Analisis Potensi Emisi Gas Metana dari Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (Studi Kasus di TPA Namo Bintang, Medan, Sumatera Utara)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanasan Global
Pemanasan global disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
(GRK) di atmosfer akibat berbagai aktifitas manusia,khususnya karbon dioksida,
metana, dan dinitro oksida dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi
peningkatan suhu sebesar antara 0,20 s/d 0,60 oC pada skala global. (Prasad et al.
2009). Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007)
selama 150 tahun terakhir suhu permukaan rata-rata global telah meningkat
0,76°C. Dalam skenario emisi tinggi yang dikembangkan oleh IPCC, kenaikan
suhu rata-rata global dari tingkat suhu antara tahun 1980 hingga tahun 1999
mencapai 4°C dengan kisaran suhu dari 2,4°C sampai 6,4°C, kondisi ini akan
menimbulkan konsekuensi yang serius bagi pertumbuhan dan pembangunan di
dunia (ADB,2009).
Penanganan perubahan iklim menjadi fokus dalam agenda kebijakan
Internasional dengan konsensus bahwa untuk mencegah pemanasan global agar
tidak mencapai tingkat yang berbahaya, untuk itu diperlukan tindakan-tindakan
mengendalikan emisi GRK dan menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir dalam
kisaran 450 – 550 ppm (IPCC , 2007).
Berdasarkan laporan IPCC (2007), perubahan iklim global sudah nyata

terjadi termasuk di Asia Tenggara. Kecenderungan meningkatnya suhu rata-rata di
Asia 0,1 – 0,3°C per-dekade. Kawasan ini juga telah mengalami kecenderungan

8

Universitas Sumatera Utara

peningkatan permukaan air laut (± 1–3 mm per tahun) serta meningkatnya
intensitas kejadian cuaca yang ekstrim antara lain, peningkatan yang signifikan
dalam jumlah curah hujan dan sekitar 20% dari peningkatan ini diperkirakan
terjadi di Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Hasil simulasi Integrated
Assessment Model pada keempat negara, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, suhu rata-rata tahunan di keempat negara ini diperkirakan akan meningkat
rata-rata sebanyak 4,8 °C hingga tahun 2100 dari angka pada tahun 1990 (ADB,
2009).
Dengan adanya kondisi tersebut

sejak tahun 1995, dunia internasional

melakukan pertemuan rutin setiap tahunnya untuk membahas berbagai hal yang
berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk solusi yang harus dilakukan.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tahun 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB sepakat untuk
mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen para
pemimpin dunia untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak
asasi dan kebebasan fundamental. Komitmen tersebut kemudian diterjemahkan
menjadi Millennium Development Goals (MDGs) yang mempunyai delapan
tujuan. Salah satu tujuan dari MDGs adalah “menjamin kelestarian lingkungan
hidup dengan target memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya
lingkungan yang hilang dengan menggunakan indikator yang berkaitan dengan
pemanasan global dan perubahan iklim” (ADB, 2009).

9

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk mengurangi emisi GRK
sampai menjadi 26% pada tahun 2020 (Kesepakatan Internasional Copenhagen,
2009) dan telah menjadi sebuah agenda nasional melalui program Rencana Aksi
Nasional penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Diperlukan dukungan dari

Provinsi-provinsi untuk mencapai target pengurangan emisi tersebut. Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten akan memainkan peran yang penting karena terdapat
aktivitas-aktivitas yang memproduksi emisi dan berlokasi di daerah atau dibawah
kewenangan daerah. Sejalan dengan itu, pemerintah provinsi dan kabupaten dapat
menghasilkan kebijakan atau rencana aksi daerah untuk mendukung proses
pengurangan emisi ini.

2.2. Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan masalah global dan memerlukan solusi global
pula. Banyak diyakini bahwa perubahan iklim terutama disebabkan oleh emisi gas
rumah kaca dan jika tidak ada tindakan yang dilakukan, kemungkinan besar akan
meningkat dalam tahun-tahun mendatang. Dalam skenario emisi tinggi yang
dikembangkan oleh IPCC, kenaikan suhu rata-rata global dari tingkat suhu antara
tahun 1980 hingga tahun 1999 mencapai 4°C dengan kisaran suhu dari 2,4°C
sampai 6,4°C, kondisi ini akan menimbulkan konsekuensi yang serius bagi
pertumbuhan dan pembangunan di dunia (ADB,2009). Penanganan perubahan
iklim menjadi fokus dalam agenda kebijakan internasional dengan konsensus,
bahwa untuk mencegah pemanasan global agar tidak mencapai tingkat yang
berbahaya, diperlukan tindakan-tindakan mengendalikan emisi gas rumah kaca


10

Universitas Sumatera Utara

dan menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir dalam kisaran 450– 550 ppm
(IPCC 2007).
Berdasarkan laporan IPCC (2007), Perubahan iklim global sudah nyata
terjadi termasuk di Asia Tenggara, kecenderungan meningkatnya suhu rata-rata di
Asia 0,1–0,3°C perdekade. Kawasan ini juga telah mengalami kecenderungan
peningkatan permukaan air laut (± 1–3 mm per tahun) serta meningkat intensitas
kejadian cuaca yang ekstrim antara lain peningkatan yang signifikan dalam
jumlah curah hujan dan sekitar 20% dari peningkatan ini diperkirakan terjadi di
Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam (ADB, 2009). Hasil simulasi
Integrated Assessment Model pada keempat negara, Indonesia, Filipina, Thailand,
dan Vietnam, suhu rata-rata tahunan di keempat negara ini diperkirakan akan
meningkat rata-rata sebanyak 4,8° C hingga tahun 2100 dari angka di tahun 1990.
Upaya-upaya mitigasi perubahan iklim global untuk menstabilkan
konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfir pada tingkat 550 ppm akan menurunkan
kenaikan suhu rata-rata tahunan di empat negara tersebut menjadi 2,3°C, dan jika
stabil pada 450 ppm menjadi 1,8°C hingga tahun 2100


(ADB, 2009).

Berdasarkan simulasi tersebut Indonesia, Thailand, dan Vietnam diperkirakan
akan mengalami kondisi cuaca yang makin kering selama 2–3 dekade yang akan
datang, tinggi rata-rata permukaan laut global diperkirakan akan naik ±70 cm
dibandingkan dengan angka tahun 1990. Tetapi, jika GRK global stabil pada
tingkat antara 450 dan 550 ppm, peningkatan tinggi rata-rata permukaan laut
global diperkirakan sekitar 40 cm hingga tahun 2100 dibandingkan dengan angka
ditahun 1990.

11

Universitas Sumatera Utara

2.3. Gas Rumah Kaca (GRK)
Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas yang diemisikan atau diserap
secara alami ataupun oleh aktivitas manusia (anthropogenic) yang keberadaannya
diatmosfeer menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah yang secara
langsung atau tidak langsung ikut menentukan perubahan iklim global (PPRI

No.71 Tahun 2011). Perubahan tersebut yaitu fenomena berubahnya beberapa
variabel iklim khususnya tempratur dan curah hujan dalam kurun waktu yang
lama (Anon, KLH, 2011). Menurut Newby (2007) Gas Rumah Kaca yaitu gasgas di atmosfer yang memiliki potensi untuk menghambat radiasi sinar matahari
yang dipantulkan oleh bumi sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi
menjadi hangat.
Secara alamiah sebagian sinar matahari yang terpancar ke bumi diserap oleh
permukaan bumi, sementara sebagian lagi akan dipantulkan kembali keluar
angkasa melalui atmosfer. Dengan keberadaan lapisan gas rumah kaca yang
berada di atmosfer menyebabkan terhambatnya panas matahari yang akan
dipantulkan kembali ke luar angkasa. Peristiwa terperangkapnya panas matahari
di permukaan bumi ini oleh lapisan GRK dikenal dengan istilah efek rumah kaca
(ERK). Apabila konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer semakin meningkat,
mengakibatkan akumulasi panas atmosfer, sehingga terjadi efek rumah kaca
berlebihan yang disebut dengan ”Pemanasan Global” kemudian pada prosesnya
menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) jenis gas yang digolongkan sebagai gas

12


Universitas Sumatera Utara

rumah kaca yang utama yaitu: CO2, N2O, CH4, SF6, PFC, HFC. Gas-gas ini
memiliki potensi yang besar dalam pemanasan global yang “potensi” nya
diperhitungkan dalam CO2 atau dikenal sebagai Global Warming Potential
(GWP). GWP adalah besaran efek radiaktif GRK dibandingkan terhadap CO2,
dengan kata lain GWP ialah indikasi berapa ton emisi CO2 setara dengan satu ton
dari setiap GRK lainnya. Beberapa komponen dari gas rumah kaca dapat merusak,
seperti molekul metana (CH4) memiliki potensi GWP relatif terhadap CO2 adalah
21, nilai GWP ini tidak berubah untuk masa komitment tahun 2008 – 2014 (IPCC,
2006).
Tabel. 2.1.

Nilai Potensi Pemanasan Global dan Enam Jenis Gas
Rumah Kaca berdasarkan Protokol Kyoto
1.
2.
3.
4.
5.

6.

Jenis GRK
Karbon dioksida (CO2)
Metana (CH4)
Dinitro oksida (N2O)
Hidrofluorokarbon (HFCs)
Perfluorokarbon (PFCs)
Sulfur heksafluorida (SF6)

Nilai GWP
1
21
310
140 -11.700
6.500 – 9.200
23.900

Sumber : IGES (2006)


2.4. Sumber-sumber emisi GRK
Sumber-sumber emisi GRK berasal dari berbagai kegiatan manusia,
utamanya dari sektor pertanian, kehutanan, industri serta sektor penggunaan
energi. Khusus disektor penggunaan energi yaitu kegiatan-kegiatan yang
menggunakan bahan bakar fosil, penggunaan kendaraan bermotor, pembakaran
bahan bakar minyak dan batubara di industri serta penanganan limbah cair dan
limbah padat (sampah). Emisi GRK dari sektor penggunaan energi oleh industri,

13

Universitas Sumatera Utara

rumah tangga dan transportasi diperkirakan memberikan kontribusi terbesar pada
emisi CO2 (Annex A Protokol Kyoto).
Khusus dari sektor limbah padat (sampah), IPPC GL-2006 mengklasifikasi
sumber-sumber emisi GRK dari sektor limbah padat (sampah) sbb. :
 Penanganan dan pembuangan limbah padat ke TPA baik limbah padat

domestik maupun pembuangan limbah padat industri
 Pengelolaan limbah padat secara biologi seperti pengomposan,

 Insenerasi dan pembakaran limbah padat secara terbuka,
 Pengelolaan dan pembuangan limbah cair, baik limbah cair domestik

maupun limbah cair industri,
 Limbah lainnya seperti limbah clinical dan limbah agricultural.

2.5. Gas Metana (CH4)
Gas Metana dengan rumus kimia CH4 merupakan salah satu komponen
GRK (16 % - 20 % dari total emisi GRK) yang tetap berada di atmosfer selama
± 9 -15 tahun. Metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas
dan sebagai konstituen utama dari gas alam dan sumber energi yang lainnya.
Sumber emisi metana berasal dari alam maupun aktivitas manusia (antropogenic).
Hampir 70% total emisi metana berasal dari sumber antropogenic dan sisanya
± 30% berasal dari sumber-sumber alami (Lapan, 2010 ) atau hanya 70 % dari gas
metana yang terbentuk di TPA yang diemisikan ke atmosfer, sedangkan 30% gas
metana yang terbentuk dioksidasi oleh bakteri anaerob ketika bergerak ke
permukaan timbunan sampah di TPA (Kendra, 1997 & Sudarman, 2010)

14


Universitas Sumatera Utara

Pada tabel 2.2. berikut dapat terlihat estimasi emisi gas metana secara global dari
kegiatan manusia yang berasal dari beberapa sumber
Tabel. 2.2. Estimasi Emisi metana secara global dari kegiatan manusia
Sumber terbentuknya Metana
(Methane Source)
1. Coal mining
2. Coal Combustion
3. Extraction of Oil
4. Extraction and use of natural gas
5. Total Fosil
6. Sewage treatment plants
7. Sanitary landfills
8. Domestic animals
9. Animal waste
10. Rice paddies
11. Biomass burning
12. Total biopspheric

Emisi Tg
CH4/year
14 - 45
1 – 30
5 – 30
25 – 50
46 – 155
15 – 80
20 – 70
65 – 100
23 – 30
20 – 100
20 – 80
160 - 460

No

Sumber : PROFESIONAL Vol.8 No.1, ISSN 1963-3745

Secara global metana yang diemisikan dari TPA kira-kira 66 % berasal
dari negara maju, 15 % dari negara- negara transisi secara ekonomi dan 20 % dari
negara berkembang. Metana berada di atmosfer dalam jangka waktu 7 – 10 tahun
dan dapat meningkatkan suhu

permukaan bumi sekitar 1,3 oC, peningkatan

kosentrasi metana di atmosfer dikarenakan laju luluh metana lebih rendah
dibandingkan dengan laju yang diemisikan (Sudarman, 2010).
2.6. Dampak Gas Metana Terhadap Lingkungan
Kelompok gas rumah kaca termasuk metana dapat berpengaruh terhadap
terjadinya perubahan iklim dalam skala regional maupun global dan penipisan
lapisan Ozon di atmosfer. Kondisi ini akan berpengaruh di beberapa tempat atau
ekosistem/masyarakat akan sangat renta (vulnerable), mengahadapi perubahan
tersebut. Hal ini terjadi pada saat gas rumah kaca menghambat dan menangkap

15

Universitas Sumatera Utara

panas sinar matahari yang dipantulkan bumi sehingga mempengaruhi iklim.
Gas rumah kaca masing-masing memiliki kemampuan penyerapan panas/radiasi
sinar matahari yang berbeda. Gas rumah kaca yang dapat menyerap radiasi sinar
infra merah dengan sangat intensif dapat dengan sangat mudah meningkatkan
suhu dan berarti memiliki potensi yang sangat besar dalam pemanasan global,
metana memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar dari
karbondioksida, namun memiliki waktu tinggal lebih cepat yaitu 10 tahun
dibandingkan karbondioksida yaitu 50 – 200 tahun (Kendra, 1997 & Sudarman,
2010).
Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer yang disebabkan
oleh kegiatan manusia dari berbagai sektor antara lain dari sektor sampah.
Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu menghasilkan sampah. Sampah
memiliki pengaruh yang besar untuk emisi gas rumah kaca yaitu: gas me tana
(CH4). Diperkirakan 1 ton sampah padat dapat menghasilkan 50 kg gas metana.
Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020
sampah yang dihasilkan mencapai 500 kg/hari atau 190.000 ton/tahun. Hal ini
berarti pada tahun 2020 Indonesia akan mengemisikan gas metana sebanyak 9500
ton. Oleh karena itu, maka sampah tersebut perlu dikelola secara efektif agar laju
pembentukan CH4 dapat dibuat minimal sehingga sumbangannya terhadap
pemanasan global dapat dikendalikan.
Berdasarkan penelitian (IPCC, 2001) secara umum rata-rata konsentrasi
metana di atmosfer meningkat ± 150 % dari 700 ppbv (tahun 1750 ) sampai
1.745 ppbv (tahun 1998). Sebuah kajian terbaru oleh Dlugokencky, et. al.

16

Universitas Sumatera Utara

(IPCC, 2006) menunjukkan bahwa metana di atmosfer telah berada di
keadaan stabil 1751 ppbv antara tahun 1999 dan 2002 seperti yang ditunjukkan
pada gambar 2.1.

Gambar.2.1. Kecenderungan kosentrasi gas metana
tahun 1984 - 2007 (IPCC, 2006)

di atmosfer antara

Metana (CH4) sebagai GRK merupakan insulator yang efektif, mampu
menangkap panas 21 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida.
Timbunan sampah organik dengan volume yang besar di Tempat Pemrosesan
Akhir (TPA) dengan sistem open dumping memiliki peluang untuk terjadinya
proses dekomposisi dan penguraian oleh bakteri dan berpotensi melepas gas
metana (CH4) dan dapat meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan
memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.
Produksi gas dari tumpukan sampah di TPA terjadi dalam empat fase.
Fase -1 (satu) adalah fase hidrolisis, fase di mana substrat organik terurai oleh
bakteri aerobik untuk menghasilkan karbon dioksida (CO2). Pada fase - 2 ( dua )
atau fase acetogenesis, oksigen habis dan bakteri aerobik terus mengkonversi

17

Universitas Sumatera Utara

senyawa organik dan menghasilkan lebih banyak CO2 dan hidrogen. Fase - 3
(tiga) adalah metanogenesis dimana bakteri anaerob tumbuh dan memproduksi
banyak metana. Tahap - 4 (empat) adalah tahap pematangan dimana pada fase ini
produksi gas tetap stabil. Komposisi gas yang dihasilkan pada timbunan sampah
adalah 40% sampai 60% metana dan 40% sampai 60% karbon dioksida. Gas-gas
tersebut akan terus diproduksi selama 20 (dua puluh) tahun dan akan berakhir
pada saat tahap pematangan TPA (ATSDR, 2001).

Gambar.2.2. Phase Pembentukan Gas di area Land Fill/TPA (ATSDR, 2001).

Tabel. 2.3.

Persentase Komponen Gas yang Terbentuk di Lokasi TPA

No
Komponen Gas
1
Metana
2
Carbon Dioksida
3
Nitrogen
4
Oksigen
5
Sulfida, Mercaptan
6
Amonia
7
Hidrogen
8
Carbon Monooksida
9
Trace (lain- lain)
Karakteristik
Tempratur oF
Sg
Nilai Kalor (Heating Value)

% Dry Volume
45 - 60
40 - 60
2–5
0,1 – 1,0
0 – 1,0
0,1 – 1,0
0 – 02
0 – 0,2
0,01 – 0,6
100 - 120
1,02 – 1,06
400 - 500

Sumber : ATSDR, 2001.

18

Universitas Sumatera Utara

Gas yang dihasilkan oleh proses pembusukan bahan organik di TPA selain
berpotensi meningkatkan GRK juga bersifat mudah terbakar dan juga sumber bau
busuk. Namun disisi lain pengelolaan yang baik, gas metana yang terbentuk
merupakan sumber energi alternatif, sebagaimana diperlihatkan pada gambar
berikut :

Gambar.2.3. Ilustrasi Emisi GRK dari tumpukan sampah di TPA

Gas metan yang diambil dari TPA (proses landfill) dipompakan keluar
dengan terlebih dahulu mengalami perlakuan awal yaitu untuk menghilangkan
CO2 dan menghasilkan CH4. Selanjutnya di alirkan melalui blower ke unit
pengumpul (gas cleaning system) yang berfungsi untuk membakar produksi
metan yang berlebih, selanjutnya di alirkan ke generator untuk di proses menjadi
energi listrik. Diagram alir proses seperti pada gambar berikut :

19

Universitas Sumatera Utara

LAND FILL
CONDENSATE
TANK
FLARE STATION

SUCTION
SCRUBBER

COMPRESSOR

CHILLER
REHEATER
SEPARATOR

FILTER

GENERATOR

BOILER

ENERGI
LISTRIK

ENERGI
UAP PANAS

Gambar.2.4. Proses Produksi Landfill Gas (LFG)

2.7. Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Inventarisasi gas rumah kaca adalah kegiatan untuk memperoleh data
inventory dan informasi mengenai tingkat, status dan kecendrungan perubahan
emisi gas rumah kaca secara berkala dari berbagai sumber emisi (source) dan
penyerapnya (sink) termasuk simpanan carbon (carbon stock) pada kurun waktu
tertentu (PPRI No.71/2011).

Penyelenggaraan inventarisasi GRK Nasional

bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status
dan kecendrungan perubahan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon
di tingkat provinsi, kabupaten dan kota (pasal 2 Perpres. No. 71/2011).

20

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan Inventori emisi GRK mengacu pada standar internasional yang
telah disepakati (pasal 4 Perpres. No. 71/2011) yaitu berpedoman UNFCCC –
GHG emissions Inventoriy guidelines (IPCC) antara lain :


IPCC guidliness (IPCC GL), 2006 untuk inventori GRK Nasional



IPCC- GPGUM (Good Practice Guidance And Uncertainty Management),
2000 inventory GRK untuk anggota Annex I & Non-Annnex I



WBCSD/WRI (World Business Council for Sustainable Development/World
Resource Institute) – GHG protocol for corporate dan standar Inventarisasi
GRK untuk organisasi.
IPCC 2006 GL merupakan panduan inventarisasi GRK tentang pengelolaan

data, perencanaan,

metode pelaksanaan kuantifikasi, metode pelaporan

dan

verifikasi inventarisasi emisi GRK (Retno GD et.al , ITB, 2011). Berdasarkan
IPCC 2006 GL terdapat 3 tingkat ketelitian dalam estmasi GRK di TPA atau
SWDS (Solid Waste Disposal Site) yaitu Tier-1, Tier-2 dn Tier-3.
Tier-1 : estimasi berdasarkan sebagian besar data aktivitas dan faktor emisi
default dari IPCC 2006.
Tier-2 : estimasi berdasarkan sebagian besar data aktivitas yang lebih akurat dan
faktor emisi default dari IPCC 2006 atau country specific/plant
Tier-3

: estimasi berdasarkan metode spesifik suatu negara dengan data aktivitas
yang lebih akurat (pengukuran langsung) dan faktor emisi country
specific.

Penentuan tingkat emisi GRK (metana)

di TPA dilakukan dengan

menggunakan metoda FOD versi Tier 1, berdasarkan metoda FOD versi Tier 1
total emisi gas metana pada tahun T adalah total gas CH4 generated pada tahun T
dikoreksi dengan besarnya gas CH4 yang dimanfaatkan atau dibakar.

21

Universitas Sumatera Utara

Emisi GRK gas Metana dapat dihitung dengan mengetahui komposisi
sampah yang ada di TPA. Estimasi potensi bangkitan Metana (CH4) yang timbul
di lokasi TPA dilakukan dengan menggunakan metode baku yang telah disepakati
secara Internasional yaitu dengan IPCC Waste Model Calculation.

Untuk menghitung potensi timbulan Metana dilakukan dengan persamaan (1) :
Lo = DDOCm x F x (16/12) .................................. (1)
sedangkan untuk menghitung DDOCm dapat digunakan persamaan (2)

DDOCm = W x DOC x DOCf x MCF ................ (2)
dimana
Lo

: Potensi CH4

yang ditimbulkan saat komponen sampah

terdekomposisi (CH4 gT)
DDOCm : DOC tersimpan di TPA yang dapat terdekomposisi, (Gg)
F

: Fraksi CH4 yang dihasilkan TPA (%-volume)

(16/12)

: rasio berat molekul CH4/C (rasio).

W

: massa sampah yang tersimpan di TPA, (Gg)

DOC

: Degradable Organic Carbon (karbon organik terdegradasi di tahun
penimbunan)

DOCf

: fraksi DOC yang dapat terurai (fraksi)

MCF

: faktor koreksi CH4 untuk dekomposisi aerob di tahun penimbunan
(fraksi)
Untuk Indonesia dan negara-negara Non-Annex 1, inventarisasi GRK

menggunakan Tier-1 merupakan metode yang paling sederhana yaitu dengan
persamaan dasar seperti pada tabel berikut :

22

Universitas Sumatera Utara

Tabel. 2.4. Rumus Umum Penghitungan Emisi CO2 dan CH4
Sumber Emisi dan Rumus

Keterangan

Sampah (pembakaran)
EmisiCO2 = JSB x FSi x EFCO2-i
EmisiCH4 = JSB x EFCH4 x FSi

FSi = fraksi sampah jenis i (%)
JSB = jumlah sampah dibakar (ton)
EFCH4 = faktor emisi CH4 dari
sampah

Sampah (kompos)
EmisiCH4 = JSK x EFCH4

JSK

= jumlah sampah yang
dikompos
EFCH4 = faktor emisi CH4 dari
kompos

Sumber : IPCC GL 2006

Tabel. 2.5. Faktor Emisi dari Sampah
Produk

Faktor Emisi CO2
(Kg/Gg sampah)

Sampah (dibakar)
Makanan
Kertas
Plastik
Kayu
Tekstil
Karet
Lainnya
Sampah (dikompos)

Faktor Emisi CH4
(Kg/Gg sampah)
6500

0,323
0,009
1,595
0,904
1,595
0,239
0,239
--

10

Sumber : IPCC GL 2006

Tabel. 2.6. Perkiraan Emisi CH4 (gigagram) dari Sampah di TPA menurut
Provinsi, 2004 - 2008
No
1
2
3
4
5
6
7

Provinsi
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu

2004

2005

28,91
88,45
31,46
42,16
18,76
47,82
11,41

29,05
89,59
31,67
43,95
19,12
48,60
11,64

2006
29,16
90,69
31,86
45,83
19,48
49,42
11,86

2007
29,28
91,81
32,04
47,75
19,84
50,19
12,11

2008
29,39
92,91
32,24
49,70
20,21
50,99
12,36

23

Universitas Sumatera Utara

No

Provinsi

8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Lampung
Bangka Belitung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Papua

Republik Indonesia

2004

2005

2006

2007

2008

51,65
6,89
62,13
276,14
228,49
23,37
254,65
65,15
23,98
30,84
29,26
31,07
14,96
22,94
19,69
15,21
16,96
60,60
14,62
6,22
8,95
6,32
17,68

52,46
6,99
62,59
281,06
229,41
23,60
255,76
66,97
24,31
31,34
29,69
31,61
15,38
23,31
20,22
15,41
17,30
61,11
15,01
6,27
9,11
6,40
18,12

53,25
7,10
62,99
285,98
230,24
23,82
256,80
68,85
24,62
31,83
30,11
32,15
15,81
23,69
20,76
15,61
17,63
61,93
15,41
6,32
9,27
6,52
18,55

54,04
7,20
63,41
290,98
231,08
24,05
257,87
70,76
24,94
32,32
30,53
32,70
16,24
24,06
21,30
15,80
17,97
62,58
15,80
6,38
9,38
6,63
18,99

54,84
7,31
63,84
296,02
231,91
24,29
258,93
72,71
25,25
32,82
30,95
33,24
16,67
24,44
21,85
16,00
18,31
63,25
16,20
6,43
9,55
6,73
19,42

1.556,74 1.577,05 1.597,53 1.618,06 1.638,73

Sumber : Diolah berdasarkan jumlah sampah di TPA dan faktor emisi CH4 yang ditentukan IPCC,

2.8. Kandungan Bahan Kering (Dry Matter Content)
Kandungan bahan kering adalah fraksi (persen) berat kering dari suatu
komponen sampah yang dihitung dari rasio berat kering terhadap berat sampah
basah. Kandungan bahan kering

ini ditentukan untuk setiap sampah yang

dianggap memiliki kandungan air. Kandungan bahan kering sampah ditentukan
dengan pendekatan gravimetry, yaitu penimbangan berat sample sampah yang
diambil dari sample dalam penentuan komposisi sampah (IPCC 2006 GL).

24

Universitas Sumatera Utara

2.9. Sampah dan Sumber Sampah
Sumber sampah merupakan asal mula sampah dihasilkan / ditimbulkan.
Sampah timbul dari sisa proses produksi dan sisa produk baik dari aktivitas
domestik, pasar, pertokoan, jalan dan taman ataupun industri yang disebut dengan
timbulan sampah yang dinyatakan dalam satuan berat ataupun volume. Karena
timbulan sampah umumnya berasal dari rumah tangga, maka untuk perhitungan
secara cepat satuan timbunan sampah dianggap sampah yang ditimbulkan setiap
orang dalam berbagai kegiatan, lokasi (Damanhuri, 2004).

2.9.1. Pengertian Sampah
Pengertian

sampah

menurut

Undang-Undang

Republik

Indonesia

Nomor : 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia
dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sedangkan menurut SNI 19-24541991, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri atas zat organik dan zat
anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah
umumnya dalam bentuk sisa makanan, daun-daunan, ranting pohon, kertas/karton,
plastik, kain bekas, kaleng-kaleng, debu sisa penyapuan dan sebagainya.
Sampah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah
padat berupa sisa-sisa bahan baik karena telah diambil bagian utamanya atau
karena pengolahan, atau sudah tidak ada manfaatnya yang ditinjau dari segi sosial
ekonomis.

25

Universitas Sumatera Utara

Dari segi lingkungan sampah dapat menyebabkan pencemaran atau
gangguan terhadap lingkungan hidup (Hadiwiyoto, 1983). Sampah padat adalah
semua barang sisa yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan binatang yang
secara normal padat dan dibuang ketika tak dikehendaki (Tchobanoglous, 1993).
Berdasarkan hasil penelitian ( Retno GD, et. Al, 2010), bahwa laju
pembentukan limbah padat /sampah diperkotaan di Indonesia

terdiri dari

beberapa tipe antara lain :


Kota metroplitan : 0,28 T/kapita/tahun dan



Kota Besar

: 0,22 T/kapita/tahun

Kota Medan yang memiliki luas wilayah 26.510 Ha, dengan jumlah penduduk
2.578.315 jiwa

(Medan Dalam Angka, BPS 2012) dengan tingkat produksi

sampah = 0,60 kg/jiwa/hari (Dinas Kebersihan, 2011) maka estimasi timbulan
sampah Kota Medan sebanyak 1.546,9 Ton/hari dan hanya sekitar ± 80 % yang
dikirim dan tertampung di TPA.

2.9.2. Sumber Sampah
Berdasarkan sumbernya sampah pada umumnya diklasifikasikan dalam 6
(enam) kelompok yaitu (1) sampah pasar, (2) sampah pabrik atau industri, (3)
sampah perumahan dan perkantoran, (4) sampah kandang hewan dan pemotongan
hewan, (5) sampah jalan, lapangan dan pertamanan serta (6) sampah dari kegiatan
konstruksi (Anonim,1996).

26

Universitas Sumatera Utara

Sumber – sumber sampah dimaksud antara lain :
(1) Sampah pasar dan tempat-tempat komersil.
Terdiri dari berbagai macam dan jenis sampah seperti sisa sayuran, daun
bekas bungkus, sisa makanan dan sebagainya.
(2) Sampah pabrik atau industri.
Benda-benda sisa atau bekas dari proses industri, atau merupakan ampasampas dari pengolahan bahan baku, misalnya pabrik gula tebu akan
membuang ampas tebu. Ciri-cirinya tidak banyak macam dan jenisnya,
menonjol jumlahnya pada beberapa jenis saja. Sampah ini berasal dari
keseluruhan

kegiatan

proses

produksi

(bahan-bahan

kimia

serpihan/potongan bahan), perlakuan dan pengemasan produk (kertas, kayu,
plastik, kain/lap yang jenuh dengan pelarut untuk pembersihan). Sampah
industri berupa bahan kimia yang seringkali beracun memerlukan perlakuan
khusus sebelum dibuang.
(3) Sampah perumahan dan Perkantoran
Sampah rumah tinggal, kantor, institusi, gedung umum dan lainnya serta
pekarangan. Umumnya sampah rumah tangga berupa sisa pengolahan
makanan, perlengkapan rumah tangga bekas, kertas, kardus, gelas, kain,
sampah kebun/halaman dan lain-lain. Karakteristiknya hampir sama dengan
sampah dari pasar, kecuali ada sampah dari pengurasan septic tank.
(4) Sampah kandang hewan dan pemotongan hewan.
Terdiri dari sisa-sisa makanan hewan dan kotorannya, sisa-sisa daging dan
tulang-tulangnya.

27

Universitas Sumatera Utara

(5) Sampah jalan, lapangan dan pertamanan.
Sampah ini terdiri dari pengotoran oleh pelewat jalanan atau pemakai jalan,
pemakai lapangan dan pertamanan, pemotong rumput, reruntuhan bunga
dan buah.
(6) Sampah selokan, riol dan septic tank.
Terdiri dari endapan-endapan dan benda-benda yang hanyut sebagai
penyebab tersumbatnya selokan selokan riol. Isi septic tank merupakan
lumpur tinja yang biasanya diambil dan diangkut dengan mobil tangki tinja
yang dilengkapi dengan pompa hisap.
2.10. Jenis-jenis Sampah
Berdasarkan jenis, pada prinsipnya sampah dibagi dalam 2 bagian besar,
yaitu sampah Organik dan sampah Anorganik.
 Sampah Organik : yaitu sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik,
karena tersusun dari unsur-unsur C, H, O, N, dll.
Umumnya sampah organik dapat terurai secara alami oleh
mikroorganisme.
 Sampah Anorganik : yaitu sampah yang bahan kandungan non organik,
umumnya

sampah

ini

sangat

sulit

terurai

oleh

mikroorganisme.
2.11. Komposisi Sampah
Komposisi sampah adalah komponen fisik sampah yang menunjukkan
fraksi dari berat basah atau berat kering komponen-komponen sampah yang
dinyatakan dalam persen (%) berat basah dari komponen sampah (Tchobanoglous
dkk. 1993).

28

Universitas Sumatera Utara

Merujuk

pada SNI 19-39641994 dan IPCC 2006 GL komposisi dan

komponen sampah diklasifikasikan dalam 9 komponen, yaitu :
1.

Sampah makanan
Komponen sampah makanan adalah material sampah yang terklasifikasi
sebagai sampah dapur meliputi: sisa makanan (nasi, mie, biskuit, roti, dll),
bungkus makanan dari daun, sampah sayuran/buah-buahan, kulit buah,
batang sayuran, dan lainnya.

2.

Sampah kertas, karton dan nappies
Komponen sampah kertas, karton dan nappies meliputi : kertas koran, kertas
pembungkus, barang cetakan, buku tulis, karton, tampon, disposable diapers,
kertas tissue, dan sejenisnya.

3.

Sampah kayu, kebun dan taman
Komponen sampah kayu, kebun dan taman meliputi : kayu bekas furniture,
kayu bangunan (pagar, kusen), daun, ranting/batang pohon dari perawatan
taman/halaman, dan lain-lain.

4.

Sampah kain dan produk tekstil
Komponen sampah kain dan produk tekstil meliputi : pakaian bekas, selimut
bekas, majun, kain perca, lap, pel, tas/sepatu dari kain, kasur/bantal bekas dan
lain-lain.

5.

Sampah karet dan kulit
Komponen sampah karet dan kulit meliput : sisa karet busa, ban bekas,
sarung tangan karet, tas/sepatu dari karet atau kulit dan lain-lain.

29

Universitas Sumatera Utara

6.

Sampah Plastik
Komponen sampah plastik meliputi: botol, kemasan, ember dari plastik,
kantong kresek, gantungan baju dan barang lainnya dari plastik.

7.

Sampah Logam
Kornponen sampah logam meliputi: besi bekas perkakas, rangka furniture,
kawat, potongan logam, kaleng minuman dan lain-lain.

8.

Sampah Gelas
Komponen sampah gelas meliputi: pecahan gelas, piring dan barang-barang
keramik, botol, lampu, dan barang-barang dari gelas/keramik .

9.

Sampah lain-lain
Komponen sampah lain-lain meliputi komponen yang tidak termasuk dalam
klasifikasi di diantaranya: tanah, abu, batu, bongkahan bangunan, barangbarang elektronik bekas.

2.12. Sistem Pengelolaan Sampah
Pengelolaan dan pengolahan sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi
volume sampah atau merubah bentuk menjadi lebih bermanfaat, antara lain
dengan cara pembakaran, pengomposan, penghancuran, pengeringan dan daur
ulang sampah (SNI T-13-1990-F). Sistem pengelolaan sampah akan berpengaruh
pada hasil perhitungan gas metana yang terkandung pada tumpukan sampah
tersebut. Sistem pengelolaan sampah pada umumnya dikatagorikan dalam 3 (tiga)
sistem pengelolaan yaitu :
1) Unmanaged Waste Disposal Sites (Open Dumping)
2) Managed Waste Disposal Sites

30

Universitas Sumatera Utara

3) Kategori diantara Unmanaged dan Managed waste disposal sites
Umumnya pengelolaan sampah kota-kota besar dan daerah di Indonesia
menerapkan sistem gabungan antara Unmanaged dan Managed waste disposal
sites dengan beberapa tahapan al :
a.

Sistem Penampungan Sampah Sementara (TPS)
Penampungan sampah sementara di Indonesia umumnya menggunakan
kontainer besi atau bak beton ukuran 4m3 yang diletakkan pada
persimpangan jalan, pasar, area pertokoan, taman dan sebagainya. Namun
belum secara massal pemerintah

menyediakan Tempat Penampungan

Sementara (TPS) yang dibedakan berdasarkan jenis sampah sehingga
penghasil sampah meletakkan segala jenis sampahnya dalam satu TPS yang
tersedia di satu lokasi.
Permasalahan yang ada adalah, secara umum pemilahan sampah belum
dipraktekkan dan menjadi budaya di masyarakat Indonesia. Sampah-sampah
masih digabung menjadi satu baik sampah organik, sampah anorganik,
bahkan sampah B3, kondisi ini akan menyulitkan dalam proses pengelolaan
sampah selanjutnya. Permasalahan lain adalah TPS yang tersedia tidak
mampu menampung sampah,

akhirnya sampah akan tercecer. Hal ini

disebabkan karena kuantitas sampah yang ada melebihi kapasitas TPS
ataupun jadwal pengosongan dan pengambilan sampah di TPS yang tidak
tepat.

31

Universitas Sumatera Utara

b. Transportasi Sampah
Tranportasi merupakan faktor yang terpenting dalam pengelolaan sampah,
keterlambatan pengosongan TPS atau ketidakteraturan jadwal pemindahan
sampah dari TPS ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah akan
berpengaruh pada kondisi estetika lingkungan. Kinerja transportasi sampah
tersebut sangat tergantung pada pengaturan rute dan jumlah truk armada
pengangkutan sampah.
c.

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah
Bisa dikatakan secara umum TPA di Indonesia menggunakan lahan urug
yang dioperasikan secara open dumping, kondisi ini dapat terlihat pada 2
(dua) TPA yang ada di Medan yaitu TPA Namo Bintang dan TPA Terjun.

2.13. Kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia
Tabel. 2.7.

Kondisi pengelolaan persampahan tahun 2008 (kondisi baseline
business as usual)
Tahun 2008
Satuan
Perkotaan Pedesaan

Timbulan sampah perkapita
Kenaikan timbulan sampah per tahun
Sampah diangkut secara kolektif (Dinas)
Kenaikan sampah diangkut kolektif pertahun
Sampah dikelola kolektif 2008
 Anorganik direcovery
 Organik dikomposkan
 Dibakar di TPS dan TPA
 Diurug di open dumping
 Sanitary landfill + penangkap biogas
Total
Sampah dikelola sendiri 2008:
 Anorganik direcovery
 Organik dikomposkan
 Dibakar
 Timbun dimana saja
Total

kg/org/hari
%
%
%

0,6
2,5
50
2 - 2,5

0,3
1
20
1

%
%
%
%
%
%

3
1
0,5
45
0,5
50

0,5
5,5
10
4
0
20

%
%
%
%
%

3
1
5
40
50

5
40
20
10
80

Sumber : Asisten Deputi Urusan Limbah Domestik, Deputi II MENLH, Emisi GRK dalam Angka
(MENLH RI,2009)

32

Universitas Sumatera Utara

Tabel. 2.8. Timbulan Sampah dan Sampah Terangkut (m3/tahun) di 170
Kota/Kabupaten menurut Provinsi
No

Provinsi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
Total

Jumlah
Kab /Kota
4
8
5
2
1
5
4
3
3
3
5
13
19
2
31
5
8
7
11
5
5
8
4
1
5
1
2
170

Timbulan
Sampah
269.005
2.567.594
639.489
674.155
225.285
1.961.419
125.925
495.520
175.930
273.943
10.291.796
7.223.938
3.845.344
439.460
6.250.477
2.393.502
1.633.393
943.091
243.057
564.071
335.720
606.685
1.483.382
13.870
1.564.536
111.690
84.571
45.436.846

Sampah
Terangkut
209.028
1.953.492
562.167
451.140
28.105
1.194.554
111.325
363.540
133.134
173.882
10.028.802
3.642.105
2.723.232
51.100
3.176.472
1.559.028
1.489.189
1.132.478
209.236
454.243
275.312
426.557
608.134
13.505
1.373.316
59.130
78.220
32.480.427

Sumber : Asisten Deputi Urusan Limbah Domestik, Deputi II MENLH, Emisi GRK
dalam Angka (MENLH RI,2009)

2.14. Sistem Pengelolaan Sampah Kota Medan
Pengelolaan sampah kota Medan ditangani oleh Dinas Kebersihan Kota
Medan. Seluruh sampah-sampah di kirim ke TPA milik Pemko Medan di kawasan
Namo Bintang, Pancur Batu seluas ± 17 hektare dan kawasan Terjun, Medan
Marelan seluas ±14 hektare.

33

Universitas Sumatera Utara

Pelayanan sampah kota Medan dibagi dalam 3 (tiga) wilayah daerah
pelayanan. Pada setiap daerah pelayanan terdiri dari 7 Kecamatan. Sampah dari
daerah pelayanan Medan I dan Medan II dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Sampah Namo Bintang, sedangkan daerah pelayanan Medan III dibuang ke
TPA Sampah Terjun, Marelan, 3 (tiga) wilayah pelayanan dimaksud seperti
pada tabel berikut :

Tabel. 2.9. Wilayah Kebersihan Medan – I

No
1
2
3
4
5
6
7

Kecamatan
Medan Kota
Medan Area
Medan Johor
Medan Amplas
Medan Denai
Medan Polonia
Medan Maimun

Jumlah
Truck
14 Unit
13 Unit
5 Unit
5 Unit
6 Unit
5 Unit
5 Unit

Jumlah
Kelurahan
12
12
6
7
6
5
6

Sumber : Dinas Kebersihan Kota Medan, 2012

Tabel. 2.10.
No
1
2
3
4
5
6
7

Wilayah Kebersihan Medan – II
Jumlah
Kecamatan
Truck

Medan Barat
Medan Petisah
Medan Sunggal
Medan Helvetia
Medan Tuntungan
Medan Selayang
Medan Baru

9 Unit
8 Unit
7 Unit
9 Unit
4 Unit
4 Unit
6 Unit

Jumlah
Kelurahan
6
7
6
7
9
6
6

Sumber : Dinas Kebersihan Kota Medan, 2012

34

Universitas Sumatera Utara

Tabel. 2.11.
No
1
2
3
4
5
6
7

Wilayah Kebersihan Medan – III
Jumlah
Truck

Kecamatan

Jumlah
Kelurahan

Medan Belawan
2 Unit
Medan Labuhan
3 Unit
Medan Marelan
3 Unit
Medan Deli
5 Unit
Medan Timur
10 Unit
Medan Perjuanga
10 Unit
Medan Tembung
7 Unit
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Medan, 2012

6
6
5
6
11
9
4

Dari hasil pendataan Dinas Kebersihan Kota Medan, bahwa jumlah sampah
yang masuk ke TPA sebanyak 1.250-1.280 ton/hari. Pengangkutan sampah
dilakukan sebanyak tiga kali dalam sehari. Seluruh sampah ditumpuk di TPA dan
dibiarkan dipaparkan dipermukaan tanah atau dikelola secara Open Dumping .
Untuk saat ini Dinas Kebersihan kota Medan bekerjasama dengan pihak ketiga
untuk melakukan pengelolaan sampah dan gas metana yang dihasilkan, gas
metana yang timbul akan diubah menjadi sumber energi listrik seperti yang telah
diterapkan di TPA Banter Gebang Jakarta (Dinas Kebersihan Kota Medan).
Secara garis besar sistem pengelolaan dan penanganan sampah kota Medan
sebagai berikut :
a.

Pengumpulan
Pengumpulan sampah dari sumbernya keTPS (Tempat Penampungan
Sementara)

dilaksanakan

oleh

petugas

pengumpul

sampah

dengan

menggunakan alat angkut gerobak sampah dan becak sampah. Proses
pengumpulan sampah dari rumah ke rumah (house to house collection)
dilaksanakan karena jalan masuk yang kecil dan tidak dapat dilalui oleh truk

35

Universitas Sumatera Utara

sampah. Kemudian setelah terkumpul sampah tersebut di tempatkan di tempat
penampungan sementara dan wadah penampung sampah (bak container).
b. Pengangkutan
Pengangkutan sampah dilakukan oleh petugas sampah yang sudah terjadwal
sesuai wilayah operasional masing-masing. Pengangkutan sampah dengan
menggunakan dump truck dilakukan setiap hari dimulai pukul 06.30 Wib. Para
petugas pengakut sampah dengan menggunakan Dump Truk mulai bergerak
dari pool Kantor Dinas Kebersihan Kota Medan menuju daerah pelayanan
masing-masing kelurahan. Waktu pengangkutan diatur tiga kali dalam sehari
yaitu pagi hari pukul 06.30-08.00 WIB dengan menggunakan 157 unit truk
sampah, siang hari pukul 13.00-18.00 WIB menggunakan pickup yang
disebut ambulance sampah sebanyak 6 unit dan jadwal malam hari yang
dimulai dari pukul 19.00-selesai dengan menggunakan 8 unit truk sampah.
Pelayanan pengangkutan sampah yang dilakukan oleh petugas pengangkut
sampah dengan menggunakan Dump Truk/ Arm Rool Truck mendatangi setiap
TPS yang telah ditetapkan. Setiap TPS disediakan bak kontainer dengan
kapasitas atau jumlah volume yang berbeda.
Bak container yang sudah diangkat oleh kendaraan Arm Rool menuju ke
daerah TPA sesuai dengan wilayah operasional pelayanan. Sampah yang akan
dibuang ke lokasi TPA sebelumnya masuk melalui pintu timbang TPA guna
mengetahui berapa besar jumlah sampah yang akan dibuang ke lokasi TPA
tersebut untuk lokasi TPA Terjun, sedangkan di lokasi TPA Namo Bintang
belum memiliki jembatan timbang.

36

Universitas Sumatera Utara

c. Pemusnahan Sampah dan Pengelolaannya
Untuk pembuangan akhir sampah dari seluruh wilayah Kota Medan, Dinas
Kebersihan Kota Medan mengoperasionalkan 2 (dua) lokasi TPA yaitu TPA
Terjun dan TPA Namo Bintang.
TPA Terjun terletak di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan dengan
luas 14 Ha dan dioperasikan mulai tahun 1993. TPA Namo Bintang seluas 17
Ha, beroperasi sejak tahun 1987, terletak di desa Namo Bintang Kecamatan
Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang.
Sistem pengelolaan sampah di dua lokasi TPA tersebut sampai saat ini
menerapkan sistem pembuangan terbuka (Open Dumping System), yaitu sampah
yang masuk ke lokasi TPA tanpa melalui proses tertentu dan langsung di
tumpahkan dari bak container, selanjutnya sampah yang sudah dibuang dari bak
container ditaburkan atau dipaparkan di lokasi TPA dengan mempergunakan
alat berat seperti Buldozer dan Bakchoe.

Sampah yang sudah dilakukan

penyerakan selanjutnya dilakukan pemadatan dengan menggunakan alat berat
Loader. Namun pada saat cuaca panas terik, sampah di lokasi TPA menjadi
kering, pemusnahan sampah kering dilakukan dengan pembakaran di lokasi
TPA. Sedangkan sampah-sampah yang masih memiliki nilai ekonomis seperti
plastik, aluminium, tembaga yang dapat dimanfaatkan kembali diambil oleh para
pemulung yang setiap harinya menggantungkan hidupnya dari lokasi TPA
(Dinas Kebersihan Kota Medan, 2011).

37

Universitas Sumatera Utara

Sumber : Dinas Kebersihan Medan

Gambar.2.5. Alur pengelolaan sampah kota Medan

38

Universitas Sumatera Utara

2.15. TPA Namo Bintang
TPA Namo Bintang berlokasi di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur
Batu Kabupataen Deli Serdang dengan luas areal 176.392 M2. TPA Namo
Bintang beroperasi sejak tahun 1987 dengan sistem open dumping. Kapasitas
sampah terbuang ke TPA Namo Bintang setiap harinya 60% dari jumlah volume
timbulan sampah Kota Medan (Dinas Kebersihan Pemko Medan, 2010).
Topografi TPA Namo Bintang adalah lembah dengan kondisi tanah asal
tanah liat. Jarak lokasi TPA dengan pemukiman penduduk ± 500 M2, dengan
sungai Tuntungan ± 5 Km, dari pantai ± 25 Km dan Pusat Kota ± 15 Km.

Gambar.2.6. Kondisi TPA Namo Bintang dalam rekaman lensa

39

Universitas Sumatera Utara