Kontinuitas dan Perubahan Grup Reog Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari Riau

(1)

DAFTAR INFORMAN PENELITIAN

Nama : Tukijo (Mbah Bolong)

Umur : 63 tahun

Alamat : Jl. Pasar Balak, Bangko Lestari.

Pekerjaan : Petani

Peran untuk Penelitian: Informan kunci yang menjadi pemimpin sekaligus pemain gamelan pada Grup Reog Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari dan sekitarnya.

Nama : Ebdi Irwanto

Umur : 52 tahun

Alamat : Jl. Pasar Balak, Bangko Lestari

Pekerjaan : Petani

Peran untuk Penelitian: Informan kunci yang menjadi sekretaris sekaligus gambuh

pada Grup Reog Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari dan sekitarnya.

Nama : Parino

Umur : 29 tahun

Alamat : Desa Pelita, Bagan Batu

Pekerjaan : Petani

Peran untuk Penelitian: Informan awalyang menunjukkan lokasi grup Sri Karya Manunggal


(2)

124

Nama : Beni Ilham

Umur : 28 tahun

Alamat : Jl. Pasar Balak, Bangko Lestari

Pekerjaan : Wiraswasta

Peran untuk Penelitian: Informan kunci yang menjadi ketua sekaligus pembarong

pada Grup Reog Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari dan sekitarnya.

Nama : Rahmat

Umur : 47 Tahun

Alamat : Jl. Pasar Balak, Bangko Lestari

Pekerjaan : PNS

Peran untuk Penelitian: Informan pangkal yang memberikan data-data di desa Bangko Lestari.

Nama : Sarno

Umur : 45 tahun

Alamat : Jl. Pasar Balak, Bangko Lestari

Pekerjaan : Petani

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang menjadi anggota pemain gamelan pada Grup Reog Sri Karya Manunggal

Nama : Warsito

Umur : 46 Tahun

Alamat : Bangko Lestari

Pekerjaan : Petani

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang menjadi anggota pemain gamelan pada Grup Reog Sri Karya Manunggal


(3)

Nama : Saiful (Cipul)

Umur : 46 Tahun

Alamat : Bangko Lestari

Pekerjaan : Petani

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang menjadi anggota pemain gamelan pada Grup Reog Sri Karya Manunggal

Nama : Jalal

Umur : 43 Tahun

Alamat : Bangko Lestari

Pekerjaan : Wiraswasta

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang menjadi anggota pemain gamelan pada Grup Reog Sri Karya Manunggal

Nama : Iin

Umur : 26 tahun

Alamat : Jl. Pasar Balak, Bangko Lestari

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Peran untuk Penelitian: informan biasa yang memberikan informasi terkait dengan seni reog di desa Bangko Lestari.

Nama : Dayat

Umur : 43 tahun

Alamat : Simpang Riset, Bagan Batu

Pekerjaan : Petani

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang memberikan informasi terkait dengan seni reog di desa Bangko Lestari.


(4)

126

Nama : Sukma

Umur : 30 tahun

Alamat : Jl. Pasar Balak, Bangko Lestari

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Peran untuk Penelitian:Informan biasa yang memberikan informasi terkait dengan seni reog di desa Bangko Lestari.

Nama : Dani

Umur : 24 tahun

Alamat : Bangko Lestari

Pekerjaan : Wiraswasta

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang memberikan informasi terkait dengan seni reog di desa Bangko Lestari.

Nama : Alif

Umur : 23 tahun

Alamat : Bangko Lestari

Pekerjaan : Wiraswasta

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang memberikan informasi terkait dengan seni reog di desa Bangko Lestari.

Nama : Cici

Umur : 18 Tahun

Alamat : Balai Jaya

Pekerjaan : Pelajar

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang memberikan informasi terkait dengan seni reog di desa Bangko Lestari.


(5)

Nama : Bayu

Umur : 20 Tahun

Alamat : Bangko Lestari

Pekerjaan : Belum bekerja

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang menjadi anggota pemain kuda kepang pada Grup Reog Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari dan sekitarnya.

Nama : Eko (Doyok)

Umur : 19 tahun

Alamat : Bangko Lestari

Pekerjaan : Belum bekerja

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang menjadi anggota pemain kuda kepang pada Grup Reog Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari dan sekitarnya.

Nama : Saher

Umur : 18 tahun

Alamat : Bangko Lestari

Pekerjaan : pelajar

Peran untuk Penelitian: Informan biasa yang menjadi anggota pemain kuda kepang pada Grup Reog Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari dan sekitarnya.


(6)

128

DAFTAR INTERVIEW GUIDE

No. Perihal Pertanyaan Informan

1. Pendapat Informan Pangkal Mengenai Kesenian Reog dan Masyarakat Jawa Transmigrasi yang ada di Desa Bangko Lestari

Bagaimana menurut Bapak mengenai orang Jawa Transmigrasi di desa ini yang membawa kesenian Reog sebagai identitas mereka?

Bapak Rahmat selaku

Sekretaris Desa

2. Tanggapan dari

Kepengurusan grup Sri Karya Manunggal

Bagaimana sejarah masuknya kesenian

Reog ini dan awal terciptanya grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari? Bagaimana beradaptasi dengan masyarakat Melayu di desa ini dan apa tanggapan mereka mengenai kesenian

Reog ini?

Apakah ada perubahan dari pertunjukan seni

Reog ini? Bagaimana mempertahankan kesenian ini di era modernisasi seperti sekarang ini? Apa yang membuat grup ini dikenal dan digemari oleh banyak orang baik yang ada di desa ini maupun di tempat lainnya?

Bapak Tukijo (Mbah Bolong),

Bapak Ebdi

Irwanto, dan Beni Ilham

3. Pendapat masyarakat sekitar mengenai seni

Reog pada grup Sri Karya Manunggal

Bagaimana menurut anda tentang kesenian

Reog pada grup Sri Karya Manunggal?

Dani, Parino,

Sukma, Iin,

Bayu, Saher, Eko


(7)

Apakah anda suka dengan kesenian tersebut? Jika suka coba anda jelaskan alasannya?

Foto dibawah ini adalah para penonton pertunjukan seni reog mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.

Foto dibawah ini merupakan kelompok pemain Gamelan yang mengambil posisi masing-masing sebelum pertunjukan dimulai.


(8)

130

Foto Bersama Mbah Bolong dan Bang Beni Ilham sebeagai kepengurusan grup Sri Karya Manunggal


(9)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan

2006 Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdulrachman

1992 Keroncong Tugu, Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI. Alkaf, Mukhlas

2013 ―Berbagai Ragam Sesajen pada Pementasan Tari Rakyat dalam Ritual Slametan.‖ Gelar, Jurnal Seni Budaya. Volume 11. No: 2. Hal. 211-223.

Daud, Hamzah

1974 ―Perkembangan Musik Pop Hingga Sekarang.‖ Kertas kerja Seminar Muzik Nasional, 3 November.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.)

1995 Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

1985 Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan

Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Fachriya, Indri Arum

2009 Tari Topeng Endel dalam Perkembangan dan Pelestarian Khas Tegal (Studi di Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten Tegal). Semarang: Universitas negeri Semarang (Skripsi Sarjana Pendidikan Sosiologi dan Antropologi).

Fauzannafi, Zamzam M.

2005 Reog Ponorogo: Menari Di Antara Dominasi dan

Keragaman. Yogyakarta: Kepel Press. Ganap, Victorius

1999 ―Tugu Village: A Historical Monument of Kroncong Music

in the Indonesian Cultural Map,‖ Laporan Penelitian, ISI


(10)

118

Geertz, Clifford

1989 Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Terj. Mahasin Wahab. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Gillin, J.L. dan J.P. Gilin

1942 Cultural Sociology. New York: The Mac Millan Company. Goldsworthy, David J.

1979 Melayu Music of North Sumatra: Continuities and

Changes. Sydney: Monash University (Disertasi Doktoral). Harmunah

1994 Musik Keroncong, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Hartono

1980 Reyog Ponorogo. Jakarta: Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/ Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi,

Depdikbud. Heins, Ernst

1975 ―Kroncong and Tanjodor: Two Cases of Urban Folk Music

in Jakarta,‖ dalam Asian Music, vol. VII No. 1. Husni, Tengku Lah

1986 Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Johnston, Hnak, Enrique Larana, dan Joseph R. Gusfield (eds.)

1994 New Social Movement: From Ideology to Identity. San Diego: San Dieogo State University.

Kayam, Umar

2000 Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Printika. Koentjaraningrat

1990 Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Koentjaraningrat

1996 Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kornhauser, Bronia

1978 ―In Defence of Kroncong,‖ Monash Papers on Southeast Asia No. 7, Center of Southesat Asian Studies, Monash University.

Lauer, Robert H.

1993 Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta (terjemahan Alimandan).


(11)

Malm, William P.

1977 Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia.

Englewwod Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Martono, Hendro

2012 ―Reog Obyogan Sebagai Profesi.‖ dalam Jurnal Eksis.

Volume 3 No.01. Hal. 37. Melalatoa, Junus

1997 Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Pamor.

Merriam, Alan P.

1964 The Anhropology of Music. Chicago: North Western Univer- sity Prees.

Narrol, R.

1965 "Ethnic Unit Classification." Current Anthropology, volume 5 No. 4." hlm. 32.

Nasaruddin, Mohd. Ghouse

2000 Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Nasir, Ridlwan

2007 Mazhab-Mazhab Antropologi. Yogyakarta: PT LKIS

Pelangi Aksara. Nursilah

2001 Reyog Ponorogo: Kajian terhadap Seni Pertunjukan Rakyat sebagai Identitas Budaya. Medan: Jurusan Antropologi, Universitas Sumatera Utara Medan. Patersen, William

1995 "Migration: Social Aspects," International Encyclopedia of the Sosial Sciences, volume 9, David L. Sills (ed.), New York dan London: The Macmillan Publishers. Pigeaud, Th.

1938 Javaans-Nederlands handwoordenboek. Groningen/ Batavia: Wolters.

Poerwowijoyo


(12)

120

Putra, Heddy Shri Ahimsa

2006 Strukturalisme Levi-Strauss : Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press: Kepel Press.

Radcliffe-Brown, A.R.

1952Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.

Rahman, Elmustian, dkk.

2009 Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu. Pekan baru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.

Riyanto, Sudiro Agus,

1996 ―Eksistensi Keroncong Tugu dalam Aktivitas Kehidupan

Masyarakat Kampung Tugu,‖ skripsi sarajana di ISI

Yogyakarta. Sadarmo, R. dan R. Suryono

1985 ―Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat

Jawa Deli.‖ Makalah pada Seminar Keserasian Sosial

dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan di Medan 1985. Sedyawati, Edi

2003 Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT.

Sheppard, Mubin Sheppard

1972 Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. London: Oxford University Press.

Sitopu, Dina M.

2008 ―Studi Deskriptif Pertunjukan Reog Ponorogo Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.‖ Skripsi S-1 belum diterbitkan. Medan: Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU. Soemardjo, Jacob

1995 Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Soepono, Sri Saadah dan Simanullang, Sinsar

1999 Keberadaan Paguyuban-Paguyuban Etnik di Daerah

Perantauan dalam Menunjang Pembinaan Persatuan dan Kesatuan. Jakarta: UI Press.


(13)

Soekanto, Soerjono

1982 Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali. Suparlan, Parsudi

1995 Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Syaripudin, Arif ―Kesenian dalam Perubahan Kebudayaan.‖ dalam Jurnal

Penelitian Budaya. Vol.2 Tambayong, Yapi

2000 ―Keroncong, Dangdut, Prejudis, kekuasaan‖ dalam koran

Kompas 1 Januari. Jazuli, Muhammad

2000 ― Seni Pertunjukan Global Sebuah Pertarungan Ideologi Seniman‖. Bandung. Dalam Jurnal Seni Pertunjukan

Indonesia.

Takari, Muhammad dan Heristina Dewi

2008 Kebudayaan Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Thomas, Wijaya Bratawijaya

1997 Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa.Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Oktyawan, Dwi Surya

2014 Makna Simbolik Upacara Ritual dalam Kesenian Reog Ponorogo di Desa Kauman, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta (Skripsi Sarjana Pendidikan Seni Tari).

Gunawan, Eki

2015 Fungsi Kesenian Reog Ponorogo di Desa Kolam

(Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang). Medan. (Skripsi Sarjana Sosial).

Fitrianto, Andri

2013 Perubahan Makna dan Fungsi Reog Banjarharjo dalam Kehidupan Masyarakat (Studi Kasus Desa Banjarharjo, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes). Semarang. (Skripsi Sarjana Pendidikan Sosiologi dan Antropologi).


(14)

122

Pertiwi, Maria Elisa Ayu

2014 ―Kesenian Topeng Bekasi Sinar Seli Asih Kontinuitas dan Perubahan Simbol Kesuburan‖. Yogyakarta. (Skripsi

Sarjana dalam bidang Tari).

Sumber Lain:

https://id.wikipedia.org/wiki/Reog_%28Ponorogo%29(diakses pada tanggal 22 Juli 2015 pukul 21:00 WIB)

http://ruangkudisini.blogspot.co.id/2012/12/alat-musik-reog-ponorogo-(diakses pada tanggal 25 Juli 2015 pukul 10:00 WIB)

https://id.wikipedia.org/wiki/Hanoman (diakses pada tanggal 3 Agustus 2015 pukul 11:00 WIB.


(15)

BAB III

KEBERADAAN REOG PONOROGO DI DESA BANGKO LESTARI

3.1 Sejarah Berdirinya Grup Reog Sri Karya Manunggal

Sri Karya Manunggal merupakan salah satu grup kesenian reog yang ada di desa Bangko Lestari yang berdiri padatahun 1987 dibawah pimpinan Bapak Keswadi. Awalnya kesenian ini hanya ada kesenian kuda kepang(jaranan) saja yang pada waktu itu grupnya diberi nama Sri Karya. Kemudian pada tahun 2000 nama Sri Karya diganti dengan nama Sri Tunas Baru dibawah pimpinan Bapak Joni. Kemudian Pada tahun 2009 nama Sri Tunas Baru diganti lagi dengan nama Sri Karya Manunggal karena nama Sri Tunas Baru tersebut membuat para anggotanya tidak pernah tenteram. Berawal dari kesenian kuda kepang ini makaberdirilah kesenian reog pada tahun 2010 di bawah Pimpinan Bapak Tukijo atau yang lebih dikenal dengan Mbah Bolong sampai dengan sekarang.Kemunculannya kelompok ini berdiri sendiri yang mereka lakukan berdasarkan musyawarah mufakat bersama antar anggota kelompok kesenian. Karena tujuan utama kelompok kesenian ini dibentuk adalah untuk melestarikan serta mengembangkan kesenian tradisionalnya diluar daerah asalnya.

Sri Karya Manunggal berasal dari kata Sri yang berarti suka atau senang, karya berarti kerja, dan manunggal yaitu bersama atau bersatu. Jadi Sri Karya Manunggal adalah senang kerja secara bersama. Dengan nama Sri Karya Manunggal inilah maka ada kesenian reog. Sebelum ada kesenian reog, pendapatan yang mereka peroleh dari si penanggap masih dibawah satu juta


(16)

73

rupiah, namun setelah ada kesenian reog, pendapatan mereka meningkat sampai satu juta rupiah ke atas tergantung dekat jauhnya lokasi pertunjukan. Semakin jauh lokasinya maka semakin banyak biaya yang diperlukan seperti biaya transportasi yang sangat menentukan biaya untuk tanggapan tersebut.

Kesenian kuda kepang awalnya dirintis oleh bapak Topikin yang mempunyai ide untuk membuat jaran kepang di desanya. Kemudian bapak Topikin mengajak teman-temannya agar ikut bersamanya untuk membangun kesenian kuda kepang tersebut. Pada mulanya kesenian ini dibentuk oleh 6 orang seniman yaitu bapak Topikin, bapak Paidi, Bapak Wagiman, Bapak Tukiran, Bapak Kiman dan Bapak Tukijo (Mbah Bolong). Alat-alat yang digunakan untuk membuat kuda kepang tersebut sebagian dikirim dari pulau Jawa. Kemudian Bapak Tukiran bermusyawarah dengan temannya untuk membuat kuda kepang. Mereka bergotong royong mencari bambu dan membuat kuda kepangnya selama 3 hari sebanyak 6 kuda. Kemudian kuda kepang tersebut di cat oleh Bapak Wagiman dengan warna merah putih.

Setelah kuda kepang selesai dibuat dengan cat merah putihnya yang masih belum kering,namun esok harinya mereka langsung mengikuti festival kuda kepang di kecamatan Bangko Pusako untuk pertama kalinya pada tanggal 17 agustus 1987. Mereka mendapat juara pertama yang dinilai dari kostum, tarian, kerapian, dan musik. Waktu itu alat mereka masih sangat minim dan belum lengkap. Namun lama kelamaan kesenian ini terus berkembang dan diturunkan secara turun temurun hingga 8 generasi.

Setelah adanya keseniankuda kepang, barulah muncul kesenian yang lainnya seperti kesenian hanoman (kera putih). Mereka ingin mempertahankan


(17)

kesenian kuda kepang ini dengan cara menambah kesenian lainnya agar penonton tidak jenuh. Pada waktu itu mereka upayakan untuk membeli kelengkapan tarian

hanoman walaupun mahal. Kemudian pada tahun 2010 uang khas mereka meningkat dan digunakan untuk membeli lagi topeng barongan (dadhak merak) dan topeng ganongan. Dan setelah adanya kesenian reog inilah grup Sri Karya Manunggal semakin sering ditanggap oleh masyarakat.

Para anggota grup reog Sri Karya Manunggal hampir semua berasal dari orang tua yang juga memiliki jiwa seni sehingga bakat seni yang mengalir dan melekat pada diri mereka adalah merupakan bakat seni alami yang turun temurun dari generasi ke generasi, tanpa adanya pengetahuan pendidikan yang memadai khususnya dalam bidang kesenian yang mereka geluti sampai saat ini.

Kesenian Reog Ponorogo dan kuda kepang yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Perbedaan tersebut terdapat pada unsur magis (supranatural), dimana kesenian ini dulunya penuh dengan atraksi ilmu kanuragan1 serta mengandung resiko yang sangat membahayakan. MisalnyaDhadhak Merak

(Reog) naik diatas Dhadhak Merak yang lain (double dua), kuda lumping (kuda kepang)yang tidak dapat terlepas dari mistik sehingga membuat pertunjukannya unikdan menarik. Pemain dimasuki roh-roh leluhur sehingga mampu memakan benda-benda tajam seperti gelas, kaca silet, makan apidan masih banyak lagi atraksi-atraksi lainnya yang membahayakan serta penuh resiko. Maka kesenian

Reog yang ada didesa Bangko Lestari sudah tidak melakukan atraksi seperti yang dulu lagi seperti memakan kaca, silet, gelas, dan sebagainya. Mereka hanya

1Kanuragan

adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Kanuragan dapat diperoleh dengan cara yoga dan meditasi.


(18)

75

menggunakan api saja sebagai aksinya setelah semua tarian selesai dipertunjukkan. Hal itu sudah menjadi tradisi dari pertunjukan seni reog yang sudah dipadukan dengan kesenian kuda kepang tersebut.

Adapun susunan kepengurusan grup Sri Karya Manunggal adalah sebagai berikut: Beni Ilham sebagai Ketua, Tukijo (Mbah Bolong) sebagai Bendahara atau Penasihat dan Ebdi Irwanto sebagai Sekretaris. Mbah Bolong merupakan orang yang paling lama dalam membina kesenian tersebut di Desa Bangko Lestari sehingga namanya sudah banyak dikenal oleh masyarakat.

Gambar 3.1:Tiga Orang Pengurus Grup Sri Karya Manunggal

3.2 Ciri-ciriKhusus Kesenian Reog di Desa Bangko Lestari

Kesenian reog yang ada di Desa Bangko Lestari dibawa oleh masyarakat Jawa yang merantau dan ingin tetap melestarikan kesenian dari daerah asalnya. Kesenian reog di desa tersebut sudah mengalami banyak perubahan.


(19)

Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada ciri-ciri dari kesenian reog sebagai identitas mereka yang ditampilkan pada grup Sri Karya Manunggal sebagai berikut:

3.2.1 Reog Disajikan dalam Bentuk Sendratari

Dalam suatu pentas yang lengkap kesenian reogyang ada di Jawa Timur disajikan dalam bentuk sendratari empat babak. Sendratari ini menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju kerajaan Kediri ketika mempersunting putra putri raja Kediri tersebut. Gelombang perjalanan prajurit-prajurit ini dipimpin oleh senopati Bujangganong. Dalam perjalanan pulang mereka dihadang oleh Singobarong dengan tentaranya. Akhirnya terjadi peperangan, yang berkesudahan dengan kemenangan prajurit Ponorogo (Hartono, 1980).

Tema cerita yang dibawakan pada grup Sri Karya Manunggal ini sudah tidak seperti yang ada di Jawa yang membawakan tema tentang cerita kerajaan dan pertarungan prajurit. Dalam adegan yang dipertunjukan dari grup tersebut,

Bujangganong hanya berperang dengan barongan saja tidak ada tentera atau warok dan prajurit berkuda didalamnya. Prajurit berkuda tampil hanya pada waktu tarian terakhir yang diperankan oleh penari jathil laki-laki. Mereka tidak ikut serta dalam pertunjukan reog yang sedang berlangsung sehingga sudah berbeda dengan yang ada di Jawa Timur.

Grup ini tidak mempresentasikan cerita tertentu dalam pertunjukan seni

reog tersebut. Namun yang mereka ketahui bahwa sejarah dari seni reog yang mereka kembangkan tersebut merupakan warisan dari leluhur mereka yang dulunya digunakan sebagai media dakwah untuk menyiarkan agama islam. Dan


(20)

77

dalam kesenian reog tersebut terkandung makna tentang penyebaran agama Islam tersebut, hal ini ditandai pada dhadhak merak ditambah satu tetengger (Jawa) dengan seuntai merjan di ujung paruh burung merak yang melambangkan arti sebuah tasbih. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ebdi Irwanto Berikut ini:

kalo cerita reog ini ya kami cuma neruskan aja sejarah dari leluhur kami. Kalo yang kami tau ini dulunya untuk menyiarkan agama Islam. Tujuannya kan baik sebagai dakwah. Tapi yang tau sejarah itu sekarang cumak orang-orang yang ngertilah sama reog ini. Kalo orang lain mungkin cuma hiburan aja sama mereka. Lambang-lambangnya kana ada maknyanya itu. dhadhak meraknya itu punya makna melambangkan tasbih.

3.2.2 Reog Juga Berfungsi Sebagai Sarana Ritual Ruwatan dan Hiburan

Kesenian reogdi Bangko Lestari yang merupakan kesenian yang di setiappertunjukannya tidak hanya untuk ritual sebagai pengusir mahluk halus tetapi juga digunakan sebagai hiburan yang dipentaskan pada saat mengayunkan

(memberi nama pada bayi), upacara perkawinan, dan perayaan ulang tahun yang lebih sering diadakan di desa Bangko Lestari. Masyarakat yang ada di desa Bangko Lestari masih mempercayai bahwa kesenian reog ini juga akan memberikan keselamatan bagi mereka yang ―menanggapnya.‖

Ruwat atau ngeruwat merupakan ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertanian, upaya tolak bala dan sebagai media penghormatan pada leluhur yang telah berjasa memberikan keselamatan hidup. Ruwatandesaadalah salah satu upacara adat masyarakat agraris yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat di desa Bangko Lestari. Ruwatan berasal dari kata rawat atau merawa artinya mengumpulkan atau merawat yaitu mengumpulkan seluruh masyarakat kampung yang tujuannya sebagai tolak bala serta ungkapan penghormatan terhadap nenek moyang mereka yang telah berjasa. Dalam hal ini, kesenian reog


(21)

juga dapat berfungsi sebagai ritual ngeruwat desa atau yang dikenal dengan sebutan bersih desa. Masyarakat percaya bahwa ritual pertunjukan reogini dapat memberi ketentraman hidup, jauh dari mara bahaya dan segala gangguan penyakit yang kemungkinan dapat terjadi.

3.2.3 Pendukung Pertunjukan Seni Reog 3.2.3.1 Kelompok Pemain/Penari

Pemain atau penarireogyang ada di Jawa Timur memainkan 5 penari, yaitu:jathilan, warok, bujangganong, barongan,dan prabu Klono Sewandono(Fauzannafi, 2005). Sedangkan reog di desa Bangko Lestari sudah berbeda dan digabung dengan kesenian lainnya. Para penarinya terdiri dari 4 penari yaitu: kuda kepang, hanoman (kera putih), bujangganong, dan barongan.

Hal ini dilakukan agar penonton tidak bosan sehingga dipadukan dengan seni lainnya.

3.2.3.2 Kelompok Pemukul Gamelan

Kelompok ini berada di belakang kelompok penari. Jumlah anggotanya terdiri dari: satu orang penggendang, dua orang penyaron, satu orang pemukul

kethuk kenong, satu orang pemukul gong, satu orang pemukul demung, dua orang pemukul bonang, dan satu orang pemuku kempulatau gong.

3.2.3.3 Kostum dan riasan

Dalam buku ―Reyog Ponorogo‖ tulisan Hartono, (1980) dikatakan bahwa Ponorogo mempunyai ciri khas pakaian daerahnya yang digunakan oleh semua


(22)

79

peserta kesenian reog, baik pemain, maupun pemain gamelan mengenakan pakaian daerah tersebut. Diantaranya yaitu sebagai berikut:

a. Ikat kepala ( udheng, iket, blangkon).

b. Baju hitam potong gulon (tak berleher). Cara memakainya: buah baju tidak dikancingkan sehingga dadanya tampak jelas. Hal ini adalah lambang adanya sifat keterbukaan. Pakaian ini digunakan oleh pemain warok dalam kesenian reog.

c. Celana panjang gombyok sampai tumit, berwarna hitam, bergombyok merah dan kuning dengan potongan ukuran besar.Atau celana hitam dengan ukuran tanggung, sampai dibawah lutut yang dipakai oleh

pembarong, bujangganong dan pemain gamelan. Gombyok terbuat dari benang songket.

d. Koloran, yaitu celana yang dilengkapi dengan ikat pinggang yang berwarna putih. Kedua ujungnya panjang dan menjulai yang digunakan oleh semua pemain dalam kesenian reog.

Sedangkan di desa Bangko Lestari,pakaian kostumyang digunakan para pemainseperti ciri khas dari pakaian daerah Ponorogo hanya sebahagian saja yang memakainya. Kemudian para pemain gamelannya sudah tidak menggunakan pakaian khas daerah Ponorogo melainkan hanya menggunakan pakaian bebas saja. Pakaian yang digunakan para pemain tersebut diantaranya sebagai berikut:

a. Ikat kepala

b. Celana panjang gombyok sampai tumit, berwarna hitam, bergombyok merah dan kuning dengan potongan ukuran tidak begitu besar yang hanya dipakai oleh pembarong danBujangganong saja.


(23)

c. Kostum tokoh hanoman berwarna putih dan memakai gelung supit urang yang bermakna identitas hanoman kesatria.

3.2.3.4 Ilmu Mistik dalam Kesenian Reog

Bagi pemain-pemain kesenian reog, barongan adalah satu-satunya instrumen yang mendapatkan tempat utama. Ia dianggap sebagai benda keramat. Sehingga pada hari-hari tertentu, dan pada setiap akan dipakai, sering membakar dupa (kemenyan) di hadapannya (Fauzannafi, 2005).

Setiap Jumat Legi dan Jumat Wage,2reog ini wajib diberi sajen yang berupa bunga mawar, kenanga, dan melati kemudian membakar kemenyan, rokok diselipkan ditelinga topeng dhadhak merak yang dipercaya agar nantinya

pembarongketika menarikan tarian ini dapat menyatu dengan Reog. Semua sesajen diletakkan didepan topeng dhadhak merak dan sajen tersebut disampingmemiliki sifat mistis juga memiliki makna simbolik yang syarat dengan berbagai ajaran berharga warisan leluhur dan juga berfungsi sebagai sarana penghubung antara manusia dan dunia gaib.

Reog yang ada pada grup Sri Karya Manunggal diberi nama dengan

Gembong Bawono yang artinya raja harimau atau preman alas(penguasa hutan). Nama Gembong Bawono tersebut berasal dari si pembuat Reogyang ada di

2

Istilah hari-hari dalam sistem kelander masyarakat Jawa berdasar kepada kalender Jawa, yang memiliki persamaan dengan kalender Islam. Keduanya berakar pada sistem kalender perputaran bulan (lunar). Adapun bulan-bulan dalam kalender Jawa dan padanannya dalam kalender Islam adalah: (1) Sura (Muharram); (2) Sapar (Shafar); (3) Mulud (Rabiul Awal); (4) Bakda Mulud (Rabiul Akhir); (5) Jumadil Awal (Jumadil Ula); (6) Jumadil Akhir (Jumadil Tsaniah); (7) Rejeb (Rajab); (8) Ruwah (Sya’ban; (9) Pasa (Ramadhan); (10) Sawal (Syawal); (11)

Dulkangidah (Dzulqa’idah); dan (12) Besar (Dzulhijjah). Siklus nama-nama hari adalah hari: Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Namun ada lagi ditambahi di belakangnya berdasarkan siklus lima, yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing.


(24)

81

Kisaran (ibukota Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara). Grup Sri Karya Manunggal dulunya membeli reog di Kisaran karena harganya terjangkau yang waktu itu mereka beli dengan harga Rp 3.000.000. Pertama kali dibeli topeng

dhadhak merak tersebut beratnya mencapai sekitar 45 kg namun lama kelamaan sudah semakin susut sehingga sekarang beratnya hanya sekitar 38 kg.

ReogGembong Bawono tersebut mempunyai makna yang sakral dan dipercaya sebagai nama reogyang tingkatnya tertinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Tukijo (Mbah Bolong) berikut ini:

Reog ini yang ngasih nama ya dari yang pembuat Reognya yang di Kisaran. Ini Reog tempahan dari Kisaran karena kalo beli di Jawa ya nggak sanggup. Sebelum dibuat kepala harimau, yang buat Reog ini udah dijumpai dulu sama arwah yang pingin masuk ke Reog ini supaya reognya diberi nama Gembong Bawono. Jadi yang buat reog bilang nama Gembong Bawono ini jangan diganti. (Tukijo, 63 tahun, pemimpin Reog di Desa Bangko Lestari)


(25)

3.2.3.5 ReogMemiliki Lagu-lagu Khusus

Pada mulanya dahulu kesenian reog memiliki lagu-lagu khusus

Panoragan, misalnya:Ijo-ijo, Potrojayan, Sampak, Iring-iring, dan sebagainya. Grup reog Sri Karya Manunggal setiap kali tampil, membawakan lagi khusus seperti untuk penari jathilan menggunakan lagu Dawet Ayu, penari anoman

menggunakan lagu GelangsaranatauSampak Songo, dan Reog menggunakan lagu

Ponoragan.

3.3Tokoh-tokoh dalam Seni Reog

Ada beberapa tokoh yang dimainkan dalam setiap

pertunjukanReogPonorogo danmasing-masing tokoh mempunyai sifat yang berbeda-beda sesuai dengan karakternya. Namun tokoh-tokoh dalam seni reog yang ada pada grup Sri Karya Manunggal sudah ditambah dengan tokoh

hanoman. Adapun tokoh-tokoh yang terdapat dalam pertunjukan reog pada grup tersebut adalah sebagai berikut:

3.3.1 Jathil

Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam seni

reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.


(26)

83

Jathilan ini mulanya ditarikan oleh laki-laki yang berprofesi sebagai seorang gemblak yang dipelihara oleh warok yang berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih cenderung feminim. Ciri-ciri kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung pada halus, lincah. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.

Gambar 3.3:Penari Jathil Laki-laki

3.3.2 Barongan dan Dhadhak Merak

Barongan dan dhadhak merak merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian reog. Barongan berwujud kepala harimau, sedang

dhadhak berupa berupa merak yang sedang menari. Dhadhak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.


(27)

Menurut Tjokrodibroto, kata barongan sebenarnya sudah merupakan persenyawaan. Asalnya dari: singa barongan, yang artinya singa barong tiruan.

Singadalam bahasa Jawa artinya ialah harimau. Barong ialah suri atau gimbal. Jadi, singa barong artinya harimau yang berambut gimbal.

Topeng dhadhak merakdipercaya oleh warga Jawa di Desa Bangko Lestari sebagai perantara doa paling cepat kepada nenek moyang agar diberikan izin dalam melaksanakan pertunjukan kesenian ReogPonorogo dan diberi kelancaran selama pertunjukan. Topeng ini diwujudkan dengan bentuk campuran binatang harimau dan merak sehingga membentuk binatang khayal yang membentuk simbolisasi karakter khayalan.

Pembarong atau pemakai topeng dhahdak merak ini pastinya bukan sembarang orang yang menjadi pembarong karena ada syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan seperti: kekuatan ekstra yaitu seorang pembarong disamping punya rahang yang kuat, mereka juga dibekali susuk yang dipasang dileher. Kemudian adanya wahyu. Tanpa ini tarian yang ditampilkan tidak akan menarik perhatian orang banyak. Yang terakhir latihan yang berupa tapa dan puasa.


(28)

85

Gambar 3.4:Tokoh Penari Topeng Dhadhak Merak

3.3.3 Bujangganong (Ganongan)

Bujangganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa ditunggu-tunggu oleh penontonkhususnya anak-anak.Patih Bujangganong adalah patih dari Prabu

Kelono Sewandono, merupakan tokoh protagonis dalam tarian ini. Dia digambarkan sebagai patih yang bertubuh kecil dan pendek, namun cerdik dan lincah. Patih Bujangganong disebut juga penthulan. Penarinya tidak memakai baju, hanya rompi berwarna merah dan topeng berwarna merah juga.

Untuk memainkan peran sebagai Bujangganong tidak mudah. Karena peran tersebut mengharuskan pemainnya untuk pintar beratraksi salto dan berbadan atletis. Apabila tidak sesuai dengan persyaratanya akan menyebabkan kegagalan dalam atraksi reog. Atraksi salto wajib dimainkan karena itulah seni dari peran Bujangganong.


(29)

Gambar 3.5:Tokoh Bujangganong

3.3.4 Hanoman

Hanoman biasa digunakan untuk salah satu karakter yang terkenal dari pementasan wayang Ramayana. Hanoman atau dapat disebut Hanumat, adalah salah satu dewa dalam kepercayaan agama Hindu, sekaligus tokoh protagonis dalam cerita Ramayana. Dalam cerita Ramayana, Ia digambarkan sebagai seekor kera putih yang merupakan putra Batara Bayu dan Anjani. Namun dalam pertunjukan Hanoman yang ada pada grup Sri Karya Manunggal ini tidak dimainkan dalam bentuk wayang melainkan diperankan langsung oleh seorang yang menggunakan topeng hanoman beserta kostumnya.


(30)

87 3.4 Instrumen atau Peralatan Reog

Dalam kesenian reog terdapat dua macam alat yang dipergunakan yaitu alat-alat untuk pemain dan yang kedua ialah instrumen pengiring atau gamelan.

3.4.1 Peralatan Pemain

Peralatan yang digunakan meliputi: topeng Singobarong, dhadak merak, topeng Bujangganong, dan kuda kepang (istilah lokal: eblek).Topeng yang digunakan dalam pertunjukannya hanya 3 topeng saja tidak seperti di Jawa yang menggunakan 5 topeng. Ketiga topeng tersebut berupa, topeng dhadhak merak, topeng Bujangganong, dan kuda kepang (eblekan).

Topeng Singobarong yang ada di Jawa Timur terbuat dari bahan utama kulit harimau dan bulu merak asli. Topeng Singobarong Dhadak Merak

merupakan ciri khusus Reog Ponorogo yang membedakan dengan jenis Reog

lainnya. Sedangkan topeng dhadhak merak yang ada di Desa Bangko Lestari terbuat dari kepala harimau dan bulu merak yang tidak asli (―caplokan‖) yang dibeli dari kota Kisaran.

Topeng Bujangganong diperoleh langsung dari pulau Jawa.Topeng ini terbuat dari kayu, rambutnya dari bulu ekor sapi dan topeng ini disambung dengan kain warna merah yang digunakan sebagai penutup kepala. Pada ujung kiri dan kanannya diberi tali yang dapat diikatkan dileher pemain. Topeng Bujangganong

yang menyerupai wajah raksasa, hidung besar, mata melotot, mulut terbuka dan giginya besar-besar.


(31)

Gambar 3.7:Topeng Bujangganong

Sementara kuda kepang (eblek) dibuat sendiri yang terbuat dari anyaman yang dibuat dari rautan bambu yang halus dengan dihiasi rambut tiruan dari plastik atau sejenisnya. Anyaman tersebut dihias dengan cat yang beraneka warna seperti warna putih, hitam, dan merah.

Gambar 3.8:Kuda Kepang (Eblek)

3.4.2 Peralatan Musik Pengiring atau Gamelan

Gamelan atau instrumen pengiring yang digunakan dalam pertunjukan seni reog yaitu berupa:

(a) Kendang, yang salah satu ujungnya lebih kecil dari ujung yang lain, ujung yang kecil dimainkan dengan tangan kiri dan yang besar dengan tangan kanan. Kendang ini berukuran besar dengan panjang 1,5 m, sedangkan ukuran tengahnya sekitar 40 cm. Fungsi utama kendang adalah untuk


(32)

89

pengatur tempo dan pemberi tekanan pada gerak tari. Alat musik ini dimainkan dengan tangan tanpa adanya alat bantu sehingga tukang

kendang sering disebut sebagai ―pemimpin‖ orkes gamelan dan kendang

dianggap sebagai alat yang paling sulit dimainkan.

Kendang ini dipercaya oleh mereka bisa membuat ramai penontonnya. Jika pertunjukan sedang berlangsung, pemain kendang ini menyebut nama ―dewi kunti‖ agar nantinya penonton berdatangan. Apabila disebut namanya maka ramailah penontonnya. Dewi Kunti merupakan makhluk halus yang dipercaya oleh Grup Sri Karya Manunggal dapat meramaikan penontonnya apabila disebut namanya. Mahkluk halus tersebut sangat rahasia bagi mereka dan tidak sembarang orang tahu. Kendang ini juga di beri sesajen seperti bunga kantil, mawar, dan kenanga. Pemain kendang ini biasanya paling dibayar lebih mahal dari pemain lainnya karena sulit memainkannya.

Gambar 3.9:Kendang atau Gendang

(b) Dua alat kenong (idiofon) yang tebuat dari bahan logam besi, kuningan, atau perunggu. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan stik kayu bagian yang dipukulkan ke kenong dilapisi dengan balutan benang berwarna merah. Kenong ini bernada 5yang dipukul secara


(33)

double. Kenong merupakan alat musik yang bentuknya sama dengan bonang, tetapi ukuranya lebih besar dari bonang. Setiap pencon memiliki satu nada, namun kenong berfungsi sebagai penanda ketukan tertentu atau berfungsi kolotomik, bukan sebagai pembawa melodi.

Gambar 3.10:Kenong

(c) Ada dua buah saron semacam gambang logam yang ketujuh nadanya dipikul sekali pada saatnya dengan pemukul dari kayu serta kemudian dipegang segera untuk menghindari nada tambahan. Alat ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin yang bertempo cepat. Dengan demikian, melodi inti diperdengarkan dengan serangkaian nada-nada yang jelas, berbeda dari yang mendasar, yang satu mengikuti yang lain dalam sebuah ritme yang terus mengalir dan hampir semuanya tanpa tekanan.


(34)

91

(d) Dua alat bonang yaitu bonang barung dan bonang panerus. Bonangbarung adalah salah satu bagiaan dari seperangkat Gamelan

Jawa.Bonang terbagi menjadi dua yaitu bonang barung dan bonang penerus. Bonang barung berukuran sedang, beroktaf tengah sampai tinggi, adalah salah satu dari instrumen-instrumen pemuka dalam ensambelgamelan. Pada jenis gendhing bonang, bonang barung

memainkan pembuka gendhing (menentukan gendhing yang akan dimainkan) dan menuntun alur lagu gendhing. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, bonang barung tidak berfungsi sebagai lagu penuntun; ia membentuk pola-pola lagu jalin-menjalin dengan bonang panerus, dan pada aksen aksen penting bonang boleh membuat sekaran (lagu-lagu hiasan), biasanya di akhiran kalimat lagu. Sedangkan bonang panerus

memiliki ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan bonang barung. Bonang jenis ini dimainkan setengah ketukan dari bonang barung

yang apabila mereka dibunyikan secara bersama-sama akan membuat efek suara yang bersahutan. Nada dari bonang panerus lebih tinggi 1 oktaf dari


(35)

Gambar 3.12:Bonang Barung dan Bonang Panerus

(e) Kemudian alat musik kempul. Kempul berbentuk layaknya seperti gong namun ukurannya lebih kecil. Kempul berfungsi sebagai penanda aksen-aksen yang penting dalam kalimat lagu gendhing. Pada saat melantunkan lagu gendhing kempul dimainkan dengan nada yang sama seperti nada

balungan, walau terkadang kempul bisa juga mendahului nada balungan.


(36)

93 BAB IV

KONTINUITAS DAN PERUBAHAN SENI REOG PADA GRUP SRI KARYA MANUNGGAL DAN MASYARAKAT PENDUKUNGNYA

4.1 Kontinuitas Seni Reog di Desa Bangko Lestari

Kesenian Reog Ponorogo memang sudah mendarah bagi masyarakat Ponorogo, serta masyarakat Jawa Timur. Reog juga merupakan salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat. Kesenian Reog Ponorogo dapat berkembang karena memperoleh dukungan sangat besar dari masyarakat daerahnya. Sehingga masyarakat Ponorogo mencari pekerjaan ataupun menetap, tetap membawa seni dan budaya daerahnya yaitu kesenian Reog Ponorogo. Tidak jarang masyarakat Ponorogo yang tersebar di daerah-daerah baik didalam negeri ataupun mancanegara membuat perkumpulan kesenian Reog Ponorogo. Kesenian ini dibentuk melalui perkumpulan-perkumpulan kesenian dalam upaya untuk melestarikan seni dan budaya tradisional, ataupun hanya sebagai hiburan masyarakat (Fajarianti, 2013).

Perkumpulan kesenian ini terdapat perbedaan dan keunikan tersendiri didalamnya dan dipengaruhi oleh budaya setempat, tetapi tidak mengubah esensi dari kesenian Reog Ponorogo itu sendiri hanya mengadopsi, menambahkan dan mengkreasikan sesuai kreatifitas perkumpulan-perkumpulan kesenian reog Ponorogo, hal ini sebagai kebutuhan dari pertunjukan seni (Fajarianti, ibid). Dalam hal ini Grup kesenian reog Sri Karya Manunggal mempunyai keunikan dari bentuk penyajian seni reog yang ditampilkan oleh mereka yang sudah


(37)

berbeda dengan yang aslinya di Jawa Timur. Mereka mengkreasikan kreatifitasnya dalam seni reog ini dengan cara menambahkan seni lainnya untuk membuat variasi tarian dalam pertunjukan seni reog tersebut agar para penonton maupun penggemarnya tidak jenuh. Kesenian yang ditambahkan tersebut yaitu kesenian hanoman (kera putih) dan kesenian kudakepang. Kesenian Reog yang ada di Bangko Lestari sudah mengadopsi kesenian reog yang aslinya yang ada di Jawa Timur. Hal ini dikarenakan para pemain dalam kesenian ini kebanyakan berasal dari Putra Jawa kelahiran Sumatera sehingga memungkinkan membuat penyajiannya sudah berbeda dengan yang aslinya yang ada di Jawa karena pengaruh situasi yang berbeda di daerah perantauan.

Grup Reog Sri Karya Manunggal ini sangat terkenal namanya di

Kecamatan Bangko Pusako sehingga seringkali masyarakat ―menanggapnya‖

pada acara khitanan, upacara perkawinan, hari besar nasional, mengayunkan

(memberi nama pada bayi) dan juga perayaan ulang tahun. Dan terkadang Masyarakat yang ada di desa Bangko Lestari meminta agar grup reog ini mengadakan pertunjukan di desanya karena sangat banyak yang menjadi penggemar grup ini di desa tersebut. Jika grup ini tampil maka penontonnya pun begitu banyak dari mulai anak-anak hingga orang dewasa.

Seiring dengan seringnya grup reog tersebut melakukan pertunjukan, maka ada beberapa grup kesenian tradisional lainnya pun iri dengan grup tersebut sehingga nama grup Sri Karya Manunggal ini sering ―dijual atau dipakai‖namanya oleh grup lain karena merasa tersaingi. Grup tersebut juga pernah mendapat kendala ketika tampil dalam acara hajatan. Kendala tersebut yaitu adanya grup lain yang ingin mencelakai grup ini untuk tampil dengan


(38)

95

menaruh jarum yang besar dan tajam di atas kendang agar pemain kendang

tersebut terluka dan dapat merusak pertunjukan mereka. Jarum tersebut ghaib dan dipercaya hanya orang tertentu yang dapat melihatnya. Namun pada waktu itu masalah ini bisa diatasi oleh grup Sri Karya Manunggal dengan cara memanggil roh leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan melindungi mereka ketika ada bahaya yang datang dari luar. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Warsito selaku pemain gamelan berikut ini:

Kami pernah main di kota duri waktu itu ada acara nikahan. Sebelum kami mulai mainkan gamelannya rupanya pak Ebdi nampak jarum besar dan tajam di atas kendang kami. Jarum itu gak bisa ditengok dengan kasat mata cuma orang tertentu aja yang bisa nengok itu. Untungnya masalah itu masih bisa kami atasi. Ada salah satu anggota kami yang dengar kalo dilokasi itu ada orang yang gak suka sama grup kami karna ada grup yang dekat kenapa mesti milih yang jauh. Jadi orang itu ngerasa tersaingi. Padahal kami gak ada nganggap saingan.”

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hersapandi (2013) yang berjudul ―Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung‖ mengungkapkan bahwa persaingan antar penari rol merupakan fenomena zamannya sebab ketika itu tidak jarang mereka mencelakakan seniman lain dengan cara menjatuhkan lewat kekuatan gaib. Misalnya, penari rol tiba-tiba tidak mampu bersuara ketika sedang berdialog dan penari rol secara mendadak tidak mampu menari di atas pentas yang berakibat fatal pada penampilannya. Dalam menghadapi pengaruh jahat yang bersifat gaib tersebut, maka keseimbangan penari rol tersebut dibekali ilmu kebatinan yang memadahi agar memiliki tingkat kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi untuk membentengi diri mereka dari pengaruh jahat tersebut. Hal tersebut seperti yang dialami oleh grup Sri Karya Manunggal yang dicelakai oleh grup dari kesenian lain yang merasa tersaingi sehingga membuat


(39)

pemain kendang mereka hampir celaka dan untungnya masih bisa diatasi oleh mereka.

Grup Sri Karya Mangunggal tidak ingin ada persaingan karena mereka menganggap kesenian itu untuk bersatu (guyub) bukan untuk bersaing. Namun kenyataannya solidaritas antar grup kesenian di Desa Bangko Lestari tampaknya masih kurang. Hal ini terlihat bahwa grup Sri Karya Manunggal tidak akrab dengan beberapa grup kesenian yang baru muncul karena ada rasa iri terhadap grup ini. Namun disamping itu ada juga beberapa grup lain yang ingin bergabung dengan grup Sri Karya Manunggal karena sangat mengenal sosok Mbah Bolong sebagai orang yang sudah lama membina grup tersebut.

Grup kesenian yang ada di desa Bangko Lestari awalnya hanya ada satu grup kesenian saja yaitu grup Sri Karya Manunggal yang paling dikenal oleh warga setempat. Awalnya grup tersebut dikelola oleh Bapak Tukijo dan teman-temannya supaya kesenian tersebut dilestarikan dan berkembang di desa mereka. Namun lama kelamaan para pengurusnya bubar. Hal ini disebabkan karena para pengurusnya ingin membuat grup sendiri yang akhirnya berujung dengan persaingan terhadap grup Sri Karya Manunggal tersebut. Persaingan di antara pengurus kesenian tersebut berlomba-lomba untuk ―menonjolkan diri‖ supaya keseniannya disenangi oleh masyarakat dan memperoleh ―nama‖ dari grup yang mereka kelola masing-masing. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Bolong berikut ini:

Pengurus grup kami ini udah sampe delapan generasi tapi cuma saya yang bertahan. Yang lain udah pada bubar, ada juga yang udah meninggal trus yang buka grup sendiri juga ada. Kalo gak ada saya kesenian ini ya gak jalan. Saya dan kawan kawan saya sekarang inilah yang neruskan kesenian kami ini. Kami buat ide supaya kesenian kami disukai orang. Kami buatlah seni reog ini


(40)

97

campur sama kuda kepang dan hanoman. Rupanya orang makin banyak yang seneng. Tapi ada juga yang gak seneng. Ada grup yang gak suka sama kami karna yang sering dipanggil sama masyarakat itu grup kami. Jadi grup kami ini sering dipake namnya sama grup lain karena grup kami ini lumayan terkenal disini.

Kesenian tradisional sekarang ini pengelolanya harus tanggap dalam mengantisipasi perkembangan zaman yang semakin maju. Apabila kurang tanggap maka akan mengalami kemunduran yang mengakibatkan satu persatu gulung tikar karena kurang bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman (Jazuli, 2000 dalam Rahzen). Seperti halnya yang ada di kecamatan Bangko Pusako. Dulunya sangat banyak orang-orang Jawa transmigrasi yang mempunyai sanggar kesenian. Sebelum mereka memperoleh pekerjaan yang pasti, kesenian ini dijadikan mereka sebagai tambahan pekerjaan mereka. Namun seiring perkembangan zaman maka satu persatu pengelolanya gulung tikar karena tidak ada biaya untuk mengembangkan keseniannya dan juga uang yang diperoleh hasil tanggapan tidak mencukupi kebutuhan mereka lagi sehingga mereka lebih memilih pekerjaan yang lain dan meninggalkan keseniannya.

Grup Sri Karya Manunggal cukup mampu bertahan hingga sekarang. Bertahannya grup ini juga dikarenakan oleh Bapak Tukijo atau lebih akrab disapa Mbah Bolong oleh warga setempat yang sudah cukup lama membina kesenian ini. Ia akan tetap mempertahankan keseniannya tersebut sampai akhir hayatnya. Ia dan teman-temannya membuat ide agar keseniannya tetap disukai oleh orang lain dengan cara menambah kesenian lain dalam seni reog seperti kuda kepang dan kesenian hanoman (kera putih). Seperti yang dikatakan oleh Soemardjan (dalam Syaripudin, 2013), kesenian akan selalu berkembang apabila kebudayaannya juga


(41)

selalu bersikap terbuka terhadap perubahan dan inovasi. Karenanya, kebudayaan itu bersifat dinamis, akan selalu berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, grup Sri Karya Manunggal telah membuat perubahan dalam seni

reog tersebut sehingga mengalami perkembangan dari seni tersebut demi kelangsungan seni reog yang ada di desa Bangko Lestari.

4.2 Upaya-Upaya Melestarikan Kesenian Reog dalam Konteks Perubahan Reog sebagai sebuah ritual dan tradisi bagi masyarakat Desa Bangko Lestari mengalami berbagai tantangan dan berbagai kendala untuk dapat bertahan hingga saat ini baik dari grup-grup lain yang tidak menyukai grup Sri Karya Manunggal ini maupun tantangan di zaman modern yang serba canggih yang menimbulkan perubahan pola hidup masyakat yang lebih modern. Masyarakat lebih memilih kebudayaan baru yang mungkin dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal. Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan oleh pelaku kesenian reog pada grup Sri Karya Manunggal ini agar dapat mempertahankan keseniannya di zaman modern. Upaya-upaya yang dilakukan oleh para anggota grup Sri Karya Manunggal antara lain sebagai berikut:

4.2.1 Menambahkan Kesenian Kuda Kepang dan Hanoman (Kera Putih) dalam Kesenian Reog

Salah satu usaha untuk mempertahankan kesenian reog yang dilakukan oleh grup Sri Karya Manunggal adalah dengan menambah kesenian lainnya seperti kuda kepang dan tarian Hanoman (Kera Putih) dalam pertunjukan seni reog. Mereka menganggap bahwa jika kesenian tersebut digabungkan maka


(42)

99

penontonnya pasti tidak jenuh karena tariannya bermacam-macam dan juga semenjak adanya penggabungan seni tersebut, maka banyak juga orang yang berminat untuk menanggap kesenian tersebut karena sangat unik dan tidak terlalu mahal biaya untuk tanggapannya.

4.2.2 Menjadikan Kesenian Sebagai Hobi dan Tidak Untuk Mencari Keuntungan

Kesenian Reog yang ada di Bangko Lestari mampu bertahan hingga sekarang karena salah satu upaya untuk melestarikannya yaitu dengan menjadikan kesenian tersebut sebagai hobi dan tidak untuk mencari keuntungan semata. Dulunya kesenian ini digunakan sebagai pekerjaan yang mereka geluti untuk mencari nafkah karena susahnya untuk mencari pekerjaan, namun sekarang kesenian ini tidak lagi digunakan untuk mencari uang semata tapi sudah menjadi hobi bagi mereka karena mereka juga mempunyai jiwa seni dan juga kebanyakan keturunan seniman. Hal ini dikarenakan pendapatan yang mereka peroleh dari setiap kali tampil terkadang tidak cukup untuk membayar para pemain. Seperti yang diungkapkan oleh Bang Beni selaku ketua dalam Grup Sri Karya Manunggal:

Kesenian kami ini bisa bertahan sampe sekarang itu karena kami gak buat patokan harga yang terlalu mahal. Ya kalo soal harga bisa dinegosiasi. Tapi keputusannya itu sama Mbah Bolong. Dia bilang iya ya iya. Tapi dia jarang bilang enggak. Dia gak sampe hatian orangnya. Yang penting sama dia kesenian ini tetap jalan. Ya kami ikut aja sebagai anggota grup ini. Mbah Bolong pun gak maksakan anggotanya untuk ikut main karna kadang job dari tanggapan gak cukup buat bayar pemain. Tapi kami ya tetap main karna ini udah jadi bagian dari hobi kami yang gak bisa kami tinggalkan.”


(43)

4.2.3 Merekrut Anggota Baru

Kepengurusan grup Sri Karya Manunggal tidak membuat syarat-syarat secara khusus untuk anggota yang ingin bergabung pada grup tersebut seperti adanya biaya pendaftaran, harus bisa menari, dan sebagainya. Cara perekrutan yang mereka lakukan yaitu dengan cara mengajak temannya dan tidak dipaksa harus ikut bergabung melainkan dengan niat yang kuat ingin bergabung. Biasanya mereka tidak susah payah untuk merekrut teman-temannya karena yang berkeinginan untuk menjadi anggota baru bisa dikatakan banyak tetapi ada banyak juga yang tidak konsisten karena ada yang hanya sekedar ikut-ikutan tidak dengan niat yang kuat. Namun yang bertahan juga masih banyak karena mereka memang sangat hobi dengan kesenian reog tersebut. Banyak dari mereka yang tetap bertahan menjadi anggota grup Sri Karya Manunggal ini karena keturunan dari orang tua yang juga seniman.

4.3 Pemungsian

Dalam konteks menjaga eksistensinya, maka para pendukung reog di Bangko Lestari ini, terutama kelompok reog Sri Karya Manunggal memiliki kebijakan yaitu memungsikannya dalam berbagai aktivitas kebudayaan. Strategi pemungsian itu antara lain adalah: untuk siklus kehidupan (slametan), memenuhi berbagai keperluan masyarakat pendukungnya yang bukan hanya orang Jawa saja tetapi juga Melayu, mengobati penyakit karena hasad dengki manusia melalui makhluk gaib, dan lain-lainnya. Pemungsian ini berkait erat dengan kesenian reog


(44)

101

Seperti dinyatakan Radcliffe-Brownbahawa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.

“By the definition here offered „function‟ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated” (1952:181).

Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, maka reog di Desa Bangko Lestari Riau bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Jawa yang berada di wilayah budaya Melayu. Seni pertunjukanreog ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang padawaktunya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pendukungnya (dalam hal ini Jawa dan Melayu). Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat, misalnya dalam hal ini integrasi sosial, pola-pola adaptasi, saling


(45)

menghormati sebagai tuan rumah dan pendatang, serta membangun Riau secara bersama, dan lain-lainnya.

4.3.1 Pertunjukan Reog yang Berkaitan dengan Siklus Hidup (Slametan) dan Memenuhi Keperluan Masyarakat Pendukungnya

Menurut Geertz, (1960) bahwa upacara yang berkaitan dengan siklus hidup (slametan) manusia sampai sekarang masih dilaksanakan oleh orang-orang Jawa di desa Bangko Lestari dengan mengadakan pertunjukan reog yang digunakan sebagai ritual yang diyakini untuk menolak mara bahaya. Slametan

terbagi ke dalam empat jenis:

(1) Yang berkisar di sekitar krisis kehidupan kelahiran, kematian, khitanan, perkawinan, dan kematian;

(2) Yang ada hubungannya dengan hari raya Islam: Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya;

(3) Yang ada kaitannya dengan integrasi sosial desa, bersih desa (secara harfiah berarti ―pembersihan desa‖ yakni dari makhluk halus jahat); dan

(4) Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang keberangkatan untuk sebuah perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya.

Masyarakat yang ada di desa Bangko Lestari selain dihuni oleh orang Jawa, desa tersebut juga dihuni oleh orang Melayu. Kesenian reog ini mendapat respon pro-kontra dari suku Melayu yang ada di desa tersebut. Sebagian suku Melayu tidak suka dengan kesenian ini karena menganggap bahwa kesenian reog


(46)

103

ini adalah kesenian yang membawa kepada kesyirikan. Hal ini disebabkan karena ritual-ritual yang digunakan dalam kesenian reog tersebut dianggap melanggar peraturan agama Islam. Namun disamping itu ada juga orang Melayu yang senang dengan kesenian reog ini. Mereka tidak hanya sekedar manjadi penonton dalam pertunjukan reog tapi juga menanggap kesenian reog tersebut. 1

Kesenian reog tentunya tidak lepas dari aspek sosiologisnya, seperti Sumandiyo mengatakan bahwa tari merupakan ekspresi manusia yang bersifat estetis dan kehadirannya tidaklah bersifat independen.Aspek sosial yang dimaksud berkaitan dengan masyarakat dan kehidupan sosialnya yang tentunya berperan penting sebagai pendukung keberadaan tari reog sejak terciptanya serta proses pelestariannya. Ben Suharto mengedepankan bahwa sebuah tari tidak berdiri secara mandiri tetapi luluh lekat berhubungan dengan adat setempat, pandangan hidup, tata masyarakat, agama atau kepercayaan dan sebagainya dari lingkungan di mana tarian tersebut lahir (Pertiwi, 2015).

Ada suku Melayu yang percaya bahwa jika nanggap kesenian reog ini maka hidupnya akan menjadi lebih baik. Hal ini seperti yang terjadi di kecamatan Bangko Pusako, tepatnya diBalam Kilometer 8, Kecamatan Bangko Pusako ada orang Melayu yang nanggap kesenian reog karena ―sakit buatan manusia.‖ Ia

sakit karena terkena ―guna-guna‖ oleh orang lain yang iri dengannya karena ia

dikenal sebagai orang kaya yang sombong dan ditambah lagi dengan kemenangan anaknya yang berhasil menjadi anggota legislatif sehingga banyak yang iri dengannya. Di depan rumahnya terdapat tanaman yang bentuknya seperti boneka

1

Hasil wawancara dengan Bapak Ebdi Irwanto selaku gambuh dari grup Sri Karya Manunggal.


(47)

lalu dibungkus dengan kapas dan dibalut lagi dengan kain kafan. Setelah dibuka di dalamnya ada jarum dan paku. Kemudian disamping rumahnya diletakkan juga bungkusan ramuan yang terdapat pisau silet, jarum pentul, lidi aren, dan ijok.2

Salah satu anggota kesenian reog dipanggil untuk membantu orang tersebut agar diobati dari sakitnya. Orang yang mengobati tersebut harus dalam keadaan kesurupan. Kesurupan yang akar katanya berarti ―masuk,‖ ―memasuki sesuatu.‖ Menurut Geertz, Kesurupan adalah jenis kerasukan makhluk halus yang umum sekali. Penyakit tersebut dipercaya disembuhkan oleh makhluk halus tersebut sehingga orang tersebut sembuh dari sakitnya. Setelah itu ia melaksanakan slametan dengan nanggap kesenian reog sebagai ritual yang dipercaya dapat menjauhkan ia dari segala mara bahaya.

Kemudian ada juga orang Melayu yang nanggap kesenian reog karena ia tidak merasa betah dirumahnya, dalam arti tidak betah karena dirumahnya ia dan suaminya diganggu oleh makhluk halus. Ia menganggap bahwa dengan nanggap kesenian reog maka ia akan betah dirumahnya. Setelah mereka nanggap kesenian

reog maka mereka percaya bahwa ritual dari kesenian reog tersebut membawa hidup mereka menjadi tentram dan menjadi betah dirumahnya dan dijauhkan dari mara bahaya. Mbah Bolong mengatakan sebagai berikut:

Orang Melayu juga ada yang nanggap seni reog ini. Ada juga yang sukak nonton reog ini bahkan ada juga yang sampe „mabok.‟ Kalo yang nanggap itu dia kerumah saya dulu. Istrinya orang Melayu dan suaminya orang Jawa. Jadi yang pingin nanggep itu istrinya. Dia gak betah dirumah barunya. Bolak- balek berantem sama suaminya tanpa sebab. Dari situ dia ngadu ke saya. Saya tau kalo itu gangguan dari makhluk halus. Jadi dia minta nanggap seni reog ini supaya dihindarkan dari gangguan makhluk

2


(48)

105

halus tadi. Sesudah nanggap itu, tiga hari kemudian dia datang kerumah saya dan bilang ke saya kalo dia udah nyaman dirumahnya itu.

4.3.2 Pertunjukan Reog yang Digunakan Saat Mengayunkan (Memberi Nama Bayi)

Upacara semasa masih kecil dalam kandungan (kehamilan) dikenal berbagai tahap atau macam. Slametan utama diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan. Tingkeban, yang diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si ibu, si ayah, atau keduanya, pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran atau brokohan), lima hari sesudah kelahiran (pasaran) dan tujuh bulan setelah kelahiran (pitonan) (Geertz, 1960).

Pasaran merupakan slametan yang agak lebih besar yang diselenggarakan lima hari sesudah slametan pertama untuk bayi. Pasaran ini berarti memberi nama pada bayi atau yang sering disebut oleh masyarakat desa Bangko Lestari dengan sebutan mengayunkan. Dalam pemberian nama pada bayi atau mengayunkan

biasanya tidak jarang mereka menanggap kesenian reog sebagai hiburan maupun sebagai doa agar dijauhkan dari marabahaya. Hal ini sudah menjadi lumrah di desa tersebut.

Waktu pelaksanaan pertunjukan biasanya sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelum dilaksanakan pertunjukannya tersebut. Biasanya si penanggap seni reog ini menghubungi atau datang langsung ke rumah Bapak Tukijo yang punya grup Sri Karya Manunggal tersebut. Hal ini dilakukan agar bisa membicarakan tentang pelaksanaan pertunjukan seperti dalam penentuan waktu yang akan diselenggarakan nantinya agar grup ini dapat menyesuaikan waktunya yang tepat.


(49)

Kemudian pihak dari grup ini juga nantinya harus tau lokasi tempat pertunjukan tersebut.

Waktu yang diadakan untuk pertunjukan seni reog biasanya sering dilakukan pada malam hari pukul 20:00 WIB sampai dengan selesai. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Sitopu, (2008), bahwasanya waktu untuk melaksanaan pertunjukan reog Ponorogo adalah pada saat siang menjelang sore hari berkisar antara jam 14.00 s/d 18.00 Wib. Pertunjukan reog Ponorogo tidak pernah dilakukan malam hari, jika dilakukan malam hari pertunjukan tidak dapat berlangsung dengan baik karena dalam setiap pertunjukannya reog Ponorogo

dilakukan ditempat terbuka dan luas. Siang hari merupakan waktu yang efisien karena para pemain dapat mengetahui lebih jelas lagi bagaimana tempat pertunjukan dan bisa merasakan keberadaan penonton sehingga para pemain tidak perlu khawatir akan mengenai penonton. Berbeda dengan waktu pertunjukan reog

yang ada di desa Bangko Lestari, bagi mereka pertunjukan reog yang dilakukan pada malam hari merupakan waktu yang sangat tepat karena suasanya lebih menegangkan dan menarik sehingga penontonnya terbawa oleh suasana tersebut.3 Dan biasanya tidak pasti sampai pukul berapa selesai dari pertunjukan tersebut karena terkadang penontonnya masih banyak. Jika banyak yang mabuk maka biasanya selesai sampai pukul 00:00 WIB. Pertunjukannya juga biasa dilakukan di tempat-tempat terbuka seperti, lapangan atau pekarangan yang luas.

Sebelum melakukan pertunjukan, maka terlebih dahulu mempersiapkan sesaji untuk kuda kepang yaitu terdapat empat macam cangkir yang berisi, air kopi, air putih, santen dicampur dengan gula merah, dan teh. Kemudian untuk

3


(50)

107

hanoman sesajinya berupa bunga mawar merah dan mawar putih, dan untuk reog

yang terdiri dari kembang dicampur dengan melati, kenanga, dan mawar. Guna dari semua sesaji tersebut adalah sebagai rasa syukur mereka kepada roh yang telah menjaga mereka dari keselamatan dan juga syarat untuk memanggil roh halus tersebut agar dapat merasuki tubuh pemain kesenian reog4.

Gambar 4.1: Sesaji untuk Ritual Pertunjukan

Para pemain gamelan memainkan musiknya sebelum para penari ditampilkan agar mengundang datangnya para penonton. Setelah penonton berkumpul di area tersebut lalu satu persatu tarian pun ditampilakan. Setelah penontonnya ramai kemudian tarian pun dimulai.

Pertunjukan dimulai dengan tarian Hanoman (Kera Putih). Tari hanoman

ini jarang dimainkan pada grup-grup yang lain. Maka pada grup Sri Karya Manunggal ini menambahkan tari hanoman yang bertujuan untuk membuat penonton lebih terhibur dan tidak jenuh menyaksikan pertunjukaan tersebut.

4


(51)

Gambar 4.2: Penari Topeng Hanoman (Kera Putih)

Situasi penonton pada saat pertunjukan dimulai semakin ramai. Penonton yang ada di tempat tersebut ditonton dari berbagai macam kalangan dan juga tidak hanya orang Jawa melainkan juga ada suku Melayu yang senang dengan pertunjukan ini. Setelah tarian hanoman, kemudian dilanjut lagi dengan tarian

Bujangganong (Ganongan).

Gambar 4.3: Penari topeng Patih Bujangganong

Tarian Bujangganongselalu ditampilkan dengan tarianreog. Setelah


(52)

109

bersamaan dengan Ganongan. Untuk memasangkan topeng dhadhak merak

tersebut, maka pemabarong pun harus dalam posisi terlentang untuk memasukkan kepalanya dengan topeng tersebut.

Gambar 4.4: Pemain Topeng Dhadhak Merak Ketika Mulai Tampil Setelah pemain topeng Dhadhak Merak tersebut bangkit, maka patih Bujangganong pun mengajak Reog tersebut beradu. Pada grup ini menganggap bahwa Patih Bujangganong adalah tokoh yang memainkan peran yang lucu, cerdik, dan adegannya juga selalu beradu dengan Reog. Kedua tarian ini sangat disukai oleh para penonton karena adegan yang dimainkan terkesan lucu dan khususnya oleh anak-anak yang selalu berada di depan ketika adegan ini dimainkan. Bujangganong tersebut seakan akan mengejek reog dan ingin mengajak Reoguntuk bertengkar. Namun pada akhirnya Bujangganong tersebut dapat ditaklukkan oleh Reog karena kalah.


(53)

Gambar 4.6: Pertarungan Bujangganong dan Reog


(54)

111

Gambar 4.8: Pertarungan yang dimenangkan oleh Reog

Biasanya setiap pembarong melakukan berbagai macam atraksi dengan mengangkat para penonton diatas dhadhak merak dan dibawa berkeliling, gerakan tarian yang ditampilkan seperti silat, selain itu juga para pembarong melakukan atraksi seperti berguling-guling ditanah dengan topeng yang masih melekat.


(55)

Setelah tarian bujangganong dan reog selesai, maka dilanjutkan dengan tarian penari laki-laki berkuda (jathilan). Para penari jathilan ini berjumlah enam orang. Tarian ini berlangsung selama lebih kurang 20 menit.

Gambar 4.10: Penari Jathil laki-laki

Setiap kali tampil dalam pertunjukan kesenian ini selalu di penuhi dengan penonton yang begitu ramai baik dari kalangan anak-anak sampai orang tua. Penonton tersebut dapat bebas melibatkan diri dalam setiap pertunjukan tanpa ada batas dan hambatan. Ada penonton yang kesurupan (mabuk) disaat aksi bermain api dilakukan. Para penonton yang begitu antusias pun memasuki area lapangan dan ikut mabuk-mabukan.


(56)

113

Gambar 4.11: Aksi Para Pemain di Api

Dari pertunjukan reog yang telah ditampilkan tersebut terlihat bahwa sudah terjadi perubahan yang mencolok dari bentuk penyajian, waktu pertunjukan, dan juga aksi mereka di api yang merupakan kontinuitas dari perkembangan seni

reog tersebut. Tidak hanya itu, fungsi dari kesenian reog tersebut juga digunakan mereka sebagai sarana untuk melakukan praktik pengobatan. Dari perubahan-perubahan tersebut terlihat bahwa Grup Sri Karya Manunggal telah mengupayakan agar kesenian reognya tetap disenangi oleh masyarakat demi keberlanjutan seni tersebut sebagai warisan dari leluhur mereka yang harusdijaga dan dilestarikan.


(57)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, yang diurai mulai dari bab awal sampai empat, maka pada bab ini ditarik kesimpulan-kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian (rumusan masalah), yang mencakup bagaimana kontinuitas dan perubahan seni reog yang diwujudkan oleh grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari dan bagaimana keberlanjutan kelompok ini. Kesimpulannya adalah sebagai berikut:

Pertunjukan kesenian reog yang ada di desa Bangko Lestari biasanya digunakan pada saat berkaitan dengan siklus hidup seperti khitanan,

mengayunkan, upacara perkawinan, perayaan ulang tahun, tahun baru Islam, hari-hari besar nasional, dan sebagainya. Kesenian reog tersebut juga digunakan sebagai sarana untuk melakukan praktik pengobatan.

Orang-orang Jawa yang membina grup Sri Karya Manunggal telah menghasilkan sesuatu yang baru dengan mengkombinasikan kesenian kuda kepang dan hanoman dalam kesenian reog yang bertujuan untuk melestarikan keseniannya. Kreativitas dalam membangun ―kejawaan‖ dan eksistensi para migran di Desa Bangko Lestari tidak lepas dari upaya penyempurnaan mengadopsi lebih banyak simbol-simbol budaya Jawa dari Pulau Jawa sehingga menunjukkan adanya perubahan identitas.

Grup Sri Karya Manunggal merupakan grup kesenian reog yang terkenal dan banyak digemari oleh masyarakat yang ada di Desa Bangko Lestari yang


(58)

115

sampai sekarang masih mempertahankan keseniannya. Salah satu upaya untuk melestarikannya yaitu dengan tidak mengharapkan kesenian tersebut sebagai profesi yang hanya ingin mendapatkan keuntungan semata. Grup ini juga berusaha agar keseniannya selalu disenangi oleh masyaraka.

Kesenian ini memiliki keunikan tersendiri dan berbeda-beda dari setiap daerahnya masing-masing. Di era modernisasi ini kesenian reog masih mampu mempertahankan keberadaannya seperti yang ada di desa Bangko Lestari.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang sudah dijelaskan, maka saran yang dapat diajukan oleh saya adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah setempat hendaknya lebih memperhatikan keberadaan kesenian

reog yang merupakan salah satu kekayaan budaya daerah. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mendukung kesenian reog untuk tetap tampil pada acara-acara yang berkaitan dengan tradisi yang ada di daerah Kecamatan Rokan Hilir.

2. Seniman pada umumnya agar lebih mengembangkan kesenian kerakyatan terutama kesenian reog supaya lebih menarik generasi muda untuk ikut bergabung dan mempelajari kesenian tersebut sebagai salah satu kekayaan dan warisan budaya yang ada di Kecamatan Bangko Pusako.

3. Peran masyarakat juga dibutuhkan dalam melestarikan kesenian reog ini agar memiliki regenerasi berikutnya sehingga tidak hilang di zaman modernisasi seperti sekarang ini yang masyarakatnya sudah semakin kurang menyukai budaya lokal.


(59)

GLOSARIUM

Celana Panjang Gombyok: Celana yang dipakai oleh Pembarong, berwarna hitam, bergombyok merah dan kuning. Panjang celana sampai mata kaki. Gombyok terbuat dari benang sayet atau benang songket.

Dhayangan : Tempat-tempat keramat ( pohon besar, sumur, dll) yang dianggap tempat bersemayamnya roh-roh penunggu dan pelindung desa.

Gambuh : Orang yang bertugas untuk memanggil roh dan memulangkan roh halus .

Gembong Bawono: Raja Harimau, Penguasa Hutan.

Gelung Sapit Urang : Topeng yang digunakan hanoman yang bermakna identitas hanoman ksatria.

Gendhing : Musik yang meniringi tari barongan, tari jathilan, dan tari hanoman.

Kanuragan: adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Kanuragan

dapat diperoleh dengan cara yoga dan meditasi.

Koloran : Terbuat dari benang katen (lawe) berwarna putih yang dijalin dan dipintal jadi satu, panjangnya 2 meter, dengan garis tengah kurang lebih 3 meter, sementara benang di kedua ujungnya dibiarkan terurai.

Mabuk : Orang yang sedang dalam keadaan kerasukan makhluk halus. Namun bisa dikendalikan oleh Gambuh.

Mengayunkan : Memberi nama pada bayi.

Patih:pimpinan prajurit perang dalamsistem ketentaraan dalam kerajaan-kerajaan Jawa. Dalam sejarah Kerajaan majapahit misalnya, salah seorang pimpinan tentaranya yang terkenal adalah Patih Gadjah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa.

Paseduluran : Persaudaraan

Pembarong: Orang yang membawakan topeng dhadhak merak.

Tanggapan/ menanggap seni reog: Orang yang ingin mengadakan pertunjukan seni reog dan biasanya orang tersebut juga disebut si penanggap.


(60)

36 BAB II

TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Pada Bab II ini, penulis mendeskripsikan secara khusus keberadaan masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari secara detail, sebagai masyarakat pendukung seni pertunjukan reog yang ada di Riau terutama kaitan sosial dan budaya dengan keberadaan Grup Reog Sri Karya Manunggal. Deskripsi ini memakai pendekatan etnografi yang lazim digunakan dalam disiplin antropologi.

Namun demikian terlebih dahulu akan dibahas mengenai identitas atau jati diri yang akan dikaitkan dengan situasi kebudayaan yang ―didatangi‖ oleh para migran Jawa. Seperti diketahui bahwa Riau dan beberapa tempat lainnya di Pulau Sumatera seperti Langklat, Deli, Serdang bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu, Tamiang, Jambi, Sumatera Selatan, bangka Belitung, sampai ke Lampung merupakan wilayah kebudayaan masyarakat Melayu. Oleh karena itu dideskripsikan pula secara singkat mengenai etnografi masyarakat Melayu Riau dan interaksinya dengan masyarakat Jawa. Selanjutnya penulis uraikan pula sejauh apa identitas kebudayaan Melayu ini berinteraksi dengan kebudayaan Jawa di Riau secara umum, dan di lokasi penelitian secara khusus. Oleh karena itu terlebih dahulu diuraikan keberadaan kebudayaan Melayu Riau.

2.1 Riau sebagai Wilayah Budaya Melayu dan Penerimaan Etnik Jawa

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang terdapat di gugusan pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti


(1)

ix Penelitian yang Pernah Dilakukan

1. Penelitian tentang kehidupan penderita kusta di Sicanang Belawan bersama rekan-rekan Antropologi Sosial 2011 pada tahun 2012.

2. Penelitian tentang petani kopi di Sumbul, Kabupaten Sidikalang. Dalam rangka melengkapi mata kuliah Praktek Kerja Lapangan I yang diselenggarakan oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2013.

3. Penelitian bersama petugas lapangan LSM Gerakan Sehat Masyarakat di Lubuk Pakam pada tahun 2014.


(2)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT SINGKAT PENULIS ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tinjauan Pustaka ... 9

1.2.1. Penelitian Relevan ... 9

1.2.2. Kontinuitas ... 13

1.2.3. Perubahan ... 15

1.2.4. Seni Sebagai Simbol ... 17

1.2.5. Kesenian Tradisional Reog Ponorogo ... 18

1.2.6. Masyarakat dan Budaya Jawa ... 21

1.3. Rumusan Masalah ... 24

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 25

1.4.1.Tujuan Penelitian ... 25

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 25

1.5. Lokasi Penelitian ... 26

1.6. Metode Penelitian ... 26

1.6.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 26

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ... 29

1.6.3. Teknik Wawancara ... 30

1.6.4. Teknik Observasi ... 31

1.6.5. Pengalaman Penelitian ... 31

BAB II.TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 2.1. Riau Sebagai Wilayah Budaya Melayu dan Penerimaan Etnik Jawa ... 36

2.2. Kesenian Melayu Riau Sebagai Identitas Budaya ... 39

2.3. Interaksi Budaya Jawa dan Melayu di Riau ... 50

2.4. Suku Jawa di Desa Bangko Lestari, Provinsi Riau ... 51

2.5. Letak Geografis Lokasi Penelitian ... 54

2.6. Keadaan Penduduk ... 56

2.6.1. Keadaan Sosial Penduduk Kepenghuluan Bangko Lestari ... 56

2.6.2. Sarana Pendidikan ... 57

2.7. Keadaan Pemerintah Kepenghuluan Bangko Lestari ... 58

2.7.1. Pembagian Wilayah Kepenghuluan Bangko Lestari ... 58

2.8. Kondisi Kepenghuluan Bangko Lestari ... 59

2.8.1. Pemanfaatan Lahan ... 59


(3)

xi

2.9.1.1. Golongan Islam Abangan ... 60

2.9.1.2. Golongan Islam Santri ... 66

2.9.1.3. Golongan Islam Priyai ... 67

2.10. Sistem Kekerabatan ... 68

2.11. Kesenian ... 71

2.12. Kegiatan Sosial ... 71

BAB III. KEBERADAAN REOG PONOROGO DI DESA BANGKO LESTARI. 3.1. Sejarah Berdirinya Grup Reog Sri Karya Manunggal ... 72

3.2. Ciri-Ciri Khusus Kesenian Reog di Desa Bangko Lestari ... 75

3.2.1. Reog Disajikan dalam Bentuk Sendratari ... 76

3.2.2. Reog Juga Berfungsi Sebagai Sarana Ritual Ruwatan dan Hiburan ... 77

3.2.3. Pendukung Pertunjukan Seni Reog ... 78

3.2.3.1. Kelompok Pemain / Penari ... 78

3.2.3.2. Kelompok Pemukul Gamelan ... 78

3.2.3.3. Kostum Pemain Kesenian Reog ... 78

3.2.3.4. Ilmu Mistik dalam Kesenian Reog ... 80

3.2.3.5. Reog Memiliki Lagu-Lagu Khusus ... 81

3.3. Tokoh-Tokoh dalam Seni Reog ... 82

3.3.1. Jathil ... 82

3.3.2. Barongan dan Dhadhak Merak ... 83

3.3.3. Bujanganong (Ganongan) ... 85

3.3.4. Hanoman ... 86

3.4. Instrumen atau Peralatan Reog ... 87

3.4.1. Peralatan Pemain ... 87

3.4.2. Peralatan Musik Pengiring atau Gamelan ... 88

BAB IV.KONTINUITAS DAN PERUBAHAN SENI REOG PADA GRUP SRI KARYA MANUNGGAL DAN MASYARAKAT PENDUKUNGNYA. 4.1.Kontinuitas Seni Reog di Desa BangkoLestari ... 93

4.2. Upaya-Upaya yang Dilakukan Untuk Melestarikan Kesenian Reog ... 98

4.2.1.Menambahkan Kesenian Kuda Kepang dan Hanoman (Kera Putih) dalam Kesenian Reog ... 98

4.2.2. Menjadikan Kesenian Sebagai Hobi dan Tidak Untuk Mencari Keuntungan ... 99

4.2.3. Merekrut Anggota Baru ...100

4.3. Pemungsian ...100

4.3.1. Pertunjukan Reog yang Berkaitan dengan Siklus Hidup (Slametan) dan Memenuhi Keperluan Masyarakat Pendukungnya ...102

4.3.2. Pertunjukan Reog yang Digunakan Pada Saat Mengayunkan(Memberi Nama Bayi) ...105


(4)

BAB V. PENUTUP.

5.1. Kesimpulan ...114

5.2. Saran ...115

GLOSARIUM ...116

DAFTAR PUSTAKA ...117 LAMPIRAN

1. Daftar Informan 2. Daftar Interview Guide 3. Foto


(5)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Penghulu Desa Bangko Lestari Dari Tahun 1996 sampai Sekarang Tabel 2.2: Data Penduduk Desa Bangko Lestari Tahun 2014

Tabel 2.3: Sarana Pendidikan di Desa Bangko Lestari Tabel 2.4: Penduduk Desa Bangko Lestari Setiap Dusun


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Mbah Bolong menghadap topeng Dhadhak Merak ... 66

Gambar 3.1:Tiga Orang Pengurus Grup Sri Karya Manunggal ... 75

Gambar 3.2: Topeng Seni Reog Gembong Bawono ... 81

Gambar 3.3: Penari Jathil Laki-Laki ... 83

Gambar 3.4: Tokoh Penari Topeng Dhadhak Merak ... 84

Gambar 3.5: Tokoh Bujangganong ... 85

Gambar 3.6: Tokoh Penari Hanoman (Kera Putih) ... 86

Gambar 3.7: Topeng Bujangganong ... 88

Gambar 3.8: Kuda Kepang (Eblek) ... 88

Gambar 3.9: Kendang atau Gendang ... 89

Gambar 3.10: Kenong ... 90

Gambar 3.11: Saron ... 90

Gambar 3.12: Bonang Barung dan Bonang Panerus ... 91

Gambar 3.13: Kempul ... 92

Gambar 4.1: Sesaji untuk Ritual Pertunjukan ...107

Gambar 4.2: Penari Topeng Hanoman (Kera Putih) ...108

Gambar 4.3: Penari Topeng Patih Bujangganong ...108

Gambar 4.4: Pemain Topeng Dhadhak Merak Ketika Mulai Tampil ...109

Gambar 4.5: Aksi Penari Bujangganong dan Reog ...109

Gambar 4.6: Pertarungan Bujangganong dan Reog ...110

Gambar 4.7: Aksi Bujangganong mengejek Reog ...110

Gambar 4.8: Pertarungan yang dimenangkan oleh Reog ...111

Gambar 4.9: Seorang Anak Menaiki Topeng Reog ...111

Gambar 4.10: Penari Jathil Laki-laki ...112