Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Bel

Beberapa Pemikiran mengenai Inovasi Praktis menuju

Kelas dan Sekolah Inklusif

Berit H. Johnsen

Pada tahun-tahun terakhir ini, gagasan sekolah inklusif telah menjadi isu dominan dalam wacana internasional tentang pendidikan kebutuhan khusus (Ainscow 1997; Dyson 1998; O’Hanlow 1995; Skrtic 1995; 78-79). Beberapa buku dan artikel telah diterbitkan tentang

isu praktis dan teoritis mengenai gagasan ini. Fokus dalam artikel ini adalah isu praktis, 19 mengenai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proses belajar dan mengajar dalam

seting kelas terpadu di mana keragaman individu dan kebutuhan pendidikan khusus dipertimbangkan dengan serius. Seting yang dimaksudkan adalah sekolah dan kelas reguler di sekolah dasar umum setempat. Sebuah model relasi kurikulum dengan sejumlah aspek kunci pendidikan klasik akan disajikan. Kemudian beberapa saran praktis diberikan tentang cara menangani kurikulum individual. Akhirnya beberapa pemikiran tentang pemilihan aspek-aspek kunci dan tentang dilema-dilema pendidikan kebutuhan khusus dibahas. Akan tetapi, pertama-tama fokusnya adalah pada prinsip inklusi.

Pendidikan yang diadaptasikan secara tepat dalam seting pendidikan inklusif

Pernyataan Salamanca menuntut semua negara untuk “mengadopsi prinsip pendidikan inklusif ke dalam perundang-undangan atau kebijakan pemerintah, untuk menerima semua anak di sekolah reguler kecuali bila ada alasan yang mendesak untuk melakukan sebaliknya” (UNE SCO 1994:1x). Mel Ainscow telah melaporkan bahwa banyak negara yang sudah merumuskan strategi-strategi berdasarkan Pernyataan Salamanca dan Kerangk a

A k si tentang Pendidik an Kebutuhan Khusus untuk mendukung gerakan menuju pendidikan inklusif. Contohnya dia menyebutkan negara-negara seperti Australia, Ghana, Hongaria, dan Cina (Ainscow 1997:1). Contoh lainnya, pemerintah Uganda baru-baru ini telah menetapkan “program Pendidikan Dasar Universal” (PDU). Salah satu upaya program ini adalah untuk memberikan prioritas kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Sebagai hasilnya, antara 200.000 hingga 300.000 anak dengan berbagai kebutuhan khusus telah terdaftar di sekolah-sekolah reguler sejak dirumuskannya program tersebut pada tahun 1997 (Kristensen and Kristensen 1997). Contoh kedua

19 Meskipun artikel ini difokuskan pada aspek praktis, tetapi tidak berarti bahwa artikel ini “nonteoritis” atau “ateoritis”. Setiap pernyataan dalam perdebatan atau teks tertulis pada artikel ini didasarkan atas sejumlah teori dan

ideologi yang cenderung eksplisit. Setiap argumen adalah bagian dari sejumlah perdebatan atau wacana yang cenderung konsisten yang terkait. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam teks utama, artikel ini dimaksudkan untuk menunjukkan beberapa aspek kunci dalam praktek pendidikan kebutuhan khusus. Oleh karena itu, pengedepanan teori tidak akan mengambil banyak ruang, meskipun tidak akan diabaikan sama sekali.

adalah Norwegia. Sejak tahun 1975, anak-anak berkebutuhan khusus telah dijamin kesamaan haknya dalam pendidikan dengan perundang-undangan yang sama. Ini berarti bahwa semua anak diterima di sekolah dasar setempat. Menurut undang-undang, sekolah harus menyediakan pendidikan yang setara dan diadaptasikan dengan sesuai untuk setiap orang dalam sistem pendidikan yang terkoordinasi berdasarkan kurikulum nasional yang sama (Johnsen 1998; Kementrian Pendidikan, Penelitian dan Gereja Kerajaan Norwegia 1996:21-22).

Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusif menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Ini menuntut pergeseran besar dari tradisi “mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa di kelas”, menjadi mengajar setiap anak sesuai dengan kebutuhan individualnya, tetapi dalam seting kelas. Siswa mempunyai bermacam-macam minat, bidang dan tingkat penguasaan, komunikasi dan strategi belajar, kecemasan dan kekhawatiran. Siswa-siswa tertentu memiliki kebutuhan khusus akan bantuan karena alasan yang berbeda-beda. Mungkin karena tidak dapat tidur, lapar, takut atau trauma emosional yang mendalam. Di daerah- daerah yang dilanda perang, kelaparan dan bencana alam, beberapa dari kondisi ini biasanya sama-sama dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa. Mungkin juga terdapat berbagai hambatan belajar dan kebutuhan akan dukungan khusus karena kesulitan atau kecacatan, seperti kesulitan membaca, kecacatan sensori-motor atau fisik, gangguan perkembangan atau gabungan beberapa kecacatan yang dikombinasikan dengan sebab-sebab lain. Di setiap kelas sudah barang tentu diperlukan tingkat fleksibilitas yang tinggi untuk mengadaptasikan lingkungan belajar dengan tingkat penguasaan, kemungkinan dan hambatan belajar semua anak. Guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus mempunyai tugas bersama untuk mengadaptasikan lingkungan belajar dengan kebutuhan dan kemampuan setiap siswa di kelas. Jadi, kelas reguler akan menjadi tempat bertemunya pendidikan reguler dan pendidikan kebutuhan khusus. Prinsip pendidikan yang diadaptasikan dalam sekolah inklusif ini memunculkan pertanyaan penting yang pasti harus dijawab secara berbeda-beda oleh setiap guru reguler dan pendidik kebutuhan khusus di setiap sekolah setempat serta di setiap negara.

“Alat profesional” apa yang kita miliki yang memungkinkan kita mengajar sesuai dengan kebutuhan individual semua siswa di kelas?

Ini adalah pertanyaan esensial yang dialamatkan kepada sekolah untuk semua – sekolah inklusif. Pertanyaan tersebut sangat penting dari mana pun titik tolaknya saat ini, tentang kebijakan sekolah, praktek pendidikan dan budaya; apakah di sekolah reguler, suatu unit khusus, sekolah khusus atau di negara di mana mayoritas anak tidak bersekolah.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mempraktekkan inklusi telah dibahas dalam beberapa buku dan artikel yang diterbitkan selama dekade-dekade terakhir ini. Berbagai “alat profesional”, model dan metafor telah disajikan dan dibahas. Akan tetapi, tidak mengherankan bahwa tidak ada satu bukupun yang dapat dikatakan mencakup semua hal yang esensial tentang cara mempraktekkan inklusi. Tidak pula merupakan ambisi saya dalam menyajikan model berikut ini. Maksud dibalik model relasi kurikulum ini adalah untuk menyoroti beberapa aspek proses

belajar/mengajar 20 yang penting, yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan,

20 Aspek PBM adalah suatu konsep yang dipergunakan dalam wacana didaktik dan kurikulum yang mengacu pada aspek-aspek tradisional dari situasi belajar/mengajar yang konkret.

pelaksanaan dan evaluasi pendidikan yang diadaptasikan secara individual dalam kelas inklusif.

Model relasi kurikulum

Model relasi kurikulum yang disajikan di sini adalah satu contoh alat profesional untuk menciptakan situasi belajar dan mengajar yang relevan dengan memperhatikan pluralitas kebutuhan khusus individual setiap siswa. Model ini diarahkan pada dimensi-dimensi berikut dalam pengajaran dan pendidikan kebutuhan khusus yang praktis:

• Sebagai panduan untuk mengkaji beberapa aspek vital dan proses dalam hubungan belajar dan mengajar

• Untuk mendukung kesadaran akan inter relasi yang berkesinambungan antara aspek- aspek dan proses-proses ini

• Sebagai panduan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penting, untuk menemukan sub-aspek dan proses-proses yang penting, untuk mengumpulkan pengetahuan yang relevan, dan untuk melatih keterampilan mengajar yang lazim, yang

bertujuan untuk memenuhi pluralitas kebutuhan pendidikan khusus dan kapasitas para siswa di sekolah inklusif

• Sebagai panduan untuk perencanaan jangka panjang serta jangka pendek • Sebagai kerangka sistem dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi situasi

belajar/mengajar bagi individu siswa maupun kelompok dan seluruh kelas. Sebelum memberikan deskripsi tentang model tersebut, dua modifikasi harus

dipertimbangkan. Yang pertama adalah mengenai pemahaman bahwa teori dan model ituselalu hanya merupakan representasi yang disederhanakan dari realitas yang kompleks. Dengan kata lain, teori dan model itu tidak mencakup semua aspek realitas ini. Tentunya ini juga berlaku dengan model yang disajikan di sini (Bjørndal 1987:10; Bjørndal dan Lieberg 1978:132, 136; Burke 1994:18-21; Lave dan March 1975:3-4). Oleh karena itu, modifikasi yang kedua adalah mengenai aspek kurikulum yang secara khusus difokuskan di dalam artikel ini. Karena aspek-aspek ini tidak “menceritakan seluruh cerita” tentang proses belajar dan mengajar, maka aspek-aspek kurikulum lainnya, yang tidak dibahas di sini, mungkin akan menceritakan bagian-bagian penting dari “cerita” 21 ini.

Model relasi kurikulum ini adalah produk temporer dari suatu proses revisi yang berkesinambungan sejak variasi pertamanya diterbitkan tahun 1994. Karena sajian dalam teks ini berisikan banyak perubahan dari versi yang dipergunakan pada tahun 1998, maka rujukan ke model 1998 itu harus dilakukan secara seksama (Johnsen 1994; 1998). Modul ini didasarkan pada delapan bidang pendidikan utama klasik – aspek PBM– yang beberapa di antaranya mempunyai akar sejarah lama (Johnsen 1994; 1998). Bila pertama kali dikembangkan sebagai alat profesional dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus, model tersebut dimodifikasi dari yang disebut sebagai Model Relasi Didaktik yang disusun oleh Bjørndal dan Lieberg. Model itu merupakan hasil penelitian dan pengembangan selama beberapa tahun terhadap proses kurikulum di dalam pendidikan reguler bersama dengan guru-guru di lapangan (Bjørndal 1987; Bjørndal dan Lieberg 1978).

21 Isu ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian akhir artikel ini.

Kedelapan bidang atau aspek utama kurikulum itu saling terkait secara berkesinambungan – dan juga terkait dengan bakal pengguna alat profesional ini, yaitu guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus. Aspek-aspek utama KBM itu adalah:

• Siswa • Faktor kerangka kerja • Tujuan • Isi • Strategi dan metode serta pengorganisasian • Asesmen dan evaluasi • Komunikasi • Kepedulian

Pada bagian-bagian berikut ini setiap aspek tersebut akan dijelaskan secara singkat dengan contohnya.

Murid

F aktor Evaluasi kerangka

Asesmen Komunikasi

Kepedulian

Strategi Tujuan

metode

organisasi

Isi

Siswa

Siswa atau pelajar tentu saja adalah pengguna utama pendidikan, dan oleh karenanya merupakan fokus utama dalam model relasi kurikulum yang disajikan di dalam artikel ini.

Pengalaman, pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa, kapasitasnya, kemungkinan dan kebutuhan mentoringnya 22 harus dilihat dalam kaitannya dengan pendidikan yang sedang

ditempuhnya. Pandangan ini sesuai dengan tradisi pendidikan klasik yang berpusat pada anak.

Kebalikannya adalah pendidikan yang berpusat pada disiplin ilmu, yang seluruhnya difokuskan pada pengajaran menurut logika dan isi disiplin ilmu itu. Sementara wacana pendidikan kebutuhan khusus mempunyai tradisi untuk memfokuskan perhatiannya pada pelajar dalam perspektif mikro, mengabaikan hambatan yang diciptakan oleh sekolah sebagai sebuah institusi, berbagai tradisi pendidikan reguler mempunyai kecenderungan untuk membatasi fokusnya pada siswa atau pada masalah yang terkait dengan tujuan dan pilihan materi. Di dalam model yang disajikan di sini, baik siswa maupun peranan sekolah dan materi difokuskan bersama-sama dengan sejumlah aspek penting lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh kedelapan aspek kunci yang saling terkait yang dibahas di sini.

Pendidikan yang berpusat pada disiplin ilmu tampaknya memiliki akar yang dalam dan posisi yang kuat dalam praktek pengajaran, sering kali dikombinasikan dengan disiplin ilmu yang memihak atau asesmen hasil belajar siswa yang dikaitkan dengan normanorma standar. Pengajaran dan asesmen seperti ini berlawanan langsung dengan pendidikan yang diadaptasikan secara individual dalam kelompok siswa yang beragam. Oleh karena itu, perkembangan kearah inklusi menuntut adanya perubahan berikut ini:

• Dari pendidikan yang berpusat pada disiplin ilmu yang sempit menuju pendidikan yang berpusat pada pelajar .

• Dari asesmen yang sempit terhadap hasil belajar siswa menuju asesmen yang luas terhadap semua aspek situasi belajar/mengajar, proses dan hasilnya.

Bila kita memfokuskan pada siswa, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pemahaman kita sebagai guru dan pendidik khusus. Faktor-faktor ini berasal dari sejumlah ide dan tradisi yang berbeda dan bahkan antagonistik, dari pengetahuan teoritis dan praktis, dan juga dari pengalaman konkret dengan siswa. Pandangan kita tentang hakikat manusia, masa kanak-kanak dan tentang hakikat belajar adalah fundamental terhadap cara kita melihat anak dan cara kita menafsirkan temuan-temuan kita itu. Pandangan mendasar seperti ini ditentukan secara historis dan kultural serta bersifat subjektif, dan oleh karena itu akan berbeda-beda dari kebudayaan ke kebudayaan dan dari pendidik ke pendidik. Pandangan-pandangan itu juga cenderung disadari (Johnsen 1998/2000). Satu komponen penting dalam merenungkan pemahaman kita tentang siswa (dan semua masalah lainnya) adalah memfokuskan perhatian kita, menyadari dan melisankan pandangan kita terhadap umat manusia, terhadap masa kanak-kanak dan terhadap hakikat belajar.

Sebuah pemahaman pendidikan profesional tentang siswa seyogyanya didasarkan atas pengetahuan pada tingkatan berikut ini:

• Pengetahuan umum tentang belajar dan perkembangan • Pengetahuan tentang strategi belajar bagi kecacatan tertentu

22 Mentor berasal dari kata Yunani, artinya seorang penasehat yang berpengalaman dan terpercaya. Knowles (1975) menggunakan konsep tersebut dalam penjelasannya tentang guru sebagai fasilitator untuk pelajar dewasa.

Di dalam artikel ini, istilah mentor dipergunakan dalam kaitannya dengan pelajar dari semua usia.

• Pengetahuan tentang strategi belajar, minat dan cara berkomunikasi individu (dimodifikasi dari Nafstad 1993).

Bagaimana kita belajar dan bagaimana kita berkembang? Tradisi yang berbeda memberikan jawaban yang berbeda untuk pertanyaan ini. Dalam artikel ini, pembahasan ahli dari Rusia, Lev Vygotsky, tentang belajar dan perkembangan, akan menjadi fokus. Dia menyatakan bahwa dalam mengambil satu langkah dalam belajar, seorang anak mengambil dua langkah dalam perkembangan, artinya bahwa belajar dan perkembangan itu tidak berjalan bersama-sama (Vygotsky dalam Cole et al. 1978:84). Vygotsky menjelaskan pendapatnya itu sebagai berikut:

Sekalinya seorang anak sudah belajar untuk mengerjakan suatu operasi, maka dia mengasimilasikan suatu prinsip struktural tertentu yang bidang terapannya lain dari sekedar operasi-operasi pada bidang di mana prinsip itu telah diasimilasikannya (Vygotsky dalam Cole et al. 1978:84).

Jadi, menurut Vygotsky, perkembangan adalah konsekuensi belajar, yang sekali lagi mengisyaratkan adanya suatu hakikat sosial tertentu dan suatu proses yang membawa anak tumbuh ke dalam kehidupan intelektual mereka yang berada di sekelilingnya (Vygotsky dalam Cole et al. 1978:88). Belajar terjadi di dalam apa yang oleh Vygotsky disebut sebagai zona perkembangan proximal. Dia mengambarkan zona tersebut sebagai berikut:

Zona ini adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual yang ditentukan oleh pemecahan masalah yang dilakukannya secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau berkolaborasi dengan teman sebaya yang memiliki kemampuan lebih (Vygotsky dalam Cole et al. 1978:86).

Berdasarkan pernyataan tersebut, pendidik, teman sekelas dan penyesuaian situasi dan proses belajar/mengajar secara keseluruhan sangat penting untuk pembelajaran. Oleh karena itu, mengases prestasi belajar siswa saja hanya memberikan sebagian dari seluruh informasi yang diperlukan untuk merencanakan pembelajaran dan perkembangannya lebih lanjut. Semua faktor yang mempengaruhi lingkungan belajar dan mengajar perlu dipertimbangkan. Model relasi kurikulum yang digambarkan di sini merupakan sebuah contoh “alat profesional” yang dimaksudkan untuk mengkaji beberapa aspek utama lingkungan belajar yang kompleks ini.

Bagaimana kita dapat belajar mengenal siswa? Pertanyaan ini akan dijawab sejauh tertentu dalam kaitannya dengan asesmen. Berikut ini pertanyaannya akan dibatasi pada siapakah yang dapat memberikan informasi kunci tentang siswa dan hubungannya dengan belajar dan dengan sekolah. Terdapat beberapa sumber informasi dan kerjasama yang penting. Fokusnya di sini adalah pada komunikasi dengan siswa, orang tua dan di antara para guru sendiri.

Sumber informasi dan kerjasama yang paling penting tentu saja adalah siswa itu sendiri . Kebutuhan belajar diases melalui komunikasi rutin dan melalui asesmen formal dan informal terhadap hasil kerja siswa dan strategi bekerjanya. Penting untuk mendorong siswa agar berpartisipasi dalam dialog tentang pendidikannya. Bahkan yang lebih penting adalah mendengarkan siswa dengan seksama, mendengarkan apa minat dan prioritasnya, dan memahami strategi belajar apa yang dapat diterapkannya dan yang lebih disukainya.

Jika pelajarnya seorang anak, sangat penting juga untuk berkomunikasi secara rutin dan bekerjasama dengan 23 orang tuanya. Mereka adalah mitra yang sangat penting dalam

mengases kebutuhan dan minat siswa, dalam merencanakan tujuan jangka panjang serta aspek-aspek lain dari pembuatan dan re-evaluasi kurikulum individual bagi anak mereka. Seyogyanya mereka memiliki banyak informasi tentang anaknya. Lagi pula orang tua membutuhkan informasi dari guru tentang hak dan kemungkinan anaknya. Oleh karena itu, pertukaran informasi dan kerjasama yang rutin dengan orang tua itu penting.

Terdapat beberapa cara untuk menjalin kerjasama dan bertukar informasi dengan orang tua. Jika keadaan memungkinkan, sangat bermanfaat untuk mempersiapkan pertemuan pertama secara seksama. Bila anak mempunyai kecacatan dan mengalami kesulitan, orang tuanya mengalami masa-masa kesedihan dan kecemasan. Pengalaman saya menunjukkan bahwa sekecil apapun kesulitan yang dihadapi anaknya itu menurut pandangan kita sebagai pendidik, orang tua tetap merasa sedih dan khawatir akan masa depan anaknya. Di samping itu banyak orang tua merasa tidak yakin akan sekolah dan merasa tidak nyaman sebelum pertemuan pertamanya dengan guru-guru dan guru pendidikan kebutuhan khusus serta penasehat atau ahli pendidikan lainnya. Jika telah dipersiapkan dokumen tertulis yang berisikan usulan tentang kurikulum individual bagi anaknya, ini akan membantu memfokuskan perhatian pada masalahnya, yaitu belajar dan mengajar siswa itu.

Beberapa literatur tentang kurikulum individual dan program-program pendidikan individual menyarankan agar orang tua mengikuti kelompok kerjasama pembuat kurikulum (Fox & William 1991, Strickland & Turnbull 1993). Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa meskipun berkesempatan untuk duduk dalam komite kerja profesional itu tampaknya dikehendaki oleh orang tua tertentu pada waktu tertentu, tetapi banyak orang tua akan merasa bahwa “dikonfrontasikan” dengan satu tim spesialis itu sebagai menakutkan. Bagi orang tua tertentu, berkesempatan untuk berkomunikasi secara rutin dengan seorang guru pendidikan kebutuhan khusus atau guru reguler serta berkemungkinan untuk mengadakan kontak dengan beberapa pihak lain yang terlibat itu sudah cukup baik. Oleh karenanya, fleksibilitas dan penyesuaian praktek kerjasama dengan kebutuhan individual orang tua itu penting.

Poin ketiga yang perlu disebutkan di sini adalah pentingnya kerjasama guru untuk memperoleh gambaran umum tentang potensi belajar siswa serta kebutuhan khususnya di kelas. Semua guru dan pendidik k husus yang menangani siswa yang sama harus menjadi bagian dari kelompok kerja dengan pertemuan reguler dan koordinasi tanggung jawab yang jelas (Dalen 1982; Dyson 1998; Fox & william 1991, Strickland & Turnbull 1993). Asesmen dan re-asesmen terhadap kebutuhan belajar khusus individual merupakan salah satu masalah kelompok kerja tersebut. Dalam konteks sekolah dasar di Norwegia, guru kelas biasanya bertanggung jawab memimpin tim tersebut, sedangkan guru pendidikan kebutuhan khusus biasanya melakukan asesmen individual.

Di beberapa negara, penasehat pendidikan dari tim layanan psik ologi-pendidik an atau dari pusat pendukung pendidikan kebutuhan khusus merupakan mitra kerjasama sekolah. Mereka juga diharapkan memberi masukan yang penting dari hasil penelitian terbaru dan pengetahuan yang berbasis inovasi mengenai berbagai aspek pendidikan kebutuhan khusus. Mereka berada pada posisi yang baik untuk mendorong terjalinnya jaringan kerja di antara tim guru dari berbagai sekolah serta di antara para orang tua. Anggota profesi lain

23 Tentang kerjasama dengan orang tua lihat juga artikel Rye dalam buku ini.

seperti praktisi medis, pekerja sosial dan bahkan perwakilan dari unsur kepolisian dan pemimpin keagamaan dapat menjadi mitra kerjasama yang potensial yang diperlukan dalam kasus-kasus tertentu.

Bentuk kerjasama itu bervariasi dari satu pertemuan yang singkat sampai pada kemitraan dalam jaringan regional, nasional atau internasional selama beberapa tahun. Pendidikan kebutuhan khusus sering kali menuntut adanya kerja tim lintas sektoral. Penting bagi guru reguler untuk berpartisipasi aktif dalam jaringan kerja tersebut agar sekolah berkembang ke arah prinsip inklusi.

Faktor kerangka kerja

Sementara siswa berada pada pusat perhatian, terdapat sejumlah faktor eksternal yang turut menentukan pilihan dan kemungkinan pendidikan kita, yang harus dipertimbangkan bila kita merencanakan dan mengevaluasi kurikulum kelas dan kurikulum individual. Sekolah sebagai sebuah institusi tergantung pada dan beroperasi di dalam kerangka kerja yang terdiri dari beberapa faktor seperti perundang-undangan, ekonomi dan sumber daya manusia serta sejumlah aspek fisik, sosial dan budaya. Faktor-faktor kerangka kerja menetapkan batasan-batasan dan memberikan arahan. Akan tetapi, faktor-faktor ini juga membuka jalan terhadap kemungkinan-kemungkinan. Oleh karena itu, faktor kerangka kerja difokuskan sebagai salah satu bidang utama dalam model relasi kurikulum yang disajikan di sini.

Di kebanyakan negara, perundang-undangan dan dokumen k ebijak an pendidikan mendeskripsikan hak-hak , kewajiban dan tujuan umum pendidikan resmi. Dalam kebanyakan kasus, tetapi tidak semuanya, aturan-aturan tersebut terkait dengan prinsip- rinsip yang sudah disepakati secara internasional, seperti prinsip sekolah inklusif. Akan tetapi, undang-undang dan kurikulum pendidikan nasional cenderung memiliki sasaran dan tujuan yang berbeda, yang tidak selalu sejalan. Sebaliknya dapat saling memodifikasi atau bahkan bertentangan satu sama lainnya. Ini juga sering terjadi di negara-negara yang mempunyai citra sebagai negara yang aktif menegakkan demokrasi politik, dan satu penyebabnya mungkin adalah bahwa perundang-undangan merupakan hasil kompromi antara berbagai kepentingan dan ideologi (E nglund 198; Johnsen 1998/2000). Dalam membuat kurikulum individu dan kurikulum kelas, perundang-undangan dan kebijakan nasional perlu interpretasi dalam proses mengadaptasikannya dengan situasi pendidikan yang konkret. Perundang-undangan dan kebijakan itu juga perlu dikaitkan dengan Faktor-faktor kerangka kerja lainnya dan aspek-aspek utama kurikulum.

Di beberapa negara, anggaran belanja tahunan nasional dijuluki dengan nama “hukum di atas hukum”, karena butir-butir anggaran untuk pendidikan mempengaruhi kemungkinan untuk mengimplementasikan tujuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Perekonomian adalah faktor kerangka kerja yang paling sering dibahas dan dikeluhkan. Yang terlalu sering dilupakan adalah bahwa pembagian sumber-sumber ekonomi yang ada tergantung pada prioritas yang dibuat oleh para politisi di tingkat pusat dan pejabat setempat, dan dalam kasus tertentu juga oleh pihak manajemen sekolah.

E konomi hanya salah satu dari faktor kerangka kerja yang penting sehubungan dengan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pendidikan. Kualitas profesional mungkin merupakan elemen yang paling penting dalam perkembangan ke arah sekolah inklusif. Prevalensi guru dan guru pendidikan kebutuhan khusus yang berkualifikasi serta kualitas E konomi hanya salah satu dari faktor kerangka kerja yang penting sehubungan dengan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pendidikan. Kualitas profesional mungkin merupakan elemen yang paling penting dalam perkembangan ke arah sekolah inklusif. Prevalensi guru dan guru pendidikan kebutuhan khusus yang berkualifikasi serta kualitas

Bangunan sekolah dan lingkungan sekitarnya termasuk ke dalam faktor kerangka kerja fisik. Kerangka kerja fisik sekolah sangat bervariasi dari negara ke negara maupun dari tempat ke tempat di satu negara. Ruang kelas mungkin gelap dan dingin, dengan pintu yang terlalu sempit untuk kursi roda. Halaman sekolahnya mungkin kecil dan kotor, dikelilingi oleh jalan-jalan padat kendaraan. Mungkin ada bangunan sekolah yang kecil tetapi berada dalam lingkungan yang aman, dengan pepohonan, rumput dan bunga-bunga yang indah, dan anak-anak berkesempatan untuk bermain dengan leluasa dan belajar dengan tenteram. Atau bangunannya mungkin bersih dan bagus, dengan ruangan- ruangan yang berbeda-beda besarnya, meja-meja dan kursi-kursi yang diadaptasikan dengan ukuran siswa, dengan peralatan mengajar yang modern dan lingkungan yang aman. Di beberapa daerah bangunan sekolah berfungsi sebagai jantung masyarakat; berfungsi sebagai tempat untuk pendidikan dan pusat kebudayaan masyarakat. Di beberapa tempat, kepedulian terhadap sekolah dan implementasi pendidikan yang disesuaikan bagi semua orang memperoleh prioritas tinggi dari para politisi setempat serta guru-guru dan orang tua. Seringkali perubahan-perubahan kecil dalam lingkungan fisik dapat menghilangkan atau mengurangi hambatan belajar. Sebagai contoh, ruang kelas yang gelap dapat diatasi dengan diberi penerangan yang lebih baik sehingga lebih mudah bagi siswa untuk membaca teks dan melihat papan tulis. Contoh lainnya adalah membantu mengatasi kesulitan siswa yang kurang mendengar dengan menempatkannya di bagian ruangan kelas yang memungkinkan baginya untuk melihat gerakan bibir dan ekspresi wajah guru. Peralatan di ruang kelas serta kondisi kerja bagi guru tentunya juga merupakan faktor kerangka kerja yang penting. Teknologi baru yang dikembangkan selama dekade-dekade terakhir ini telah meningkatkan kemungkinan bagi guru untuk secara radikal menciptakan kurikulum individual yang fleksibel dan teradaptasi dengan tepat di dalam seting kelas. Akan tetapi teknologi baru juga tergantung pada faktor kerangka kerja ekonomi serta faktor infrastruktur seperti tersedianya listrik yang terus- menerus di daerah yang bersangkutan. Terdapat kekhawatiran bahwa kesenjangan antara sekolah-sekolah di barat dan kesempatan pendidikan di selatan akan meningkat lebih jauh sebagai konsekuensi dari kemungkinan penerapan teknologi komputer, karena perbedaan kondisi ekonomi yang sangat besar untuk memungkinkan penggunaan “bantuan baru ini”.

Kemudian terdapat sejumlah besar fak tor k erangk a k erja sosial dan budaya yang mempengaruhi aktivitas internal di dalam sekolah. Dalam bukunya mengenai ekologi perkembangan manusia, Urie Bronfenbrenner (1979) memperhitungkan masyarakat setempat dengan struktur sosial dan ekonominya, kesempatan kerja dan lingkungan alam sebagai faktor pendukung yang penting untuk belajar dan pendidikan. Di Norwegia sebuah proyek inovasi lokal di sekolah menengah pertama memunculkan kontradiksi dan dilema ketika kurikulum nasional yang sentralistik yang sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dari ibu kota diimplementasikan di desa-desa nelayan yang kecil di daerah utara Norwegia (Høgmo 1981). Kritik dan pengembangan kurikulum alternatif yang dilaksanakan pada proyek itu sangat mempengaruhi wacana dan kebijakan resmi Kemudian terdapat sejumlah besar fak tor k erangk a k erja sosial dan budaya yang mempengaruhi aktivitas internal di dalam sekolah. Dalam bukunya mengenai ekologi perkembangan manusia, Urie Bronfenbrenner (1979) memperhitungkan masyarakat setempat dengan struktur sosial dan ekonominya, kesempatan kerja dan lingkungan alam sebagai faktor pendukung yang penting untuk belajar dan pendidikan. Di Norwegia sebuah proyek inovasi lokal di sekolah menengah pertama memunculkan kontradiksi dan dilema ketika kurikulum nasional yang sentralistik yang sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dari ibu kota diimplementasikan di desa-desa nelayan yang kecil di daerah utara Norwegia (Høgmo 1981). Kritik dan pengembangan kurikulum alternatif yang dilaksanakan pada proyek itu sangat mempengaruhi wacana dan kebijakan resmi

Sejumlah besar faktor sosial dan budaya yang konkret dan mudah ditemukan mempengaruhi sekolah dan kesempatan belajar siswa-siswanya. Bilingualisme dan fakta bahwa anak-anak diharapkan belajar membaca dalam bahasa selain dari bahasa ibunya merupakan hambatan bagi belajar membaca di banyak negara. Orang tua yang buta huruf

merupakan faktor lain yang harus diperhatikan dalam perencanaan kurikulum sekolah. 24 Prioritas dalam pendidikan dapat dilihat sebagai konsikuensi dari faktor sosial dan budaya, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sikap merupakan aspek penting dari faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi bagaimana informasi diinterpretasikan dan pilihan dibuat, baik secara sadar maupun tidak. Prasangka juga berpengaruh besar. Berikut ini adalah beberapa contoh pengaruh sikap. Mungkin pandangan utama dalam masyarakat setempat adalah bahwa sekolah harus memberikan prioritas tertinggi kepada siswa yang “cerdas”? Mungkin kebutuhan khusus dianggap sebagai berbahaya atau sebagai kondisi yang memalukan? Atau mungkin dipandang sebagai bagian dari keragaman manusia yang alami?

Dari penjelasan singkat dan contoh-contoh ini seyogyanya jelas bahwa beberapa faktor kerangka kerja itu jelas dan konkret, bahkan dapat diukur, seperti faktor ekonomi atau jumlah guru yang berkualifikasi. Faktor-faktor lain lebih mengambang dan sulit untuk dilihat, dan beberapa bahkan tetap tinggal sebagai faktor kerangka kerja yang tersembunyi. Faktor kerangka kerja sering kali menjadi obyek perdebatan resmi pada tingkat makro tentang tujuan jangka panjang dan pengaruhnya terhadap pendidikan. Secara umum hal tersebut juga merupakan kontributor penting terhadap perkembangan dan pemeliharaan demokrasi. Lagi pula, pandangan tingkat makro itu tidak kurang pentingnya daripada sudut pandang tingkat mikro dari tim guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus dalam mengases bagaimana faktor kerangka kerja ini mempengaruhi kemungkinan pendidikan dan menciptakan hambatan bagi individu siswa dan bagi kelas dan sekolah secara konkret.

Tujuan

Lembaga pendidikan seperti sekolah dibangun atas dasar tujuan yang ditetapkan dalam undang-undang pendidikan dan dokumen kebijakan lainnya. Satu bagian penting dari tugas profesional guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus adalah menjabarkan tujuan umum menjadi tujuan khusus yang konkret dan dapat dicapai dengan mengadaptasikannya terhadap kebutuhan dan kesempatan belajar siswa.

Secara tradisional, tiga istilah, yaitu maksud, tujuan dan sasaran digunakan untuk menggambarkan pernyataan maksud pendidikan pada tingkat yang berbeda-beda dan pada perspektif waktu yang berbeda pula. Pada umumnya orang membedakan antara tujuan umum, tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, tetapi penggunaan istilah- istilah ini bervariasi dari satu tradisi ke tradisi lainnya dan dari satu negara ke negara lain.

24 Lihat juga artikel Lyster dalam buku ini.

Masyarakat memiliki kebutuhan untuk mewariskan tradisi kepada generasi baru, mendukung mereka agar menjadi warga dewasa yang bertanggung jawab dan agar mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru untuk masyarakat masa depan. Undang-undang pendidikan nasional mencerminkan hal ini di dalam tujuannya. 25 Di

pihak lain, siswa juga memiliki tujuan dan preferensi mereka sendiri yang relatif jelas, dan cita-cita masa depan yang masih jauh serta tujuan jangka pendek yang konkret. Penentuan tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek dalam kurikulum individual didasarkan atas tiga komponen berikut:

• Maksud dan tujuan yang dinyatakan dalam UU pendidikan dan dokumen resmi lainnya

• Tujuan umum, tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek individual • Asesmen tentang pengetahuan, keterampilan dan potensi belajar siswa (Zona

proximal Vygotsky yang dibahas di atas). Jadi, tujuan umum dan tujuan jangka panjang itu diharapkan dapat dioperasionalkan atau

diadaptasikan ke dalam tindakan pendidikan yang konkret di dalam kerangka kebijakan yang ada. Jika perundang-undangan dan peraturan yang ada terlalu terbatas untuk memenuhi kebutuhan pendidikan seorang siswa atau kelas, suatu pengecualian dari tuntutan legal dapat menjadi solusi jangka pendek. Dalam proses adaptasi itu, dialog dan kerjasama dengan siswa merupakan hal yang sangat penting. Begitu pula kerjasama dengan orang tua, sesama guru dan mitra lainnya. Dialog dan kerjasama itu sangat penting khususnya bila siswa mempunyai kebutuhan khusus. Di samping kerjasama dalam pencapaian tujuan pendidikan jangka pendek yang konkret, tujuan umum dan tujuan jangka panjang alternatif mengenai kemungkinan masa depan pribadi dan vokasional siswa pun perlu terus-menerus didiskusikan.

Sebagaimana telah disebutkan di muka, orang tua anak-anak yang berkebutuhan khusus merasa cemas akan masa depan anaknya. Dialog rutin dan kerjasama antara orang tua dan sekolah sangat penting bagi pengembangan rencana-rencana masa depan yang realistis. Dalam kasus-kasus kecacatan yang parah, kerjasama juga perlu diperluas pada lembaga- lembaga layanan yang terkait. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia pada umumnya, perlu ada kerjasama holistik pada tingkat lokal untuk merencanakan masa depan anak yang mencakup, antara lain, perumahan, pekerjaan, kemungkinan kebutuhan layanan sosial dan kesehatan, aktivitas waktu luang dan jaringan sosial. Terdapat perbedaan yang sangat besar dalam hal penyelenggaraan jaringan kerja lokal di berbagai negara dan bahkan juga di berbagai daerah di suatu negara.

Perencanaan masa depan lintas sektoral untuk siswa yang berkebutuhan khusus juga harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Maka informasi mengenai “kasus-kasus yang

baik” tentang kerjasama dapat menjadi sumber ide-ide baru yang bermanfaat. 26 Akan tetapi, ide-ide yang tampaknya baik tidak boleh ditransfer secara langsung dan tanpa perubahan dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Sebaliknya, penting bahwa ide-ide itu dibahas secara seksama dan diadaptasikan dengan kondisi setempat.

25 Harap diingat bahwa perundang-undangan dan dokumen kebijakan dibahas baik sebagai faktor kerangka kerja

maupun sebagai tujuan. 26

Proses inovasi di Kota Meland di daerah pesisir barat Norwegia, dimulai tiga dekade yang lalu, dapat disebut sebagai sebuah ‘contoh klasik yang baik” tentang kerjasama lokal yang holistik.

Kembali ke masalah sekolah dan memfokuskan pada siswa yang berkebutuhan khusus, penting bahwa tujuan individual dirumuskan dalam semua bidang pengajaran dan tema pendidikan, tidak hanya pada bidang-bidang di mana hambatan ditemukan.

Membatasi fokus hanya pada bidang di mana siswa memiliki kebutuhan pendidikan khusus akan memperbesar hambatan yang ada dalam pikirannya sehingga justru akan menghambat keberhasilannya dalam bidang-bidang lain. Pendapat Howard Gardner (1993; 1993a) tentang multi-kecerdasan sangat mendukung pandangan ini. Dia mengkritik fokus yang sempit pada kecerdasan linguistitk dan logika-matematik dalam pendidikan modern, dan berargumen bahwa selain itu ada kecerdasan musik, kecerdasan ruang, kecerdasan fisik-kinaestetik, kecerdasan personal dan kecerdasan sosial.

Kesemua “kecerdasan” ini perlu diperhatikan di sekolah. Jadi, pendidikan itu tidak hanya menghasilkan keterampilan dan pengetahuan yang terikat pada mata pelajaran saja. Pendidikan bertujuan mengembangkan individu mandiri yang aktif dan bertanggung jawab di dalam masyarakat yang baik. Ada tujuan umum untuk mengembangkan rasa harga diri yang positif, rasa tanggung jawab, komunikasi dan keterampilan bekerjasama, toleransi, solidaritas dan kepedulian. Dalam literatur tentang kurikulum individual terdapat kecenderungan yang semakin tinggi untuk menekankan tujuan pengembangan karakter manusia yang umum ini. Demikian pula halnya dalam literatur yang lebih tradisional mengenai program pendidikan individual (E keber & Holmberg 2000; Fox & Williams 1991; Gunnestad 1992; Nordahl & Overland 1996; Putnam 1993; Strickland & Turnbull 1992; Vedeler 1990).

Sebagai bantuan lebih lanjut dalam mengkaji perencanaan kurikulum, akan diperkenalkan beberapa sub-kategori dari maksud, tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan. Berikut ini, empat kategori akan diberikan dengan contoh-contoh, yaitu tujuan pendidikan dalam latihan keterampilan tertentu, dalam memberikan pengetahuan tertentu, dalam kemungkinan untuk mengembangkan sikap, dan dalam memberikan akses ke pengalaman belajar. Untuk merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus dalam proses belajar membaca sebagai satu contoh k eterampilan spesifik, ini dapat dibagi-bagi lagi menjadi sejumlah langkah kecil untuk mengembangkan keterampilan. Kegiatan kehidupan sehari- hari (ADL), seperti berpakaian atau memasang meja secara mandiri, juga sering dilatihkan dengan langkah-langkah kecil. Tujuan umum dan tujuan khusus dalam bermacam-macam mata pelajaran seperti biologi, kesusasteraan dan sejarah dapat dinyatakan berdasarkan pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa dengan berbagai media atau cara.

Meskipun beberapa keterampilan dan jenis pengetahuan dapat dengan mudah ditransfer ke dalam butir-butir yang konkret dan dapat diukur untuk asesmen, tujuan pendidikan dalam pembentukan sikap sering kali lebih sulit untuk dirumuskan. Lagi pula, terdapat masalah etika yang serius yang terkait dengan menyatakan tujuan pembentukan sikap dalam perilaku siswa yang diharapkan, karena sikap tidak dapat diukur – baik dalam bentuk nilai ataupun dalam bentuk penyataan tertulis tentang prilaku siswa yang seharusnya. Akan tetapi, mengembangkan sikap yang pantas itu merupakan tujuan pendidikan yang sangat penting. Oleh karena itu tidak boleh diabaikan hanya karena tidak dapat diukur. Di dalam perencanaan kurikulum, tujuan tersebut dapat dirumuskan sebagai memberi kesempatan untuk mengembangkan sikap melalui kesusasteraan, film, puisi, bermain peran, dan kunjungan ke museum, atau melalui diskusi dan dialog, dengan menyebutkan beberapa kegiatan yang terkait dengan aspek-aspek utama kurikulum lainnya seperti materi, pengorganisasian dan metode.

Kategori keempat dari tujuan adalah pemberian kesamaan ak ses k e pengalaman . Dengan mengambil contoh yang semakin populer, beberapa sekolah di kota merumuskan tujuannya sebagai kunjungan ke peternakan, sehingga anak-anak dapat melihat dan meraba binatang “yang sesungguhnya”, tidak hanya melihatnya di buku bergambar atau televisi. Untuk menciptakan kesempatan bagi siswa untuk mendengarkan berbagai jenis musik, melihat lukisan dan mengunjungi teater merupakan beberapa contoh tujuan dalam memberikan akses ke pengalaman. Beberapa siswa yang berkebutuhan khusus tidak memiliki akses ke berbagai jenis pengalaman kecuali bila kita mengaturnya secara khusus. Lukisan yang dapat diraba dikembangkan bagi orang tunanetra, musik dimainkan agar orang tunarungu dapat merasakan getarannya, dan aksesibilitas ke pusat-pusat kesenian, teater dan stadium atletik disediakan bagi orang tunadaksa. Semua itu adalah contoh- contoh tujuan umum pendidikan dan kemasyarakatan untuk menciptakan kesamaan akses ke berbagai pengalaman.

Ini hanyalah penjelasan yang sangat terbatas tentang beberapa aspek dari banyak aspek dan tingkatan tujuan pendidikan yang perlu dipertimbangkan bila kita menyusun kurikulum individual dan kurikulum kelas.

Isi

Terdapat hubungan yang erat antara tujuan dan isi pendidikan. Secara bersama-sama, kedua aspek kunci ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan tentang apa pendidikan itu. Isi pendidikan dapat dipahami sebagai substansi dan nilai yang diharapkan dapat membentuk siswa menjadi orang yang berpendidikan. 27 Pernyataan dari teori pendidikan

tersebut memunculkan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan ‘orang yang berpendidikan’ itu, dan substansi dan nilai-nilai seperti apa yang harus dipilih untuk tujuan pendidikan itu. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, seorang ahli Jerman, Wolfgang Klafki, mengemukakan hal berikut:

... , bahwa suatu relativitas ganda merupakan esensi isi pendidikan, dengan kata lain substansi dan nilainya. Apakah isi pendidikan itu, atau di manakah letak substansi dan nilainya, pertama, dapat dipastikan hanya dengan mengacu pada anak dan remaja tertentu yang harus dididik, dan, kedua, dengan mengingat situasi orang dan situasi sejarah tertentu, dengan masa lalunya dan masa depannya (Klafki 1999:148).

Bjørndal dan Lieberg (1978) juga menekankan relativitas isi pendidikan. Mereka menonjolkan dimensi sosial budaya dan dimensi yang berpusat pada anak serta dimensi kualitatif dan dimensi kuantitatif sebagai empat kriteria utama untuk memilih isi pendidikan. Akan tetapi, baik Klafki maupun rekan-rekannya dari Norwegia, yaitu semua ahli yang terkemuka di bidang pendidikan reguler, membatasi interrelasi itu hanya antara isi dan berbagai kelompok siswa, seperti kelompok kelas dan jenjang sekolah. Dengan mengubah fokusnya pada siswa secara individual di dalam kelas, tradisi pendidikan kebutuhan khusus yang diarahkan Pada inklusi, maka pandangannya menjadi lebih luas dan sangat penting, seperti yang tercermin dalam model relasi kurikulum yang disajikan dalam artikel ini.

27 Di dalam bahasa Inggris, b aik konsep ‘form’ (membentuk maupun ‘educate’ (mendidik) tidak

mencakup arti yang terkandung dalam konsep Jerman ‘Bildung’ (Bahasa Norwegia: danning), yang merupakan konsep dasar dalam wacana isi pendidikan. Oleh karena itu kata bahasa Jerman sering kali digunakan bahkan dalam teks berbahasa Inggris yang membahas bidang ini.

Perdebatan dan keputusan mengenai isi pendidikan terjadi pada tingkat mikro dan makro. Pada tingkat makro, wacana filosofis dan teoritis mengenai isi pendidikan ini dapat ditelusuri ke masa lampau, sedangkan penelitian pendidikan lebih merupakan fenomena dunia modern. Keputusan-keputusan politis diambil pada tingkat makro dan dinyatakan dalam undang-undang dan dokumen kebijakan lainnya, dan, di banyak negara, juga dinyatakan di dalam kurikulum nasional. Cara merumuskan isi pendidikan itu sangat bervariasi. Beberapa kurikulum nasional menggariskan isi pendidikan itu secara umum, memberikan ruang untuk fleksibilitas kepada sekolah-sekolah setempat dan tim guru, tetapi ada pula kurikulum yang memberikan arahan secara rinci. Pada tingkat mikro, merupakan kewajiban profesional guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus untuk menjembatani kesenjangan antara pernyataan kurikulum resmi dan situasi pembelajaran yang konkret di tiap kelas.

Berbagai konsep digunakan untuk menggambarkan isi dalam literatur pendidikan dan kurikulum nasional. Kategorisasi yang secara luas digunakan adalah membagi isi pendidikan itu menjadi sejumlah mata pelajaran dan tema, yang pada gilirannya dibagi- bagi lagi menjadi sejumlah topik dan subtopik. Tahap berikutnya dalam proses penjembatanan dari tingkat makro ke mikro adalah membuat rencana untuk berbagai kegiatan belajar alternatif dan akibatnya juga untuk kegiatan mengajar. Berdasarkan hasil kerjasamanya dengan guru-guru di lapangan, Bjørndal dan Lieberg (1978:116-118) memberikan perangkat kriteria umum untuk kegiatan belajar yang berkualitas sebagai berikut:

• Konsisten dengan seluruh program pengajaran • Cukup sesuai dengan tujuan • Bervariasi dan serba ragam • Adaptif terhadap individu dan kelompok siswa • Seimbang dan kumulatif • Relevan dan bermakna • Terbuka terhadap integrasi optimal dengan kegiatan belajar lain • Terbuka terhadap pilihan siswa.

Juga sebagai hasil dari proyek kerjasama dengan guru-guru di lapangan, ahli dari Inggris, Booth dan Ainscow et al. (2000:77) menggunakan konsep “lessons” (pelajaran) untuk mengindikasikan isi pendidikan. Dengan bertujuan mengembangkan sekolah menuju inklusi, mereka mengetengahkan sejumlah pertanyaan, sebagai alat untuk memonitor pilihan isi pendidikan di dalam kelas, sebagai berikut:

• Apakah pelajaran memperluas belajar semua siswa? • Apakah pelajaran disusun berdasarkan keragaman pengalaman siswa? • Apakah pelajaran mencerminkan perbedaan-perbedaan dalam pengetahuan siswa? • Apakah jalan terbuka untuk mempelajari berbagai mata pelajaran dengan cara yang

berbeda?

Kedua perangkat kriteria untuk memilih isi pendidikan itu hanyalah contoh tentang beberapa pertimbangan dalam merencanakan kurikulum. Akan tetapi, rencana harian untuk isi pendidikan itu juga harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bahkan lebih konkret, seperti memilih contoh-contoh yang konkret, fenomena, situasi, eksperimen, narasumber, ilustrasi, dan seterusnya. Bahan pembelajaran, peralatan dan lingkungan belajar dapat dipandang sebagai manifestasi konkret dari isi pendidikan. Akan tetapi, pertimbangan metodologi juga sangat mempengaruhi pilihan materi, peralatan dan alat bantu khusus, di samping pertimbangan-pertimbangan dalam aspek-aspek utama lainnya dari model kurikulum ini. Pertimbangan mengenai pilihan materi dll. Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan mengenai pilihan materi dll. akan dijabarkan secara lebih rinci pada sub-bab berikutnya.

Pemilihan isi kurikulum untuk individu maupun untuk kelompok didasarkan atas tujuan dan kebutuhan masyarakat, kebutuhan pendidikan individual siswa dan kelompok atau kelas. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana mengadaptasik an mata pelajaran dan tema dari kurikulum nasional dan lokal dengan keragaman kebutuhan belajar individu. Ini mengundang pertanyaan lain: Bagaimana kita dapat menciptak an lingkungan belajar, merencanakan urutan pembelajaran, dan memperoleh materi dan peralatan yang sesuai dengan kebutuhan setiap siswa? Dan bagaimana kita dapat mengk oordinasik an tugas-tugas belajar yang diindividualisasikan ini agar seluruh kelas dapat bekerjasama dalam tugas belajar tentang tema atau mata pelajaran yang sama?

Strategi belajar, metode pengajaran dan pengorganisasian kelas

Tidak hanya menyangkut isi, tetapi juga metode mengajar dan pengorganisasian harus dipertimbangkan dalam merencanakan kegiatan kelas dan kelompok yang menggunakan pluralitas strategi belajar individual. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan ini harus didasarkan atas pengetahuan tentang strategi belajar yang lebih disukai siswa. Oleh karena itu, penjelasan ini akan dimulai dengan beberapa contoh ilustratif tentang berbagai metode dan strategi belajar , dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan singkat tentang konsekuensi dari metode pengajaran dan pengorganisasian kelas.

Siswa belajar melalui bermacam-macam strategi, kegiatan, media dan metode. Sebagian siswa menguasai generalisasi dari literatur, sedangkan yang lainnya belajar hal yang sama secara lebih efektif melalui pengamatan dan eksperimen. Ada siswa yang perlu menuliskan hal-hal yang sedang dipelajarinya agar dapat mengingatnya, dan ada pula yang belajar lebih cepat dengan berkonsentrasi mendengarkan. Sebagian perlu menggunakan kertas dan pensil untuk “berpikir dalam hubungan”, sebagian mengingat dengan baik apa yang dilihatnya, sedangkan perabaan sangat membantu bagi yang lainnya. Ada yang lebih senang belajar sendiri, dan ada pula yang senang belajar dalam kelompok. Guru besar Hilda Taba (1962:307), mengemukakan bahwa tiap orang membutuhkan teknik belajar yang berbeda untuk mengembangkan dirinya. Sekarang istilah “strategi belajar” digunakan secara luas dalam teori dan penelitian kognitif. Ini mengacu pada strategi individu untuk memfokuskan perhatian, memecahkan masalah, menghafal dan

memonitor proses belajar dan memecahkan masalah. 28

28 Untuk informasi lebih lanjut tentang strategi belajar untuk membaca dan penguasaan aritmetik, lihat juga artikel Lyster dan Ostad dalam buku ini.

Hambatan belajar dapat berakar pada kesulitan dalam strategi belajar dan metode belajar lainnya yang disebabkan oleh faktor biologis, lingkungan atau psikologis, atau kombinasi faktor-faktor tersebut. Untuk memberi contoh lagi, kecacatan sensori seperti berkurangnya atau hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan untuk input informasi eksternal. Disfungsi otak minimal dapat berdampak besar pada konsentrasi. Penelitian mengenai kesulitan membaca dan menulis difokuskan pada hambatan dalam menggunakan strategi belajar seperti ingatan jangka pendek dan operasi meta-linguistik. Strategi belajar juga difokuskan dalam penelitian dan teori-teori pada kesulitan aritmetika, dan juga dalam hubungannya dengan kesulitan belajar umum dan gangguan perkembangan (tunagrahita). Hambatan komunikasi adalah bidang utama lainnya yang sangat difokuskan, baik dalam hubungannya dengan belajar dan perkembangan secara umum maupun dalam kaitannya dengan kecacatan spesifik ataupun kecacatan ganda. Penelitian dan pengembangan strategi komunikasi dan peralatan karenanya sangat penting bagi banyak siswa penyandang cacat ganda, cerebral palsy dan buta-tuli fungsional (Lyster 2001; Nafstad 1993; Ostad 1989-2001; Rye 1993; 2001).

Konsep kesulitan belajar yang digunakan dalam kaitannya dengan metode pengajaran dan pengorganisasian kelas bukannya tanpa masalah. Dalam kaitannya dengan prinsip inklusi, pertanyaan-pertanyaan berikut ini muncul:

• Kapankah suatu cara belajar individu dianggap sebagai kesulitan belajar? • Sejauh manakah pengorganisasian lingkungan – pengajaran kelas – atau faktor-faktor

kurikuler lainnya dapat menjadi alasan utama untuk menamai suatu cara belajar tertentu dengan label kesulitan belajar, dan mengapa itu tidak dipandang sebagai contoh pluralitas cara belajar?