Posisi Indonesia Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 ( Studi Analisis Realisme Hubungan Internasional )
BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau lebih populer dengan
sebutan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah
organisasi geopolitik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 berdasarkan Deklarasi Bangkok oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regionalnya, serta meningkatkan
kesempatan untuk membahas perbedaan di antara anggotanya dengan damai1.
Sejarah terbentuknya kerjasama oleh negara – negara yang berada di
kawasan Asia Tenggara sebelum terbentuknya ASEAN diawali oleh adanya
SEATO ( South East Asia Treaty Organization ) yang dibentuk pada September
1954.
Beberapa dekade setelah ASEAN terbentuk timbul keinginan negara –
negara anggota ASEAN membentuk sebuah komunitas Asia Tenggara yang
1
(2)
terintegrasi yang langsung ditindaklanjuti pada pertemuan para pemimpin negara
– negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur yang membahas tentang peningkatan
kompetisi di bidang ekonomi kawasan Asia tenggara, tahun 2003 pada Perjanjian Bali II dan ditandanganinya Piagam ASEAN pada tahun 2007. Hasil dari ketiga
perjanjian tersebut secara garis besar menuntut adanya negara – negara ASEAN
yang terintegrasi di berbagai aspek strategis. Adapun hasil dari pejanjian –
perjanjian yang dilaksanakan bahwa negara – negara anggota ASEAN sepakat
untuk membentuk ASEAN COMMUNITY yang terdiri dari 3 pilar, yaitu APSC
( ASEAN Political – Security Community ), ASCC ( ASEAN Sosio – Cultural Community ) dan AEC ( ASEAN Economic Community ).
AEC merupakan salah satu dari tiga pilar yang paling awal akan
dilaksanakan, yaitu pada tahun 2015. Ekonomi yang meripakan tonggak penopang utama dalam proses integrasi kawasan merupakan pertimbangan utama dalam
meletakkan AEC atau sering disebut juga MEA ( Masyarakat Ekonomi ASEAN )
pada urutan pertama dalam proses perjalanan menuju ASEAN COMMUNITY
pada tahun 2020 nantinya.
MEA dalam pelaksanaannya memiliki 4 dasar yaitu2:
1. Single Market and Production base, yaitu membentuk pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara sehingga menjadi basis produksi dunia,
2
(3)
2. Competitive Economic Region, mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang kompetitif dalam bidang ekonomi,
3. Equitable Economic Development, mewujudkan pembangunan ekonomi kawasan Asia Tenggara yang adil dan
4. Integration into The Global Economy, mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang kuat dalam aspek ekonomi di seluruh dunia.
Keberadaan akan adanya pasar tunggal pada 2015 nantinya akan
memberikan keniscayaan akan perubahan besar – besaran dalam dinamika
ekonomi dunia pada umumnya, maupun pada negara – neagara kawasan Asia
Tenggara sendiri, khususnya Indonesia.
Peran Indonesia dalam sejarah Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) terbilang besar. Sejak Berdiri 46 tahun lalu, Indonesia terutama berperan penting menjaga stabilitas politik dan keamanan kawasan. Saat itu Indonesia dianggap sebagai ‘kakak tertua” dan paling berpengaruh. dalam setiap persidangan yang digelar ASEAN, sikap yang diambil Indonesia biasanya diadopsi menjadi sikap bersama ASEAN. Namun, sejak ambruknya Orde Baru dan krisis ekonomi yang meluluhlantakan landasan ekonomi nasional, peran
Indonesia mulai meredup3.
Indonesia, sebagai representatifnya adalah pemerintah, dalam memandang MEA khususnya pasar tunggal, menurut penulis memiliki 2 sisi penglihatan, yaitu
3
(4)
peluang dan tantangan. Adapun peluang yang dilihat ialah integrasi ekonomi
dalam mewujudkan AEC 2015 dalam pembukaan dan pembentukan pasar yang
lebih besar, dorongan dan peningkatan efisiensi dan daya saing serta pembukaan peluang penyerapan tenaga kerja di kawasan ASEAN, akan meningkatkan
kesejahteraan seluruh negara di kawasan4.
Tantangan dalam mewujudkan MEA bagi Indonesia sangat beragam, namun penulis hanya mengemukakan tantangan yang cukup rentan, yaitu adanya pengurangan kewenangan negara untuk menggunakan kebijkan fiskal, keuangan
dan moneter untuk mendorong kinerja ekonomi dalam negeri5.
Pengurangan kewenangan negara tersebut menjadikan negara sebagai aktor yang terjebak dalam ketergantungan atau interdepedensi. Di bawah situasi interdepedensi yang kompleks, makna kedaulatan akan mengalami pergeseran. Negara bangsa dalam suatu batas territorial tertentu tidak akan dapat menggunakan kekuasaan otoritatifnya atas nama kedaulatan nasional menyangkut
persoalan – persoalan dalam negeri, yang seharusnya menjadi wewenang
otoritatifnya. Ini karena keputusan – keputusan penting mungkin diformulasikan
oleh perusahaan – perusahaan transnasional yang berbasis global atau kebijakan
yang diambil suatu negara akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap negara lain. Dengan kata lain, otonomi negara telah sedemikian berkurang karena
4
Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Menuju ASEAN Economic Community 2015. Jakarta, hal 74 5
(5)
semua kebijakan dan keputusan yang diambil oleh elit – elit pemegang kekuasaan
tidak dapat melepaskan diri dari dampak pengaruh negara lain6.
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat adanya kesimpulan khusus yang dapat ditarik, yaitu demi mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, dengan dicapainya kepentingan nasional, Indonesia ikut bergabung dalam MEA dengan konsekuensi akan mengurangi kewenangannya sendiri, maka penulis tertarik mempelajari dan meneliti dalam sebuah deskripsi mengenai posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN terutama berkaitan dengan paham yang sangat bertolak belakang, yaitu teori realisme yang notabene menuntut adanya negara yang kuat.
Realisme menempatkan negara – bangsa sebagai entitas politik yang
berdaulat dan independen dan menjadi center of gravity. Aktor – aktor yang lain
hanyalah bersifat sekunder karena dinamika politik global sepenuhnya dikendalikan oleh aktor negara. Realisme mengasumsikan politik global sebagai
kumpulan negara – negara yang memperjuangkan kepentingan nasional masing –
masing dengan instrumen utamanya adalah kekuatan militer7.
Maka untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis mencoba mengangkat dalam tulisan ini yang semoga dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi masyarakat dengan judul Posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 ( Studi Analisis Realisme Hubungan Internasional ).
6
Budi Winarno. Dinamika Isu – Isu Global Kontemporer. Yogyakarta : PT. Buku Seru. 2014. Hal. 121 - 122 7
(6)
1.2 Rumusan Masalah
Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi ini, maka dirumuskan dahulu masalahnya. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di dalam latar belakang, maka penulis merumuskan masalah yaitu bagaimana posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dilihat dari perspektif realisme.
1.3 Batasan Masalah
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini hanya membahas :
“ untuk melihat posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
dilihat dari perspektif realisme. “.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
“ mengetahui posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dilihat
dari perspektif realisme ”.
1.5 Manfaat Penelitian
Berangkat dari tujuan penelitian, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah
(7)
Universitas Sumatera Utara tentang realisme hubungan internasional terkait posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diresmikan pada tahun 2015, serta dapat menjadi rujukan dan referensi bagi peneliti lainnya,
2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi
dan masukan bagi Pemerintah Indonesia dalam mengeluarkan kebijakan –
kebijakan luar negeri yang strategis khususnya di kawasan Asia tenggara.
3. Secara pribadi, penelitian ini memberikan wawasan yang sangat berarti
bagi peneliti dalam memahami konsep realisme hubungan internasional terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 khususnya posisi Indonesia didalamnya.
1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Realisme
Beberapa eksponen utama realisme berpendapat bahwa perhatian atau keputusasaan moral pribadi mereka pada dunia, bukan berarti bahwa kita bisa mengubahnya. Beberapa aspek dari tingkah laku manusia itu bersifat abadi seiring ruang dan waktu.
Kaum realis berpendapat bahwa ada hukum – hukum yang tidak berubah
yang mengatur tingkah laku individu dan negara ; negara, layaknya laki – laki,
(8)
mereka sehingga merugikan orang lain serta tidak memandang batasan – batasan hukum atau moralitas apa pun.
Kaum realis menyatakan bahwa masalah utama dalam hubungan internasional salah satunya adalah anarki. Anarki berlaku karena dalam hubungan internasional tidak ada otoritas kedaulatan yang memaksakan aturan hukum dan menjamin yang bersalah di hukum.
Dengan demikian, kaum realis berpendapat bahwa perang sama sekali tidak bisa dicegah. Oleh karena itu, perlu kiranya bersiap siaga menghadapai perang. Hanya dengan cara ini perang sebenarnya bisa di tahan atau sedikitnya dikontrol8.
Nicholas J. Spykman mengatakan bahwa kondisi yang dicirikan oleh hubungan antar kelompok dari dalam sebuah negara hanya selama masa krisis dan kehancuran yang dialami oleh pemerintahan pusat adalah merupakan hal yang normal saja dilihat dari perspektif hubungan antar negara di dalam sistem internasional. Dalam sistem hubungan antarnegara tadi ( sistem internasional )
sebagaimana halnya dengan kelompok – kelompok sosial lainnya, senantiasa
dilandasi oleh suatu proses yakni kerjasama, akomodasi dan pertentangan. Oleh karena itu kedudukan negara dalam masalah ini harus mengembangkan kekuatannya ( power positioning ). Maka demikian titik sentral argumentasi
8
Jill Steans dan Llyold Pettiford. Hubungan Internasional : Perspektif dan Tema. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009, hal. 46-47
(9)
kerangka bangunan teorisasi realisme politik dan hubungan internasional terletak di dalam konsep : “ balance of power “ perimbangan kekuatan dan geopolitical.
Frederick L. Schumann melihat konsep power itu sebagaimana dimiliki
oleh militer. Hal ini dapat dimanfaatkan menjustifikasikannya ke dalam kebijakan politik nasional ( domestik ) yang bertujuan untuk membendung arus ancaman, tantangan yang datang dari luar yang akan mengganggu eksistensi sistem politik nasional tersebut. Dalam kaitannya dengan perannya dalam hubungan dengan negara lain sebagaimana akan tercermin di dalam sistem internasional maka diperlukan suatu model yakni berupa model/pola hubungan yang bersifat perimbangan kekuatan untuk mengatur mekanisme kerja sistem tersebut. Penggunaan kekuatan militer di sini, sebagai alat untuk menjelaskan operasionalisasi kekuatan ( power ) dilihat dari persepsi sistem politik nasional ( pemerintahan nasional ).
Hans J. Morgenthau, penganut aliran pemikiran realisme politik dan
hubungan internasional yang paling fanatik dalam buku klasiknya Political
Among Nations : The Struggle for Power and Peace, bahwa perjuangan untuk kekuasaan dijadikan sebagai pemberian makna atas politik internasional seperti
juga politik – politik lainnya. Sebagai tujuan akhir politik internasional adalah
power. Power diletakkan sebagai titik sentral bagi sebuah perjuangan dicirikan
oleh penggunaan dan manipulasi sumber – sumber militernya9.
9
(10)
Menurut Kegley dan Wittkopf sekurang – kurangnya ada 10 asumsi pokok realisme :
1. Manusia pada dasarnya mementingkan dirinya sendiri tanpa
memedulikan etika dan selalu terdorong untuk mengambil keuntungan dalam hubungan dengan orang lain,
2. Hasrat manusia untuk berkuasa dan mendominasi orang lain
merupakan niat buruk yang paling menonjol dan berbahaya dalam hubungan dengan sesamanya,
3. Peluang untuk menghilangkan hasrat untuk meraih kekuasaan
hanyalah sebuah aspirasi yang utopis,
4. Esensi dari politik internasional adalah pertarungan untuk meraih
kekuasaan dimana prinsip War of All Against All berlaku,
5. Kewajiban utama negara yang melampaui semua tujuan nasional
lainnya adalah memperjuangkan kepentingan nasional dan meraih kekuasaan untuk mewujudkannya,
6. Sistem international yang anarkhis memaksa negara untuk
meningkatkan kapabilitas militernya guna menangkal serangan dari musuh potensial dan menjalankan pengaruhnya atas neagra lain,
(11)
7. Kekuatan militer lebih penting daripada ekonomi demi tercapainya keamanan nasional dan pertumbuhan ekonomi hanyalah sarana untuk mencapai dan memperluas kekuasaan dan prestise negara
8. Sekutu dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan negara dalam
mempertahankan diri tetapi kesetiaan dan keandalannya tidak bisa dipastikan sebelumnya,
9. Negara tidak boleh mengandalkan organisasi internasional atau hukum
internasional untuk menjamin keamanan nasionalnya. Selain itu negara juga harus menolak setiap upaya pengaturan prilaku internasional melalui mekanisme pemerintahan global,
10.Karena semua negara berusaha untuk meningkatkan kekuatannya maka
stabilitas hanya bisa dicapai melaui keseimbangan kekuatan ( balance of power ) yang diperlancar oleh pembentukan dan pembubaran aliansi
– aliansi yang saling bertentangan10.
Ciri utama negara modern adalah bahwa negara mempunyai wilayah yang jelas, sebuah pemerintahan yang diberi otoritas kedaulatan serta pelaksanaan kekuasaan terhadap rakyat. Oleh karena itu, maka ciri utama negara adalah kedaulatan.
Ada dua jenis kedaulatan yang berkaitan dengan negara : kedaulatan internal berarti penyelenggaraan otoritas di dalam sebuah wilayah tertentu ;
10
(12)
sementara itu, kedaulatan eksternal meliputi pengakuan dari negara – negara lain
sebagai pihak sah yang berhak bertindak bebas di dalam urusan – urusan
internasional, yakni misalnya, untuk membuat aliansi – aliansi, menyatakan
perang dan sebagainya.
Tema utama kedua realisme dalam hubungan internasional adalah kekuasaan. Kekuasaan pada dasarnya bisa dianggap sebagai konsep persaingan, yakni, sesuatu yang atasnya terdapat berbagai ketidaksepakatan mendasar. Lebih
jauh, kekuasaan merupakan sebuah kata yang seolah – olah sangat mirip dengan
kata – kata lainnya seperti otoritas, pengaruh dan paksaan. Realisme banyak
berbicara tentang kekuasaan dalam hubungan internasional.
Realisme tidak mengklaim mengatur semua jenis kekuasaan maupun semua jenis hubungan kekuasaan, tetapi realisme mengklaim mengenali dasar yang menyusun kekuasaan dalam hubungan internasional. Para kaum realis telah
sangat berhati – hati dalam memberikan definisi tentang kekuasaan dan
menunjukkan cara memperkirakannya, serta, yang penting sekali, pihak yang menguasainya.
Bagi realisme, esensi kekuasaan adalah kemampuan untuk mengubah tingkah laku/untuk mendominasi. Beberapa kaum realis memaknai kekuasaan
dalam istilah zero-sum ( situasi yang di dalamnya kemenangan yang diperoleh
pihak tertentu merupakan kekalahan bagi pihak lain ) yang ekstrem. Individu, seperti negara, mempunyai kekuasaan yang dimiliki pihak lain. Secara tradisional,
(13)
penganut realisme melihat kapabilitas militer sebagai esensi kekuasaan dengan
alasan – alasan yang sangat jelas. Kapasitas untuk bertindak secara militer
memberikan negara – negara kemampuan untuk menangkal serangan terhadap
mereka, dengan demikian, menjamin keamanan mereka.
Kemampuan semacam ini juga memungkinkan mereka untuk melancarkan
serangan terhadap pihak – pihak lain untuk tujuan – tujuan tertentu. Kaum realis
menganggap kapabilitas militer merupakan kemampuan yang sangat penting. Kapabilitas militer mempresentasikan hal yang paling mendasar, penengah akhir berbagai pertentangan internasional. Kekuasaan merupakan tujuan akhir dalam dirinya sendiri ( end in itself ) maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan ( means to an end ), akan menahan serangan dari luar atau memberikan kemampuan untuk mengakusisi wilayah di luar negeri.
Dalam dunia yang terdiri dari negara – negara merdeka, kekuatan telah
dianggap sebagai penengah akhir dalam penyelesaian berbagai perbedaaan. Oleh karena itu, potensi atas kemampuan militer tergantung pada sejumlah faktor
seperti ukuran populasi, ketersediaan sumber daya alam, faktor – faktor geografis
dan tipe pemerintahan11.
Secara umum, realisme cenderung mengenyampingkan wilayah – wilayah
yang tidak terlalu berhubungan dengan hubungan internasional dan, sehubungan
11
(14)
dengan ini, berpendapat bahwa kerjasama tersebut menguntungkan bagi negara – negara yang terlibat.
Asumsi dasar realisme mencakup sebuah kepercayaan bahwa meski banyak hal yang membuat kita tertarik tentang dunia, semua itu tidak seharusnya
membuat kita lupa pada tampilan intinya. Mereka percaya bahwa negara – negara
hanya bergabung ke dalam institusi – institusi internasional dan terlibat ke dalam
kesepakatan – kesepakatan kerjasama ketika hal tersebut cocok bagi negara –
negara tersebut. Sehingga kesepakatan seperti kesepakatan aliansi atau kerjasama bisa dilanggar atau diingkari, jika dan ketika kesepakatan tersebut bertetntangan dengan kepentingan nasional, semudah seorang pemburu, dalam analaogi seperti dalam kotak, meninggalkan pengejarannya terhadap seekor rusa agar dapat menangkap seekor kelinci.
Hal yang paling penting adalah, bagi kaum realis, bahwa institusi - intitusi
internasional itu penting hanya pada tahapan institusi – institusi tersebut
mengarahkan negara – negara untuk mengejar kepentingan – kepentingan
mereka12.
1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian
Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan
pendekatan studi kasus interpretif. Studi kasus interpretif atau disiplin –
12
(15)
konfiguratif bertujuan untuk menjelaskan /menafsirkan kasus tunggal , tapi interpretasi itu secara ekplisit dibangun oleh teori atau bingkai kerja teoritis kokoh yang memusatkan perhatian pada beberapa aspek teoritis spesifik atas realitas dan
mengabaikan hal lain13.
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan, antara lain penelitian perpustakaan ( library research ) yang sering disebut metode
dokumentasi dan penelitian lapangan seperti wawancara dan observasi14. Untuk
memperoleh data dan informasi asli atau fakta – fakta yang diperlukan, maka
penulis menggunakan teknik pengumpulan data adalah Studi pustaka.
Studi ini berupa referensi kepustakaan yaitu seumber – sumber yang
berasal dari data buku, peraturan – peraturan, laporan – laporan, majalah, Koran,
media online serta bahan – bahan lain yang berhubungan dengan penelitian atau
dokumentasi yang diperoleh dari lokasi penelitian, sehingga dapat diperoleh data sekunder sebagai kerangka kerja teoritis.
1.7.3 Teknik Analisa Data
Pada penelitian ini, teknik analisa data yang digunakan adalah teknik kualitatif, yaitu teknik analisa data yang tanpa menggunakan alat bantu atau
rumus statistik. Adapun langkah – langkah yang ditempuh sebagai berikut :
13
Alexander Wendt, Jack S. Levy, Richard Little. Metodologi Ilmu Hubungan Internasional : Perdebatan Pardigmatik dan Pendekatan Alternatif. Malang : Intrans Publishing, 2014, hal. 111
14
(16)
1. Pengumpulan data. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data dan bahan
baik dari buku, majalah, Koran, jurnal, kliping dan situs – situs internet
yang memuat tentang objek kajian yang diteliti.
2. Penilaian atau menganalisis data. Pada tahap ini setelah peneliti
mengumpulkan dan mendapatkan semua data yang mendukung atau
membantu, penulis akan memisahkan bahan – bahan dan data – data yang
diperoleh sesuai dengan sifatnya masing – masing. Kemudian penulis
melakukan penilaian dan menganalisis data atau bahan yang tersedia.
3. Penyimpulan data yang diperoleh. Tahap ini adalah tahap terakhir dari
penelitian. Dari hasil penelitian dan analisis yang penulis lakukan, maka penulis mengambil kesimpulan yang dapat membantu memahami penelitian ini.
1.8 Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab, yaitu :
BAB 1 : Pendahuluan
Dalam bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.
(17)
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran dari posisi Negara Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.
BAB 3 : Analisis Posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan menggunakan Perspektif Realisme
Pada bab ini nantinya akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian serta analisis terhadap posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan menggunakan perspektif realisme.
BAB 4 : Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan
yang diperoleh dari hasil – hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga
akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan serta
berisi saran – saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun
(1)
sementara itu, kedaulatan eksternal meliputi pengakuan dari negara – negara lain sebagai pihak sah yang berhak bertindak bebas di dalam urusan – urusan internasional, yakni misalnya, untuk membuat aliansi – aliansi, menyatakan perang dan sebagainya.
Tema utama kedua realisme dalam hubungan internasional adalah kekuasaan. Kekuasaan pada dasarnya bisa dianggap sebagai konsep persaingan, yakni, sesuatu yang atasnya terdapat berbagai ketidaksepakatan mendasar. Lebih jauh, kekuasaan merupakan sebuah kata yang seolah – olah sangat mirip dengan kata – kata lainnya seperti otoritas, pengaruh dan paksaan. Realisme banyak berbicara tentang kekuasaan dalam hubungan internasional.
Realisme tidak mengklaim mengatur semua jenis kekuasaan maupun semua jenis hubungan kekuasaan, tetapi realisme mengklaim mengenali dasar yang menyusun kekuasaan dalam hubungan internasional. Para kaum realis telah sangat berhati – hati dalam memberikan definisi tentang kekuasaan dan menunjukkan cara memperkirakannya, serta, yang penting sekali, pihak yang menguasainya.
Bagi realisme, esensi kekuasaan adalah kemampuan untuk mengubah tingkah laku/untuk mendominasi. Beberapa kaum realis memaknai kekuasaan dalam istilah zero-sum ( situasi yang di dalamnya kemenangan yang diperoleh pihak tertentu merupakan kekalahan bagi pihak lain ) yang ekstrem. Individu, seperti negara, mempunyai kekuasaan yang dimiliki pihak lain. Secara tradisional,
(2)
penganut realisme melihat kapabilitas militer sebagai esensi kekuasaan dengan alasan – alasan yang sangat jelas. Kapasitas untuk bertindak secara militer memberikan negara – negara kemampuan untuk menangkal serangan terhadap mereka, dengan demikian, menjamin keamanan mereka.
Kemampuan semacam ini juga memungkinkan mereka untuk melancarkan serangan terhadap pihak – pihak lain untuk tujuan – tujuan tertentu. Kaum realis menganggap kapabilitas militer merupakan kemampuan yang sangat penting. Kapabilitas militer mempresentasikan hal yang paling mendasar, penengah akhir berbagai pertentangan internasional. Kekuasaan merupakan tujuan akhir dalam dirinya sendiri ( end in itself ) maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan ( means to an end ), akan menahan serangan dari luar atau memberikan kemampuan untuk mengakusisi wilayah di luar negeri.
Dalam dunia yang terdiri dari negara – negara merdeka, kekuatan telah dianggap sebagai penengah akhir dalam penyelesaian berbagai perbedaaan. Oleh karena itu, potensi atas kemampuan militer tergantung pada sejumlah faktor seperti ukuran populasi, ketersediaan sumber daya alam, faktor – faktor geografis dan tipe pemerintahan11.
Secara umum, realisme cenderung mengenyampingkan wilayah – wilayah yang tidak terlalu berhubungan dengan hubungan internasional dan, sehubungan
11
(3)
dengan ini, berpendapat bahwa kerjasama tersebut menguntungkan bagi negara – negara yang terlibat.
Asumsi dasar realisme mencakup sebuah kepercayaan bahwa meski banyak hal yang membuat kita tertarik tentang dunia, semua itu tidak seharusnya membuat kita lupa pada tampilan intinya. Mereka percaya bahwa negara – negara hanya bergabung ke dalam institusi – institusi internasional dan terlibat ke dalam kesepakatan – kesepakatan kerjasama ketika hal tersebut cocok bagi negara – negara tersebut. Sehingga kesepakatan seperti kesepakatan aliansi atau kerjasama bisa dilanggar atau diingkari, jika dan ketika kesepakatan tersebut bertetntangan dengan kepentingan nasional, semudah seorang pemburu, dalam analaogi seperti dalam kotak, meninggalkan pengejarannya terhadap seekor rusa agar dapat menangkap seekor kelinci.
Hal yang paling penting adalah, bagi kaum realis, bahwa institusi - intitusi internasional itu penting hanya pada tahapan institusi – institusi tersebut mengarahkan negara – negara untuk mengejar kepentingan – kepentingan mereka12.
1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian
Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan studi kasus interpretif. Studi kasus interpretif atau disiplin –
12
(4)
konfiguratif bertujuan untuk menjelaskan /menafsirkan kasus tunggal , tapi interpretasi itu secara ekplisit dibangun oleh teori atau bingkai kerja teoritis kokoh yang memusatkan perhatian pada beberapa aspek teoritis spesifik atas realitas dan mengabaikan hal lain13.
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan, antara lain penelitian perpustakaan ( library research ) yang sering disebut metode dokumentasi dan penelitian lapangan seperti wawancara dan observasi14. Untuk memperoleh data dan informasi asli atau fakta – fakta yang diperlukan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data adalah Studi pustaka.
Studi ini berupa referensi kepustakaan yaitu seumber – sumber yang berasal dari data buku, peraturan – peraturan, laporan – laporan, majalah, Koran, media online serta bahan – bahan lain yang berhubungan dengan penelitian atau dokumentasi yang diperoleh dari lokasi penelitian, sehingga dapat diperoleh data sekunder sebagai kerangka kerja teoritis.
1.7.3 Teknik Analisa Data
Pada penelitian ini, teknik analisa data yang digunakan adalah teknik kualitatif, yaitu teknik analisa data yang tanpa menggunakan alat bantu atau rumus statistik. Adapun langkah – langkah yang ditempuh sebagai berikut :
13
Alexander Wendt, Jack S. Levy, Richard Little. Metodologi Ilmu Hubungan Internasional : Perdebatan Pardigmatik dan Pendekatan Alternatif. Malang : Intrans Publishing, 2014, hal. 111
14
(5)
1. Pengumpulan data. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data dan bahan baik dari buku, majalah, Koran, jurnal, kliping dan situs – situs internet yang memuat tentang objek kajian yang diteliti.
2. Penilaian atau menganalisis data. Pada tahap ini setelah peneliti mengumpulkan dan mendapatkan semua data yang mendukung atau membantu, penulis akan memisahkan bahan – bahan dan data – data yang diperoleh sesuai dengan sifatnya masing – masing. Kemudian penulis melakukan penilaian dan menganalisis data atau bahan yang tersedia.
3. Penyimpulan data yang diperoleh. Tahap ini adalah tahap terakhir dari penelitian. Dari hasil penelitian dan analisis yang penulis lakukan, maka penulis mengambil kesimpulan yang dapat membantu memahami penelitian ini.
1.8 Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab, yaitu :
BAB 1 : Pendahuluan
Dalam bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.
(6)
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran dari posisi Negara Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.
BAB 3 : Analisis Posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan menggunakan Perspektif Realisme
Pada bab ini nantinya akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian serta analisis terhadap posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan menggunakan perspektif realisme.
BAB 4 : Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil – hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan serta berisi saran – saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun lembaga – lembaga yang terkait secara umum.