Proposal Disertasi NEK change sdh di rev

KAJIAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
JARINGAN JALAN TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL
EKONOMI DAN PENINGKATAN AKSESIBILITAS
DI KABUPATEN KAIMANA
(Studi Kasus pada kawasan Mairasi, Arguni Bawah )

Usulan Penelitian Disertasi

Diajukan oleh
Nicolaas Evert Kuahaty

Kepada

Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2014

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pembangunan wilayah selalu memberikan manfaat aspek sosial
ekonomi, demografis, psikologis, institusi dan sosial budaya. Manfaat sosial
ekonomi biasanya terdiri dari perubahan pendapatan, kesempatan berusaha,
dan pola tenaga kerja. Manfaat demografis meliputi perubahan struktur
penduduk, pemindahan dan relokasi penduduk. Manfaat institusi meliputi
bertumbuh kembangnya fasilitas seperti perumahan, sekolah dan sarana
rekreasi. Dampak psikologis dan sosial budaya meliputi integrasi sosial,
kohesi sosial, keterkaitan dengan tempat tinggal yang semakin tinggi.
Jalan merupakan salah satu prasarana yang vital dalam upaya
meningkatkan pembangunan wilayah dan memperbaiki kesejahteraan
rakyat, khususnya bagi penduduk di wilayah perdesaan. Tersedianya
jaringan jalan di perdesaan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai,
serta dibangun pada lokasi yang tepat, akan mampu meningkatkan
aksesibilitas penduduk di wilayah yang bersangkutan terhadap prasarana
dan sarana dasar, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan. Meningkatnya
aksesibilitas memberikan peluang yang lebih besar bagi penduduk
perdesaan untuk menjalankan beragam aktivitas sosial dan ekonomi untuk
memperbaiki kesejahteraannya. Rao dan Jayasree (2003: 1) menegaskan
bahwa jalan perdesaan merupakan sektor yang penting dalam pembangunan


1

perdesaan, karena mencakup semua aspek pembangunan, seperti pertanian,
kesehatan, pendidikan, kehutanan, perikanan, industri berskala kecil,
perdagangan,

dan

lain-lain.

Jaringan

transportasi

perdesaan

akan

membentuk pola kehidupan penduduk di perdesaan. Sarkar dan Mashiri

(1998) bahkan telah mengingatkan lebih jauh bahwa terbatasnya mobilitas
dan aksesibilitas orang dan barang di tingkat lokal telah menjadi
penghambat yang utama bagi integrasi komunitas perdesaan ke dalam
perekonomian nasional di suatu negara.
Anak-anak bisa bersekolah dengan baik dan orang tua mereka dapat
bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila sakit, penduduk dapat
dengan mudah menjangkau fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia.
Aksesibilitas yang baik juga akan mengurangi biaya transportasi, sehingga
produk-produk yang dihasilkan penduduk perdesaan, khususnya komoditas
pertanian memiliki daya saing yang cukup baik. Sebaliknya, keterbatasan
jaringan jalan akan menyebabkan keterisolasian, sehingga menghambat
penduduk untuk keluar dari berbagai persoalan pembangunan, seperti
rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta tingginya kemiskinan.
Warr (2005: 2) menuliskan bahwa:
“Most poor people of the world reside in rural areas, which are
frequently characterized by low levels of public infrastructure,
especially roads. Inadequate roads raise transport costs, limiting the
use poor people can make of local markets for the sale of their
produce, the purchase of consumer goods and opportunities for offfarm employment. Access to educational and health facilities, where
they exist, is also constrained when it is difficult to reach them.”

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aderamo dan Magaji (2010) di
Wilayah Edu, Negara Bagian Kwara, Nigeria menunjukkan adanya
hubungan yang kuat di antara pengembangan transportasi dan penyebaran

2

fasilitas di perdesaan dengan perbaikan kehidupan masyarakat. Wilayahwilayah dengan jaringan jalan yang terbatas pada umumnya dicirikan oleh
kondisi permukaan jalan yang buruk, jembatan yang sempit, dan banyak
belokan tajam/curam. Kondisi ini seringkali diperparah dengan minimnya
penyediaan fasilitas publik. Untuk menyelesaikan persoalan ini, maka
disarankan adanya intervensi dari pemerintah pusat maupun pemerintah
negara bagian untuk mengembangkan jaringan jalan dan sekaligus
menyediakan fasilitas publik.
Meskipun secara teoritis akan mampu meningkatkan aksesibilitas
masyarakat, namun keberadaan jaringan jalan yang ekstensif sekalipun tidak
serta merta dapat menyelesaikan beragam persoalan pembangunan dan
meningkatkan

kesejahteraan


rakyat.

Banyak

fakta

empirik

telah

membuktikan hal ini, di mana jaringan jalan yang dibangun di wilayah
perdesaan ternyata tidak dipergunakan secara intensif dalam kurun waktu
yang lama. Salah satu penyebab utama adalah masih lemahnya koordinasi
antar lembaga yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan
infrastruktur jalan. Dalam konteks pembangunan jaringan jalan di
Indonesia, kelemahan koordinasi dengan mudah terlihat dalam hubungan
kerja di antara instansi vertikal pemerintah pusat yang bertugas di daerah
dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang terkait.
Dampak yang timbul dari lemahnya koordinasi antarlembaga adalah
adanya pembangunan infrastruktur jalan yang cenderung eksklusif, serta

belum terintegratif (sinergi) dan akomodatif. Di wilayah yang menjadi
lokasi penelitian ini, yaitu Kabupaten Kaimana, masing-masing lembaga

3

lebih mengutamakan pendekatan status dan fungsi (parsial) jalan serta
bukan pendekatan kewilayahan (spasial). Instansi vertikal dari Direktorat
Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, hanya memfokuskan perhatiannya pada pemenuhan target volume
jalan nasional yang ditangani di Kabupaten Kaimana dan belum sinergi atau
terintegrasi dengan jaringan jalan provinsi yang ditangani oleh Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi Papua Barat maupun jaringan jalan kabupaten
yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kaimana. Kondisi ini
terjadi karena faktanya pilihan ruas jalan yang berstatus jalan nasional dan
atau rencana strategis nasional yang akan dilaksanakan dilaksanakan
berdasarkan peraturan menteri pekerjaan umum yang berisikan penjabaran
ruas jalan yang ada (excisting) yang perubahan atau pemutahiran datanya
dalam periodesasi 5(lima) tahun. Selain itu pemilihan beberapa ruas jalan di
lakukan oleh para wakil rakyat di DPR atau para legislator(elitis) dengan
alasan aspirasi melalui mekanisme proses tawar menawar dengan eksekutif,

dimana terkadang tidak menggunakan pilihan-pilihan rasional terhadap
sebuah kebutuhan mendasar menjawab pertanyaan esensial jalan dibangun
untuk apa dan bagi siapa. Pilihannya didasari target panjang penanganan
mendorong keterhubungan antar wilayah antara ibukota propinsi dengan
kabupaten dan antar ibu kota kabupaten sehingga terkadang menafikan
pendekatan interwilayah. Dalam level kebijakan publik tahapan formulasi
kebijakan menjadi stage penting yang membutuhkan sebuah kajian
komprehensif dikarenakan sifat masalah publik yang dapat dijadikan agenda

4

seringkali memiliki keterbatasan rasional menemukan daya ungkit
(lavarege) sebagai solusi fundamental, oleh Herbert J. Simon (1956)
menyebutnya sebagai bounded rationality. Dokumentasi rencana strategis
pengembangan jaringan jalan belum terakomodasi dalam wujud blue print
sistim jaringan yang terintegrasi antar status dan fungsi jalan termasuk antar
moda transportasi.
Faktanya di kabupaten Kaimana penanganan jalan terkesan eksklusif
dimana jalan nasional lebih mengutamakan keterhubungan antar kabupaten
Kaimana dengan Fakfak, jalan propinsi penaganan jalannya parsial dan

berpindah-pindah lokasi, sementara jalan kabupaten fokus pada beberapa
ruas yang dianggap strategis atau sebagai jalan strategis kabupaten yang
mewakili

kawasan

pengembagan

yang

di

tetapkan

sebagai

titik

pertumbuhan (growing point) yang bertujuannya untuk membuka daerah
belakang atau pinggiran yang terisolasi.


Kendala yang ditemukan pada

rencana lokasi pembangunan jalan di Kabupaten Kaimana adalah :
1. Beberapa ruas jalan melewati kawasan HPH dan Hutan lindung.
Menjadi persoalan tersendiri karena kurangnya koordinasi antara
pemilik HPH yang telah membuat akses jalan (main road and collection
road) dengan pemerintah daerah untuk memanfaatkan ruas jalan HPH
yang sudah ada dan kebetulan dilalui oleh rencana poros jalan
kabupaten. Adanya sikap exclusivitas dari pemilik HPH yang
memandang bahwa apabila lokasi HPH nya menjadi terbuka akibat di
lalui jalan kabupaten maka akan muncul persoalan baru menyangkut

5

keamanan

lokasi

dan


terhambatnya

mobilitas

kenderaan

kerja

perusahaan HPH.
2. Kurangnya sinergysitas antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
menentukan pola kebijakan yang cepat dan tepat sasaran.
Perencanan jalan yang akan dibangun juga melalui kawasan hutan
lindung. Regulasi tentang Ijin alih fungsi hutan sering memakan waktu
kajian amdal dan proses perijinan lainnya yang sangat lama
menyebabkan terhambatnya pekerjaan jalan.
Sebagai akibatnya, penyelesaian isu-isu strategis pembangunan di
Kabupaten Kaimana, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan,
serta tingginya kemiskinan, berlangsung dengan sangat lambat. Pada tahun
2013 persentase penduduk miskin di Kabupaten Kaimana masih cukup

tinggi, yaitu mencapai 18,60 persen dari total penduduk. Kemiskinan
tertinggi ada di Kampung yaitu sebesar 37,94% sedangkan kemiskinan kota
sebesar 5,68%. Isu-isu domestik tersebut sangat dipengaruhi oleh rendahnya
aksesibilitas di kabupaten Kaimana. Dimana dari total panjang jalan di
kabupaten Kaimana 442,90 Km, saat ini kondisi baik sepanjang 67,10 Km,
kondisi sedang137,37 Km, kondisi rusak ringan 6,15 Km dan kondisi rusak
berat 232 Km. Dari total panjang jalan tersebut jalan tidak mantap mencapai
62 %. Kondisi ini menunjukan jalan yang ada (eksisting) dalam kondisi
baik/sedang

menunjang

kinerja

pembangunan

wilayah

mendorong

efektifitas dan efisiensi mobilitas orang barang dan jasa yaitu hanya 46,13%
atau sepanjang 204,33 Km. Sedangkan jalan yang membutuhkan
penanganan berat adalah 238,77 Km

atau sebesar 43.87%. Kondisi

kemantapan jalan berkorelasi postif terhadap kondisi aksesibilitas. Untuk

6

itu, diperlukan strategi yang tepat agar jaringan jalan yang dibangun mampu
menjalankan fungsinya secara efektif. Strategi yang tepat sangat diperlukan
mengingat pembangunan jaringan jalan menghabiskan sumber daya yang
cukup besar, yaitu dana dan tenaga kerja, serta membutuhkan waktu
pengerjaan yang cukup lama, terutama di wilayah-wilayah yang terisolasi
dan dengan kondisi geografis yang kurang menguntungkan.
Singkatnya, pengembangan jaringan jalan dapat menjadi instrumen
untuk mendukung kinerja pembangunan wilayah, khususnya wilayahwilayah yang masih didominasi oleh karakteristik perdesaan, yang antara
lain ditunjukkan oleh indikator-indikator kesejahteraan rakyat yang meliputi
kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf hidup
dan pola konsumsi, termasuk kemiskinan, serta perumahan dan lingkungan.
Liu (2000: 1) mengemukakan bahwa proyek-proyek yang ditujukan untuk
memperbaiki aksesibilitas masyarakat melalui pembangungan jaringan jalan
yang menghubungkan desa-desa dengan pasar dan layanan sosial tidak
hanya akan menghemat biaya operasional kendaraan dan waktu perjalanan
penduduk, melainkan juga akan meningkatkan nilai-nilai sosial dalam
bentuk perluasan peluang sosial dan ekonomi bagi penduduk perdesaan.
Sedangkan Sum dalam Kumar (2008: 32) menuliskan dengan lebih
komprehensif bahwa:
“It is generally believed that the backbone of any
sustainable development is physical infrastructure:
roads and bridges, railways, ports and inland
waterways, airports, electricity generation and network,
irrigation, telecommunications, etc. The improvements
in infrastructure will have a positive impact on both
economic and social development, including education,

7

health, tourism, and trade, as well as on a nation’s
integration with the region and the world.”

Ketidak

efektifan

pembangunan

jaringan

jalan

juga

sangat

dipengaruhi oleh adanya sikap penolakan dari masyarakat yang terkena
dampak pembangunan jaringan jalan. Dampak yang sering ditemukan
adalah :
1. Hilangnya lahan pertanian/perkebunan. Sebagian besar berupa
lahan kebun dan hutan adat.
2. Ketidakpuasan masyarakat terhadap proses pembebasan tanah,
terutama menyangkut harga ganti rugi kepada masyarakat;
3. Konflik horisontal terjadi karena terjadinya sikap pro dan kontra di
masyarakat terhadap rencana pembangunan jalan.
Potensi munculnya persepsi negatif masyarakat terutama apabila
kegiatan proyek menimbulkan dampak negatif terhadap aspek
ekonomi (munculnya monopoli perdangangan oleh masyarakat
pendatang yang menguasai sentra ekonomi pedesaan), budaya
(proses akulturasi yang bergerak cepat tanpa filter budaya/adat
istiadat yang mengikat), arus urbanisasi yang tinggi membebani
daerah perkotaan. Sikap/persepsi negative yang berakumulasi
dalam jangka waktu lama akan menimbulkan keresahan di
masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik baik vertikal
maupun horizontal.
Untuk meniadakan sikap penolakan dari masyarakat atau institusi
lainnya seperti pemangku kawasan hutan (pemilik Hak Pengelolaan
Hutan/HPH) yang sebagaian lahannya akan dijadikan jaringan jalan, maka
perlu dilakukan rekayasa sosial.

8

Menurut Dr Jalaludin Rakhmat, rekayasa sosial terjadi karena terdapat
beberapa kesalahan pemikiran manusia dalam memperlakukan masalah
sosial yang disebut para ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac
yang menggambarkan kebuntuan berpikir. Salah satu bentuk kesalahan
pemikiran lainnya adalah permasalahan sosial yang kerap dikait-kaitkan
dengan mitos ataupun kepercayaan manusia akan suatu gerakan abtrak
‘ilusi’

yang

tanpa

disadari

dapat

merubah

tatanan

kehidupan

bermasyaratnya. Untuk itu perlu diadakannya rekayasa sosial agar
kesalahan-kesalahan berpikir seperti ini dapat diatasi sehingga masyarakat
dapat melihat permasalahan yang dihadapinya sebagai sesuatu yang konkrit.
Pada dasarnya pola-pola kontrol sosial tidak dimaksudkan untuk
mengendalikan masyarakat tetapi lebih kepada cara untuk membuka ruang
bagi masyarakat untuk beraktualisasi sehingga dapat terlihat jelas peran dari
masyarakat tersebut dalam proses perubahan sosial.
Provinsi Papua Barat khususnya Kabupaten Kaimana memiliki
karakteristik masyarakat yang cenderung tertutup terhadap suatu perubahan
yang ini juga merupakan ciri khas masyarakat rural pada umumnya.
Kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sering
berbenturan dengan keinginan masyarakat. Langkah-langkah konkrit yang
sering dilakukan oleh pemerintah daerah dengan membuka daerah baru
untuk jaringan jalan seringkali mendapat penolakan dari masyarakat dengan
alasan; akan menghilangkan sumber mata pencaharian seperti kebun dan
lahan pertanian lainnya, mengaburkan batas hak petuanan/adat, infiltrasi

9

orang luar/pendatang yang akan masuk dan membentuk kelompok penguasa
tersendiri (menguasai ekonomi dan perdagangan).
Banyak penelitian empirik menuliskan bahwa kondisi kesejahteraan
rakyat di berbagai kabupaten dan kota yang secara administratif menjadi
bagian dari Provinsi Papua dan Papua Barat belum sesuai dengan yang
diharapkan. Sekalipun setiap tahunnya telah menerima dana yang cukup
besar, yaitu melalui skema Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahun 2001, selain
dana perimbangan lainnya, namun pemerintah kabupaten dan kota di
Provinsi

Papua

memanfaatkannya

dan
secara

Papua
efisien

Barat
dan

dipandang
efektif

belum

untuk

mampu

meningkatkan

kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat.
Penelitian-penelitian empirik yang dimaksudkan diantaranya
adalah McGibbon (2004), Tokede dkk (2005), Yudho dkk (2006),
Situmorang (2007), Hilum dkk (2009), Korwa (2010), Mualim (2010),
Musa’ad dkk (2010), Baransano (2011), Pamungkas (2011), Fatem (2012),
Pakasi (2012), Waimbo dan Yuwono (2012), Agustinus (2013), serta Saraun
(2013).

Index Pembangunan Manusia merupakan indikator penting untuk
mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia
(masyarakat/penduduk). Dengan demikian dapat menentukan peringkat
atau level pembangunan suatu daerah. Index Pembangunan Manusia
menurut Badan Pusat Statistik : merupakan data strategis karena selain
sebagai ukuran kinerja Pemerintah, juga digunakan sebagai salah satu

10

alokator penentuan Dana Alokasi Umum (DAU). dengan memperhatikan
tiga (3) dimensi dasar yaitu; Umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan
serta standar hidup layak.

Tabel 1.1. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota
se-Provinsi Papua Barat dan Indonesia Tahun 2007-2010
Indeks Pembangunan Manusia
2007
2008
2009
2010
Kab. Fakfak
69,58
70,24
70,80
71,46
Kab. Kaimana
68,80
69,27
69,80
70,13
Kab. Teluk Wondama
63,40
64,79
65,27
65,76
Kab. Teluk Bintuni
64,40
65,29
65,65
66,58
Kab. Manokwari
64,17
65,46
66,20
67,19
Kab. Sorong Selatan
65,38
65,77
66,09
66,31
Kab. Sorong
67,21
67,82
68,16
68,50
Kab. Raja Ampat
62,47
63,57
64,08
64,58
Kab. Tambrauw
49,12
50,51
Kab. Maybrat
64,89
66,00
Kota Sorong
75,59
76,52
76,84
77,18
Provinsi Papua Barat
67,28
67,95
68,58
69,15
Provinsi Papua
63,41
64,00
64,53
64,94
Indonesia
70,59
71,17
71,76
72,27
Sumber: Papua Barat Dalam Angka 2012.
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Kabupaten/Kota

11

Upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua merupakan
pertimbangan penting di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang

Otonomi

Khusus

Bagi

Provinsi

Papua

yang

kemudian

disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pada butir b
pertimbangan di dalam Perpu No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa
pemberlakuan Otsus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian
hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan
hambatan percepatan pembangunan, khususnya bidang sosial, ekonomi, dan
politik, serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat. Kalimat ini menunjukkan
adanya penegasan Pemerintah Pusat untuk mengakselerasi berbagai bidang
pembangunan di Provinsi Papua Barat. Didalam penjelasan pasal 34 ayat
3(f) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
dijelaskan bahwa “ Pembangunan Infrastruktur dimaksud agar sekurangkurangnya dalam 25 (dua puluh lima) tahun seluruh kota-kota provinsi,
kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan
dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas, sehingga
provinsi Papua dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik, dan
menguntungkan sebagai bagian dari sistim perekonomian nasional dan
global. Pembangunan infrastruktur dimaksud termasuk di dalamnya antara
lain mencakup pengembangan jaringan jalan.
Wujud perhatian pemerintah pusat terhadap percepatan pembangunan
di Papua melalui alokasi anggaran yang sangat memadai. Salah satu

12

buktinya adalah bahwa kapasitas fiskal pada kabupaten dan kota yang
berada di dalam provinsi-provinsi yang menerima dana Otsus pada
umumnya tergolong tinggi dan sangat tinggi. Kabupaten Kaimana yang
menjadi obyek penelitian ini diketahui memiliki kapasitas fiskal yang sangat
tinggi, yaitu lebih dari 3 kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata
kapasitas fiskal kabupaten dan kota se-Indonesia. Fakta ini tertuang di
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 224/PMK.07/2011 tentang Peta
Kapasitas Fiskal Daerah. Dari 7 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat,
terdapat 4 kabupaten yang memiliki kapasitas fiskal sangat tinggi, yaitu di
urutan pertama adalah Kabupaten Tambrauw, kemudian berturut-turut
diikuti oleh Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Kaimana, dan Kabupaten
Sorong Selatan. Selanjutnya juga terdapat 4 kabupaten dengan kapasitas
tinggi, yaitu Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama,
Kabupaten Sorong, dan Kabupaten FakFak. Dua wilayah lainnya memiliki
kapasitas fiskal sedang, yaitu Kota Sorong dan Kabupaten Maybrat, sedang
Kabupaten Manokwari adalah satu-satunya wilayah yang tergolong
memiliki kapasitas fiskal rendah.
Meskipun memiliki sumber daya keuangan yang besar, namun kinerja
pembangunan di Kabupaten Kaimana belum sepenuhnya sesuai dengan
harapan. Indikasinya antara lain tergambar dari Surat Menteri Keuangan
Nomor: S-156/ MK.07/2011 perihal Rekomendasi Menteri Keuangan
tentang Keseimbangan Pendanaan di Daerah dalam rangka Perencanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2012. Dalam
lampiran surat tersebut tersaji data yang menunjukkan bahwa Kabupaten

13

Kaimana tidak termasuk wilayah yang diprioritaskan. Indeks Kemampuan
Fiskal Daerah (KFD) Kabupaten Kaimana tercatat cukup tinggi, yaitu di
atas rata-rata nasional, namun capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
masih di bawah rata-rata nasional. Fakta ini menunjukkan bahwa masih
terdapat berbagai hal yang perlu dibenahi oleh Pemerintah Kabupaten
Kaimana dalam rangka meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan
rakyatnya. Salah satu upaya yang dipandang strategis adalah melalui
optimalisasi pengembangan jaringan jalan untuk menjangkau sentra-sentra
aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Hingga tahun 2013, panjang jalan
kabupaten di Kabupaten Kaimana telah mencapai 442,90 km. Adapun
belanja modal untuk pembangunan jalan dan jembatan di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2013 tercatat
sebesar Rp 56,6 miliar.
Selain regulasi yang menyangkut Dana Otsus, cukup banyak
kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat untuk mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Contohnya adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Kebijakan ini memuat berbagai ketentuan umum, strategi dan kebijakan,
serta rencana aksi percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat, termasuk peran serta masyarakat dan pembiayaannya. Selain
itu, terdapat pula Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun
2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam rangka Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

14

Semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat tersebut
merupakan perwujudan dari desentralisasi kewenangan yang bersifat
asimetri, yaitu memperhatikan perbedaan kondisi dan karakteristik wilayah.
Upaya-upaya yang ditempuh seharusnya mampu memberikan dampak yang
signifikan terhadap percepatan pembangunan apabila semua prasyaratnya
dapat dipenuhi. Salah satu persyaratan yang selama ini sulit dipenuhi adalah
adanya

sifat kolaboratif,

integratif, dan

akomodatif pada

tataran

implementasi kebijakan di antara instansi pemerintah pusat pemerintah
provinsi, dan kabupaten/kota. Perumusan dan implementasi kebijakan
secara kolaboratif, integratif, dan akomodatif diyakini akan menghasilkan
kegiatan-kegiatan pembangunan yang manfaatnya dapat dirasakan secara
langsung oleh masyarakat. Christensen dalam Moran, Rein, dan Goodin
(2006: 452) mengemukakan bahwa salah satu pendekatan kebijakan publik
yang disebutnya sebagai kebijakan yang cerdas (smart policy) adalah
penerapan New Public Management (NPM). Ditambahkan bahwa dua
komponen utama yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan yang
cerdas adalah feasibility dan desirability.
Perencanaan pembangunan jaringan jalan perdesaan yang terstruktur
sangat dibutuhkan untuk menghindari terjadinya pemborosan sumber daya
dan memastikan manfaat yang dihasilkan. Rao dkk (2003: 1) telah
mengingatkan hal ini berdasarkan temuan penelitian empirik mereka.
Dituliskan bahwa di suatu negara yang sedang membangun seperti India, di
mana 73 persen penduduknya bermukim di wilayah perdesaan dan hanya 27
persen populasi mendiami perkotaan, sangat dibutuhkan suatu prosedur

15

perencanaan yang sangat terstruktur untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
pembangunan dan menyediakan infrastruktur di perdesaan. Jaringan jalan
perdesaan merupakan bagian integral dari pembangunan perdesaan dan
mampu

menstimulasi

pembangunan

secara

keseluruhan

dengan

menyediakan akses terhadap infrastruktur dan fasilitas sosial dan ekonomi.
Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji efektivitas implementasi
kebijakan pembangunan infrastruktur yang meliputi jalan dan jembatan di
Kabupaten Kaimana. Definisi jalan menurut pasal 1 butir 12 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 adalah seluruh bagian
jalan,

termasuk

bangunan

pelengkap

dan

perlengkapannya

yang

diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di
atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. Pendekatan penelitian yang
ditempuh bersifat prospektif dengan tujuan untuk merekomendasikan
langkah-langkah antisipatif ke depan berdasarkan analisis terhadap data dan
informasi yang tersedia secara obyektif dan akurat. Di masa mendatang,
kebijakan pengembangan jaringan jalan di Kabupaten Kaimana yang
menghabiskan dana besar diharapkan mampu secara efektif memberikan
manfaat yang besar pula kepada masyarakat.
1.2. Keaslian Penelitian
Jaringan jalan mempunyai peran yang penting dalam turut
memfasilitasi kegiatan pembangunan wilayah, sehingga mendorong cukup
banyak

peneliti

melakukan

kajian

yang

terkait

dengan

dampak

pengembangan jaringan jalan. Budi (1998) berupaya mengukur pengaruh

16

pengembangan jaringan jalan yang dibangun pada periode 1986-1996
terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, dan penerimaan
daerah di Sulawesi Tenggara. Metode analisis yang digunakan adalah
regresi linier berganda.
Munthe, Kartika, dan Rahardjo (2009) melakukan penelitian untuk
menentukan prioritas penanganan jalan berdasarkan tingkat kepentingan
tertentu. Hal ini dilakukan untuk menemukan pola pemanfaatan dana yang
terbatas secara optimal terhadap tingkat kerusakan ruas-ruas jalan nasional
di Kabupaten Manokwari. Metoda yang digunakan untuk menentukan skala
prioritas adalah Analytical Hierarchy Process (AHP).
Pada penelitian lainnya, Afriansyah (2011) juga menggunakan metode
AHP untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi prioritas dalam
pengembangan jaringan jalan dan jaringan jalan penghubung kawasan
strategis di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Responden yang
dilibatkan mencakup pejabat instansi pemerintah daerah yang terkait,
politisi, dan akademisi. Adapun kriteria-kriteria yang digunakan sebagai
acuan dalam menentukan prioritas pengembangan jaringan jalan terdiri dari
aspek ekonomi, sosial, aksesibilitas, lingkungan, kondisi jalan, biaya, dan
kesesuaian tata ruang. Substansi penelitian yang sama kemudian dituliskan
kembali oleh Afriansyah, Wicaksono, dan Djakfar (2012).
Selanjutnya, Hotrin (2011) mengamati prioritas penanganan jaringan
jalan strategis untuk melihat dampaknya terhadap pengembangan wilayah.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Humbang Hasundutan,
Sumatera Utara. Metoda analisis yang digunakan serupa dengan Afriansyah

17

(2011) serta Munthe, Kartika, dan Rahardjo (2009), yaitu AHP, namun
dilengkapi dengan uji chi-square dan perhitungan rasio manfaat dan biaya.
Oktaviana, Sulistio, dan Wicaksono (2011) merumuskan strategi
pengembangan transportasi antarwilayah di Provinsi Papua Barat. Penelitian
diawali dengan mengidentifikasi karakteristik transportasi antarwilayah dan
menghitung indeks aksesibilitas wilayah. Metoda penelitian yang digunakan
meliputi analisis deskriptif, Integrated Rural Accessibility Planning (IRAP),
serta Strength, Weakness, Opportunity, and Threat (SWOT).
Tigauw (2012) telah menganalisis kondisi jaringan transportasi dan
potensi wilayah sebagai dasar untuk pengembangan koridor ekonomi di
Provinsi Papua Barat. Kondisi jaringan jalan diasumsikan sebagai faktor
penentu dalam mendorong pemanfaatan sumber daya wilayah. Metoda
analisis yang digunakan cukup lengkap, yaitu terdiri dari analisis ShiftShare, Location Quotient (LQ), acuan normatif, Scalogram, SWOT, dan
skala Likert.
Penelitian terkini di Indonesia dilakukan oleh Iek (2013) dengan
tujuan menganalisis dampak pembangunan jalan terhadap pertumbuhan
usaha ekonomi rakyat di pedalaman May Brat, Provinsi Papua Barat. Agar
studi dapat dilakukan secara lebih mendalam, kajian difokuskan di Distrik
Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan
menggunakan statistik deskriptif, uji beda rata-rata pendapatan, dan
Structural Equation Model (SEM).
Selain di Indonesia, penelitian mengenai dampak pengembangan
jaringan jalan perdesaan terhadap perbaikan aksesibilitas dan kesejahteraan
rakyat juga telah dilakukan oleh para peneliti di banyak negara lainnya.

18

Hasil-hasil penelitian di negara-negara lain dapat digunakan sebagai
pembelajaran bagi praktik pengembangan jaringan jalan perdesaan di
Indonesia, meskipun harus dipertimbangkan pula perbedaan karakteristik
geografis wilayah. Sarkar dan Mashiri (1998) melakukan penelitian dan
berupaya mengkuantifikasikan tingkat aksesibilitas di wilayah perdesaan
yang terdapat di Provinsi Bagian Utara Afrika Selatan. Seperti telah diduga
sebelumnya, nilai indeks yang dihasilkan secara umum menunjukkan
tingkat aksesibilitas yang rendah.
Pada penelitian lainnya, Howe (1999) secara khusus mengamati
adanya penurunan kualitas pada kebanyakan jalan perdesaan di Afrika
dikarenakan pemeliharaan yang tidak sesuai. Sebagian ruas jalan yang
diamatinya bahkan telah kembali menjadi semak belukar. Persoalan ini pada
umumnya timbul sebagai akibat argumentasi teknis dari para pembuat
keputusan di tingkat nasional maupun lokal. Fenomena yang serupa cukup
banyak dijumpai pada jaringan jalan perdesaan di berbagai wilayah di
Indonesia.
Jaarsma (2000) meneliti manfaat dari perencanaan penggunaan lahan
yang berkelanjutan bagi perencanaan jaringan jalan perdesaan di Belanda.
Dikemukakan bahwa suatu pendekatan perencanaan yang baru diperlukan
untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat dan sekaligus keberlanjutan
lingkungan di perdesaan. Pendekatan baru yang dimaksudkan disebut
dengan Traffic Calmed Rural Area (TCRA) sebagai suatu solusi untuk
mengatasi dilema di antara perbaikan aksesibilitas dan pengrusakan
lingkungan.

19

Selanjutnya, Liu (2000) menemukan bahwa pada saat kebanyakan
akses jalan di perdesaan memiliki volume penggunaan yang rendah, nilainilai sosial yang dihasilkan dari perbaikan akses dasar seringkali menjadi
manfaat proyek yang lebih penting. Temuan ini dihasilkan berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Andhra Pradesh, India. Dua jenis analisis
digunakan dalam penelitian ini, yaitu cost-effectiveness analysis (CEA) dan
cost-benefit analysis (CBA).
Rao dan Jayasree (2003) juga melakukan penelitian di India untuk
mengetahui manfaat dari perencanaan infrastruktur perdesaan yang
menitikberatkan pada konektivitas jaringan jalan. Ditemukan bahwa pola
perencanaan jaringan jalan di India sangat terbatas dalam melakukan
modifikasi dan penyempurnaan dari perencanaan yang digunakan pada saat
ini. Praktik perencanaan jalan perdesaan yang dilakukan terutama
didasarkan pada kriteria adhoc dan sangat minim memperhatikan penelitian
ilmiah. Perencanaan jaringan jalan tidak disusun dengan pendekatan yang
bersifat komprehensif dan terkoordinasi, namun hanya berdasarkan pada
populasi penduduk desa.
Tidak kalah menarik adalah penelitian di India yang dilakukan oleh
Rao dkk (2003). Penelitian bertujuan untuk mengembangan sistem
informasi mengenai jaringan jalan perdesaan yang berbasis pada
Geographic Information System (GIS). Penggunaan GIS diekspektasikan
akan mampu menghasilkan suatu pola hubungan jaringan jalan yang
optimum di antara desa dengan manfaat maksimum dalam hal aksesibilitas
terhadap desa utama dengan biaya konstruksi yang minimum.

20

Substansi penelitian yang berbeda ditempuh oleh Warr (2005) yang
mengamati dampak pengembangan jaringan jalan perdesaan terhadap
pengurangan kemiskinan di Laos. Hasil analisis dengan menggunakan
persamaan regresi menunjukkan bahwa sekitar 13 persen penurunan
kemiskinan merupakan kontribusi dari perbaikan jalan semata. Adapun
faktor-faktor lainnya yang diketahui turut berpengaruh terhadap penurunan
jumlah penduduk miskin di Laos adalah investasi publik secara masif pada
fasilitas pengairan.
Penelitian terakhir yang disintesis adalah suatu penelitian yang
dilakukan oleh Aderamo dan Magaji (2010) yang berlokasi di Nigeria.
Pengembangan jaringan jalan perdesaan dan distribusi fasilitas publik
dimodelkan di dalam suatu persamaan regresi multivariat. Densitas jalan
digunakan sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independen
meliputi fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, jasa keamanan, suplai air
bersih, aktivitas komersial, dan layanan komunikasi. Hasil estimasi
menunjukkan adanya pengaruh jaringan jalan perdesaan yang signifikan
terhadap distribusi fasilitas publik di wilayah perdesaan dan sekaligus
berpotensi mengurangi kemiskinan. Perbaikan aksesibilitas dan mobilitas di
perdesaan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di kalangan penduduk
perdesaan, karena kebutuhan dasar kehidupan seperti layanan kesehatan dan
pendidikan menjadi semakin mudah dijangkau.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini
ditujukan untuk menilai sebuah kebijakan yang ada atau penelitian dari
kebijakan (research of policy) terhadap tahapan kebijakan yaitu : formulasi

21

kebijakan,

implementasi

kebijakan

dan

evaluasi

kebijakan,

yaitu

mencermati efektivitas pembangunan jaringan jalan ditinjau pada proses
kebijakan pada masing-masing institusi dalam hubungan antar institusi
penyelenggara (ketatalaksanaan) pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota. Melihat bagaimana lingkungan kebijakan, aktor
kebijakan instrumentasi kebijakan, model kebijakan dan pilihan kebijakan
yang di lakukan pada masing-masing institusi penyelenggara jalan.
Selanjutnya

melihat

bagaimana

implementasi

kebijakan,

meninjau

kesesuaian pelaksanaan pembangunan jalan terhadap dokumen teknis
termasuk penggunaan alokasi biaya konstruksi, dan yang terakhir pada level
evaluasi yaitu mengukur dampak yang ditimbulkan akibat dari implementasi
kebijakan tersebut. Apakah dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan
ataukah terdapat bias dari harapan terutama dalam memperbaiki
kesejahteraan rakyat secara komprehensif, yaitu meliputi indikator sosial
dan ekonomi yaitu pembangunan manusia berupa pendidikan dan kesehatan,
produktivitas petani ( luas lahan panen dan pendapatan produksi pertanian
tanaman pangan, hortikultura, perternakan, perikanan dan kehutanan )
sebagai salah satu indikator penting mengukur capaian kesejahteraan atau
penurunan kemiskinan. Lokasi penelitian juga membedakan penelitian ini
dengan penelitian terdahulu, karena penelitian mengenai efektivitas
kebijakan pengembangan jaringan jalan terhadap peningkatan kesejahteraan
rakyat belum pernah dilakukan di Kabupaten Kaimana.
Dari segi metodologi, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai suatu
evaluasi kebijakan (policy evaluation) yang di dalamnya memuat analisis

22

jaringan kebijakan (policy network analysis) dan dampak kebijakan (policy
impact). Pendekatan analisis yang ditempuh pada dasarnya bersifat multimethod, yaitu kombinasi di antara metoda kuantitatif dan kualitatif dengan
tujuan agar dapat menganalisis data sekunder dan primer yang dikumpulkan
secara lebih komprehensif. Metoda analisis kuantitatif yang digunakan
meliputi statistik deskriptif, uji kesamaan rata-rata, dan regresi linier
berganda. Sedangkan metoda analisis kualitatif yang ditempuh adalah
menggunakan metoda sintesa terfokus, triangulasi dan SWOT, dimana
metoda-metoda tersebut telah lazim digunakan dan teruji pada penelitianpenelitian empirik sebelumnya.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk:
1. Menganalisis proses kebijakan pengembangan jaringan jalan di
kabupaten Kaimana oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua
2.

Barat dan pemerintah Kabupaten Kaimana;
Menganalisis implementasi kebijakan pengembangan jaringan jalan di
Kabupaten Kaimana oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi

3.

Papua Barat dan pemerintah Kabupaten Kaimana;
Menganalisis hubungan antarinstitusi dalam proses perencanaan dan

4.

pembangunan jaringan jalan di Kabupaten Kaimana;
Menganalisis kondisi jaringan jalan di Kabupaten Kaimana beserta

5.

faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan
menganalisis dampak pembangunan jaringan jalan di Kabupaten
Kaimana terhadap perbaikan kesejahteraan rakyat secara komprehensif,
yaitu

meliputi

indikator-indikator

sosial

dan

ekonomi

berupa

23

pendidikan, kesehatan, produktivitas petani, lahan usaha petani dan
6.

pendapatan.
Menganalisis faktor-faktor hambatan dari masyarakat khususnya yang
terkena dampak pembangunan jaringan jalan sehingga selanjutnya akan
ditentukan pola kebijakan rekayasa sosial (Social Enginering) sebagai

bentuk pengadopsian kepentingan masyarakat.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
1. memperkaya penelitian empirik di bidang pengembangan jaringan
2.

jalan, pembangunan wilayah, dan peningkatan kesejahteraan rakyat;
memberikan saran atau advokasi kebijakan pemerintah di bidang
pengembangan

3.

jalan,

pembangunan

wilayah

dan

peningkatan

kesejahteraan rakyat;
memberikan saran kepada instansi terkait di lingkungan pemerintah
pusat maupun daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas
pembangunan

4.

jalan

bagi

peningkatan

kesejahteraan

rakyat

di

Kabupaten Kaimana dan Provinsi Papua Barat;
menjadi pembelajaran (best practices) bagi pemerintah kabupaten/kota
lainnya

di

Provinsi

Papua

dan

Papua

Barat

dalam

rangka

mengefektifkan pengembangan jaringan jalan di wilayahnya masing5.

masing; serta
menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya di bidang
terkait.

24

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka
Manfaat pembangunan jaringan jalan bagi peningkatan pembangunan
di suatu wilayah telah dikemukakan dalam berbagai literatur. Fungsi utama
dari jalan adalah sebagai prasarana lalu lintas atau angkutan guna
mendukung kelancaran arus barang dan jasa serta aktivitas masyarakat
(Ningsih, 2010: 121). Jalan juga menjadi prasarana bagi pemerintah untuk
menjalankan fungsinya di bidang administrasi pemerintahan, fasilitasi

25

pembangunan, dan pelayanan masyarakat. Namun, kemampuan jalan untuk
memberikan pelayanan secara optimal dipengaruhi oleh berbagai dimensi,
termasuk kekuatan atau konstruksi jalan dan penentuan lokasi pembangunan
yang sesuai. Jumlah perjalanan yang dilakukan oleh penduduk desa di
dalam dan keluar desa misalnya, tergantung pada aksesibilitas yang dimiliki
terhadap fasilitas dan layanan yang dibutuhkan (Sarkar dan Mashiri, 1998:
2).
Menurut Dardak (2005: 1), infrastruktur fisik, terutama jaringan
transportasi, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah maupun terhadap kondisi sosial budaya kehidupan
masyarakat. Dalam konteks ekonomi, infrastruktur sebagai modal sosial
masyarakat merupakan tempat bertumpu perkembangan ekonomi, sehingga
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mungkin dicapai tanpa ketersediaan
infrastruktur

yang

memadai.

Namun,

penting

bagi

tercapainya

pembangunan berkelanjutan bahwa pembangunan infrastruktur memiliki
kompatibilitas dengan kondisi sumber daya alam dan manusia di wilayah
pengembangan, sehingga dilakukan penataan ruang agar terbentuk alokasi
ruang yang menjamin kompatibilitas.
Jalan perdesaan misalnya, merupakan salah satu upaya untuk
membuka keterisolasian wilayah perdesaan dari sumber-sumber informasi
dan

penghubung

ke

pusat-pusat

produksi

dan

tempat-tempat

distribusi/pemasaran. Selain itu, jalan perdesaan memudahkan jangkauan
penduduk ke pusat-pusat pelayanan sosial dan budaya, seperti prasarana
pendidikan (sekolah), kesehatan (puskesmas dan posyandu), serta tempat

26

ibadah. Oleh karena itu, jalan perdesaan seringkali dianggap sebagai kunci
pertumbuhan ekonomi yang dapat mengangkat harkat dan martabat
masyarakat perdesaan dari kemiskinan dan kebodohan. Pembangunan jalan
perdesaan dapat menjadi media untuk menyediakan kesempatan kerja dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah
perdesaan.
Menurut Rao dan Jayasree (2003: 2), elemen-elemen keberhasilan
pengembangan jaringan jalan perdesaan meliputi:
1. identifikasi potensi permintaan;
2. cakupan yang lebih luas dan konektivitas permintaan yang dominan;
3. potensi pusat-pusat layanan;
4. cakupan yang seragam dari desa-desa;
5. pola hubungan hirarki; serta
6. minimisasi kesenjangan di antara biaya langsung dan tidak langsung.
Di negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya terjadi dikotomi
atau ketidakseimbangan di antara jaringan jalan perdesaan dan perkotaan.
Meskipun persentase penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan masih
tinggi, namun sekitar 50-75 persen desa belum terhubung.
Afriansyah, Wicaksono, dan Djakfar (2012: 214) menuliskan bahwa
prasarana jaringan jalan yang baik dapat meningkatkan aksesibilitas dan
mobilitas masyarakat, sehingga jangkauan terhadap berbagai kebutuhan
ekonomi maupun sosial dapat terpenuhi dengan baik. Karena itu,
pembangunan prasarana jaringan jalan sangat diperlukan seiring dengan
meningkatnya kebutuhan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di
kawasan-kawasan strategis. Pengembangan kawasan-kawasan strategis akan
memberikan dampak langsung terhadap perbaikan tingkat kehidupan
masyarakat. Meskipun demikian, Liu (2000: 4) mengingatkan tetap

27

diperlukannya analisis efektivitas biaya untuk mengevaluasi dampak dari
proyek pembangunan jalan dan efisiensi ekonomi.
Dalam konteks Papua Barat pada umumnya dan Kabupaten Kaimana
khususnya, pembangunan jaringan jalan dihadapkan oleh berbagai
tantangan dan kendala. Luas wilayah yang sangat besar dengan kontur yang
bervariasi, seperti pegunungan yang curam, dataran rendah berawa-rawa,
tanah yang rapuh, serta curah hujan yang relatif tinggi, menyebabkan jarak
tempuh secara fisik menjadi sangat jauh dan lama, sehingga menghabiskan
banyak sumber daya. Transportasi orang dan barang menjadi sangat mahal
(tidak efisien). Selain itu, densitas penduduk yang rendah disertai
fragmentasi budaya yang ekstrim menjadi tantangan tersendiri.
Kondisi tersebut menyebabkan keberadaan sumber daya alam yang
melimpah, baik yang terbaharukan maupun tidak terbaharukan, belum dapat
memberikan manfaat sebagaimana seharusnya kepada penduduk setempat.
Sebagian besar wilayah Papua dan Papua Barat dalam faktanya menyimpan
berbagai komoditas yang memiliki nilai komersial tinggi, seperti hasil hutan
dan pertambangan. Namun, kualitas manusia pada umumnya masih rendah,
di samping tingkat kemiskinan masih tinggi. Banyak penduduk di
pedalaman yang belum menikmati layanan infrastruktur dasar, seperti
pendidikan, kesehatan, listrik, dan air bersih. Fenomena ini sering
menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak mengenai kemanfaatan dari
implementasi

kebijakan

Otsus

terhadap

peningkatan

kesejahteraan

penduduk di Papua dan Papua Barat.
Pertanyaan yang bersifat pesimis tersebut perlu dijawab dengan
optimisme oleh segenap pemangku kepentingan di Papua maupun Papua

28

Barat, termasuk di Kabupaten Kaimana. Bagi kalangan pemerintahan,
optimisme dimaksud diwujudkan melalui langkah-langkah yang taktis
dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia melalui perencanaan dan
implementasi kegiatan yang tepat sasaran. Pengembangan jaringan jalan
yang efektif merupakan salah satu langkah yang strategis dalam mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pembangunan jalan yang dibiayai
melalui APBD maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
perlu dipastikan kemanfaatannya, sehingga dana yang tersedia tidak
dibelanjakan dengan sia-sia.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Iek (2013) telah membuktikan
bahwa pembangunan jalan di Kabupaten May Brat mampu memberikan
dampak signifikan dan positif terhadap perubahan pendapatan masyarakat
yang bersumber dari usaha ekonomi produktif. Bahkan ditemukan bahwa
manfaat sosial yang dihasilkan dari pembangunan jalan lebih besar jika
dibandingkan dengan manfaat ekonomi. Untuk itu, disarankan agar
pemerintah perlu mendorong pembangunan infrastruktur jalan serta
menyediakan angkutan umum yang mudah dan murah, karena memberikan
multiplier effect yang signifikan dan positif kepada masyarakat.
Pada ruang lingkup yang lebih luas, Oktaviana, Sulistio, dan
Wicaksono (2011) menyimpulkan bahwa masih terdapat kesenjangan
aksesibilitas antarwilayah di Provinsi Papua Barat. Untuk itu, sebagai
langkah awal dan sekaligus menjadi prioritas adalah perencanaan
transportasi secara terpadu, terintegrasi, dan sesuai dengan karakteristik
wilayah, yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan aksesibilitas.

29

Selanjutnya disarankan agar dapat dilakukan sinkronisasi di antara
kebijakan

transportasi,

pengembangan

wilayah,

dan

pembangunan

perekonomian. Jaringan jalan, khususnya di wilayah perdesaan, harus
dianalisis sebagai pengumpulan jaringan komplementer dan tidak sekedar
hubungan jalan secara individual. Untuk keperluan ini, maka manajemen
jalan perdesaan dapat dilakukan secara terdesentralisasi maupun terpusat,
meskipun hasil-hasil penelitian empirik membuktikan bahwa jaringan jalan
perdesaan akan lebih efektif apabila dikelola secara terdesentralisasi.
Penelitian Tigauw (2012) menghasilkan temuan awal yang serupa.
Kondisi jaringan transportasi darat di Provinsi Papua Barat pada umumnya
sangat terbatas. Sejumlah lebih dari 75 persen permukaan jalan belum
diaspal, belum terkoneksi, dan diperburuk dengan kondisi geometrik jalan
yang ekstrim. Sebagai akibatnya, potensi wilayah yang sangat besar dan
beragam belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk mengatasinya,
menurut Tigauw (2012), diperlukan pengembangan jaringan transportasi
dengan strategi yang agresif dan ekspansif. Jaringan transportasi yang
dimaksud diarahkan pada kawasan-kawasan yang dapat mempercepat
transformasi ekonomi, peningkatan pemanfaatan potensi ekonomi yang ada,
penggalian potensi baru, dan memperkuat konektivitas jaringan transportasi.
Sarkar dan Mashiri (1998: 25) mengingatkan bahwa peningkatan
tingkat aksesibilitas masyarakat untuk menuju pusat-pusat aktivitas mereka
dapat dicapai dengan membangun fasilitas-fasilitas baru atau memperbaiki
sistem transportasi menuju berbagai fasilitas yang telah tersedia. Untuk
membuat keputusan mengenai peningkatan aksesibilitas menuju tempat

30

tertentu dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai faktor, seperti
ketersediaan sumber daya dan efektivitas pembiayaan. Pada dasarnya tidak
efektif untuk menyediakan seluruh fasilitas pada suatu desa. Sebagai contoh,
permintaan layanan pos di suatu desa yang kecil tidak dapat dipenuhi
dengan mendirikan kantor pos di desa tersebut, karena dapat menghasilkan
suatu kondisi yang disebut sebagai bias regional. Sebaliknya, permintaan
terhadap fasilitas dan layanan air bersih, bahan bakar, dan sekolah sebaiknya
tersedia di setiap desa.
Terminologi aksesibilitas telah dijelaskan oleh beberapa peneliti sejak
tahun 1960-an sebagaimana dirangkum oleh Sarkar dan Mashiri (1998: 3-4).
1. Garrison (1960): the accessibility of a place was the sum of the shortest
path distances, via the network, between it and all other places in the
system.
2. Forbes (1964): when distance was qualified by the availability of
transport services for non-car users, the simplest measure of
accessibility was travel time.
3. Savigear (1967) serta Dalvi dan Martin (1976): accessibility is identifed
with traffic flow.
Selain dalam konteks infrastruktur jalan, cukup banyak penelitian
yang dilakukan untuk mengkaji dampak dari implementasi Otsus di Provinsi
Papua dan Papua Barat maupun aspek-aspek lainnya. Sebagai contoh,
Korwa (2010) telah mengkaji aspek integrasi, sedangkan Baransano (2011)
mencermati persoalan disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua
Barat. Selanjutnya, Fatem (2012) melakukan analisis yang cukup
komprehensif dengan mencakup isu, target, dan upaya perbaikan pasca
implementasi kebijakan Otsus di tanah Papua selama 11 tahun. Seiring

31

dengan berjalannya waktu, semakin banyak peneliti yang menjadikan
Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai lokasi penelitiannya. Fenomena ini
menggambarkan besarnya perhatian berbagai pihak terhadap kondisi
kesejahteraan masyarakat, namun sekaligus juga mengindikasikan masih
banyaknya persoalan dan tantangan pembangunan yang harus diselesaikan
di Papua dan Papua Barat.
McGibbon (2004) misalnya, telah melakukan penelitian untuk
mencari jawaban atas pertanyaan mengenai apakah Otsus merupakan solusi
bagi penyelesaian masalah di Aceh dan Papua. Kemudian Tokede dkk
(2005) meneliti dampak Otsus terhadap sektor kehutanan di Papua dari
perspektif pemberdayaan masyarakat adat di Kabupaten Manokwari.
Sedangkan Yudho dkk (2006) mengkaji implementasi Otsus Papua dari
pendekatan sosio-yuridis dan politik, yaitu pasca putusan Mahkamah
Konstitusi.
Mualim (2010) menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi dan peran kelembagaan dana Otsus Papua di Provinsi
Papua Barat. Adapun Musa’ad dkk (2010) berupaya mengidentifikasi
hambatan-hambatan yang dijumpai dalam implementasi Otsus Papua dalam
rangka menata ulang hubungan kewenangan antara pusat dan daerah dalam
kerangka

Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia

(NKRI).

Adapun

Situmorang (2007) secara khusus menganalisis kebijakan investasi dan
ketenagakerjaan di Provinsi Papua Barat.

32

Pamungkas (2011) secara khusus mengamati kontes identitas
penduduk muslim di Papua pada era Otsus, sedangkan Pakasi (2012)
meneliti pemberdayaan komunitas lokal dalam pelaksanaan Otsus di
Provinsi Papua. Selanjutnya, Saraun (2012) menganalisis pengaruh 3 faktor,
yaitu dana Otsus, pendapatan asli daerah (PAD), dan belanja modal,
terhadap pendapatan per kapita antar kabupaten/ kota di Papua. Waimbo dan
Yuwono (2012) mencermati dinamika masyarakat Papua pada era Otsus.
Adapun Agustinus (2013) telah melakukan studi fenomelogikal mengenai
kinerja dan akuntabilitas keuangan dari pengelolaan dana Otsus pada sektor
pendidikan di Provinsi Papua.
Adanya

beragam

penelitian

seperti

telah

diuraikan

di

atas

menunjukkan besarnya perhatian dan sekaligus masih banyaknya persoalan
yang perlu diselesaikan di Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu,
meskipun penelitian ini hanya mendalami bidang infrastruktur jalan di
Kabupaten Kaimana, namun tidak bisa dilepaskan dari konteks interkoneksi
antarw