Uji Efek Penurunan Kadar Asam Urat Dari Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek (Bryophyllum Pinnatum (Lam.) Oken) Pada Mencit Jantan

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cocor Bebek (Bryophyllum pinnatum (Lam.) Oken) 2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Tanaman Bryophyllum pinnatum (Lam.) Oken dapat diklasifikasi sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Rosales

Suku : Crassulaceae Marga : Bryophyllum

Jenis : Bryophyllum pinnatum (Lam.) Oken Sinonim : Kalanchoe pinnata Lam. Pers

(Depkes RIa, 2000) 2.1.2 Nama Daerah

Didingin (aceh), ceker bebek, cocor bebek (Sumatera Utara, Riau, Jambi), daun sejuk (Palembang), buntiris (Sunda), ceker itik, sosor bebek, suru bebek (Jawa), daun sejuk (melayu), daun ancar bebek (Madura), mamala (Halmahera), rau kufiri (Ternate) dan kabi-kabi (Tidore) (Depkes RIa, 2000).

2.1.3 Nama Asing

Life plant, floppers, miracle leaf, cathedral bells, air plant (Amerika, Inggris); bendingin, seringen (Brunai Darussalam); sedingin, seringin, setawar padang (Malaysia); karitamana, abisrana, katakataka (Filipina); Luodishenggen


(2)

7

(Cina); pountay poun po (Laos); yoekiyapinba (Myanmar); bencha chat, ton tai bai pen, khuwum taai ngaai pen (Thailand) (Trubus, 2013).

2.1.4 Deskripsi Tanaman

Cocor bebek merupakan tumbuhan semak atau tumbuhan semusim dengan tinggi 30-100 cm. Batang bersegi empat, lunak, beruas, tegak, hijau. Daun tebal, tunggal, berbentuk lonjong, bertangkai pendek, ujung tumpul, tepi bergerigi, pangkal membundar, panjang 5-20 cm, lebar 2,5 – 15 cm. Bunga berbentuk malai, majemuk, menggantung, kelopak silindris, berlekatan, berwarna merah keunguan, benang sari delapan, putik panjang ± 4 cm, mahkota berbentuk corong dan panjangnya 3,5-5,5 cm. Buah berbentuk kotak dan berwarna ungu bernoda putih. Biji kecil dan putih dan berakar tunggang berwarna kuning keputihan (Depkes RIa, 2000).

2.1.5 Khasiat Secara Tradisional

Bryophyllum pinnatum (Lam.) Oken digunakan secara tradisional untuk pengobatan wasir, pusing, penurun panas, obat batuk, dan peluruh air seni (Depkes RIa, 2000). Masyarakat di Bundelkhand, India menggunakan jus daun segar cocor bebek untuk mengatasi penyakit kuning. Daun segar dihaluskan lalu dijadikan kompres pada luka bakar. Ilmu pengobatan Cina menggunakan seluruh bagian tanaman yang dipercaya memberi efek dingin untuk menghentikan pendarahan, menghilangkan panas, dan detoksifikasi (Trubus, 2013).

2.1.6 Kandungan Kimia

Daun cocor bebek mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin (Safitri, dkk., 2013; Depkes RIa, 2000), asam askorbat, quercetin, kaempferol dan bryophyllin (Utami, 2003), asam cis-akonitat, asam ferulak, asam


(3)

8

syringat, asam kofeat, asam p-hydroxybenzoat, dan beberapa asam organik, β -sisterol, kuersetin-3-0-α-rhamnopyranosil-α-L-arabinopyranosida (Trubus, 2013). 2.1.7 Aktivitas Farmakologi Hasil Penelitian

Tanaman cocor bebek memiliki efek sebagai analgetik (Safitri, dkk., 2013), memiliki efek antiinflamasi (Wirda, 2001), antidiabetes (Dewiyanti, dkk., 2012), obat luka bakar (Hasyim, dkk., 2012), dan hepatoprotektor (Trubus, 2013).

2.2 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat di dalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 1979). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, dibedakan menjadi:

a. Cara dingin

Metode ekstraksi cara dingin dibedakan menjadi: i. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).

ii. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.


(4)

9 b. Cara Panas

Metode dengan cara panas dibedakan menjadi: i. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

ii. Soxhletasi

Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

iii. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

iv. Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15 menit di penangas air, dapat berupa bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih.

v. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infundasi pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RIb, 2000).


(5)

10 2.3 Asam Urat

Asam urat merupakan produk akhir katabolisme purin dalam tubuh yang tidak memiliki tujuan fisiologis sehingga dapat dianggap sebagai produk buangan (Katzung, dkk., 2002). Secara alamiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel, yakni makanan dari tanaman (sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). Asam urat sebagian besar dieksresi melalui ginjal dan sebagian kecil melalui saluran cerna (Nucleus, 2011).

Asam urat pada serum normal pada laki-laki adalah 5,1 ± 1.0 mg/dl dan pada perempuan adalah 4,0 ± 1.0 mg/dl. Nilai ini akan meningkat sampai 9-10 mg/dl pada seseorang dengan gout (Price dan Wilson, 2005). Sedangkan pada mencit normal kadar asam uratnya adalah 0,5-1,4 mg/dl dan mencit dikatakan hiperurisemia jika kadar asam uratnya berkisar antara 1,7-3,0 mg/dl (Muhtadi, dkk., 2012). Manusia memiliki kadar asam urat yang lebih tinggi dari hewan mamalia lain karena manusia tidak memiliki enzim urikase, yaitu enzim yang menguraikan asam urat menjadi allantoin yang mudah larut (Katzung, 2002). 2.3.1 Metabolisme Asam Urat

Nukleotida purin yang utama pada manusia adalah adenosine monofosfat (AMP) dan guanosin monofosfat (GMP). Kedua nukleotida tersebut akan dipecah menjadi bentuk nukleosida oleh fosfomonoesterase menjadi adenosine dan guanosin. Adenosine akan mengalami deaminasi menjadi inosin oleh enzim adenosine deaminase. Fosforilasi ikatan N-glikosinat inosin dengan guanosin dikatalis oleh nukleosida purin fosforilase sehingga akan dilepaskan senyawa ribose-1-fosfat dan basa purin. Setelah itu, hipoxantin dan guanin membentuk


(6)

11

xantin yang masing-masing dikatalis oleh enzim xantin oxidase dan guanase. Xantin yang terbentuk akan kembali dikatalisis oleh xantin oxidase menjadi asam urat (Murray, dkk., 2003).

2.3.2 Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar asam urat dalam darah serta merupakan faktor penyebab terjadinya hiperurisemia adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan produksi asam urat (overproduction)

i. Penyebab primer yaitu terjadi peningkatan aktivitas phosporibosyl

pyrophosphate synthetase (PRPP synthetase) akan meningkat

menyebabkan peningkatan PRPP yang merupakan kunci sintesa purin dan terjadi defisiensi hypoxantine guanine phosporibosyl transferase (HGPRT) akan meningkatkan metabolisme guanin dan hipoxantin menjadi xantin. ii. Penyebab sekunder adalah terjadi peningkatan asupan purin, konversi asam

nukleat meningkat, penguraian ATP meningkat. b. Penurunan eksresi asam urat (underproduction)

Hal ini dapat terjadi karena penyebab primer dan penyebab sekunder yaitu berupa insufiensi ginjal, terjadi inhibisi pengeluaran asam urat, dan peningkatan reabsorbsi tubular (Gaw, dkk., 2011).

2.3.3 Gout

Gout adalah penyakit metabolik yang ditandai arthritis akut berulang karena endapan kristal asam urat di persendiaan dan tulang rawan. Istilah gout digunakan untuk menggambarkan keadaan penyakit yang berkaitan dengan


(7)

12

hiperurisemia. Gout adalah diagnosis klinis sedangkan hiperurisemia adalah kondisi biokimia (Mariani, dkk., 2012). Gout dapat bersifat primer dan sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obat tertentu (Price dan Wilson, 2005).

Terdapat empat tahap perjalanan klinis gout yang tidak terobati, yaitu: a. Tahap hiperurisemia asimtomatik

Pada tahap ini pasien tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari peningkatan kadar asam urat serum. Hanya 20% dari pasien hiperurisemia asimtomatik yang berlanjut menjadi serangan gout akut.

b. Tahap arthritis gout akut

Serangan gout akut terjadi ketika kristal urat mulai terbentuk pada cairan sinovial. Pada tahap ini gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang akut dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Keluhan berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistem berupa demam, menggigil dan merasa lelah.

c. Tahap interkritis

Tahap interkritis merupakan kelanjutan stadium gout akut, dimana secara klinik tidak muncul tanda-tanda radang akut, meskipun pada cairan sendi masih ditemukan kristal urat, yang menunjukkan proses kerusakan sendi yang terus berlangsung progesif. Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun sampai 10


(8)

13

tahun tanpa serangan akut dan tanpa tata laksana yang adekuat akan berlanjut ke stadium gout kronik.

d. Tahap gout kronik

Pada tahap ini terjadi kerusakan persendian dan bahkan persendian mengalami kehancuran total oleh adanya deposit kristal asam urat, terjadi kerusakan yang ekstensif dan permanen (Price dan Wilson, 2005).

2.4 Obat Antihiperurisemia

Berikut ini adalah golongan obat-obat yang digunakan untuk mengatasi kondisi hiperusemia:

a. Golongan urikosurik

Golongan urikosurik yaitu golongan obat yang dapat meningkatkan eksresi asam urat. Obat-obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi asam urat di tubulus ginjal sehingga peningkatan eksresi asam urat melalui urin. Oleh karena itu, fungsi ginjal yang baik, sangat mendukung mekanisme kerja obat golongan ini. Probenesid dan sulfinpirazon adalah contoh obat golongan urikosurik (Katzung, dkk., 2002).

b. Golongan urikostatik

Golongan urikostatik yaitu golongan obat yang dapat menghambat pembentukan asam urat obat golongan ini bekerja dengan menghambat pembentukan asam urat obat golongan ini bekerja dengan menghambat aktivitas enzim xantin oksidase yang berperan dalam metabolisme hipoxantin menjadi xantin menjadi asam urat. Berdasarkan mekanisme


(9)

14

tersebut, produksi asam urat akan berkurang dan produksi xantin dan hipoxantin meningkat dan dibuang melalui ginjal (Dipiro, 1997).

Allopurinol adalah satu-satunya obat golongan urikostatik yang digunakan sampai saat ini. Allopurinol dan metabolitnya oksipurinol (alloxantine) merupakan inhibitor xantin oksidase dan mempengaruhi perubahan hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi asam urat. Allopurinol juga menurunkan konsentrasi intraseluler PRPP. Oleh karena waktu paruh metabolitnya panjang, allopurinol cukup diberikan satu kali sehari. Dosis awal untuk allopurinol adalah 100 mg sehari, dosis allopurinol dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari tergantung pada respon kadar asam urat. Efek samping pada pemakaian allopurinol yaitu terjadi gangguan gastrointestinal termasuk mual, muntah dan diare, terjadi reaksi alergi, toksisitas hati, neuritis perifer dan lain-lain (Katzung, dkk., 2002). Mekanisme inhibisi sintesis asam urat oleh allopurinol dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Mekanisme inhibisi sintesis asam urat oleh allopurinol (Katzung, dkk., 2002)

Keterangan : = menghambat


(10)

15 2.5 Kalium Oksonat

Kalium oksonat merupakan salah satu penginduksi hiperurisemia pada hewan pengerat, dan biasanya diberikan dengan cara injeksi intraperitonial. Kalium oksonat bekerja dengan cara menghambat enzim urikase. Enzim tersebut dapat mengurai asam urat menjadi allantoin yang dapat larut dalam air. Jika enzim tersebut dihambat maka akan terjadi penumpukan asam urat pada hewan uji (Wanatabe, dkk., 2006). Metabolisme asam urat menjadi allantoin dan mekanisme kerja kalium oksonat dalam menghambat enzim urikase dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Keterangan : Menghambat Menguraikan Terurai

Gambar 2.2 Mekanisme kerja kalium oksonat dalam menghambat enzim urikase (Mazzali, dkk., 2001)

Enzim Urikase

Allantoin Asam Urat


(1)

10 2.3 Asam Urat

Asam urat merupakan produk akhir katabolisme purin dalam tubuh yang tidak memiliki tujuan fisiologis sehingga dapat dianggap sebagai produk buangan (Katzung, dkk., 2002). Secara alamiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel, yakni makanan dari tanaman (sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). Asam urat sebagian besar dieksresi melalui ginjal dan sebagian kecil melalui saluran cerna (Nucleus, 2011).

Asam urat pada serum normal pada laki-laki adalah 5,1 ± 1.0 mg/dl dan pada perempuan adalah 4,0 ± 1.0 mg/dl. Nilai ini akan meningkat sampai 9-10 mg/dl pada seseorang dengan gout (Price dan Wilson, 2005). Sedangkan pada mencit normal kadar asam uratnya adalah 0,5-1,4 mg/dl dan mencit dikatakan hiperurisemia jika kadar asam uratnya berkisar antara 1,7-3,0 mg/dl (Muhtadi, dkk., 2012). Manusia memiliki kadar asam urat yang lebih tinggi dari hewan mamalia lain karena manusia tidak memiliki enzim urikase, yaitu enzim yang menguraikan asam urat menjadi allantoin yang mudah larut (Katzung, 2002). 2.3.1 Metabolisme Asam Urat

Nukleotida purin yang utama pada manusia adalah adenosine monofosfat (AMP) dan guanosin monofosfat (GMP). Kedua nukleotida tersebut akan dipecah menjadi bentuk nukleosida oleh fosfomonoesterase menjadi adenosine dan guanosin. Adenosine akan mengalami deaminasi menjadi inosin oleh enzim adenosine deaminase. Fosforilasi ikatan N-glikosinat inosin dengan guanosin dikatalis oleh nukleosida purin fosforilase sehingga akan dilepaskan senyawa ribose-1-fosfat dan basa purin. Setelah itu, hipoxantin dan guanin membentuk


(2)

11

xantin yang masing-masing dikatalis oleh enzim xantin oxidase dan guanase. Xantin yang terbentuk akan kembali dikatalisis oleh xantin oxidase menjadi asam urat (Murray, dkk., 2003).

2.3.2 Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar asam urat dalam darah serta merupakan faktor penyebab terjadinya hiperurisemia adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan produksi asam urat (overproduction)

i. Penyebab primer yaitu terjadi peningkatan aktivitas phosporibosyl

pyrophosphate synthetase (PRPP synthetase) akan meningkat

menyebabkan peningkatan PRPP yang merupakan kunci sintesa purin dan terjadi defisiensi hypoxantine guanine phosporibosyl transferase (HGPRT) akan meningkatkan metabolisme guanin dan hipoxantin menjadi xantin. ii. Penyebab sekunder adalah terjadi peningkatan asupan purin, konversi asam

nukleat meningkat, penguraian ATP meningkat. b. Penurunan eksresi asam urat (underproduction)

Hal ini dapat terjadi karena penyebab primer dan penyebab sekunder yaitu berupa insufiensi ginjal, terjadi inhibisi pengeluaran asam urat, dan peningkatan reabsorbsi tubular (Gaw, dkk., 2011).

2.3.3 Gout

Gout adalah penyakit metabolik yang ditandai arthritis akut berulang karena endapan kristal asam urat di persendiaan dan tulang rawan. Istilah gout digunakan untuk menggambarkan keadaan penyakit yang berkaitan dengan


(3)

12

hiperurisemia. Gout adalah diagnosis klinis sedangkan hiperurisemia adalah kondisi biokimia (Mariani, dkk., 2012). Gout dapat bersifat primer dan sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obat tertentu (Price dan Wilson, 2005).

Terdapat empat tahap perjalanan klinis gout yang tidak terobati, yaitu: a. Tahap hiperurisemia asimtomatik

Pada tahap ini pasien tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari peningkatan kadar asam urat serum. Hanya 20% dari pasien hiperurisemia asimtomatik yang berlanjut menjadi serangan gout akut.

b. Tahap arthritis gout akut

Serangan gout akut terjadi ketika kristal urat mulai terbentuk pada cairan sinovial. Pada tahap ini gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang akut dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Keluhan berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistem berupa demam, menggigil dan merasa lelah.

c. Tahap interkritis

Tahap interkritis merupakan kelanjutan stadium gout akut, dimana secara klinik tidak muncul tanda-tanda radang akut, meskipun pada cairan sendi masih ditemukan kristal urat, yang menunjukkan proses kerusakan sendi yang terus berlangsung progesif. Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun sampai 10


(4)

13

tahun tanpa serangan akut dan tanpa tata laksana yang adekuat akan berlanjut ke stadium gout kronik.

d. Tahap gout kronik

Pada tahap ini terjadi kerusakan persendian dan bahkan persendian mengalami kehancuran total oleh adanya deposit kristal asam urat, terjadi kerusakan yang ekstensif dan permanen (Price dan Wilson, 2005).

2.4 Obat Antihiperurisemia

Berikut ini adalah golongan obat-obat yang digunakan untuk mengatasi kondisi hiperusemia:

a. Golongan urikosurik

Golongan urikosurik yaitu golongan obat yang dapat meningkatkan eksresi asam urat. Obat-obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi asam urat di tubulus ginjal sehingga peningkatan eksresi asam urat melalui urin. Oleh karena itu, fungsi ginjal yang baik, sangat mendukung mekanisme kerja obat golongan ini. Probenesid dan sulfinpirazon adalah contoh obat golongan urikosurik (Katzung, dkk., 2002).

b. Golongan urikostatik

Golongan urikostatik yaitu golongan obat yang dapat menghambat pembentukan asam urat obat golongan ini bekerja dengan menghambat pembentukan asam urat obat golongan ini bekerja dengan menghambat aktivitas enzim xantin oksidase yang berperan dalam metabolisme hipoxantin menjadi xantin menjadi asam urat. Berdasarkan mekanisme


(5)

14

tersebut, produksi asam urat akan berkurang dan produksi xantin dan hipoxantin meningkat dan dibuang melalui ginjal (Dipiro, 1997).

Allopurinol adalah satu-satunya obat golongan urikostatik yang digunakan sampai saat ini. Allopurinol dan metabolitnya oksipurinol (alloxantine) merupakan inhibitor xantin oksidase dan mempengaruhi perubahan hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi asam urat. Allopurinol juga menurunkan konsentrasi intraseluler PRPP. Oleh karena waktu paruh metabolitnya panjang, allopurinol cukup diberikan satu kali sehari. Dosis awal untuk allopurinol adalah 100 mg sehari, dosis allopurinol dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari tergantung pada respon kadar asam urat. Efek samping pada pemakaian allopurinol yaitu terjadi gangguan gastrointestinal termasuk mual, muntah dan diare, terjadi reaksi alergi, toksisitas hati, neuritis perifer dan lain-lain (Katzung, dkk., 2002). Mekanisme inhibisi sintesis asam urat oleh allopurinol dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Mekanisme inhibisi sintesis asam urat oleh allopurinol (Katzung, dkk., 2002)

Keterangan : = menghambat


(6)

15 2.5 Kalium Oksonat

Kalium oksonat merupakan salah satu penginduksi hiperurisemia pada hewan pengerat, dan biasanya diberikan dengan cara injeksi intraperitonial. Kalium oksonat bekerja dengan cara menghambat enzim urikase. Enzim tersebut dapat mengurai asam urat menjadi allantoin yang dapat larut dalam air. Jika enzim tersebut dihambat maka akan terjadi penumpukan asam urat pada hewan uji (Wanatabe, dkk., 2006). Metabolisme asam urat menjadi allantoin dan mekanisme kerja kalium oksonat dalam menghambat enzim urikase dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Keterangan : Menghambat Menguraikan Terurai

Gambar 2.2 Mekanisme kerja kalium oksonat dalam menghambat enzim urikase (Mazzali, dkk., 2001)

Enzim Urikase

Allantoin Asam Urat