Analisis Yuridis Terhadap Eksekusi Benda Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan Pada Debitur Pailit

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank dalam menyalurkan
dananya kepada masyarakat dengan nilai pinjaman menengah ke atas pada umumnya
akan meminta suatu jaminan terhadap debitur. Dalam pelaksanaan penyaluran
pinjaman atau yang lebih dikenal dengan penyaluran dana kredit maka jaminan yang
diwajibkan oleh kreditur terdiri dari dua jenis yaitu jaminan benda bergerak yang
diikat dengan jaminan fidusia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jaminan
Fidusia No. 42 Tahun 1999 dan benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan
yang diikat dengan jaminan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan yang termuat
dalam Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996.
Untuk penyaluran dana kredit dalam skala menengah dan besar pada
umumnya, kreditur lebih menyukai bentuk jaminan berupa benda tidak bergerak
berupa tanah dan bangunan yang dapat diikat dengan jaminan hak tanggungan. Hal
ini disebabkan karena benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan tersebut lebih
aman untuk dijadikan jaminan karena di samping sifatnya yang sulit untuk dialihkan
kepemilikannya juga memiliki nilai ekonomi yang cukup baik karena akan
mengalami kenaikan harga dari waktu ke waktu. Disamping itu dalam pelaksanaan
penyaluran kredit dengan jaminan hak tanggungan tersebut kreditur akan melakukan

pengikatan jaminan hak tanggungan dengan menggunakan Akta Pemberian Hak

1

Universitas Sumatera Utara

2

Tanggungan (APHT) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
dilakukan oleh debitur selaku pemberi hak tanggungan dan kreditur.1
Setelah dilakukan pengikatan jaminan hak tanggungan dihadapan PPAT maka
APHT tersebut akan didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk memperoleh sertipikat
hak tanggungan sebagai bukti bahwa tanah dan bangunan tersebut telah berada dalam
penguasaan kreditur yang telah diberikan oleh debitur pemberi hak tanggungan
hingga pelaksanaan penyaluran kredit tersebut berakhir dengan pelunasan oleh
debitur. Sertipikat hak atas tanah yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan
tersebut akan diberikan tanda telah dibebani jaminan hak tanggungan oleh Kantor
Pertanahan sesuai dengan peringkatnya, sehingga masyarakat umum mengetahui
bahwa tanah atau bangunan tersebut sedang dalam tahap pembebanan hutang oleh
debitur terhadap kreditur.

Hal ini mengingatkan masyarakat apabila hendak membeli tanah/bangunan
tersebut maka ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur untuk terlebih dahulu
melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur sehingga keterangan pembebanan
jaminan hak tanggungan yang termuat di dalam sertipikat hak atas tanah tersebut
dapat diroya oleh Kantor Pertanahan tempat di mana tanah tersebut berada. Dengan
terjadinya roya atas sertipikat hak atas tanah maka pembebanan hutang debitur

1

Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal 21.

Universitas Sumatera Utara

3

pemberi hak tanggungan telah dihapus karena telah dilunasi hutang-hutangnya
kepada kreditur.2
Pengikatan jaminan hak tanggungan dalam memberi pinjaman oleh kreditur
kepada debiturnya dalam suatu perjanjian kredit atau pengakuan hutang tidak
sepenuhnya aman dari tunggakan atau permasalahan dikemudian hari. Dalam praktek

pelaksanaan perjanjian kredit atau pengakuan hutang dengan jaminan hak
tanggungan, debitur pemberi hak tanggungan dapat saja tidak mampu lagi untuk
melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur. Sehingga kreditur melakukan upayaupaya hukum berupa penerbitan surat peringatan sebanyak tiga kali kepada debitur,
mengadakan pendekatan secara persuasif kepada debitur atau bahkan memberikan
suatu program restrukturisasi atas hutang-hutang debitur dengan memberikan
kemudahan pemotongan bunga maupun biaya-biaya administrasi lainnya serta
memperkecil bunga kredit agar debitur dapat kembali lancar untuk membayar hutanghutangnya.3
Jika seluruh upaya hukum telah dilaksanakan oleh kreditur namun pihak
debitur tidak juga dapat melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutangnya
maka kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan
dengan menjual objek jaminan hak tanggungan melalui lelang oleh badan lelang atau
dengan kesepakatan antara debitur pemberi hak tanggungan dengan kreditur melalui

2

M. Khoidin, 2012, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan, Hak Tanggungan dan Eksekusi
Objek Hak Tanggungan, Laksbang Justitia, Surabaya, hal 2.
3
J. Satrio, 2012, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal 11.


Universitas Sumatera Utara

4

penjualan objek jaminan hak tanggungan di bawah tangan yang tujuannya untuk
memperoleh harga tertinggi sebagai solusi terbaik bagi para pihak yaitu kreditur dan
debitur pemberi hak tanggungan tersebut.4
Pelaksanaan penjualan objek jaminan hak tanggungan secara di bawah tangan
atau melalui badan lelang adalah upaya kreditur untuk mengambil pelunasan
piutangnya terhadap debitur pemberi hak tanggungan dan apabila ada sisa dari
penjualan objek jaminan hak tanggungan tersebut maka harus dikembalikan kepada
debitur, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UUHT No. 4 Tahun 1996 yang
menyebutkan bahwa, “Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut”.
Selanjutnya Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT No. 4 Tahun 1996
menyebutkan bahwa:
“Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT No. 4 Tahun 1996
atau title eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT No. 4 Tahun 1996,
objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului daripada
kreditur-kreditur lainnya”, selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT No. 4 Tahun
1996 menyebutkan bahwa, “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah
tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak”. Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996
4

Rachman Marwali, 2012, Pembatalan APHT Akibat Tidak Berwenangnya Debitur Pemberi
Hak Tanggungan, Bumi Aksara, Jakarta, hal 9.

Universitas Sumatera Utara

5


menyebutkan bahwa, “Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit,
pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
diperoleh menurut ketentuan undang-undang ini”.
Dari ketentuan Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996 dapat dikatakan bahwa
meskipun debitur pemberi hak tanggungan telah dinyatakan pailit namun terhadap
objek hak atas tanah dan bangunan yang telah diikat atau dibebani dengan jaminan
hak tanggungan tetap menjadi kewenangan dari pemegang sertipikat hak tanggungan,
sehingga objek hak atas tanah yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan
tersebut tetap dapat dieksekusi oleh kreditur.5
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang
KPKPU berpengaruh besar terhadap lembaga keuangan debitur yang mengalami
kesulitan untuk membayar utangnya yang telah jatuh tempo serta mempunyai
minimal dua kreditur, maka menurut hukum debitur dapat dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih krediturnya. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa
syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan adalah:
1.

Terdapat minimal 2 (dua) orang kreditur;


2.

Debitur tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang;

3.

Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.6

5

Sunarmi, 2009, Hukum Kepailitn, USU Press, Medan, hal 16.
Man HS Sastawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Hutang, Bandung, ALUMNI, hal 89.
6

Universitas Sumatera Utara

6


Pasal 15 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan dalam, putusan pailit harus diangkat
seorang Kurator dan Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan. Dalam hal
debitur, kreditur atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit tidak
mengajukan usul pengangkatan Kurator, maka Pengadilan menunjuk Balai Harta
Peninggalan selaku Kurator.
Pernyataan putusan pailit seorang debitur dilakukan oleh Hakim Pengadilan
Niaga dengan suatu putusan (vonnis) dan tidak dengan suatu ketetapan (beschikking).
Hal ini disebabkan suatu putusan menimbulkan suatu akibat hukum baru, sedangkan
ketetapan tidak menimbulkan akibat hukum baru tetapi hanya bersifat deklarator saja.
Pernyataan pailit menimbulkan akibat hukum baru seperti:
1.

Debitur yang semula berwenang mengurus dan menguasai hartanya menjadi
tidak berwenang mengurus dan mnguasai hartanya.

2.

Terhadap perikatan yang dibuat sesudah ada putusan pernyataan pailit, maka
perikatan tersebut tidak dapat dibayar dengan harta pailit.


3.

Terhadap tuntutan atas harta pailit yang ditujukan terhadap debitur pailit, hanya
dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan dalam verifikasi.

4.

Terhadap eksekusi pelaksanaan putusan pengadilan atas kekayaan debitur pailit
dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat
dilaksanakan termasuk juga menyandera debitur pailit.

5.

Pasal 32 UUKPKPU menyebutkan akibat kepailitan, terhadap uang paksa
(dwangsom) tidak dibayar.

Universitas Sumatera Utara

7


6.

Terhadap perjanjian timbal balik yang kemungkinan dilakukan oleh debitur
sebelum pailit, maka Pasal 36 UUKPKPU mengatur sebagai berikut:
a.

Pihak yang melakukan perjanjian dapat meminta kepada Kurator untuk
memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut;

b.

apabila tidak tercapai kesepakatan atas jangka waktu tersebut, maka Hakim
Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut;

c.

apabila atas jangka waktu yang ditetapkan, pihak Kurator tidak memberikan
jawaban atau tidak bersedia melanjutkan perjanjian maka perjanjian berakhir
dan pihak yang mengadakan perjanjian dapat menuntuk ganti rugi dan
berkedudukan sebagai kreditur konkuren;


d.

apabila Kurator menyatakan kesangggupannya, maka Kurator memberikan
jaminan atas kesanggupannya;

e.

ketentuan tersebut tidak berlaku bagi perjanjian yang mengharuskan debitur
melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan;

7.

Terhadap perjanjian sewa menyewa, menurut pasal 38 UUKPKPU, maka:
a.

Kurator atau yang menyewakan dapat menghentikan perjanjian sewa
menyewa dengan syarat penghentian perjanjian sewa menyewa itu dilakukan
sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan kebiasaan setempat;

b.

apabila uang sewa telah dibayar dimuka, maka perjanjian sewa tidak dapat
dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya perjanjian sewa;

c.

sejak tanggal putusan pailit, maka uang sewa termasuk merupakan utang
pailit;

Universitas Sumatera Utara

8

8.

Pasal 39 UUKPKPU mengatur tentang akibat pailit terhadap perjanjian kerja
yaitu pekerja yang bekerja pada debitur pailit dapat memutuskan hubungan kerja
dan di pihak lain, Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan
jangka waktu menurut persetujuan atau perundang-undangan. Perlu diperhatikan,
bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan paling singkat 45 hari
sebelumnya. Di samping itu, sejak tanggal putusan pernyataan pailit, upah yang
terutang sesudah atau sebelum pernyataan putusan pailit diucapkan merupakan
utang harta pailit.

9.

Terhadap harta warisan, Pasal 40 UUKPKPU menerangkan bahwa terhadap harta
warisan yang diterima debitur selama kepailitan, maka Kurator tidak boleh
menerimanya.7

10. Terhadap status hukum objek jaminan yang dibebani oleh hak jaminan berupa
gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan, UUKPKPU mengatur dalam
ketentuan Pasal 55 ayat (1) yang menyebutkan bahwa dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan
Pasal 58, setiap kreditur pemegang gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan
dapat mengeksekusi haknya seolah–olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan Pasal
55 UUKPKPU sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 21 UUHT yang mengakui
hak seperatis dari pemegang hak jaminan sebagaimana ditentukan dalam Kitab

7

Ibid, hal 101 – 117.

Universitas Sumatera Utara

9

Undang-Undang Hukum Perdata. Pencantuman ketentuan Pasal 55 ini sangat
penting bagi kepentingan dan perlindungan kepada debitur separatis. 8
Selanjutnya Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa, “Hak
eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak
ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau
kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan”. Pasal 56 ayat (2) UU KPKPU juga menyebutkan bahwa,
“Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan
kreditur untuk memperjumpakan utang (set off)”. Pasal 56 ayat (3) UUKPKPU
menyebutkan bahwa, “Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak
maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang
berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, dalam
hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur dan pihak
ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dari ketentuan tersebut di atas dapat dikatakan, terdapat ketidak konsistenan
dengan asas hukum pada umumnya serta asas hukum jaminan pada khususnya. Pasal
55 ayat 1 UUKPKPU terdapat kata “seolah-olah” dapat menimbulkan multi tafsir.
Yang dimaksud dengan multi tafsir di sini adalah hak eksekusi kreditur sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU dan hak pihak ketiga untuk menuntut
8

Sutan Remi Sjahdeni, 2009, Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang
– Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, Jakarta,
Prenadamedia Group, hal 397.

Universitas Sumatera Utara

10

hartanya yang berada dalam penguasaan Debitur pailit atau Kurator, ditangguhkan
untuk paling lama 90 (sembilan puluh) sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. 9
Penangguhan tidak berlaku terhadap tagihan kreditur yang dijamin dengan
uang tunai dan hak kreditur untuk memperjumpakan hutang.10 Selama jangka waktu
penangguhan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) Kurator dapat menggunakan
harta pailit berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak atau menjual harta
pailit yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha
debitur. Untuk itu disyaratkan telah diberikan perlindungan yang wajar bagi
kepentingan kreditur atau pihak ketiga.11
Dipihak lain ada konflik norma antara ketentuan hukum jaminan dengan
ketentuan UU KPKPU karena Pasal 6 Undang Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun
1996. Pasal 6 menyebutkan apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualannya.
Sebagai salah satu ciri dan preferensi hak tanggungan dan merupakan
perwujudan dari asas droit de preference. Sistem hukum jaminan yang baik adalah
hukum jaminan yang mengatur asas-asas dan norma-norma hukum yang tidak
tumpang tindih atau bertentangan satu sama yang lainnya. Asas hukum dalam hukum
9

Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
10
Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
11
Pasal 56 ayat 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

Universitas Sumatera Utara

11

jaminan harus berjalan secara harmonis dengan asas hukum yang ada pada bidang
hukum jaminan kebendaan lainnya termasuk dengan hukum kepailitan.

Ketidak

sinkronan pengaturan asas-asas hukum jaminan dengan ketentuan dalam hukum
kepailitan akan dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum jaminanan
itu sendiri, terutama berkaitan dengan kedudukan benda jaminan dan proses
hukumnya.12
Ketentuan Pasal 59 Undang-Undang KPKPU, juga bertentangan dengan Pasal
21 Undang-Undang Hak Tanggungan. Menurut Pasal 21 Undang-Undang Hak
Tanggungan yang menentukan bahwa,”Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan
pailit, maka pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan”. Sementara itu,
ketentuan Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan dengan tetap memperhatikan
ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 UUKPKPU, kreditur seperatis harus
melaksanakan haknya tersebut dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah
dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)
UUKPKPU. Adapun ketentuan Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU mengatur tentang
pemberesan harta pailit yang menyatakan bila dalam rapat pencocokan piutang:
1.
2.
3.

tidak ditawarkan rencana perdamaian;
rencana perdamaian dari debitur tidak diterima kreditur;
rencana perdamaian debitur diterima kreditur tetapi tidak disahkan
(dihomologasi) oleh Pengadilan atau homologasinya ditolak berdasakan putusan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka demi hukum kepailitan berada

12

Robintan Sulaiman & Joko Prabowo, 2000, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta, Pusat
Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, hal 11.

Universitas Sumatera Utara

12

dalam keadaan insolvensi (fase kedua kepailitan). Hal ini menunjukkan bahwa
harta pailit sudah sampai pada fase pemberesan.13
Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU di atas, kreditur separatis
sudah mulai melaksanakan haknya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan
setelah dimulainya fase kedua insolvensi atau fase esekutor, sehingga kreditur
separatis tidak dapat melaksanakan haknya pada fase pertama yaitu fase penitipan
(fase conservatoir). Apabila penafsiran itu benar, telah terjadi pengingkaran terhadap
azas hukum yang berlaku bagi kreditur separatis, yaitu dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan seperti yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1)
UUKPKPU.14
Hak dari kreditur separatis yang juga dijamin oleh Undang-Undang Hak
Tanggungan. Keadaan yang demikian menunjukkan adanya konflik norma yang
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku ekonomi khususnya pemegang hak
jaminan antara Undang-Undang KPKPU dengan UUHT yang mengatur tentang hak
kreditur separatis.15
Hak-hak kreditur pemegang hak tanggungan telah dilindungi dengan UndangUndang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang secara tegas diatur dalam
Pasal 20 ayat 1 dan Pasal 21 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan. Dengan adanya konflik norma, diperlukan suatu asas untuk

13

Man S.Sastrawidjaja, op cit., hal 133 - 134
Ibid, hal 134.
15
Gunawan Widjaja, 2003, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal 9.
14

Universitas Sumatera Utara

13

menyelesaikan yaitu asas lex specialis derogate legi generalis, yaitu ketentuan mana
yang dianggap sebagai ketentuan umum dan mana dianggap ketentuan khusus.
Menurut Pasal 1131 KUH Perdata, “segala kekayaan seorang debitur baik
yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan
utangnya”. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata itu, maka dengan
sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitur
kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan debitur.16 Namun demikian, apabila
debitur cidera janji dan debitur tersebut mempunyai beberapa kreditur atau apabila
debitur pailit dan harta kekayaannya harus dilikuidasi, maka kreditur mempunyai hak
terhadap harta kekayaan debitur sebagai jaminan bagi piutangnya masing-masing.
Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa harta kekayaan debitur ini
menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberi hutang
kepada debiturnya. Menurut Pasal 1132 KUH Perdata, hasil dari penjualan bendabenda yang menjadi kekayaan debitur itu dibagi kepada semua krediturnya secara
seimbang atau proposional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing.
Namun Pasal 1132 KUH Perdata memberikan indikasi bahwa diantara para kreditur
itu dapat didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya apabila ada alasan-alasan

16

Sutan Remi Sjahdeni, 2009, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah Yang Di hadapi Oleh Perbankan, Jakarta, Alumni, hal 36.

Universitas Sumatera Utara

14

yang sah untuk didahulukan itu. Alasan-alasan yang dimaksud di dalam Pasal 1132
KUH Perdata adalah alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang. 17
Alasan-alasan yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 1133 KUH Perdata
yaitu hak untuk didahulukan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lain timbul dari
hak Istimewa, gadai, hipotik atau hak tanggungan.18
Pasal 1134 KUH Perdata menyebutkan bahwa “gadai dan hipotik lebih tinggi
daripada hak istimewa kecuali dalam hal oleh Undang-Undang ditentukan
sebaliknya”.19
Dalam hal-hal tertentu, ada kalanya seorang kreditur menginginkan untuk
tidak berkedudukan sama dengan kreditur-kreditur lain. Karena kedudukan yang
sama dengan kreditur-kreditur lainnya berarti mendapatkan hak berimbang dengan
kreditur-kreditur lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitur, apabila debitur
cidera janji menurut ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Kedudukan yang
berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian
piutangnya. Kreditur yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya krediturkreditur lain yang mungkin muncul di kemudian hari. Makin banyak kreditur dari
debitur yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian
piutang yang bersangkutan dan apabila karena sesuatu hal si debitur berada dalam

17

Ibid, hal 8.
Lembaga Hak Tanggungan yang diatur oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 adalah
dimaksud sebagai pengganti dari Hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
19
Op.cit hal 9.
18

Universitas Sumatera Utara

15

keadaan tidak mampu bayar (insolven) yang akibatnya kemungkinan dapat
dinyatakan pailit oleh keputusan Pengadilan dan harta kekayaannya dilikuidasi.
Pengadaan hak-hak jaminan oleh Undang-Undang seperti hipotik, fidusia,
gadai dan hak tanggungan adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang
kreditur tertentu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain. Itulah tujuan dari
eksistensi Hak Tanggungan yang diatur di dalam UUHT.20
Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel
voor Indonesie) menyebutkan “selama dalam Kitab Undang-Undang ini terhadap
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan khusus maka
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku terhadap hal-hal yang dibicarakan
dalam Kitab Undang-Undang ini”.21 Meskipun tidak diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang, namun Hukum Kepailitan termasuk dalam ruang lingkup
hukum dagang. 22
Kepailitan merupakan suatu Lembaga Hukum Perdata sebagai realisasi dari 2
(dua) asas pokok yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131
KUH Perdata menentukan bahwa “semua benda bergerak dan benda tidak bergerak
dari seorang debitur, baik yang sekarang ada, maupun yang akan diperolehnya (yang
masih akan ada) menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya”.
Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa bahwa “benda-benda itu
dimaksudkan sebagai jaminan bagi para krediturnya bersama-sama dan dari hasil
penjualan atas benda-benda itu akan dibagi di antara mereka secara seimbang
20

Ibid, hal 10.
Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel voor Indonesie).
22
Sunarmi, 2010, Hukum Kepailitan Edisi 2, USU Press, Medan, hal 7.
21

Universitas Sumatera Utara

16

menurut imbangan / perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bilamana di antara
mereka atau para kreditur terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah”.23
Berdasarkan pemahaman di atas, maka ketentuan hukum jaminan hak
tanggungan yang termuat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 adalah
merupakan ketentuan hukum umum (lex generalis), sehingga Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah
merupakan ketentuan hukum khusus (lex specialis) yang merupakan penerapan lebih
lanjut dari Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata, sehingga dengan
demikian apabila terjadi konflik antara Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
hak tanggungan dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran hutang, maka sebagai lex specialis UndangUndang No. 37 Tahun 2004 yang berlaku dalam pengaturannya.24
Dari uraian di atas untuk membahas lebih lanjut mengenai eksekusi benda
jaminan yang dibebani hak tanggungan saat debitur dinyatakan pailit oleh putusan
pengadilan yang telah berkekuatan tetap maka penelitian ini diberi judul “Analisis
Yuridis Terhadap Eksekusi Benda Jaminan Yang Dibebani Hak Tanggungan Pada
Debitur Pailit”.

23

Ibid, hal 20.
Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala barang-barang bergerak dan barang-barang tidak
bergerak milik Debitur, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan untuk
perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Selanjutnya, Pasal 1132 berbunyi: Barang-barang itu
menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi
menurut perbandingan piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditur itu ada alasan
untuk didahulukan.
24

Universitas Sumatera Utara

17

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.

Bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaksanaan eksekusi benda jaminan
yang telah dibebani hak tanggungan pada debitur telah dinyatakan pailit oleh
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap?

2.

Bagaimanakah prosedur dan tata cara pelaksanaan eksekusi benda jaminan
yang telah diikat dengan Hak Tanggungan apabila debitur telah dinyatakan
pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap berdasarkan Undang-Undang KPKPU?

3.

Bagaimanakah kedudukan kreditur pemegang sertipikat Hak Tanggungan
apabila debitur telah dinyatakan pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum terhadap pelaksanaan
eksekusi benda jaminan yang telah dibebani hak tanggungan dimana debitur
telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.

Universitas Sumatera Utara

18

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan benda jaminan yang telah
dibebani dengan hak tanggungan apabila debitur pailit.

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur dan tata cara pelaksanaan eksekusi
benda jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan apabila debitur telah
dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap berdasarkan Undang-Undang KPKPU.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis dibidang hukum hak tanggungan dalam kaitannya dengan pailitnya
seorang debitur pada saat dilaksanakannya eksekusi objek jaminan hak tanggungan.
Hal ini didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang hukum Hak Tanggungan yaitu UUHT No. 4 Tahun 1996, dan ketentuanketentuan tentang UU KPKPU yang termuat di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang memuat
ketentuan tentang prosedur dan tata cara eksekusi objek jaminan hak tanggungan oleh
kreditur terhadap debitur yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan
pengikatan objek jaminan hak tanggungan antara kreditur dan debitur pemberi hak
tanggungan setelah APHT tersebut didaftarkan dan kreditur telah memperoleh
sertipikat Hak Tanggungan maka kreditur memiliki hak-hak istimewa (droit de
preference) terhadap objek jaminan hak tanggungan tersebut ditangan siapapun objek

Universitas Sumatera Utara

19

hak tanggungan tersebut berada (droit de suite). Namun apabila debitur dinyatakan
pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka ada
ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh kreditur dalam pelaksanaan eksekusi
objek jaminan hak tanggungan tersebut.
1. Secara Teoretis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi
perkembangan hukum hak tanggungan pada umumnya, prosedur dan tata cara
pengikatan objek jaminan hak tanggungan oleh debitur dan kreditur, dan prosedur
tata cara pelaksanaan eksekusi objek jaminan hak tanggungan apabila debitur telah
dinyatakan pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan:
a.

Kepada masyarakat

b.

Kepada praktisi,

c.

Kepada pihak-pihak terkait

Mengenai hukum hak tanggungan pada umumnya, prosedur dan tata cara pelaksanaan
pengikatan objek jaminan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit atau
perjanjian pengakuan hutang berdasarkan UUHT, dan pelaksanaan eksekusi objek
jaminan hak tanggungan apabila debitur telah dinyatakan pailit oleh suatu putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Universitas Sumatera Utara

20

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum
pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan
dengan topik dalam tesis ini antara lain:
1.

Kiki Puspita Maya Sari, NIM. 107011119/MKn, dengan judul tesis “Analisis
Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Secara
Cross Collateral (Studi di PT Bank Mandiri (Persero, Tbk) Cabang Medan Imam
Bonjol)”.
Pemasalahan yang dibahas:
a.

Bagaimana prosedur dan tata cara pemberian pelaksanaan kredit secara cross
collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk?

b.

Bagaimana pelaksanaan sistem pemberian kredit secara cross collateral
dengan pemberian jaminan Hak Tanggungan pada PT Bank Mandiri
(Persero), Tbk?

c.

Bagaimana penyelesaian kredit bermasalah bagi debitur yang wanprestasi
dalam pengikatan kredit secara cross collateral pada PT Bank Mandiri
(Persero), Tbk?

2.

Marcell Soekendar, NIM 067011049, dengan judul tesis “Pelaksanaan
pembebanan Hak Tanggungan atas tanah sebagai jaminan kredit pada PT. Dipo
Internasional Cabang Medan”

Universitas Sumatera Utara

21

Pemasalahan yang dibahas:
a.

Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dan debitur dalam
perjanjian jaminan kredit bank berdasarkan UUHT?

b.

Bagaimana pelaksanaan APHT atas tanah sebagai jaminan kredit?

c.

Bagaimana hambatan yang dihadapi PT Bank Dipo Internasional Cabang
Medan dalam melakukan eksekusi Hak Tanggungan atas tanah sebagai
jaminan kredit?

3.

Manusun Nainggolan, NIM. 137011019/MKn, dengan judul tesis “Kedudukan
Hukum Kreditur Terhadap Objek Hak Tanggungan

Atas Pembatalan Akta

Pemberian Hak Tanggungan Oleh Pengadilan Akibat Tidak Berwenangnya
Pemberi Hak Tanggungan (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1842
K/Pdt/2003)”
Pemasalahan yang dibahas:
a.

Bagaimana proses pembebanan Hak Tanggungan atas objek Hak
Tanggungan sebagai jaminan kredit?

b.

Bagaimana dasar pertimbangan majelis hakim dalam putusan Mahkamah
Agung No. 1842 K/Pdt/2003 dalam perkara pembatalan APHT akibat tidak
berwenangnya pemberi Hak Tanggungan ?

c.

Bagaimana akibat hukum pembatalan APHT oleh pengadilan terhadap bank
selaku kreditur pemegang Hak Tanggungan?

Universitas Sumatera Utara

22

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,25dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.26
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian
hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hukum antara

25

JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid
I), FE UI, Jakarta, hal 203.
26
M Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal 80.

Universitas Sumatera Utara

23

putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa
yang telah diputuskan.27
Hukum

pada

hakikatnya

adalah

bersifat

abstrak

meskipun

dalam

manifestasinya bisa berwujud konkret. Eksekusi benda jaminan yang dibebani hak
tanggungan pada debitur pailit juga harus menimbulkan suatu kepastian hukum bagi
kreditur pemegang sertipikat jaminan hak tanggungan, sehingga dalam pelaksanaan
pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan tersebut, kreditur pemegang
sertipikat jaminan hak tanggungan dapat menuntut hak-haknya atas objek jaminan
hak tanggungan, meskipun debitur telah dinyatakan pailit oleh suatu putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
UUHT No. 4 Tahun 1996 sebagai dasar hukum pelaksanaan pengikatan
jaminan hak tanggungan memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang
sertipikat hak Tanggungan untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan hak
Tanggungan tersebut sebagai dasar pengambilan piutangnya dari debitur yang telah
wan prestasi dengan adanya ketentuan bahwa objek jaminan hak tanggungan
mengikuti ditangan siapapun objek jaminan hak tanggungan berada. Hal ini dikenal
dengan droit de suite. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun objek
jaminan hak tanggungan tersebut telah berada dalam pengawasan kurator karena
debitur telah dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, namun kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tetap memiliki hak

27

Meter Mahmud Marzuki, 2008, Penganar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, hal 158.

Universitas Sumatera Utara

24

untuk menuntut pengembalian objek jaminan hak tanggungan tersebut dari tangan
kurator sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam UUHT No. 4 Tahun 1996.
Teori kepastian hukum ini akan digunakan sebagai pisau analisis untuk
mengkaji tentang pelaksanaan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur
pada saat debitur telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadian Landasan hukum
yang menjadi dasar bagi kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan untuk
menuntut pengembalian objek jaminan hak tanggungan tersebut dari kurator adalah
UUHT No. 4 Tahun 1996 yang menganut asas droit de suite tersebut. Apabila
kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tersebut tidak dapat menuntut
pengembalian objek jaminan hak tanggungan yang merupakan kewenangannya dari
tangan kurator maka telah terjadi ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan
pengikatan jaminan hak tanggungan sebagaimana yang dijamin oleh UUHT No. 4
Tahun 1996 tersebut.
Teori kepastian hukum akan menganalisa ketentuan hukum yang termuat di
dalam UUHT No. 4 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
KPKPU dan akan membandingkan kepastian hukum pengikatan jaminan hak
tanggungan dimana debiturnya telah dinyatakan pailit oleh suatu putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kewenangan kurator dalam menguasai objek jaminan hak tanggungan
sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang
KPKPU dan menyatakan bahwa kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan harus
menunggu selama 90 (sembilan puluh) hari dalam melakukan eksekusi terhadap

Universitas Sumatera Utara

25

objek jaminan hak tanggungan tersebut merupakan suatu penundaan kepastian hukum
atas kewenangan kreditur dalam menguasai objek jaminan hak tanggungan apabila
debitur wanprestasi yang dijamin kepastian hukumnya oleh UUHT No. 4 Tahun
1996.
2. Konsepsi
Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi
suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational defenition. Pentingnya definisi
operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar
secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, dalam Undang-Undang yaitu :
1.

Hak Tanggungan merupakan jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah
dan bangunan berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk jaminan pelunasan utang tertentu dimana
kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tersebut memiliki kedudukan yang
diutamakan dalam pengambilan piutangnya terhadap objek hak tanggungan
tersebut dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya.28

2.

Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang piutang
tertentu;29

28
29

Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Universitas Sumatera Utara

26

3.

Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang piutang
tertentu;30

4.

Pejabat Pembuat Akte Tanah yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat
umum yang diberi wewenang untuk membuat akte perpindahan hak atas tanah,
akte pembebanan hak atas tanah, dan akte pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;31

5.

Akte Pemberian Hak Tanggungan adalah akte PPAT yang berisi pemberian Hak
Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan
piutangnya;32

6.

Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah
kabupaten, kotamadya atau wilayah administratif lainnya yang setingkat, yang
melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum
pendaftaran tanah.33
Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Undang-Undang Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, disebutkan:
1.

Kepailitan adalah sita yang umum atas semua kekayaan Debitur pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas;34

30

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
32
Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
33
Pasal 1 ayat 6 Undang–Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
34
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
31

Universitas Sumatera Utara

27

2.

Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang

karena perjanjian atau

Undang-Undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan;35
3.

Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau UndangUndang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan;36

4.

Debitur pailit adalah debitur yang sudah pailit dengan putusan Pengadilan;37

5.

Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat
oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitur pailit di
bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang; 38

6.

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari,yang timbul karena
perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila
tidak

dipenuhi

memberikan

hak

bagi

Kreditur

untuk

mendapatkan

pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.39
7.

Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.40

35

Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang
Kewajiban Pembayaran Utang.
36
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Kewajiban Pembayaran Utang.
37
Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang
Kewajiban Pembayaran Utang.
38
Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang
Kewajiban Pembayaran Utang.
39
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang
Kewajiban Pembayaran Utang.
40
Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang
Kewajiban Pembayaran Utang.

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Universitas Sumatera Utara

28

8.

Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan
pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.41

9.

Hari adalah hari kalender dan apabila hari terakhir dari suatu tenggang waktu
jatuh pada hari Minggu atau hari libur, belaku hari berikutnya.42

10.

Tenggang waktu adalah jangka waktu yang harus dihitung dengan tidak
memasukkan hari mulai berlakunya tenggang waktu tersebut.43

11.

Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang
berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi.44

Berdasarkan tingkatannya Kreditur Kepailitan dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu:
1. Kreditur Seperatis adalah kreditur yang dapat melaksanakan haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan;
2. Kreditur Preferen adalah kreditur yang diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata dan
pasal 1149 KUHPerdata;
3. Kreditur Konkuren adalah kreditur yang tidak mempunyai hak istimewa sehingga
kedudukannya sama satu dengan lainnya.45

41

Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kewajiban Pembayaran Utang.
42
Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kewajiban Pembayaran Utang.
43
Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kewajiban Pembayaran Utang.
44
Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kewajiban Pembayaran Utang.
45
Man S. Sastrawidjaja, op.cit., hal 125

Kepailitan dan Penundaan
Kepailitan dan Penundaan
Kepailitan dan Penundaan
Kepailitan dan Penundaan

Universitas Sumatera Utara

29

G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas
terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian
metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.46
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan
terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan
yang berlaku mengenai hukum jaminan Hak Tanggungan yang termuat di dalam
ketentuan UUHT No. 4 Tahun 1996, dan Hukum Kepailitan yang termuat di dalam
UU KPKPU No. 37 Tahun 2004 dimana pelaksanaan eksekusi objek jaminan hak
tanggungan oleh kreditur pemegang hak tanggungan dilaksanakan pada saat debitur
pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, maksudnya adalah dari
penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang
permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta

46

Bambang Waluyo, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, hal

13.

Universitas Sumatera Utara

30

yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan
dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.47
2.

Sumber Data
Dalam penelitian umumnya, jenis data dibedakan antara data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama, data
sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang
berwujud laporan dan sebagainya.48 Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, data
yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder dalam hal ini dibagi
menjadi 3 bagian yaitu:
a.

Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai
otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim dipengadilan.49 Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka
penelitian ini adalah antara lain:
1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan;
2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran hutang;
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
4) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

47

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, hal 30.
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo,
Persada, Jakarta, hal 30.
49
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 79.
48

Universitas Sumatera Utara

31

b.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang fungsinya memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan Undang-Undang,
buku-buku, artikel, pendapat pakar hukum, maupun hasil penelitian yang relevan
dengan penelitian ini.

c.

Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
berupa bahan hukum pustaka, seperti kamus hukum, majalah, surat kabar, jurnal
hukum, laporan ilmiah dan situs-situs internet yang dijadikan bahan bagi
penelitian ini, bila ada dan sepanjang memuat informasi yang relevan terhadap
penulisan penelitian ini.50

3.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

cara penelitan kepustakaan (library research). Tinjauan kepustakaan adalah suatu
langkah (review) sitesis bahan kepustakaan, mencakup kegiatan yang sistematik
dalam mengidentifikasi, mencari, menganalisa, mempelajari serta mengevaluasi
dokumen/literatur yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah.51
Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam
penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder mempunyai ruang

50

Nomensen Sinamo, 2010, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi
Intitama Sejahtera, Jakarta, hal 16.
51
M. Arif Nasution, 2008, Metodologi Penelitian, Fisip USU Press, Medan, hal 65.

Universitas Sumatera Utara

32

lingkup yang sangat luas, meliputi surat-surat pribadi, buku-buku dan dokumendokumen resmi.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual. Dapat berupa peraturan Perundangundangan dan karya ilmiah, kasus-kasus yang terjadi melalui putusan dan penetapan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
b. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan studi dokumen dan pedoman wawancara. Studi dokumen merupakan
salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis
dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang
subjek. Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sifat utama data ini tidak terbatas pada ruang dan waktu sehingga
member peluang untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam.
Disamping menggunakan studi dokumen, penelitian ini juga menggunakan
pedoman wawancara sebagai alat pengumpulan data. Pedoman wawancara dilakukan
dengan membuat pertanyaan terlebih dahulu dan memberikan kepada pihak-pihak
terkait yaitu kurator yang mengurus harta benda pailit di kota medan yang dalam
penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber.

Universitas Sumatera Utara

33

4.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara metode

kualitatif, yaitu data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan
pengukuran, akan tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan serta pandangan
informan untuk menjawab permasalahan pada penelitian ini.52
Analisis kualitatif menghasilkan data yang dinyatakan oleh sasaran penelitian
yang bersangkutan secara tertulis, lisan dan perilaku nyata.53 Setelah itu ditarik
kesimpulan

dengan

menggunakan

metode

deduktif,

yaitu

menyimpulkan

pengetahuan-pengetahuan konkrit mengenai kaidah yang benar dan tepat untuk
diterapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan (perkara) tertentu.54 Dengan
begitu, kesimpulan yang didapat berupa apakah permasalahan atau perkara tertentu
telah sesuai atau tidak dengan pengetahuan-pengetahuan konkrit yang diyakini.

52
Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 67.
53
Ibid, hal 68.
54
Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal 73.

Universitas Sumatera Utara