Kontinuitas dan Perubahan Grup Reog Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari Riau

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang sangat heterogen, karena terdiri dari banyak sekali suku bangsa (etnik).1 Keheterogenan itu dapat dilihatdari beberapa suku bangsaseperti Jawa, Batak Toba, Mandailing, Melayu, Sunda, Minangkabau, Banjar, Bugis, Makasar, Bali, Sasak, Asmat, dan lainnya. Suku bangsa memiliki asal-usulnya masing-masing dan karakteristik yang mendukung asal-usulnya.

Suku bangsa yang ada dalam suatu masyarakat2 memiliki seni budaya masing-masing, yang merupakan salah satu perwujudan dari kebudayaan. Lebih dari itu, kesenian adalah ekspresi dari budaya, yang dapat ditafsirkan, dan menjadi identitas manusia pendukungnya. Budaya tersebut mempunyai nilai -nilai sosial dan seni yang tinggi. Masing-masing budaya memiliki ciri khas tersendiri yang akan membentuk sebuah kebudayaan lokal. Budaya lokal Indonesia sangat membanggakan

1Etnik atau kelompok etnik dalam bahasa Indonesia selalu disebut suku atau suku bangsa, menurut Naroll adalah sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi (Narrol, 1965:32).

2

Pengertian masyarakat dalam skripsi sarjana ini adalah mengacu kepada pendapat yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah: ... the largest gruping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative." Unsur gruping dalam definisi itu menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita, unsur common customs, traditions, adalah unsur "adat-istiadat", dan unsur "kontinuitas" dalam definisi kita, serta unsur common attitudes and feelings of unity adalah sama dengan unsur "identitas bersama.‖ Suatu tambahan dalam definisi Gillin adalah unsur the largest, yang "terbesar," yang memang tidak kita muat dalam definisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat diterapkan pada konsep masyarakat sesuatu bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika(J.L. dan J.P. Gilin, 1942).


(2)

karena memiliki keanekaragaman yang sangat bervariasi serta memiliki keunikan tersendiri sebagai identitas bangsa (Rumbiyardi, 2012). Demikian pula budaya lokal etnik Jawa, baik yang berada di Pulau jawa, maupun persebarannya di berbagai tempat di Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia.

Jawa merupakan suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dan menyebar ke hampir seluruh wilayahnya, dan berbagai tempat di dunia. Penyebaran itu terutama terjadi melalui program transmigrasi. Keberadaan masyarakat Jawa di berbagai wilayah di luar Pulau Jawa tentu saja menuntut mereka untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk dengan masyarakat dari suku bangsa lainnya sesama pendatang.

Orang Jawa terkenal dengan seni budayanya yang tentunya memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya. Seperti yang dijelaskan Koentjaraningrat (2009),bahwa dalam kenyataannya masyarakat kesenian dan kebudayaan fisik lainnya, tidak terpisah dari sistem sosial dan adat istiadatnya. Dengan demikian, secara serentak pelaksanaan kesenian dapat mencerminkan dan memperkuat nilai-nilai, hirarki, dan struktur kebudayaan. Kesenian juga menjadi cara untuk menghubungkan diri dengan masyarakat.

Clifford Geertz, dalam karya bukunya yang berjudul The Religion of Java, mengungkapkan hakikat sifat-sifat orang Jawa: ―yaitu bahwa sifat-sifat orang Jawa yang berbudaya berarti sudah bisa menguasai tiga hal secara baik, yang pertama adalah bertingkah laku menurut aturan, sopan, dan sopan-santun dalam bermasyarakat, yang kedua adalah memiliki wawasan seni dan keindahan, dan yang ketiga tanggap terhadap perintah utama dari Yang Maha Kuasa.‖Berdasarkan sifat yang kedua yaitu masyarakat Jawa memiliki wawasan


(3)

seni dan keindahan. Dalam kehidupan orang Jawa, seni dan keindahan sering kali bahkan bagian yang tak terpisahkan. Seni itu baik berupa seni rupa, seni tari, maupun musik. Sedangkan keindahannya terletak pada nilai-nilai seni masyarakat Jawa. Salah satunya terdapat di dalam genre seni reog Ponorogo.

Reog Ponorogo merupakan seni pertunjukan masyarakat Jawa yang di dalamnya terdapat unsur-unsur, yang meliputi: tari, drama, dan musik. Kesenian reog mempertunjukan keperkasaan seorang pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan reog berlangsung dan juga diiringi dengan kuda-kudaan yang terbuat dari sayatan bambu atau disebut dengan kepang (tiruan binatang kuda yang terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk pipih), dalam kesenian reog terdapat unsur mistik, pemakaian alat musik Jawa (gamelan), iringan gendhing reogan yang bentuknya lebih sederhana dari pada gendhing-gendhing tradisonal klasik Jawa yang lebih rumit dan diulang-ulang selama pertunjukan berlangsung.3

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari daerah PonorogoJawa Timur yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu dan diwariskan secara turun-temurun di kalangan masyarakat Ponorogo hingga saat ini dan memiliki pengaruh yang kuat bahkan sampai ke luar daerah Jawa Timur dan memiliki eksistensi sebagai identitas budaya lokal maupun nasional. Dari sejak kelahirannya reog sudah memperlihatkan ciri-ciri yang khas atas kepribadiannya, dan corak daerah. Karena itulah, maka kesenian ini menjadi salah satu kesenian

3Lebih rinci lihat tulisan: (1) Th. Pigeaud (1938), berjudulJavaans-Nederlands handwoordenboek. Groningen/Batavia: Wolters. (2) Heddy Shri Ahimsa-Putra (2006), yang bertajukStrukturalisme Levi-Strauss : Mitos dan Karya Sastra . Yogyakarta: Kepel Press: Kepel Press, (3) Nursilah (2001),Reyog Ponorogo: Kajian terhadap Seni Pertunjukan Rakyat sebagai Identitas Budaya. Medan: Jurusan Antropologi, Universitas Sumatera Utara Medan.


(4)

kebanggaan yang sangat digemari oleh segenap lapisan masyarakat, baik kanak-kanak maupun orang dewasa (Hartono, 1980).

Budaya Jawa berkembang seiring dengan penyebaran penduduk suku Jawa ke berbagai wilayah dunia, seperti di Suriname ketika masa penjajahan Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan milik Belanda. Kebudayaan Jawa juga terbentuk sejakzaman kerajaaan-kerajaan Hindu dan Budha yang berkuasa di pulau Jawa, sehingga sebagian besar hasil-hasil kebudayaan Jawa dipengaruhi oleh unsur Hindu-Budha. Selain itu ada pula filsafat suku Jawa yang disebut sebagai filsafat Kejawen.4

Mengikuti pendapat Clifford Geertz (1963) yang mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan besar berdasarkan varian budayanya yaitu abangan, santri, dan priyayi, maka dapat dikatakan bahwa pendukung reog adalah golongan abangan (Muhammad Zamzan Fauzanafi, 2005: 169). Secara kultural, kelompok ini masih mempertahankan unsur-unsur budaya pra-Islam, animisme, dinamisme, dan dicampur dengan unsur-unsur kebudayaan Hindu dan Budha. Mereka masih mempertahankan kesenian itu seperti yang diajarkan dan diwariskan oleh para pendahulunya sehingga sulit menghilangkan unsur-unsur mistis karena menganggap bahwa unsur mistis menjadi bagian tak terpisahkan dari seni reog.

Berkembangnya suatu masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, tentu saja merubah pemahaman mereka terhadap falsafah

4

Kepercayaan Kejawen adalah kepercayaan terhadap warisan nenek moyang yang masih memiliki banyak unsur agama Hindu-Budha. Bagi Mulder Kejawen bukanlah kategori religius, dan lebih cenderung menunjuk pada sebuah etika atau gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa. Dalam konteks Indonesia yang lebih luas terdapat berbagai sistem kepercayaan setempat, misalnya di Sumatera Utara ada Pemena di Karo, Parmalim pada budaya Batalk Toba. Dermikian


(5)

hidup yang dianut. Ada pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan tradisional acapkali menghambat perkembangan suatu masyarakat, terutama yang berhubungan dengan proses modernisasi.Masyarakat lebih memilih kebudayaan baru yang mungkin dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal. Sedangkan pandangan lainnya mengungkapkan bahwa kebudayaan suatu masyarakat yang diwariskan secara turun menurun dalam waktu yang lama dan tetap dipertahankan oleh anggota masyarakatnya, akan mempunyai kecenderungan untuk menolak berbagai perubahan yang datang dari kebudayaan lain dibandingkan dengan kebudayaan yang tidak dimiliki dalam waktu yang lama (Melalatoa, 1997). Pada proses kedua inilah menurut penulis reog menunjukkan eksistensinya di masa kini, termasuk di Riau.

Salah satu grup kesenian reog yang masih tetap eksis sampai sekarang ini yaitu grup Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari, Kecamatan Bangko Pusako, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Mereka mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan eksistensi kesenian reognya. Hal itu dapat dilihat dari perubahan bentuk penyajian reog yang pada dasarnya merupakan suatu usaha mempertahankan keberadaan Grup Reog Sri Karya Manunggal ini dalam kehidupan masyarakat desa Bangko Lestari, dengan demikian kehidupan kesenian tersebut masih bertahan hingga sekarang.

Identitas yang terdapat di dalam satu genre kesenian berkait erat dengan kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan. Keberlanjutan merupakan proses memelihara budaya, baik dalam wujud ide, kegiatan, maupun artefaknya, di manapun manusia berada di muka bumi ini. Keberlanjutan adalah ciri utama dari mesyarakat yang ingin mempertahankan identitas kebudayaannya. Namun di sisi


(6)

lain, sesuai dengan hukum alam, kontinuitas selalu pula disertai dengan perubahan-perubahan, baik yang bersifat perlahan secara evolutif maupun yang secara cepat. Perubahan bisa juga disebabkan oleh ekologi budaya. Sebagai contoh di dalam kajian ini, masyarakat Jawa yang ada di Riau adalah masyarakat pendatang yang harus melakukan perubahan secara adaptasi dengan lingkungannya yang merupakan daerah kebudayaan Melayu. Demikian pula yang diekspresikan di dalam reog di Riau ini mengalami kontinuitas dan perubahan sekaligus. Kontinuitas adalah bahagian dari mempertahankan identitas atau jati diri, sedangkan perubahan adalah sifat alamiah sebuah kebudayaan.

Ada suatu masyarakat yang melakukan seni pertunjukan sebagai kekuatan atau sebagai motivasi dalam menjalani kehidupan karena makna yang tergantung di dalamnya. Tiap-tiap daerah menghasilkan kesenian yang mempunyai ciri-ciri khusus dan mencerminkan sifat-sifat etnik daerah. Kekhususan yang ada pada tiap-tiap kesenian di daerah itulah yang menjadi identitas (Fachriya, 2009).

Identitas dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri. Identitas atau jati diri itu muncul dan ada dalam interaksi. Interaksi adalah kenyataan empirik yang dilakukan oleh seseorang dan orang lain atau dengan kelompok lain yang berupa tindakan para pelaku yang menandakan adanya hubungan antar para pelaku tersebut. Seseorang mempunyai jati diri tertentu karena diakui keberadaannya oleh seseorang atau orang dalam hubungan yang berlangsung.

Menurut Hnak Jhonston, Enrique Larana, dan Joseph R. Gusfield (1994)identitas dapat dibagi dalam beberapa bagian yaitu: identitas Individu dan identitas kolektif. Kedua identitas ini dapat dirumuskan sebagai berikut.


(7)

1. Identitas individu idalah identitas atau jati diri yang dimiliki oleh seseorang yang ia dapat sejak ia lahir maupun dari proses interaksi dengan yang lain. Identitas yang dimiliki seseorang tidaklah hanya satu tetapi lebih dari satu. Jumlah identitas yang dimiliki seseorang akan berbeda dengan identitas yang dimiliki orang lain.

2. Identitas kolektif adalah identitas yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok yang mereka bangun melalui interaksi, sesama anggotanya dan untuk kepentingan bersama atau untuk kepentingan kelompok.

Dalam konteks identitas ini, reog adalah ekpresi dari identitas kolektif masyarakat Jawa, khususnya kelompok abangan. Seterusnya dalam penelitian ini dilakukan kajian tentang bagaimana seni reog itu dipertahankan demi keberlanjutan seni tersebut pada masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari, Rokan Hilir Riau. Dan apakah identitasnya mengacu secara ketat kepada identitas reog seperti yang ada di Ponorogo Jawa Timur, atau telah mengalami berbagai adaptasi dalam situasi dan tempat perantauan, khususnya di wilayah budaya Melayu Riau.

Dari segi konsep pertunjukan, ReogPonorogo dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Reog Festival(Reog Kabupaten) dan ReogObyogan (Reog Desa). ReogFestival biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal seperti Festival Reog Nasional (FRN), penyambutan tamu pemerintah, dan peringatan malam bulan purnama. Sedangkan ReogObyoganbiasanya ditanggap oleh individu, keluarga atau desa dalam acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan, slametan, atau bersih desa. ReogObyogan biasanya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan ReogFestival selalu


(8)

dipentaskan di panggung (stage), tidak berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

ReogFestival sangat mementingkan urutan, karena berhubungan dengan cerita yang hendak dipresentasikannya. Sebaliknya, Reog Obyog tidak mementingkan urutan pementasan dan tidak mempresentasikan cerita tertentu. Urutan ReogFestival, selalu dimulai dengan datangnya dua orang warok yaitu warok tua dan warok muda, 6 orang jathilan, 1 orang prabu Klono Sewandono, barongan, lalu dengan pertempuran, dan diakhiri dengan kekalahan Singobarong oleh Klono Sewandono. Dalam ReogObyogan, pertunjukan bisa dimulai dengan penampilan warok terlebih dahulu (kalau ada), bisa pula jathil yang muncul pertama, atau bujangganong, kemudian barongan(Fauzannafi, 2005).

Pertunjukan reog pada Grup Sri Karya Manunggal ini seperti Reog Obyog yang tidak mempresentasikan cerita apapun, kecuali kegembiraan, tontonan, dan hiburan. Namun pertunjukan Grup Reog Sri Karya Manunggal ini sedikit ada berbeda dan mempunyai karakteristik tersendiri yaitu dapat dilihat dari adanya tariannya yang beranekaragam agar tidak membuat kejenuhan penonton. Urutan tarian yang ditampilkan menjadi: Tari Hanoman (Kera Putih), Tari Bujangganong, dan Tari Barongan (Dhadhak Merak), serta Tari Jathil Laki-laki (prajurit berkuda).

Saat ini Grup Sri Karya Manunggal masih menjadi sebuah pertunjukan fenomenal yang bisa membuat hati para penonton terpikat. Namun, dengan kepopuleran grup ini, ada grup lain yang ingin menjatuhkanGrup Sri Karya Manunggal tersebut karena ada suatu kepentingan sehingga muncullah persaingan. Persaingan ini muncul karena memperebutkan tanggapan dari


(9)

penanggap seni reogdan membesarkan nama grupnya sendiri tanpa mementingkan sejarah atau segi pertunjukannya. Sementara Grup Sri Karya Manunggal tidak ingin ada persaingan, karena mereka anggap bahwa seni bukan untuk persaingan melainkan harus guyub (bersatu).5

Pertunjukan grup Sri Karya Manunggal ini ditampilkan pada hari-hari tertentu yang diadakan bersamaan dengan hajat seperti slametan, bersih desa, pesta perkawinan, khitanan (sunat Rasul), tahun baru Islam (Muharram), mengayunkan (memberi nama pada bayi), perayaan ulang tahun, dan lain sebagainya. Mereka menjaga dan melestarikan seni tersebut dengan cara, menjadikan kesenian reog sebagai hobi mereka, hiburan, ataupun usaha pelestarian dalam bentuk perkumpulan atau sanggar.

Penulis memilih grup ReogSri Karya Manunggalsebagai bahan penelitian antropologis ini,karena merupakan grup yang paling terkenal dan sering mengadakan pertunjukan reog di berbagai tempat seperti dalam acara pernikahan, khitanan, slametan, perayaan ulang tahun, bersih desa dan sebaginya yang terdapat di kecamatan Bangko Pusako. Kemudian pertunjukannya sangat menarik perhatian masyarakat pendukungnya karena dalam setiap pertunjukannya mereka membawakan dengan sangat atraktif juga mengibur banyak penonton sehingga dimana pun mereka melakukan pertunjukan biasanya selalu ramai dikunjungi oleh penonton baik anak-anak, remaja, sampai orang dewasa.Oleh karena itu, penulis menganggap grup ini sangat cukup berpengalaman dalam melakukan pertunjukan reog karena merupakan grup yang paling lama yang ada di desa tersebut dan

5

Wawancara dengan Bapak Tukijo (Mbah Bolong) selaku pengurus dan penasihat di di grup Sri Karya Manunggal pada tanggal 10 April 2015.


(10)

sampai sekarang masih tetap melestarikan keseniannya. Dengan demikian kelompok ini merupakan salah satu kelompok kesenian reog yang mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan keseniannya demi keberlanjutan dari seni tersebut dalam mendukung identitas Jawa di desa Bangko Lestari.

1.2Tinjauan Pustaka 1.2.1 Penelitian Relevan

Penelitian ini menggunakan sarana (sumber data) yang nantinya akandikaitkan dan dibandingkan dengan hasil penelitian dilapangan.Kajian pustaka merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui bagaimana penelitian mengenai kontinuitas dan perubahan seni reogpada grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari dan bagaimana mereka beradaptasi serta mempertahankan keseniannya hingga saat ini. Selain itu juga menggunakan dari penelitian-penelitian yang berkaitan dengan seni reog terutama yang berkaitan dengan kontinuitas dan cara mempertahankan seni reog tersebut.

Beberapa penelitian sebelumnya seperti; Mayantuti (2008), Fitrianto (2013), Widyastuti (2013), Kurniawati (2014), Oktyawan (2014), dan Gunawan (2015) merupakan penelitian–penelitian yang dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi sertayangrelevan dengan penelitiantentang bagaimana mempertahankan seni reog demi keberlanjutan kesenian tradisional di zaman modern seperti saat ini. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2015) dengan judul penelitian ―Fungsi Kesenian Reog di Desa Kolam‖ yang mengungkapkan bahwa salah satu cara yang dilakukan kelompok seni Sanggar Tunas Muda Budaya untuk


(11)

dapat bertahan yaitu dengan merekrut anggota baru dan tidak memberikan beban biaya dalam bentuk apapun kepada orang yang ingin bergabung dalam kelompok seni reog Ponorogo di Desa Kolam.

Selain oleh Gunawan (2015), penelitian yang berkaitan dengan reog juga dilakukan oleh Fitrianto (2013) yang berjudul ―Perubahan Makna dan Fungsi Reog Banjarharjo dalam Kehidupan Masyarakat‖ yang didalamnya juga diungkapkan tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk melestarikan kesenian reog Banjaharjo yaitu:

(1) Melakukan penambahan jenis musik jaiponguntuk bersaing dengan musik dangdut yang pada saat itu lebih menarik minat masyarakat di Desa Banjarharjo. Selain itu pelaku reog Banjarharjo juga melakukan kerjasama dengan menggabungan kesenian lain yaitu kuda lumping yang juga berasal dari Desa Banjarhajo.

(2) Upaya mengubah jenis pertunjukan juga dilakukan oleh pelaku ReogBanjarharjo yaitu dengan melakukan pertunjukan setiap sebulan sekali dandapat dilakukan tidak hanya untuk ruwatan rumah. Upaya ini dilakukan selainuntuk menambah daya tarik dari masyarakat juga sebagai upaya untuk lebih mendekatkan reog Banjarharjo kepada masyarakat yang pada saat itu lebihtertarik pada musik dangdut.

(3) Melakukan gabungan dengan kesenian lain yaitu kuda lumping. Kesenian Reog Banjarharjo mendapat saingan dengan tradisi lain yaitu kuda lumping. Sebagai kesenian yang berasal dari desa yang sama. Pada awalnya dua buah kesenian tradisional tersebut saling bersaingan untuk memperoleh minat masyarakat, hingga pada akhirnya memaksa dua buah kesenian tradisional ini


(12)

bergabung untuk meramaikan pertunjukan sehingga tidak kalah bersaing dengan dangdutan yang pada saat itu menjadi daya tarik masyarakat Desa Banjarharjo. Masuknya kuda lumping pada Reog Banjarharjo membuat kesenian Reog Banjarharjo menjadi sebuah kesenian yang beraneka ragam.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Supariadi dan Warto (2012)

yang berjudul ―Regenerasi Seniman Reog Ponorogo Untuk Mendukung

Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional dan Menunjang Pembangunan Industri

Kreatif‖ mengungkapkan bahwadalam usaha mewujudkan pembangunan nasional

yang berkarakter atau berlandaskan pada nilai-nilai budaya bangsa, pelestarian dan pengembangan seni tradisi sebagai kekayaan budaya mutlak diperlukan. Seni tradisi merupakan modal sosial budaya yang cukup penting dalam pembangunan bangsa ke depan. Oleh karena itu, agar seni pertunjukan tradisional seperti Reog Ponorogo sebagai salah satu produk dan identitas budaya bangsa dapat bertahan dan lestari, maka harus dilakukan regenerasi seniman dengan sebaik-baiknya. Regenerasi seniman Reog Ponorogo merupakan persoalan krusial dan mendesak dilakukan karena dua hal: Pertama, agar supaya seni tradisi tidak kehilangan generasi penerus yang menjadi pemangku kebudayaan tersebut sehingga perlu menumbuhkan apresiasi dan kecintaan generasi muda terhadap warisan tradisi yang bernilai tinggi mutlak dilakukan. Kedua, agar supaya kesenian Reog Ponorogo tetap diakui menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia sehingga tidak mudah diklaim atau diakui kepemilikannya oleh pihak/bangsa lain.

Selain itu, penelitian ini juga relevan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti (2013) dengan judul ―Makna Ritual dalam Pementasan Seni Tradisi Reog Ponorogo‖ yang didalamnya menyebutkan bahwa alasan


(13)

masyarakat Desa Wagir Lor tetap melaksanakan ritual sebelum pementasan di era modernisasi sekarang ini yaitu karena mereka masih percaya kepada cerita atau mitos yang beredar. Kepercayaan mereka yaitu menganggap ada roh penunggu barongan yang harus di akui keberadaannya. Karena manusia hidup di dunia ini disadari atau tidak mereka selalu berdampingan dengan alam gaib. Bahwa sudah digariskan oleh yang kuasa bahwa roh gaib, jin, dan setan itu ditakdirkan untuk mengganggu manusia di dunia. Mereka percaya bahwa dengan ritual memberikan sesaji sebelum pementasan reog dapat menghindarkan mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan saat pementasan yang berasal dari gangguan-gangguan makhluk halus.

Kemudian Perubahan yangterjadi yaitu pada peran tokoh seni Reog dahulu dan sekarang, tetapi eksisitensi ritual tetap dilaksanakan sebelum pementasan dan tidak pernah goyah oleh perubahan zaman. Dulu warok merupakan orang yang sakti dan memiliki pantangan bergaul dengan lawan jenis, bila hal itu dilanggar akan menghilangkan kesaktian mereka. Oleh karena itu, warok zaman dulu memelihara seorang gemblak yaitu remaja laki-laki muda dan tampan yang berperan sebagai penari saat pementasan Reog berlangsung. Di zaman sekarangistilah gemblak tersebut sudah tidak ada karena dirasa telah menyalahi norma yang ada di masyarakat (ibid).

Hasil-hasil penelitian yang telah dipaparkan tersebut merupakan acuan yang relevan dengan penelitian ini karena memiliki kesamaan dan perbedaan dalam hal mempertahankan kesenian reog tersebut. Kesamaannya terletak pada kesenian reognya sementara perbedaannya terletak pada fokus yang ingin dikaji. Dalam penelitian ini fokusnya lebih mengarah kepada bagaimana kontinuitas dan


(14)

perubahan kesenian reog yang diwujudkan oleh grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari dalam melestarikan keseniannya.

1.2.2 Kontinuitas

Kontinuitas dapat diartikan sebagai kesinambungan; kelangsungan; kelanjutan; dan keadaan kontinu. Perkembangan bersifat kontinuitas (berkesinambungan) ialah bahwa perkembangan itu berlangsung secara bertahap dan terus menerus.

Soemardjan (dalam Syaripudin, 2013) mengatakan bahwa perkembangan kesenian pada umumnyamengikuti proses perubahan yang terjadi dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai salah satuunsur kebudayaan, maka kesenian akan mengalami hidup statis karena diliputi oleh suasanatradisionalistik. Sebaliknya, kesenian akan selalu berkembang apabila kebudayaannya juga selalu bersikap terbuka terhadap perubahan dan inovasi. Karenanya, kebudayaan itu bersifat dinamis,akan selalu berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Dalam setiap kebudayaan akan selaluada kebebasan kepada para individunya untuk memperkenalkan variasi-variasi dalam cara hidup, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk maupunkarena penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

Sempulur (dalam Syaripudin, 2013) turut menyebutkan, permasalahan kemudian muncul ketika ada wacanauntuk mempertahankan kesenian tradisional sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaantradisional. Maka dalam hal ini perkembanganzaman tentu akan mempengaruhi pola perilaku manusia, maka


(15)

kesenian tradisional jelas akanmengalami perubahan dari berbagai segi, termasuk dari segi artistiknya dan maknanya.

1.2.3 Perubahan

Suatu kebudayaan tidaklah pernah bersifat statis, melainkan selalu berubah. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi, serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat. Merriam (1964:172) mengemukakan bahwa perubahan dapat berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga dapat berasal dari luar kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal merupakan perubahan yang timbul dari dalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri dan disebut juga inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat pengaruh dari luar lingkup kebudayaan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Geertz, bahwa berbagai upaya dilakukan oleh para pelaku seni untuk terus dapat menciptakan karya seni yang unik dan menarik. Hal inilah yang menjadikan karya-karya seni bersifat dinamis dan terus mengalami perubahan.

Selain itu, teori perubahan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini juga bertitik tolak dari persepektif materialistis. Marx6 (dalam Lauer, 1993:205) secara ringkas menghimpun mekanisme perubahan dengan ungkapan: ―Kincir

6Marx atau nama lengkapnya Karl Marx adalah filosof Eropa dari Jerman, yang menggagas filsafat materialismedan kemudian mengembangkan komunisme. Dalam ajaran Marx yang utamaadalah bahwa dunia ini ada karena materi, jadi materi adalah inti dari segalanya. Ia dalam komunismenya mengembangkan ajaran bahwa dunia ini akan tidak makmur dan sejahtera selagi masih ada kelas-kelas sosial yaitu antara pemilik modal (borjuis) yang mengatur masyarakat pekerja seperti buruh dan tani (proletariat). Untuk mencapai kesejahteraan ini harus dihilangkan kelas-kelas sosial tersebut. Segala kegiatan sosioekonomi harus diatur oleh negara dan untuk kesejahteraan bersama.


(16)

angin menimbulkan masyarakat feodal; mesin uap menimbulkan masyarakat kapitalis-industri.‖Selanjutnya Velben dan Ogburn yang sangat dipengaruhi oleh Marx, menekankan pentingnya pengaruh teknologi terhadap perubahan. Velben menyatakan bahwa pola keyakinan dan perilaku manusia, terutama dibentuk oleh cara mencari nafkah dan mendapatkan kesejahteraannya, yang selanjutnya disebut sebagai fungsi teknologi. Ogburn menyatakan bahwa manusia selamanya berupaya memelihara dan dan menyesuaikan diri dengan alam yang senantiasa diperbaharui oleh teknologi.

Seterusnya, Velben dan Ogburn (dalam Lauer, 1993:112-116) menunjuk-kan bagaimana cara perubahan teknologi menimbulmenunjuk-kan masalah bagi manusia dalam 4 (empat) hal. Pertama, teknologi sebagai satu faktor yang sangat mempengaruhi perubahan. Pandangan ini lebih mencerminkan pandangan Ogburn. Di sisi lain Velben menganggap teknologi sebagai sebagai pendorong perubahan. Kedua, teknologi sebagai kekuatan berpengaruh yang tidak terelakkan terhadap perubahan. Ketiga, teknologi sebagai ―juru selamat.‖ Keempat, teknologi sebagai anti agama Kristen.

Keempat pandangan tersebut, walaupun telah memberikan manfaat yang besar dalam perubahan kebudayaan, telah mendapat kritikan berdasarkan kasus-kasus tertentu yang diteliti pada ahli antropologi lainnya. Epstein dalam penelitiannya di dua desa di India Selatan, menyimpulkan bahwa satu desa yang telah mengenal sistem irigasi (unsur teknologi) telah meningkatkan kemakmuran, namun tatanan sosialnya tidak berubah sama sekali. Sementara satu desa lainnya yang tetap berladang justru mengalami perubahan yang sangat besar. Whyte juga menganalisis bahwa perubahan besar terjadi pada sebuah organisasi sosial sebuah


(17)

pabrik gelas, bersamaan dengan perubahan teknologi yang sangat kecil. Sumber perubahannya adalah pekerja baru dari etnik berlainan dengan asal etnik pekerja lama.

1.2.4Seni Sebagai Simbol

Manusia dan seni adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Suatu kelompok masyarakat dalam proses menjalani kehidupannya akan berkreasi dan menciptakan sebuah kebiasaan yang lambat laun menjadi kebudayaan. Kebudayaan menurut ahli antropologi simbolik yaitu keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterprestasi keseluruhan tindakan manusia (Koentjaraningrat, 2009)

Menurut Geertz, kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal utama yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau sistem evaluatif, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interprestasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang memungkinkan oleh simbol ialah yang dinamakan makna (system of meaning). Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan.

Menurut Melalatoa, (dalam Syaripudin 2013) menerangkan, bahwa kesenian masyarakat yang bersangkutan bermaksudmenjawab dan menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan,mencapai tujuan bersama seperti kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan dan rasa amanketika berkoneksi dengan yang gaib (supernatural). Kesenian sebagai hasil ekspresi keindahanmengandung pesan-pesan budaya


(18)

dalam bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis, seni rias,seni patung, seni sastra, seni tari, seni vokal dan lain sebagainya.

Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai ciri khas sesuatu yang lain. Suatu simbol menstimulasi atau membawa suatu pesan yang mendorong pemikiran atau tindakan. Begitu juga yang terdapat pada masyarakat desa Bangko Lestari yang penuhdengan simbol-simbol dalam upacara ritual kesenian Reog Ponorogo.

1.2.5 Kesenian Tradisional Reog Ponorogo

Menurut Kayam (2000:339-340) kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat mempunyai fungsi yang penting. Fungsi tersebut dapat terlihat dari dua segi yaitu dari segi wilayah jangkauannya dan dari segi fungsi sosialnya. Dari segi wilayah jangkauannya kesenian tradisional dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan dari segi fungsi sosialnya, daya tarik pertunjukan rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok. Dari pertunjukan rakyat masyarakat dapat memahami kembali nilai-nilai dan pola perilaku yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. Namun peran seni pertunjukan teradisional tersebut menghadapitantangan besar. Arus modernisasi yang mengalir sampai ke desa-desa membawa serta berbagai bentuk seni baru yang merupakan saingan dari bentuk seni tradisional yang sudah ada. Bentuk bentuk seni baru ini antara lain adalah film, musik dangdut, acara-acara televisi, dan acara-acara radio.

Reog merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang berasal dari Indonesia. Reog atau Reyog berasal dari kata Riyetyang artinya adalah kondisi


(19)

bangunan yang hampir rubuh, dan suara gamelan reog yang bergemuruh itulah yang diidentikan dengan suara bata rubuh (Fauzanafi, 2005:169).Berbicara mengenai reog akan menuju kepada daerah di Indonesia yaitu Ponorogo salah satu daerah yang memiliki kesenian reog.

Menurut Badudu (dalam Fitrianto, 2013),reogdikenal sebagai salah satu kesenian tradisional masyarakat dan merupakan tarian yang menghibur. Sifatnya hiburan dan mengandung sindiran-sindiran terhadap kejadian di masyarakat.

Reog merupakan salah satu seni pertunjukan yang ada di Indonesia. istilah seni pertunjukan dapat diartikan sebagai ―tontonan‖ yang memiliki nilai seni, seperti drama, tari, dan musik, yang disajikan sebagai pertunjukan didepan penonton. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kesenian atau seni pertunjukan yang merupakan ciri khas masyarakatnya. Ia tidak sekedar hadir sebagai tontonan, tetapi juga terkait dengan pandangan dan kebutuhan hidup di dunia keseharian (nyata), ritual, maupun dunia simbolis dari masyarakatnya (ibid).

Menurut Supardjan (dalam Supriyatun, 2014)berdasarkan fungsinya tari tradisional dibagi menjadi tigabagian yaitu:

(1) Tari sebagai sarana upacara. Fungsi tari sebagai sarana upacara merupakan media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan- kekuasaan yang lebih tinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan atau mengusirnya, demi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup masyarakat.

(2) Tari sebagai sarana hiburan atau pergaulan. Tari ini memiliki tujuan sebagai hiburan. Tari hiburan dimaksudkan untuk memeriahkan atau mengkaitkan keakraban pertemuan, atau untuk memberikan kesempatan serta penyaluran bagi mereka yang mempunyai kegemaran akan menari.


(20)

(3) Tari sebagai pertunjukan. Tari sebagai pertunjukan bertujuan untuk memberi hidangan pertunjukan tari untuk selanjutnya diharapkan dapat memperoleh tanggapan dari penontonya.

Kesenian teater tradisional (Supardjan, ibid), termasuk reog pada masyarakat religi asli difungsikan sebagai:

1. Pemanggil kekuatan gaib;

2. Menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya pertun-jukan;

3. Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat;

4. Peringatan pada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun kepahlawannya;

5. Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang; dan

6. Pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu.

Muhammad Fauzannafi, (2005) dalam tulisannya yang berjudul ―Reog Ponorogo, Menari di antara Dominasi dan Keragaman‖ mengungkapkan bahwa kelompok reog, simpatisan, dan penggemar reog disebut sebagai ―Tyang ho‟e‖ (kelompok abangan). Hal itu terlihat dari para senggakan, yaitu yang bertugas mengeluarkan teriakkan: ―Hok’e… hok’e…hok’e...‖ agar pentas reog semakin semarak. Selain itu mereka juga menggunakan minuman keras yang merupakan bagian yang hampir tidak terpisahkan dari pertunjukan reog obyogan (reog desa)

yang tujuan diedarkannya minuman keras, memang bukan untuk ―mabuk

-mabukan,‖ tapi lebih semacam penegasan, pembentukan, pembaptisan, identitas mereka sebagai tyang ho‟e.


(21)

Hartono (1980) dalam bukunya yang berjudul ―Reyog Ponorogo‖ menyebutkan bahwa reog Ponorogo memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan

kesenian reog dengan kesenian lainnya. Ciri tersebut diantaranya yaitu adanya

formasi iring-iringan dalam kesenian reog dan terjadi susunan sebagai berikut: (1) Kelompok pengawal; kelompok ini terdiri atas tiga atau empat orang yang berpakaian lengkap Ponoragan (bergaya Jawa Ponorogo). Mereka berjalan paling depan sekaligus berfungsi sebagai pembuka jalan. (2) kelompok pendamping; kelompok ini bertugas untuk menjaga penari reog dan menjaga keamanan maupun hidupnya permainan. (3) kelompok penari; mereka terdiri atas pemain Barongan,

penari topeng Bujangganong, dan penari kuda. (3) kelompok pengiring; kelompok ini tidak terbatas jumlah anggotanya. Mereka berbaris paling belakang yang tugasnya juga membantu hidupnya permainan. Dari kelompok-kelompok tersebut maka pertunjukan reog penuh riang dan salah satu keunggulan dari kesenian reog Ponorogo.

1.2.6Masyarakat dan Budaya Jawa

Pada umumnya setiap pemilik budaya tertentu ada beberapa kelebihan dari masing-masing kebudayaannya. Sebagai contohnya konsep budaya Jawa yang berbunyi mangan ora mangan sing penting ngumpul (makan tidak makan yang penting berkumpul). Yang ditekankan dalam konsep itu adalah berkumpul. Orang


(22)

Jawa senang berkumpul, selalu bersama-sama, mereka seolah-olah memiliki keterikatan kuat dengan tanah kelahirannya, sehingga enggan meninggalkan daerahnya untuk pergi merantau ke luar Jawa. Apabila terjadi perpindahan, maka yang diharapkan adalah bedol desa, artinya kepindahan seluruh masyarakat sedesa, sehingga tempat dan keluarga sebagaimana di desanya (Saadah dan Sinsar, 1999).

Menurut Appadurai dan Hannerz (dalam Abdullah, 2006) telah menegaskan bahwa keberadaan seseorang dalam lingkungan tentu di satu pihak mengharuskan penyesuaian diri yang terus menerus untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas.Di lain pihak,identitas asal yang telah menjadi bagian sejarah kehidupan seseorang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, bahkan kebudayaan asal cenderung menjadi pedoman kehidupan di tempat yang baru.

Reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya. Parsudi Suparlan, misalnya, telah memperlihatkan adanya berbagai bentuk ekspresi kebudayaan yang mengalami proses intensifikasi oleh orang Jawa yang ada di Suriname (Suparlan,1995). Demikian pula orang-orang Jawa yang ada di berbagai lokasi transmigrasi, di lingkungan-lingkungan sosial budaya yang berbeda dengan kebudayaan Jawa, kebudayaan dalam konteks semacam ini dihadirkan melalui simbol-simbol yang menegaskan kehadiran identitas kelompok.

Geertz (1989:223) mengatakan bahwa seni adalah sistem budaya. Di mana nilai tersebut diberikan, dilekatkan, dan dibiasakan oleh masyarakat sebagai pedoman interaksi pada warga masyarakat. Sejalan dengan perkembangan


(23)

peradaban, kebutuhan manusia akan seni ini menjadikan seni tidak terpisahkan dengan unsur-unsur penunjang kehidupan manusia yang lain seperti teknologi, ilmu pengetahuan, bahasa, ekonomi, dan kepercayaan. Kesemuanya ini saling terkait dan berfungsi sebagai penunjang kehidupan manusia. Kecerdasan manusia yang terus meningkat memicu manusia untuk menjadikan pemenuhan kebutuhan sebagai tantangan. Begitu pula dengan kebutuhan akan kesenian. Berbagai upaya dilakukan oleh para pelaku seni untuk terus dapat menciptakan karya seni yang unik dan menarik, serta memenuhi kebutuhan pasar. Hal inilah yang menjadikan karya-karya seni bersifat dinamis dan terus mengalami perubahan.

Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa sifat khas dalam suatu kebudayaan dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur lainnya sulit untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa. Penanda identitas dari kebudayaan suatu kelompok etnis dapat dilihat dari adat istiadat yang secara bersama disepakati dan dijalankan.

Masyarakat memiliki kepentingan dan kebutuhan yang tidak terbatas, meskipun manusia yang menjadi bagian dari masyarakat memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Secara garis besar bisa dinyatakan bahwa sifat dari keinginan tersebut tidak terbatas (Amsyari, 1986:15). Sedangkan alat untuk memenuhi keinginan dari masyarakat itu terbatas. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama(Koentjaraningrat, 1996).


(24)

Suatu kelompok atau grup juga merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya, dengan adanya sistem interaksi antara para anggota, dengan adanya adat istiadat serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, dengan adanya kontinuitas, serta dengan adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Namun, selain ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi dan sistem pimpinan, dan selalu tampak sebagai kesatuan dari individu-individu pada masa-masa yang secara berulang berkumpul dan kemudian bubar lagi(Koentjaraningrat, ibid).

Mengikuti pendapat Malinowski yang menyebutkan bahwa berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dan makhluk manusia. Dengan demikian, unsur ―kesenian‖ misalnya, mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan; unsur sistem pengetahuan untuk memuaskan hasrat naluri manusia untuk tahu.

1.3Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan di awal, maka yangmenjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana eksistensi reog yang diwujudkan oleh grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari?

Permasalahan ini akan dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut:


(25)

1. Bagaimana bentuk reog yang dipertunjukkan oleh grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari Riau?

2. Bagaimana kontinuitas dan perubahan kesenian reog yang diwujudkan grup Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari?

3. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan grup Sri Karya Manunggal untuk melestarikan kesenian reog di Desa Bangko Lestari?

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan pertunjukan reog sebagai identitas yang mempunyai ciri-ciri khusus dalam pertunjukannya yang ada di desa Bangko Lestari.

2. Untuk mengetahui perubahan dankontinuitas yang ditampilakn grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari yang merupakan grup yang paling menonjol di desa tersebut dan masih berupaya mempertahankan keseniannya dengan cara tersendiri agar kesenian tersebut tetap diminati oleh para penggemarnya.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan infomasi kepada pihak-pihak yang terkait dalam

hal ini untuk dapat diambil kebijakan-kebijakan untuk permasalahan terkait dengan seni reogdan grup reog.


(26)

2. Untuk memperkaya bahan bacaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik khususnya Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara.

1.5Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bangko Lestari, Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau. Penelitian dilakukan khususnya di Desa Bangko Lestari yang terdapat kesenian reog dengan kelompok atau grupnya yang bernama Sri Karya Manunggal yang terkenal paling populer dan disukai banyak orang dan juga di Desa lainnya di Kecamatan Bangko Pusako yang ketika peneliti melakukan observasi sedang menggelar acara hiburan reog ini. Peneliti tidak membuat jadwal penelitian secara detail, tetapi disesuaikan dengan waktu apabila adanya penyelenggaran acara seni reogdi daerah tersebut. Peneliti mengetahui adanya penyelenggaraan seni reog berdasarkan informasi dari masyarakat.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala lain dalam suatu masyarakat.7

7Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Teeori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia Press. hlm. 29.


(27)

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat mengenai fakta dari pertunjukan dan konteks sosial Reog Ponorogopada kebudayaan masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:45).

Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah adalah suatu metode yang telah lama dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920-an dan 1930-an. Hasil penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan dengan menggunakan lintas disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang kompleks dan saling terjalin.


(28)

Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diuraikan berikut ini.

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4, dalam Denzin dan Lincoln, 1995:33).

Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan kadangkala kounterdisiplin. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat mendukung perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia.

Bagi aliran teori fenomenologi berpadangan bahwa apa yang tampak di permukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari hanyalah suatu gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di ―kepala‖ sang pelaku. Perilaku apa pun yang tampak ditingkat permukaan baru bisa dipahami atau dijelaskan manakala bisa mengungkap atau membongkar apa yang tersembunyi dalam dunia kesadaran atau dunia pengetahuan si manusia pelaku.


(29)

Demikian juga dalam rangka penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan kajian yang bersifat multidisiplin. Kemudian penelitian ini juga pendekatan multiparadigmatik yang bersumber dari para informan dan masyarakat pendukung kebudayaan reog ini. Penulis meneliti secara alamiah saja apa yang terjadi di lapangan penelitian. Kemudian penulis menafsirkan apa yang dilihat, dikumpulkan tersebut dengan ilmu antropologi dan ilmu-ilmu lainnya.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data-data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan melalui wawancara kepada informan awal, Informan kunci, informan biasa, observasi, dokumentasi, dan perekaman pertunjukan.

Dalam penelitian kualitatif, dikenal istilah informan awal, informan kunci dan informan biasa. Informan awal adalah orang yang pertama memberi informasi yang memadai ketika peneliti mengawali penelitian. Informan awal dalam penelitian ini adalah Bang Parino. Informan kunci merupakan orang yang bisa dikategorikan paing banyak mengetahui, menguasai informasi dan permasalahan penelitian. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Bapak Tukijo atau lebih sering dipanggil Mbah Bolong yang merupakan pengurus yang paling lama di grup Sri Karya Manunggal dan Bapak Ebdi Irwanto selaku gambuh (pemanggil roh halus) dalam kesenian reog. Sedangkan Informan biasa adalah informan bebas yang dapat diwawancarai dan bisa memberikan informasi yang mendukung penelitian seperti tokoh masyarakat yang ada di Desa Bangko Lestari.


(30)

Data perekaman dilakukan di rumah kediaman salah satu warga yang menyelenggarakan acara mengayunkan (memberi nama pada bayi) dengan menanggap kesenian reog pada tanggal 29 Mei 2015. Dalam hal ini penulis menggunakan alat perekam kamera untuk mengambil foto atau video pada saat pertunjukan dimulai.

Sedangkan data sekunder akan peneliti dapatkan melalui sumber dari buku, majalah, jurnal, artikel, skripsi, sumber online atau internet,dan sumber-sumber lain yang relavan dengan topik dan masalah penelitian.Demikian teknik pengumpulan data yang penulis lakukan.

1.6.3 Teknik Wawancara

Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara bertahap dan mendalam (depth interview) untuk mendapat data-data dari informan kunci dengan menggunakan alat bantu rekam (tape recorder) untuk menghindari kemungkinan keterlambatan penulis dalam mengikuti alur wawancara yang dilakukan terhadap informan. Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan informasi, penulis juga menggunakan teknik Snow Ball (salah satu teknik wawancara, dimana informasi yang didapat adalah melalui proses wawancara yang menghubungkan satu informasi ke informasi lainnya, sehingga menjadi suatu kesatuan data yang mengarahkan peneliti kepada informan-informan yang mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian). Pemilihan waktu untuk melaksanakan wawancara disesuaikan dengan keadaan di lapangan dan kegiatan masyarakat di lokasi penelitian.


(31)

1.6.4 Teknik Observasi

Observasi dilakukan untuk dapat memperoleh gambaran tentang masyarakat yang sebenar-benarnya baik tindakan, percakapan, tingkah laku dan akan dilakukan dengan keterlibatan peneliti secara langsung dalam kehidupan masyarakat yang diteliti seperti kegiatan, percakapan dan pekerjaan mereka. Peneliti juga akan berusaha membangun rapport dengan orang yang terlibat dalam suatu kegiatan kesenian reog di Desa Bangko Lestari.

Dalam melakukan observasi di lapangan, penulis bertindak sebagai pengamat terlibat (participant observer). Dalam hal ini, penulis melakukan sebisa mungkin apa yang dilakukan para seniman reogdi desa ini. Adapun yang penulis lakukan dalam hal ini adalah mencoba pengalaman memakai topeng Bujangganong, demikian pula penulis ikut dalam sesi latihan memainkan saron dalam ensambel gamelan pada kelompok reog ini. Tujuannya adalah sebagai pendekatan dalam konteks penelitian yang mengalir apa adanya.

1.6.5 Pengalaman Penelitian

Pada mulanya saya sudah lama mengetahui kesenian Jawa yang sering ditampilkan di kecamatan Bagan Sinembah seperti kesenian kuda kepang. Namun kalau kesenian reog, saya sama sekali belum pernah tahu kalau ternyata sering tampil di Bagan Batu yang merupakan kota kelahiran saya. Saya mengetahuinya dari salah satu abang dari teman saya yaitu Bang Parino yang selalu update kapan saja ada pertunjukan reog. Dia mengatakan bahwa grup kesenian yang beda dengan grup yang lain itu adalah grup Sri Karya Manunggal. Ini adalah grup yang unik kalau tampil karena penarinya banyak dan orang banyak yang suka ―kata


(32)

Bang Parino. Ia pun menyarankan saya agar melakukan penelitian pada grup tersebut karena dianggapnya grup tersebut juga grup yang paling lama dan sering tampil sampai ke luar daerah.

Esok harinya saya bersama teman saya mendatangi salah satu rumah dari anggota group Sri Karya Manunggal yaitu Bapak Tukijo atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Bolong dimana ia adalah seorang seniman yang paling tua di grup tersebut dan sampai sekarang masih mempertahankan keseniannya tersebut. Semua peralatan dan perlengkapan pemain disimpan dirumah Mbah Bolong. Pada tanggal 5 Mei 2015 ini pertama kalinya saya datang kerumah Mbah Bolong membawa buah-buahan bersama teman saya Aseng dengan menggunakan sepeda motor ke tempat lokasi tersebut dengan jarak tempuh sekitar 40 menit. Kedatangan kami disambut oleh seorang gadis dan ibu-ibu yang sudah tua. Mereka menanyakan kedatangan saya dan kebetulan Mbah Bolong tidak ada dirumahnya karena belum pulang dari kerjanya. Mbah Bolong bekerja sebagai petani perkebunan karet milik sendiri dan juga dikelolanya sendiri. Pada waktu itu pun saya memperkenalkan diri dan menceritakan tujuan kedatangan saya kepada ibu dan gadis tersebut. Lalu ia pun menyuruh kami untuk menunggu Mbah pulang karena tidak lama lagi akan segera pulang dari kerjanya.

Kemudian beberapa menit kemudian Mbah Bolong pun pulang dari kerjanya. Ia keliahatan sangat lelah namun diusianya yang sudah 63 tahun itu masih kuat untuk bertani demi mencari nafkah untuk keluarganya. Ia duduk sebentar untuk melepaskan rasa lelahnya itu kemudian dibuatkan teh oleh ibu yang sudah cukup tua tadi yang ternyata adalah isteri Mbah Bolong tersebut. Kemudian ibu itu datang lagi dengan membawakan minuman untuk saya dan


(33)

teman saya. Saya dan teman saya bersalaman dan memperkenalkan diri kepada Mbah Bolong. Lalu saya menceritakan maksud dan tujuan penulis datang kerumahnya dan ternyata ia sudah mengetahuinya. Ia tahu dari Bang Parino yang sudah terlebih dahulu menelfon Mbah Bolong bahwasanya ada yang ingin melakukan penelitian pada grup kesenian reognya tersebut. Kemudian saya pun mulai berbincang mengenai grup kesenian yang dikelolanya tersebut. Tak lama kemudian tetangga Mbah Bolong menghampiri kami. Walaupun ia tidak anggota dari pemain reog, ternyata ia juga paham mengenai kesenian reog. ia juga merupakan teman dekat Mbah Bolong di desa itu.

Mbah Bolong memperkenalkan kepada saya tentang satu persatu peralatan pemain kesenian reognya beserta maknanya . Mulai dari jaran kepang (eblek), topeng Hanoman, topeng Bujangganong, dan terakhir topeng Dhadhak Merak. Mbah Bolong mengatakan bahwa semenjak masuknya kesenian reog ini penanggap semakin sering datang dan penontonnya pun semakin ramai. Dan diitambah lagi dengan kesenian Hanomannya itu. Ini baru pertama kali saya mengetahui bentuk-bentuk asli topeng-topeng tersebut terutama topeng dhadhak merak yang besar itu dan ditutupi oleh kain berwarna merah. Setelah asik-asik mengobrol dengan Mbah Bolong dan temannya itu waktu pun sudah larut malam. Dan kami pun pamit pulang.

Dua hari kemudian saya datang lagi kerumah Mbah Bolong lagi dan ternyata rumahnya sudah ada Bapak Ebdi Irwanto dan Bang Beni Ilham yang merupakan kepengurusan grup Sri Karya Manunggal yang sering bermain kerumah Mbah Bolong. Saya pun memperkenalkan diri lagi kepada mereka dan seperti biasanya menceritakan tentang maksud dan tujuan kedangan saya ke Desa


(34)

Bangko Lestari. Mereka tampak sangat ramah dan tamah. Tanpa saya bertanya mereka asik bercerita tentang seni yang mereka bina itu dan saya pun tidak merasa canggung lagi untuk bertanya kepada mereka. Ketika berbicara tentang reog, wajah mereka terlihat sangat serius dan sepertinya suka jika saya bertanya tentang kesenian merekadan juga menjadi kebanggan tersendiri bagi mereka. Kesenian reog mereka dianggap sakral bagi mereka. Saya berkali-kali mendengar ―Gembong Bawono‖ dari ucapan mereka. Ternyata mereka sangat bangga punya kesenianreog yang di beri nama Gembong Bawono yang artinya preman alas (penguasa hutan) itu.

Cerita demi cerita waktupun sudah menunjukkan pukul 17:00 Wib dan akhirnya pamit pulang. Sebelum saya pamit mereka memberitahu kepada saya bahwa tanggal 29 Mei 2015 nanti akan ada pertunjukan reogdi desa tersebut dalam acara mengayunkan (memberi nama pada bayi).

Pada tanggal 29 Mei 2015 saya kembali lagi ke desa Bangko Lestari untuk menyaksikan pertunjukan reog yang dilaksanakan pada malam hari. Saya berangkat dari rumah bersama teman saya Aseng. Ketika pertunjukan belum dimulai, saya pun mewawancarai orang disekitar saya terutama yang menanggap kesenian reog ini. Alasan ia menanggap kesenian ini adalah bahwa seni reog ini sudah menjadi tradisi di desa mereka. Jika tidak nanggap kesenian ini rasanya ada yang kurang. Kesenian ini juga sebagai bertujuan untuk slametan atas kelahiran anaknya.

Pertunjukan pun akhirnya dimulai dan akhirnya saya pun mengambil tempat yang berdekatan dengan penonton. Pemain musik Gamelan mulai memainkan musiknya. Penonton pun semakin ramai memasuki area pertunjukan.


(35)

Penari Hanoman mulai memasuki lapangan pertunjukan. Setelah penari Hanoman selesai dilanjutkan dengan penari Bujangganong yang bergaya salto dan cerdik. Kemudian masuklah penari topeng Dhadhak Merak yang menari bersama Bujangganong. Kemudian dilsusul dengan penari Jathil laki-laki. Berbagai kalangan ikut meramaikan pertunjukan itu, mulai dari anak-anak hingga yang dewasa turut menikmati pertunjukan itu. Dan ketika semua penari selesai maka seperti tradisi biasanya yang dilakukan grup ini adalah beraksi dengan bermain api. Sebelumnya keadaan para pemain hampir semua5 dalam keadaan mabuk. Setelah itu barulah mereka melakukan aksi bermain dengan api.

Penonton masih begitu ramai padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23:30 WIB dan masih ada juga yang ikut mabuk dan memasuki area pertunjukan. Jumlah yang mabuk tidaklah sedikit sehingga gambuhsedikit kewalahan untuk membuat mereka sadar. Dan ketika semua pemain dan penonton yang dalam keadaan mabuk tersebut dapat disadarkan kembali barulah penonton satu persatu mulai bubar.

Pengalaman yang saya rasakan pada saat penelitian ini merupakan sebuah pengalaman yang baru karena saya belum pernah sama sekali menonton pertunjukanreog secara langsung melainkan pernah menonton hanya dari televisi saja. Walaupun kesenian reog yang ada di Desa Bangko Lestari pertunjukannya tidak begitu lengkap seperti yang ada di Jawa namun peneliti sebagai orang Jawa sangat salut dan bangga kepada mereka yang masih melestarikan dan mampu mempertahankan kebudayaan Jawa di zaman modernisasi ini.


(1)

Data perekaman dilakukan di rumah kediaman salah satu warga yang menyelenggarakan acara mengayunkan (memberi nama pada bayi) dengan menanggap kesenian reog pada tanggal 29 Mei 2015. Dalam hal ini penulis menggunakan alat perekam kamera untuk mengambil foto atau video pada saat pertunjukan dimulai.

Sedangkan data sekunder akan peneliti dapatkan melalui sumber dari buku, majalah, jurnal, artikel, skripsi, sumber online atau internet,dan sumber-sumber lain yang relavan dengan topik dan masalah penelitian.Demikian teknik pengumpulan data yang penulis lakukan.

1.6.3 Teknik Wawancara

Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara bertahap dan mendalam (depth interview) untuk mendapat data-data dari informan kunci dengan menggunakan alat bantu rekam (tape recorder) untuk menghindari kemungkinan keterlambatan penulis dalam mengikuti alur wawancara yang dilakukan terhadap informan. Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan informasi, penulis juga menggunakan teknik Snow Ball (salah satu teknik wawancara, dimana informasi yang didapat adalah melalui proses wawancara yang menghubungkan satu informasi ke informasi lainnya, sehingga menjadi suatu kesatuan data yang mengarahkan peneliti kepada informan-informan yang mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian). Pemilihan waktu untuk melaksanakan wawancara disesuaikan dengan keadaan di lapangan dan kegiatan masyarakat di lokasi penelitian.


(2)

1.6.4 Teknik Observasi

Observasi dilakukan untuk dapat memperoleh gambaran tentang masyarakat yang sebenar-benarnya baik tindakan, percakapan, tingkah laku dan akan dilakukan dengan keterlibatan peneliti secara langsung dalam kehidupan masyarakat yang diteliti seperti kegiatan, percakapan dan pekerjaan mereka. Peneliti juga akan berusaha membangun rapport dengan orang yang terlibat dalam suatu kegiatan kesenian reog di Desa Bangko Lestari.

Dalam melakukan observasi di lapangan, penulis bertindak sebagai pengamat terlibat (participant observer). Dalam hal ini, penulis melakukan sebisa mungkin apa yang dilakukan para seniman reogdi desa ini. Adapun yang penulis lakukan dalam hal ini adalah mencoba pengalaman memakai topeng Bujangganong, demikian pula penulis ikut dalam sesi latihan memainkan saron dalam ensambel gamelan pada kelompok reog ini. Tujuannya adalah sebagai pendekatan dalam konteks penelitian yang mengalir apa adanya.

1.6.5 Pengalaman Penelitian

Pada mulanya saya sudah lama mengetahui kesenian Jawa yang sering ditampilkan di kecamatan Bagan Sinembah seperti kesenian kuda kepang. Namun kalau kesenian reog, saya sama sekali belum pernah tahu kalau ternyata sering tampil di Bagan Batu yang merupakan kota kelahiran saya. Saya mengetahuinya dari salah satu abang dari teman saya yaitu Bang Parino yang selalu update kapan saja ada pertunjukan reog. Dia mengatakan bahwa grup kesenian yang beda dengan grup yang lain itu adalah grup Sri Karya Manunggal. Ini adalah grup yang unik kalau tampil karena penarinya banyak dan orang banyak yang suka ―kata


(3)

Bang Parino. Ia pun menyarankan saya agar melakukan penelitian pada grup tersebut karena dianggapnya grup tersebut juga grup yang paling lama dan sering tampil sampai ke luar daerah.

Esok harinya saya bersama teman saya mendatangi salah satu rumah dari anggota group Sri Karya Manunggal yaitu Bapak Tukijo atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Bolong dimana ia adalah seorang seniman yang paling tua di grup tersebut dan sampai sekarang masih mempertahankan keseniannya tersebut. Semua peralatan dan perlengkapan pemain disimpan dirumah Mbah Bolong. Pada tanggal 5 Mei 2015 ini pertama kalinya saya datang kerumah Mbah Bolong membawa buah-buahan bersama teman saya Aseng dengan menggunakan sepeda motor ke tempat lokasi tersebut dengan jarak tempuh sekitar 40 menit. Kedatangan kami disambut oleh seorang gadis dan ibu-ibu yang sudah tua. Mereka menanyakan kedatangan saya dan kebetulan Mbah Bolong tidak ada dirumahnya karena belum pulang dari kerjanya. Mbah Bolong bekerja sebagai petani perkebunan karet milik sendiri dan juga dikelolanya sendiri. Pada waktu itu pun saya memperkenalkan diri dan menceritakan tujuan kedatangan saya kepada ibu dan gadis tersebut. Lalu ia pun menyuruh kami untuk menunggu Mbah pulang karena tidak lama lagi akan segera pulang dari kerjanya.

Kemudian beberapa menit kemudian Mbah Bolong pun pulang dari kerjanya. Ia keliahatan sangat lelah namun diusianya yang sudah 63 tahun itu masih kuat untuk bertani demi mencari nafkah untuk keluarganya. Ia duduk sebentar untuk melepaskan rasa lelahnya itu kemudian dibuatkan teh oleh ibu yang sudah cukup tua tadi yang ternyata adalah isteri Mbah Bolong tersebut. Kemudian ibu itu datang lagi dengan membawakan minuman untuk saya dan


(4)

teman saya. Saya dan teman saya bersalaman dan memperkenalkan diri kepada Mbah Bolong. Lalu saya menceritakan maksud dan tujuan penulis datang kerumahnya dan ternyata ia sudah mengetahuinya. Ia tahu dari Bang Parino yang sudah terlebih dahulu menelfon Mbah Bolong bahwasanya ada yang ingin melakukan penelitian pada grup kesenian reognya tersebut. Kemudian saya pun mulai berbincang mengenai grup kesenian yang dikelolanya tersebut. Tak lama kemudian tetangga Mbah Bolong menghampiri kami. Walaupun ia tidak anggota dari pemain reog, ternyata ia juga paham mengenai kesenian reog. ia juga merupakan teman dekat Mbah Bolong di desa itu.

Mbah Bolong memperkenalkan kepada saya tentang satu persatu peralatan pemain kesenian reognya beserta maknanya . Mulai dari jaran kepang (eblek), topeng Hanoman, topeng Bujangganong, dan terakhir topeng Dhadhak Merak. Mbah Bolong mengatakan bahwa semenjak masuknya kesenian reog ini penanggap semakin sering datang dan penontonnya pun semakin ramai. Dan diitambah lagi dengan kesenian Hanomannya itu. Ini baru pertama kali saya mengetahui bentuk-bentuk asli topeng-topeng tersebut terutama topeng dhadhak merak yang besar itu dan ditutupi oleh kain berwarna merah. Setelah asik-asik mengobrol dengan Mbah Bolong dan temannya itu waktu pun sudah larut malam. Dan kami pun pamit pulang.

Dua hari kemudian saya datang lagi kerumah Mbah Bolong lagi dan ternyata rumahnya sudah ada Bapak Ebdi Irwanto dan Bang Beni Ilham yang merupakan kepengurusan grup Sri Karya Manunggal yang sering bermain kerumah Mbah Bolong. Saya pun memperkenalkan diri lagi kepada mereka dan seperti biasanya menceritakan tentang maksud dan tujuan kedangan saya ke Desa


(5)

Bangko Lestari. Mereka tampak sangat ramah dan tamah. Tanpa saya bertanya mereka asik bercerita tentang seni yang mereka bina itu dan saya pun tidak merasa canggung lagi untuk bertanya kepada mereka. Ketika berbicara tentang reog, wajah mereka terlihat sangat serius dan sepertinya suka jika saya bertanya tentang kesenian merekadan juga menjadi kebanggan tersendiri bagi mereka. Kesenian reog mereka dianggap sakral bagi mereka. Saya berkali-kali mendengar ―Gembong Bawono‖ dari ucapan mereka. Ternyata mereka sangat bangga punya kesenianreog yang di beri nama Gembong Bawono yang artinya preman alas (penguasa hutan) itu.

Cerita demi cerita waktupun sudah menunjukkan pukul 17:00 Wib dan akhirnya pamit pulang. Sebelum saya pamit mereka memberitahu kepada saya bahwa tanggal 29 Mei 2015 nanti akan ada pertunjukan reogdi desa tersebut dalam acara mengayunkan (memberi nama pada bayi).

Pada tanggal 29 Mei 2015 saya kembali lagi ke desa Bangko Lestari untuk menyaksikan pertunjukan reog yang dilaksanakan pada malam hari. Saya berangkat dari rumah bersama teman saya Aseng. Ketika pertunjukan belum dimulai, saya pun mewawancarai orang disekitar saya terutama yang menanggap kesenian reog ini. Alasan ia menanggap kesenian ini adalah bahwa seni reog ini sudah menjadi tradisi di desa mereka. Jika tidak nanggap kesenian ini rasanya ada yang kurang. Kesenian ini juga sebagai bertujuan untuk slametan atas kelahiran anaknya.

Pertunjukan pun akhirnya dimulai dan akhirnya saya pun mengambil tempat yang berdekatan dengan penonton. Pemain musik Gamelan mulai memainkan musiknya. Penonton pun semakin ramai memasuki area pertunjukan.


(6)

Penari Hanoman mulai memasuki lapangan pertunjukan. Setelah penari Hanoman selesai dilanjutkan dengan penari Bujangganong yang bergaya salto dan cerdik. Kemudian masuklah penari topeng Dhadhak Merak yang menari bersama Bujangganong. Kemudian dilsusul dengan penari Jathil laki-laki. Berbagai kalangan ikut meramaikan pertunjukan itu, mulai dari anak-anak hingga yang dewasa turut menikmati pertunjukan itu. Dan ketika semua penari selesai maka seperti tradisi biasanya yang dilakukan grup ini adalah beraksi dengan bermain api. Sebelumnya keadaan para pemain hampir semua5 dalam keadaan mabuk. Setelah itu barulah mereka melakukan aksi bermain dengan api.

Penonton masih begitu ramai padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23:30 WIB dan masih ada juga yang ikut mabuk dan memasuki area pertunjukan. Jumlah yang mabuk tidaklah sedikit sehingga gambuhsedikit kewalahan untuk membuat mereka sadar. Dan ketika semua pemain dan penonton yang dalam keadaan mabuk tersebut dapat disadarkan kembali barulah penonton satu persatu mulai bubar.

Pengalaman yang saya rasakan pada saat penelitian ini merupakan sebuah pengalaman yang baru karena saya belum pernah sama sekali menonton pertunjukanreog secara langsung melainkan pernah menonton hanya dari televisi saja. Walaupun kesenian reog yang ada di Desa Bangko Lestari pertunjukannya tidak begitu lengkap seperti yang ada di Jawa namun peneliti sebagai orang Jawa sangat salut dan bangga kepada mereka yang masih melestarikan dan mampu mempertahankan kebudayaan Jawa di zaman modernisasi ini.