Pengaruh Keadilan Organisasi dan Modal Psikologis Terhadap Kesiapan Berubah Karyawan PT. Perkebunan Nusantara IV Kantor Pusat Medan

BAB III : Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian,
definisi operasional masing-masing variabel penelitian, populasi
dan metode pengambilan sampel, rancangan penelitian, alat ukur
atau instrumen yang digunakan, uji validitas dan reliabilitas alat
ukur, hasil uji coba alat ukur, prosedur penelitian, dan metode
analisa data.
BAB II
LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan penjelasan mengenai variabel kesiapan
berubah, keadilan organisasi dan modal psikologis yang akan dipakai sebagai
landasan dalam penelitian ini.

A. Kesiapan Berubah
1.

Definisi Kesiapan Berubah

Hanpachern, Morgan & Griego (1998) menyatakan bahwa kesiapan
berubah merupakan sejauh mana karyawan siap dan bersedia secara mental,

psikologis, dan fisik untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengembangan
organisasi. Holt, Armenakis, Feild & Harris (2007) menyatakan bahwa
kesiapan individu untuk berubahmerupakan suatu sikap komprehensif yang
secara simultan dipengaruhi oleh isi (apa yang berubah), proses (bagaimana
13

Universitas Sumatera Utara

perubahan diimplementasikan), konteks (lingkungan dimana perubahan
terjadi), dan individu (karakteristik individu yang diminta untuk berubah)
yang terlibat di dalam suatu perubahan. Kesiapan individu untuk berubah
merefleksikan sejauh mana individu atau sekelompok individu cenderung
untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang
bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.

Holt

(2007)juga

berubahmerupakan


menyatakan

keyakinan

karyawan

bahwa
bahwa

kesiapan
mereka

untuk
mampu

melaksanakan perubahan yang diusulkan (self efficacy)danperubahan yang
diusulkan tersebut tepat untuk dilakukan organisasi (appropiateness), dimana
pemimpin berkomitmen dalam perubahan yang diusulkan (management
support) serta perubahan yang diusulkan akan memberikan keuntungan bagi

anggota organisasi (pesonal benefit). SedangkanBerneth (2004) menyatakan
bahwa kesiapan lebih dari sekedar memahami perubahandan meyakini
perubahan, kesiapan merupakan kumpulan dari pikiran dan intensi menuju
usaha perubahan yang spesifik.

Eby, Adams, Russell, & Gaby (2000) berpendapat bahwa kesiapan
individu untuk berubah adalah keyakinan bahwa perubahan penting untuk
dilakukan dan memiliki kemungkinanberhasil dengan sukses.Armenakiset. al
(1993) mendefinisikan kesiapan untuk berubah sebagai kepercayaan, sikap
dan intensi karyawan bahwa perubahan memang dibutuhkan dan bagaimana
kapasitas organisasi untuk melakukan perubahan tersebut dengan sukses.
14

Universitas Sumatera Utara

Karyawan yang siap untuk berubah percaya bahwa organisasi akan
mengalami kemajuan apabila melakukan perubahan, selain itu mereka
memiliki sikap positif terhadap perubahan organisasi dan memiliki keinginan
untuk terlibat dalam pelaksanaan perubahan organisasi.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas,

dapat disimpulkan bahwa kesiapan untuk berubah adalah sikap komprehensif
yang secara simultan dipengaruhi oleh isi, proses, konteks dan karakteristik
individu yang terlibat di dalam suatu perubahan, yang merefleksikan sejauh
mana kecenderungan individu untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi
rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.

2.

Dimensi Kesiapan Berubah
Holt et.al (2007) mengemukakan bahwa kesiapan untuk berubah
merupakan suatu konstruk multidimensional dan terdiri dari 4 dimensi yaitu :
a. Appropriateness ( Ketepatan untuk melakukan perubahan )

Dimensi ini menjelaskan tentang aspek keyakinan individu bahwa
perubahan yang diajukan akan tepat bagi organisasi dan organisasi akan
mendapat keuntungan dari penerapan perubahan. Individu akan meyakini
adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk
berubah yang diusulkanserta berfokus pada manfaat dari perubahan bagi
perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan dan kongruensi
tujuan perusahaan dengan tujuan perubahan.


15

Universitas Sumatera Utara

b. Change specific efficacy (Rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk

berubah )
Dimensi

ini

menjelaskan

aspek

keyakinan

individu


tentang

kemampuannya untuk menerapkan perubahan yang diinginkan, dimana
ia merasa mempunyai ketrampilan serta sanggup untuk melakukan tugas
yang berkaitan dengan perubahan. Dimensi ini juga menjelaskan tentang
tingkat

kepercayaan

diri

individu

dan

kelompok

untuk

dapat


mensukseskan perubahan yang direncanakan.
c. Management support ( Dukungan manajemen)

Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa
para pemimpin atau manajemen akan mendukung dan berkomitmen
terhadap perubahan yang diusulkan.
d. Personal benefit ( Manfaat bagi individu)

Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan mengenai keuntungan yang
dirasakan secara personal apabila perubahan tersebutdiimplementasikan.

3.

Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Berubah
Armenakis & Harris (2009) menyebutkan ada lima faktor utama yang
dapat mengubah keyakinan diri karyawan untuk mendukung perubahan
dalam organisasi yaitu:
a. Discrepancy : yaitu keyakinan bahwa perubahan itu diperlukan oleh
organisasi.


16

Universitas Sumatera Utara

b. Appropriateness :yaitu adanya keyakinan bahwa perubahan spesifik yang
dilakukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang
dihadapi.
c. Efficacy :yaitu rasa percaya bahwa karyawan dan organisasi mampu
mengimplementasikan perubahan tersebut.
d. Principal support :yaitu persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan
dan berkomitmen dalam pelaksanaan perubahan dan mensukseskan
perubahan organisasi.
e. Personal valance :yaitu keyakinan bahwa perubahan akan memberikan
keuntungan personal bagi karyawan.

Selanjutnya menurut Holt et.al (2007) mengemukakan bahwa
kesiapan karyawan untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga
hal utama yaitu:
a. Change content

Hal ini merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi (misalnya
perubahan sistem administrasi, prosedur kerja, teknologi, atau struktur).
Individu yang terlibat pada pekerjaan tersebut memiliki kebutuhan
pertumbuhan yang kuat dan berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaanya.
Individu tersebut akan lebih siap untuk berubah karena perubahan dapat
memenuhi kebutuhannya untuk terus tumbuh dan berkembang dalam
melakukan prosedur pekerjaaannya.
b. Change process
17

Universitas Sumatera Utara

Hal ini meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang telah
direncanakan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Cunningham,
Woodward, Shannon, MacIntosh, Lendrum, Rosenbloom, & Brown(2002)
menunjukkan bahwa terdapat kaitan adanya kebutuhan untuk berubah
dengan

keyakinan


seseorang

terhadap

kemampuannya

untuk

melaksanakan perubahan dengan sukses.

c. Organizational context
Hal initerkait dengan kondisi atau lingkungan kerja saat perubahan terjadi.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kesiapan
individu untuk berubah diawali oleh persepsi terhadap manfaat perubahan
dan adanya tuntutan dari luar organisasi untuk melakukan perubahan
(Pettigrew, 2002).
Penelitian-penelitian tentang faktoryang mempengaruhi kesiapan
berubah karyawan juga telah banyak dilakukan. Cunningham et.al (2002)
menyatakan terdapat dua faktor yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah,
yaitu faktor individu, yaitu self-efficacy, dan faktor lingkungan organisasi,

yaitu pekerjaan dan dukungan sosial. Faktor lingkungan organisasi seperti
keadilan organisasi dan dukungan organisasi yang ditandai dengan
pengalokasian hasil yang adil, melibatkan karyawan dalam pengambilan
keputusan, komunikasi tentang perubahan yang baik, serta perlakuan positif
atasan terhadap karyawan juga memberikan dampak positif terhadap kesiapan
18

Universitas Sumatera Utara

karyawan untuk berubah (Krause, 2008). Hanpachern, Morgan, & Griego
(1998) juga menemukan bahwa pengetahuan dan skill karyawan, budaya
organisasi, hubungan interpersonal di tempat kerja mempengaruhi kesiapan
berubah karyawan. Selain itu, penelitian mengenai antesenden kesiapan
berubah juga dilakukan oleh Fachruddin & Mangundjaya (2012), ia
menyatakan bahwa modal psikologis merupakan bagian dari aspek positif
individu yang juga mempengaruhi kesiapan berubah karyawan.

B. Keadilan Organisasi
1.

Defenisi Keadilan Organisasi

Cropanzano, Bowen dan Gilliand (2007) menyatakan keadilan
organisasi merupakan anggapan seseorang mengenai kelayakan moral tentang
bagaimana seharusnya individu diperlakukan di dalam organisasi. Kreitner
dan

Kinicki

(2007)

juga

menyatakan

bahwa

keadilan

organisasi

mencerminkan sejauh mana orang merasa bahwa mereka diperlakukan secara
adil di tempat kerja.Pendapat yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan
olehParker dan Kohlmeyer (2005) yang menyatakan keadilan organisasional
merupakan persepsi anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka
alami dalam organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait
dengan alokasi penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa
keadilan akan muncul ketika otoritas organisasi konsisten dan tidak bias
dalam pengambilan keputusan organisasi terutama terkait dengan alokasi gaji
19

Universitas Sumatera Utara

dan promosi. Aturan organisasi yang tidak konsisten dan bias terhadap
individu adalah suatu tindakan diskriminasi, sehingga muncul rasa
diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu. Colquitt (2001)
menggunakan definisi Greenberg dalam menjelaskan mengenai keadilan
organisasi, Greenberg (1990) menyatakan bahwa keadilan organisasi ialah
persepsi karyawan tentang keadilan dalam organisasi, yang terkait dengan
cara-cara

yang

tepat

untuk

mendistribusikan

hasil

dan

tentang

memperlakukan orang lain dengan baik.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Keadilan
Organisasi merupakan persepsi karyawan tentangkesimbangan hasil kerja
(gaji, bonus, perlakuan, persebaran informasi atau adanya promosi jabatan)
dengan kontribusi yang karyawan berikan kepada organisasi, dan tentunya
demi kepentingan organisasi.

2. Dimensi keadilan organisasi
Menurut Colcuitt(2001)dimensi keadilan organisasi yaitu :
1. Keadilan Distributif
Keadilan distributif mengacu pada persepsi karyawan terhadap
keadilan yang berhubungan dengan imbalan dan hasil yang bernilai
lainnya yang didistribusikan dalam organisasi. Persepsi keadilan distributif
mempengaruhi kepuasan individu dengan berbagai pekerjaan yang
berhubungan dengan hasil seperti gaji, tugas kerja, pengakuan, dan
kesempatan untuk kemajuan.
20

Universitas Sumatera Utara

2. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural adalah persepsi karyawanterhadap keadilan
yang digunakan untuk menentukan berbagai hasil. Misalnya, kinerja
karyawan dievaluasi oleh seseorang sangat akrab dengan pekerjaan yang
sedang dilakukan. Ketika pekerja menganggap keadilan prosedural tinggi,
mereka akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan,
mengikuti aturan, dan menganggap hasil yang relevan adalah adil. Tetapi
jika para pekerja merasa ketidakadilan prosedural, mereka cenderung
menarik diri dari kesempatan untuk berpartisipasi, untuk kurang
memperhatikan aturan dan kebijakan, dan menganggap hasil yang relevan
adalah tidak adil.

3. Keadilan interpersonal
Keadilan Interpersonal terkait dengan bagaimana mereka diperlakukan
oleh orang lain dalam organisasi mereka. Misalnya, seorang karyawan
diperlakukan oleh pimpinan dengan bermartabat dan hormat.Pemimpin
juga menyediakan informasi secara tepat waktu, dan selalu terbuka dan
jujur

dalam

hubungannya

dengan

bawahan.

Bawahan

akan

mengekspresikan keadilan interpersonal yang tinggi. Tetapi jika pemimpin
memperlakukan bawahannya dengan kurangnya hormat, dan menahan
informasi penting, sering ambigu atau tidak jujur dalam hubungannya
dengan bawahan, ia akan mengalami ketidakadilan interpersonal. Jika
21

Universitas Sumatera Utara

karyawan mengalami keadilan interpersonal, karyawan cenderung untuk
membalas dengan memperlakukan orang lain dengan hormat dan
keterbukaan. Tetapi jika karyawan mengalami ketidakadilan interpersonal,
karyawan mungkin akan berlaku kurang hormat, dan cenderung kurang
mengikuti arahan dari pemimpin.

4. Keadilan informasional
Keadilan informasional mengacu pada keadilan yang dirasakan dari
informasi yang digunakan untuk sampai pada keputusan. Jika seseorang
merasa bahwa manajer membuat keputusan berdasarkan informasi yang
relatif lengkap dan akurat, dan informasi itu tepat diproses dan
dipertimbangkan, orang tersebut kemungkinan akan mengalami keadilan
informasi. Tetapi jika orang merasa bahwa keputusan itu didasarkan pada
informasi yang tidak lengkap dan tidak akurat dan/atau informasi penting
diabaikan, individu akan mengalami kurangnya keadilan informasi.

3. Dampak keadilan organisasi
Persepsi keadilan di dalam organisasi mempunyai dampak bagi
organisasimaupun pegawai. Dampak tersebut antara lain adalah:
1) Agresi di tempat kerja
22

Universitas Sumatera Utara

Menurut Henny (2005), menyatakan bahwa persepsi tentang keadilan
organisasimempunyai hubungan dengan tingkat aggresivitas di tempat
kerja. Semakinrendah persepsi tentang keadilan organisasi, semakin
tinggi

tingkat

aggresivitaspegawai,

seperti:

mencemooh

organisasi/atasan, berkata kasar, merusak bendabendadi sekitar.
2) Kesiapan untuk berubah
Menurut Krause (2008), persepsi keadilan di organisasi mempunyai
pengaruhterhadap kesiapan pegawai menghadapi perubahan. Pegawai
yangmempersepsikan adanya keadilan di organisasi cenderung lebih
siap menghadapiperubahan.
3) Kepuasan kerja
Menurut Samad (2006), bahwa keadilan organisasi memiliki
hubungan positifdan signifikan terhadap kepuasan kerja. Semakin
tinggi persepsi keadilanorganisasi, maka semakin tinggi kepuasan
kerja.Persepsi tentang keadilanmembuat pegawai merasa puas dengan
rekan kerja, gaji, atasan, dan tugas yangdiberikan kepadanya.
4) Komitmen organisasi
Keadilan organisasi mempunyai hubungan positif terhadap komitmen
organisasi.semakin tinggi keadilan organisasi, maka semakin tinggi
komitmen pegawaiterhadap organisasi

(Samad, 2006).Hal

ini

disebabkan adanya komitmen dari organisasi memperlakukan diri
pegawai secara adil.Sebagai balasannya, pegawaipun berkomitmen
terhadap organisasinya.
23

Universitas Sumatera Utara

C. Modal psikologis
1.

Definisi Modal psikologis
Menurut Luthans et al. (2007), modal psikologis atau yang sering
dikenal dengan psychological capitalmerupakan kondisi perkembangan
positif seseorang yang dikarakteristikan dengan adanya: self efficacy yaitu
keyakinan atau kepercayaan diri untuk menghadapi tugas-tugas yang
menantang dan memberikan usaha yang cukup untuk berhasil dalam tugas
tersebut; optimism yaitu membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di
masa kini dan masa depan; hope yang ditandai dengan tidak mudah menyerah
dalam mencapai tujuan dan bila perlu mencari alternatif lain untuk mencapai
tujuan; dan resiliency yaitu kemampuan untuk bertahan dan bangkit kembali
ketika dihadapkan pada permasalahan dan hambatan.
Kristiawan & Yunanto (2013) menguraikan lebih lanjut bahwa dalam
kaitannya dengan keadaan di tempat kerja, self efficacy didefinisikan sebagai
keyakinan dan kepercayaan individu tentang kemampuannya untuk
24

Universitas Sumatera Utara

menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif dan latihan tindakan yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu. Self efficacy membantu
individu dalam menghadapi hambatan dan coping terhadap stres. Optimism
adalah orientasi mencapai tujuan ketika hasil yang diinginkan mempunyai
nilai yang dianggap tinggi. Optimism sebagai suatu gaya atribusi yang
menjelaskan tentang suatu keadaan positif dan negatif yang berkaitan dengan
titik pandang seseorang secara umum. Orang yang optimis menganggap
situasi negatif sebagai faktor eksternal, temporal, sebaliknya orang yang
pesimis menganggap situasi negatif sebagai faktor internal, konstan dan
umum. Hope adalah suatu keadaan motivasional termasuk di dalamnya
keyakinan untuk dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Hope merupakan
suatu kondisi motivasi positif yang didasarkan pada pencapaian tujuan. Hal
ini melibatkan proses mengidentifikasi tujuan secara personal, mencari
berbagai macam cara untuk mencapainya dan menyediakan sumber daya
untuk mencapai tujuan. Resiliency didefenisikan sebagai suatu kemampuan
psikologis untuk membalikkan keadaan dari konflik dan kegagalan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa modal
psikologisadalah sumber daya psikologis positif dalam diri individu yang
berperan dalam upaya mencapai kesuksesan pada tugas yang menantang,
optimis untuk sukses, tekun karena adanya harapan untuk sukses dan tetap
bertahan meski menghadapi kesulitan.

2.

Latar Belakang Munculnya Modal psikologis
25

Universitas Sumatera Utara

Luthans (2002) menjelaskan bahwa konsep modal psikologisberawal
dari pembahasan tentangPositive Organizational Behavior (POB), yaitu studi
dan aplikasi mengenai kekuatan sumber daya positif dan kapasitas psikologis
yang dapat diukur, dikembangkan, dan diatur demi perkembangan perfomansi
individu di tempat kerja. Kapasitas psikologis yang dimaksud berbeda dengan
traits yang sering dianggap bersifat genetik dan menetap namun cenderung
lebih elastis sehingga dapat mengalami perubahan sepanjang masa hidup
seseorang tergantung pada faktor situasional, seperti pengaruh perubahanperubahan tertentu dalam hidup atau pengalaman menjalani psikoterapi yang
ekstensif (Avolio & Luthans, 2006; Linley & Joseph, 2004).Oleh karena itu,
sumber daya positif maupun kapasitas psikologis individu dapat ditingkatkan
melalui program-program pelatihan yang relatif singkat, seperti on-the-job
activities, microinterventions (Luthans, Avey, et al., 2006).
Positive Organizational Behavior muncul sebagai salah satu
pendekatan yang diciptakan dengan tujuan untuk mengubah teori perilaku
organisasi tradisional yang sebagian besar menekankan pada pembahasan
mengenai pemimpin yang tidak efektif, stress dan konflik, sikap dan perilaku
disfungsional dan sebagainya. Pendekatan tradisional mengarahkan pada cara
yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari hal-hal yang bersifat
negatif yang akhirnya kurang memberikan kontribusi pemahaman mengenai
cara memanfaatkan sumber daya positif yang ada untuk memperbaiki
keadaan. Akibatnya, hasil yang diperoleh dari pendekatan tradisional hanya
mampu memberikan solusi bagi organisasi beserta anggotanya yang berguna
26

Universitas Sumatera Utara

cukup untuk mempertahankan performansi rata-rata selama jangka waktu
tertentu.Sedangkan pada masa sekarang performansi yang hanya di ambang
rata-rata tidak lagi memadai untuk berada di lingkungan yang sangat
kompetitif (Avolio & Luthans, 2006).Berdasarkan alasan tersebut maka
muncullah pendekatan bersifat positivistik yang berusaha menggali dan
meningkatkan sumber daya positif yang dimiliki individu, yang kemudian
dikenal dengan modal psikologis.

3.

DimensiModal psikologis
Menurut Luthans, Youssef & Avolio (2007), modal psikologis terdiri
dari empat dimensi yaitu hope, optimism, self efficacy dan resiliency.
Luthans et al (2007) menggambarkan hope sebagai suatu keadaan
motivasional yang positif untuk mencapai kesuksesan yang merupakan hasil
interaksi energi yang diarahkan ke sasaran (agency) dan rencana untuk
mencapai sasaran (pathways). Individu dengan tingkat hope yang tinggi tidak
hanya jelas akan sasaran yang ingin diraih, namun juga jelas mengenai jalur
yang akan dijalani untuk meraih sasaran tersebut serta telah memikirkan jalur
alternatif yang dapat diambil jika menghadapi gangguan atau masalah di
tengah prosesnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yungsiana, Widyarini &
Silviandari (2013) juga menyatakan bahwa individu yang memiliki harapan
yang tinggi cenderung termotivasi dan lebih percaya diri dalam mengambil
tugas, memiliki energi dan keinginan yang kuat serta determinasi yang tinggi

27

Universitas Sumatera Utara

untuk memenuhi harapannya, dan cenderung memiliki cara alternatif ketika
hambatan muncul, sehingga menghasilkan kinerja yang lebih tinggi.
Optimism digambarkan Luthans et al (2007) sebagai suatu ekspektasi
positif ke depan yang terbuka terhadap pengembangan. Yungsiana et al
(2013) menyatakan bahwa individu yang optimis memiliki harapan bahwa
hal-hal baik akan terjadi pada dirinya, tidak mudah menyerah dan biasanya
cenderung memiliki rencana tindakan dalam kondisi sesulit apapun. Mereka
berusaha menggapai harapan dengan pemikiran yang positif, bekerja keras
dalam menghadapi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif, memiliki
impian untuk mencapai tujuan, berjuang sekuat tenaga, tidak ingin duduk
berdiam diri menanti keberhasilan yang akan diberikan oleh orang lain, ingin
melakukan sendiri

segala

sesuatunya

dan tidak ingin memikirkan

ketidakberhasilan sebelum mencoba, dan berpikir yang terbaik.
Self Efficacy digambarkan Luthans et al (2007) sebagai keyakinan
seseorang tentang kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber
daya kognitif dan tindakan yang dibutuhkan agar sukses dalam melaksanakan
suatu tugas spesifik. Yungsiana et al (2013) menyatakan bahwa individu yang
memiliki self efficacy tinggi, yakin bahwa dirinya mampu menangani secara
efektif peristiwa dan situasi yang dihadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas,
percaya pada kemampuan diri yang dimiliki, memandang kesulitan sebagai
tantangan bukan ancaman, suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri
tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap
dirinya, menanamkan usaha yang kuat terhadap apa yang dilakukannya dan
28

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan usaha pada saat menghadapi kegagalan, fokus pada tugas dan
memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, dan menghadapi stressor
atau ancaman dengan keyakinan bahwa dirinya mampu mengontrolnya.
Resiliency digambarkan Luthans et al (2007) sebagai kapasitas untuk
mengatasi atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan atau
tanggung jawab yang meningkat.Yungsiana et al (2013) menyatakan individu
yang memiliki resiliency yang tinggi biasanya cepat memulihkan rasa mampu
setelah mengalami kegagalan.

D. Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap kesiapan berubah karyawan
Untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan perubahan, organisasi
harus senantiasa berada dalam keadaan yang siap untuk berubah. Namun
kesiapan organisasi untuk berubah juga perlu didukung oleh karyawan yang
terbuka, mempersiapkan diri dengan baik, dan siap untuk berubah (Eby et.al.,
2000). Banyak peneliti menemukan bahwa kesiapan berubah karyawan
merupakan faktor penting dalam keberhasilan melakukan perubahan
(Berneth, 2004). Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan oleh
organisasi ketika menghadapi proses perubahan ialah memastikan bahwa
setiap karyawan memiliki kebutuhan dan kesiapan untuk berubah (Fernandez
& Renay, 2006). Karyawan yang dinyatakan siap untuk mengikuti perubahan
akan menunjukkan prilaku menerima, merangkul dan mengadopsi rencana
perubahan yang dilakukan (Holt, 2007). Ada banyak faktor yang
mempengaruhi kesiapan berubah karyawan dalam menghadapi perubahan
29

Universitas Sumatera Utara

organisasi, salah satunya ialah keadilan organisasi (Krause, 2008). Keadilan
organisasi meliputi persepsi anggota organisasi terhadap kondisi keadilan
yang mereka alami di organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang
terkait dengan alokasi penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi
(Parker & Kohlmeyer, 2005). Dengan perlakuan adil tersebut, membuat
karyawan merasa dihargai hak-haknya. Hal tersebut akan membuat karyawan
memandang positif dan menghormati organisasi tempatnya bekerja. Ketika
karyawan hormat dengan organisasinya, karyawan akan ikut menyukseskan
program yang ada di organisasi. Begitu juga halnya dengan perubahan yang
akan terjadi di organisasi, karyawan akan menerima dan siap untuk mengikuti
perubahan tersebut (Krause, 2008).
Folger dan Cropanzano (1998) menjelaskan bahwa keadilan
organisasi merupakan motivator penting dalam suatu lingkungan pekerjaan.
Ketika individu merasakan suatu ketidakadilan, moral mereka akan turun,
kemungkinan untuk meninggalkan pekerjaannya menjadi lebih besar, dan
bahkan mungkin membalas dendam terhadap organisasinya, sedangkan
dampak yang diperoleh perusahaan bila karyawan merasakan ketidakadilan
adalah menurunnya kinerja, demo karyawan, tingginya tingkat kemangkiran
dan turnover karyawan (Budiarto et al., 2005).Disisi lain, Fatimah (2011),
Sareshkeh (2012), dan Taheri (2013) menemukan bahwasemakin besar rasa
keadilan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan rasa kepuasan pada
pekerjaan yang dimiliki orang tersebut.

30

Universitas Sumatera Utara

Penelitian tentang keadilan organisasi ini memang telah lama
dilakukan.Keadilan organisasi dianggap sebagai determinan penting bagi
perilaku dan sikap kerja (Cohen-Charash &Spector, 2001; Colquitt et al.,
2001). Berbagai macam kasus yang berkaitan dengan keadilan organisasi juga
sudah banyak muncul sebagai akibat ketidakpuasan atas keputusan yang telah
dihasilkan oleh pihak manajemen yang dirasakan tidak adil oleh karyawan.
Tidak heran jika kemudian bermunculan aksi demonstrasi buruh atau
karyawan perusahaan yang menuntut keadilan, seperti tuntutan kualitas hidup
layak (22%), peningkatan jaminan sosial (25%) dan kenaikan upah (56%) dan
lain sebagainya (Effendi, 2015).
E. Pengaruh modal psikologis terhadap kesiapan berubah karyawan
Kesiapan individu dalam menghadapi perubahan merupakan hal penting
yang harus diperhatikan dalam setiap proses perubahan. kesiapan individu inilah
yang mampu menjembatani strategi manajemen perubahan dengan keluaran yang
diharapkan, yaitu kesuksesan implementasi strategi (Palmer et al., 2009). Salah
satu faktor yang mempengaruhi kesiapan berubah karyawan ialah modal
psikologis (Fachruddin & Mangundjaya, 2012).
Ashford (1989) menyebutkan bahwa karyawan dengan tingkat self efficacy
yang tinggi lebih mampu dalam menghadapi stres yang terjadi saat perubahan
organisasi daripada karyawan dengan self efficacy rendah.

self efficacyyang

merupakan salah satu dimensi dari modal psikologis diketahui memiliki hubungan
yang positif dengan proses adaptasi terhadap perubahan, dimana individu menjadi
lebih terbuka menghadapi perubahan, lebih persisten, mempelajari tugas-tugas
31

Universitas Sumatera Utara

baru, inisiatif dan mengambil aktivitas-aktivitas pengembangan diri (Hornung &
Rousseau, 2007). Penelitan Shafirine (2015) tentang kesiapan berubah juga
menemukan bahwa hope (harapan) sebagai bagian dari dimensi modal psikologis
memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kesiapan karyawan untuk
berubah karena karyawan yang memiliki hope tinggi mampu membuat strategi
baru untuk tetap mencapai tujuan organisasi. Wenberg & Banas (2000) juga
menyatakan bahwa resiliensi personal (self esteem, optimism, perceived control)
dan self efficacy memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan berubah. Ia
juga menyebutkan bahwa karyawan yang optimis, memiliki self esteem dan self
control yang lebih tinggi akan lebih siap dalam menghadapi perubahan.
Penelitian mengenai kesiapan berubah juga

dilakukan oleh Avey,

Wernshing & Luthans (2008) yangmenyatakan bahwa karyawan dengan
tingkatmodal psikologis yang tinggi akan menunjukkan emosi yang positif yang
pada gilirannya akan berkaitan dengan keterlibatan yang lebih tinggi selama
proses perubahan organisasi dilakukan dan mengurangi pandangan negatif mereka
terhadap perubahan tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa modal
psikologis memiliki pengaruh positif terhadap kesiapan berubah karyawan,
semakin tinggi tingkat modal psikologis karyawan, maka semakin tinggi pula
kesiapan karyawan untuk berubah.

F. Pengaruh keadilan organisasi dan modal psikologis terhadap kesiapan
berubah karyawan
32

Universitas Sumatera Utara

Adanya perubahan lingkungan yang terus menerus, membuat organisasi
harus terus berusaha beradaptasi dengan baik untuk bisa bertahan.Lizar,
Mangundjaya & Rachmawan (2015) menyatakan bahwa kegagalan yang sering
dialami organisasi dalam menghadapi perubahan dikarenakan banyak perusahaan
yang hanya berfokus padastrategi implemantasi perubahan, tetapi sering
mengabaikan level individu.Sejalan dengan pendapat tersebut, Smith (2005) juga
menyatakan bahwa dalam mengelola perubahan organisasi, aspek manusia
merupakan yang terpenting untuk di diperhatikan.Pentingnya faktor individu
membuat organisasi harus terus berusahamempersiapkan dan memotivasi
karyawannya

dalam

menghadapi

perubahan(Periantalo

&

Mansoer,

2008).Madsen, Miller, & John (2005) menambahkan bahwa perubahan organisasi
tidak

akan

berjalan

efektif

tanpa

persiapan

dari

para

karyawannya.

Kesiapanberubah karyawan adalahfaktor penting bagi kesuksesan perubahan
organisasi (Berneth, 2004).Kesiapan karyawan sebagai pendorong tercapainya
efektivitas dalam perubahan organisasi. Jika karyawan tidak percaya bahwa
perubahan tersebut diperlukan atau karyawan melihat bahwa perusahaan tidak
mampu melakukan perubahan tersebut, maka proses perubahan akan mengalami
kegagalan (Armenakis et.al,1993).
Dalam menciptakan kesiapan individu menghadapi perubahan, organisasi
harus mengetahui faktor faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kesiapan
berubah karyawan. salah satunya ialah keadilan organisasi. penelitian yang
dilakukan oleh Krause (2005) menyatakan bahwa keadilan organisasi menjadi
salah satu aspek yang mempengaruhi kesiapan berubah karyawan. Ivancevic
33

Universitas Sumatera Utara

(2005) juga menambahkan bahwa karyawan akan memberikan apa yang ada
dalam dirinya kepada organisasi, dan sebaliknya ia juga akan menuntut supaya
organisasi memberikan apa yang menjadi keinginannya. Furhman (2002)
menyatakan bahwa keadilan didalam organisasi harus menjadi akar dan budaya
organisasi.Keadilan di organisasi ini ditandai dengan pengalokasian gaji yang
adil, karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, perlakuan sopan atasan
dan bawahan serta terdapat kejelasan informasi didalam organisasi (Rego &
Cunha, 2006).Dengan perlakuan adil tersebut, membuat karyawan merasa
dihargai hak-haknya. Hal tersebut akan membuat karyawan memandang positif
dan menghormati organisasi tempatnya bekerja. Ketika karyawan hormat dengan
organisasinya, karyawan akan ikut menyukseskan program yang ada di
organisasi. Begitu juga halnya dengan perubahan yang akan terjadi di organisasi,
karyawan akan menerima dan siap untuk mengikuti perubahan tersebut (Krause,
2008). Banyak penelitian lain yang menunjukkan ketika persepsi karyawan akan
keadilan tinggi, maka sikap dan prilaku positif karyawan juga semakin
meningkat(Azhariman, 2014). Keadilan organisasi menjadi sangat penting karena
memiliki hubungan dengan proses organisasi seperti komitmen, motivasi,
kepuasan kerja dan kinerja (Eberlin & Tatum, 2005 ; Elanain, 2010).
Selain keadilan organisasi, Holt et.al (2007) menyebutkan bahwa salah
satu

faktor

yang

jugamempengaruhi

kesiapan

berubah

karyawan

adalahkarakteristik pribadi dari individu tersebut. Karakteristik individu yang
sangat mempengaruhi prilaku dan sikap individu adalah ciri pribadi atau ciri
psikologis yang bersikap positif yang dapat membantu individu tersebut untuk
34

Universitas Sumatera Utara

berkembang.

Ciri

psikologis

tersebut

kemudian

dikenal

dengan

nama

psychological capital atau modal psikologis yang terdiri dari self-efficacy,
optimism,

hopedan resilience (Luthan et.al 2007).Beberapa penelitian yang

dilakukan terkait dengan modal psikologis menunjukkan pengaruh yang positif
terhadap kesejahteraan hidup karyawan (Avey et al., 2009).Lazarus (2003) juga
menyatakan bahwa modal psikologis merupakan salah satu sumber kritikal yang
diperlukan oleh para pekerja untuk menangani peristiwa yang mendatangkan stres
di tempat kerja serta dapat meminimumkan simptom-simptom stres.Ia juga
menyatakan bahwa modal psikologis memainkan peranan penting terkait dengan
penilaian

subjektif

karyawan

terhadap

kondisi

kerjanya.

lainjugadilakukan oleh Fachruddin & Mangundjaya (2012). Ia

Penelitian
menyatakan

bahwa modal psikologis dan workplace wellbeing memiliki hubungan yang
positif dengan kesiapan berubah individu, namun modal psikologis memiliki
hubungan yang lebih kuat dibandingkan workplace wellbeing.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa terdapat pengaruh
positif antara keadilan organisasi dan modal psikologisterhadap kesiapan berubah
karyawan.

G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan diatas, peneliti
mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : Ada pengaruh positif keadilan organisasi terhadap kesiapan berubah.
H2 : Ada pengaruh positif modal psikologisterhadap kesiapan berubah.
35

Universitas Sumatera Utara