Refleksi kasus manajemen anastesi pada p

BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa istilah yang dipakai seringkali memusingkan karena mempunyai
penafsiran banyak, akibat perbedaan latar belakang, dan mungkin berbeda dari
penafsirannya secara umum.1
Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an” dan
"esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Para ahli
saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara patologis
bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes
1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan
pengurangan nyeri sewaktu pembedahan. Pada saat ini, bila digunakan kata tunggal
anestesi berarti anestesi umum. Anestesi umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri
(dengan reflek otonomik minimal) yang reversible akibat pemberian obat-obatan. Anestesi
inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular, anestesi perrektal adalah sub bagian
dari anestesi umum, dan kata "menerangkan" menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam
tubuh untuk menghasilkan anestesi umum. Anestesi lokal (atau mungkin lebih tepat
analgesi lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa
kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi umum dan
anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau mungkin lebih tepat analgesi
regional) seringkali digunakan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih menunjukkan akibat
blokade saraf pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah yang di buat tidak peka.1

Analgesi adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri. Istilah ini pada
masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan proses penderita
bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar
dalam kaitannya dengan istilah anestesi untuk menunjukkan anestesi lokal atau regional
obat analgesi dibagi ke dalam dua kelompok yakni golongan NSAID dan golongan opioid,
yang bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk melakukan analgesi lokal adalah
kelompok obat analgesi lokal, seperti prokain, lidokain dan bupivakain.1
Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur. Seringkali hipnosis
diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi. keadaan tak sadar, tidur secara
farmakologik yang tetap bereaksi terhadap nyeri dengan reflek penarikan diri atau reflek

otonomik, jika penderita tidak cukup di berikan analgetik. Hipnosis adalah istilah yang
ditimbulkan oleh hipnotism, yakni penurunan sifat kritis seseorang akibat hipnotism.1
Narkosis, seringkali diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi, keadaan tak
sadar, tidur secara farmakologi oleh obat anestesi umum. Istilah ini mungkin lebih tepat
dibandingkan hipnosis, tetapi narkosis seringkali diartikan sebagai akibat pemberian obat
narkotik (opioid).1
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan pada
dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses persalinan
dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Anestesi

spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke
bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi umum, yaitu kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah,
pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal.2
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi
bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.3,4
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien yang
dilakukan tindakan sectio caesarea.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1
PREOPERATIF / PREANESTESI
2.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. J
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia

: 29 tahun
Berat Badan : 50 kg
Agama
: Islam
Alamat
: Ds. Puejadi
Diagnosis
: G2P1A0 gravid aterm + bekas SC 1x
2.1.2

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 3
April 2017, pukul 20.20 WITA di RSU Anutapura Palu.
a. Keluhan utama
: Keluar darah dari jalan lahir
b. Riwayat penyakit sekarang
:
Pasien masuk IGD kebidanan dengan membawa pengantar dari dokter
dengan G5P3A1 gravid 33-34 minggu + plasenta previa totalis mengeluh keluar
darah dari jalan lahir. Awalnya keluar bercak darah dari jalan lahir sejak usia

kehamilan 29 minggu dan semakin banyak 2 hari terakhir sebelum masuk
rumah sakit berwarna merah segar dan tidak menggumpal, lendir dan air tidak
ada. Pasien juga mengeluhkan sakit perut dan pusing. Tidak ada keluhan
demam, mual, muntah, batuk dan sesak. Buang air besar terakhir 2 hari yang
lalu dengan konsistensi padat dan buang air kecil spontan dengan frekuensi 4-5

kali sehari berwarna kekuningan.
Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma (-)
2) Riwayat penyakit jantung (-)
3) Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
4) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)
Riwayat operasi (+) SC anak ketiga Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
c.

dengan pasien pada tanggal 6 April 2017, pukul 14.10 WITA di RSU Anutapura Palu.
d. Keluhan utama
: Nyeri perut tembus belakang
e. Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri perut tembus belakang,

dirasakan pagi hari sebelum masuk RS. Keluhan tidak disertai pelepasan lendir,
darah maupun air. Keluhan tidak disertai dengan mual, muntah, pusing, sakit
kepala dan tidak ada demam. BAB dan BAK baik dan lancar.
f. Riwayat penyakit dahulu:

5) Riwayat asma disangkal
6) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
7) Riwayat operasi SC pada anak pertama tahun 2015
g. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

2.1.3

PEMERIKSAAN FISIK
GCS

: E4V5M6 = 15

Vital Sign


: Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernafasan

1.

: 100/70 mmHg
: 78 x/menit
: 36,6C
: 20 x/menit

B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka
mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-),
gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 22
kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan
tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 2, massa (-), gigi
ompong (-), gigi palsu (-).


2.

B2 (Blood) :
Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah : 110/70 mmHg, denyut nadi : 76 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi
jantung S1/S2 murni regular.

3.

B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor Ø 3 mm/3 mm, defisit neurologi (-).

4.

B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 4-5 kali sehari berwarna kekuningan.

5.

B5 (Bowel) :

Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).

6.

B6 Back & Bone :

Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
2.1.4

ekstremitas bawah (-/-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil Lab
Hematologi (07 April 2017)
Hemoglobin
10,3
Leukosit

16
Hematokrit
31,8
Eritrosit
4,6x106
Trombosit
190.000
MCV
68,8
MCH
22,3
MCHC
32,4
RDW
14
MPV
9
CT
8.00
BT

3.00
Gol. Darah
O
Kimia Klinik (14 Maret 2017)
GDS
128
Seroimmunologi (18 Maret 2017)
HbsAg
Negatif



EKG :
o Sinus rhtym
o Heart rate
o Gelombang P
o PR interval
o QRS kompleks

Nilai Normal

11,5-16,0 g/dL
4000-10.000/L
37-47%
3,80-5,80x106/
150.000-500.000/L
80-100 µm3
27,0-32,0 pg
32,0-36,0 g/dl
11,0-16,0 %
6,0-11,0 µm3
4-12 menit
1-4 menit

70-140 mg/dL
Negatif

: Reguler
: 78 BPM
: Normal
: Normal
: Normal

2.1.5

DIAGNOSIS
G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1 x

2.1.6

PENATALAKSANAAN
Rencana operasi : Sectio Caesaria Transperitonial Profunda
Di Ruangan :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi
(+), site mark (+)


Puasa : 8 jam preoperasi



IVFD RL 500 cc

2.1.7

KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis Preoperatif : G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1 x
Status Operatif
: PS ASA I, skor Mallampati 1
Jenis Operasi
: SCTP
Jenis Anastesi
: Regional anestesi

2.2

PREINDUKSI
Pemeriksaan fisik preoperatif
1.

B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka
mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-),
gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 24
kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan
tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 2, massa (-), gigi
ompong (-), gigi palsu (-).

2.

B2 (Blood) :
Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah : 120/70 mmHg, denyut nadi : 92 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi
jantung S1/S2 murni regular.

3.

B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor Ø 3 mm/3 mm, defisit neurologi (-).

4.

B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 2-3 kali sehari berwarna kekuningan.

5.

B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).

6.

B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

Persiapan pasien preoperatif :
IVFD RL 500 ml
Persiapan di kamar operasi :

Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi (STATICS).
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter”
dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anestesia
 Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel komponen STATICS
Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S

Scope

T

Tubes

A

Airways

T

Tapes

I

Introducer

2.3
C Connector
S
Suction
INTRAOPERATIF

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½.
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
introducel atau stilet.
Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

1.

Diagnosis pra bedah
G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1

2.

Diagnosis pasca bedah
P2A0 post partum SC atas indikasi bekas SC 1x

3.

Penatalaksanaan anestesi
a.

Jenis anestesi

: Regional Anestesi

b.

Lama anestesi

: 11.50 – 13.15 (85 menit)

c.

Lama operasi

: 12.05 – 13.05 (60 menit))

d.

Anestesiologi

: dr. Ajutor Donny Tandiarrang, Sp.An

e.

Ahli Bedah

: dr. Heryani Hasanuddin Parewasi, Sp.OG

f.

Posisi

: Supine

g.

Infus

: 2 line di tangan kiri dan kanan

h.

Teknik anastesi

: Sub Arachnoid Block (SAB)

 Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk
 Posisi pasien :
1)
Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,510 cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah
2)

dada. (pada pasien)
Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna
vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat
premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang
asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini

3)

digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter

bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
 Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
 Cara penusukan :
Memakai jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor
jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk
mengurangi komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran puncture
headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum
spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di
ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan
spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa

mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih
merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih,
masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan
tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan
sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan
reaksi benda asing (Meningismus).
j.

Premedikasi

: Ondansentron 4 mg
Ranitidin 50 mg
: Bupivacaine Hyperbaric 0,5% 10 mg
: Ceftriaxone 1 gr
Ephedrin 30 mg
Methylergometrine 0,2 mg
Oxytocin drips 10 IU
Ketorolac 30 mg
Dexametasone 10 mg
Petidin 40 mg
: O2 3 lpm
: Pernapasan spontan
: Supinasi

l.

k. Induksi
Medikasi tambahan

i.
j.
k.

Maintanance
Respirasi
Posisi

l.

Cairan durante operasi : RL 1.500 ml + Gelafusin 500 ml
Laporan Monitoring Operasi

Menit
ke-

Sistole
(mmHg
)

Diastol
e
(mmHg
)

Pulse
(x/m)

SpO2

Obat yang
diberikan

0 (11.50)

100

60

60

100%

Bupivacine,
ranitidine,
ondancentrone

5 (11.55)

100

60

60

Ceftriaxone

10
(12.00)

90

60

60

Ephedrine

15
(12.05)

92

58

60

20
(12.10)

110

78

80

99%
Oxytocin +
Methergin

25
(12.15)

120

70

110

Oxytocin +
Methergin

30
(12.20)

110

60

60

35
(12.25)

115

70

80

Dexamethasone

40
(12.30)

120

60

90

Oxytocin +
Methergin

45
(12.35)

105

60

100

50
(12.40)

110

65

100

55 (12.45)

130

70

100

60
(12.50)

120

55

105

65
(12.55)

110

75

85

70
(13.00)

115

75

105

75
(13.05)

135

70

80

80
(13.10)

130

70

85

85
(13.15)

120

70

80

100%

Oxytocin +
Methergin

99%

Petidin

99%

Ephedrine

100%

Estimasi volume darah dan estimasi kehilangan darah
BB

: 50 kg

EBV

: 65 cc/kg BB x 50 kg = 3.250 ml

Jumlah perdarahan : ± 900 ml
% perdarahan : 900/3.250 x 100% = 27,69 %
MABL=EBV ×

Hct pasien−Hct standar
( Hct pasien+ Hct standar ) /2

¿ 3.250×

31,8−25
6,8
=3.250 ×
=778 ml
28,4
(31,8+ 25 ) /2

Cairan yang masuk


Preoperatif : Kristaloid RL 500 ml



Durante operatif :
- Kristaloid RL 1.500 ml
- Koloid Gelafusin 500 ml

Cairan yang keluar


Urin ± 300 ml



Perdarahan ± 900 ml

Perhitungan cairan
Input yang diperlukan selama operasi :
1.
2.

Cairan Maintanance (M) : (4x10) + (2x10) + (1x30) = 90 ml/jam
Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 90 =

720 ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 220 ml
3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 50 kg = 400 cc
4. Cairan defisit urin = 300 ml
5. Cairan defisit darah = 900 ml
Perhitungan cairan pengganti darah :
Transfusi + 3x cairan kristaloid = volume perdarahan
350 cc + 3x = 900 cc
3x = 900 cc – 350 cc
x = 550 cc x 3
x = 1650 cc
Untuk mengganti kehilangan darah 900 cc diperlukan 1350 cc cairan kristaloid
dan 350 cc transfusi darah.
Keseimbangan kebutuhan cairan
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 2000 ml – 4700 ml = - 2.700 ml.
Idealnya, untuk perdarahan 900 cc dengan EBL 27,69% termasuk kategori
kelas II perdarahan dan membutuhkan terapi kristaloid (3:1).

2.4

POSTOPERATIF
Pemantauan di Post Anasthesia Care Unit (PACU) / Recovery Room (RR) :
 Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
 Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.
 Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan analgetik.
 Mengevaluasi Bromage Score bilan ≤ 2 boleh pindah ruangan.
 Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), makan dan minum diperbolehkan
sesuai instruksi sejawat obgyn.
 IVFD RL 50 tetes/menit selama 2 jam.
 Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, memberikan injeksi ephedrin 10 mg/iv
 Bila denyut jantung < 60 kali/menit, memberikan atropin sulfat 0,5 mg dan
konsul anestesi.
 Bila sakit kepala hebat berkepanjangan, konsul anestesi.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien Ny. J, 29 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani
operasi SCTP pada tanggal 07 April 2017 dengan diagnosis pre operatif G2P1A0 Gravid
aterm + bekas SC 1x. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 06 April 2017. Dari
anamnesis terdapat keluhan nyeri perut tembus belakang tanpa tanda pelepasan dirasakan
sejak pagi SMRS. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 100/70
mmHg; nadi 78x/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36,6 OC. Dari pemeriksaan laboratorium
hematologi: Hb 10,3 g/dl; golongan darah O; GDS: 128 mg/dl dan HBsAg(-). Dari hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa tidak
didapatkan adanya penyulit berupa gangguan organik.
Sebelum diputuskannya anestesi, hendaknya sebelumnya dilakukan penentuan
standar kesehatan pasien sesuai American Society of Anesthesia. Dengan keadaan tersebut
di atas, pasien termasuk dalam kategori ASA I. Adapun pembagian kategori ASA adalah:
I

:

Pasien normal dan sehat fisis dan mental

II

:

Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional

III

:

Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi

IV

:

Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi

V

:

Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi

VI

:

Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil

Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf E
(misalnya IE atau IIE)
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan pada
dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses persalinan
dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Anestesi
spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke
bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi umum, yaitu kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah,
pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal.
Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait tindakan
yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya

gangguan perdarahan. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.
Pasien pada kasus ini dilakukan tindakan anastesi spinal. Pada anestesi spinal
terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut diantaranya penolakan
pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak
diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus
pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan
(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang
tidak diketahui.Selain itu teknik ini dipilih karena selain lebih murah juga efek sistemiknya
lebih rendah dibanding anestesi umum.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah subarakhnoid,
dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai lumbal 1 (L1) pada
dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan saccus duralis,
ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3
(S3) pada anak-anak. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid
dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan
duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai
medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga
di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid
merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak,
jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis.
Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra lumbal 2. Dengan fleksi
tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.

Gambar 1. Anestesi Spinal
Persiapan pasien sebelumnya harus dilakukan dengan memberi informasi tentang
tindakan anestesi spinal (informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan
juga adanya scoliosis atau kifosis.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan lengkap untuk monitor
pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestesi
spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam
lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G, pada pasien ini digunakan ukuran 26 G.
Obat anestesi lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain.

Berat jenis obat anestesi lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik),
maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada
di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Tabel 1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric 0,5%
dengan dosis 15 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara

menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai dan
menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan diameter,
mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena menunjukkan urutan
kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot
skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan pencampuran
di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh
jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah. Didalam ruang subarakhnoid
obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi
impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang
penting di akar-akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di
kornu anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di
medula spinalis.
Pada menit ke-10 pemberian obat anestesi pasien ini mengalami penurunan tekanan
dimana tekanan darah pasien 90/60 mmHg, kondisi tersebut merupakan komplikasi yang
sering terjadi pada pemberian anestesi spinal. Dimana penurunan tekanan darah biasanya

terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur
setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10
kPa), maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan
otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin
berat hipotensi.
Pada pasien ini hipotensi ditangani dengan memberikan infuse cairan kristaloid
secara cepat serta efedrin sebanyak 3 mg secara intravena. Namun dapat pula pemberian
cairan kristaloid sebanyak 500 cc sebelum pemberian anestesi spinal untuk mencegah
terjadinya hipotensi. Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf
adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek
Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga
biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah
ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin
tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah.
Pada pasien ini terjadi hipotonia. Hipotonia/atonia uteri adalah suatu keadaan dimana
uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik, sehingga dapat menyebabkan perdarahan
setelah post partum. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum
dini (50%). Diagnosis atonia uteri dapat ditegakkan jika bayi dan plasenta lahir dan
ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada fundus uteri masih
setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi uterus yang sangat lembek.
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien
bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis atau sampai syok hipovolemik berat.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada
umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut: sikap
trendelenburg memasang venous line, dan memberikan oksigen. Sekaligus merangsang
uteri dengan cara: massage fundus uteri dan merangsang puting susu, pemberian
oksitoksin dan turunan ergot melalui suntikan i.m. i.v atau s.c., memberikan derivate
prostaglandin F2α yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual,
muntah, febris dan takikardi. Pemberian misoprostol 800 – 1000 µg per rektal, kompresi
bimanual eksternal dan atau internal, kompresi aorta abdominalis, pemasangan “tampon
kondom” dalam cavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan

diisi dengan infuse 500 ml – 2500 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari
tindakan operatif. Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan
tindakan operatif laparotomy dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus)
atau melakukan histerektomi. Alternatifnya yaitu berupa: ligasi arteri uterine atau arteri
ovarika, operasi ransel B-Lynch, histerektomi supravaginal, histerektomi total abdominal.
Pada kasus ini pasien mengalami hipotonia uteri saat dilakukan tindakan SCTP.
Pasien dilakukan tatalaksana dengan penjahitan B-Lynch. Teknik B-Lynch dikenal juga
dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B-Lynch pada tahun 1997, sebagai
tindakan operatif alternatif untuk mengatasi perdarahan post partum akibat atonia uteri.

Gambar 2. Jahitan B-Lynch
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan berat
badan pasien adalah 50 kg, maka estimated blood volume = 65 cc/kgBB x 50 kg = 3250 cc
(estimated blood volume untuk orang dewasa perempuan 65 cc/KgBB). Jumlah perdarahan
yang terjadi durante operasi adalah sekitar 900 cc (27,69%).
Kebutuhan cairan maintenance 90 cc/jam ditambah defisit puasa 220 cc, ditambah
output urine 300 cc dan perdarahan 900 cc (1 cc darah diganti dengan 3 cc cairan
kristaloid) sehingga total cairan pengganti yang dibutuhkan durante operasi adalah 1650
cc.
Idealnya, untuk perdarahan 900 cc dengan EBV 30,76% termasuk kategori kelas II
perdarahan dan membutuhkan terapi kristaloid (3:1). Perdarahan yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kondisi syok hipovolemik. ‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya

perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien dalam keadaan ini paling sering
disebabkan oleh hipovolemia. Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis: hipotensi,
takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian
kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. Syok hemoragik (hipovolemik):
disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat
trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu
rendah. Tujuan dari resusitasi adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan. Karena
penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan
prioritas. Syok hipovolemik kebanyakan akibat dari kehilangan darah akut sekitar 20%
dari

volume total.

Tanpa

darah

yang cukup

atau penggantian cairan, syok

hipovolemik dapat menyebabkan kerusakan irreversible pada organ dan sistem.
Resusitasi dapat dilakukan sebagai berikut:
1.

Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar (14
- 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie.

1.

Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena hipotermia
dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.

2.

Hindari cairan yang mengandung glukose.

3.

Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan darah.

Tabel 2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah

Tujuan pemberian cairan pengganti adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh
yang disebebkan oleh sekuestrasi atau proses patologi yang lain misalnya perdarahan pada
pembedahan pada kasus ini. Sebagai cairan pengganti digunakan cairan kristaloid (NaCl
0,9% dan RL) atau Koloid (Dextrans 40 dan 70, Expafusin, Hemasel, Albumin, dan
Plasma).
Tabel 3. Perbandingan antara Kristaloid dan Koloid
SIFAT-SIFAT
Berat molekul
Distribusi

KRISTALOID
Lebih kecil
Lebih cepat

KOLOID
Lebih besar
Lebih
lama
dalam

sirkulasi
Faal hemostasis
Tidak ada pengaruh
Mengganggu
Penggunaan
Untuk dehidrasi
Pada perdarahan massif
Untuk
koreksi Diberikan 2-3x jumlah Sesuai dengan jumlah
perdarahan

perdarahan

perdarahan

Gambar 3. Alur Resusitasi pada Perdarahan
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik
berasal dari penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan
cardiac output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia
mendorong perubahan metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal
ini menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik.
Ketika mekanisme kompensasi gagal, syok hipovolemik terjadi pada rangkaian
keadaan di bawah ini:
1.

Penurunan volume cairan intravascular

2.

Pengurangan venous return, yang menyebabkan penurunan preload dan stroke
volume

3.

Penurunan cardiac output

4.

Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP)

5.

Kerusakan perfusi jaringan

6.

Penurunan oksigen dan pengiriman nutrisi ke sel

7.

Kegagalan multisistem organ
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali

diresusitasi secara adekuat. Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah: (1)
memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga

tidak

mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat. (2) meredistribusi volume cairan,
dan (3) memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.
Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk menghentikan
perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau mungkin
diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal.
Pemasangan dua jalur intra vena dengan kjarum besar dipasang untuk membuat
akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara
simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya: Ringer Laktat
dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %).
Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan tungkai
pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak dinaikan.
Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi.
Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30 menit,
dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan hemodinamik post operasi. Jika Skor
Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.
Tabel 4. Penilaian Skor Bromage
Kriteria

Nilai

Gerakan penuh dari tungkai

0

Tidak mampu ekstensi tungkai

1

Tidak mampu fleksi lutut

2

Tidak mampu fleksi pergelangan kaki

3

Skor

TOTAL

Pasien masuk keruang OK pada pukul 11.45 dilakukan pemasangan NIBP dan O 2
dengan hasil TD 100/60 mmHg; Nadi 60x/menit, dan SpO 2 100%. Dilakukan premedikasi
dengan pemberian Ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50 mg. Ondansentron 4 mg yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja sebagai
antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat
aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah. Ranitidin 50 mg

merupakan salah satu obat yang digunakan untuk masalah gangguan pecernaan terutama
yang terkait dengan asam lambung. Ranitidin termasuk dalam golongan antihistamin, lebih
tepatnya disebut H2-antagonis. Ranitidin digunakan untuk mengurangi produksi asam
lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluhati akibat ulkus atau tukak lambung,
dan masalah asam lambung tinggi lainnya.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine)
sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi
(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan
rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan
50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta
lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas.
Pemberian petidin (golongan opioid) dapat digunakan untuk mengatasi keluhan
menggigil pada pasien. Petidin merupakan agonis opioid sintetik yang bekerja pada
reseptor opioid μ (mu) dan κ (kappa). Petidin mempunyai efek untuk mengatasi menggigil
melalui reseptor κ. Petidin merupakan obat yang paling efektif dan sering digunakan untuk
mengatasi menggigil. Akan tetapi petidin mempunyai beberapa efek samping yang tidak
menguntungkan seperti mual, muntah, pruritus dan depresi nafas.
Oxytocin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi. Tetapi pada dosis tinggi menyebabkan
tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat
infus ringer laktat 20 IU perifer, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan 10 IU intramiometrikal
(IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan. Dosis maksimum
per hari yaitu tidak lebih dari tiga liter larutan dengan oksitosin. Farmakokinetik: waktu
paruh 1-9 menit.
Methilergometrine adalah obat golongan alkaloid ergot semi sintetis yang
mengandung zat aktif methylergonovine maleate. Obat ini bekerja pada otot polos rahim
secara langsung meningkatkan tonus, frekuensi, dan amplitudo dari ritme kontraksi rahim.
Peningkatan kontraksi ini berguna untuk mencegah dan mengontrol perdarahan rahim

setelah melahirkan (post partum). Methergin bekerja cepat, yaitu sekitar 5-10 menit setelah
diminum. Dosis maksimum per hari yaitu 1 mg atau 5 dosis. Kontraindikasi pada pasien
pre eklamsia, vitium cordis dan hipertensi. Efek samping yang sering terjadi dapat berupa
nyeri kepala, hipertensi, ruam pada kulit, dan nyeri perut karena kontraksi rahim yang
kuat. Efek samping lain yang jarang terjadi dapat berupa penurunan kesadaran, kejang,
nyeri dada, hipotensi, dan mual muntah. Efek samping seperti syok anafilaktik sangat
langka namun dapat terjadi pada pasien yang hipersensitif terhadap methergin. Onset kerja
i.m 2-5 menit, iv segera. Durasi im 3 jam, durasi iv 45 menit. Absorpsi cepat, distribusi iv
terutama diplasma dan cairan ekstrasel. Waktu paruh eliminasi bifasik, awal 1-5 menit,
akhir 0,5-2 jam. T maks di serum, im 0,2 – 0,6 jam. Ekskresi lewat urine dan feses.
Dexametasone seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi dan anti
alergi dengan pencegahan pelepasan histamine. Deksametason merupakan salah satu
kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan
alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. Efek
samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis,
retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain. Kegunaan kortikosteroid pada gangguan
fungsi adrenal merupakan suatu fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons
inflamasi dan imun. Pada kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam
mengontrol

proses patologis, terapi dengan kortikosteroid dapat berbahaya, tetapi

dipertimbangkan untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu
respons inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk proses
penyakit tersebut.
Ceftriaxone adalah golongan sefalosporin dengan spectrum luas, yang membunuh
bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Ceftriaxone bekerja dengan
menghambat sintesis mucopeptide di dinding sel bakteri. Beta-laktam bagian dari
Ceftriaxone mengikat carboxypeptidases, endopeptidases, dan transpeptidases dalam
membran sitoplasma bakteri. Enzim ini terlibat dalam sintesis sel-dinding dan pembelahan
sel. Dengan mengikat enzim ini, Ceftriaxone menghasilkan pembentukan dinding sel yang
rusak dan kematian sel. Ceftriaxone digunakan sebagai antibiotik profilaksis pada kasus ini
karena secara cepat dapat terdifusi ke dalam cairan jaringan, rata-rata waktu paruh adalah
8 jam dalam plasma.
Pada pukul 13.05 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir
TD 120/70mmHg; Nadi 80x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan dilakukan selama 85

menit dengan perdarahan ± 900 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit
pertama pasca operasi stabil yaitu 120/70 mmHg.

BAB IV
KESIMPULAN
Pemeriksaan preanestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien

dan

memperkirakan

masalah

yang

mungkin

timbul

sehingga

dapat

mengantisipasinya.
Pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan anestesi spinal pada operasi SCTP pada
penderita perempuan, usia 29 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis G 2P1A0 gravid
aterm + bekas SC 1x.
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan
sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga mengakibatkan
paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang diblok.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, terjadi hipotonia uteri dan perdarahan
yang dihasilkan 900 cc adapun resusitasi cairan yang diberikan belum mencukupi.
Mengingat perdarahan merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan syok
hipovolemik, pemantauan tanda-tanda syok dan resusitasi yang optimal sangat diperlukan.
Selama di ruang pemulihan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan cukup baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soenarjo, Jatmiko, HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Undip / RSUP dr. Kariadi. Semarang.2010
2. Liou, S., Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses pada 8 April 2017 dari:
. 2013.
3. Purmono A. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta. 2015.
4. Mansjoer, A., et all. Anestesi Spinal pada Seksio sesarea. Catatan Anastesi. Media
Aesculapius. Makassar. 2010.
5. Mangku, Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anastesia dan Reanimasi. Indeks: Jakarta. 2009.
6. Sarwono. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo: Jakarta.
2008.
7. Gunawan, S. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI: Jakarta. 2007.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22