berdampak terhadap pertumbuhan janin yang kurang baik. DM gestasioanl
merupakan DM yang benar-benar terjadi akibat kehamilan dan baru terdeteksi
saat kehamilan.
GDM didefinisikan berupa setiap kelainan kadar glukosa yang ditemukan
pertama kali pada saat kehamilan. GDM didiagnosa pada sekitar 4% dari semua
kehamilan di Amerika Serikat. Selama kehamilan, plasenta dan hormon plasenta
menimbulkan resistensi insulin yang paling mencolok pada trimester ketiga.
Penilaian resiko timbulnya GDM dianjurkan dimulai pada kunjungan prenatal
10
pertama. Wanita yang beresiko tinggi harus segera diskrining. Pemeriksaan dapat
ditangguhkan pada wanita beresiko rendah hingga minggu ke-24 sampai minggu
ke-28 gestasi (Nolte dan Karam, 2010).
Tabel 2.1. Klasifikasi Diabetes Melitus
I. Diabetes Melitus Tipe 1
(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
A. Melalui Proses Imunologik
B. Idiopatik
II. Diabetes Melitus Tipe 2
(Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi insulin disertai
defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin)
III. Diabetes Melitus Tipe Lain
A. Defek Genetik fungsi sel Beta :
- Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY4)
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)
- DNA Mitochondria, dan lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A leprechaunism,
sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
D.
Endokrinopati
:
akromegali,
sindrom
cushing,
feokromotositoma,hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa,
lainnya
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. I u ologi jara g : si dro
“tiff- a , antibody anti reseptor insulin
lainnya
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
si dro Wolfra ’s, Ataksia Friedrei h’s, Chorea Huti gto , si dro Laure eMoon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya
IV Diabetes kehamilan
Sumber : ADA (2010)
11
2.1.4. Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan DM, yaitu :
a. Faktor Genetik
Resiko seseorang untuk mederita DM tipe 2 lebih besar jika orang tersebut
mempunyai orangtua yang menderita DM (ADA, 2013). Orang yang memiliki
riwayat keluarga menderita DM beresiko lima kali lebih besar menderita DM tipe
2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita
DM (Wuwungan et al., 2012).
Riwayat dalam keluarga serta faktor keturunan dapat menjadi penyebab
yang penting terhadap kejadian penyakit DM karena pola familial yang kuat
mengakibatkan terjadinya kerusakan sel-sel beta pankreas yang memproduksi
insulin, sehingga terjadi kelainan dalam sekresi insulin maupun kerja insulin
(Suriani N, 2012).
b. Obesitas
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunjaya, menemukan bahwa
individu yang mengalami obesitas mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar untuk
terkena diabetes melitus dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami
masalah obesitas. Obesitas sentral berdasarkan lingkar pinggang lebih berperan
sebagai faktor resiko DM dibandingkan dengan obesitas umum berdasarkan
Indeks Masa Tubuh (IMT) (Farida et al., 2010).
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan
glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh
termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya (kurang sensitif). Akibat
kondisi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah
(Soegondo, 2009). Resistensi insulin paling sering dihubungkan dengan obesitas.
Pada obesitas sel-sel lemak juga ikut gemuk dan sel seperti ini akan menghasilkan
beberapa zat yang digolongkan sebagai adipositokin yang jumlahnya lebih banyak
dari keadaan pada waktu itu gemuk. Zat-zat itulah yang menyebabkan resistensi
terhadap insulin (Hartini, 2009).
12
c. Aktifitas Fisik
Meskipun faktor keturunan memiliki pengaruh dalam menentukan
seseorang berisiko terkena DM atau tidak, gaya hidup juga memiliki peran besar
terhadap risiko terjadinya DM Tipe 2. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik
Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa salah
satu faktor yang berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2 yaitu aktivitas fisik
olahraga (Wicaksono, 2011). Oleh karena itu, pencegahan diabetes bagi yang
berisiko dapat dilakukan dengan membiasakan hidup sehat dan berolahraga secara
teratur (Adib, 2011).
d. Usia
Terdapat hubungan antara umur penderita dengan kejadian DM tipe 2.
Orang yang berumur ≥ 45 tahun delapan kali lebih beresiko menderita DM tipe 2
dibandingkan orang yang berumur kurang dari 45 tahun (Wuwungan et al, 2012).
Umur berhubungan secara bermakna dengan DM dimana umur 55-64 tahun
adalah kelompok
yang paling beresiko.
Semakin tua semakin
tinggi
kecenderungan terkena DM (Nainggolan et al, 2013). Kelompok usia 36-45 tahun
beresiko 1,30 kali memiliki kadar gula darah tinggi, usia 45-46 tahun beresiko
1,52 kali memiliki kadar gula darah tinggi dibandingkan dengan usia < 35 tahun
(Syafei, 2010).
Semakin bertambah usia, kemungkinan terkena DM semakin besar.
Ketika masih berumur dibawah 30 tahun, kemungkinan DM hanya ditemukan
kurang lebih satu persen. Artinya dari 100 penduduk yang berusia dibawah 30
tahun kemungkinan satu orang yang terkena DM. Bila dia atas 40 tahun,
kemungkinan terkena DM menjadi delapan persen. Di atas 50 tahun,
kemungkinan terkena DM naik sampai 20%. Di atas 60 tahun, menjadi 25%
(Tandra, 2014).
e. Hipertensi
Hipertensi adalah satu faktor penyebab terjadinya terkena penyakit DM.
Hipertensi dan DM merupakan masalah kesehatan yang berkaitan erat dan
keduanya perlu mendapatkan penanganan secara seksama. Hipertensi merupakan
salah satu faktor utama kematian akibat diabetes dan penyakit kardiovaskular
13
(Nainggolan et al, 2013). Hipertensi diduga merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam terjadinya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular pada DM
(Kurniawan I, 2010).
Penderita DM tipe 2 pada umumnya memiliki kondisi yang disebut dengan
resistensi insulin, yaitu kondisi di mana seseorang memiliki jumlah insulin yang
cukup untuk mengubah glukosa, namun tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Insulin yang ada, tidak digunakan untuk mengubah glukosa, dan mengakibatkan
kadar glukosa dalam darah naik, yang mengakibatkan diabetes. Insulin yang tidak
bekerja ini tidak akan di rombak menjadi apa pun, akan tetap berada dalam bentuk
insulin. Insulin berlebih inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi pada
pasien DM (National Diabetes Services Scheme, 2010).
f. Jenis Kelamin
Perempuan lebih banyak menderita DM dibandingkan dengan laki-laki
(Efendi, 2012).
2.1.5. Patogenesis
Semua tipe Diabetes Melitus, sebab utamanya adalah hiperglikemi atau
tingginya gula darah dalam tubuh yang disebabkan sekresi insulin, kerja dari
insulin atau keduanya (Ignativicius & Workman, 2006).
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu (ADA, 2012) :
1. Rusaknya sel-sel
pancreas. Rusaknya sel beta ini dapat dikarenakan
genetik, imunologis atau dari lingkungan seperti virus. Karakteristik ini
biasanya terdapat pada DiabetesMelitus tipe 1.
2. Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
3. Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Apabila di dalam tubuh terjadi kekurangan insulin, maka dapat
mengakibatkan (Ignativicius dan Workman, 2006; Smeltzer et al, 2008) :
1. Menurunnya transpor glukosa melalui membran sel, keadaan ini
mengakibatkan sel-sel kekurangan makanan sehingga meningkatkan
metabolisme lemak dalam tubuh. Manifestasi yang muncul adalah
penderita Diabetes Melitus selalu merasa
14
2. lapar atau nafsu makan meningkat atau yang biasa disebut poliphagia.
3. Meningkatnya pembentukan glikolisis dan glukoneogenesis, karena proses
ini disertai nafsu makan meningkat atau poliphagia sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya hiperglikemi. Kadar gula darah tinggi
mengakibatkan ginjal tidak mampu lagi mengabsorpsi dan glukosa keluar
bersama urin, keadaan ini yang disebut glukosuria. Manifestasi yang
muncul yaitu penderita sering berkemih atau poliuria dan selalu merasa
haus atau polidipsi.
4. Menurunnya glikogenesis, dimana pembentukan glikogen dalam hati dan
otot terganggu.
5. Meningkatkan glikogenolisis, glukoneogenesis yang memecah sumber
selain karbohidrat seperti asam amino dan laktat
6. Meningkatkan lipolisis, dimana pemecahan trigliserida menjadi gliserol
dan asam lemak bebas
7. Meningkatkan ketogenesis (merubah keton dari asam lemak bebas
8. Proteolisis, dimana merubah protein dan asam amino dan dilepaskan ke
otot.
2.1.6. Patofisiologi
Kelainan dasar yang terjadi pada DM tipe 2 yaitu : 1). Resistensi insulin
pada jaringan lemak, otot, dan hati menyebabkan respon reseptor terhadap insulin
berkurang sehingga ambilan, penyimpanan, dan penggunaan glukosa pada
jaringan
tersebut
menurun;
2).
Kenaikan
produksi
glukosa
oleh
hati
mengakibatkan kondisi hiperglikemia; 3). Kekurangan sekresi insulin oleh
pankreas yang menyebabkan turunnya kecepatan transport glukosa ke jaringan,
lemak, otot, dan hepar (Guyton dan Hall, 2007).
Resistensi insulin adalah kondisi dimana sensitivitas insulin menurun.
Sensitivitas insulin adalah kemampuan dari hormone insulin untuk menurunkan
kadar gula darah dengan cara menekan produksi glukosa hepatik dan
menstimulasi pemanfaatan glukosa di dalam otot skelet dan jaringan adiposa.
Resistensi insulin awalnya belum menyebabkan DM secara klinis. Sel
pankreas
15
masih dapat melakukan kompensasi bahkan sampai overkompensasi, insulin
disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia dengan
tujuan normalisasi kadar gula darah. Mekanisme kompensasi yang terjadi terus
menerus menyebabkan kelelahan sel
pankreas (exhaustion) yang disebut
dekompensasi, mengakibatkan produksi insulin yang menurun secara absolute.
Kondisi resistensi insulin diperberat oleh produksi insulin yang menurun
akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga memenuhi kriteria
diagnosis DM (Waspadji dalam Soegondo, 2009).
2.1.7. Kriteria Diagnosis
Diagnosis dari DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa
darah. Penegakan diagnosis DM harus memperhatikan asal bahan darah yang
diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Penegakan diagnosis berdasarkan
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood),
vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO, sedangkan
untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler (PERKENI, 2011).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. PERKENI (2011)
membagi keluhan DM menjadi dua jenis yaitu :
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200
mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
16
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan
adanya keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada
TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar
WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75
g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
HbA1C merupakan hemoglobin yang dibentuk oleh penempelan nonenzimatik glukosa pada kelompok amino N-terminal dari hemoglobin A rantai .
Kadar normal HbA1C adalah < 6,5% (Guerin, 2013). Pemeriksaan kadar HbA1c
(≥ 6,5%) oleh ADA β011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis
DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan
baik. Kadar HbA1C normal pada yang bukan penderita DM antara 4% sampai
dengan 6%. Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C), disebut juga
glycohemoglobin atau disingkat sebagai A1C, merupakan salah satu pemeriksaan
darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian gula darah. HbA1C adalah
zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin (bagian dari
sel darah merah). Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah
tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh
karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur
kadar HbA1C. Bila kadar gula darah tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar
HbA1C akan tinggi pula. Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat
bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan usia sel darah merah). Kadar HbA1C
akan mencerminkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan
sebelum pemeriksaan.
17
Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik DM
1. A1C ≥ 6,5 % atau
2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl atau
3. Kadar Glukosa Darah Puasa > 126 mg/dl atau
4. Kadar Glukosa Plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gr pada TTGO
Sumber : ADA (2010)
Gambar 2.1. Langkah – Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu
Sumber : PERKENI (2011)
18
2.1.8. Gejala Klinis
Gejala klinis DM tipe 2 dapat digolongkan menjadi gejala akut dan kronik
(Perkeni, 2011) :
1. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus
Gejala penyakit Diabetes Melitus dari satu penderita ke penderita lain
bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat
tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli)
yaitu banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi) dan banyak
kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan
timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai
berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg dalam waktu 2
– 4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa
mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma
diabetik.
2. Gejala Kronik Diabetes Melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan,
kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit,
kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata,
gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah
lepas kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi dan para ibu hamil
sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
2.1.9. Tatalaksana
Menurut
PERKENI
(2011),
tujuan
penatalaksanaan
DM
adalah
meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Penatalaksanaan ini dikenal dengan
empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu : edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani, dan intervensi farmakologis.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
19
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus
(PERKENI, 2011).
a. Edukasi
Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan
pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku
yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang
memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi
(PERKENI, 2011).
b. Terapi Gizi Medis
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
baik sebagai berikut (PERKENI, 2011):
1. Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi
2.
Protein : 10 – 20% total asupan energi
3. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali
kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk
wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi
20
status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan
kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan
non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik
maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal
(PERKENI, 2011).
c. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti :
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).
d. Pengelolaan Farmakologis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes mellitus dapat berupa Obat
Hipoglikemik Oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4
golongan, antara lain (Soegondo,2007) :
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
21
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR- ), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan
meningkatkan
jumlah
protein
pengangkut
glukosa,
sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama
dipakai
pada
penyandang
diabetes
gemuk.
Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
22
2.1.10. Komplikasi
1. Komplikasi Akut
Komplikasi metabolik DM disebabkan oleh perubahan relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma.
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah 300 mg/hari) awalnya
disertai dengan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang normal, namun setelah
terjadi protenuria berlebih (protein dalam urin >0,5 g/24 jam), GFR menurun
secara progresif dan terjadi gagal ginjal.
Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1 akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah
awitan DM. Individu dengan DM tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi
gagal ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan insidensi mendekati 50%.
Nefropati diabetik adalah penyebab nomor satu gagal ginjal di Amerika Serikat
dan negara-negara barat lainnya
a.3. Neuropati Diabetik
Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen
sensorik dan motorik divisi somatik otonom. Penyakit saraf yang disebabkan DM
disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel
saraf yang kronis serta efek hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein yang
melibatkan fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel Schwann mulai
menggunakan metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa
kronis, yang akhirnya mengakibatkan demielinisasi segmental saraf perifer.
Neuropati diabetik terjadi 60-70% individu DM. Neuropati diabetik yang
paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan otonom. Neuropati perifer,
pada awalnya menyebabkan hilangnya sentakan pergelangan kaki dan tidak
26
adanya sensasi getar pada extremitas bawah. Kemudian sensasi raba dan nyeri
menghilang. Pasien sering kali mengeluh baal (kesemutan), dan rasa seperti
terbakar di malam hari. Ulkus kronis tanpa nyeri berkembang di tempat-tempat
yang terkena trauma berulang.
Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki karena kulit pada
daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi.
Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi
biasanya melibatkan banyak mikroorganisme, yang sering terlibat adalah
stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.
Neuropati otonom dapat menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi
seksual) pada 25% pasien pria dan disfungsi gastrointestinal serta infeksi saluran
kemih. Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang DM tipe 2 lebih dari 10
tahun cukup tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati
dan masalah psikis. Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol
glukosa darah senormal mungkin dan memperbaiki faktor risiko disfungsi ereksi
lain seperti dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi.
b. Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi
makrovaskular
terutama
terjadi
akibat
aterosklerosis
(pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan
gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan peningkatan
mortalitas. Pada DM terjadi kerusakan pada lapisan sel endotel arteri dan dapat
disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit
glukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada
pasien DM. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat
sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel
endotel akan mencetuskan reaksi imun dan inflamasi sehingga akhirnya terjadi
pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos
berproliferasi. Penebalan dinding arteri menyebabkan hipertensi, yang semakin
merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya yang merobek-robek selsel endotel.
27
Komplikasi makrovaskular akan mengakibatkan penyumbatan vaskular.
Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi
vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermitten dan ganggren pada
ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri
koronaria dan aorta maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardiun.
Pada penderita DM, risiko penyakit serebrovaskular meningkat dua kali
lipat, penyakit jantung koroner meningkat tiga sampai lima kali lipat, dan penyakit
pembuluh darah perifer meningkat 40 kali. Risiko relatif penyakit kardiovaskular
adalah dua sampai empat kali lipat lebih tinggi pada pria dan tiga sampai empat
kali lebih tinggi pada wanita DM dari pada kelompok kontrol berusia sama.
Makrovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM tipe 2,
mencakup 50% kematian pada kelompok ini.
2.2. Perilaku Self Care
2.2.1. Definisi
Pengertian perilaku self care menurut Orem adalah suatu pelaksanaan
kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri unutuk
memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan
kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit (Tomey dan Alligood,
2006). Perilaku self care DM merupakan program atau tindakan yang harus
dijalankan sepanjang kehidupan penderita dan menjadi tanggung jawab penuh
bagi setiap penderita DM (Bai et al., 2009).
Perilaku self care DM adalah tindakan yang dilakukan perorangan untuk
mengontrol DM yang meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan komplikasi
(Sigurdardottir, 2005 ; Medical dictionary, 2009). Sedangkan Sousa dan
Zauszniewski (2005) mendefinisikan self care DM merupakan kemampuan
seseorang dalam melakukan self care dan penampilan tindakan self care DM
untuk meningkatkan peningkatan pengaturan gula darah. Menurut Kusniawati
(2011) perilaku self care DM merupakan tindakan yang dilakukan perorangan
yang bertujuan mengontrol DM yang meliputi tindakan pengobatan dan
pencegahan komplikasi.
28
2.2.2. Pengukuran Perilaku Self Care
Pengukuran perilaku self care meggunakan pengukuran perilaku self care DM
(The Summary of Diabetes Self-Care Activities / SDSCA) yang dikembangkan oleh
Toobert, DJ et al. (2000). Perilaku self care tersebut meliputi pengaturan pola makan
(diet), latihan fisik/ exercise, pemantauan gula darah, pengobatan dan perawatan kaki.
2.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi Perilaku Self Care DM
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi penderita dalam melakukan perilaku
self care DM yaitu :
2.3.1. Umur
Usia mempunyai hubungan yang positif terhadap perilaku self care DM.
semakin meningkat usia maka akan terjadi peningkatan dalam perilaku self care
DM. Peningkatan usia menyebabkan terjadinya peningkatan kedewasaan/
kematangan seseorang sehingga penderita dapat berfikir secara rasional tentang
manfaat yang akan dicapai jika penderita melakukan perilaku self care DM secara
adekuat dalam kehidupan sehari-hari (Sousa et al., 2005).
Hasil penelitian berbeda dijelaskan oleh Kusniawati (2011) bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara usia dengan perilaku self care DM. Hal ini
disebabkan penderita DM tipe 2 baik yang berusia muda maupun berusia tua,
mereka sama-sama melakukan perilaku self care DM dengan tujuan untuk
mencapai kadar gula darah normal dan mencegah atau meminimalkan komplikasi
yang mungkin timbul akibat DM.
2.3.2. Jenis Kelamin
Terdapat perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam menerapkan
perilaku self care. Penderita DM tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki memiliki
perilaku self care yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan
oleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang dimiliki oleh penderita DM tipe 2
berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, sehingga berpengaruh dalam
melakukan perilaku self care (Svartholm, 2010).
29
Penderita DM tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki memiliki perilaku self
care yang lebih baik daripada perempuan (Bai et al., 2009). Penderita DM tipe 2
lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibanding laki-laki. Perempuan
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah daripada laki-laki dan memiliki
perilaku self care yang lebih rendah daripada laki-laki (Made, 2014).
2.3.3. Tingkat Pendidikan
2.3.4. Sosial Ekonomi
DM merupakan kondisi penyakit yang memerlukan biaya yang cukup
mahal sehingga akan berdampak terhadap kondisi ekonomi keluarga terutama
bagi masyarakat golongan ekonomi rendah. Masyarakat golongan ekonomi
rendah, mereka tidak dapat melakukan pemeriksaan kesehatan secara kontinu
disebabkan karena keterbatasan biaya, sedangkan penderita DM harus melakukan
kunjungan ke pelayanan kesehatan minimal 1-2 minggu sekali untuk memantau
kondisi penyakitnya agar terhindar dari komplikasi potensial yang dapat muncul
akibat DM (Nwanko et al., 2010). Menurut Bai et al. (2009) yang menjelaskan
bahwa sosial ekonomi berpengaruh terhadap perilaku self care DM.
2.3.5. Lama Menderita DM
Penderita DM tipe 2 yang lebih dari 11 tahun dapat mempelajari perilaku
self care DM tipe 2 berdasarkan pengalaman yang diperolehnya selama menjalani
penyakit tersebut sehingga penderita dapat lebih memahami tentang hal-hal
terbaik yang harus dilakukannya untuk mempertahankan status kesehatannya,
salah satunya dengan cara melakukan perilaku self care dalam kehidupannya
sehari-hari dan melakukan kegiatan tersebut secara konsisten dan penuh rasa
tanggung jawab. Durasi DM tipe 2 yang lebih lama pada umumnya memiliki
pemahaman yang adekuat tentang pentingnya perilaku self care sehingga dapat
dijadikan sebagai dasar bagi mereka untuk mencari informasi yang seluas-luasnya
tentang perawatan DM tipe 2 melalui berbagai cara/media dan sumber informasi
lainnya (Bai et al., 2009).