Kajian Semiotika dan Estetika Ornamen pada Reuncong Aceh: Studi Kasus pada Rencong Meupucok, Pudoi dan Meucugek
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara umum, masyarakat Aceh terdiri atas kelompok-kelompok etnik (suku
bangsa), yaitu: (1) Aceh Rayeuk, (2) Gayo, (3) Alas, (4) Tamiang, (5) Kluet, (6)
Aneuk Jamee, dan (7) Semeulue. Keenam kelompok etnik ini masing-masing
mendiami daerah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya. Daerah
kebudayaan mereka ini adalah: (1) Aceh Rayeuk memiliki wilayah budaya di
Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, (2) etnik Alas
berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara dan sekitarnya, (3) etnik Gayo mendiami
Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya, (4) etnik Kluet mendiami Kabupaten
Aceh Selatan dan sekitarnya, (5) etnik Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh
Barat dan sekitarnya, (6) etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan
Kepulauan Semeulue dan sekitarnya, serta (7) etnik Tamiang mendiami
Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya.
Seluruh etnik tersebut tinggal di berbagai daerah Kabupaten dan Kota, seperti
kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh
Utara, Kabupaten Aceh Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Kota
Banda Aceh dan sebagian kota dan kabupaten lainnya. Dari setiap daerah tersebut
di atas sudah tentu memiliki kesamaan budaya sekaligus juga terdapat perbedaanperbedaan yag menjadi ciri khas tersendiri.
Universitas Sumatera Utara
2
Terdapat identitas Aceh yang terlihat dari berbagai bukti yang dapat kita lihat
pada hasil budaya Aceh dalam bentuk arsitektur, peralatan rumah tangga, senjata,
perhiasan dan lainnya.
Salah satu hasil budaya ini yaitu Reuncong. Rencong mempunyai lima fungsi
dalam penggunaan sehari-hari bagi masyarakat Aceh sejak dahulu sampai pada
masa sekarang.
Pertama, rencong berfungsi sebagai simbol status sosial. Keberadaan senjata
ini terasa sekali ketika Aceh masih dalam status kerajaan. Saat itu masyarakat
Aceh tersusun atas empat lapisan sosial, yaitu tuanku (keluarga sultan), lapisan
uleebalang, lapisan ulama, dan lapisan masyarakat biasa. Lapisan masing-masing
dalam hal pemakaian senjata-senjata pusaka banyak menunjukkan perbedaan atau
ciri-ciri khusus. Pada kelompok masyarakat biasa, ia bangga apabila memiliki
senjata yang berasal dari seseorang yang memiliki kedudukan terpandang dalam
masyarakat (Syamsudin dan Abbas, 1981:79).
Ukiran pada permukaan gagang bagian atas itu ada bermacam-macam bentuk
pula. Ada yang berbentuk kembang daun, kembang berantai, kembang mawar
maupun bentuk-bentuk aksara Arab. Bentuk-bentuk tersebut tidak menunjukkan
sesuatu maksud tertentu, tetapi merupakan ukiran-ukiran yang disenangi
pemiliknya.
Bagi pemilik yang berasal dari golongan elite maupun hartawan tempo dulu
sangat mengutamakan ukiran-ukiran yang dikehendaki dengan penggunaan
bahannya yang banyak, apakah yang terdiri dari emas maupun dari suasa"
(Syamsudin dan Abbas, 1981:8).
Universitas Sumatera Utara
3
Kedua, rencong digunakan sebagai alat perhiasan sehari-hari oleh pria-pria
Aceh dalam gerak kehidupannya. Sebagai alat perhiasan sehari-hari, disisipkan di
pinggang dan juga rencong itu digunakan sebagai salah satu dari serangkaian alatalat kesenian terutama dalam tari Seudati dan Ratoh.1 Rencong juga melengkapi
pakaian pengantin pria pada pesta perkawinan di berbagai daerah Aceh.
Ketiga, rencong digunakan sebagai alat pelobang menggantikan perkakas
untuk melobangi. Rencong biasa dipakai juga untuk melubangi pelepah rumbia
pada bagian-bagian tertentu untuk dijadikan dinding rumah. Namun pada sebagian
rencong tidak difungsikan sebagai pengupas dan pemotong, tetapi digunakan
untuk mempertahankan diri.
Karena ada rencong tertentu dianggap sebagai barang bernilai magis religius
dalam pandangan masyarakat Aceh, maka rencong sama sekali tidak digunakan
sebagai alat pemotong atau pengupas. Dia dipakai apabila amat diperlukan,
misalnya jika menghadapi musuh. Pada dasarnya setiap masyarakat Aceh jika
telah berumur 18 tahun memiliki rencong untuk mendampingi hidupnya,
meskipun rencong tersebut tidak dibawa atau diselipkan di pinggangnya
(Syamsudin dan Abbas, 1981:3).
Keempat, rencong diberikan kepada para pengunjung atau tamu-tamu daerah
sebagai tanda penghormatan yang menunjukkan penghargaan si pemberi atas
kujungan tamu tersebut (Leigh, 1989:51).
1
Ratoh yaitu duduk berbincang-bincang atau seperti yang disebut Keith Howard sebagai
women chattering. Jika ditilik dari unsur katanya, ratoh yang berasal dari Bahasa Arab berarti
rateb yaitu melakukan pujian-pujian kepada Allah SWT melalui doa-doa yang dinyanyikan atau
diiramakan.
Universitas Sumatera Utara
4
Saat ini rencong juga banyak dibeli untuk kenang-kenangan atau souvenir
dari luar daerah Aceh baik wisatawan domestik maupun dari luar negeri. Ada juga
yang dijadikan perhiasan bros dari emas atau kuningan.
Kelima, rencong digunakan sebagai senjata sejak Aceh mulai berkembang
menjadi daerah kerajaan, menghadapi berbagai keangkaramurkaan dan tantangan
dari penyerbu luar Aceh. Penggunaan rencong sebagai alat senjata yang paling
ampuh, dimulai ketika Belanda mulai menyerbu Kerajaan Aceh. Namun demikian
rencong sudah digunakan sebagai alat senjata perang sejak masa jaya-jayanya
Portugis di kawasan Asia Tenggara. Berarti rencong sudah lama digunakan jauh
sebelum agresi Belanda terhadap kerajaan Aceh pada abad ke 19. Suatu dugaan
pula bahwa rencong sudah dikenal orang pada permulaan abad ke 13, dimana
pada priode tersebut sudah berkembang kerajaan Islam di Samudera Pasee, selaku
kerajaan Islam pertama di kawasan Asia Tenggara. Namun menurut para ahli
sejarah Penggunaan rencong sebagai senjata perang melawan Portugis mulai
dipakai untuk pertama kalinya ketika Sultan Ali Muqhayat-Syah memerintah
kerajaan Aceh pada tahun 1514—1528 (Syamsudin dan Abbas, 1981:5).
Dari sebagian besar fungsi tersebut di atas rencong merupakan alat budaya
yang dapat dijadikan simbol perwakilan daerah Aceh.
Sebagai alat budaya Reuncong merupakan sebuah karya seni yang memiliki
nilai estetika yang tinggi. Hampir setiap hasil karya seni tersebut dihiasi ukiranukiran ornamen untuk memperindah sebuah produk budaya dan terkadang
merupakan simbol yang memiliki makna tersendiri.
Universitas Sumatera Utara
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal yang penulis paparkan di atas, jika dilihat dari bentuk
rencong menyimbolkan kalimat bismillah yang memiliki makna bahwa dalam
menggunakan rencong harus menyertakan Allah atau karena tujuan melaksanakan
perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Namun secara khusus pada
Reuncong terdapat ukiran-ukiran yang indah. Apakah ukiran tersebut juga
memiliki makna? Atau ornamen tersebut hanya sebagai penghias saja.
Seperti yang dikutip Sachari, (2002:95) dalam "Equilibrium Capra" (Capra
mengadopsi pemikiran Toynbee) terbukti bahwa kebudayaan yang besar, akhirnya
akan lenyap tatkala tidak terjadi proses pemaknaan lebih lanjut oleh
masyarakatnya.
Kebudayaan-kebudayaan
itu
kehilangan
daya
adaptasi
menghadapi dinamika peradaban yang kompleks dan kuat. Hal tersebut dapat
dilihat pada pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban besar di sekitar Laut
Tengah. Diantara peradaban penting itu ada yang lenyap tak berbekas, karena
generasi berikutnya tak mampu memberi "makna".
Oleh karena hal tersebut penulis tertarik untuk merumuskan beberapa
permasalahan tentang ornamen yang terletak pada reuncong sebagai berikut:
1. Makna apakah yang terkandung pada ornamen Reuncong Aceh?
2. Bagaimana nilai estetika dan semiotika yang terkandung pada Reuncong
Aceh?
Penulis membatasi penelitian ini pada Reuncong Meupucok, Reuncong
Meucugek dan Reuncong Pudoi saja. Pada Reuncong Meukuree tidak penulis
Universitas Sumatera Utara
6
masukkan karena fokus pada masalah ornamen yang dibuat melalui unsur
kesengajaan saja.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ornamen Reuncong Aceh..
2.
untuk mengetahui nilai estetika dan semiotika ornamen pada Reuncong Aceh.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Memberikan pengalaman dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari perkuliahan. Selama menjadi mahasiswa di pasca sarjana (S2)
pada program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara, penulis mengharapkan penelitian ini menjadi
inspirasi bagi mahasiswa.
2
Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar seni rupa, untuk menambah
wawasan seni dan kemudian mengajarkannya kepada generasi muda
Indonesia, khususnya Aceh.
3
Sebagai tambahan referensi bagi peneliti lain untuk dikembangkan dalam
penelitian selanjutnya.
4
Bagi masyarakat dapat mengenal kekayaan budaya daerah agar dapat dijaga
dan dilestarikan.
Universitas Sumatera Utara
7
5
Menambah pengetahuan bagi penulis sebagai bahan masukan dalam kajian
tentang ornamen-ornamen Aceh khususnya yang terdapat pada rencong.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis merangkum sejumlah sumber kepustakaan untuk
menguatkan pendapat atau teori mengenai estetika dan semiotika pada rencong.
Sumber-sumber kepustakaan tersebut mencakup : a. referensi catatan terdahulu, b.
sejarah rencong aceh, c. kebudayaan masyarakat Aceh, d. tinjauan rencong Aceh,
e. dasar-dasar teori, f. metode dan teknik penelitian, g. referensi terkait.
Referensi penulis tentang catatan terdahulu yang diteliti oleh sejumlah penulis
mengenai rencong baik dari strata satu atau lanjutan, maupun penulis lepas
melalui bukunya dapat dipertimbangkan sebagai sumber pustaka antara lain:
1. Barbara Leigh, penulis buku Tangan Tangan Trampil Seni Kerajinan
Aceh. Barbara Leigh membahas
hasil penelitiannya tentang kerajinan
yang ada di seluruh Aceh yaitu: kerajinan sulaman benang emas, rencong,
kerajinan ukir dan seni ukir tembus pada rumah Aceh, perhiasan, dan
tentang desain Aceh yang membahas tentang dari mana desain tertentu
berasal? Apa hakikatnya? Bagaimana sebuah desain berkembang? Barbara
Leigh juga mengklasifikasi bentuk-bentuk motif yang terdapat pada tenun
sutera di masa lampau.
2. L.K Ara, penulis buku Ensiklopedi Aceh ; Musik, Tari, Teater, Seni Rupa.
Dalam Ensiklopedi Aceh penulis mendapatkan jenis-jenis
motif yang
terdapat di Aceh : Aceh pesisir, Gayo, Alas. Buku ini juga membahas
Universitas Sumatera Utara
8
makna beberapa motif Aceh untuk dijadikan salah satu acuan penulis
mengklasifikasi motif yang terdapat pada rencong.
3. Mahmud Tammat dkk., dengan judul buku Seni Rupa Aceh. Khazannah
ornamen tentang produk budaya masyarakat Aceh tidak akan sempurna
jika buku Seni Rupa Aceh tidak ada. Penulis mendapatkan bermacam
motif yang dapat dijadikan referensi untuk menilai rencong.
4. Buletin Rumoh Aceh edisi ke 3 yang diterbitkan oleh Museum Negeri
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penulis mendapatkan informasi yang
sangat bermanfaat tentang Ragam Hias Kayu Tradisional Aceh yang
ditulis oleh Nurdin A. R. Dalam buletin ini walaupun membahas ragam
hias kayu namun beberapa penjelasan dapat asal usul seni ukir dan
pembuatnya sehingga penulis dapat mengetahui penyebab sulitnya
mendapat informasi yang lengkap tentang ragam hias di Aceh. Dalam
Buletin Rumoh Aceh juga dijelaskan mengapa masih terdapat binatang
sebagai elemen dalam ornamen. Seperti yang telah diungkapkan oleh
Tammat dkk (1996:371) pada sarung rencong terdapat ukiran yang indah
dengan motif-motif sangat menarik. Bentuk ukiran ini juga mnegandung
suatu kekuatan magis, seperti kekuatan magis yang terdapat pada senjatasenjata lain seperti di Jawa/Kalimantan dan sebagainya. Motif-motif yang
dibuat banyak juga persamaan dengan seni (hias) ukir ataupun sulaman
Aceh. Motif-motif fauna biasanya seperti ukiran ular, naga, ayam jago,
burung nuri, kupu-kupu, dan sebagainya. Sedangkan motif-motif flora
antara lain :gambar bunga, buah dan daun. Kesimpulan sementara penulis
Universitas Sumatera Utara
9
bahwa estetika pada ornamen Rencong Aceh berasal dari konsep estetika
Islam. Konsep estetika Islam tidak menggunakan hewan dan manusia
sebagai bagian dari ornamen.
5. 5.Estetika karya A. A. M. Djelantik. Penulis menggunakan teori estetika
dari buku ini dalam penelitian tentang rencong. Untuk membantu
menentukan kriteria penilaian estetika pada rencong penulis menggunakan
instrumen dari teori evaluasi kesenian Beardsley.
6. Studi Media dan Kajian Budaya yang ditulis oleh Rachmah Ida. Penulis
sangat terbantu dengan informasi yang dalam tulisan Rachmah Ida
terutama pada validitas kajian penelitian kualitatif yang berbeda dengan
penelitian kuantitatif.
7. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa yang ditulis oleh Agus
Sachari. Dari buku ini penulis sangat terbantu memilah metode yang
digunakan dalam penelitian tentang semiotika dan estetika
8. T. Samsudin dan M.Nur Abbas menulis tentang Reuncong yang dijadikan
sebagai dasar informasi tentang rencong sebab termasuk tulisan yang
membahas khusus tentang rencong dalam satu buku. Penulis yang lainnya
membahas tentang rencong hanya satu bab atau satu sub bab saja.
9. Untuk mencari asal usul rencong menjadi simbol Aceh penulis banyak
mendapat informasi dari buku Aceh Tanah Rencong yang dikarang oleh
Rusdi Sufi dkk.
10. Rencong merupakan benda budaya yang memiliki nilai sejarah yang
tinggi. Tentunya dalam menggali sejarah rencong dibutuhkan kelengkapan
Universitas Sumatera Utara
10
sejarah yang banyak penulis dapatkan dari buku Aceh Sepanjang Abad
karangan Mohammad Said.
11. Semangat perjuangan yang begitu tinggi bagi rakyat Aceh melawan
Belanda menjadi catatan penting dalam penelitian rencong karena rencong
juga menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh. Buku Apa Sebab Rakyat
Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Belanda tulisan A.
Hasjmi ini banyak memberikan inspirasi bagi penulis.
12. Dalam memahami makna ornamen yang ada pada rencong tentunya
terdapat kesamaan motif pada produk budaya lainnya. Buku Arti
Perlambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin Dalam Menanamkan Nilai
Budaya Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang disusun oleh Nasruddin
Sulaiman dkk. sangat membantu penulis untuk menterjemahkan makna
dari motif yang terdapat pada rencong.
13. Sebagai tambahan referensi bagi penulis Album Seni Budaya Aceh yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menambah
khazanah motif-motif Aceh.
14. Istilah-istilah Aceh sebagai bahasa sumber yang terkadang tidak dapat
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia banyak sekali kita dapatkan
dalam buku Aceh di Mata Kolonialis yang ditulis oleh C. Snouck
Hurgronje memperkaya pemahaman akan Aceh. Buku yang terdiri dari
dua jilid ini juga menjelaskan tentang kebudayaan Aceh secara terperinci.
15. Dasar-dasar desain yang ditulis
oleh Bambang Irawan dan Priscilla
Tamara. Untuk mengukur estetika sebuah produk budaya buku ini
Universitas Sumatera Utara
11
memberikan pemaparan konsep dasar seni rupa. Tentunya dapat
memudahkan penulis dalam mengklasifikasikan estetika berdasarkan teori
objektifitas.
16. Banyak pengertisn istilah-istilah seni rupa dasar yang didapat dari Diksi
Rupa yang ditulis oleh Mikke Susanto. Tentunya buku ini sangat
membantu sekali dalam memperkuat landasan teori
17. Kamus Aceh Indonesia Volume I dan Volume II yang disusun oleh Aboe
Bakar, dkk. sangat membantu sekali dalam menterjemahkan kata-kata
yang berasal dari bahasa sumbernya yaitu bahasa Aceh.
18. Demikian juga sebaliknya mempelajari istilah-istilah dalam Bahasa Aceh
akan lebih mudah jika didampingi Kamus Umum Indonesia Aceh yang
ditulis oleh M. Hasan Basry.
1.5 Konsep dan landasan Teori
Berikut ini akan disajikan beberapa teori yang akan digunakan sebagai alat
untuk membedah berbagai masalah yang berkenaan dengan topik tulisan ini.
1.5.1 Konsep
Berbicara teori estetika di dunia masih sangat terpengaruh dengan teoriteori dari Barat. Nilai-nilai estetik yang menyertai hampir semua benda, gagasan,
dan proyeksi, dipiuhkan oleh para ahli estetika Barat menjadi wacana yang
tersembunyi dalam materialisma dan eksistensialisma, kemudian diadopsi oleh
negara-negara berkembang sebagai suatu orientasi baru menjadi "Barat". Namun
Universitas Sumatera Utara
12
kenyataanya, selama lebih dari satu abad berorientasi menjadi masyarakat
makmur yang rasional, dan kemakmuran itu hanya mampu sebatas kulit, dan
negara ketiga kemudian menjadi sangat dan berupaya meleburkan diri dalam
situasi yang kebaratan (Sachari, 2002:2).
Di Indonesia, terdapat tiga fenomena estetik dominan yang selama ini
selalu menjadi bahan kajian dan rujukan dalam percaturan estetika. Ketiga
fenomena
tersebut
memiliki
keterkaitan
maknawi,
yaitu
sebagai
(1)
kesinambungan sejarah, (2) rautan dalam mencari identitas budaya, (3)
penyeimbang kebudayaan nilai, serta sebagai konsekwensi program modernisasi.
(Sachari, 2002:100)
Aceh banyak terpengaruh estetika timur khususnya Islam. Menurut
pengamatan Hossein (1987), dalam kebudayaan Islam nilai-nilai estetik yang
menyertai karya seni selalu menekankan aspek kesementaraan, dunia material,
atau budaya benda ditempatkan dalam kefanaan dan kehampaan. Nilai-nilai
estetika Islami selalu merefleksikan transparansi dengan cahaya Tuhan. Jika
karya-karya seni diamati,
maka keindahannya merupakan keindahan yang
disimbolkan oleh arabes2 yang memungkinkan kehampaan itu memasuki inti
materi yag sejati.
Ornamen merupakan penghias dan pelengkap untuk memberikan nilai
keindahan pada sebuah benda. Terkadang pada ornamen tersebut tidak hanya
untuk memenuhi unsur estetika saja namun terdapat makna-makna tersembunyi di
baliknya. Bahkan dalam wacana posmodern, karya seni tidak lagi dipandang
2
arabes atau arabesque, berasal dari arabesco berarti "gaya Arab". Istilah ini diartikan
sebagai bentuk hiasan yang terdiri dari garis-garis yang meliuk-liuk berirama dan saling terhubung
membentuk pola bunga, daun, cabang tumbuh-tumbuhan yang dilegkapi sulur-sulurnya.
Universitas Sumatera Utara
13
sebagai karya artistik, tetapi dipandang dari aspek tanda, jejak, dan makna.
Dengan demikian kajian-kajian estetika pun menjadi meluas, tidak sebatas
pada artifak yang disepakati sebagai suatu karya seni, tetapi pada satu artifak
yang mengandung makna (Sachari, 2002:4).
Makna dalam lingkup estetika secara konvensional sering dimengerti menjadi
tiga kelompok besar, pertama makna psikologis, yaitu upaya untuk meningkatkan
kualitas bathin manusia, perenungan akan kemahabesaran Tuhan; kedua, makna
instrumental, yaitu sebagai bagian manusia dalam menyelenggarakan kehidupan
ragawinya melalui ekspresi dalam berkarya atau sertaan dalam benda-benda
kebutuhan sehari-hari; ketiga, makna yang dimiliki oleh estetika itu sendiri dalam
mewujudkan eksistensinya, yang direpresentasikan dalam pengembangan ilmu,
filsafat seni atau penyadaran baru.
Walaupun demikian, pemaknaan dinilai
sebagai suatu cara yang paling objektif untuk memberi arti dalam semua
pekerjaan estetik, karena tanpa makna apapun yang dikerjakan oleh manusia sama
dengan "tiada". Namun, makna tak selamanya menyertai sebuah karya estetik,
hanya dalam hal-hal khusus makna juga secara total hadir dalam karya estetik.
(Sachari, 2002:98).
Walaupun demikian agar tidak mengalami kerancuan pemahaman penulis
menempatkan estetika dan semiotika secara terpisah. Untuk hal tersebut
dibutuhkan konsep penerjemahan simbol-simbol yang terkandung dalam ornamen
tersebut dan konsep estetika untuk mengkaji nilai estetisnya.
Universitas Sumatera Utara
14
1.5.2 Teori
Sebagaimana konsep-konsep yang dipaparkan oleh penulis ada beberapa
pendekatan teori yang dapat mendukung penelitian ini yaitu pendekatan teori
semiotika dan teori estetika (Rachmah, 2014:75).
1.5.2.1 Teori semiotika
Semiotik adalah metode yang dipakai untuk menganlisis tanda-tanda (signs),
diagram, peta, serta tanda baca.
Menurut Sachari, (2003:13) Kajian semiotik lebih menekankan aspek-aspek
struktur dari bahasa rupa, sedangkan kajian semantik merupakan kajian yang
bersifat hermeneutik yang lebih menekankan kepada makna dan nilai-nilai
budaya.
Kajian semiotik juga dapat memaparkan bahasa rupa apa adanya tanpa harus
adanya keterlibatan dari apresiator untuk menafsirkan. Pengamat dapat memahami
struktur bahasa rupa, baik yang berkaitan dengan ikon, indeks, tanda, simbol
ataupun kode budaya yang terdapat di dalamnya. Demikian pula dengan makna
konotatif maupun denotatif sebuah teks budaya rupa yang dijadikan objek kajian.
Dalam bidang desain yang dapat dianalogikan dengan bahasa visual. Untuk
gambar teknis, informasi ataupun aspek-aspek yang berkaitan dengan produksi
cenderung digunakan tanda visual yang bersifat denotatif, sehingga tidak terjadi
pembiasan makna. Sedangkan untuk hal-hal yang bermuatan ekspresi, seperti
bentuk, citra, motif, ornamen ataupun hal-hal yang bersentuhan dengan aspek
humanistis, cenderung diterapkan tanda-tanda konotatif.
Universitas Sumatera Utara
15
Menurut Piliang (2003:261) Roland Barhtes mengembangkan dua tingkatan
pertandaan (staggered system), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna
yang bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan konotasi
(connotation).
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang
menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative
meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya foto
wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda
yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
Jika denotasi sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, maka konotasi
sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya (DeVito, 1997:125). Ini
sejalan dengan pendapat Arthur Asa Berger yang menyatakan bahwa kata
konotasi melibatkan simbol-simbol, historis, dan hal-hal yang berhubungan
dengan emosional (Berger, 2000:15). Dikatakan objektif sebab makna denotatif
ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam
pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada
penambahan rasa dan nilai tertentu.
Makna denotatif (denotative meaning) disebut juga dengan beberapa istilah;
makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna
refensial, atau makna
proporsion (Keraf, 1994:28). disebut dengan makna
denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk
(denote) suatu referen, konsep atau ide tertentu dari referen. Disebut makna
Universitas Sumatera Utara
16
kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus
(dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal
yang dapat dicerap pancaindera (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini
disebut juga makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi
atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan pertanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit,
tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).Ia
menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan
dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan.
Misalnya tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang atau tanda tengkorak
mengkonotasikan bahaya. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang
bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative
meaning).
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994:29)
Ornamen adalah representatif bentuk yang telah mengalami perubahan dari
bentuk-bentuk alamiah seperti tumbuh-tumbuhan, makhluk hidup, alam benda dan
fenomena alam semesta. Kaitan tanda terhadap objek visual terkadang jauh dari
kemiripan, namun ide dasarnya terjadi atas konsepnya.
1.5.2.2 Teori estetika rupa
Estetika berasal dari bahasa Yunani Kuno aestheton, yang berarti kemampuan
Universitas Sumatera Utara
17
melihat lewat penginderaan (Sumardji, 1997) atau pencerapan, persepsi, perasaan,
pengalaman, pemandangan (Hartoko,1983:15). Baumgarten (1714-1762), seorang
filsuf Jerman memperkenalkan kata aesthetika sebagai penerus pendapat Cottfried
Libniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena mengharapkan untuk
memberikan tekanan pada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk
mengetahui (the prediction of sentient knowledge).
Herbert Read dalam bukunya The Meaning of Art merumuskan keindahan
sebagai suatu kesatuan arti hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara
pencerapan inderawi kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu
yang menyenangkan bila dilihat. Kant secara eksplisit menitikberatkan estetika
kepada teori keindahan dan seni.
Menurut Sachari (2003:119) Model pendekatan estetik dapat dilakukan atas
dua sisi, yaitu (1) pendekatan melalui filsafat seni dan (2) pendekatan melalui
kritik seni. Dalam kajian filsafat seni objek desain dapat diamati sebagai sesuatu
yang mengandung makna simbolik, makna sosial, makna budaya, makna
keindahan, makna ekonomi, makna penyadaran, ataupun makna religius.
Sedangkan dalam kajian objek amatan cenderung diamati sebagai sebuah objek
yang mengandung dimensi kritis, dinamika gaya teknik pengungkapan, tema
berkarya, ideologi estetik, pengaruh terhadap gaya hidup, hubungan dengan
perilaku, dan berbagai hal yang sementara ini memiliki dampak terhadap
lingkungannya.
Kajian apresiasi seni atau pemahaman, sering dikacaukan dengan pemakaian
istilah dan pengertian yang terjadi antara apresiasi atau pemahaman dengan
Universitas Sumatera Utara
18
penikmatan karya estetik. Pemahaman estetika seni rupa dalam bentuk
pelaksanaanya merupakan apresiasi seni. Apresiasi tidak sama dengan
penikmatan, mengapresiasi adalah proses pengenalan nilai karya seni, untuk
menghargai, dan menafsirkan makna (arti) yang terkadung di dalamnya (Kartika,
2004:82).
Persoalan yang dibicarakan olah para ahli pikir, ialah bagaimana seorang
pengamat menanggapi atau menikmati suatu benda indah atau karya seni?
Seseorang tidak lagi membahas sifat-sifat yang merupakan kualita dari benda
estetik, terutama usaha menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan
melengkapi dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan karya seni
(Liang Gie, 1978;51).
Dewasa ini perdebatan antara orang-orang yang beranggapan bahwa ada
cara yang tepat dan tidak tepat dalam membicarakan objek atau kejadian
estetik."Perdebatan antara Form dan Content" ini telah diperluas sebagai
"Perdebatan Form-Context. "
Pemikir yang beraliran formalisme mempertahankan bahwa sebuah karya
seni dilihat dari properti formal seperti warna bentuk, ketukan, irama, sajak, dan
sudut kamera. Biasanya, properti tersebut dapat dibedakan dari properti nonformal
yaitu properti yang tidak terdapat pada objek atau peristiwa, seperti kota tempat
karya diciptakan, maksud seniman membuatnya, atau siapa pemilik terakhir suatu
karya. Formalisme adalah padangan bahwa properti seperti itu dipisahkan dari
penilaian dan pengalaman estetis.
Universitas Sumatera Utara
19
Pemikir yang lain suatu karya seni tidak identik dengan objek fisik tapi
berada pada pengalaman atas objek fisik tersebut. Menurut Joseph Margolis
sebuah patung bukan hanya sekedar batu, tetapi "Muncul" dari batu tersebut jika
dialami secara estetis. David Pole yakin bahwa pertimbangan yang lebih rumit
diperlukan untuk menjelaskan realitas seperti apa yang dimiliki suatu karya seni.
Ia membandingkannya dengan teori-objek dan peristiwa abstrak yang terpublikasi
sejarahnya merupakan bagian dari mereka. Pandangan Pole tentang peran konteks
karya mengimplikasikan bahwa keberadaan suatu karya seni melibatkan konteks.
Jika bagian suatu karya adalah sejarahnya, maka kita tidak akan mengerti karya
itu tanpa memeriksa, baik hal maupun konteksnya. Jika sejarah menjadi bagian
dari karya maka konteks juga tidak dapat disingkirkan (Eaton, 1988:100).
Penulis sependapat menggunakan teori konteks untuk membahas estetika
pada suatu objek. Untuk memahami estetika ornamen pada rencong yang peneliti
bahas diperlukan peninjauan konteks sejarah karena usia rencong rata-rata 100
tahun lebih.
Menurut estetika Marxist, seni (seperti hal yang lainnya) diproduksi oleh
kondisi historis sehingga perlu dijelaskan menurut kondisi tersebut, khususnya
menurut ideologi yang dibawa dan dikekalkan mereka.
1.5.2.3 Teori transformasi budaya
Pengertian nilai estetik mengalami transformasi yang panjang sebagai
bagian dari proses transformasi budaya dunia. Demikian pula di negara kita;
pergeseran nilai estetik merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari
Universitas Sumatera Utara
20
transformasi budaya Indonesia, sejak zaman Hindu hingga masa modernisasi
sekarang ini. (Sachari dan Suryana, 2001:159). Oleh karena hal tersebut penulis
menganggap perlu memasukkan teori Transformasi Budaya ini sebagai
pendukung teori-teori sebelumnya.
Dalam menyimak perubahan nilai-nilai dalam proses transformasi budaya,
model paradigma banyak digunakan, terutama teori yang dikembangkan oleh
Parson dan Smelzer untuk masalah sosial-budaya, serta Khun untuk masalah sains
dan teknologi. Parson mengkonsepsikan perubahan dengan asumsi bahwa
masyarakat mempunyai fungsi adaptasi (ekonomi), integrasi (masyarakat),
mempertahankan diri (budaya), dan memberi orientasi tujuan (policy). Khun
menilai paradigma sebagai model atau pola yang hanya dapat diterima oleh
masyarakat tertentu, dan dalam penerapannya berfungsi untuk memperbolehkan
replikasi.
Sebagaimana yang diutarakan Khun, konsep paradigma Parson juga
menyatakan bahwa masyarakat secara keseluruhan memiliki dasar kemampuan
beradaptasi dan berintegrasi terhadap pengaruh dari luar maupun dari dalam.
Pengaruh ini mencakup berbagai hal, termasuk nilai estetik. Hal tersebut terbukti
melalui sejarah; banyak nilai estetik di luar kebudayaan Indonesia yang mampu
diadaptasi dan berintegrasi dengan masyarakat kita. Meskipun dalam beberapa hal
tertentu terjadi penolakan sebagai usaha untuk mempertahankan diri
dari
pengaruh yang terlalu dominan, lambat laun nilai estetik baru itu mampu
beradaptasi dengan nilai-nilai setempat. Proses ini biasanya diberi legalitas
dengan cara memberi arah dan tujuan, misalnya sebagai dukungan tehadap
Universitas Sumatera Utara
21
penyebaran agama, peningkatan ekonomi, atau untuk memenuhi selera
masyarakat dalam kurun waktu tertentu (Sachari dan Suryana, 2001:159).
Gambar 1 : Proses transformasi budaya, secara umum didahului oleh proses
dialog budaya secara terus menerus hingga terjadi proses sintesis budaya yang
melahirkan kebudayaan 'campuran'. Proses ini berlangsung selama puluhan tahun
hingga melahirkan format kebdayaan akhir yang mantap. di dalamnya tercakup
pergeseran-pergeseran nilai estetik dalam karya desain dan kesenirupaan.
sumber : (Sachari, 2005:84)
1.5.2.4 Teori estetika islam
Penulis mengkaji estetika islam berdasarkan konsep estetika Seyyed Hossein
an Nasr. Hossein menilai terdapat konsekwensi yang erat antara nilai-nilai estetika
dan dunia metafisika, terutama kaitannya dengan pengagungan Tuhan yang
Mahatunggal. Dalam dunia Muslim, nilai-nilai estetika memiliki keterkaitan
langsung dengan prinsip-prinsip tauhid, dan ditempa sebagai doktrin yang mutlak.
Prinsip itu merupakan penjabaran langsung dari dunia metafisika dengan pelbagai
tingkat pengertiannya. Pertama adalah penekanan pada karakter kesementaraan
Universitas Sumatera Utara
22
berupa nilai-nilai yang bersifat duniawi, serba tidak abadi; dan yang kedua adalah
nilai-nilai yang mengacu pada Realitas Tertinggi yang memutlakkan Allah di luar
jangkauan dan pemikiran awam tentang Tuhan (Sachari, 22: 2002).
Makna tertinggi nilai-nilai estetik adalah kontemplasi total terhadap realitas
tertinggi ilahiah sebagai substansi terakhir,atau yang disebutnya sebagai wujud
murni. Dalam dunia metafisika Islam, "wujud" dapat dipahami sebagai sesuatu
yang terbangun dari aspek ketiadaan sebagai urutan dasar semua proses
penciptaan. Segala sesuatu yang tercerap oleh pancaindera adalah "tidak nyata",
karena yang nyata mutlak hanya Tuhan. Dalam pengertian lain juga dapat
dipahami bahwa segala sesuatu yang terwujud dalam pengertian manusia pada
umumnya hanya merupakan "gema" proses penciptaan yang dilakukan oleh
Tuhan. Manusia bukanlah mahluk pencipta, melainkan mahluk ciptaan. Jadi, jika
terbangun nilai-nilai estetik sebagai akibat dari apa yang diperbuatnya, hanyalah
merupaka refleksi dari proses penciptaan Yang Maha Besar.
Menurut pengamatan Hossein (1987), dalam kebudayaan Islam nilai-nilai
estetik yang menyertai karya seni selalu menekankan aspek kesementaraan, dunia
material, atau budaya benda ditempatkan dalam kefanaan dan kehampaan. Nilainilai estetika Islami selalu merefleksikan transparansi dengan cahaya Tuhan. Jika
karya-karya seni diamati,
maka keindahannya merupakan keindahan yang
disimbolkan oleh arabes yang memungkinkan kehampaan itu memasuki inti
materi yag sejati.
Arabeska dicapai melalui pengulangan bentuk geometris yang dijalin melalui
kehampaan, dan juga menghilangkan kemungkinan adanya keterpakuan persepsi
Universitas Sumatera Utara
23
pada satu objek saja. Ketabuan yang mendalam adalah mengkonkretkan "wajah"
ketuhanan, yang merupakan bentuk visualisasi yang konsistensi terhadap
ketiadaan. Menggambarkan mahluk hidup merupakan wujud estetika lain untuk
menghampakan diri. Materi adalah hampa dan tiada. Dengan demikian, manusia
dapat berkonsentrasi pada pemusatan pikiran dan merenung tentang Ketuhanan
tanpa harus membuat replikanya Anakronisme3 Islam yang berupaya yang
berusaha menghilangkan perwujudan kehadiran Tuhan secara visual, merupakan
inti dari makna spiritualitas kehampaan seorang muslim. Kehampaan ini menjadi
unsur sakral dalam seni Islam.
Dalam periode selanjutnya terdapat upaya-upaya yang lebih kaya dalam
menghias masjid dengan kaligrafi, ornamen tumbuhan, dan unsur-unsur
geometrik. Kepadatan hiasan itu sebenarnya merupakan representasi dari
kehampaan. Semakin kaya hiasan objek seni, semakin hampalah, karena
kehampaan melambangkan kesakralan dan menjadi pintu gerbang "kehadiran"
Tuhan di dunia material (Sachari, 22: 2002).
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif yakni
menggambarkan atau mengamati fakta-fakta fisik yang terdapat pada media
ornamen yang terdapat pada berbagai macam jenis rencong yang ada di aceh
khususnya rencong koleksi museum Aceh.
3
anakronisme merupakan suatu tindakan atau perintah untuk menjauhi dari bahaya
kemusyrikan dengan jalan tidak menggambar ketuhanan, nabi, dan mahluk hidup.
Universitas Sumatera Utara
24
Analisa dan teknik pengolahan data menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Sedangkan teknik pegumpulan data pada penelitian ini yaitu observasi
langsung ke pengrajin rencong di banda Aceh. Teknik observasi ini menggunakan
sarana-sarana seperti dokumen, buku, foto dan video. Dengan Metode deskriptif
kualitatif ini peneliti dapat melihat serta menguraikan struktur bentuk-bentuk
ornamen serta kandungan didalamnya.
Metode di atas digunakan sesuai dengan permasalahan yang dianalisis, untuk
melihat sejumlah ornamen sebagai fenomena makna.
Qualitative reasearch is an interdisiplinary, transdisiplinary, and
sametimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the sosial
and physical sciences.Qualitative research is many things at the same time. It
is mutiparadigmatic in focus. Its practicioners are sensitive to the value of the
multimethod approach. They are commited it the naturalistic perspective,and
the interpretive undertanding of human experiences. At the same time, the field
is inherently political dand shaped by multiple ethical and political positions
(Nelson and Grossberg, 1992 : 4)
Penyampaian di atas dapat diartikan secara garis besar bahwa penelitian
kualitatif umumnya melihat aspek manusia di dalam masyarakat atau kelompok.
Dan tidak di dalam kelompok peneliti. Nelson dan Grossberg menyampaikan
penelitian kualitatif banyak hal yang harus dilihat di dalam fenomena kehidupan
manusia, seperti tentang nilai, fungsi sosial serta terkadang politik lingkup budaya
menjadi intensitas yang paling berarti untuk dapat diketahui sebagaimana proses
konteks peristiwa manusia.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat dengan kepentingan sosial yang
ada, kehidupan tidak akan lepas dari hal-hal yang menyangkut fungsi serta nilainilai yang tumbuh. Pertumbuhan serta fungsi tersebut ditujukan untuk
Universitas Sumatera Utara
25
melangsungkan pertahanan hidup. Oleh karena hal tersebut kebudayaan selalu
mengalami perubahan.
Ornamen merupakan citra keinginan yang diciptakan oleh leluhur
sebelumnya untuk nilai-nilai tersendiri di tubuh masyarakatnya. Meski keindahan
bentuk sebagai hiasan, akan tetapi ornamen tidak hanya berfungsi sebagai hiasan,
tetapi sebuah atribut atau pengingat akan adanya ikatan-ikatan manusia dan
ligkungannya.
1.6.2 Penelitian lapangan
Untuk mendapatkan data yang nyata dalam mengkaji ornamen pada rencong
dibutuhkan penelitian lapangan. Penulis melakukan penelitian lapangan dengan
mengkaji semiotika dan estetika ornamen pada rencong Reuncong Meupucok,
Reuncong Pudoi, dan Reuncong Meucugek koleksi Museum Aceh di Banda Aceh.
Hal ini dilakukan karena museum merupakan salah satu lembaga yang
menyediakan sumber sejarah baik primer maupun sekunder.
Penulis melakukan teknik observasi yaitu dengan melakukan pengamatan
objek secara langsung dengan melihat, menyentuh, mendokumentasikan melalui
video dan foto, serta mencatat. Wawancara dilakukan dengan memilih sejumlah
informan yang dipilih penulis sebagai narasumber.
Universitas Sumatera Utara
26
1.6.3 Fokus penelitian
enelitian
Adapun fokus penelitian ini adalah pada
pad bentuk-bentuk
bentuk ornamen serta
kandungan maknanya, diklasifikasikan sesuai konsep dan medianya sebagai
berikut :
1. Konsep bentuk dasar ornamen yang dideformatif4 atau berubah dari bentuk
asli alamnya. Contohnya ornamen bungong jeumpa yang diterapkan pada
ukiran
an atau sulaman
Gambar 2 : deformasi motif Bungong Jeumpa
Sumber : digambar ulang oleh penulis dari Tammat dkk., 1996:293
2. Konsep bentuk imajinatif yang dikembangkan menjadi bentuk
bentuk-bentuk baru.
3. Media ornamen serta penempatannya pada rencong
4. Klasifikasi bentuk ornamen
5. Makna satuan ornamen dan makna keseluruhan ornamen
4
Deformasi merupakan perubahan susunan bentuk yang dilakukan dengan sengaja untuk
kepentingan seni,yang sering terkesan sangat kuat/besar sehingga terkadang tidak lagi berwujud
figur semulaatau yang sebenarnya. Hal ini dapat memunculkan figur/karakter
figur/karakter baru yang lain dari
sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
27
1.6.4 Teknik pengumpulan data
Dalam penilitian ini menggunakan teknik observasi dan wawancara. Sumber
data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang diperoleh dari pustaka baik teori-teori yang dikemukakan dari bukubuku atau literatur lain yang bersifat tidak langsung. Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh penulis dari wawancara dan observasi ke lapangan
1.6.4.1 Observasi
Untuk mendapatkan data langsung penulis menggunakan pendekatan
observasi ke lapangan dengan melihat langsung objek yang diteliti. Pentingnya
teknik ini diharapkan untuk mendapatkan sejumlah bagian penting yang diteliti
guna mendapatkan hubungan data dengan wawancara.
1.6.4.2 Wawancara
Penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan data dari narasumber.
Narasumber dipilih sesuai jumlah yang diklasifikasikan penulis agar arah
penelitian lebih terfokus. Penulis melakukan wawancara terhadap kolektor bendabenda seni khususnya Bapak H. Harun Keuchik Leumiek. Beliau merupakan
kolektor perhiasan kuno, senjata tajam dan barang berharga abad ke-13 lainnya.
Penulis juga melakukan wawancara terhadap tokoh adat, kepala dinas
pariwisata, kepala museum (yang terkait dengan unsur pemerintah), budayawan,
ulama, beberapa pengrajin rencong dan seniman ornamen di Banda Aceh.
Universitas Sumatera Utara
28
1.6.4.3 Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dimulai dari pengumpulan data
sampai pada pengelompokkan gambar rencong berdasarkan jenisnya, daerahnya
lalu dikelompokkan kembali berdasarkan ornamenya. Setelah itu bagian-bagian
ornamen yang telah dikelompokkan, dianalisa dan diuraikan makna dan unsur
estetikanya dalam bentuk tabel-tabel.
1.7 Sistematika Penulisan
Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab. Setiap bab secara saintifik
dianggap memiliki isi yang dekat. Setiap bab akan dibagi menjadi sub-sub bab.
Secara keseluruhan tesis ini di bagi ke dalam lima bab, dengan perincian sebagai
berikut.
Pada Bab I yang merupakan pendahuluan, akan diisi oleh uraian mengenai
latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian
(dirinci menjadi tujuan penelitian serta manfaat penelitian), kerangka teori (yang
diuraikan lagi dengan menggunakan dua teori besar yaitu estetika dan teori
semiotika serta untuk memperkuat kedua kerangka teori tersebut penulis
menggunakan teori tambahan yaitu teori transformasi busaya. Metode penelitian
(yang diperinci lagi menjadi studi kepustakaan dan penelitian lapangan yang
terdiri dari: observasi dan wawancara), lokasi penelitian, Gambaran Umum Lokasi
Penelitian dan sistematika penulisan.
Universitas Sumatera Utara
29
Bab II berisikan tentang sejarah masuknya Islam di Aceh. Dari sejarah
tersebut dapat dipetakan sejarah rencong Aceh.
Bab III berisikan tentang rencong Aceh mulai dari sejarah hingga bentuknya.
Bab IV Dalam bab ini dibahas tentang kajian estetika pada rencong aceh
koleksi Museum Aceh di Banda Aceh
Bab V Dalam bab ini dibahas tentang kajian semiotika pada rencong aceh
koleksi Museum Aceh di Banda Aceh.
Bab VI Kesimpulan dan Saran, bab ini dibagi lagi menjadi kesimpulan dan
beberapa saran dalam konteks penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara umum, masyarakat Aceh terdiri atas kelompok-kelompok etnik (suku
bangsa), yaitu: (1) Aceh Rayeuk, (2) Gayo, (3) Alas, (4) Tamiang, (5) Kluet, (6)
Aneuk Jamee, dan (7) Semeulue. Keenam kelompok etnik ini masing-masing
mendiami daerah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya. Daerah
kebudayaan mereka ini adalah: (1) Aceh Rayeuk memiliki wilayah budaya di
Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, (2) etnik Alas
berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara dan sekitarnya, (3) etnik Gayo mendiami
Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya, (4) etnik Kluet mendiami Kabupaten
Aceh Selatan dan sekitarnya, (5) etnik Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh
Barat dan sekitarnya, (6) etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan
Kepulauan Semeulue dan sekitarnya, serta (7) etnik Tamiang mendiami
Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya.
Seluruh etnik tersebut tinggal di berbagai daerah Kabupaten dan Kota, seperti
kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh
Utara, Kabupaten Aceh Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Kota
Banda Aceh dan sebagian kota dan kabupaten lainnya. Dari setiap daerah tersebut
di atas sudah tentu memiliki kesamaan budaya sekaligus juga terdapat perbedaanperbedaan yag menjadi ciri khas tersendiri.
Universitas Sumatera Utara
2
Terdapat identitas Aceh yang terlihat dari berbagai bukti yang dapat kita lihat
pada hasil budaya Aceh dalam bentuk arsitektur, peralatan rumah tangga, senjata,
perhiasan dan lainnya.
Salah satu hasil budaya ini yaitu Reuncong. Rencong mempunyai lima fungsi
dalam penggunaan sehari-hari bagi masyarakat Aceh sejak dahulu sampai pada
masa sekarang.
Pertama, rencong berfungsi sebagai simbol status sosial. Keberadaan senjata
ini terasa sekali ketika Aceh masih dalam status kerajaan. Saat itu masyarakat
Aceh tersusun atas empat lapisan sosial, yaitu tuanku (keluarga sultan), lapisan
uleebalang, lapisan ulama, dan lapisan masyarakat biasa. Lapisan masing-masing
dalam hal pemakaian senjata-senjata pusaka banyak menunjukkan perbedaan atau
ciri-ciri khusus. Pada kelompok masyarakat biasa, ia bangga apabila memiliki
senjata yang berasal dari seseorang yang memiliki kedudukan terpandang dalam
masyarakat (Syamsudin dan Abbas, 1981:79).
Ukiran pada permukaan gagang bagian atas itu ada bermacam-macam bentuk
pula. Ada yang berbentuk kembang daun, kembang berantai, kembang mawar
maupun bentuk-bentuk aksara Arab. Bentuk-bentuk tersebut tidak menunjukkan
sesuatu maksud tertentu, tetapi merupakan ukiran-ukiran yang disenangi
pemiliknya.
Bagi pemilik yang berasal dari golongan elite maupun hartawan tempo dulu
sangat mengutamakan ukiran-ukiran yang dikehendaki dengan penggunaan
bahannya yang banyak, apakah yang terdiri dari emas maupun dari suasa"
(Syamsudin dan Abbas, 1981:8).
Universitas Sumatera Utara
3
Kedua, rencong digunakan sebagai alat perhiasan sehari-hari oleh pria-pria
Aceh dalam gerak kehidupannya. Sebagai alat perhiasan sehari-hari, disisipkan di
pinggang dan juga rencong itu digunakan sebagai salah satu dari serangkaian alatalat kesenian terutama dalam tari Seudati dan Ratoh.1 Rencong juga melengkapi
pakaian pengantin pria pada pesta perkawinan di berbagai daerah Aceh.
Ketiga, rencong digunakan sebagai alat pelobang menggantikan perkakas
untuk melobangi. Rencong biasa dipakai juga untuk melubangi pelepah rumbia
pada bagian-bagian tertentu untuk dijadikan dinding rumah. Namun pada sebagian
rencong tidak difungsikan sebagai pengupas dan pemotong, tetapi digunakan
untuk mempertahankan diri.
Karena ada rencong tertentu dianggap sebagai barang bernilai magis religius
dalam pandangan masyarakat Aceh, maka rencong sama sekali tidak digunakan
sebagai alat pemotong atau pengupas. Dia dipakai apabila amat diperlukan,
misalnya jika menghadapi musuh. Pada dasarnya setiap masyarakat Aceh jika
telah berumur 18 tahun memiliki rencong untuk mendampingi hidupnya,
meskipun rencong tersebut tidak dibawa atau diselipkan di pinggangnya
(Syamsudin dan Abbas, 1981:3).
Keempat, rencong diberikan kepada para pengunjung atau tamu-tamu daerah
sebagai tanda penghormatan yang menunjukkan penghargaan si pemberi atas
kujungan tamu tersebut (Leigh, 1989:51).
1
Ratoh yaitu duduk berbincang-bincang atau seperti yang disebut Keith Howard sebagai
women chattering. Jika ditilik dari unsur katanya, ratoh yang berasal dari Bahasa Arab berarti
rateb yaitu melakukan pujian-pujian kepada Allah SWT melalui doa-doa yang dinyanyikan atau
diiramakan.
Universitas Sumatera Utara
4
Saat ini rencong juga banyak dibeli untuk kenang-kenangan atau souvenir
dari luar daerah Aceh baik wisatawan domestik maupun dari luar negeri. Ada juga
yang dijadikan perhiasan bros dari emas atau kuningan.
Kelima, rencong digunakan sebagai senjata sejak Aceh mulai berkembang
menjadi daerah kerajaan, menghadapi berbagai keangkaramurkaan dan tantangan
dari penyerbu luar Aceh. Penggunaan rencong sebagai alat senjata yang paling
ampuh, dimulai ketika Belanda mulai menyerbu Kerajaan Aceh. Namun demikian
rencong sudah digunakan sebagai alat senjata perang sejak masa jaya-jayanya
Portugis di kawasan Asia Tenggara. Berarti rencong sudah lama digunakan jauh
sebelum agresi Belanda terhadap kerajaan Aceh pada abad ke 19. Suatu dugaan
pula bahwa rencong sudah dikenal orang pada permulaan abad ke 13, dimana
pada priode tersebut sudah berkembang kerajaan Islam di Samudera Pasee, selaku
kerajaan Islam pertama di kawasan Asia Tenggara. Namun menurut para ahli
sejarah Penggunaan rencong sebagai senjata perang melawan Portugis mulai
dipakai untuk pertama kalinya ketika Sultan Ali Muqhayat-Syah memerintah
kerajaan Aceh pada tahun 1514—1528 (Syamsudin dan Abbas, 1981:5).
Dari sebagian besar fungsi tersebut di atas rencong merupakan alat budaya
yang dapat dijadikan simbol perwakilan daerah Aceh.
Sebagai alat budaya Reuncong merupakan sebuah karya seni yang memiliki
nilai estetika yang tinggi. Hampir setiap hasil karya seni tersebut dihiasi ukiranukiran ornamen untuk memperindah sebuah produk budaya dan terkadang
merupakan simbol yang memiliki makna tersendiri.
Universitas Sumatera Utara
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal yang penulis paparkan di atas, jika dilihat dari bentuk
rencong menyimbolkan kalimat bismillah yang memiliki makna bahwa dalam
menggunakan rencong harus menyertakan Allah atau karena tujuan melaksanakan
perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Namun secara khusus pada
Reuncong terdapat ukiran-ukiran yang indah. Apakah ukiran tersebut juga
memiliki makna? Atau ornamen tersebut hanya sebagai penghias saja.
Seperti yang dikutip Sachari, (2002:95) dalam "Equilibrium Capra" (Capra
mengadopsi pemikiran Toynbee) terbukti bahwa kebudayaan yang besar, akhirnya
akan lenyap tatkala tidak terjadi proses pemaknaan lebih lanjut oleh
masyarakatnya.
Kebudayaan-kebudayaan
itu
kehilangan
daya
adaptasi
menghadapi dinamika peradaban yang kompleks dan kuat. Hal tersebut dapat
dilihat pada pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban besar di sekitar Laut
Tengah. Diantara peradaban penting itu ada yang lenyap tak berbekas, karena
generasi berikutnya tak mampu memberi "makna".
Oleh karena hal tersebut penulis tertarik untuk merumuskan beberapa
permasalahan tentang ornamen yang terletak pada reuncong sebagai berikut:
1. Makna apakah yang terkandung pada ornamen Reuncong Aceh?
2. Bagaimana nilai estetika dan semiotika yang terkandung pada Reuncong
Aceh?
Penulis membatasi penelitian ini pada Reuncong Meupucok, Reuncong
Meucugek dan Reuncong Pudoi saja. Pada Reuncong Meukuree tidak penulis
Universitas Sumatera Utara
6
masukkan karena fokus pada masalah ornamen yang dibuat melalui unsur
kesengajaan saja.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ornamen Reuncong Aceh..
2.
untuk mengetahui nilai estetika dan semiotika ornamen pada Reuncong Aceh.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Memberikan pengalaman dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari perkuliahan. Selama menjadi mahasiswa di pasca sarjana (S2)
pada program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara, penulis mengharapkan penelitian ini menjadi
inspirasi bagi mahasiswa.
2
Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar seni rupa, untuk menambah
wawasan seni dan kemudian mengajarkannya kepada generasi muda
Indonesia, khususnya Aceh.
3
Sebagai tambahan referensi bagi peneliti lain untuk dikembangkan dalam
penelitian selanjutnya.
4
Bagi masyarakat dapat mengenal kekayaan budaya daerah agar dapat dijaga
dan dilestarikan.
Universitas Sumatera Utara
7
5
Menambah pengetahuan bagi penulis sebagai bahan masukan dalam kajian
tentang ornamen-ornamen Aceh khususnya yang terdapat pada rencong.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis merangkum sejumlah sumber kepustakaan untuk
menguatkan pendapat atau teori mengenai estetika dan semiotika pada rencong.
Sumber-sumber kepustakaan tersebut mencakup : a. referensi catatan terdahulu, b.
sejarah rencong aceh, c. kebudayaan masyarakat Aceh, d. tinjauan rencong Aceh,
e. dasar-dasar teori, f. metode dan teknik penelitian, g. referensi terkait.
Referensi penulis tentang catatan terdahulu yang diteliti oleh sejumlah penulis
mengenai rencong baik dari strata satu atau lanjutan, maupun penulis lepas
melalui bukunya dapat dipertimbangkan sebagai sumber pustaka antara lain:
1. Barbara Leigh, penulis buku Tangan Tangan Trampil Seni Kerajinan
Aceh. Barbara Leigh membahas
hasil penelitiannya tentang kerajinan
yang ada di seluruh Aceh yaitu: kerajinan sulaman benang emas, rencong,
kerajinan ukir dan seni ukir tembus pada rumah Aceh, perhiasan, dan
tentang desain Aceh yang membahas tentang dari mana desain tertentu
berasal? Apa hakikatnya? Bagaimana sebuah desain berkembang? Barbara
Leigh juga mengklasifikasi bentuk-bentuk motif yang terdapat pada tenun
sutera di masa lampau.
2. L.K Ara, penulis buku Ensiklopedi Aceh ; Musik, Tari, Teater, Seni Rupa.
Dalam Ensiklopedi Aceh penulis mendapatkan jenis-jenis
motif yang
terdapat di Aceh : Aceh pesisir, Gayo, Alas. Buku ini juga membahas
Universitas Sumatera Utara
8
makna beberapa motif Aceh untuk dijadikan salah satu acuan penulis
mengklasifikasi motif yang terdapat pada rencong.
3. Mahmud Tammat dkk., dengan judul buku Seni Rupa Aceh. Khazannah
ornamen tentang produk budaya masyarakat Aceh tidak akan sempurna
jika buku Seni Rupa Aceh tidak ada. Penulis mendapatkan bermacam
motif yang dapat dijadikan referensi untuk menilai rencong.
4. Buletin Rumoh Aceh edisi ke 3 yang diterbitkan oleh Museum Negeri
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penulis mendapatkan informasi yang
sangat bermanfaat tentang Ragam Hias Kayu Tradisional Aceh yang
ditulis oleh Nurdin A. R. Dalam buletin ini walaupun membahas ragam
hias kayu namun beberapa penjelasan dapat asal usul seni ukir dan
pembuatnya sehingga penulis dapat mengetahui penyebab sulitnya
mendapat informasi yang lengkap tentang ragam hias di Aceh. Dalam
Buletin Rumoh Aceh juga dijelaskan mengapa masih terdapat binatang
sebagai elemen dalam ornamen. Seperti yang telah diungkapkan oleh
Tammat dkk (1996:371) pada sarung rencong terdapat ukiran yang indah
dengan motif-motif sangat menarik. Bentuk ukiran ini juga mnegandung
suatu kekuatan magis, seperti kekuatan magis yang terdapat pada senjatasenjata lain seperti di Jawa/Kalimantan dan sebagainya. Motif-motif yang
dibuat banyak juga persamaan dengan seni (hias) ukir ataupun sulaman
Aceh. Motif-motif fauna biasanya seperti ukiran ular, naga, ayam jago,
burung nuri, kupu-kupu, dan sebagainya. Sedangkan motif-motif flora
antara lain :gambar bunga, buah dan daun. Kesimpulan sementara penulis
Universitas Sumatera Utara
9
bahwa estetika pada ornamen Rencong Aceh berasal dari konsep estetika
Islam. Konsep estetika Islam tidak menggunakan hewan dan manusia
sebagai bagian dari ornamen.
5. 5.Estetika karya A. A. M. Djelantik. Penulis menggunakan teori estetika
dari buku ini dalam penelitian tentang rencong. Untuk membantu
menentukan kriteria penilaian estetika pada rencong penulis menggunakan
instrumen dari teori evaluasi kesenian Beardsley.
6. Studi Media dan Kajian Budaya yang ditulis oleh Rachmah Ida. Penulis
sangat terbantu dengan informasi yang dalam tulisan Rachmah Ida
terutama pada validitas kajian penelitian kualitatif yang berbeda dengan
penelitian kuantitatif.
7. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa yang ditulis oleh Agus
Sachari. Dari buku ini penulis sangat terbantu memilah metode yang
digunakan dalam penelitian tentang semiotika dan estetika
8. T. Samsudin dan M.Nur Abbas menulis tentang Reuncong yang dijadikan
sebagai dasar informasi tentang rencong sebab termasuk tulisan yang
membahas khusus tentang rencong dalam satu buku. Penulis yang lainnya
membahas tentang rencong hanya satu bab atau satu sub bab saja.
9. Untuk mencari asal usul rencong menjadi simbol Aceh penulis banyak
mendapat informasi dari buku Aceh Tanah Rencong yang dikarang oleh
Rusdi Sufi dkk.
10. Rencong merupakan benda budaya yang memiliki nilai sejarah yang
tinggi. Tentunya dalam menggali sejarah rencong dibutuhkan kelengkapan
Universitas Sumatera Utara
10
sejarah yang banyak penulis dapatkan dari buku Aceh Sepanjang Abad
karangan Mohammad Said.
11. Semangat perjuangan yang begitu tinggi bagi rakyat Aceh melawan
Belanda menjadi catatan penting dalam penelitian rencong karena rencong
juga menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh. Buku Apa Sebab Rakyat
Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Belanda tulisan A.
Hasjmi ini banyak memberikan inspirasi bagi penulis.
12. Dalam memahami makna ornamen yang ada pada rencong tentunya
terdapat kesamaan motif pada produk budaya lainnya. Buku Arti
Perlambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin Dalam Menanamkan Nilai
Budaya Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang disusun oleh Nasruddin
Sulaiman dkk. sangat membantu penulis untuk menterjemahkan makna
dari motif yang terdapat pada rencong.
13. Sebagai tambahan referensi bagi penulis Album Seni Budaya Aceh yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menambah
khazanah motif-motif Aceh.
14. Istilah-istilah Aceh sebagai bahasa sumber yang terkadang tidak dapat
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia banyak sekali kita dapatkan
dalam buku Aceh di Mata Kolonialis yang ditulis oleh C. Snouck
Hurgronje memperkaya pemahaman akan Aceh. Buku yang terdiri dari
dua jilid ini juga menjelaskan tentang kebudayaan Aceh secara terperinci.
15. Dasar-dasar desain yang ditulis
oleh Bambang Irawan dan Priscilla
Tamara. Untuk mengukur estetika sebuah produk budaya buku ini
Universitas Sumatera Utara
11
memberikan pemaparan konsep dasar seni rupa. Tentunya dapat
memudahkan penulis dalam mengklasifikasikan estetika berdasarkan teori
objektifitas.
16. Banyak pengertisn istilah-istilah seni rupa dasar yang didapat dari Diksi
Rupa yang ditulis oleh Mikke Susanto. Tentunya buku ini sangat
membantu sekali dalam memperkuat landasan teori
17. Kamus Aceh Indonesia Volume I dan Volume II yang disusun oleh Aboe
Bakar, dkk. sangat membantu sekali dalam menterjemahkan kata-kata
yang berasal dari bahasa sumbernya yaitu bahasa Aceh.
18. Demikian juga sebaliknya mempelajari istilah-istilah dalam Bahasa Aceh
akan lebih mudah jika didampingi Kamus Umum Indonesia Aceh yang
ditulis oleh M. Hasan Basry.
1.5 Konsep dan landasan Teori
Berikut ini akan disajikan beberapa teori yang akan digunakan sebagai alat
untuk membedah berbagai masalah yang berkenaan dengan topik tulisan ini.
1.5.1 Konsep
Berbicara teori estetika di dunia masih sangat terpengaruh dengan teoriteori dari Barat. Nilai-nilai estetik yang menyertai hampir semua benda, gagasan,
dan proyeksi, dipiuhkan oleh para ahli estetika Barat menjadi wacana yang
tersembunyi dalam materialisma dan eksistensialisma, kemudian diadopsi oleh
negara-negara berkembang sebagai suatu orientasi baru menjadi "Barat". Namun
Universitas Sumatera Utara
12
kenyataanya, selama lebih dari satu abad berorientasi menjadi masyarakat
makmur yang rasional, dan kemakmuran itu hanya mampu sebatas kulit, dan
negara ketiga kemudian menjadi sangat dan berupaya meleburkan diri dalam
situasi yang kebaratan (Sachari, 2002:2).
Di Indonesia, terdapat tiga fenomena estetik dominan yang selama ini
selalu menjadi bahan kajian dan rujukan dalam percaturan estetika. Ketiga
fenomena
tersebut
memiliki
keterkaitan
maknawi,
yaitu
sebagai
(1)
kesinambungan sejarah, (2) rautan dalam mencari identitas budaya, (3)
penyeimbang kebudayaan nilai, serta sebagai konsekwensi program modernisasi.
(Sachari, 2002:100)
Aceh banyak terpengaruh estetika timur khususnya Islam. Menurut
pengamatan Hossein (1987), dalam kebudayaan Islam nilai-nilai estetik yang
menyertai karya seni selalu menekankan aspek kesementaraan, dunia material,
atau budaya benda ditempatkan dalam kefanaan dan kehampaan. Nilai-nilai
estetika Islami selalu merefleksikan transparansi dengan cahaya Tuhan. Jika
karya-karya seni diamati,
maka keindahannya merupakan keindahan yang
disimbolkan oleh arabes2 yang memungkinkan kehampaan itu memasuki inti
materi yag sejati.
Ornamen merupakan penghias dan pelengkap untuk memberikan nilai
keindahan pada sebuah benda. Terkadang pada ornamen tersebut tidak hanya
untuk memenuhi unsur estetika saja namun terdapat makna-makna tersembunyi di
baliknya. Bahkan dalam wacana posmodern, karya seni tidak lagi dipandang
2
arabes atau arabesque, berasal dari arabesco berarti "gaya Arab". Istilah ini diartikan
sebagai bentuk hiasan yang terdiri dari garis-garis yang meliuk-liuk berirama dan saling terhubung
membentuk pola bunga, daun, cabang tumbuh-tumbuhan yang dilegkapi sulur-sulurnya.
Universitas Sumatera Utara
13
sebagai karya artistik, tetapi dipandang dari aspek tanda, jejak, dan makna.
Dengan demikian kajian-kajian estetika pun menjadi meluas, tidak sebatas
pada artifak yang disepakati sebagai suatu karya seni, tetapi pada satu artifak
yang mengandung makna (Sachari, 2002:4).
Makna dalam lingkup estetika secara konvensional sering dimengerti menjadi
tiga kelompok besar, pertama makna psikologis, yaitu upaya untuk meningkatkan
kualitas bathin manusia, perenungan akan kemahabesaran Tuhan; kedua, makna
instrumental, yaitu sebagai bagian manusia dalam menyelenggarakan kehidupan
ragawinya melalui ekspresi dalam berkarya atau sertaan dalam benda-benda
kebutuhan sehari-hari; ketiga, makna yang dimiliki oleh estetika itu sendiri dalam
mewujudkan eksistensinya, yang direpresentasikan dalam pengembangan ilmu,
filsafat seni atau penyadaran baru.
Walaupun demikian, pemaknaan dinilai
sebagai suatu cara yang paling objektif untuk memberi arti dalam semua
pekerjaan estetik, karena tanpa makna apapun yang dikerjakan oleh manusia sama
dengan "tiada". Namun, makna tak selamanya menyertai sebuah karya estetik,
hanya dalam hal-hal khusus makna juga secara total hadir dalam karya estetik.
(Sachari, 2002:98).
Walaupun demikian agar tidak mengalami kerancuan pemahaman penulis
menempatkan estetika dan semiotika secara terpisah. Untuk hal tersebut
dibutuhkan konsep penerjemahan simbol-simbol yang terkandung dalam ornamen
tersebut dan konsep estetika untuk mengkaji nilai estetisnya.
Universitas Sumatera Utara
14
1.5.2 Teori
Sebagaimana konsep-konsep yang dipaparkan oleh penulis ada beberapa
pendekatan teori yang dapat mendukung penelitian ini yaitu pendekatan teori
semiotika dan teori estetika (Rachmah, 2014:75).
1.5.2.1 Teori semiotika
Semiotik adalah metode yang dipakai untuk menganlisis tanda-tanda (signs),
diagram, peta, serta tanda baca.
Menurut Sachari, (2003:13) Kajian semiotik lebih menekankan aspek-aspek
struktur dari bahasa rupa, sedangkan kajian semantik merupakan kajian yang
bersifat hermeneutik yang lebih menekankan kepada makna dan nilai-nilai
budaya.
Kajian semiotik juga dapat memaparkan bahasa rupa apa adanya tanpa harus
adanya keterlibatan dari apresiator untuk menafsirkan. Pengamat dapat memahami
struktur bahasa rupa, baik yang berkaitan dengan ikon, indeks, tanda, simbol
ataupun kode budaya yang terdapat di dalamnya. Demikian pula dengan makna
konotatif maupun denotatif sebuah teks budaya rupa yang dijadikan objek kajian.
Dalam bidang desain yang dapat dianalogikan dengan bahasa visual. Untuk
gambar teknis, informasi ataupun aspek-aspek yang berkaitan dengan produksi
cenderung digunakan tanda visual yang bersifat denotatif, sehingga tidak terjadi
pembiasan makna. Sedangkan untuk hal-hal yang bermuatan ekspresi, seperti
bentuk, citra, motif, ornamen ataupun hal-hal yang bersentuhan dengan aspek
humanistis, cenderung diterapkan tanda-tanda konotatif.
Universitas Sumatera Utara
15
Menurut Piliang (2003:261) Roland Barhtes mengembangkan dua tingkatan
pertandaan (staggered system), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna
yang bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan konotasi
(connotation).
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang
menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative
meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya foto
wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda
yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
Jika denotasi sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, maka konotasi
sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya (DeVito, 1997:125). Ini
sejalan dengan pendapat Arthur Asa Berger yang menyatakan bahwa kata
konotasi melibatkan simbol-simbol, historis, dan hal-hal yang berhubungan
dengan emosional (Berger, 2000:15). Dikatakan objektif sebab makna denotatif
ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam
pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada
penambahan rasa dan nilai tertentu.
Makna denotatif (denotative meaning) disebut juga dengan beberapa istilah;
makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna
refensial, atau makna
proporsion (Keraf, 1994:28). disebut dengan makna
denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk
(denote) suatu referen, konsep atau ide tertentu dari referen. Disebut makna
Universitas Sumatera Utara
16
kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus
(dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal
yang dapat dicerap pancaindera (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini
disebut juga makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi
atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan pertanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit,
tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).Ia
menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan
dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan.
Misalnya tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang atau tanda tengkorak
mengkonotasikan bahaya. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang
bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative
meaning).
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994:29)
Ornamen adalah representatif bentuk yang telah mengalami perubahan dari
bentuk-bentuk alamiah seperti tumbuh-tumbuhan, makhluk hidup, alam benda dan
fenomena alam semesta. Kaitan tanda terhadap objek visual terkadang jauh dari
kemiripan, namun ide dasarnya terjadi atas konsepnya.
1.5.2.2 Teori estetika rupa
Estetika berasal dari bahasa Yunani Kuno aestheton, yang berarti kemampuan
Universitas Sumatera Utara
17
melihat lewat penginderaan (Sumardji, 1997) atau pencerapan, persepsi, perasaan,
pengalaman, pemandangan (Hartoko,1983:15). Baumgarten (1714-1762), seorang
filsuf Jerman memperkenalkan kata aesthetika sebagai penerus pendapat Cottfried
Libniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena mengharapkan untuk
memberikan tekanan pada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk
mengetahui (the prediction of sentient knowledge).
Herbert Read dalam bukunya The Meaning of Art merumuskan keindahan
sebagai suatu kesatuan arti hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara
pencerapan inderawi kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu
yang menyenangkan bila dilihat. Kant secara eksplisit menitikberatkan estetika
kepada teori keindahan dan seni.
Menurut Sachari (2003:119) Model pendekatan estetik dapat dilakukan atas
dua sisi, yaitu (1) pendekatan melalui filsafat seni dan (2) pendekatan melalui
kritik seni. Dalam kajian filsafat seni objek desain dapat diamati sebagai sesuatu
yang mengandung makna simbolik, makna sosial, makna budaya, makna
keindahan, makna ekonomi, makna penyadaran, ataupun makna religius.
Sedangkan dalam kajian objek amatan cenderung diamati sebagai sebuah objek
yang mengandung dimensi kritis, dinamika gaya teknik pengungkapan, tema
berkarya, ideologi estetik, pengaruh terhadap gaya hidup, hubungan dengan
perilaku, dan berbagai hal yang sementara ini memiliki dampak terhadap
lingkungannya.
Kajian apresiasi seni atau pemahaman, sering dikacaukan dengan pemakaian
istilah dan pengertian yang terjadi antara apresiasi atau pemahaman dengan
Universitas Sumatera Utara
18
penikmatan karya estetik. Pemahaman estetika seni rupa dalam bentuk
pelaksanaanya merupakan apresiasi seni. Apresiasi tidak sama dengan
penikmatan, mengapresiasi adalah proses pengenalan nilai karya seni, untuk
menghargai, dan menafsirkan makna (arti) yang terkadung di dalamnya (Kartika,
2004:82).
Persoalan yang dibicarakan olah para ahli pikir, ialah bagaimana seorang
pengamat menanggapi atau menikmati suatu benda indah atau karya seni?
Seseorang tidak lagi membahas sifat-sifat yang merupakan kualita dari benda
estetik, terutama usaha menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan
melengkapi dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan karya seni
(Liang Gie, 1978;51).
Dewasa ini perdebatan antara orang-orang yang beranggapan bahwa ada
cara yang tepat dan tidak tepat dalam membicarakan objek atau kejadian
estetik."Perdebatan antara Form dan Content" ini telah diperluas sebagai
"Perdebatan Form-Context. "
Pemikir yang beraliran formalisme mempertahankan bahwa sebuah karya
seni dilihat dari properti formal seperti warna bentuk, ketukan, irama, sajak, dan
sudut kamera. Biasanya, properti tersebut dapat dibedakan dari properti nonformal
yaitu properti yang tidak terdapat pada objek atau peristiwa, seperti kota tempat
karya diciptakan, maksud seniman membuatnya, atau siapa pemilik terakhir suatu
karya. Formalisme adalah padangan bahwa properti seperti itu dipisahkan dari
penilaian dan pengalaman estetis.
Universitas Sumatera Utara
19
Pemikir yang lain suatu karya seni tidak identik dengan objek fisik tapi
berada pada pengalaman atas objek fisik tersebut. Menurut Joseph Margolis
sebuah patung bukan hanya sekedar batu, tetapi "Muncul" dari batu tersebut jika
dialami secara estetis. David Pole yakin bahwa pertimbangan yang lebih rumit
diperlukan untuk menjelaskan realitas seperti apa yang dimiliki suatu karya seni.
Ia membandingkannya dengan teori-objek dan peristiwa abstrak yang terpublikasi
sejarahnya merupakan bagian dari mereka. Pandangan Pole tentang peran konteks
karya mengimplikasikan bahwa keberadaan suatu karya seni melibatkan konteks.
Jika bagian suatu karya adalah sejarahnya, maka kita tidak akan mengerti karya
itu tanpa memeriksa, baik hal maupun konteksnya. Jika sejarah menjadi bagian
dari karya maka konteks juga tidak dapat disingkirkan (Eaton, 1988:100).
Penulis sependapat menggunakan teori konteks untuk membahas estetika
pada suatu objek. Untuk memahami estetika ornamen pada rencong yang peneliti
bahas diperlukan peninjauan konteks sejarah karena usia rencong rata-rata 100
tahun lebih.
Menurut estetika Marxist, seni (seperti hal yang lainnya) diproduksi oleh
kondisi historis sehingga perlu dijelaskan menurut kondisi tersebut, khususnya
menurut ideologi yang dibawa dan dikekalkan mereka.
1.5.2.3 Teori transformasi budaya
Pengertian nilai estetik mengalami transformasi yang panjang sebagai
bagian dari proses transformasi budaya dunia. Demikian pula di negara kita;
pergeseran nilai estetik merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari
Universitas Sumatera Utara
20
transformasi budaya Indonesia, sejak zaman Hindu hingga masa modernisasi
sekarang ini. (Sachari dan Suryana, 2001:159). Oleh karena hal tersebut penulis
menganggap perlu memasukkan teori Transformasi Budaya ini sebagai
pendukung teori-teori sebelumnya.
Dalam menyimak perubahan nilai-nilai dalam proses transformasi budaya,
model paradigma banyak digunakan, terutama teori yang dikembangkan oleh
Parson dan Smelzer untuk masalah sosial-budaya, serta Khun untuk masalah sains
dan teknologi. Parson mengkonsepsikan perubahan dengan asumsi bahwa
masyarakat mempunyai fungsi adaptasi (ekonomi), integrasi (masyarakat),
mempertahankan diri (budaya), dan memberi orientasi tujuan (policy). Khun
menilai paradigma sebagai model atau pola yang hanya dapat diterima oleh
masyarakat tertentu, dan dalam penerapannya berfungsi untuk memperbolehkan
replikasi.
Sebagaimana yang diutarakan Khun, konsep paradigma Parson juga
menyatakan bahwa masyarakat secara keseluruhan memiliki dasar kemampuan
beradaptasi dan berintegrasi terhadap pengaruh dari luar maupun dari dalam.
Pengaruh ini mencakup berbagai hal, termasuk nilai estetik. Hal tersebut terbukti
melalui sejarah; banyak nilai estetik di luar kebudayaan Indonesia yang mampu
diadaptasi dan berintegrasi dengan masyarakat kita. Meskipun dalam beberapa hal
tertentu terjadi penolakan sebagai usaha untuk mempertahankan diri
dari
pengaruh yang terlalu dominan, lambat laun nilai estetik baru itu mampu
beradaptasi dengan nilai-nilai setempat. Proses ini biasanya diberi legalitas
dengan cara memberi arah dan tujuan, misalnya sebagai dukungan tehadap
Universitas Sumatera Utara
21
penyebaran agama, peningkatan ekonomi, atau untuk memenuhi selera
masyarakat dalam kurun waktu tertentu (Sachari dan Suryana, 2001:159).
Gambar 1 : Proses transformasi budaya, secara umum didahului oleh proses
dialog budaya secara terus menerus hingga terjadi proses sintesis budaya yang
melahirkan kebudayaan 'campuran'. Proses ini berlangsung selama puluhan tahun
hingga melahirkan format kebdayaan akhir yang mantap. di dalamnya tercakup
pergeseran-pergeseran nilai estetik dalam karya desain dan kesenirupaan.
sumber : (Sachari, 2005:84)
1.5.2.4 Teori estetika islam
Penulis mengkaji estetika islam berdasarkan konsep estetika Seyyed Hossein
an Nasr. Hossein menilai terdapat konsekwensi yang erat antara nilai-nilai estetika
dan dunia metafisika, terutama kaitannya dengan pengagungan Tuhan yang
Mahatunggal. Dalam dunia Muslim, nilai-nilai estetika memiliki keterkaitan
langsung dengan prinsip-prinsip tauhid, dan ditempa sebagai doktrin yang mutlak.
Prinsip itu merupakan penjabaran langsung dari dunia metafisika dengan pelbagai
tingkat pengertiannya. Pertama adalah penekanan pada karakter kesementaraan
Universitas Sumatera Utara
22
berupa nilai-nilai yang bersifat duniawi, serba tidak abadi; dan yang kedua adalah
nilai-nilai yang mengacu pada Realitas Tertinggi yang memutlakkan Allah di luar
jangkauan dan pemikiran awam tentang Tuhan (Sachari, 22: 2002).
Makna tertinggi nilai-nilai estetik adalah kontemplasi total terhadap realitas
tertinggi ilahiah sebagai substansi terakhir,atau yang disebutnya sebagai wujud
murni. Dalam dunia metafisika Islam, "wujud" dapat dipahami sebagai sesuatu
yang terbangun dari aspek ketiadaan sebagai urutan dasar semua proses
penciptaan. Segala sesuatu yang tercerap oleh pancaindera adalah "tidak nyata",
karena yang nyata mutlak hanya Tuhan. Dalam pengertian lain juga dapat
dipahami bahwa segala sesuatu yang terwujud dalam pengertian manusia pada
umumnya hanya merupakan "gema" proses penciptaan yang dilakukan oleh
Tuhan. Manusia bukanlah mahluk pencipta, melainkan mahluk ciptaan. Jadi, jika
terbangun nilai-nilai estetik sebagai akibat dari apa yang diperbuatnya, hanyalah
merupaka refleksi dari proses penciptaan Yang Maha Besar.
Menurut pengamatan Hossein (1987), dalam kebudayaan Islam nilai-nilai
estetik yang menyertai karya seni selalu menekankan aspek kesementaraan, dunia
material, atau budaya benda ditempatkan dalam kefanaan dan kehampaan. Nilainilai estetika Islami selalu merefleksikan transparansi dengan cahaya Tuhan. Jika
karya-karya seni diamati,
maka keindahannya merupakan keindahan yang
disimbolkan oleh arabes yang memungkinkan kehampaan itu memasuki inti
materi yag sejati.
Arabeska dicapai melalui pengulangan bentuk geometris yang dijalin melalui
kehampaan, dan juga menghilangkan kemungkinan adanya keterpakuan persepsi
Universitas Sumatera Utara
23
pada satu objek saja. Ketabuan yang mendalam adalah mengkonkretkan "wajah"
ketuhanan, yang merupakan bentuk visualisasi yang konsistensi terhadap
ketiadaan. Menggambarkan mahluk hidup merupakan wujud estetika lain untuk
menghampakan diri. Materi adalah hampa dan tiada. Dengan demikian, manusia
dapat berkonsentrasi pada pemusatan pikiran dan merenung tentang Ketuhanan
tanpa harus membuat replikanya Anakronisme3 Islam yang berupaya yang
berusaha menghilangkan perwujudan kehadiran Tuhan secara visual, merupakan
inti dari makna spiritualitas kehampaan seorang muslim. Kehampaan ini menjadi
unsur sakral dalam seni Islam.
Dalam periode selanjutnya terdapat upaya-upaya yang lebih kaya dalam
menghias masjid dengan kaligrafi, ornamen tumbuhan, dan unsur-unsur
geometrik. Kepadatan hiasan itu sebenarnya merupakan representasi dari
kehampaan. Semakin kaya hiasan objek seni, semakin hampalah, karena
kehampaan melambangkan kesakralan dan menjadi pintu gerbang "kehadiran"
Tuhan di dunia material (Sachari, 22: 2002).
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif yakni
menggambarkan atau mengamati fakta-fakta fisik yang terdapat pada media
ornamen yang terdapat pada berbagai macam jenis rencong yang ada di aceh
khususnya rencong koleksi museum Aceh.
3
anakronisme merupakan suatu tindakan atau perintah untuk menjauhi dari bahaya
kemusyrikan dengan jalan tidak menggambar ketuhanan, nabi, dan mahluk hidup.
Universitas Sumatera Utara
24
Analisa dan teknik pengolahan data menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Sedangkan teknik pegumpulan data pada penelitian ini yaitu observasi
langsung ke pengrajin rencong di banda Aceh. Teknik observasi ini menggunakan
sarana-sarana seperti dokumen, buku, foto dan video. Dengan Metode deskriptif
kualitatif ini peneliti dapat melihat serta menguraikan struktur bentuk-bentuk
ornamen serta kandungan didalamnya.
Metode di atas digunakan sesuai dengan permasalahan yang dianalisis, untuk
melihat sejumlah ornamen sebagai fenomena makna.
Qualitative reasearch is an interdisiplinary, transdisiplinary, and
sametimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the sosial
and physical sciences.Qualitative research is many things at the same time. It
is mutiparadigmatic in focus. Its practicioners are sensitive to the value of the
multimethod approach. They are commited it the naturalistic perspective,and
the interpretive undertanding of human experiences. At the same time, the field
is inherently political dand shaped by multiple ethical and political positions
(Nelson and Grossberg, 1992 : 4)
Penyampaian di atas dapat diartikan secara garis besar bahwa penelitian
kualitatif umumnya melihat aspek manusia di dalam masyarakat atau kelompok.
Dan tidak di dalam kelompok peneliti. Nelson dan Grossberg menyampaikan
penelitian kualitatif banyak hal yang harus dilihat di dalam fenomena kehidupan
manusia, seperti tentang nilai, fungsi sosial serta terkadang politik lingkup budaya
menjadi intensitas yang paling berarti untuk dapat diketahui sebagaimana proses
konteks peristiwa manusia.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat dengan kepentingan sosial yang
ada, kehidupan tidak akan lepas dari hal-hal yang menyangkut fungsi serta nilainilai yang tumbuh. Pertumbuhan serta fungsi tersebut ditujukan untuk
Universitas Sumatera Utara
25
melangsungkan pertahanan hidup. Oleh karena hal tersebut kebudayaan selalu
mengalami perubahan.
Ornamen merupakan citra keinginan yang diciptakan oleh leluhur
sebelumnya untuk nilai-nilai tersendiri di tubuh masyarakatnya. Meski keindahan
bentuk sebagai hiasan, akan tetapi ornamen tidak hanya berfungsi sebagai hiasan,
tetapi sebuah atribut atau pengingat akan adanya ikatan-ikatan manusia dan
ligkungannya.
1.6.2 Penelitian lapangan
Untuk mendapatkan data yang nyata dalam mengkaji ornamen pada rencong
dibutuhkan penelitian lapangan. Penulis melakukan penelitian lapangan dengan
mengkaji semiotika dan estetika ornamen pada rencong Reuncong Meupucok,
Reuncong Pudoi, dan Reuncong Meucugek koleksi Museum Aceh di Banda Aceh.
Hal ini dilakukan karena museum merupakan salah satu lembaga yang
menyediakan sumber sejarah baik primer maupun sekunder.
Penulis melakukan teknik observasi yaitu dengan melakukan pengamatan
objek secara langsung dengan melihat, menyentuh, mendokumentasikan melalui
video dan foto, serta mencatat. Wawancara dilakukan dengan memilih sejumlah
informan yang dipilih penulis sebagai narasumber.
Universitas Sumatera Utara
26
1.6.3 Fokus penelitian
enelitian
Adapun fokus penelitian ini adalah pada
pad bentuk-bentuk
bentuk ornamen serta
kandungan maknanya, diklasifikasikan sesuai konsep dan medianya sebagai
berikut :
1. Konsep bentuk dasar ornamen yang dideformatif4 atau berubah dari bentuk
asli alamnya. Contohnya ornamen bungong jeumpa yang diterapkan pada
ukiran
an atau sulaman
Gambar 2 : deformasi motif Bungong Jeumpa
Sumber : digambar ulang oleh penulis dari Tammat dkk., 1996:293
2. Konsep bentuk imajinatif yang dikembangkan menjadi bentuk
bentuk-bentuk baru.
3. Media ornamen serta penempatannya pada rencong
4. Klasifikasi bentuk ornamen
5. Makna satuan ornamen dan makna keseluruhan ornamen
4
Deformasi merupakan perubahan susunan bentuk yang dilakukan dengan sengaja untuk
kepentingan seni,yang sering terkesan sangat kuat/besar sehingga terkadang tidak lagi berwujud
figur semulaatau yang sebenarnya. Hal ini dapat memunculkan figur/karakter
figur/karakter baru yang lain dari
sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
27
1.6.4 Teknik pengumpulan data
Dalam penilitian ini menggunakan teknik observasi dan wawancara. Sumber
data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang diperoleh dari pustaka baik teori-teori yang dikemukakan dari bukubuku atau literatur lain yang bersifat tidak langsung. Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh penulis dari wawancara dan observasi ke lapangan
1.6.4.1 Observasi
Untuk mendapatkan data langsung penulis menggunakan pendekatan
observasi ke lapangan dengan melihat langsung objek yang diteliti. Pentingnya
teknik ini diharapkan untuk mendapatkan sejumlah bagian penting yang diteliti
guna mendapatkan hubungan data dengan wawancara.
1.6.4.2 Wawancara
Penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan data dari narasumber.
Narasumber dipilih sesuai jumlah yang diklasifikasikan penulis agar arah
penelitian lebih terfokus. Penulis melakukan wawancara terhadap kolektor bendabenda seni khususnya Bapak H. Harun Keuchik Leumiek. Beliau merupakan
kolektor perhiasan kuno, senjata tajam dan barang berharga abad ke-13 lainnya.
Penulis juga melakukan wawancara terhadap tokoh adat, kepala dinas
pariwisata, kepala museum (yang terkait dengan unsur pemerintah), budayawan,
ulama, beberapa pengrajin rencong dan seniman ornamen di Banda Aceh.
Universitas Sumatera Utara
28
1.6.4.3 Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dimulai dari pengumpulan data
sampai pada pengelompokkan gambar rencong berdasarkan jenisnya, daerahnya
lalu dikelompokkan kembali berdasarkan ornamenya. Setelah itu bagian-bagian
ornamen yang telah dikelompokkan, dianalisa dan diuraikan makna dan unsur
estetikanya dalam bentuk tabel-tabel.
1.7 Sistematika Penulisan
Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab. Setiap bab secara saintifik
dianggap memiliki isi yang dekat. Setiap bab akan dibagi menjadi sub-sub bab.
Secara keseluruhan tesis ini di bagi ke dalam lima bab, dengan perincian sebagai
berikut.
Pada Bab I yang merupakan pendahuluan, akan diisi oleh uraian mengenai
latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian
(dirinci menjadi tujuan penelitian serta manfaat penelitian), kerangka teori (yang
diuraikan lagi dengan menggunakan dua teori besar yaitu estetika dan teori
semiotika serta untuk memperkuat kedua kerangka teori tersebut penulis
menggunakan teori tambahan yaitu teori transformasi busaya. Metode penelitian
(yang diperinci lagi menjadi studi kepustakaan dan penelitian lapangan yang
terdiri dari: observasi dan wawancara), lokasi penelitian, Gambaran Umum Lokasi
Penelitian dan sistematika penulisan.
Universitas Sumatera Utara
29
Bab II berisikan tentang sejarah masuknya Islam di Aceh. Dari sejarah
tersebut dapat dipetakan sejarah rencong Aceh.
Bab III berisikan tentang rencong Aceh mulai dari sejarah hingga bentuknya.
Bab IV Dalam bab ini dibahas tentang kajian estetika pada rencong aceh
koleksi Museum Aceh di Banda Aceh
Bab V Dalam bab ini dibahas tentang kajian semiotika pada rencong aceh
koleksi Museum Aceh di Banda Aceh.
Bab VI Kesimpulan dan Saran, bab ini dibagi lagi menjadi kesimpulan dan
beberapa saran dalam konteks penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara