Kajian Semiotika dan Estetika Ornamen pada Reuncong Aceh: Studi Kasus pada Rencong Meupucok, Pudoi dan Meucugek Chapter III VII

BAB III
RENCONG ACEH

3.1 Sejarah Rencong Aceh
Rencong adalah senjata tajam tradisional Aceh yang telah ada dalam
masyarakat Aceh sejak sejak Aceh berkembang menjadi daerah kerajaan. Sumber
Portugis mengatakan bahwa dipertengahan abad ke-l6 (kira-kira ditahun 1540)
Aceh telah mengadakan hubungan ke Turki. Apalagi seperti kata Pinto seorang
petualang berbangsa Portugis yang mengatakan pada zaman sultan Al-Kahhar
bahwa Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sabanyak 300 orang ahli, dan
menurut Pinto juga bantuan tersebut dibawa oleh kapal Aceh sendiri sebanyak 4
buah, yang sengaja datang ke Turki, kata Pinto, untuk mendapatkan alat-alat
senjata perang dan pambangunan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak masa
kerajaan pembuatan senjata perang sudah cukup berkembang. Tentunya dengan
masuknya ahli pembuat senjata dari Turki dapat meningkatkan keterampilan ahli
pembuat alat-alat dari besi (Pande Boeuso). Walaupun keterampilan membuat
peralatan dari besi bagi masyarakat Aceh bukanlah sesuatu yang baru.
Menurut Leigh (1989: 49) diketahui bahwa pada abad ke-18, rencong telah
ada di Aceh. Terbukti

dalam sebuah karya sastra yang menceritakan tokoh


pahlawan Poecut Muhamat memberi perintah "membuat senjata rencong",
sehingga untuk keperluan itu besi terkumpul dari segala penjuru.
Reuncong mungkin juga berasal dari kata rancong yang berarti runcing.
Menurut Bakar, dkk (1985: 774) memiliki arti meruncing miring. Jika kita

Universitas Sumatera Utara

58

perhatikan on rancong (daun gandarusa) memiliki bentuk yang runcing mirip
mata reuncong (Rahman, wawancara, 20 Maret 2016). Selain sering digunakan
sebagai obat daun ini di daerah Melayu sering dipakai untuk tepung tawar.
Dalam wawancara penulis dengan Rahman (20 Maret 2016) diperkirakan asal
usul rencong merupakan sebuah evolusi dari alat budaya yang telah ada bahkan
sebelum Islam masuk ke Aceh. Boleh jadi rencong merupakan evolusi dari alat
rumah tangga yang bernama peraut.
Mengutip dari web Registrasi Koleksi Museum
(http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/regmus/index.php/public/koleksi/view/1238
5/Alat-pembelah-pandan-peraut) peraut adalah Sebuah alat untuk membelah daun

pandan (aceh:peraut). Alat ini terbuat dengan gagang dari kayu warna hitam kirakira sebesar kelingking sepanjang 26 cm. Pada bagian ujung gagang di ukir/di
lebar +- 1 cm. Alat ini biasa digunakan untuk membelah-belah daun pandan yang
akan di anyam menjadi tikar.

Gambar 3: Peraut
Sumber : digambar ulang dari Tammat, dkk. 1996. Seni Rupa Aceh.
Banda Aceh. Sepakat Baru Darussalam

Universitas Sumatera Utara

59

Ada pula alat yang disebut sikin rucoh yang sampai hari ini masih dijual di
pasar sebagai perkakas juga yang sering dipakai untuk berbagai keperluan
termasuk meraut daun rumbia.

Gambar 4: Sikin Rucoh
Sumber : Koleksi Pribadi
Kemungkinan karena membutuhkan fungsi yang lain untuk berperang
maka ditambah cugek (lengkungan) . Evolusi peraut menjadi rencong meucugek

kemungkinan karena fungsi cugek agar tidak mudah lepas ketika menikam lawan.
Namun menurut Leigh (1989: 46) bentuk mata rencong banyak
persamaanya dengan pedang Turki yang disebut kilij. Menurut Levy (seperti
dikutip Leigh, 1989: 46) Belati milik Sultan Mahmud I, yang terbuat dari batu
zamrud mempunyai bentuk melengkung yang sama seperti rencong. Sedangkan
menurut Gittingger (seperti dikutip Leigh, :1989: 46) bangsa Moghul juga
mempunyai senjata scimitar yang mengingatkan kita kepada rencong, walaupun
berukuran lebih pendek.

Universitas Sumatera Utara

60

Gambar 5 : Pedang Ottoman Kilij
sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Kilij#/media/File:Pala_type_of_kilij.jpg
Seperti yang disebutkan buku Seni Rupa Aceh (Tammat, dkk., 1996: 362)
kerajinan besi masyarakat Aceh atau perkakas yang dibuat antara lain:
1. Perkakas Pertanian seperti:
1.1 Cangkul
1.2 Parang

1.3 Lham
1.4 Mata Langai (alat meluku)
1.5 dan sebagainya
2. Alat rumah tangga, seperti :
2.1 Geunuku (alat mengukur kelapa)
2.2 Sundak (alat mengupas kelapa)
2.3 Sikin (Alat pemotong sayur)
2.4 Parang (Alat pemotong kayu)
2.5 Rheun (Alat pembelah kayu)
2.6 Lesong Beuso (alat menumbuk tepung aweuh, u neulheu, dan sebagainya)
2.7 Cubek (tempat menumbuk sirih)

Universitas Sumatera Utara

61

2.8 Cupeng (alat penutup kemaluan anak perempuan)
2.9 Mandroh,
2.10 Peraut dan sebagainya
3. Alat untuk berburu, seperti :

3.1 Tumbak
3.2 Giliwang
3.3 dan sebagainya
4. Alat untuk mempertahankan diri (berperang) antara lain:
4.1 Reuncong

Gambar 6 : Reuncong Meupucok
Sumber: Koleksi rencong H.Harun Keuchik Leumiek
4.2 Peudeung Ulee Meu Apet
4.3 Pedeung Tumpang Jingki

Gambar 7 : Pedeung Tumpang Jeunki
Sumber: Koleksi H.Harun Keuchik Leumiek

Universitas Sumatera Utara

62

4.4 Ulee Janggok


Gambar 8 : Ulee Janggok
Sumber : Dokumentasi Syamsudin 1981
4.5 Ulee Paroh Bleseken

4.6 Ulee Dandan

Gambar 9 : Ulee Paroh Bleseken
Sumber : Dokumentasi Syamsudin 1981

Gambar 10 : Ulee Dandan Peninggalan
Ampon Chik Peusangan T. Johan Alamsyah
Sumber : Dokumentasi Keluarga AmponChik Peusangan 2013

Universitas Sumatera Utara

63

4.7 Ulee Boh Geulima

Gambar 11 : Ulee Boh Geulima

Sumber : Dokumentasi Syamsudin 1981
4.8 Ulee Meucangge

Gambar 12: Ulee Meucangge
Sumber : Dokumentasi Syamsudin 1981
4.9 Siwaih

Gambar 13 : Siwaih Peninggalan Ampon Chik Peusangan T. Johan Alamsyah
Sumber : Dokumentasi Keluarga AmponChik Peusangan 2013

Universitas Sumatera Utara

64

4.10 Ulee Lapan Sagoe

Gambar 12 : Ulee Lapan Sagoe Peninggalan Ampon Chik Peusangan
Sumber : Dokumentasi Keluarga AmponChik Peusangan 2013
4.11 Cugek
4.12 Mandroh

4.13 Pedeung Oen Joek

Gambar 15 : Pedeung Oen joek
Peninggalan Ampon Chik Peusangan T. Johan Alamsyah
Sumber : Dokumentasi Keluarga AmponChik Peusangan 2013
4.14 dan lain sebagainya

Universitas Sumatera Utara

65

3.2 Bentuk dan Fungsi Rencong
3.2.1 Jenis-jenis rencong
Rencong mempunyai beberapa fungsi dalam penggunaan sehari-hari bagi
masyarakat Aceh sejak dahulu sampai pada masa sekarang. Sebagian besar
penggunaan rencong berfungsi sebagai alat budaya. Pada awalnya namanya bukan
rencong. Salah satu bentuk yang mirip dengan rencong yaitu sikin rucoh yang
dipakai untuk meraut daun rumbia. Seiring dengan perjalanan waktu alat budaya
tersebut bertambah fungsi dan mengalami transformasi baik bentuk, fungsi
maupun namanya. Boleh jadi pada saat penjajah masuk ke Aceh sikin rucoh ini

menambah fungsinya selain sebagai alat budaya juga digunakan untuk membela
diri.
Sebagai alat budaya rencong yang memiliki fungsi yang beragam
menyebabkan bentuknya terbagi menjadi empat jenis yaitu:
3.2.1.1 Reuncong meupucok (pada gagang bagian atas terdapat motif pucuk
rebung)
Rencong yang mempergunakan ukiran emas pada gagang bahagian atas.
Gagangnya kelihatan kecil pada bahagian bawah dan mengembang membesar
pada bahagian atasnya. Permukaan pada bahagian atas berukiran emas. Bentuk
ukirannya antara lain : Kembang berantai, Kembang daun, Kembang mawar dan
ada juga berbentuk aksara Arab. Hulu rencong Meupucok ditutupi dengan ukiran
emas pada bahagian atas, dibungkus dengan emas bahagian putingnya dan
biasanya terbuat dari tanduk dan gading.

Universitas Sumatera Utara

66

Bentuk ukiran tidak menunjukkan suatu maksud tertentu, tetapi merupakan
ukiran-ukiran yang disenangi oleh pemiliknya. Bagi pemilik yang berasal dari

golongan elite dan hartawan sangat megutamakan ukiran yang dikehendaki
dengan penggunaan bahannya yang banyak, baik terdiri dari emas maupun dari
suasa. Disamping itu terdapat pula jenis rencong meupucok klah (balutan).
Rencong jenis ini merupakan rencong meupucok yang ujung gagang bagian
bawahnya pembukus putingnya sering digunakan juga emas atau suasa, sehingga
benar- benar menarik bila diperhatikan. Kalau dilihat dari segi penggunaan emas
atau suasa yang begitu banyak memberi petunjuk kepada kita bahwa selain
sebagai senjata tikam, rencong dipergunakan juga sebagai perhiasan kaum pria
pada masyarakat Aceh.

Gambar 14. Gagang dilapisi emas seluruhnya sedangkan sarungnya ada yang di
buat dari kayu dan ada pula yang dibuat dari tanduk, jenis
rencong ini disebut rencong meupucok ulah.
Sumber : Koleksi Museum Negeri Aceh
3.2.1.2 Reuncong meucugek (gagang melengkung 900)
Reuncong ini mempergunakan cugek (bergagang lengkung 900). Cugek
melengkung ke bahagian belakang mata rencong kira-kira 15 cm sehingga dapat
berbentuk siku-siku. Cugek ini gunanya efektif tidak mudah lepas dari tangan saat

Universitas Sumatera Utara


67

melakukan pembelaan diri, sehingga dapat menerkam dan menikam lawan secara
bertubi-tubi serta mudah dicabut kembali walaupun sumbunya dalam keadaan
berlumuran darah oleh karena cugek sebagai penahan pergelangan tangan
bahagian belakang.

Gambar 17. Rencong Meucugek. Jenis rencong ini ada yang gagang dan
sarungnya dibuat dari gading (atas), gagang kombinasi antara gading dan tanduk,
sedangkan sarungnya dari tanduk (tengah) dengan ikatan besi (tengah) dan ada
gagang dan sarung dari tanduk dengan ikatan besi (bawah).
Sumber : Koleksi Museum Negeri Aceh
3.2.1.3 Reuncong meukuree (rencong yang memiliki pamor)
Rencong yang mempunyai kuree pada mata. Bentuk kuree bermacam-macam
ada yang berbentuk seperti : bunga-bunga, ular, lipan, akar kayu, daun, dan kayukayuan. Gambar ini bukan sengaja dibentuk, tetapi terbentuk secara sendirinya
waktu rencong itu ditempa. Rencong ini berbeda dengan yang lainnya, semakin
lama disimpan semakin banyak kuree nya dan semakin mahal harganya serta
semakin bertambah magisnya.

Universitas Sumatera Utara

68

3.2.1.4 Reuncong Pudoi (rencong yang gagangnya tidak ada cugek)
Pudoi artinya menengah (biasa). Ini dapat di lihat dari gagangnya. Gagang
rencong ini tidak sama dengan rencong meupucok, meucugek atau meukuree. Hulu
rencong.
Pudoi adalah pengangan tanpa variasi, klah (pembungkus bahagian bawah
hulu dan puting yang kadang-kadang dibesarkan sedikit agar tidak tertutup dengan
gagang yang sederhana bila ditancapkan pada sasarannya. Gagang rencong Pudoi
ini tidak ada lengkungnya.
Sejarah rencong Pudoi ini mulai tahun 1904 Belanda tidak memperbolehkan
memakainya. Sehingga larangan tersebut sangat melukai hati orang Aceh dan
bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku pada waktu itu. Maka jalan lain
adalah mengelabui peraturan Belanda tersebut dengan cara merubah bentuk
rencong meucugek (meucangee) ke bentuk lain yaitu rencong Pudoi. Perubahan
bentuk rencong yang awalnya memiliki cugek menjadi tidak ada. Hal ini
menyebabkan tidak terlihat jika diselipkan di pinggang. Dengan perubahan bentuk
tersebut, maka orang Aceh tetap memakainya tanpa diketahui oleh orang Belanda
kecuali diperiksa seluruh badannya.

Universitas Sumatera Utara

69

Gambar 18. Reuncong Pudoi. Gagang dan sarung dibuat dari gading dengan
ikatan emas rencong maka diselipkan di pinggang di bawah kain sarung ataupun
celana tanpa di ketahui oleh Belanda, sehingga mereka
tidak mematuhi larangan Belanda.
Sumber : Koleksi Harun Keuchik Leumiek
Penggunaan rencong menunjukkan tingkatan sosial masyarakat Aceh.
Biasanya bagi kalangan atas (bangsawan) memiliki reuncong meupucok yakni
rencong yang dibungkus dengan ukiran ornamen emas pada gagang atasnya . Bagi
masyarakat menengah di Aceh menggunakan reuncong meucugeek yakni rencong
yang gagangnya dibuat dari gading gajah yang terkadang dihiasi emas pada
sumbunya. Sedangkan golongan umum atau masyarakat petani banyak
menggunakan gagang rencong yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tanduk
kerbau ini digosok sehingga tampak mengkilat dan tak kalah kualitasnya dengan
yang terbuat dari gading gajah.
Sarung rencong itu terbuat dari bermacam-macam bahan, ada yang terbuat
dari tanduk dan gading gajah. Ada yang terbuat dari kayu pilihan seperti bak
kupula, batang nangka dan batang asam (Tamat dkk, 1996:371). Biasanya pada
sarung rencong yang bahannya menggunakan kayu terdapat ornamen yang diukir.

Universitas Sumatera Utara

70

Mengenai bentuk ukiran-ukiran yang terdapat pada sarung rencong
mengandung pula suatu nilai magis, seperti yang terdapat pada keris di Jawa.
Sarung keris di Jawa dimana ukiran-ukiran atau gambar-gambar pada sarung keris
tersebut mengandung arti, nilai dan bermacam-macam kesaktian atau maknamakna lainnya. Ukiran yang terdapat pada sarung rencong lebih bernilai seni ukir,
sungguhpun nilai kharismanya terpancar juga didalamnya. Ukiran memberi corakcorak tersendiri seperti ukiran ular, naga, ayam jago, burung nuri, kupu-kupu dan
semuanya itu menunjukkan jenis-jenis binatang. Selain itu terdapat pula gambargambar bunga yang disukai oleh sipembuatnya (Sufi dkk, 2008:75).
Ukiran tidak hanya terdapat pada sarung rencong saja namun dapat juga
ditemukan pada hulu puting dan batang rencong. Ukiran-ukiran itu nantinya
secara terkombinasi yang harmonis tampak pada bagian-bagian rencong tertentu
sesuai dengan keinginan si pemakai. Sebagaimana dalam senjata keris di Jawa
banyak terdapat arti-arti dari sudut ukiran-ukirannya. Namun ukiran-ukiran yang
terdapat pada senjata rencong biasanya mempunyai magis tertentu yang harus
ditaati atau dipenuhi. Dalam wawancara penulis dengan pengrajin rencong Tanah
Pasir Gedong Pasee Aceh Utara, Ishak (7 Juni 2015) untuk mendapatkan kekuatan
magis terdapat syarat-syarat tertentu misalnya dari segi pembuatannya harus
dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja. Dikerjakan padasaat setelah shalat
subuh saja setiap harinya. Bahkan ada yang dibuat dalam 7 tahun cuma 1 buah
rencong sebagai syaratnya.
Ukiran rencong menurut pandangan orang Aceh bersumber pada satu kalimat
suci Asyhadu an laa illaha illallahu, waasyahadu anna muhammad rasulullah.

Universitas Sumatera Utara

71

Dari sumber yang satu itulah nanti akan timbul ukiran-ukiran
ukiran ukiran yang berbentuk
tulisan-tulisan
tulisan yang diukir
diuk indah, sehingga menunjukkan seolah-olah
olah mempunyai
gaya seni lukis tersendiri.
Disamping itu terdapat juga ukiran yang berbentuk dedaunan ataupun bentuk
bunga, bintang bulan dan matahari. Semua itu tidak mengandung arti magis,
legenda, jampi-jampi,
guna
dan lain-lain.
lain. Namun semua bertitik tolak
jampi, sakti, guna-guna,
pada rasa keindahan sebagai
sebagai penjelmaan dari kalimah suci “Laa Illa Haillallah”
(Tiada Tuhan melainkan Allah). Ukiran rencong pada umumnya dipakai pada
sumber rencong bagian atas, tengah dan bawah atau kedua bagian sumbu. Selain
itu bentuk ukiran digunakan pula pangkal puting, dan kelah. Kelah adalah sejenis
alat pengikat ataupun pembungkus ujung sumbu bagian bawah, di bagian mana
puting rencong diterapkan ke dalam sumbu rencong. Dan kelah ini adalah
sebagian penguat bagian tersebut. Alat penguat inilah yang banyak dipakai emas
dan suasa yang diukir indah, sehingga wadah rencong bertambah indah
kelihatannya (Sufi dkk, 2008:71).
Selain makna yang terdapat ukiran oramen pada rencong, pada bentuk
rencong pun mewakili huruf arab ba, sin, lam, ha jika digabungkan akan
membentuk kata bismillah.
Gagang, yang melekuk kemudian menebal pada bahagian sikunya
merupakan aksara Arab ba =
genggaman merupakan aksara sin =

.

Bujuran, bujuran gagang tempat
. Bentuk-bentuk
bentuk lancip yang

menurun kebawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan aksara mim =
. Lajur-lajur
Lajur lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya

Universitas Sumatera Utara

72

merupakan aksara lam =

. Ujung-ujung
ujung yang runcing dengan datar

sebelah
ebelah atas mendatar dan bahagian bawah yang sedikit melekuk ke atas
merupakan aksara ha =

.

Rangkaian dari aksara ba, sin, mim, lam, dan ha tersebut mewujudkan
kalimah "bismillah"
bismillah" yang artinya dengan nama Allah. Penulis mengasumsikan
bahwa pembagian tersebut seperti gambar dibawah ini:

Gambar 19 : bentuk rencong mewakili bismillah

bagian-bagian
Berdasarkan asumsi tersebut penulis ingin mengetahui batas bagian
mana yang mewakili kalimat bismillah.. Disamping hal tersebut penulis juga ingin
mengetahui apakah perubahan bentuk dari rencong meucugek ke rencong pudoi
apakah tidak merubah makna dari bismillah tersebut.

Universitas Sumatera Utara

73

3.3 Rencong Sebagai Simbol Perjuangan Masyarakat Aceh
3.3.1 Golongan uleebalang dan golongan ulama
Dalam Kitab Bustanus Salatin karya Nuruddin Ar-Raniry seorang
cendekiawan Aceh dijelaskan bahwa Sultan Iskandar Muda sangat getol dalam
menjalankan Syariat Islam di Kerajaan Aceh. Pada masanya Ratusan Mesjid
didirikan di daerah-daerah dan Meunasah-meunasah (tempat pengnajian dan
ibadah) merata disetiap gampong (desa). Sultan Iskandar Muda juga
menganjurkan kepada seluruh rakyatnya untuk menjalankan Syariat Islam, secara
benar dan sempuma. Hukum Kerajaan ini berdasarkan dengan Al-Qur'an dan
Hadist, sehingga seluruh elemen masyarakat pada masa itu enggan melakukan
pelanggaran terhadap Syariat Islam, atau hukum yang berlaku disebabkan oleh
penegakan hukum yang tegas. Selain itu dalam kitab Bustanus Salatin juga
dijelaskan bahwa Sultan Iskandar Muda sangat pro rakyat. ini dibuktikan ketika
Sultan dalam setiap jum'at selalu membawa berbagai macam hadiah dan sedekah
untuk diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Itulah sebabnya
mengapa Aceh dijuluki dengan Negeri Serambi Mekkah. Sehingga melahirkan
sebuah filosofi yang menjadi acuan atau lambang budaya dan hukum Aceh sampai
saat ini,: "Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak
Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana''. Po Teumeureuhom adalah lambang
pemegang kekuasaan. Syiah Kuala adalah lambang hukum syariat atau lambang
agama dari Ulama. Qanun adalah lambang perundang-undangan yang berdasarkan
Islam dan adat istiadat Reusam adalah lambang dari tata cara pelaksanaan adat

Universitas Sumatera Utara

74

dari para peutua adat dan juga berlandaskan pada Islam. Pengembangan nilai-nilai
hukum dan budaya ini mengacu pada sumber asas. yaitu: "hukom ngen adat lagee
zat ngen sifeut", suatu azas yang mendeskripsikan tentang roh dan jiwa
masyarakat Aceh telah menyatu dengan pemahaman islamnya.
KerajaanAceh Darussalam sebagai kerajaan Islam, memberi tempat terhormat
bagi ulama. Sultan didampingi oleh seorang penasihat agama,ialah mufti istana
yang disebut Qadli Malikul Adil (Hasjmy,1975), biasanya seorang pimpinan
tarekat. Masyarakat Aceh menyebut sultan sebagai penguasa ‘adat’ sedangkan
ulama sebagai penguasa ‘Hukom’, maksudnya Hukum Syara’

.

Kedudukan yang berdampingan antara penguasa‘adat’ danpenguasa Hukum
Syara’ ini berjenjang turunsampai keorganisasi pemerintahan yang terkecil,

ialah Gampong. Gampong terdapat satu meunasah dengan kepala adat disebut
Keuchik, dan penguasa Hukom disebut Teungku Meunasah yang bertugas di
bidang keagamaan: mengajar anak-anak mengaji, mengajarkan dasar-dasar ajaran
Islam, menelaah kitab jawi, mengurus zakat/fitrah, pernikahan, kematian, dan
lain-lain yang berkaitan dengan urusan agama.
A. Rani Usman menyatakan bahwa dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi
dijelaskan Kerajaan Aceh Darussalam tersusun dari Gampong (kampung), Mukim
(federasi gampong-gampong), Nanggroe (kecamatan), Sagoe (federasi dari
beberapa Nanggroe, kerajaan/Negara)
Pengertian dari struktur sosial tersebut dijelaskan secara lebih terperinci oleh
Muzakkar A. Gani sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

75

1. Gampong yang dipimpin oleh seorang Keusyik (Kepala Desa) dan juga seorang
Imeum Meunasah (imam rawatib) dengan dibantu oleh seorang staf yang
bernama Tuha Peuet. Pemerintahan gampong ini mendapatkan hak otonom
yang luas dalam pemerintahan.
2. Mukim, yaitu federasi dari beberapa gampong, paling kurang delapan
gampong. Mukim dipimpin oleh seorang Imeum Mukim dan seorang kadhi
mukim serta dibantu oleh beberapa orang waki (wakil). Dalam setiap mukim
didirikan sebuah masjid untuk shalat Jumat.
3. Nanggroe, yang disebut juga daerah Uleebalang terdiri dari tiga mukim, empat
mukim, lima mukim, tujuh mukim, delapan mukim, dan sembilan mukim.Ia
dipimpin oleh seorang Uleebalang dan dibantu oleh seorang Kadhi Nanggroe
dan Nanggroe merupakan daerah otonom dalam batas-batas tertentu.
4. Sagoe, yaitu federasi dari beberapa nanggroe, yang hanya ada di Aceh Rayeuk,
banyaknya tiga Sagoe, sehingga disebut juga Aceh Lhee Sagoe, yaitu a) Sagoe
Teungoh Lheeploh yang terdiri dari 25 mukim, yang dipimpin oleh seorang
panglima Sagoe, yang bergelar Kadhi Malikul Alam Sri Setia Ulama dan
dibantu oleh seorang Kadhi Sagoe yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil, b) Sagoe
Duaploh Nam yang terdiri dari 26 mukim, yang dipimpin oleh seorang
panglima Sagoe yang bergelar Sri Imam Muda OH dan dibantu oleh seorang
Kadhi Sagoe yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil, dan c) Sagoe Duaploh Dua,
yang terdiri dari 22 mukim, yang dipimpin oleh seorang Panglima Polem Sri
Muda Perkasa dan dibantu oleh seorang Kadhi Sagoe yang bergelar Kadhi
Rabbul Jalil.

Universitas Sumatera Utara

76

5. Kerajaan, yang nama lengkapnya Kerajaan Aceh Darussalam dengan Ibukota
negara Banda Aceh Darussalam, kadang-kadang disebut Bandar Darussalam
dan Darul Makmur. Kerajaan dipimpin oleh seorang Raja yang bergelar Sultan
Imam Malikul Adil dan dibantu oleh seorang Kadhi yang bergelar Kadhi
Malikul Adil.
Hirarkhi kedudukan ulama yang demikian itu menyebabkan kegiatan
perlawananan masih dapat berlanjut. Lebih-lebih ketika pimpinan sabil beralih
ke tangan ulama, semangat perlawanan itu semakin berkobar sebab ulama
dipandang sebagai tokoh kharismatik, pimpinan dayah, atau guru tarekat yang
membentuk hubungan genealogis mistik, ‘ayah mistik’ bagi para santri dan
patuh pada perintahnya. Dengan kata lain, ulama dengan kharismanya, khotbahkhotbahnya, murid-muridnya, berpotensi besar untuk dimobilisasi secara massa,
melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Tgk.Chik di Tiro Muhammad Saman,
misalnya, ketika menjadi pimpinan sabil (1881) berhasil menghimpun tidak
kurang dan 6.000 orang dalam barisan sabilnya (Alfian, 1978)

3.3.2 Hikayat prang sabi
Dalam hikayat-hikayat perang yang terdapat di Aceh dinyatakan bahwa mati
dalam berperang melawan Belanda yang dianggap kaphe (kafir) oleh orang-orang
Aceh adalah mati syahid dan orang yang syahid akan diampunkan segala dosanya
serta dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke dalam surga, dan di dalam surga itu ia akan
mcmperoleh segala macam kenikmatan seperti beristrikan bidadari-bidadari yang

Universitas Sumatera Utara

77

cantik jelita, memperoleh makanan dan minuman yang amat lezat citarasanya, dan
lain sebagainya.
Adapun dari segi isinya hikayat-hikayat perang sabil dapat dibagi dalam tiga
kategori, yaitu: (1) yang berisi anjuran untuk berperang sabil dengan
menunjukkan pahala, keuntungan, dan kebahagiaan yang akan diraih, (2) yang
berisi berita mengenai tokoh atau keadaan peperangan di suatu tempat yang patut
disampaikan kepada masyarakat untuk mendorong semangat orang-orang
muslimin yang sedang berjihad, dan (3) yang mencakup kedua-dua kategori yang
tersebut terdahulu. Dalam salah sebuah naskah HPS yang masih tersimpan di
Leiden diuraikan tujuh faedah yang akan diperoleh orang yang gugur dalam
berperang sabil, yaitu: (1) diampunkan semua dosanya oleh Allah Ta'ala, (2)
mendapat tempat dalam surga dengan pelbagai kenikmatan, (3) kuburnya menjadi
luas dan ia akan sentosa di dalamnya, (4) luput daripada bahaya kiamat, (5) di
dalam surga diberikan pakaian yang indah disertai permata-permata, (6)
memperoleh istri bidadari satu mahligai berjumlah 72 orang, dan (7) diampunkan
oleh Tuhan dosa 70 kerabat dari orang yang mati syahid itu.
Secara teoretis semangat perang sabil ini telah diyakini oleh rakyat Aceh
sejak agama Islam bertapak di wilayah ini. Alangkah tepatnya apa yang
dikemukakan oleh Teungku Syaikh Ibrahim Lam Bhuek ibni Teungku Syaikh
Marhaban, penjabat Uleebalang Mesjid Raya kepada A.G. van Sluijs, seorang
pejabat tinggi Belanda, pada tahun 1920 bahwa wawasan berperang sabil
melawan kafir sudah ada sejak Portugis menyerang Kerajaan Aceh. Adapun
pertempuran antara Kerajaan Portugis melawan Kerajaan Aceh terjadi pada tahun

Universitas Sumatera Utara

78

1521 dan pada tahun 1524 Aceh dapat mengusir Portugis yang telah bercokol di
Samudera Pasai. Dalam Hikayat Malem Dagang yang ditulis pada abad XVII
yang mengisahkan peperangan Aceh terhadap Portugis telah disebut-sebut
mengenai perang sabil yang terjemahannya disajikan berikut ini: Mengapa takut
perang Yahudi Daripada Nabi asal mula Mengapa takut perang sabil Tuan kita Ali
dijadikan Panglima Pada hari ini raja [Iskandar Muda] berperang Malem Dagang
dijadikan Panglima. Kisah melawan kafir seperti yang terdapat dalam Hikayat
Malem Dagang itu terus diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Syaikh
Muhammad Ibn 'Abbas alias Tgk. Chik Kutakarang dalam sebuah kitabnya yang
berjudul Tadhkirat al-Radikin (1889) merujuk. Di Bali terdapat pula ungkapanungkapan seperti apang da ja mati di ayunane, artinya usahakan jangan sampai
mati di ayunan, dan eda pesan ngaba xatu nwlili, yang arlinya, jangan sama sckali
membawa luka perang, lebih baik mati daripada cacat unluk selamanya.
Dapat dipahami mengapa di Bali para kesatria beserta para pengikutnya yang
sctia Iebih baik mcmilih mati dalam berperang unluk membela kehormatan
daripada menyerah kepada Belanda. Hal ini terjadi dalam Puputan Klungkung
pada tahun 1908 dan dalam pepcrangan mati-matian menghadapi agresi Bclanda
itu Raja Klungkung Dewa Agung Jambe memilih gugur di medan laga daripada
menyerah. Sejak kapankah ideologi perang sabil ini dimiliki oleh rakyat Aceh?
Secara teoretis semangat perang sabil ini telah diyakini oleh rakyat Aceh sejak
agama Islam berada di wilayah ini. Alangkah tepatnya apa yang dikemukakan
olch Teungku Syaikli Ibrahim Lam Bhuek ibnu Teungku Syaikli Marhaban,
pcnjabat Uleebalang Mesjid Raya kcpada A.G. van Sluijs, seorang pejabat tinggi

Universitas Sumatera Utara

79

Belanda, pada tahun 1920 bahwa wawasan berperang sabil melawan kafir sudah
ada sejak Portugis menyerang Kerajaan Aceh.

Adapun pertempuran antara

Kerajaan Portugis melawan Kerajaan Aceh terjadi pada tahun 1521 dan pada
tahun 1524 Aceh dapat mengusir Portugis yang telah bercokol di Samudera Pasai.
Dalam Hikayat Malem Dagang yang ditulis pada abad XVII yang mengisahkan
pepcrangan Aceh lerhadap Portugis telah disebut-sebut mengenai perang sabil
yang terjemahannya disajikan berikut ini:
Mengapa takut perang Yahudi
Daripada Nabi asal mula
Mengapa takut perang sabil
tuan kita Ali dijadikan Panglima
Pada hari ini raja [Iskandar Muda] berperang
Malem Dagang dijadikan Panglima.
Kisah melawan kafir seperti yang terdapat dalam Hikayat Malem Dagang itu terus
diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Syaikh Muhammad Ibn ’Abbas
alias Tgk. Chik Kutakarang dalam sebuah kitabnya yang berjudul Tadhkirat alRadikin (1889) merujuk kepada kisah Malem Dagang sebagai peristiwa perang
melawan kafir di masa lalu dan menasihatkan kepada semua orang Aceh agar
menarik pelajaran dari kisah-kisah perlawanan seperti itu.
Perang di jalan Allah adalah merupakan inti utama dalam hikayat-hikayat
perang sabil yang terdapat di Aceh. Di samping ayutayat lain dalam Al-Qur’an
ayat-ayat yang seringkali ditemukan dalam berbagai hikayat perang sabil adalah
ayat-ayat berikut ini.
1.

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada
jalan Allah, lalu mereka mcmbunuh atau terbunuh. [Itu telah menjadi] janji

Universitas Sumatera Utara

80

yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Siapakah yang
lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan
jual beli yang telah kami lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
(surat al-Taubah, ayat 111).
2.

Dan belanjakanlah [harta bendamu] di jalan Allah, dan jangan kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (surat alBaqarah, ayat 195).

3.

Janganlah kamu megira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.
Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikanNya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang
masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka; bahwa tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka bersedih hati. (surat Ali Imran, ayat 169-170).

4.

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahuinya. Jika kamu berbuat demikian Allah akan mengampuni dosadosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai memasukkan kamu ke tempat tinggal yang baik dalam Surga
'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. (surat al-Saff, ayat 10, 11, dan 12).

Universitas Sumatera Utara

81

Di dalam ayat-ayat yang dikutip di atas terdapat dua ungkapan, yaitu
berperang di jalan Allah dan berjihad di jalan Allah. Khusus untuk istilah perang
yang dalam Al-Qur'an dipakai kata pokok qital tidak saja terdapat dalam surat alTaubah ayat 111 yang dikemukakan di atas, tetapi juga di dalam surat-surat alHajj ayat 39, al-Baqarah 190, 191, dan 193, seperti dikutip berikut ini.
1.

Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah
dianiaya. Sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong mereka. (surat AlHajj ayat 39).

2.

Dan perangilah olehmu di jalan Allah terhadap mereka yang memerangimu,
namun janganlah kamu melanggar batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melanggar batas. Dan bunuhlah mereka di mana
saja kamu temui, dan usirlah mereka dari tempat kamu telah diusirnya, dan
fitnah lebih berbahaya dari pembunuhan; dan janganlah kamu perangi mereka
di Masjidi'l-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika
mereka memerangi kamu di tempat itu, bunuhlah mereka. Begitulah
pembalasan terhadap orang-orang yang kafir. (surat al-Baqarah ayat 190,
191, dan 192).
Kata jihad berasal dari kata Arab jahada, yang artinya bersungguh-sungguh

mencurahkan segenap pikiran, kekuatan, dan kemampuan untun mencapai suatu
tujuan Kata ini juga dapa memiliki arti yang lain diantaranya perang dan
kekuatan. menurut istilah syar'iyyah pengertian jihad ialah "bersungguh-sungguh
mencurahkan segenap pikiran dan kekuatan melawan hawa nafsu, setan,
kebatilan, dan menghancurkan orang-orang yang kafir".

Universitas Sumatera Utara

82

Ayat-ayat yang menyebut kata jihad dalam arti bersungguh-sungguh terdapat
antara lain dalam surat-surat al-'Ankabut ayat 6, 69 dan al-Hajj ayat 78 seperti
tersalin berikut ini.
1.

Dan barangsiapa yang berjihad, maka kemanfaatan jihadnya itu, adalah untuk
dirinya sendiri, karena Allah sebenarnya Mahakaya, tak membutuhkan
sesuatu pun dari alam semesta ini. (surat al-'Ankabut ayat 6). Orang-orang
yang berjuang di pihak Kami melawan musuh akan Kami tunjukkan jalanjalan Kami, jalan-jalan kebahagiaan. Sesungguhnya Allah beserta orangorang yang berbuat baik. (surat al-'Ankabut ayat 69)

2.

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah, sebenar-benarnya berjihad. Dia telah
memilihmu di antara semua bangsa-bangsa, dan Dia tidak menjadikan
perkara-perkara yang berat atasmu dalam agama ini, yaitu agama nenek
moyang Ibrahim. Dia telah menjuluki kamu dengan manusia-manusia muslim
sejak kitab-kitab yang dahulu, begitu pula pada kitab ini. Tuhan berbuat
demikian, supaya Rasul Muhammad menjadi saksi atasmu pada hari kiamat
dan kamu pun menjadi saksi pula atas seluruh umat manusia. Karena itu
kerjakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah dengan agama
Allah. Dia, adalah Pelindungmu, bahkan Pelindung yang Terbaik, serta
Penolong yang terbaik pula.
Adapun jihad fi sabilillah, menurut M. Yunan Nasution, dapat dibagi atas

tiga macam :
1.

Jihad terhadap diri sendiri,

2.

Jihad terhadap syaitan,

Universitas Sumatera Utara

83

3.

Jihad terhadap musuh yang nyata
Tgk.Nyak Ahmad Cot Paleue mengutip ayat Al-Quran Surah atTaubah,

ayat 111, sebagai rujukan mengenai jaminan Tuhan bagi mereka yang
melaksanakan ibadah sabil dengan sungguh-sungguh.
Janji Allah bagi mukmin yang ikhlas melakukan jihad,akan mendapat
imbalan surga jannah. Berdasarkan Hadits Rasulullah ada tujuh keberuntungan
akan dilimpahkan Allah kepada mereka yang syahid.Keterangan ini terdapat
dalam Hadzihi Qishah Nafsiyah, saduran karya Abdussamad al-Palimbani dalam
bahasa Aceh.
Diampunkan dosa oleh Allah, itu faedah yang pertama
Tetesan darah dari luka badan, sekalian menghapus dosa
Faedah kedua mata melihat, kelihatan tempat dalam surga
Tampak kenikmatan aneka rupa, isteri jelita di dalam surga
Wajah cantik tak terlukiskan, tamsil kembang di jemala
Faedah ketiga kubur luas, tampak jelas dari dalam surga
Azab kubur semua menjauh, nyaman tubuh dalam sentosa
Faedah keempat tidak terkejut, semua luput bahaya Mahsyar
Di hari kiamat huru-hara sangat, yang syahid tetap sentosa
Faedah kelima pesalinan, indah pakaian dalam surga
Di kepala mahkota indah, bertatah intan permata
Tiap butiran tak temilai, dunia seisinya belum imbang harga
Faedah keenam diberi isteri, bidadari tujuhpuluh dua
Satu mahligai mereka bersama, takjub mata pandang terpana
Faedah ketujuh diberi syafaat, tujuh puluh kerabat diampunkan dosa
Ketujuh butir faedah syahid ini akan memantapkan jiwa seseorang yang
ragu terjun kemedan sabil untuk meraih syahid. Ini berarti meraih tujuh puluh dua
bidadari jelita yang sebaya umumya dan siap melayani semua kehendak
kita. Tentang bagaimana besamya pengaruh HPS bagi khalayak penikmat,
diceritakan oleh Tgk.Syaikh Ibrahim Lambhuk (w.1944) dalam sebuah

Universitas Sumatera Utara

84

wawancara (c.1938) dengan Zentgraaft, seorang wartawan dan pensiunan
militer Belanda yang pemah bertugas di Aceh. Syaikh Ibrahim mengakui bahwa
ia masih merasakan betapa besar rangsangan semangat membunuh kafir yang
dibangkitkan oleh hikayat itu ketika mendengar pelantunannya oleh juru hikayat
(Zentgraaff, 1983). Menurut Zentgraaff, “HPS ditulis dalam bahasa yang indah,
penuh semangat, dan memberi pengaruh besar pada jiwa seseorang. Karya
ini telah menolong ribuan mereka yang ragu-ragu menghadapi maut.”
Gambaran kenikmatan kehidupan surga dilukiskan dengan sangat menawan
oleh Tgk.Chik Pante Kulu lewat mimpi seorang pemuda yatim piatu yang sudah
menjual seluruh hartanya untuk membeli peralatan perang, kuda, dan lain-lain dan
dibagikan kepada rekan-rekannya. Ketika beristirahat dalam perjalanan ke medan
sabil, ia tertidur dan bermimpi seolah-olah ia menyusuri tepian sungai Kalkautsar
menyaksikan berpuluh-puluh bidadari mandi di dalamnya.
Langkah yang ditempuh ulama untuk menghimpun tenaga dan menggerakkan
perlawanan rakyat diletakkan pada dasar agama sebagai ideologi perjuangan
dengan media bahasa Aceh sebagai bahasa rakyat. Seruan jihad lewat khotbahkhotbah kini disampaikan dalam bahasa Aceh. Bahan-bahan khotbah kemudian
diolah ke dalam bentuk hikayat, satu bentuk sastra rakyat yang paling digemari.
Kreativitas ini antara lain dilakukan oleh Tgk. Chik Kuta Karang, Tgk. Chik di
Tiro, Tgk. Nyak Ahmad Cot Paleue. Petikan-petikan HPS karya Tgk. Chik Pante
Kulu yang berwibawa itu dijadikan semacam nyanyian keagamaan di meunasahmeunasah pada setiap malam Jum’at. Selesai tadarus dilanjutkan dengan

Universitas Sumatera Utara

85

membaca Dala’il Khayrat, serta melantunkan Kasidah al-Burdah yang diselangseling dengan menyanyikan puisi-puisi yang dipetik dari HPS tadi.
Daripada mati di haribaan isteri, baiklah disambar senjata kafir
Daripada terkapar di atas katil, biarlah di saf perang syahid tergulir
Sampai sekitar tahun 1950-an petikan-petikan HPS tersebut masih
terdengar dinyanyikan oleh para pemuda di meunasah-meunasah. Pada hal
masa perang sudah berakhir tetapi HPS masih tetap hidup dalam jiwa mereka.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
NILAI ESTETIKA PADA RENCONG
Bicara mengenai estetika berarti berbicara tentang keindahan. Untuk
mengukur keindahan secara objektif dibutuhkan aspek-aspek ilmiah. Namun
penilaian estetika yang menggunakan aspek ilmiah ternyata tidak cukup. Masih
ada aspek-aspek yang tidak dapat diuji. Oleh karenanya dibutuhkan aspek filosofis
(philosophical aspect) untuk menilai estetika sebuah produk seni.
Aspek filosofis ilmu estetika dapat juga dinamakan aspek subyektif, karena
langsung berkaitan dengan kepribadian, pendirian dan falsafah dari pengamat
yang bersangkutan, yang menggunakan norma-norma filosofis perseorangan.
Karena itu bagian estetika ini juga bersifat normatif (Jelantik, 1999:12).
Model pendekatan estetik yang dilakukan melalui filsafat seni ornamen pada
rencong dapat diamati sebagai sesuatu yang memiliki makna simbolik.
Simbol yang wujudnya sama tau sangat mirip dengan apa yang dimaksudkan,
disebut simbol ikonik,

misalnya rambu-rambu lalu lintas pada persimpangan

jalan, tanda bahwa jalan akan membelok ke kiri atau ke kanan, tanda bahwa
adanya gelombang-gelombang di jalan.
Simbol yang wujudnya sama sekali tidak mirip dengan arti yang
dimaksudkan, disebut simbol non ikonik. Artinya harus dipelajari untuk dikenal,
seperti misalnya burung dara merupakan simbol perdamaian (Jelantik, 1999:69).
Untuk mengetahui makna simbolik ornamen yang terdapat pada rencong
dibutuhkan seseorang yang paham tentang simbol dari ornamen.
Ornamen pada rencong merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bentuk

Universitas Sumatera Utara

87

rencong keseluruhan maka perlu dikenal terlebih dahulu mengenai rencong mulai
dari bentuk, proses pembuatan, dan penempatan ornamen.
4.1 Deskripsi bentuk rencong
Untuk memudahkan identifikasi bentuk rencong dibagi menjadi enam bagian.
1. Gagang rencong

Gambar 20 : gagang rencong
2. Puting rencong

Gambar 21 : puting rencong

Universitas Sumatera Utara

88

3. Batang rencong
Batang rencong yaitu bagian besi yang menghubungkan puting dengan
bengkuang rencong.

Gambar 22 : batang rencong
4. Bengkuang rencong
Istilah bengkuang rencong bila diartikan dalam bahasa Indonesia. Lebih tepat
disebut kuku elang atau kuku rajawali. Gunanya sebagai kuku penyangkut,
apabila disarungkan berfungsi sebagai sangkutan bila diselipkan di pinggang.

Gambar 23 : bengkuang rencong

Universitas Sumatera Utara

89

5. Perut rencong
Perut rencong bagian mata yang letaknya di tengah-tengah. Bagian ini diasah
sehingga tajam,kadang-kadang dipergunakan untuk memotong suatu benda
yang keras

.
Gambar 24 : perut rencong
6. Ujung Rencong
Ujung rencong adalah bagian mata rencong yang runcing. Pada bagian runcing
tersebut yang menentukan tembus tidaknya suatu benda yang ditusuk atau
ditancapkan.

Universitas Sumatera Utara

90

Gambar 25 : ujung rencong

4.2 Proses Pembuatan Rencong
Dalam pembuatan suatu kerajinan rencong ada dua macam teknik yakni
teknik tempa dan teknik cor. Teknik tempa merupakan pekerjaan secara manual
yaitu dengan cara memukul untuk menipiskan besi kemudian dibentuk.
Sedangkan teknik cor adalah dikerjakan dengan cara menuangkan cairan ke dalam
cetakan.

4.2.1 Bahan dan alat
a. Bahan Bahan yang digunakan pengrajin masa dulu hingga sekarang yang
digunakan yaitu besi putih dan kuningan, semua barang tersebut tidak digunakan
secara bersamaan. sebab bahan tersebut merupakan bahan pokok dari pembuatan
rencong.

Universitas Sumatera Utara

91

b. Alat Dalam proses produksi kerajinan rencong H. Harun Keuchik Leumik telah
memiliki sarana produksi yang cukup memadai, sehingga proses produksi dapat
dilakukan dengan sebaik-baiknya. Sarana produksi berupa peralatan kerja yang
terdapat adalah alat yang dipakai dalam pembuatan rencong sangat sederhana
seperti tang, yang fungsinva untuk memegang besi yang dibakar dan kain lap juga
untuk menghindari panas api. Gunting sebagai alat untuk memotong besi, baik
besar maupun kecil serta untuk memipihkan besi tersebut. Tungku pembakaran
dengan menggunakan bara dari arang atau dari batok kelapa. Ukuran tungku lebih
kurang 40 cm x 30 cm, batu dan besi sebagai landasan dari yang ditempa. Baskom
air sebagai tempat merendam besi saat penempaan dan fungsinya untuk
mendinginkan besi yang sedang dibakar, supaya besi tersebut lunak bila direndam
didalam air. Kemudian kipas angin digunakan untuk meniup api supaya api itu
tetap hidup merah membara, karena dalam pembakaran besi suhu api harus tinggi.

4.2.2 Proses desain
Desain kriya rencong Aceh dikerjakan sendiri H. Harun Keuchik Leumik
karena lebih percaya jika beliau sendiri yang membuat. Desain dibuat dalam
bentuk sketsa-sketsa dengan cara manual atau tangan, juga tidak menggunakan
alat bantu seperti komputer. Tujuannya adalah untuk tetap memperlihatkan
karakter diri serta untuk mencapai expresi bentuk, yang dibantu dengan alat
berupa pensil. Dalam pembuatan desain untuk kerajinan rencong non fungsional,
H. Harun Keuchik Leumik terlebih dahulu mempelajari berbagai literatur yang
berhubungan dengan kerajinan rencong, kemudian dituangkan dalam bentuk

Universitas Sumatera Utara

92

sketsa. Untuk desain fungsional, H. Harun Keuchik Leumik banyak mendapat
masukan dari karyawan dan rekan-rekannya serta konsumennya. Walau bersifat
komersial desain tetap dikerjakan sendiri oleh H. Harun Keuchik Leumik
disebabkan karena dalam pembuatan desain tersebut kalau tidak dengan
ketekunan akan gagal. Dalam pembuatan desain untuk kerajinan rencong yang
sifatnya pesanan atau orderan ada kalanya dilakukan kompromi desain antara
pengrajin dan konsumen.

4.2.3 Proses pengerjaan kerajinan rencong
Proses pembentukan kerajinan Rencong H. Harun Keuchik Leumik
mempunyai beberapa tahapan yakni :
a. Proses Pembuatan Bilah
Untuk membuat suatu bilah dipergunakan bahan baku dari besi putih atau
besi biasa serta kuningan. Proses pengerjaan besi putih dan besi biasa sama
sedangkan bahan dari kuningan sangat berbeda, sebab bahan dari kuningan adalah
menggunakan teknik cor. Proses pembuatan bilah dari besi, Langkah awal yang
dikerjakan adalah memotong besi dengan ukuran disesuaikan dengan barang
jadinya.
Sebelum besi ditempa terlebih dahulu dibakar dengan menggunakan arang
gunanya agar arang atau api tetap membara. Supaya arang atau api tetap
membara, maka dilakukan pemompaan angin melalui dua lubang yang terdapat
pada sisi pembakaran. Pompa angin tersebut ada yang terbuat dari kulit atau

Universitas Sumatera Utara

93

kantong semen. Tetapi pompa yang berasal dari kulit jarang digunakan sebab
disamping kulit tersebut keras, juga tidak menghembuskan angin
Penempaan dimulai dengan pembakaran besi sampai memerah kemudian
diambil dan ditempa (dipisahkan), yaitu diatas landasan yang telah disediakan
setelah ditempa, dicelupkan ke dalam air yang berfungsi untuk mendinginkan dan
melunakkan besi tersebut. Proses penempaan dilakukan sampai selesai, pekerjaan
itu dilakukan secara berulang kali tempaan, sebanyak 10 kali pembakaran dalam
waktu lebih kurang dua jam, untuk sebuah rencong. Dalam sehari kira-kira 4
sampai 5 pucuk senjata rencong, itupun menurut ukuran. Semuanya tergantung
pada ketekunan pengrajin. Setelah ditempa, bilah masih berupa bilah kasar untuk
itu dilakukan proses penghalusan dengan menggunakan kikir atau amplas
b. Proses Pembuatan Gagang
Biasanya gagang dibuat dari tanduk kerbau, kayu kemuneng dan gading
gajah, karena gajah sekarang dilindungi, maka hanya digunakan bahan dari tanduk
kerbau dan kayu kemuneng. Kalau bahan yang digunakan dari kayu kemuneng,
membentuknya memakai alat seperti gergaji dan kikir kayu. Tetapi bila
menggunakan bahan dari tanduk harus di bengkokkan terlebih dahulu dengan
jepitan dari besi. Menurut Harun Keuchik Leumiek gagang biasanya lebih banyak
menggunakan tanduk daripada kayu karena tidak mudah patah pada cugek-nya.
Proses pembuatan gagang yang terbuat dari tanduk, langkah awal yang
dilakukan yaitu memotong tanduk tersebut lebih kurang tiga jari (3cm) dari bagian
ujung dari tanduk. Kemudian dibakar dan diluruskan dalam keadaan masih panas,

Universitas Sumatera Utara

94

tanduk dibiarkan dingin setelah dingin tanduk dipotong kira-kira 5 cm,
selanjutnya dikikir untuk membentuk gagang.
Supaya gagang nampak indah diberi hiasan dari kuningan. Bahan kuningan
yang dipakai biasanya diambil dari peralatan lampu petromaks, yang berbentuk
pipa kemudian dibentuk dengan menggunakan besi bulat pada ujungnya
diruncingkan. Batang besi tersebut dimasukkan pada lubang kuningan agar
berbentuk bulat. Selanjutnya diberi hiasan yang berupa ukiran, motif bunga, dan
motif geometris pada permukaan pucuk. Ukuran yang dihiasi pada pucuk rencong
menggunakan alat yang berupa nukilan dengan email. Namun pada saat sekarang
nukilan dan email tidak dipakai lagi, sebab bahan tersebut sulit didapatkan.
Kemudian diganti dengan drip (sepotong besi yang ujungnya tajam). Drip ini
mempunyai bentuk mata yang berpariasi dan bentuknya lurus, melengkung, dan
runcing pada salah satu sisinya bentuknya bulat runcing. Setelah selesai
pembuatan motif antara gagang dan pucuk digabung bagian yang lebih dari
gagang ditutup dengan menggunakan lempengan kuningan yang diberi hiasan
serta untuk merapikan gagangnya supaya nampak rapi dikikir dengan
menggunakan kikir yang matanya kasar.
Pada ujung gagang yang akan dimasukkan bilah diberi hiasan yang terbuat
dari kuningan. Cara membuatnya sama dengan pucuk. Setelah selesai pembuatan
hiasan digabung antara bilah dan gagang. Gagang terlebih dahulu dilobangi
menurut besarnya ujung bilah.
Proses pembuatan gagang tersebut terbuat dari kayu atau tanduk hal ini
disesuaikan dengan ukuran rencong. Adapun cara membersihkan gagangnya

Universitas Sumatera Utara

95

dengan pisau dan kikir, setelah bersih maka dibentuk gagangnya. Dihiasi pada
bagian bawah gagang dibuat motif awan berarak, dan bagian tengah gagang
dibuat motif putar talo, serta dibagian atasnya dibuat berbentuk pucuk rebung
yakni berbentuk zig- zag.
d. Pembuatan motif pada rencong masa kerajaan
Dalam membuat motif khususnya sering pada gagang rencong digunakan
nukilan yang berupa goresan motif yang dalam parit-parit dengan cara diketok
atau dipahat.Tapi kalau rencong jaman dahulu kebanyakan dipahat. Dalam hasil
pahatan ini diisi dengan sejenis email atau disebut cawardi. Cawardi yang
disusupkan dalam garis nukilan ada yang berwarna hitam, hijau, biru, dan merah
tua. Cawardi menurut keterangan pengrajin hanya ada di Aceh, kalau di Indonesia
bahan tersebut hanya ada di Aceh, kalau di luar Indonesia hanya terdapat pada
perhiasan lndia, Thailand dan Timur Tengah. Email atau cawardi bahan bakunya
terdiri dari bahan kaca dan sejenis batu keras. Di Aceh perhiasan yang dinukilan
dan diisi dengan cawardi sudah sangat langka disebabkan sulitnya menemukan
bahan baku cawardi. Di dalam membuat motif tersebut diperlukan ketekunan dan
mampu menyusupkan bubur email ke dalam nukilan motif rencong. Motif yang
digoreskan maupun yang dipahat motif yang berasal dari daun dan bunga terlebih
dahulu dibentuk baru kemudian baru diwarnai dengan menggunakan nukilan
cawardi. Biasanya bahan atau serbuk email diperoleh dengan memesannya dari
Penang. Email yang dimaksud adalah sejenis mineral yang digunakan oleh
perusahaan-perusahaan gelas ataupun benda peralatan dapur yang mempunyai
mutu yang bagus.

Universitas Sumatera Utara

96

Serbuk cawardi diperoleh dengan menghaluskan kaca yang dicampur dengan
tepung yang berasal dari batu. Serbuk yang sudah dihaluskan kemudian diberi air
untuk memperoleh adonan yang kental. Alat untuk mengaduknya menggunakan
kuas dari bulu ayam, dan bubur kental tersebut disusupkan kedalam ukiran serta
dikerjakan dengan cara mengoles. Setelah dioleskan dibiarkan kering selama lebih
kurang 12 jam, kemudian setelah kering dimasukkan ke dalam oven pada suhu
tertentu. Maksudnya agar bubur tersebut menjadi cair dan menyatu dengan benda
rencong yang sudah memerah membara. Setelah lengket dikeluarkan dikikir
kembali. Dalam pembakaran ini sangat menetukan warnanya. Bila terlalu panas
email akan kehilangan warna dan akan hangus. Begitu juga dengan suhu
pembakaran tidak optimal maka serbuk email tidak akan menyatu dengan benda
perhiasan dan cawardi akan lekang dari alur-alur nukilan
c. Proses Pembuatan Sarung
Proses pembuatan sarung rencong sama dengan pembuatan rencong, tetapi
pada sarung ini digunakan dua buah besi yang ujungnya dipipihkan, kemudian
kedua besi digabungkan dengan besi yang sudah dipipihkan sehingga diantara dua
gabungan tersebut terdapat lobang untuk tempat berlindung rencong tersebut.
Pada sarung tersebut bagian atasnya dibuat motif dengan menggunakan cawardi
dan tidak tertutup kemungkinan sarung rencong dibuat dari tanduk dan kayu itu
tergantung pada keinginan konsumen.
Sarung rencong dari tanduk, kayu atau gading, direka sesuai dengan ukuran
mata rencong. Langkah pertama dalam membuat sarung adalah menghias belahan
bawah sarung terlebih dahulu, kemudian tubuh sarung disayat dari ujung ke ujung

Universitas Sumatera Utara

97

agar mudah mencungkil isi melalui rongga yang ada.Setelah dicungkil, potpngan
tubuh sarung tadi kembali ditempatkan untuk menutup rongga. Potongan tersebut
dikencangkan dengan 3 rangkai ikaltan logam berbaris satu sama lain dengan
jarak yang sama (Leigh, 1989: 42).
Pada masa kerajaan dulu sarung lebih banyak menggunakan kayu. Sarung
yang terbuat dari kayu memudahkan membuat ukiran. Namun kebanyakan sarung
rencong pada masa dahulu yang terbuat dari kayu banyak yang hancur karena
dimakan

rayap.

Maka

sarung

rencong-rencong sekarang banyak

yang

menggunakan tanduk. Pengerjaan sarung ini lebih dominan dari bahan tanduk
sebab bahan tersebut mudah membentuknya dan juga mudah mendapatkannya.
Biasanya tanduk ini dibuat untuk sarung dipilih agak tebal dan tidak banyak
gelombang atau lengkungan pada tanduk. Setelah bahan dipilih dilakukan proses
pemotongan tanduk, kemudian dibentuk lobang, dimana bilah akan dimasukkan
kedalam lobang sarung tersebut, dan dilobangi dengan menggunakan bor
kemudian membesarkan lobang digergaji sampai bilah masuk ke dalam sarung
tersebut. Pada masa kerajaan dulu sarung lebih banyak menggunakan kayu.

4.2.4 Finishing
Setiap hasil sebuah karya selalu diiringi dengan proses akhir yaitu finishing.
Dalam memproduksi kerajinan rencong sebagai kerja akhirnya melakukan proses
pembakaran logam yang sudah terbentuk dilakukan guna menghilangkan guratan
dan goresan akibat tarikan, tempaan dan pembekokan. Juga untuk mencegah
logam ag