Sikap Berbahasa Masyarakat Batak Simalungun di Desa Tonduhan Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun: Kajian Sosiolingistik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relavan
Penelitian mengenai multilingualisme telah banyak dilakukan oleh para
peneliti di Indonesia. Penelitian-penelitian itu yang dilakukan oleh: Susi Yuliawati
(2008) dalam skripsinya yang berjudul Situasi Kebahasaan di Wilayah
Pangandaran; Suatu kajian sosiolinguistik tentang pergeseran dan pemertahanan
bahasa. Skripsi ini secara umum membahas tentang gejala kebahasaan yang
terjadi lebih cenderung menunjukkan adanya pemertahanan bahasa dalam
komunitas multilingual daripada pergeseran bahasa.
Penelitian Dewi Murni dan Riauwati (2012) dengan judul penelitian
Penggunaan Bahasa oleh Masyarakat Multilingual di Kelurahan Senggarang
Provinsi Kepulauan Riau. Hasil penelitiannya adalah bahwa penelitian ini di
fokuskan pada tuturan sehari-hari dalam keanekabahasaan dan keanekaragaman
budaya yang ada di Wilayah Senggarang.
Kemudian penelitian Katubi yang bergabung dengan SIL International
dalam West Indonesia Survey Team (2003-2006) dengan judul penelitian Sikap
Bahasa dalam Masyarakat Multilingual di Lampung dan Sumatera Selatan.
Penelitian ini secara umum untuk mengantisipasi cara masyarakat merespons
perencanaan bahasa dalam penentuan bahasa yang dianggap paling patut untuk
pengembangan bahasa.

Dewi Mutmainah (2014) dalam tesisnya yang berjudul Multilingualisme
Naskah Lama Kitab Mikraj Nabi: sebuah kajian Sosiolinguistik. Yang menjadi
objek penelitiannya adalah menggunakan bahasa tulis berupa naskah lama Kitab
7

Universitas Sumatera Utara

Mikraj Nabi berbahasa Jawa, yang bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk
multilingualisme yang menghasilkan interferensi, campur kode dan alih kode serta
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa kebahasaan tersebut melalui
kajian sosiolinguistik.
Juni

(2013)

menulis

skripsi

sarjananya


yang

berjudul

Situasi

Kedwibahasaan Masyarakat di Kecamatan Percut Sei Tuan. Skripsi ini membahas
tentang dampak proses industrialisasi dan urbansisasi yang memiliki latar
belakang etnik dan bahasa yang berbeda-beda sehingga memunculkan
keanekaragaman bahasa yang ada di Kecamatan Percut Sei Tuan. Dengan tujuan
untuk mengetahui jumlah variasi bahasa yang muncul di tengah masyarakat dan
mengetahui taraf kemampuan berbahasa pada masyarakat di Desa Bandar Klippa.
2.2 Teori yang Digunakan
Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk yang
berlaku secara umum dan akan mempermudah seorang penulis dalam
memecahkan suatu masalah yang dihadapinya. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang
meneliti interaksi antara dua aspek tingkah laku manusia: penggunaan bahasa dan
organisasi tingkah laku manusia. (Paul Ohoiwutun, 2007:9). Teori yang

digunakan dalam menganalisis gejala alih kode mengacu pada teori Fishman
dalam Chaer dan Agustina (2004:108), yaitu tentang siapa berbicara, dengan
bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa. Teori yang digunakan
dalam menganalisis gejala campur kode menggunkan teori Thelander dalam
Chaer dan Leoni Agustina (2004:115) yang menyatakan perbedaan alih kode dan
campur kode adalah di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu
8

Universitas Sumatera Utara

klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang trjadi adalah alih
kode, tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frasefrase yang digunakan terdiri dari klausa da frase campuran (hybrid cluses, hybrid
phareses), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.
Dalam hal ini menurut Thelander menyatakan memang ada kemungkinan
terjadinya

perkembangan

dari


campur

kode

kkata,

frasee

alih

kode.

Perkembangan ini, misalnya dapat dilihat jika ada usaha untuk mengurangi
kehibridan klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan, serta memberi fungsifungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya masing-masing. Dan untuk
menganalisis Interferensi diangkat oleh Djoko Kentjono 1982 dalam buku Abdul
Chaer dan Leoni Agustina mengatakan bahwa penggunaan serpihan kata, frase
dan klausa di dalam kalimat dapat juga dianggap sebagai interferensi pada tingkat
kalimat.
2.1.1Bilingual atau Multilingual

Seseorang yang menguasai dua bahasa disebut sebagai bilingual atau
dwibahasawan sedangkan penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau
suatu masyarakat dinamai bilingual atau multilingual. Harimurti Kridalaksana
(1982:26) membagi kedwibahasaan ke dalam 3 kategori. Pertama, bilingualisme
koordinat adalah penggunaan bahasa dengan dua atau lebih sistem bahasa yang
terpisah. Seorang bilingual koordinat, ketika menggunakan satu bahasa tidak
menampakkan unsur-unsur dari bahasa yang lain. Pada waktu beralih ke bahasa
yang lainnya tidak terjadi percampran sistem. Kedua, bilingualisme majemuk. Di
sini penutur bahasa menggunakan dua sistem atau lebih yang terpadu, seorang
9

Universitas Sumatera Utara

bilingual majemuk sering mengacaukan unsur-unsur dari kedua bahasa yang
dikuasainnya. Ketiga, kedwibahasaan sub-ordinat. Fenomena ini terjadi pada
seseorang atau masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih
secara terpisah, biasanya masih terdapat proses penerjemahan. Seseorang yang
bilingual sub-ordinat masih cenderung mencampur-adukkan konsep-konsep
bahasa pertama ke dalam bahasa yang kedua atau bahasa asing yang dipelajari.
Kondisi seperti dijumpai pada siswa-siswi (Indonesia) yang mempelajari bahasa

asing tertentu.
Multilingual merupakan hasil dari kontak bahasa pada masyarakat yang
terbuka menerima kedatangan masyarakat lain sehingga mereka melakukan alih
kode dalam berbahasa.
Multiingualisme pada umumnya dihubungkan dengan masyarakat
multilingual, masyarakat yang anggota-anggotanya berkemampuan atau biasa
menggunakan lebih dari satu bahasa bila berkomunikasi antar sesama anggota
masyarakat. Pemahaman terhadap masyarakat multilingual menghantar kita pada
pemahaman akan konsep multilingualisme, yakni gejala pada seseorang atau suatu
masyarakat yang ditandai oleh kemampuan dan kebiasaan memakai lebih dari satu
bahasa. (Harimurti Kridalaksana, 1982:112).
2.2.2 Campur Kode dan Alih Kode
Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual, sering dijumpai
suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu interferensi berbahasa.
Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam
satu kalimat atau wacana bahasa lain, gejala ini disebut campur kode. Campur
kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana
10

Universitas Sumatera Utara


menurut pola-pola yang masih belum jelas. Di Indonesia dikenal bahasa “gadogado” yang diibaratkan sebagai sajian gado-gado, yakni campuran dari
bermacam-macam sayuran. Dengan bahasa gado-gado dimaksudkan penggunaan
bahasa campuran bahasa Indonesia dengan salah satu bahasa daerah.
Campur kode pada umumnya hanya terjadi pada situasi berbahasa tidak
resmi dan didorong oleh motif prestise. Campur kode yang diulas di atas dapat
dibedakan dengan alih kode, yakni peralihan pemakaian dari satu bahasa atau
dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini terjadi karena perubahanperubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang
dimaksud adalah faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar,
laras bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang.
Alih kode pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau
dialek. Rujukannya ialah komunitas bahasa (dialek). Para penutur yang sedang
beralih kode berasal dari minimum dua komunitas dari bahasa-bahasa (dialek)
yang sedang di praktekkan. Sebaliknya pergantian (alih) ragam bukan berarti
bergantian komunitas. Alih ragam terjadi dalam bahasa yang sama, karena
dorongan perubahan situasi berbicara, topik, status sosial, penutur dan sebagainya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alih kode (bahasa atau dialek) dilakukan
oleh dua pihak yang memilki dua komunitas bahasa yang sama. Konsep alih kode
ini mencakup juga peristiwa pada seorang penutur beralih dari satu ragam
fungsiolek (misal, ragam santai) ke ragam lain (misal, ragam formal) atau dari

satu dialek ke dialek lain (Nababan, 1993:31).

11

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (dalam buku
Paul Ohoiwutun, 2007:72) menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur
bahasa lain yang dilakukan oleh penutur multilingual. Penutur multilingual
menggunakan banyak bahasa yang secara bergantian dan bilingual menggunakan
dua bahasa secara bergantian.
Interferensi harus dibatasi sebagai fenomena tuturan (parole) bukan
fenomena sistem bahasa (language). Sebagai gejala parole, interferensi hanya
menjadi milik dwibahasa, bukan milik masyarakat bahasa secara umum. Gejala
interferensi terdapat 3 bagian, yakni: 1) dimensi tingkah laku berbahasa dari
individu-individu di tengah masyarakat, 2) dimensi sistem bahasa dari kedua
bahasa atau lebih yang berbaur, dan 3) dimensi pembelajaran bahasa.
Hadirnya alih kode dan campur kode merupakan akibat dari kemampuan

anggota masyarakat berbahasa lebih dari satu. selain itu bila dua atau lebih bahasa
bertemu karena digunakan oleh penutur dari komunitas bahasa yang sama, maka
akan terjadi bahwa komponen-komponen tertentu dapat tertransfer dari bahasa
yang satu, yakni bahasa sumber ke bahasa yang lain, yakni bahasa penerima.
Akibatnya terjadi pungutan bahasa atau interferensi sebagaimana diistilahkan oleh
Weinreich (1953). Proses terjadinya interferensi sejalan dengan proses terjadinya
difusi kebudayaan yang kita kenal dalam ilmu sosiologi.

12

Universitas Sumatera Utara