Hubungan Kadar Matrix Metalloproteinase-3 dengan Gangguan Pendengaran pada Pasien Artritis Reumatoid

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai gangguan sistemik dapat bermanifestasi sebagai keluhan
otologi. Gejala-gejalanya dapat merupakan bagian dari perkembangan
gangguan sistemik yang sebelumnya sudah ada, atau dapat juga sebagai
keluhan awal pasien yang memiliki penyakit sistemik yang sebelumnya
tidak diketahui. Karena penyakit yang dapat melibatkan tulang temporal
begitu banyak, ahli Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
(T.H.T.K.L.) harus teliti dalam mengevaluasi pasien dengan keluhan
otologi (Schleuning, et al., 2006).
Artritis Reumatoid (AR) merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik
yang terutama mengenai sendi diartrodial. Penyakit ini termasuk penyakit
autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui. Manifestasi artikular AR
dapat dibagi menjadi gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat
reversibel dan gejala akibat kerusakan struktur pesendian yang bersifat
ireversibel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa artritis reumatoid
dapat menyebabkan gangguan pendengaran (Lee, 2003; Kasper, et al.,
2005; Rani, et al., 2008; Dikici, et al., 2009; Baradaranfar & Doosti, 2010).
Pada penyakit ini, destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara.
Pertama


adalah

destruksi

yang

disebabkan

produksi

protease,

kolagenase, dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Kedua adalah destruksi
jaringan

melalui

kerja


pannus

reumatoid

(Carter,

2005).

Sendi

inkudomaleus dan inkudostapedius adalah diartrosis sejati, sehingga
dapat dikenai lesi rematoid yang sama sebagaimana sendi lain dalam
tubuh (Colletti, et al., 1997; Frade & Martin, 1998, Salvinelli, et al., 2006).
Walaupun patogenesis gangguan pendengaran pada AR belum
diketahui secara pasti, namun keterlibatan sendi pada rangkaian tulang
pendengaran di telinga tengah, vaskulitis, neuritis, dan ototoksisitas obat
yang digunakan untuk pengobatan penyakit ini telah dilaporkan. Pada

Universitas Sumatera Utara


persendian tulang-tulang pendengaran pasien AR, juga dijumpai disolusi
material diskus bersamaan dengan proliferasi pada permukaan diskus dan
artikular,

dengan

pembentukan

jaringan

seperti

pannus.

Dengan

demikian, gangguan pendengaran bilateral ringan pada frekuensi tinggi
dapat ditemukan (Dikici, et al., 2009).
Pada pasien AR, gangguan pendengaran dijumpai sebesar 51,4%
sedangkan pada kelompok kontrol hanya sebesar 14,3%. Baik gangguan

pendengaran
gangguan

konduktif
pendengaran

(Conductive

Hearing

sensorineural

Loss/CHL)

(Sensorineural

maupun
Hearing

Loss/SNHL) dapat terjadi. SNHL dilaporkan lebih sering dijumpai yaitu

sebanyak 24-60%. CHL dilaporkan dengan prevalensi yang lebih rendah
yaitu sebanyak 0-24,3%. Gangguan pendengaran campuran (Mixed
Hearing Loss/mixed HL) juga telah dilaporkan dan dijumpai sebanyak 1010,8% (Doig, et al., 1971; Reiter, et al., 1980; Elwany, ElGarf, & Kamel,
1986; Colletti, et al., 1997; Ozcan, et al., 2002; Baradaranfar & Doosti,
2010).
Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3) atau stromelysin-1 dideskripsikan
pertama kali pada tahun 1985. Stromelysin mempunyai struktur MMP
dasar, dengan domain serupa-hemopexin (Klein, Bischoff, 2011). Pada
AR, MMP-1, MMP-3, MMP-9 dan MMP tipe membran 1 diproduksi secara
berlebihan. MMP ini disekresikan ke dalam sinovium dan menyerang
tulang rawan yang terendam dengan cairan sinovial. Yang menarik,
konsentrasi MMP-3 dalam cairan sinovial reumatoid lebih tinggi daripada
MMP lainnya dan dalam beberapa studi terbukti bersifat memprediksi
kehancuran sendi (Carrasco & Barton, 2010). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Takatsu, et al., ditemukan bahwa SNHL pada pasien AR
berhubungan signifikan dengan MMP-3 plasma (Takatsu, et al., 2005).
Selama ini, diagnosis AR didasarkan pada manifestasi-manifestasi
klinik. Akan tetapi, sering sulit mendiagnosa AR pada fase yang sangat
dini dan dalam banyak kasus kerusakan yang ireversibel terjadi pada
waktu diagnosis ditegakkan. Karena itu, pemeriksaan laboratorium yang


Universitas Sumatera Utara

sensitif dan spesifik di awal masa perjalanan penyakit diperlukan untuk
diagnosis dan intervensi lebih dini (Carrasco & Barton, 2010). Semua data
ini mendukung peranan potensial MMP-3 sebagai biomarker pada AR
termasuk gangguan pendengaran yang bisa terjadi. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk meneliti hubungan MMP-3 dengan gangguan
pendengaran pada pasien AR tersebut.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas,
dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: bagaimanakah hubungan
kadar MMP-3 dengan gangguan pendengaran pada pasien AR.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan kadar MMP-3 dengan gangguan pendengaran
pada pasien AR.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui rerata ambang dengar, proporsi jenis dan derajat
gangguan pendengaran pada kelompok AR dengan gangguan
pendengaran.
b. Mengetahui perbedaan rerata hantaran udara, hantaran tulang,
dan Air-Bone Gap pada kelompok AR dengan gangguan
pendengaran dan kelompok AR tanpa gangguan pendengaran.
c. Mengetahui proporsi tipe timpanogram pada kelompok AR
dengan gangguan pendengaran dan kelompok AR tanpa
gangguan pendengaran.
d. Mengetahui perbedaan kadar MMP-3 pada pasien AR dengan
gangguan pendengaran dan pasien AR tanpa gangguan
pendengaran.

Universitas Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
masukan mengenai gangguan pendengaran pada pasien AR yang
dapat digunakan sebagai bahan pustaka untuk pengembangan
bidang Neurotologi dan Reumatologi.

b. Kontrol pengobatan dan rehabilitasi pasien AR dapat lebih optimal
melalui kerja sama yang baik antara bidang Neurotologi dengan
bidang Reumatologi.
c. Kadar MMP-3 diharapkan dapat menjadi biomarker untuk diagnosis
gangguan pendengaran pada pasien AR.

Universitas Sumatera Utara