Analisis Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Yang Diingkari Debitur

(1)

ANALISIS YURIDIS ATAS EKSISTENSI SURAT KUASA

MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

YANG DIINGKARI DEBITUR

TESIS

Oleh

EGAWATI SIREGAR 087011169/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS ATAS EKSISTENSI SURAT KUASA

MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

YANG DIINGKARI DEBITUR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

EGAWATI SIREGAR 087011169/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS ATAS EKSISTENSI KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN YANG DIINGKARI DEBITUR

Nama Mahasiswa : Egawati Siregar Nomor Pokok :

087011169

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N) Ketua

(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota

(Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum) Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum) NIP. 1956.1110198503.1022 Tanggal Lulus: 27 Januari 2010


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 27 Januari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N. Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.

2. Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum. 3. Hj. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn. 4. Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S.


(5)

ABSTRAK

SKMHT sebagai kuasa debitur untuk pembuatan APHT yang memuat janji-janji untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan dalam perjanjian kredit kepada kreditur, yang diatur dalam UUHT dan dapat berakhir karena jangka waktunya berakhir ataupun karena tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan APHT kecuali SKMHT itu dapat diperpanjang. Akan tetapi SKMHT bukan sebagai lembaga jaminan tetapi hanya sebagai lembaga kuasa yang belum memberikan kedudukan yang pasti sebagai hak preferen bagi kreditur. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang ketentuan hukum pemberian SKMHT, tata cara pemberian SKMHT dan eksistensi SKMHT yang diingkari debitur.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif terhadap pelaksanaan pemberian SKMHT yang diingkari debitur dengan melakukan wawancara kepada responden yang telah ditetapkan yaitu: Notaris/PPAT di Kota Medan sebagai 5 orang, kreditur penerima SKMHT dan debitur sebagai pemberi SKMHT masing-masing 1 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: ketentuan hukum pemberian SKMHT, terutama batasan jangka waktu atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditandatangani SKMHT oleh para pihak, belum memberikan perlindungan bagi kreditur, karena pengurusan sertifikat tanah melalui birokrasi pada BPN/Kantor Pertanahan praktis lama atau lebih dari 3 bulan, sementara itu kredit dapat macet dalam waktu 3 bulan. Akibatnya, kreditur harus meminta SKMHT yang baru dari debitur karena SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan adalah batal demi hukum, sehingga debitur yang itikadnya tidak baik enggan untuk memberikan SKMHT yang baru karena melihat peluang untuk mencegah kreditur dapat membebani Hak Tanggungan atas tanah yang telah diagunkan untuk pembayaran hutang apabila terjadi kredit macet. Ketentuan jangka waktu di atas tidak berlaku dalam hal SKMHT untuk menjamin barang jaminan kredit tidak lebih dari Rp. 50 juta sesuai Pasal 1 PMNA/Ka.BPN No. 4 Tahun 1996 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/Kep/Dir tanggal 8 Agustus 1998 menentukan jangka waktu SKMHT sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok. Tata cara pemberian SKMHT adalah kuasa tersebut harus dibuat langsung oleh debitur kepada kreditur dalam bentuk Akta Notaris/PPAT untuk penandatanganan APHT, yang terpisah dari akta-akta perjanjian kredit dan perjanjian jaminan. Pembuatan SKMHT sesuai UUHT tidak dapat dikuasakan (substitusi), namun dalam praktek masih terjadi perpanjangan SKMHT itu atas dasar surat kuasa Notaril untuk perpanjangan SKMHT dari debitur kepada kreditur. Eksistensi SKMHT yang diingkari debitur adalah janji pengikatan jaminan sebagai pembayaran hutang debitur jika terjadi kredit macet, yang diberikan oleh debitur atau penjamin/avalist terhadap suatu perusahaan dalam proses badan hukum tetapi sampai kredit macet perusahaan tersebut belum diakui status badan hukumnya, sehingga barang jaminan penjamin/avalist tidak dapat dieksekusi oleh kreditur untuk pelunasan hutang sesuai dengan yang diperjanjikan dalam SKMHT yang telah dituangkan dalam APHT. Sedangkan dalam hal lain, baik penjamin/avalist maupun penjamin perorangan pengingkaran itu terjadi terhadap jumlah utang pada saat eksekusi hak tanggungan.

Disarankan kepada kreditur membuat langsung APHT untuk jaminan tanah terdaftar, karena SKMHT hanya sebagai lembaga kuasa yang belum memberikan kedudukan sebagai kreditur preferent. Kemudian juga berhati-hati dalam memberikan kredit kepada debitur (direktur) yang mengatasnamakan perusahaan yang masih dalam proses badan hukum, karena perbuatan tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dari direksi selama tidak diratifikasi setelah perusahaan memperoleh badan hukum. Kepada Pemerintah untuk meninjau kembali ketentuan UUHT dalam kaitan jangka waktu SKMHT untuk tanah belum terdaftar yang terlalu singkat.


(6)

ABSTRACT

SKMHT as the authority of debtor for preparation of APHT containing the covenants for execution of the collateral object in the credit contract to the creditor as stipulated in the UUHT and it may terminates due to maturity or failed to follow-up by preparing APHT unless the SKMHT can be extended. However, SKMHT is not a collateral institution, but as an institution of authority that still not give a proper position as a preferent right for the creditor. Therefore, a study of statutory rule of SKMHT, including procedures of issuing SKMHT and the existence of SKMHT defaulted by debtor has been done.

The present study is a descriptive analysis using a juridical normative approach for execution of issuing SKMHT defaulted by the debtor by making an interview to the respondents such as : Notary/PPAT (Title Certificate Authority) of Medan consisting of 5 persons, creditor of receiving SKMHT and debtor of giving SKMHT each of which was 1 person.

The result of the study showed that; the statutory rule of issuing SKMHT especially the expire of the uncertified land should be obeyed by making APHT no longer than 3 (three) months on signature of the SKMHT by the parties, still not giving a protection for creditor due to the clearance of tile certificate through bureaucracy in BPN/Land Affairs Office that is so longer or more than 3 months, whereas the credit can be delayed within 3 months. As a consequence, the creditor has to ask for the new SKMHT from the debtor due to the SKMHT that fail to obey in making the APHT within the predetermined duration is void for law, so that the debtor without good will is reluctant to issue a new SKMHT due to find the chance to avoid the creditor can charge on the land ensured for repayment of credit in the case of delayed credit. The time limit above is not used for SKMHT to credit not more Rp.50 million cause according to Article 1 of State Minister of Agriculture/Head of BPN Regulation No. 4 of 1996 and Director of Indonesian Bank Regulation No.30/55/Kep/Dir 8 August 1998 says that the time limit of SKMHT until the end of credit agreement. The existence of SKMHT defaulted by the debtor included an agreement of collateral for repayment of credit if the credit is delayed given by the debtor for avalist of a company in a corporate process but until the delayed credit of the company still not recognized of the legal statues so that the collateral of avalist can be not executed by creditor for repayment of credit as promised in the SKMHT as stipulated in the APHT. Whereas in the other case, either avalist or the individual, the default occurs for the number of credit when the execution of dependent right.

It is suggested to the creditor to make directly APHT for collateral of the certified land due to the SKMHT only acts as an authority institution that still not give a proper position as a preferent creditor. And then, it is suggested that the credit is carefully given to debtor (director on behalf of the company that still under corporate process, because of the preparation is a personal responsibility of the directing board as not ratified after the company gets the corporate status. To the Government is suggested to review the regulation of UUHT related to the expire of SKMHT for the uncertificated land.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan ridhoNya telah dapat diselesaikan penulisan Tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS ATAS EKSISTENSI SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN YANG DIINGKARI DEBITUR” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat Bapak

Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., Bapak Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn., dan Bapak Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum., selaku dosen

pembimbing, juga kepada dosen penguji Ibu Hj. Chairani Bustami, S.H., Sp.N.,

M.Kn., dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., atas bimbingan dan

arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Chairrudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis Ayahanda (alm) Alinaviah Siregar dan Ibunda (almh) Hj. Hafsah br. Pane yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, demikian juga kepada suami tercinta

Drs. Parlaungan Lubis yang telah memberikan keluangan waktu bagi penulis dalam

menyelesaikan perkuliahan pada S-2 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sampai pada penyelesaian tesis ini.


(9)

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Januari 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Egawati Siregar

Tempat/ Tgl. Lahir : Medan, 16 Mei 1951 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jln. Taman Polonia IV/14 Medan

II. Orang Tua

Nama Ayah : Alinaviah Siregar (alm) Ibu : Hj. Hafsah br Pane (almh)

III. Pekerjaan

Notaris / PPAT Kota Medan

III. Pendidikan

1. SD Methodist Medan Tamat Tahun 1962

2. Budi Murni I Medan Tamat Tahun 1965

3. SMA Negeri I Medan Tamat Tahun 1968

4. S-1 Fakultas Hukum USU Tamat Tahun 1978

5. Spesialis PPSN Fakultas Hukum USU Tamat Tahun 1988 6. S-2 Pascasarjana USU Program Magister Kenotariatan Tamat Tahun 2010

Medan, Januari 2010 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian ... 25

BAB II. KETENTUAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN ... 29

A. Surat Kuasa Pada Umumnya ... 29

B. Hak Tanggungan ... 39

C. Ketentuan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ... 51


(12)

BAB III. TATA CARA PEMBERIAN SURAT KUASA

MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN ... 67

A. Tata Cara Pemasangan Hak Tanggungan ... 67

B. Tata Cara Pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ... 74

BAB IV. EKSISTENSI SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN YANG DIINGKARI DEBITUR ... 81

A. Eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ... 81

B. Eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Yang Diingkari Debitar ... 84

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 116


(13)

ABSTRAK

SKMHT sebagai kuasa debitur untuk pembuatan APHT yang memuat janji-janji untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan dalam perjanjian kredit kepada kreditur, yang diatur dalam UUHT dan dapat berakhir karena jangka waktunya berakhir ataupun karena tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan APHT kecuali SKMHT itu dapat diperpanjang. Akan tetapi SKMHT bukan sebagai lembaga jaminan tetapi hanya sebagai lembaga kuasa yang belum memberikan kedudukan yang pasti sebagai hak preferen bagi kreditur. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang ketentuan hukum pemberian SKMHT, tata cara pemberian SKMHT dan eksistensi SKMHT yang diingkari debitur.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif terhadap pelaksanaan pemberian SKMHT yang diingkari debitur dengan melakukan wawancara kepada responden yang telah ditetapkan yaitu: Notaris/PPAT di Kota Medan sebagai 5 orang, kreditur penerima SKMHT dan debitur sebagai pemberi SKMHT masing-masing 1 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: ketentuan hukum pemberian SKMHT, terutama batasan jangka waktu atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditandatangani SKMHT oleh para pihak, belum memberikan perlindungan bagi kreditur, karena pengurusan sertifikat tanah melalui birokrasi pada BPN/Kantor Pertanahan praktis lama atau lebih dari 3 bulan, sementara itu kredit dapat macet dalam waktu 3 bulan. Akibatnya, kreditur harus meminta SKMHT yang baru dari debitur karena SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan adalah batal demi hukum, sehingga debitur yang itikadnya tidak baik enggan untuk memberikan SKMHT yang baru karena melihat peluang untuk mencegah kreditur dapat membebani Hak Tanggungan atas tanah yang telah diagunkan untuk pembayaran hutang apabila terjadi kredit macet. Ketentuan jangka waktu di atas tidak berlaku dalam hal SKMHT untuk menjamin barang jaminan kredit tidak lebih dari Rp. 50 juta sesuai Pasal 1 PMNA/Ka.BPN No. 4 Tahun 1996 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/Kep/Dir tanggal 8 Agustus 1998 menentukan jangka waktu SKMHT sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok. Tata cara pemberian SKMHT adalah kuasa tersebut harus dibuat langsung oleh debitur kepada kreditur dalam bentuk Akta Notaris/PPAT untuk penandatanganan APHT, yang terpisah dari akta-akta perjanjian kredit dan perjanjian jaminan. Pembuatan SKMHT sesuai UUHT tidak dapat dikuasakan (substitusi), namun dalam praktek masih terjadi perpanjangan SKMHT itu atas dasar surat kuasa Notaril untuk perpanjangan SKMHT dari debitur kepada kreditur. Eksistensi SKMHT yang diingkari debitur adalah janji pengikatan jaminan sebagai pembayaran hutang debitur jika terjadi kredit macet, yang diberikan oleh debitur atau penjamin/avalist terhadap suatu perusahaan dalam proses badan hukum tetapi sampai kredit macet perusahaan tersebut belum diakui status badan hukumnya, sehingga barang jaminan penjamin/avalist tidak dapat dieksekusi oleh kreditur untuk pelunasan hutang sesuai dengan yang diperjanjikan dalam SKMHT yang telah dituangkan dalam APHT. Sedangkan dalam hal lain, baik penjamin/avalist maupun penjamin perorangan pengingkaran itu terjadi terhadap jumlah utang pada saat eksekusi hak tanggungan.

Disarankan kepada kreditur membuat langsung APHT untuk jaminan tanah terdaftar, karena SKMHT hanya sebagai lembaga kuasa yang belum memberikan kedudukan sebagai kreditur preferent. Kemudian juga berhati-hati dalam memberikan kredit kepada debitur (direktur) yang mengatasnamakan perusahaan yang masih dalam proses badan hukum, karena perbuatan tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dari direksi selama tidak diratifikasi setelah perusahaan memperoleh badan hukum. Kepada Pemerintah untuk meninjau kembali ketentuan UUHT dalam kaitan jangka waktu SKMHT untuk tanah belum terdaftar yang terlalu singkat.


(14)

ABSTRACT

SKMHT as the authority of debtor for preparation of APHT containing the covenants for execution of the collateral object in the credit contract to the creditor as stipulated in the UUHT and it may terminates due to maturity or failed to follow-up by preparing APHT unless the SKMHT can be extended. However, SKMHT is not a collateral institution, but as an institution of authority that still not give a proper position as a preferent right for the creditor. Therefore, a study of statutory rule of SKMHT, including procedures of issuing SKMHT and the existence of SKMHT defaulted by debtor has been done.

The present study is a descriptive analysis using a juridical normative approach for execution of issuing SKMHT defaulted by the debtor by making an interview to the respondents such as : Notary/PPAT (Title Certificate Authority) of Medan consisting of 5 persons, creditor of receiving SKMHT and debtor of giving SKMHT each of which was 1 person.

The result of the study showed that; the statutory rule of issuing SKMHT especially the expire of the uncertified land should be obeyed by making APHT no longer than 3 (three) months on signature of the SKMHT by the parties, still not giving a protection for creditor due to the clearance of tile certificate through bureaucracy in BPN/Land Affairs Office that is so longer or more than 3 months, whereas the credit can be delayed within 3 months. As a consequence, the creditor has to ask for the new SKMHT from the debtor due to the SKMHT that fail to obey in making the APHT within the predetermined duration is void for law, so that the debtor without good will is reluctant to issue a new SKMHT due to find the chance to avoid the creditor can charge on the land ensured for repayment of credit in the case of delayed credit. The time limit above is not used for SKMHT to credit not more Rp.50 million cause according to Article 1 of State Minister of Agriculture/Head of BPN Regulation No. 4 of 1996 and Director of Indonesian Bank Regulation No.30/55/Kep/Dir 8 August 1998 says that the time limit of SKMHT until the end of credit agreement. The existence of SKMHT defaulted by the debtor included an agreement of collateral for repayment of credit if the credit is delayed given by the debtor for avalist of a company in a corporate process but until the delayed credit of the company still not recognized of the legal statues so that the collateral of avalist can be not executed by creditor for repayment of credit as promised in the SKMHT as stipulated in the APHT. Whereas in the other case, either avalist or the individual, the default occurs for the number of credit when the execution of dependent right.

It is suggested to the creditor to make directly APHT for collateral of the certified land due to the SKMHT only acts as an authority institution that still not give a proper position as a preferent creditor. And then, it is suggested that the credit is carefully given to debtor (director on behalf of the company that still under corporate process, because of the preparation is a personal responsibility of the directing board as not ratified after the company gets the corporate status. To the Government is suggested to review the regulation of UUHT related to the expire of SKMHT for the uncertificated land.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya adalah menunda urusan tersebut sampai ia mampu melakukannya sendiri atau mewakilkan kepada atau diwakilkan oleh orang lain untuk melakukannya. Mewakilkan kepada orang lain untuk menjalankan suatu urusan itulah yang dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan pemberian kuasa.

Pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada perjanjian yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena bermacam-macam alasan, di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang demikian kompleks sering dilakukan dengan surat kuasa.1

Pengertian surat kuasa secara umum, dapat dirujuk dari Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak yang terdiri dari: pemberi kuasa dan penerima kuasa yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.

1

Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Alulia, Bandung, 2008, hal. 1.


(16)

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pemberian kuasa dapat berlaku sebagai kuasa umum dan sebagai kuasa khusus. Kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang mencakup segala kepentingan pemberi kuasa, kecuali perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik.2 Misalnya melakukan tindakan pengurusan, penghunian atau pemeliharaan seperti membayar rekening listrik, telepon dan rekening air atau tindakan lain yang merupakan tindakan pengurusan (beheer) sementara terhadap sebuah rumah atau lebih yang terletak di kota tertentu atau jalan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan surat kuasa khusus hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, oleh karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas perbuatan meletakkan atau membebankan hak atas barang bergerak seperti hipotek atau hak tanggungan, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik.3

Pemberian surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, salah satunya adalah pemberian Surat Kuasa Hipotik atau Pembebanan Hak Tanggungan. Di mana sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), maka Surat Kuasa tersebut dikenal sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

Pembebanan hak tanggungan atas tanah, sebagaimana diketahui adalah dituangkan dalam suatu Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh

2

Pasal 1796 KUH Perdata 3


(17)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagai bukti tentang pemberian hak tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua yang melengkapi dokumen perjanjian utang sebagai perjanjian pokok. Dalam pembuatan APHT dilakukan oleh debitur atas objek jaminan kredit, yang dalam praktek dapat dilakukan oleh pihak bank (kreditur) atas dasar kuasa yang diberikan oleh debitur dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

Menurut Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata, kuasa untuk memasang hipotek harus dibuat dengan akta otentik. Di dalam pelaksanaannya sesuai Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik itu adalah akta notaris. Tidak demikian halnya untuk SKMHT, karena menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT.

Sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu:4

a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;

b. tidak memuat kuasa substitusi;

c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.

Konsekuensinya apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan

4


(18)

APHT. Oleh karena itu, PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat akta pembebanan hak tanggungan, apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi hak tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan seperti di atas.

UUHT memberikan batasan dalam SKMHT tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek hak tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah.5 Oleh karena itu, SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain.

Pemberian kuasa memasang hipotik di dalam praktek seringkali diberikan oleh debitur (dalam hal debitur adalah pemilik dari objek hipotik) kepada bank sekaligus di dalam perjanjian kredit, sepanjang perjanjian kredit dibuat dengan akta notaris. Dengan berlakunya UUHT, maka kuasa membebankan hak tanggungan tidak lagi dapat disatukan dengan perjanjian kredit, tetapi harus dibuat terpisah secara khusus.6 Oleh karena itu, tidak terpenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.

5

Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT. 6

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal. 10-11


(19)

Penggunaan SKMHT menurut UUHT hanya untuk pembebanan hak tanggungan, selain itu juga adanya batasan bagi kreditur sebagai penerima kuasa untuk melakukan substitusi atas surat kuasa itu.

Ketentuan substitusi dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1803 ayat (2), bahwa suatu surat kuasa dapat dilimpahkan (substitusi) oleh penerima kuasa kepada orang lain (pihak ketiga). Pada umumnya surat kuasa selalu diberikan dengan klausul, ”Surat Kuasa ini diberi Hak Substitusi”. Jika penerima kuasa tidak diberi wewenang untuk itu, tapi kemudian ia melimpahkannya kepada orang lain maka pelimpahan itu tidak sah. Kecuali untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa.

Menurut UUHT secara tegas dinyatakan SKMHT tidak memuat kuasa substitusi. Akan tetapi, yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut Undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain.7

Jangka waktu antara kuasa memasang hipotek dengan pemasangan hipotik tidak dibatasi waktunya. Sebaliknya, SKMHT atau Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dibatasi dengan waktu, yaitu satu bulan untuk tanah yang sudah terdaftar

7


(20)

dan tiga bulan untuk tanah yang belum terdaftar bila tidak diikuti dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan akan batal demi hukum.8

UUHT secara tegas menyatakan bahwa SKMHT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya.9

Surat kuasa membebankan hak tanggungan, sebelum atau sesudah berlakunya UUHT, seringkali digunakan oleh bank dalam pengikatan hak tanggungan, jadi bank tidak langsung membebankan objek hak tanggungan yang menjadi agunan kredit. Bank banyak yang hanya meminta (menguasai) SKMHT saja untuk mengamankan kredit yang telah diberikan kreditur tersebut.10

Alasan-alasan bank tidak langsung membebankan hak tanggungan pada tanah yang menjadi agunan kredit, tetapi hanya meminta SKMHT dari pemberi hak tanggungan adalah biaya pembebanan hak tanggungan dirasakan sangat mahal oleh nasabah debitur. Oleh karena itu, nasabah debitur merasa berkeberatan apabila bank mengharuskan agar dilakukan langsung pembebanan hak tanggungan di atas agunan yang diserahkan oleh nasabah debitur. Alasan lain adalah tanah yang dijadikan agunan masih belum terdaftar dan belum bersertifikat. Sehingga pengurusan dan penerbitan sertifikatnya biasanya memakan waktu yang sangat lama, sementara itu

8

Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah pada Seminar Nasional Sehati tentang “Periapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 25 Juli 1996, hal. 45.

9

Pasal 15 ayat (2) UUHT. 10


(21)

kredit sudah segera diperlukan. Oleh karena itu, sementara penerbitan sertipikat masih dalam proses, bank mengikat debitur dengan meminta terlebih dahulu SKMHT,11 dan dokumen atau surat terkait dengan tanah tersebut lainnya, seperti Surat Keterangan Tanah dari camat/lurah.

Pasal 15 ayat (4) UUHT menyebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

Penetapan jangka waktu yang terlalu pendek itu dapat membahayakan kepentingan kreditur, karena tidak mustahil, yaitu sebagaimana beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang demikian itu, bahwa kredit sudah menjadi macet sekalipun kredit baru diberikan dalam 3 (tiga) bulan. Kemacetan ini dapat terjadi bukan oleh karena analisis bank terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan kredit itu tidak baik, tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi, baik diluar negeri maupun di dalam Negeri.12

Kemacetan kredit karena perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi tersebut, sudah barang tentu mengakibatkan debitur enggan untuk memberikan SKMHT baru bila SKMHT yang lama telah habis jangka waktu berlakunya, karena debitur yang nakal melihat peluang untuk dapat mengelak dari tanggung jawabnya untuk membayar kembali utangnya atau berusaha mengulur-ulur

11

Ibid., hal. 117-118. 12


(22)

waktu. Debitur akan berusaha untuk mencegah kreditur dapat membebani hak tanggungan di atas tanah yang telah diagunkan untuk krediturnya itu.13

Permasalahan berlakunya SKMHT juga dapat terjadi dalam hal objek jaminan itu merupakan hak atas tanah yang jangka waktu kepemilikannya dapat berakhir, misalnya Hak Guna Bangunan (HGB) ataupun Hak Guna Usaha (HGU), walaupun dapat diperpanjang atau diperbaharui. Akan tetapi, ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT bahwa SKMHT tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada hak tanggungan. Jadi, jika jangka waktu HGB atau HGU yang dijadikan jaminan itu berakhir, maka kreditur tidak dapat melakukan perpanjangannya, sementara debitur tidak lagi memperpanjang hak atas tanah tersebut.

Di samping itu, pemberi hak tanggungan itu dapat seorang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.14 Di mana dalam prakteknya, pemberi hak tanggungan badan hukum dapat terjadi objek hak tanggungan itu bukan milik debitur tetapi milik si pemberi jaminan/avalist, yang dalam beberapa kasus ketika terjadi kredit macet si penjamin/avalist tersebut dapat terhindar dari gugatan kreditur kalau terbukti perusahaan yang dijamin belum

13

Ibid., hal. 123. 14


(23)

memperoleh badan hukum,15 karena dalam hukum Indonesia perusahaan yang sudah memiliki akta pendirian perusahaan sudah dapat melakukan transaksi atas nama perseroan, hanya saja perbuatan itu menjadi tanggung jawab pribadi para pihak kepada kreditur.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Eksistensi Surat Keterangan Membebankan Hak Tanggungan Yang Diingkari Debitur” .

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana ketentuan hukum pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan?

2. Bagaimana tata cara pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan? 3. Bagaimana eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang

diingkari debitur?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan ketentuan hukum pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan.

15

Lihat Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 1436 K/Pdt/2001, tanggal 24 Januari 2004 kasus gugatan antara PT. Bank Sumut dengan PT. Twin Jaya Steel.


(24)

2. Untuk menjelaskan tata cara pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

3. Untuk menjelaskan eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diingkari debitur.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum terutama hukum jaminan kebendaan yang diikat dengan hak tanggungan.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan bahan pertimbangan dalam menyelenggarakan kebijakan dalam pelaksanaan pembebanan hak tanggungan atas tanah yang dijadikan jaminan kredit khususnya dalam hal SKMHT yang diingkari debitur, bagi kreditur perbankan atau lembaga pembiayaan lain yang terkait.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Yang Diingkari Debitur”, belum pernah dilakukan. Memang pernah ada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh:


(25)

1. Kiki Riarahma, Nim 002111044, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2006, dengan judul ”Fungsi dan Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak TAnggungan Dalam Perjanjian Kredit (Suatu Penelitian di PT Bank Bukopin Cabang Medan).

2. Marcel Soekendar, Nim 067011049, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2009, dengan judul ”Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Dipo Internasional Cabang Medan.

Apabila diperhadapkan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini maka permasalahan yang dibahas adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini dapat dinyatakan asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,16 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.17 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18

16

M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 17

Ibid., hal. 203. 18


(26)

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical

system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak

didasarkan pada penilaian baik-buruk.19

Selain menggunakan teori positvisme hukum dari Jhon Austin dalam menganalisis tesis ini, juga cenderung digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.20 Hal yang sama juga dikatakan olehSunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.21 Jadi, dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

19

Lihat Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.

20

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15.

21

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,, Bandung, 1991, hal. 56.


(27)

Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.22 Sehingga pemahaman akan asas hukum tersebut sangatlah penting dalam sistem hukum terhadap pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh debitur. Dengan teori sistem hukum tersebut maka Analisis masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substantif hukum, yakni dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).

Dalam perjanjian kredit, maka bank juga melakukan pengikatan jaminan kebendaan, misalnya hak atas tanah milik debitur dengan pembebanan hak tanggungan sebagai jaminan kepada kreditur jika terjadinya wanprestasi sehingga objek jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk memenuhi hutang debitur.

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;

b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

22

Lihat, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.


(28)

Pemberi hak tanggungan (debitur) wajib hadir di hadapan PPAT dalam pemberian hak tanggungan. Jika karena sesuatu sebab debitur tidak dapat hadir sendiri, maka wajib menunjuk kreditur (pihak lain) sebagai kuasanya. Kuasa untuk membebankan hak tanggungan ini sesuai ketentuan UUHT harus dibuat dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta otentik.

Pasal 1792 KUH Perdata, memberikan batasan, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan demikian perjanjian pemberi kuasa adalah merupakan perjanjian sepihak.

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) KUH Perdata, memberikan kebebasan kepada para pihak untuk antara lain menentukan isi perjanjian dan memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian.

Kemudian makna kata-kata ”untuk atas namanya” berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan (Pasal 1807 KUH Perdata). Namun, tidak semua hal dapat dikuasakan kepada lain (pihak ketiga), ada perbuatan yang tidak dapat diwakilkan, seperti contoh, misalnya dalam membuat testamen (Pasal 932 KUH Perdata), melangsungkan perkawinan, kecuali ada alasan penting sebagai diatur dalam Pasal 79 KUH Perdata, mengakui atau mengangkat anak (adopsi).23

23


(29)

Suatu pemberian kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang mencakup segala kepentingan pemberi kuasa, kecuali perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796 KUH Perdata). Sedangkan surat kuasa khusus, hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, oleh karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas perbuatan mana yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa, misalnya untuk membebankan hak tanggungan, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

Pasal 1796 KUH Perdata, mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya, ketentuan kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.

M. Yahya Harahap memasukkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai kuasa istimewa, sebagai dijelaskan berikut ini:24

Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa. Untuk menghilangkan ketidak bolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, di antaranya kuasa untuk memindahkan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut.

24

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 6.


(30)

Ketentuan pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) itu selanjutnya dapat diuraikan berikut ini:

1) SKMHT harus dibuat dengan Akta Notaris atau PPAT

Menurut ketentuan Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata, kuasa untuk memasang hipotik harus dibuat dengan akta otentik, Di dalam pelaksanaannya sesuai Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik itu adalah akta Notaris. Tidak demikian halnya untuk SKMHT, karena sesuai Pasal 15 ayat (1) UUHT ditentukan SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik, pilihannya bukan hanya dengan akta notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT.

Dengan PMNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan tanggal 18 April 1996, telah ditetapkan bentuk SKMHT. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut merupakan pelaksanaan dan Pasal 17 UUHT.

Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT wajib (dan dapat) dibuat bukan saja dengan akta PPAT, tetapi juga dengan akta notaris. Jika membaca Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 110 - 1039 tanggal 18 April 1996 kepada para Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi di seluruh Indonesia, para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, Pengurus Ikatan Pejabat PPAT dan Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, yang merupakan surat pengantar dari PMNA/Ka.BPN No.3 Tahun 1996 tanggal 18 April 1996 tersebut dan membaca


(31)

bunyi formulir SKMHT yang merupakan lampiran I dari PMNA/Kepala BPN tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hanya ada satu saja bentuk SKMHT, baik yang dibuat oleh PPAT maupun oleh notaris. Berhubung dengan bentuk SKMHT yang ditetapkan oleh PMNA/Kepala BPN tersebut, dalam Seminar Nasional Undang-undang Hak Tanggungan yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung, telah dipermasalahkan oleh Notaris Wiratmi Ahmadi apakah akta SKMHT tersebut bila dibuat oleh notaris merupakan akta notaris yang tunduk pada Peraturan Jabatan Notaris. Jawaban dari Boedi Harsono dan para pejabat Badan Pertanahan Nasional adalah tidak.25

Jawaban Boedi Harsono dan para pejabat BPN atas pertanyaan yang diajukan oleh Notaris Wiratni Ahmadi tersebut, menurut Sutan Remy Sjahdeini, berarti hanya notaris yang PPAT saja yang dapat membuat akta SKMHT. Bila demikian halnya, berarti PMNA/Kepala BPN tersebut telah tidak mengakui kewenangan notaris (bukan selaku PPAT) untuk membuat akta SKMHT notariil, yang nota bene dibenarkan oleh Pasal 15 ayat (1) UUHT.26

Dengan jelas Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan, bahwa ‘Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan tegas ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, bahwa bukan saja SKMHT dapat dibuat dengan akta PPAT, tetapi dapat juga dibuat dengan akta notaris. Apabila maksud dan UUHT itu hanya wajib (dan dapat) dibuat dengan akta PPAT, sudah barang tentu tidak akan disebutkan bahwa akta itu dapat pula dibuat

25

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal.109. 26


(32)

dengan akta notaris, karena tidak semua notaris adalah PPAT dan tidak semua PPAT adalah notaris.27

Bagi perbankan, pendirian PMNA/Kepala BPN yang demikian tidak memberikan kemudahan. Beberapa contoh yang dapat memudahkan bagi bank apabila SKMHT boleh dibuat tidak terbatas hanya dengan akta PPAT saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta notaris. Contoh-contoh kasusnya adalah sebagai berikut:28

(1) Bank menerima beberapa bidang tanah sebagai agunan yang terletak di beberapa wilayah kerja/kewenangan beberapa PPAT, tetapi masih berada dalam wilayah kerja/kewenangan seorang notaris.

(2) Kantor cabang Bank A di Jakarta memberikan kredit kepada PT. X yang berkedudukan di Jakarta. Untuk agunan bagi kredit itu, PT.X menyerahkan satu (atau beberapa) bidang tanah yang terletak di Palembang. Untuk membebankan Hak Tanggungan atas tanah tersebut PT. X bermaksud untuk memberikan kuasa (SKMHT) kepada kantor cabang Bank A di Jakarta sehingga untuk selanjutnya kantor cabang Bank A di Jakarta dapat memberikan kuasa substitusi kepada kantor cabang Bank A di Palembang, agar Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dibuat oleh PPAT setempat dan didaftarkan di Kantor Pertanahan Palembang.

Bagi bank untuk dapat melaksanakan pembebanan Hak Tanggungan dalam kedua kasus tersebut di atas akan mengalami kesulitan. Akan menjadi praktis apabila akta SKMHT tidak hanya wajib dan boleh dibuat dengan akta PPAT saja, tetapi boleh pula dibuat dengan akta notaris.

Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu:

27

Ibid., hal. 110. 28


(33)

a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.

b. tidak memuat kuasa substitusi.

c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.

2) SKMHT tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan lain

Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain’ dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Demikian menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT. Dengan demikian, ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain.

Konsekuensi hukum yang ditetapkan berupa ‘batal demi hukum” apabila syarat-syarat SKMHT yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT tidak dipenuhi merupakan konsekuensi yang sangat menentukan. Oleh karena itu menurut Sutan Remy Sjahdeini, seyogianya konsekuensi berupa “batal demi hukum” itu ditentukan tidak di dalam penjelasan dari Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, tetapi secara tegas atau eksplisit ditentukan di dalam undang-undangnya itu sendiri, misalnya berupa salah satu ayat dari Pasal 15 UUHT:29

(1) Mengapa tidak ditempuh seperti halnya dengan Pasal 15 ayat (6) UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” apabila SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan akta pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau

29


(34)

ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) dan Pasal 15 UUHT tersebut.

(2) Atau seperti halnya Pasal 12 UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” terhadap janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.

(3) Atau seperti juga ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” bagi dimuatnya janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Pasal 20 UUHT.

3) Pengertian Substitusi dalam SKMHT

Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT menentukan, pengertian “substitusi menurut Undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Lebih lanjut dijelaskan, “bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya.

Mengingat ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata, yang menentukan bahwa pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam hal kuasa itu diberikan untuk mengurus benda-benda yang terletak diluar wilayah Indonesia atau dilain pulau selain dari pada tempat tinggal pemberi kuasa, kiranya SKMHT tidak sekadar dalam rumusannya tidak memuat kuasa substitusi, tetapi di dalam rumusan SKMHT secara tegas dicantumkan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi.

Apabila contoh formulir SKMHT yang dilampirkan pada peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1996 tidak dimuat klausul pembatasan untuk tidak memberikan hak substitusi yang dimaksud itu. Oleh


(35)

karena berlakunya ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata itu sebagaimana disebutkan di atas, tidak dicantumkannya secara tegas di dalam rumusan SKMHT bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi, secara yuridis mengandung pemberian kuasa substitusi dalam hal objek hak jaminan berada di lain pulau selain daripada tempat tinggal pemberi kuasa.

4) Batas berlakunya SKMHT

Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana yang ditentukan undang-undang. Ketentuan jangka waktu SKMHT menurut UUHT dapat dibedakan atas tanah terdaftar dan tanah belum terdaftar adalah:30

a. SKMHT atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.

b. SKMHT atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

Ketentuan mengenai jangka waktu diatas, tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu, misalnya adalah kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit lainnya yang sejenis. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1 PMNA/Ka. BPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin

30


(36)

Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, bahwa SKMHT yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24IKEP/DIR tanggal 28 Mei 1993 (Sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/4/KEP/DIR tanggal 4 April 1997, dan diubah lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/KEP/DIR tanggal 8 Agustus 1998), berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya Perjanjian pokok yang bersangkutan.

5) Janji-janji dalam SKMHT

SKMHT ini meliputi pula kuasa untuk menghadap dimana perlu, diantaranya di depan Notaris/PPAT dan instansi lainnya, memberikan keterangan-keterangan, membuat dan menandatangani akta-akta dan surat-surat yang diperlukan, membuat/minta dibuatkan serta menandatangani APHT serta memberi pernyataan bahwa objek hak tanggungan betul milik Pemberi Kuasa dan tidak sedang tersangkut dalam sengketa, bebas dari sitaan dan dari beban apapun, pendaftaran hak tanggungan tersebut, memberikan dan menyetujui syarat-syarat atau aturan-aturan serta janji-janji yang disetujui oleh Pemberi Kuasa dalam APHT tersebut, antara lain:31

a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

31


(37)

c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;

d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji;

f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; g. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya

atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum; i. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau

sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan; j. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak

Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;

k. Janji pengembalian sertifikat hak atas tanah kepada pemegang hak atas tanah, kecuali telah diperjanjikan sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.32 Pentingnya definisi operasional adalah untuk

32

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.


(38)

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.33 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.34

b. Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.35

c. Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.36

d. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.37

33

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35

34

Pasal 1 angka 1 UUHT 35

Pasal 1 angka 2 UUHT 36

Pasal 1 angka 3 UUHT 37


(39)

e. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.38

f. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah suatu kuasa yang diberikan debitur (pemilik barang jaminan) untuk hadir di hadapan PPAT dalam pembuatan APHT dalam rangka pembebanan hak tanggungan kepada kreditur (pihak lain) yang berbentuk akta otentik.39

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan40 tentang pemberian SKMHT yang diingkari debitur. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya. Jadi, sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.41

38

Pasal 1 angka 5 UUHT 39

Penjelasan Umum angka 7 UUHT. 40

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63. 41


(40)

2. Sumber Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.42

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan pemberian SKMHT yang diingkari debitur.

3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan pemberian SKMHT yang diingkari debitur.

42

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39.


(41)

b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait konsistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, dengan melakukan wawancara kepada:

a. Notaris/PPAT di Kota Medan, sebanyak 5 (lima) orang.

b. Kreditur sebagai penerima SKMHT di Kota Medan, sebanyak 1 (satu) orang. c. Debitur (perorangan ataupun badan hukum) sebagai pemberi SKMHT di Kota

Medan, sebanyak 1 (satu) orang.

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:

1.

Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

2.

Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada responden yang telah ditetapkan yang terkait dengan pemberian SKMHT dalam pembebanan hak tanggungan dalam perjanjian kredit.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan responden hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.


(42)

40

Semua data yang diperoleh kemudian dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis, dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.


(43)

BAB II

KETENTUAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

A. Surat Kuasa Pada Umumnya

1. Pengertian, Sifat dan Berakhirnya Kuasa a. Pengertian

Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab XVI, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG.

Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi: Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari:

1) Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate);

2) Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full

power), jika:

1) Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;


(44)

2) Dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;

3) Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.43

Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable). Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat mengatur (aanvullend recht).44

b. Sifat Perjanjian Kuasa

Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai berikut:

1) Penerima Kuasa langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa

Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:

43

M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 2. Lihat juga, Putusan MA No. 331.K/Sip/1973, tanggal 4-12-1975 dalam ”Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perda”, Proyek Yurisprudensi MA 1997, hal. 57.

44


(45)

a) Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;

b) Tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;

c) Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil. Akibat hukum dari hubungan yang demikian segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak materiil).45

2) Pemberi Kuasa bersifat Konsensual

Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual (consensuale

overeenkomst) yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) dalam arti:

a) Hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;

b) Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak);

c) Oleh karena itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.46

45

Ibid., hal. 2-3. 46


(46)

Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata menyatakan pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian tanpa mengurangi penjelasan di atas, berdasarkan Pasal 1793 a (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus.47

3) Berkarakter Garansi Kontrak

Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada

principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:

a) Sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;

b) Apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.

Dengan demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggung jawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau instruksi yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggungjawab

47


(47)

kuasa, sesuai dengan anggapan hukum: atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya.48

c. Berakhirnya Kuasa

Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhimya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (secara bilateral).

Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata:

1) Pemberi Kuasa menarik kembali secara sepihak

Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali (revocation, herroepen) kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUH Perdata dan seterusnya, dengan acuan:

a) Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa; b) Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk;

(1) mencabut secara tegas dengan tertulis, atau

(2) meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa

48


(48)

c) Pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata.

Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru ditarik kembali secara diam-diam.49

Sehubungan dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka, dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang demikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beriktikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.

2) Salah satu pihak meninggal dunia

Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa bcrakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dan ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberian kuasa dimaksud.

49


(49)

3) Penerima kuasa melepas kuasa

Pasal 1817 KUH Perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat:

1) Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa; 2) Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.

Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.50

2. Jenis-jenis Kuasa

Pada bagian ini, dijelaskan secara ringkas jenis kuasa yang diatur dalam undang-undang. Penjelasan ini berkenaan dengan surat kuasa yang dapat dipergunakan di depan sidang pengadilan.

a. Kuasa Umum

Kuasa umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata. Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu:

1) Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;

2) Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;

3) Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa.

50


(50)

Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa harus mendapat surat kuasa khusus. Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT Bandung No. 149/1972 (2-8-1972), bahwa seorang manajer yang bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan karena surat kuasa itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT tersebut, bukan Surat Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 123 HIR.51

b. Kuasa Khusus

Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.

51


(51)

Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan yang digariskan Pasal 1795 KUH. Misalnya, kuasa untuk melakukan penjualan rumah. Kuasa itu merupakan kuasa yang bersifat khusus, terbatas hanya untuk menjual rumah.. Akan tetapi, meskipun bersifat khusus kuasa itu tidak dapat dipergunakan untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya untuk menjual rumah.52

c. Kuasa Istimewa

Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diper1ukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.

Kuasa istimewa memenuhi sifat sebagai berikut: 1) Bersifat limitatif

Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, perbuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk

52


(52)

menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, hanya terbatas:

a) Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut

b) Untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga

c) Untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.

Menurut pasal ini, yang dapat mengucapkan sumpah sebagai alat bukti, hanya pihak yang beperkara secara pribadi. Tidak dapat diwakilkan kepada kuasa. Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat penting, misalnya pihak yang beperkara sakit sehingga tidak dapat hadir:

a) Hakim dapat memberi izin kepada kuasa untuk mengucapkannya,

b) Untuk itu, kuasa diberi kuasa istimewa oleh principal, dan principal menyebut dengan jelas bunyi sumpah yang akan diucapkan kuasa.53

2) Harus berbentuk Akta otentik

Menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah. R. Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik (akta notaris).54 Pendapat ini diterima secara umum oleh praktisi hukum. Oleh karena itu,

53

Ibid., hal. 8. 54


(53)

agar pemberian kuasa istimewa sah menurut hukum, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Dalam akta itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan kuasa.

d. Kuasa Perantara

Kuasa perantara disebut juga agen (agent). Kuasa ini dikonstruksi berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata, dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan (commercial agency) atau makelar. Disebut juga broker, tetapi lazim disebut “perwakilan dagang”.55

Dalam hal ini, pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.

B. Hak Tanggungan

1. Pengertian Hak Tanggungan

Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), disebutkan bahwa: 56

55

M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 8. 56


(54)

Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut, yaitu:

(1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang. (2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

(3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

(4) Hutang yang dijamin harus suatu utang tertentu.

(5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dibandingkan dengan definisi hak tanggungan tersebut dengan definisi

hypotheek dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1162 KUH

Perdata, bahwa ”hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Dalam definisi Hipotik tersebut di atas, disebutkan unsur-unsur Hipotik sebagai berikut:

(1) Hipotik adalah suatu hak kebendaan.

(2) Objek Hipotik adalah benda-benda tak bergerak. (3) Untuk pelunasan suatu perikatan.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pada bab-bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut

A. Kesimpulan

1. Ketentuan hukum pemberian SKMHT, terutama batasan jangka waktu atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditandatangani SKMHT oleh para pihak, belum memberikan perlindungan bagi kreditur, karena pengurusan sertifikat tanah melalui birokrasi pada BPN/Kantor Pertanahan praktis lama atau lebih dari 3 bulan, sementara itu kredit dapat macet dalam waktu 3 bulan. Akibatnya, kreditur harus meminta SKMHT yang baru dari debitur karena SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan adalah batal demi hukum, sehingga debitur yang itikadnya tidak baik enggan untuk memberikan SKMHT yang baru karena melihat peluang untuk mencegah kreditur dapat membebani Hak Tanggungan atas tanah yang telah diagunkan untuk pembayaran hutang apabila terjadi kredit macet. Ketentuan mengenai jangka waktu di atas tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang barang jaminan kredit tidak lebih dari Rp. 50 juta sesuai dengan ketentuan Pasal 1 PMNA/Ka.BPN Nomor 4 Tahun 1996 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/55/Kep/Dir tanggal 8 Agustus 1998 menentukan jangka


(2)

waktu SKMHT sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.

2. Tata cara pemberian SKMHT adalah kuasa tersebut harus dibuat langsung oleh debitur kepada kreditur dalam bentuk Akta Notaris/PPAT untuk penandatanganan dalam pembuatan APHT, yang terpisah dari akta-akta perjanjian kredit dan perjanjian jaminan. Pembuatan SKMHT sesuai UUHT tidak dapat dikuasakan (substitusi), namun dalam praktek masih terjadi perpanjangan SKMHT itu atas dasar surat kuasa Notaril untuk perpanjangan SKMHT dari debitur kepada kreditur.

3. Eksistensi SKMHT yang diingkari debitur adalah janji pengikatan jaminan sebagai pembayaran hutang debitur jika terjadi kredit macet, yang diberikan oleh debitur atau penjamin/avalist terhadap suatu perusahaan dalam proses badan hukum tetapi sampai kredit macet perusahaan tersebut belum diakui status badan hukumnya, sehingga barang jaminan penjamin/avalist tidak dapat dieksekusi oleh kreditur untuk pelunasan hutang sesuai dengan yang diperjanjikan dalam SKMHT yang telah dituangkan dalam APHT. Sedangkan dalam hal lain, baik penjamin/avalist maupun penjamin perorangan pengingkaran itu terjadi terhadap jumlah utang pada saat eksekusi hak tanggungan.

B. Saran

1. Disarankan kepada pihak kreditur untuk langsung membuat APHT untuk jaminan berupa tanah terdaftar, jangan hanya karena untuk mempercepat proses kredit


(3)

129

(persaingan usaha) maka dilakukan SKMHT, padahal SKMHT bukanlah lembaga jaminan tetapi hanya sebagai lembaga kuasa yang belum memberikan kedudukan yang pasti sebagai kreditur preferent, dan SKMHT dapat berakhir jangka waktunya hanya 1 bulan untuk tanah terdaftar.

2. Disarankan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali ketentuan UUHT dalam kaitan jangka waktu SKMHT untuk tanah belum terdaftar (3 bulan) yang dirasakan kreditur masih terlalu singkat.

3. Disarankan kepada kreditur lebih berhati-hati dalam memberikan kredit kepada debitur (direktur) yang mengatasnamakan perusahaan yang masih dalam proses badan hukum, karena perbuatan tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dari direksi selama tidak diratifikasi setelah perusahaan tersebut memperoleh badan hukum.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983.

______, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1991.

______, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Adityabakti, Bandung, 1991.

______, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari ‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta,

2006

Harsono, Boedi dan Sudaryanto Wirjodarsono, Seminar Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkenaan Dengan Tanah, Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD, 1996.

_______, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Djambatan, Jakarta, 1999.

_______, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, Djambatan, Jakarta, 1997.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,, Bandung, 1991.

Hasibuan. Effendy, Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta, Laporan Penelitian, Jakarta, 1997.

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002.


(5)

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996.

Meliala, Djaja S., Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Alulia, Bandung, 2008.

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986,.

Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Sjahdeini, Sutan Remy, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah pada Seminar Nasional Sehati tentang “Periapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 25 Juli 1996.

______, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah pada Seminar Nasional Sehati tentang “Periapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 25 Juli 1996.

______, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999.

______, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Soekendar, Marcel, Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Dipo Internasional Cabang Medan, Tesis, SPs-USU, Medan, 2009


(6)

132

Soesilo, R., RBG/HIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980.

Subekti, R., Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1982.

Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturann Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 197 tentang Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT.

Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor 331.K/Sip/1973, tanggal 4-12-1975 dalam ”Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perda”, Proyek Yurisprudensi MA 1997.

Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 1436 K/Pdt/2001, tanggal 24 Januari 2004 kasus gugatan antara PT. Bank Sumut dengan PT. Twin Jaya Steel.