Distribusi Senyawa Polyisoprenoid Pada Organ Generatif Tiga Jenis Mangrove Ikutan

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Hutan mangrove biasanya juga disebut hutan payau karena tumbuh di
daerah payau atau juga disebut hutan bakau apabila jenis ini dominan di suatu
daerah. Namun istilah hutan bakau kurang tepat untuk penyebutan hutan
mangrove karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan
yang ada di mangrove (Noor et al, 1999). Hutan mangrove terdistribusi di wilayah
pasang surut antara laut dan tanah di daerah tropis dan subtropis di dunia antara
sekitar 30° LU dan 30° LS. Distribusi global hutan mangrove diyakini dibatasi
oleh arus laut utama dan suhu 20 °C isoterm air laut di musim dingin. Hutan
biasanya terdistribusi dari permukaan laut sampai ke pasang di musim semi
tertinggi (Alongi, 2009)
Luas hutan mangrove Indonesia sekitar 3,1 juta ha atau 22,6% dari luas
total mangrove dunia (Giri et al, 2011). Mangrove adalah tanaman dikotil yang
hidup di habitat payau. Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji
berbelah dua. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis
pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di
air asin (Suryono, 2013).
Mangrove dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Pertama,
mangrove sejati yang terbatas pada daerah intertidal antara tingkat air yang tinggi
dari pasang surut musim semi. Spesies tanaman mangrove sejati setidaknya

memiliki 20 famili yang berbeda. Sekitar 80 spesies mangrove sejati
pohon/tumbuhan bawah diakui, yang mana 50-60 spesies membuat kontribusi
yang signifikan terhadap struktur hutan mangrove. Kedua, spesies mangrove

Universitas Sumatera Utara

minor dibedakan oleh ketidakmampuannya untuk membentuk elemen mencolok
dari vegetasi dan jarang membentuk komunitas murni. Ketiga, mangrove
ikutan/asosiasi adalah spesies tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, dimana
tidak ditemukan secara eksklusif di daerah yang dekat dengan mangrove dan
mungkin ada hanya di vegetasi transisi dan daerah yang dekat ke darat dan yang
mengarah ke laut (Bandaranayake, 2002).
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok,
yakni: (1) Flora mangrove mayor (flora mangrove sejati), yakni flora yang
menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk
tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara
morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas)
terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam
mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa. (2) Flora mangrove

sejati minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni,
sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas,
contohnya Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum,
Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera. (3) Mangrove
asosiasi, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan
lain-lain.
Hutan mangrove di Sumatera Utara terkonsentrasi pada wilayah pantai
timur Sumatera Utara, umumnya ditemukan di Suaka Margasatwa Karang Gading
dan Langkat Timur di kabupaten Deli Serdang dan Langkat, serta di Batu Bara,

Universitas Sumatera Utara

Tanjung Balai, Asahan, Labuhanbatu hingga kawasan mangrove di Serdang
Bedagai (Basyuni et al, 2014, 2015).
Senyawa Metabolit Sekunder Pada Mangrove
Bahan alam dibedakan menjadi dua berdasarkan fungsi terhadap makhluk
hidup pembuatnya yakni metabolit primer dan metabolit sekunder (Saifudin,
2012). Metabolit, beberapa dengan struktur kimia baru, dan milik keragaman
'kelas kimia', telah ditandai dari mangrove dan mangal ikutan. Bahan kimia seperti
asam amino, karbohidrat dan protein, adalah produk dari metabolisme primer dan

sangat penting untuk pemeliharaan proses kehidupan, sementara yang lain seperti
alkaloid, fenolat, steroid, terpenoid, adalah produk dari metabolisme sekunder dan
memiliki toksikologi, farmakologi dan ekologi penting (Bandaranayake, 2002).
Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang dihasilkan tumbuhan
yang tidak memiliki fungsi langsung pada fotosintesis, pertumbuhan atau
respirasi, transport solut, translokasi, sintesis protein, asimilasi nutrien,
diferensiasi, pembentukan karbohidrat, protein dan lipid. Metabolit sekunder yang
merupakan hasil samping atau intermediet metabolisme primer:


Berperan penting pada dua strategi resistensi, yaitu: a) level struktur, phenyl
propanoid adalah komponen utama dinding polimer lignin dan suberin, b)
menginduksi antibiotik pertahanan yang berasal dari fenolik dan terpenoid
(fitoaleksin)



Melindungi tumbuhan dari gangguan herbivor dan menghindari infeksi yang
disebabkan oleh patogen mikrobia. Tumbuhan menggunakan metabolit
sekunder sebagai antibiotik atau agen sinyal selama interaksi dengan patogen




Menarik polinator dan hewan penyebar biji

Universitas Sumatera Utara





Berperan sebagai agen kompetisi antar tanaman
Memberikan kontribusi yang bernilai terhadap hubungan antara tumbuhan dan
lingkungannya (Mastuti, 2016).
Distribusi metabolit sekunder pada tanaman jauh lebih terbatas daripada

metabolit primer; sering hanya ditemukan di beberapa spesies, atau bahkan dalam
beberapa varietas dalam satu spesies. Produksi senyawa ini sering rendah (kurang
dari 1% berat kering (DW), dan itu sangat tergantung pada spesies tanaman dan
fisiologis tanaman dan tahap perkembangan. Namun, hal ini juga diketahui bahwa

kandungan metabolit sekunder sering rendah pada tanaman liar dan tanaman yang
dibudidayakan (Zhong, 2011).
Tumbuhan mangrove telah lama dikenal sebagai sumber senyawa
fitokimia atau senyawa akif biologis (Bandaranayake, 2002). Tanaman
memeroduksi berbagai macam metabolit sekunder yang berguna dalam
interaksinya dengan lingkungan, berbagai tekanan lingkungan serta dalam
pengembangan ketahanan terhadap serangan dari luar. Metabolit sekunder
merupakan sumber daya yang luas dari molekul komplek dan dapat dimanfaatkan
untuk farmakologi dan property lainnya. Selain itu, telah ditemukan bahwa
tanaman menghasilkan metabolit sekunder dalam merespon berbagai factor
eksternal (Parida and Das, 2005).
Komponen-komponen tumbuhan saat ini dapat diketahui dan digunakan
sebagai penanda (marker) bagi penentuan jenis tumbuhan. Wiryowidagdo (2007)
menyatakan bahwa pengetahuan tentang kandungan komponen tumbuhan
berkembang dengan sangat pesat karena berkembangnya metode ekkstraksi,
isolasi, dan karakterisasinya. Hal ini mendorong berkembangnya suatu bidang

Universitas Sumatera Utara

baru yang disebut kemotaksonomi (chemotaxonomy) atau sistematik kimia

(chemosistematic)

yang

mengarah

ke

pembagian

kandungan

tumbuhan

berdasarkan taksa tumbuhan (plant taxa) (Mentzer, 1966; Swain, 1966; Alston
dan Turner, 1963; Harborne, 1968; Mabry qt al, 1968; Fowden, 1972). Walaupun
beberapa metabolit selama ini diketahui tersebar di dalam berbagai tumbuhan,
misalnya alkaloid dan isoprenoid telah dapat diisolasi dari berbagai genus, spesies,
suku, atau ordo. Dengan kata lain, isi kandungan tumbuhan dianggap sebagai
tanda bagi evolusi dan klasifikasi tumbuhan.

Polyisoprenoid Alkohol
Polyisoprenoid alkohol adalah metabolit sekunder bersama dengan sterol,
ubiquinon, dan isoprenoid, yang membentuk kelas terbesar dari senyawa
metabolit sekunder (Oku et al, 2003). Polyisoprenoid alkohol merupakan
kelompok polimer hidrofobik yang terdistribusi luas di alam. Polyisoprenoid
alkohol adalah linear unit polimer lima rantai karbon terdapat di hampir semua sel
hidup. Rantai panjang polyisoprenoid telah terjadi di berbagai jaringan tanaman
(Swierzewski dan Danikiewicz, 2005). Juga terdistribusi luas dari bakteri hingga
ke mamalia (Surmacz, 2011). Polyisoprenoid alkohol diklasifikasikan ke dalam
dua kelompok menurut strukturnya, yaitu dolichols dan polyprenols (Kania et al,
2011).
Polyisoprenoids ditemukan dalam sel-sel dan jaringan dalam berbagai
bentuk yang berbeda. Hadir sebagai alkohol bebas atau esterifikasi dengan asetat
atau asam lemak (Krag, 1998; Basyuni, 2016). Polyisoprenoids rantai panjang
juga terlibat sebagai perantara penting dalam pembentukan peptidoglikan dinding
sel (polyprenols) dan asparagin terkait glikoprotein (dolichol) (Rip et al, 1985).

Universitas Sumatera Utara

Dolichol mewakili keluarga lipid polyisoprenoid memiliki 16-22 unit isoprena,

sebagian besar dalam konfigurasi cis, dengan α-isoprena unit jenuh (Sagami et al,
1992).
Peran polyisoprenoids dalam jaringan tua belum dapat dijelaskan.
Akumulasi berlebihan polyprenol/dolichol biasanya dianggap sebagai indikator
asosiasi lipid dengan kondisi stres tertentu (Surmacz, 2011). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Basyuni (2016) bahwa dolichol mendominasi
dalam enam belas dari dua puluh satu jaringan mangrove yang diteliti, yaitu pada
daun dan akar. Oleh karena itu, kemunculan jumlah dolichol yang lebih besar
bahkan dalam daun tanaman mangrove, menunjukkan bahwa polyprenol tidak
memainkan peran penting dalam beberapa daun mangrove, meskipun fungsi
polyprenol di dunia tanaman masih belum jelas.
Reproduksi spesies yang spesifik dari spektrum polyprenol pada jaringan
fotosintesis

tanaman

menghasilkan

pada


pertimbangannya

sebagai

kemotaksonomi penanda tanaman (Swiezewska dan Danikiewicz, 2005).
Rantai panjang dolichol bervariasi dari jaringan ke jaringan bahkan untuk
spesies yang sama, dan muncul untuk membentuk dominasi keluarga yang
berbeda dengan spesies molekul. Polyprenol juga terjadi sebagai satu atau dua
famili polyprenol tergantung pada jenis tanaman dan jaringan (Tateyama et al,
1999).
Perbedaan panjang rantai polyisoprenoid dapat diakibatkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah peningkatan umur (penuaan jaringan) (Swiezewska et
al, 2005), cekaman salinitas (Oku et al, 2003), perbedaan jaringan (Tateyama et

Universitas Sumatera Utara

al, 1999; Surmacz dan Swiezewska, 2011) dan cahaya (Swiezewska et al, 2005;
Basyuni et al, 2012a).
Metode Kromatografi
Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan yang mana analit-analit

dalam sampel terdistribusi antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase
diam dapat berupa bahan padat atau porus dalam bentuk molekul kecil, atau
dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada
dinding kolom. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan (Rohman, 2009). Menurut
Bintang (2010) kromatografi merupakan suatu teknik analisis biokimia
berdasarkan metode pemisahan yang memerlukan waktu relatif singkat dan tidak
membutuhkan alat yang rumit dibandingkan dengan metode pemisahan lainnya.
Berdasarkan

pada

mekanisme

pemisahannya,

kromatografi

dapat

dibedakan-bedakan menjadi beberapa macam. Pada penelitian ini, jenis

kromatografi yang digunakan adalah bagian dari kromatografi adsorpsi, yaitu
kromatografi lapis tipis. Kromatografi adsorpsi adalah suatu teknik pemisahan
atau pemurnian senyawa kimia yang didasarkan pada interaksi yang didominasi
oleh mekanisme adsorpsi dari komponen dalam sampel relatif terhadap fase diam
dan fase gerak (Bintang, 2010).
KLT dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah. Metode ini
sangat cepat dan dapat dilakukan kurang dari satu hari. Noda yang dihasilkan
sangat rapat, sehingga memungkinkan untuk mendeteksi senyawa dalam
konsentrasi rendah (Bintang, 2010). Penjerap/fase diam yang paling sering
digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk selulosa. Lapisan tipis yang
digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi.

Universitas Sumatera Utara

Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka. Sistem yang paling sederhana
adalah dengan menggunakan campuran 2 pelarut organik karena daya elusi
campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga
pemisahan dapat terjadi secara optimal (Rohman, 2009).
Ada beberapa teknik pengembangan pada KLT dan KLT-kinerja tinggi
atau

High

Performance-Thin

Layer

Chromatography

(HPTLC),

seperti

konvensional, 2 dimensi, kontinyu, dan gradien. Pada penelitian ini menggunakan
teknik pengembangan 2 dimensi (Rohman, 2009). Sagami et al (1992) telah
mengembangkan metode dua plat TLC baru yang sangat efektif dalam
memisahkan dolichol dari dehydrodolichol. Titik penting dari metode ini adalah
memindahkan sampel di lempeng silika gel ke fase terbalik RP-18 lempeng
melalui zona konsentrasi. Metode ini telah dilakukan ratusan kali dan diperoleh
pemisahan yang baik dan reproduktifitas. Metode HPTLC ini tampaknya lebih
unggul dan banyak digunakan karena distribusi dolichol dan keluarga
dehydrodolichol dapat dideteksi pada pelat TLC akhir dan beberapa sampel dapat
dengan cepat dan mudah dianalisa pada saat yang sama. Juga, metode ini
memungkinkan untuk mendeteksi jumlah kecil dehydrodolichol radioaktif dan
dolichol. Prinsip metode ini, yaitu, penggunaan kromatografi adsorpsi dan
kromatografi fase terbalik dalam pengurutan, harus tetap tidak berubah. Tateyama
et al (1999) juga menggunakan dua-pelat kromatografi lapis tipis (TLC) untuk
menganalisis polyisoprenoid alkohol (dolichol dan polyprenol) pada beberapa
jaringan tanaman karet Hevea brasiliensis, Ginkgo biloba, dan Pinus sylvestris.
Untuk pendeteksian hasil biasanya berupa bercak. Bercak pemisahan pada KLT
umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna (Rohman, 2009).

Universitas Sumatera Utara