Pentingnya Pendidikan Karakter pada Anak

Pentingnya Pendidikan Karakter pada Anak dalam Pembelajaran Gender di Sekolah
Dinda Anggun Carsila
Sekolah Tinggi Islam Negeri Jurai Siwo Metro
E-mail: dindaanggun9@gmail.com
Abstrak
Karakter di dalam sebuah sistem yang menammkan nilai-nilai yang mengandung komponen
pengetahuan, kesadaran individu, dan tekad serta adanya kemauan dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai baik terhadap Allah Yang Maha Esa, sesama manusia, lingkungan, maupun
bangsa, sehingga akan terwujud keselaran. Karakter yang berkualitas perlu di bentuk dan di bina
sejak usia dini merupakan pembentukan karakter seseorang banyak sumber yang mengatakan
bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini akan membentuk pribadi akan
berpengaruh pada di masa dewasanya kelak. Bangsa indonesia di dalam sistem pendidikan nya
berorientasi pada pengembangan otak kiri dan kurang mempelajari dan memperhatikan
pengembangan otak kanan sehingga menjadi tidak menyenangkan bagi anak. Gender di dalam suatu
ruang lingkup terutama di dunia pendidikan menjadi tunjangan usaha yang memberikan lingkungan
di masyarakat untuk bersosialisai dengan baik dan menyenangkan anak. Pendidikan di sekolah
sangat di butuhkan yang dapat mengintegrasikan karakter dengan pembekalan gender di dunia
pendidikan maka, pembentukan karakter akan mampu menghadapi persoalan dan tantangan dalam
lingkungan anak sebagai dasar pengetahuan anak apa itu gender dan sebagai metode pembelajaran
yang utama untuk menentukan kemampuan anak di dalam masyarakat nanti.
Kata kunci: pendidikan, sistem, pengembangan, dan karakter.

Abstract
Characters in a system that menammkan values that contain components of knowledge,
awareness of individuals, and the determination and the willingness and action to implement the
values of good against Allah Almighty, fellow human beings, the environment, as well as the nation,
so it will be realized keselaran. Characters who need quality in shape and in building an early age
is the formation of a person's character many sources as saying that the failure of planting code on
someone at an early age will form a personally would affect in later adult life. Indonesian nation in
its educational system oriented to the development of the left brain and the lack of study and
attention to the development of the right brain so that it becomes not fun for children. Gender
within a scope, especially in the world of education into a business that provides environmental
benefits in the community to socialize and pleasant child. Education in schools is needed to
integrate the characters with speech gender in the education world, the formation of the character

1

will be able to face the problems and challenges in the environment as the basis of knowledge of
children with what gender and as a learning method that primary to determine the ability of
children in society later.
Keywords: education, system, development, and character.
A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu sistem yang teratur dan mengembangkan misi yang cukup luas
yaitu segala hal sesuatu nya yang berkembang melalui keterampilan, pemikiran, perasaan, kemauan,
sosial, dan kepercayaan. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah sebagaimana suatu lembaga
pendidikan formal mempunyai suatu muatan beban yang cukup berat dalam melaksanakan misi
pendidikan tersebut yang di kaitkan dengan perubahan zaman yang sangat berpengaruh terhadap
anak-anak dalam perkembangan nya. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter anak bangsa
indonesia yang bermutu di dukung dengan adanya program pembangunan yang baik. Pendidikan
karakter pada anak di sekolah untuk sebagai dasar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
agar menjadi peserta didik yang berpotensi dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada
pembentukan anak yang bekulitas. Pengenalan karakter di sekolah dengan metode gender menjadi
aspek konkrit dalam karakter anak akan mampu menghadapi persoalan dan tantangan dalam
kehidupannya yang akan menjadi seseorang yang berkualitas.
Studi tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya
kualitas sumberdaya pengetahuan apa itu gender dalam hal ini, gender adalah kodrat yang di terima
manusia yang di berikan kepada Allah entah itu laki-laki atau pun perempuan kurangnya
pengetahuan masyarakat gender menyababkan ada nya ketimpangan terutama pada pengetahuan
anak jadi peran guru wajib memberikan pembekalan apa itu gender. Gender masih di kaitan dengan
jenis kelamin padahal hal ini sangat perbeda jenis kelamin membahas tentang organ manusia, dua
pengertian yang berbeda itu sering di artikan sama oleh beberapa masyarakat yang kurang
mengetahui nya.

Perempuan yang masih di anggap rendah mengakibatkan ketidakmampuan mereka dalam
bersaing dengan laki-laki oleh karena itu upaya-upaya yang di lakukan adalah mendidik perempuan
dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan. Disini anak atau siswa di sekolah di ajak
untuk bisa memahami dan dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hubungan sosial
sangat di butuhkan dalam hal ini maupun peran guru di sekolah sebagai pengantar kepada anakanak atau siswa untuk memahami karekter gender di dunia pendidikan, untuk lebih memudahkan
siswa agar cepet mengetahui apa itu yang pendidikan karakter gender yang ada di lingkungn
sekolahnya. Dengan demikian gender sebagai konsep hasil pemikiran manusia atau rekayasa
manusia yang di bentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis yang berbeda karena perbedaan
adat istiadat, budaya, agama, sistem nilai bangsa, masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain

2

gender berubah karena perjalanan sejarah perubahan ekonomi, sosial dan budaya nya atau karena
kemajuan pembangunan. Namun, tidak berhenti di situ saja ada saja masalah dalam yang muncul
dari laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan yang terjadi karena kurang adanya
pengetahuan dari mereka.
Maka konsep ini harus di ketahui dan di pahami terlebih dahulu siswa di sekolah dalam
penyusaian anak tentang peran gender karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran,
tanggung jawab, hak, dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat
walaupun kenyataan nya menunjukkan bahwa gender tidak bisa di abaikan di lingkungan

masyarakat atau pun sekolah, namun sebagai orang tua maupun guru hendaknya dapat mengajarkn
pada anak bahwa peran tersebut dapat berganti karena semua itu tergantung dari krbutuhan, situasi,
minat, dan keterampilan yang di miliki. Itulah sebabnya kadang kala di jumpai seorang laki-laki
yang menekuni kariernya di bidang seni tari, sementara seorang perempuan menekuni kariernya di
bidang teknik dan lain-lain. Hal ini perlu di tanamkan pada siswa atau anak bahwa pada dasarnya
menghargai apa yang di lakukan anak, bukan karena anak itu laki-laki atau pun perempuan.
B. Pendidikan Karakter pada Anak
Pendidikan merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya
untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan ditegaskan
bahwa pendidikan lebih dari sekedar pengajaran. Pendidikan adalah suatu proses di mana suatu
bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu. Jadi,
pendidikan pada dasarnya merupakan upaya Peningkatan kemampuan sumber daya manusia supaya
dapat menjadi manusia yang mandiri serta dapat berkonstribusi terhadap masyarakat dan
bangsanya. Problematika yang dihadapi bangsa dalam hal pendidikan Proses pendidikan yang
profesional dapat membentuk karakter peserta didik 1. Karakter dapat dimiliki apabila kita memiliki
integritas. Karakter-karakter yang menggugah dunia mengisahkan individu yang memiliki karakter
istimewa yang membawa hidup dan dunia mereka lebih

baik. Karakter tersebut membawa


keteguhan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan, penuh semangat yang tinggi dan tidak
mengenal lelah untuk mencapai cita-citanya. Dalam kisah sukses tokoh-tokoh, mereka pasti
memiliki karakter yang istimewa dalam mengatasi permasalahan yang ada pada dirinya. Karakterkarakter tersebut seperti kejujuran, rasa hormat, kesetiaan, martabat, idealisme, berbudi luhur,
kepatuhan, tanggung jawab, kerja sama, keberanian, kendali diri, kepercayaan diri, kelenturan,
penuh harapan, cinta kasih, belas kasih, toleransi, pengampunan, kemurahan hati, keadilan,
merendahkan diri, penuh syukur, humor, kesantunan, cita-cita, keingin tahuan, antusiasme,
keunggulan, mencintai orang lain tanpa pamrih dan kepuasaan hidup.

1

Kholid Musyaddad, Problem Pendidikan di Indonesia, Edu-Bio, Vol. 4, Tahun 2013.

3

Sebagaimana dikatakan di atas bahwa pendidikan karakter muncul untuk mereformasi metodemetode pendidikan. Melihat keadaan yang seperti di jelaskan di atas, makaperlu adanya suatu
metode, strategi, dan media pembelajaran, akhlak yang baik, bener, praktis, dan menyenangkan
seheningga dapat menyeimbangkan kecerdasan dengan melaakukan oleh metode pendidikan
tradisional, maka hal yang sebaliknyalah yang dilakukan oleh pendidik 2. Para pendidik harus
berfikir berpikiran bahwa para guru haruslah dibayar lebih banyak agar mereka lebih banyak juga
memberikan perhatian kepada murid-murid secara individu dan menghilangkan pandangan atau

pendapat bahwa semua murid itu memiliki kemampuan yang sama. Para pendidik yang meyakini
bahwa para murid belajar lebih baik apabila mereka dengan sungguh-sungguh sangat perhatian atas
apa yang dipelajari, yaitu materi pelajaran yang disukai dan sebaliknya akan terjadi bahwa mereka
tidak akan belajar dengan baik apabila mereka ditekan untuk menghafal dan mengingat berbagai
macam fakta-fakta yang dianggap percuma. Anak-anak seharusnya belajar melalui kontak langsung
dengan sesuatu objek pelajaran, tempat dan orang-orang sebagaimana dibaca atau didengarkan oleh
mereka pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik sacara aktif3.
Karakter dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana individu mampu menguasai kondisi
tersebut4. Karakter yang demikian ini disebut sebagai sebuah proses yang dikehendaki dan
maka dapat disimpulkan

bahwa karakter

merupakan

sebuah

kondisi dinamis


struktur

antropologis manusia yang khas dan berbeda sebagai hasil keterpaduan olah hati, pikir, raga, rasa
dan karsa sebagai kondisi bawaan sejak lahir yang disertai dengan usaha menuju penyempurnaan
diri. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan dan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan mahasiswa
untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan
itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati yang telah di terapkan. Pembentukan dan
pengembangan karakter sebagai upaya pendidikan yang diharapkan dapat memberikan dampak
positif baik bagi mahasiswa secara personal maupun bagi lingkungannya. Hal ini sesuai
pendapat bahwa pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik mahasiswa agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungan. Pendidikan karakter
diharapkan dapat menghasilkan perubahan perilaku mhasiswa yang mengarah semakin positif.
Perilaku memiliki arti subjektif bagi setiap pelakunya. Ada pernyatakan bahwa suatu tindakan
2

Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan Program
PREZI (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014).
3

Rifki Afandi, Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar sebagai
Alternatif Menciptakan Sekolah Hijau dalam jurnal Pendagogia, Vol. 2, No. 1, Februari 2013: halaman 98-108.
4
Janrico M.H. Manalu, Pendidikan Karakter Terhadap Pembentukan Prilaku Mahasiswa (Studi Proses
Pendidikan Karakter dalam HMJ Sosiolog Universitas Mulawarman Kal-Tim) dalam ejournal Psikologi, Volume 2,
Nomor 4, 2014 : 26-38.

4

ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya untuk memahami arti
subjektif dari sebuah tindakan berarti bersifat empati, yakni bagaimana menempatkan diri dalam
kerangka berpikir orang lain yang melakukan tindakan, dan situasi serta tujuan-tujuan dilihat
menurut persektif tersebut. Pendidikan karakter merupakan usaha sadar yang mempertimbangkan
tujuan serta cara untuk mencapainya.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponenkomponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah. sekolah dalam hal pembiayaan dan jadwal harian dalam memperoleh
pendidikan yang berkualitas baru sebagian besar guru tidak menyadarinya dan kebijakan kepala
sekolah yang memberikan keleluasaan kepada guru untuk menggunakan metode pembelajaran yang

kreatif serta inovatif untuk peserta didik sudah berjalan dengan baik, dan sudah sebagian besar guru
yang menjalankannya. Dalam hal hubungan sekolah dengan masyarakat serta memiliki mekanisme
pendukung, supervisi dan monitoring didalam pendidikan karakter sudah berjalan cukup baik tetapi
belum maksimal, karna sebagian besar guru tidak mempunyai dan menjalin hubungan yang baik
dengan masyarakat untuk bertukar gagasan mengenai perubahan yang positif dalam menerapkan
pendidikan karakter dan telah memiliki monitoring serta pihakpihak yang mendukung jalannya
pendidikan karakter. Dalam hal kondisi lingkungan sekolah dalam mendukung jalannya
pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter terlihat dari hasil analisis data dan jawaban
pertanyaan penelitian bahwa sebagian besar disekolah memiliki lingkungan yang bersih dan sehat
dan sekolah pun juga telah memiliki fasilitas yang memenuhi kebutuhan peserta didik untuk
mengembangkan pendidikan karakter seperti tempat berwuduk dan mushalla, memiliki tata cara dan
prosedur untuk membantu para guru dan staf pengajar, orang tua dan anak untuk bekerja sama
dalam mengembangkan pendidikan karakter, begitu juga dengan staf pengajar seperti guru agama
demi pencapaian nilai-nilai kareligiusan peserta didik.
Sesuai dengan tujuan utama pembelajaran dengan inkuiri yaitu untuk mengembangkan
intelektual dan keterampilan berpikir dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan sehingga
mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu mereka5. Pada dasarnya sama bahwa di dalam
pembelajaran inkuiri instruktur/guru memfasilitasi diskusi dengan memberikan pertanyaanpertanyaan dan juga memberikan penjelasan yang sesuai. Setelah melakukan kegiatan, data yang
diperoleh dari hasil kegiatan/percobaan dituliskan dalam lembar kegiatan siswa yang telah disusun
oleh guru yang dituangkan dalam bentuk gambar atau tabel sehingga mudah dipahami. Menjelaskan

5

Elly Lailatul Budur, Integrasi Pendidikan Karakter Melalui Inkuiri dengan Lesson Study dalam Pembelajaran
Biologi untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas VII SMPN I Singosari dalam Jurnal
Pendidikan Sains, Volume 1, Nomor 2, Juni 2013, Halaman 171-177.

5

bahwa tabel data dapat digunakan untuk menyampaikan informasi, menunjukkan pola dan
hubungan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional berperspektif di dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara 6. Di indonesia kita bisa
mengetahui sekarang bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan 7, manusia
sebagai makhluk sosial mempunyai ketergantungan satu dengan yang lain sama hal nya dengan hal
pendidikan membutuhkan orang lain kebutuhan pribadi sebagai pendorong.
C. Pembelajaran Gender di Sekolah
Pengertian peran gender jenis kelamin lebih menunjukkan pada dimensi biologis dari menjadi
laki-laki atau perempuan. Sementara gender menunjukkan dimensi sosial dari menjadi laki-laki atau
perempuan. Dua aspek dari gender yang perlu diketahui adalah identitas gender dan peran gender.
Identitas gender adalah suatu perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, dimana hal ini
kebanyakan diperoleh anak begitu ia berusia 3 tahun. Sedangkan peran gender berisi harapanharapan yang menunjukkan bagaimana laki-laki atau perempuan harus berpikir, bertingkah laku,

dan merasakan.Di lain pihak (stereotypegender) diartikan sebagai seperangkat keyakinan tentang
karakteristik yang sesuai menjadi perempuan dan laki-laki. Misalnya begitu anak perempuan lahir,
orang tua cenderung memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki maupun
perempuan. Warna-warna tertentu lebih cenderung ditujukan untuk anak perempuan, sementara
warna lain untuk laki-laki. Dengan berjalannya waktu, perbedaan ini juga tampak dalam gaya
potongan rambut, baju, maupun jenis mainan. Selama masa perkembangannya, orang dewasa dan
kelompok sebaya memberikan dukungan atas perbedaan ini. Anak laki-laki diyakini cenderung
dominan, agresif, independen dan anak peremouan cenderung perhatian, sabar, tergantung.
Pada dasarnya memang ada perbedaan gender dalam kemampuan mental dan kepribadian.
Anak perempuan lebih unggul dalam perkembangan bahasa namun lebih sensitive dan tergantung.
Sedangkan anak laki-laki unggul dalam kemampuan keuangan dan lebih agresif. Hal ini
berdasarkan pandangan bahwa anak perempuan cenderung lebih banyak memanfaatkan otak
sebelah kirinya, sedangkan anak laki-laki lebih banyak memanfaatkan otak sebelah kanannya, yang
banyak berkaitan dengan spasial atau keruangan. Pendidikan bagi perempuan semakin penting
artinya bila dilihat dari tugas dan fungsinya, baik dalam masyarakat maupun dalam rumah tangga 8.
Dengan adanya perubahan zaman menuju industrialisasi, maka kesempatan anak untuk belajar
peran gender juga semakin terbatas. Apalagi dengan majunya tingkat pendidikan wanita yang
berakibat pada meluasnya peran wanita kepada hal-hal yang dulunya hanya dikerjakan laki-laki.
6

Mufidah Ch, Strategi Implementasi Pengerusutamaan Gender Pendidikan Islam, Vol.11,No. 2 November

2011.
7
Ismanto, Evaluasi Pembelajaran Persektif Pembelajaran Kesetaraan Gender dalam Sistem Pendidkan
Nasional, Vol. 8, No. 2, Desember 2015.
8
Khusnul Khotimah, Urgensi Kurikulum Gender dalam Pendidikan dalam jurnal Pemikiran Alternatif
Pendidikan,Vol. 13| No. 3|P3M STAIN Purwokerto | Khusnul Khotimah 1 Sep-Des 2008|420-533.

6

Orang tua berpengaruh dalam perkembangan gender, tampaknya sudah tidak diragukan lagi. Ibu
dan ayah secara psikologis berperan dalam perkembangan gender anak. Ibu secara konsisten
bertanggung jawab terhadap pengasuhan, sementara ayah lebih berperan pada interaksi bermain
dengan anak dan bertanggung jawab menanamkan agar anak laki-laki atau perempuan tunduk pada
norma-norma budaya. Tanpa disadari ayah merupakan bagian penting dalam perkembangan peran
gender daripada ibu karena ayah cenderung bereaksi secara berbeda pada anak laki-laki maupun
perempuan. Banyak keluarga mendororng anak laki-laki dan perempuan untuk terlibat dalam
permainan dan kegiatan yang berbeda. Anak perempuan umumnya bermain dengan boneka sampai
ia mencapai usia sekolah, jika sudah dewasa ia diharapkan dapat mengasuh atau terlibat dengan halhal yang bersifat emosional daripada laki-laki.
Sedangkan anak laki-laki dilibatkan pada permainan yang bersifat agresif. Begitu menginjak
remaja, anak laki-laki lebih diberi kebebasan. Disiplin meski tidak terlalu identik dengan hukuman
tetap merupakan masalah di masa kanak-kanak. Masalah yang sering diperdebatkan di kalangan
ilmu sosial selama beberapa decade, terutama berkaitan dengan peran disiplin dalam mengajar nilainilai, moral, integritas, dan pengendalian diri anak. Saat ini pihak yang paling setuju hukuman
mungkin memberikan nilai kurang bagi yang berperilaku negative dan sebaliknya memberikan
penguatan positif (positive reinforcement) untuk perilaku yang dapat diterima secara
memuaskan.Kelompok sebaya cenderung mendukung anak untuk terlibat dalam aktivitas yang
sesuai jenisnya. Kelompok cenderung mencela anak yang terlibat dalam permainan yang tidak
sesuai dengan jenis kelaminnya. Tuntutan semacam ini akan semakin menonjol menjelang masa
remaja. Pengaruh sekolah dan guru ketika memasuki usia sekolah, anak menyadari dan meyakini
bahwa ada beberapa stereotype, seperti pekerjaan, kepribadian ataupun keinginan berprestasi. Ada
keyakinan, anak laki-laki lebih unggul dalam pelajaran matematika dan etletik, sedangkan anak
perempuan pada pelajaran seni, musik dan ketrampilan. Stereotype gender ini menguatkan perilaku
anak-anak perempuan yang diusia sekolah ntidak menonjol pada pelajaran matematika. Pengaruh
media masa berbagai berita yang disajikan melalui media masa dapat berpengaruh besar dalam
perkembangan gender. Bagaimana cara wanita tampil di televise, majalah atau Koran amat berbeda
dengan laki-laki, wanita lebih banyak ditampilkan di berbagai iklan. Dari apa yang telah diutarakan
di atas, tampak bahwa berdasarkan pandangan/teori belajar sosial, perkembangan gender dapat
dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman anak dengan lingkungannya. Sebetulnya
perkembangan gender juga bisa dipengaruhi oleh faktor biologis dan pemahaman kognitif. Namun,
semua penjelasan ini sangat tergantung dari sudut pandang kita sendiri. Termasuk dalam kognisi
sosial adalah pemahaman mengenai asumsi-asumsi tentang sifat hubungan atau inferensi sosial,
proses sosial, dan perasaan orang lain.

7

Perbedaan pelaku antara siswa perempuan dan laki-laki atas dasar gender masih mewarnai
praktik pendidikan. Tempat duduk yang terpisah antara laki=laki dan perempuan masih banyak
dijumpai di kelas-kelas. Tugas-tugas yang diberikan guru pun seringkali berbeda, misalnya laki-laki
diminta mengumpulkan kliping tentang sains dan teknologi, sementara siswa perempuan tentang
rumah tangga dan pendidikan. Dalam jenjang yang lebih tinggi, posisi strategis dalam organisasi
siswa diduduki siswa laki-laki, sedangkan siswa perempuan cukup menjadi seksi konsumsi, atau
maksimal sekretaris sebagai pemanis dan “pembantu” ketua. Perlakuan yang bias gender ini
mencerminkan bahwa para guru (yang mayoritas justru perempuan) pun ternyata masih tipis
kesadaran gendernya sehingga tanpa sadar ikut melestarikan budaya patriarki. Betapa sering guru
menasihati anak perempuan dengan berkata, "Anak perempuan tidak pantas begitu", dan lebih
toleran terhadap kenakalan yang dilakukan siswa laki-laki. Perbuatan bernilai pantas atau tidak
bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang dikandungnya, misalnya perbuatan membolos
adalah tidak pantas untuk perempuan maupun laki-laki. Praktik bias gender makin nampak pada
buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah.
Perhatikan gambar ayah yang sedang bekerja di kantor sementara ibu sibuk di dapur. Ayah
sedang baca koran, ibu berkebun. Istilah-istilah yang jamak seperti Pak Tani, Pak Sopir, Pak Polisi,
sementara hampir tidak ada Bu Tani, Bu Sopir, dan Bu Polisi. Gambaran anak laki-laki yang nakal
dan lebih aktif, sementara perempuan duduk alim dan penurut. Soal-soal pun tak terhindar dari
praktik bias gender ini, "Siapa yang menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga?" Pertanyaan
soal semacam ini bukan hanya bias gender, melainkan tidak realistis karena dalam kenyataan lebih
banyak ayah dan ibu bersama-sama mencari nafkah, bahkan ada yang hanya memiliki ibu saja.
Pendidikan harus konstektual dan nyambung dengan realitas yang dialami siswa. Lebih daripada
itu, pendidikan mesti mampu mencerdaskan dan mencerahkan siswa. Peran strategis dalam
penyadaran gender adalah para guru. Sudah saatnya kurikulum sekolah keguruan memasukkan mata
kuliah gender. Diknas pun perlu melakukan pelatihan gender terhadap para guru. Dan tentu saja,
para guru sendiri berani membuka wawasan tentang kesetaraan gender. Langkah pertama yang
perlu diambil guru adalah bersikap kritis terhadap praktik bias gender yang ada di lingkungan
sekolah, kemudian susun dan persiapkan sendiri materi ajar, metode, dan pengelolaan kelas, yang
mendukung iklim kesetaraan gender. Untuk jenjang yang lebih tinggi, ajak para siswa untuk
berdiskusi masalah-masalah gender yang sedang aktual. Ajak mereka untuk mengkritisi praktik
eksploitasi dan komersialisasi tubuh perempuan yang mendominasi media dalam segala bentuknya.
Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan menjadi agen perubah sosial yang efektif
dengan merespons secara konstruktif persoalan-persoalan nyata yang sedang dihadapi masyarakat
secara lokal maupun global, bukan melalui mata pelajaran, melainkan pembangunan cara berpikir
dan bersikap. Perubahan cara berpikir yang bertumpu pada kesetaraan gender akan mengubah

8

tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi, termasuk juga model antara suami dan istri yang
saling menghargai harkat dan martabat. Suatu gerakan besar yang akan membarui kehidupan dan
memberi harapan bagi peradaban manusia. Kesadran gender anak-anak tumbuh dalam keluarga
melalui kondisi real hubungan ayah dan ibu serta perlakuan yang mereka dapatkan. Dalam
keluarga-keluarga masih diwarnai praktik bias gender yang tidak adil terhadap perempuan -- ibu
maupun anak. Posisi suami sebagai "kepala keluarga" yang mengambil keputusan final, serta istri
yang harus menanggung beban ganda (peran ganda?) sebagai pengurus rumah tangga dan pencari
nafkah, jelas gambaran tidak adil dan tidak setara. Kesempatan pendidikan lebih diberikan kepada
anak laki-laki, sementara banyak pembatasan lebih diberikan kepada anak perempuan, juga
gambaran bagaimana bias gender ini masih mewarnai kehidupan keluarga. Tradisi dan agama pun
ikut melegitimasi budaya patriarki sehingga memperoleh pembenarannya.
Pada akhirnya, masyarakat pun mengamini praktik-praktik semacam itu. Dibutuhkan
perubahan paradigma, khususnya dalam hubungan suami istri, untuk memulai penumbuhan
kesadaran akan kesetaraan gender dalam keluarga. Suami istri saling menghargai sebagai pribadi
yang semartabat, kendati tetap mengakui adanya perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan-perbedaan fungsi lebih bertumpu pada pembagian tugas dan partisipasi daripada atas
dasar gender. Dalam hal ini, tugas mengurus dan mendidik anak adalah tugas bersama antara ayah
dan ibu. Kesetaraan gender dalam keluarga bukan untuk pertentangan, justru dalam kerangka
pembentukan pola relasi dan komunikasi yang lebih manusiawi antara suami dan istri. Dalam
kondisi seperti ini, kekerasan domestik tak akan terjadi, suami istri tidak saling mendominasi, anakanak akan mendapatkan habitat tumbuh yang kondusif bagi masa perkembangannya. Orangtua bisa
memulai dari hal sederhana, misalnya tidak terlalu menonjolkan perlakuan yang berbeda antara
anak perempuan dan laki-laki seperti anak laki-laki diberikan mainan mobil dan senapan sementara
perempuan melulu boneka dan alat rumah tangga. Anak laki-laki pun perlu dilibatkan dalam urusan
domestik seperti mencuci piring, memasak, dan berbelanja. Hindari kata-kata "Anak perempuan
tidak boleh..." atau "Anak laki-laki harus..." Sama halnya dengan di sekolah, boleh dan tidak boleh
suatu perbuatan bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang dikandungnya. Pendidikan
yang paling efektif adalah keteladanan dan anak-anak belajar dari sana. Orangtua yang memiliki
kesadaran gender tinggi akan melahirkan anak-anak yang demikian pula, dan ini berarti membekali
anak-anak dengan ketrampilan hidup yang sesungguhnya merupakan pelabelan yang diawali
dengan proses persepsi terhadap objek persepsi mengenai berbagai macam ciri dan sifat-sifat
personal yang melekat (seakan permanen) pada sekelompok orang.
Maka peran gender merupakan hasil pelabelan yang akhirnya menjadi ekspektasi (harapan)
sosial, dan sangat sulit untuk diadakan perubahan konsep karena sudah menjadi stereotipe. Gender
sendiri merupakan pelabelan atas laki-laki dan perempuan yang menjadi tokoh utama dalam

9

diskriminasi kelompok minoritas dan lemah adalah perempuaan 9, kontruksi ini tidak lagi
membedakan laki-laki dan perempuan atas perbedaan seks yang dimiliki. Dasar sosialisasi ini
secara kuat telah membentuk ideologi gender, melalui kontruksi sosial yang melembaga. Misalnya,
perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap
kuat, rasional, perkasa, dan jantan. Perempuan dikontruksikan sebagai makhluk yang perlu
dilindungi, kurang mandiri, tidak rasional, hanya mengandalkan perasaan, dan lain-lain.
Konsekuensinya, muncul batasan-batasan yang menempatkan perempuan pada ruang penuh dengan
aturan baku yang perlu dijalankan. Padahal, banyak sisi positif dari perempuan yang
membedakannya dengan laki-laki dan jarang diekspos. Yaitu watak dan karakter. Seperti
kemampuan pengendalian diri, kekuatan emosi, kepekaan sosial, Konsep pembakuan peran gender
yang mengotak-kotakkan peran laki-laki atau suami dan perempuan atau istri ini hanya
memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik yakni sebagai pengurus rumah tangga
sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Kata kunci
untuk memahami gender ada pada kata pembagian, yang dapat dibedakan pada dua sifat; yaiu
pembagian yang sifatnya kodrati dan pembagian yang bersifatnya berubah-rubah sehingga dapat
dipertukarkan. Pembagian yang pertama merupakan pemberian Tuhan yang tidak dapat
dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan dinamakan sebagai pembagian seksual. Sedangkan
pembagian peran, sifat dan watak serta tanggungjawab yang dapat dipertukarkan antara laki-laki
dan perempuan itulah yang dinamakan gender, yang menganggap bahwa anak perempuan tidak
pantas untuk keluar malam karena sangat berbahaya buat diri mereka yang di anggap rentan dari
pada laki-laki dari pembagian itulah kemudian muncul perbedaan gender10.
Oleh karena itu, gender sesungguhnya berkaitan erat dengan proses keyakinan bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan
ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berada. Berdasarkan keyakinan itulah masyarakat
membedakan peran dan fungsi gender sesuai dengan kebutuhannya. Untuk mengurangistereotype
gender pada anak-anak perlu dilakukan beberapa cara oleh orang tua dan guru. Misalnya orang tua
maupun guru dapat membantu anak-anak untuk mengenal peran gender laki-laki dan perempuan.
Orang tua atau guru hendaknya menghargai apa pun yang dilakukan anak bukan karena dia laki-laki
atau perempuan. Contohnya, seorang wanita dapat menjadi presiden dan memahami mengapa
seorang ayah dapat pula merawat anak-anaknya dirumah, menyiapkan makanan , dan lain-lain.
Anak juga perlu menyadari akan stereotype gender di masayaraakat. Meskipun peran gender dalam
masyarakat berbeda antara laki-laki dan perempuan, namun peran tersebut dapat berganti
tergantung situasi dan kebutuhan yang ada. Misalnya banyak dijumpai lingkup pekerjaan atau karier
9

Esti Zaduqisti, Sterotipe Peran Gender bagi Pendidikan Anak, Vol. 1, No.1, Januari-Juni 2009.
Nove Hardani, Konstruksi Gender Di kalangan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Mulawarman,
Volume 3, Nomer 3, 2015.
10

10

laki-laki ditekuni oleh perempuan. Dalam hal ini orang tua atau guru perlu menjelaskan alas an
pemilihan karier tersebut bahwa minat dan keterampilan lebih menentukan pemilihan karier
seseorang. Hubungan dengan rekan memainkan peran utama dalam penentuan gelombang yang
tepat atau fine-tuning kognisi social pada anak usia sekolah. Anggota kelompok sebaya biasanya
dari ras dan status social ekonomi yang sama. Memang, kebanyakan anggota kelompok sebaya
hidup di lingkungan yang secara etnis tidak diversifikasi. Kegiatan kompetitif diantara rekan-rekan,
seperti program dan tugas kelompok di sekolah membantu anak-anak mengembangkan kualitas
hubungan. Juga kegiatan kompetitif, seperti olah raga tim bermakna membantu anak-anak usia
sekolah untuk menemukan talenta atletik serta bagaimana mengelola konflik. Dengan demikian
anak yang lebih tua belajar tentang kepercayaan, kejujuran, dan bagaimana memiliki hubungan
sosial yang bermanfaat ketika mereka berinteraksi dengan teman-teman mereka. Akhirnya kognisi
sosial remaja muncul sebagai hasil hubungan jangka panjang yang terbentuk berdasarkan
kepercayaan. Sepanjang pengalaman ini, benda-benda alamiah lainnya sekaligus sebagai suatu
perkembangan11, anak-anak yang lebih tua memiliki kemampuan lebih untuk mengatasi dunianya
dan lingkungan sosial dengan segala aturannya.
Pada waktu tertentu anak-anak menjadi lebih baik untuk memprediksi perilaku sosial yang
sesuai dan bisa diterapkan. Jika dikatakan bahwa gender adalah interpretasi budaya terhadap
perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gender pada hakikatnya lebih
menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya 12.Identitas dan
nasionalisme kita dalam ketergantungan ekonomi pada asing menyebabkan kita dengan mudah
didikte oleh kekuatan ekonomi dan politik asing dan hal itu akan mencederai kedaulatan kita
sebagai bangsa. Pada masyarakat yang religius, ternyata tuntutan dan kebutuhan atas reproduksi
sehat yang didasarkan atas pemahaman relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan justru
dipandang secara dikotomik, dipisahkan bahkan dipertentangkan dengan ketaatan masyarakat
terhadap agamanya. Seharusnya hal tersebut berjalan bersamaan dan saling melengkapi karena pada
dasarnya ajaran agama mengajarkan kebaikan dan kebajikan, keadilan dan kesetaraan di hadapan
Tuhan. Bilamana agama dirasa menghambat hubungan interaksi harmonis antara sesama manusia,
maka hal itu terkait penafsiran ajaran agama yang bias.
Hal ini terjadi karena adanya keyakinan di dalam masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap
masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan
dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan lelaki 13.
11

Ricardo F. Nanuru, Progresivisme Pendidikan dan Relevansi di Indonesia dalam jurnal Uniera, Volume 2
Nomer 2; ISSN 2086-0404.
12
Safira Suhra, Kesetaraan Gender dalam Perseptif Al-Qur’an dan Implikasinya terhadap Hukum Islam, dalam
Jurnal Al-Ulum Volume. 13 Nomer 2, Desember 2013 Hal 373-394.
13
Made Diska, Widiyani Ni,Sri Hartati, Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali:
Studi Fenomelogis Terhadap Penulisan Perempuan Bali, dalam Jurnal Psikologi Undip Vol. 13 No.2 Oktober 2014, 149162.

11

Dalam pandangan kognitif ini terdapat dua teori yang yang memandang bahwa peran gender lebih
di dominasi karena faktor kognitif seseorang yaitu dipandang sebagai struktur yang terbentuk dari
jaringan asosiasi yang tertata dan akhirnya menimbulkan persepsi yang akhirnya berkesinambungan
sehingga terbentuklah stereotipe peran gender. Dari hasil analisi data dapat ditafsirkan bahwa
kompetensi guru dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah belum berjalan dengan baik,
karena sebagian besar guru tidak mendapatkan pelatihan dan mengikuti seminar dan pembekalan
tentang pengembangan pembelajaran pendidikan karakter. Namun tipe gender anak terjadi setelah
mengembangkan konsep gender. Pengaruh kebudayaan luar dan budaya yang telah ada menjadi
wujud baru yang lebih indah lebih baik serta serasi sesuai selera 14, setelah mereka konsisten
menganggap diri mereka sebagai lelaki atau wanita, anak akan menata dunianya berdasarkan
gender. Dengan teori perkembangan moralnya, yaitu perkembangan yang berhubungan dengan
aturan dan konvensi dari interaksi yang adil antar-orang dan aturan tersebut bisa dikaji dalam
domain kognitif, behavioral (perilaku), dan emosional hal ini di percaya bahwa anak baru
memahami gender (sebagai bentuk konvensi) secara konstan setelah mencapai tahap pemikiran
operasional kongkret, yakni pada usia sekitar tujuh tahun, mereka sudah tahu bahwa lelaki adalah
lelaki, tidak peduli entah dia mengenakan celana atau rok atau apakah rambutnya panjang atau
pendek.
Secara biologis, konstruksi dan fungsi anatomis tubuh antara laki-laki dan perempuan memang
beda. Oleh karenanya, akan sangat logis apabila laki-laki dan perempuan membutuhkan perlakuan
yang berbeda pula dalam pemeliharaannya. Hanya saja, yang terjadi adalah penyamarataan
perlakuan yang berujung pada pengabaian dan kebijakan yang meremehkan fungsi-fungsi
reproduksi perempuan. Sebagai akibatnya, perempuan mengalami proses-proses reproduksi yang
tidak sehat, yang bahkan dapat berujung pada kematian perempuan 15. Selain penelitian yang bias,
media pun dalam hal ini turut memperkuat konstruksi perempuan yang demikian, baik melalui
tayangan maupun iklan yang dibuat. Misalnya, bagaimana perempuan dikonstruksi harus menjadi
cantik melalui iklan-iklan kosmetik dan bagaimana perempuan harus menjadi ibu rumah tangga
yang baik melalui iklan-iklan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, tidak banyak
pihak yang sadar akan hegemoni gender yang telah menyetir kehidupan perempuan. Dari sini, perlu
diupayakan pendidikan yang berbias gender, yaitu dengan tidak melakukan pembedaan atas
perempuan dan laki-laki serta berupaya membongkar strereotip yang timpang.
D. Simpulan
Penegakkan karakter atau rasa hormat siswa pada orang baik dalam di lingkungan sekolah
khususnya maupun di lingkungan masyarakat. Bahwa orang tua maupun guru harus dapat
14

Ulfah Fajarini, Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter,Vol.1, No. 2 Des 2014.
Maya Fitria, Keadilan Gender dan Hak-hak Produktif di pesantren dalam Jurnal Psikologi Vol. 38, NO. 1,
Juni 2011:1-16.
15

12

memahami apa yang dimaksud dengan gender, jenis kelamin, dan apa yang harus dilakukan agar
anak lebih memahami meskipun peran gender dalam masyarakat berbeda, namun peran tersebut
dapat berganti bergantung pada situasi, kebutuhan, minat, dan keterampilan yang dimiliki 16.
pendidikan karakter, sebagian besar sekolah yang memiliki lingkungan yang mendukung
penyelenggaraan pendidikan karakter, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan dan sikap
yang baik dalam pendidikan karakter, sebagian besar guru tidak memiliki kompetensi yang baik,
sebagian besar sekolah telah menggunakan kurikulum dan sebagian besar guru belum menggunakan
penilaian yang cocok bagi pendidikan karakter dan sebagian besar masyarakat belum mendukung
jalannya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter melalui pembelajaran inkuiri dengan lesson study dapat meningkatkan
sikap ilmiah dan hasil belajar kognitif siswa. Sejalannya sikap, persepsi terhadap evaluasi
lingkungan, dan persepsi terhadap kemampuan diri dalam memberikan akses dan kesempatan yang
sama bagi laki-laki dan perempuan dalam pendidikan menguatkan sikap yang kemudian
termanifestasi menjadi sebuah perilaku. Ketika sebuah sikap telah muncul sebagai perilaku dari
sebagian besar orang, tuntutan untuk membuatnya lebih terjamin secara sistem juga menguat.
Dalam proses penyusunan kebijakan atau program, isu atau masalah pendidikan belum berangkat
dari masalah substantif gender bidang pendidikan, melainkan lebih kepada tuntutan instan
pemerintah daerah, khususnya untuk memenuhi usulan program dan menawarkan program
unggulan program pusat. Penilaian terhadap diri atau konsep diri pada masing-masing subjek
cenderung positif karena memiliki kemampuan penerimaan diri, regulasi diri, dinamisme diri,
komitmen terhadap peran reproduktif, penyajian diri, dan penyesuaian diri yang cukup baik. Dalam
pembentukan konsep diri pada tiap subjek dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor dukungan
sosial dan resistensi.
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Faktorfaktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik,
mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun
sebenarnya

yang

menjadi

masalah

mendasar

dari pendidikan di

Indonesia

adalah

sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia
yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman
dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara
pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas
pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas,
efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya
16

Yulia Citra, Pelaksanaan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran, Volume 1 Nomor 1 Januari 2012.

13

yang menjadi penyebabnya yaitu: rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya
kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biaya pendidikan adapun solusi yang
dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
Kemudian menjadi informasi dan dipergunakan oleh aktor untuk opsi-opsi dalam hal yang
mendasari lemahnya pemahaman aktor dikarenakan, tidak memadainya sosialisasi dan pelatihan
gender yang diterima, dengan pemberlakuan sosialisasi dan pelatihan layaknya proyek, serta rotasi
antara siswa, orang tua, guru, dan masyarakat yang tinggi. Kemudian, letak otoritas atau kekuasaan
yang mengurusi persoalan gender ada pada struktur organisasi yang dalam nya ada program
pemerintah, yakni menjadi tupoksi atau landasan Bidang Pendidikan Formal yang di nilai
masyarakat pendidikan bermutu untuk kelangsungan kecerdasan anak-anak nya. Letak yang tidak
strategis menjadi faktor perspektif gender masuk menembus batas-batas sub bidang pada Dinas
Pendidikan atau dapat di artikan ada nya perhatian oleh pemerintah terhadap pendidikan di
indonesia, mengingat bidang tersebut adalah memiliki tupoksi koordinasi atas semua penyusunan
kebijakan atau program pendidikan masih dalam pengawasan pemerintah, sehingga bidang ini bisa
menggunakan otoritasnya untuk membangun konsensus bersama untuk memasukkan perspektif
gender dalam kebijakan atau program pendidikan.
REFERENSI
Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan
Program PREZI (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014).
Elly Lailatul Budur, Integrasi Pendidikan Karakter Melalui Inkuiri dengan Lesson Study dalam
Pembelajaran Biologi untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Hasil Belajar Kognitif Siswa
Kelas VII SMPN I Singosari dalam Jurnal Pendidikan Sains, Volume 1, Nomor 2, Juni
2013, Halaman 171-177.
Esti Zaduqisti, Sterotipe Peran Gender bagi Pendidikan Anak, Vol. 1, No.1, Januari-Juni 2009.
Ismanto, Evaluasi Pembelajaran Persektif Pembelajaran Kesetaraan Gender dalam Sistem
Pendidkan Nasional, Vol. 8, No. 2, Desember 2015.
Janrico M.H. Manalu, Pendidikan Karakter Terhadap Pembentukan Prilaku Mahasiswa (Studi
Proses Pendidikan Karakter dalam HMJ Sosiolog Universitas Mulawarman Kal-Tim) dalam
ejournal Psikologi, Volume 2, Nomor 4, 2014 : 26-38.
Kholid Musyaddad, Problem Pendidikan di Indonesia, Edu-Bio, Vol. 4, Tahun 2013.
Khusnul Khotimah, Urgensi Kurikulum Gender dalam Pendidikan dalam jurnal Pemikiran
Alternatif Pendidikan,Vol. 13| No. 3|P3M STAIN Purwokerto | Khusnul Khotimah 1 SepDes 2008|420-533.

14

Made Diska, Widiyani Ni,Sri Hartati, Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan
Perempuan Bali: Studi Fenomelogis Terhadap Penulisan Perempuan Bali, dalam Jurnal
Psikologi Undip Vol. 13 No.2 Oktober 2014, 149-162.
Maya Fitria, Keadilan Gender dan Hak-hak Produktif di pesantren dalam Jurnal Psikologi Vol. 38,
NO. 1, Juni 2011:1-16.
Mufidah Ch, Strategi Implementasi Pengerusutamaan Gender Pendidikan Islam, Vol.11,No. 2
November 2011.
Nove Hardani, Konstruksi Gender Di kalangan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas
Mulawarman, Volume 3, Nomer 3, 2015.
Ricardo F. Nanuru, Progresivisme Pendidikan dan Relevansi di Indonesia dalam jurnal Uniera,
Volume 2 Nomer 2; ISSN 2086-0404.
Rifki Afandi, Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
sebagai Alternatif Menciptakan Sekolah Hijau dalam jurnal Pendagogia, Vol. 2, No. 1,
Februari 2013: halaman 98-108.
Safira Suhra, Kesetaraan Gender dalam Perseptif Al-Qur’an dan Implikasinya terhadap Hukum
Islam, dalam Jurnal Al-Ulum Volume. 13 Nomer 2, Desember 2013 Hal 373-394.
Ulfah Fajarini, Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter,Vol.1, No. 2 Des 2014.
Yulia Citra, Pelaksanaan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran, Volume 1 Nomor 1 Januari
2012.

15

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4