Posisi Indonesia Dalam Penerapan Asean Political-Security Community (Studi Analisis Realisme dalam Hubungan Internasional)

(1)

Daftar Pustaka

ASEAN. 2009. ASEAN Documents on Combating Transnational Crime and

Terrorism : A Compilation of ASEAN Declarations, and Statements on Combating Transnational Crime and Terrorism. (Jakarta : Sekretariat

ASEAN).

Burchill, Scott dan Andrew Linklater. 2011. Teori-Teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media.

Cipto, Bambang. 2010. Hubungan Internasional di Asia Tenggara : Teropong

Terhadap Dinamika, Kondisi Riil, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Creswell, John W. 2014. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan

Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dam, Sjamsudar dan Riswandi. 1995. Kerja Sama ASEAN : Latar Belakang,

Perkembangan, dan Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hara, Abu Bakar Eby. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri : dari

Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung: Nuansa.

Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan

Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jemadu, Aleksius. 2014. Politik Global dalam Teori dan Praktek Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Luhulima, C.P.F, dkk. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas

ASEAN 2015. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Morgenthau, Hans J. 1964. Politics Among Nations : The Struggle for Power and

Peace. New York : Knopf.

Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Jurnal :

Prasetyo. 2014. Perubahan Corak Terorisme Di Indonesia Tahun 2000 Hingga

Tahun 2013 (dalam Jurnal Pertahanan Maret 2014, Volume 4, Nomor 1).

Dokumen :

AICHR – SOMTC Joint Workshop Human Rights-Based Approach To Combat Trafficking In Persons, Especially Women And Children : Summary and Ways Forward to Further Cooperation.


(2)

ASEAN Political-Security Community Blueprint.

ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response. diunduh

dari pada 23 Maret 2016 pukul 17.00 WIB.

ASEAN Plan of Action Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children diunduh dari

BNN dan Puslitkes UI. 2014. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan

Penyelahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014. hal 16. diunduh dari Joint Communiqué 48th ASEAN Foreign Ministers Meeting Kuala Lumpur,

Malaysia 4th August 2015 “OUR PEOPLE, OUR COMMUNITY, OUR VISION”. diunduh dari

21.00 WIB.

Joint Declaration of the ASEAN Defence Ministers on Maintaining Regional Security and Stability for and by the People, Langkawi, 16 March 2015

diunduh dari

Joint%20Declaration%20of%20the%209th%20ADMM.pdf pada 20 Maret

2016 pukul 20.00 WIB.

Joint Statement Of The Tenth Asean Ministerial Meeting On Transnational Crime (10th AMMTC) diunduh dari

20Statement%20of%20the%2010th%20AMMTC.PDF pada 21 Maret 2016

pukul 18.00 WIB.

Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Perdagangan Gelap Narkoba (P4GN) Tahun 2013 Edisi Tahun 2014 diunduh dari

Jurnal_Data_P4GN_2013_Edisi_2014_Oke.pdf pada 14 Maret 2016

pukul 10.00 WIB.

Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme diunduh dari

23 Maret 2016 pukul 15.00 WIB.

Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional PenanggulanganTerorisme.

Position Statement Endorsed And Adopted By The 4th Asean Ministerial Meeting On Drug Matters 29 October 2015, Langkawi, Malaysia. hal. 1-2 diunduh


(3)

dari

Press Statement for the 10th ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime.

diunduh dari

16.30 WIB.

The 4th ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters 29 October 2015, Langkawi, Malaysia Chairman’s Statement. hal. 2 diunduh dari

WIB.

The ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children diunduh dari

pada 23 Maret 2016 pukul 15.30 WIB.

The Hanoi Plan of Action to Implement the ARF Vision Statement.

diunduh dar

The Kuala Lumpur Declaration in Combating Transnational Crime diunduh dari %20DECLARATION%20IN%20 COMBATING%20TNC.PDF pada 21

Maret 2016 pukul 18.03 WIB.

Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters diunduh dari

22 Maret 2016 pukul 17.35 WIB.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Situs Internet :

Anwar, Larasari Ariadne. Perdagangan Orang di Indonesia Masih Tiga Besar

Dunia

WIB.


(4)

Januari 2015) diakses dari

2016 pukul 10.35 WIB.

Catatan Ledakan Bom Marriott Tahun 2003 (Jakarta, 17 Juli 2009) diakses dari

Chairman’s Statement Of The 22nd Asean Regional Forum Kuala Lumpur, 6 August 2015 diunduh dari

Cyber Crime, Lebih dari Rp 33 M Melayang Gara-gara Hacker (26 Agustus

2015) diakses dari

Deny, Septian. Catatan IOM: Human Trafficking Paling Banyak terjadi di

Indonesia (11 Juni 2015) diakses dari

Ginting, Selamat. Kiblat Radikalisme Mengapa Mujahidin Indonesia Timur (MIT)

menjadi sentral dari gerakan jaringan kelompok terduga teroris di Indonesia? diakses dari

pukul 16.23 WIB.

20.25 WIB.

20 Maret 2016 pukul 18.27 WIB.


(5)

diakses pada 21 Maret 2016 Pukul 18.01 WIB.

diakses pada 22 Maret 2016 pukul 13.18 WIB.

11.12 WIB.

Indonesia Urutan Kedua Terbesar Negara Asal "Cyber Crime" di Dunia (12 Mei

2015) diakses dari

Kapolri: Perampokan Bank CIMB Niaga Terkait Terorisme (20 September 2010)

diakses dari

Ledakan Bom Mobil Depan Kedubes Australia di Jakarta (Jakarta, 09 September

2014) diakses dari http:// m.liputan6.com/ news/read/2102467/9-9-2004-

ledakan-bom-mobil-depan-kedubes-australia-di-jakarta# pada 11 Maret

2016 pukul 9.42 WIB.

Ledakan di Hotel Ritz-Carlton dan Hotel JW Marriot (17 Juli 2009) diakses dari

Levi Silalahi dan Erwin Prima. Teror Bom di Indonesia (Beberapa di Luar

Negeri) dari Waktu ke Waktu (Jakarta, 17 April 2004) diakses dari

11 Maret 2016 pukul 9.42 WIB.

Media Publikasi Direktorat Kerjasama ASEAN. 2015. Masyarakat ASEAN : Maju

Bersama Masyarakat ASEAN “ASEAN Adalah Kita” Edisi 10/ Desember 2015. (Jakarta : Direktorat Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri

Republik Indonesia) diunduh dari

/Majalah/ASEAN%20Edisi%2010.pdf pada 21 Maret pukul 14.00 WIB.

Pratama, Aulia Bintang. Ledakan Thamrin, Tujuh Orang Meninggal Dunia (14 Januari 2016) diakses dari

pada 11 Maret 2016 pukul 10.30 WIB.


(6)

(22 Januari 2016) diakses dari http://www.republika.co.id

/berita/nasional/umum/16/01/22/o1cdpv330-ini-modus-baru-

perdagangan-manusia-di-perusahaan-swasta pada 14 Maret 2016 pukul

15.50 WIB.

Senjata Gelap di Indonesia (7 September 2010) diakses dari http://www.crisis group. org /en/publication-type/media-releases/2010/asia/illicit-arms-in- indonesia.aspx?alt_lang=id pada 15 Maret 2016 pukul 15.40 WIB.

Sinambela, Vasperton. 2015. Kepentingan Indonesia Dalam Konvensi Asean

Tentang Pemberantasan Terorisme (Asean Convention On Counter Terrorism) diunduh dari

11.53 WIB.

Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah (Jakarta, 20 September 2003) diunduh dari


(7)

BAB III

ANALISIS REALISME POSISI INDONESIA DALAM PENERAPAN

ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY

3.1. Analisis Kapabilitas Nasional terhadap Ancaman Terorisme dan Narkoba di Indonesia

Indonesia memiliki permasalahan keamanan non tradisional dan juga memiliki undang-undang serta badan-badan untuk menanggulanginya. Permasalahan tersebut di antaranya ialah kasus terorisme yang ada di Indonesia. Terorisme sendiri berbeda dengan tindakan kriminal biasa yang hanya sebatas untuk keuntungan pribadi atau balas dendam. Terorisme merupakan kejahatan yang disebabkan resistensi terhadap suatu sistem kekuasaan dan adanya motivasi untuk merubah sistem kekuasaan itu secara radikal dan menyeluruh. Aksi terorisme dilakukan dengan menciptakan ketakutan pada masyarakat sipil yang kemudian akan menimbulkan kepanikan dan tekanan kepada pemerintah sebagai pihak yang berkuasa.125

Terdapat seribu orang yang ditangkap oleh kepolisian Indonesia sejak tahun 2000 seperti disebutkan pada bab sebelumnya. Jumlah tersangka kasus terorisme tersebut membuktikan bahwa Indonesia sangat rawan dengan serangan teroris. Sebelum tahun 2002, masyarakat seperti tidak perduli dengan kejadian peledakan di beberapa lokasi seperti pada pada tanggal 1 Januari di sebuah rumah makan di Jakarta dan menewaskan satu orang. Kemudian ada pula ledakan di berbagai gereja di Palu pada tanggal 1 Januari 2002 tersebut walau tidak

125


(8)

menyebabkan korban tewas. Selanjutnya ada pula peristiwa ledakan bom di Makassar yang menewaskan tiga orang dan sebelas luka-luka pada tanggal 5 Desember 2002.126

Kondisi itu mulai berubah sejak terjadinya peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dan melukai 235 orang.127

- Tahun 2003 terjadi kasus ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada 5 Agustus 2003 yang menewaskan lima belas orang dan 156 orang luka-luka;

Sejak peristiwa itu, terorisme berhasil menjadi perhatian dan ancaman bagi masyarakat dan tantangan bagi pemerintah untuk menyelesaikannya. Kasus terorisme di Indonesia sendiri tidak hanya terjadi satu kali, namun terdapat beberapa kasus yang menjadi sorotan publik karena jumlah korban dan juga lokasi kejadiannya. Kasus-kasus tersebut antara lain :

128

- Tahun 2004, ledakan bom terjadi di sebuah kafe di kota Palopo, Sulawesi Selatan dan mengakibatkan empat tewas dan dua luka-luka;129

126 Lihat : Prasetyo. Perubahan Corak Terorisme Di Indonesia Tahun 2000 Hingga Tahun 2013 (dalam Jurnal Pertahanan Maret 2014, Volume 4, Nomor 1) hal. 88

127

Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah (Jakarta, 20 September 2003) diunduh dari 2016 pukul 10.19 WIB

128

Lihat : Catatan Ledakan Bom Marriott Tahun 2003 (Jakarta, 17 Juli 2009) diakses dari

2016 pukul 11.00 WIB

129

Lihat : Levi Silalahi dan Erwin Prima. Teror Bom di Indonesia (Beberapa di Luar Negeri) dari Waktu ke Waktu (Jakarta, 17 April 2004) diakses dari


(9)

- Tanggal 9 September 2004 juga terjadi ledakan di Jakarta. Ledakan terjadi di depan Kedutaan Besar Australia dan menewaskan sembilan orang dan melukai 161 orang;130

- Dua bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005;

- Peledakan bom di Tentena, Poso, 28 Mei 2005 dan menyebabkan 22 orang tewas;

- Peledakan bom di Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005, bom tersebut meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M. Iqbal di Pamulang Barat; - Peledakan bom di Bali, 1 oktober 2005, sekurang-kurangnya 22 orang

tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di Raja's bar dan restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman café, Jimbaran;

- Peledakan bom di pasar Palu, Sulawesi Tengah, 31 Desember 2005 yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang;131

- Ledakan bom kembali terjadi di Jakarta pada 17 Juli 2009, tepatnya di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton yang terjadi hampir bersamaan.132

130

Lihat : Ledakan Bom Mobil Depan Kedubes Australia di Jakarta (Jakarta, 09 September 2014) diakses dari http:// m.liputan6.com/ news/read/2102467/9-9-2004-ledakan-bom-mobil-depan-kedubes-australia-di-jakarta# pada 11 Maret 2016 pukul 9.42 WIB.

131

Prasetyo. Op Cit¸hal 90. 132

Lihat : Ledakan di Hotel Ritz-Carlton dan Hotel JW Marriot (17 Juli 2009) diakses dari

pukul 9.45 WIB.


(10)

- Peledakan Bom di Cirebon, 15 April 2011 tepatnya di Masjid Mapolresta Cirebon saat shalat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya;

- Peledakan Bom di Solo, 25 September 2011 di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya terluka;133

- Ledakan bom dan aksi saling tembak terjadi di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016 dan menewaskan tujuh orang.134 Selain berbagai aksi ledakan bom yang terjadi tersebut, masih terdapat aksi lain seperti perampokan bank CIMB Niaga di Medan, Sumatera Utara pada 18 Agustus 2010 yang dana sebesar empat ratus juta rupiah hasil perampokan itu digunakan untuk membantu kegiatan teroris.135

133

Lihat : Prasetyo. Op Cit, hal. 91

Aksi terorisme di Indonesia sendiri bukanlah aksi orang perorang, namun terorganisir dalam sebuah organisasi. Organisasi itu antara lain adalah Jamaah Islamiyah (JI) dengan tokoh utamanya Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar yang dituding menjadi otak dari aksi-aksi teror yang ada di Indonesia. Selain JI ada pula ancaman kasus terorisme yang berasal dari Santoso bersama kelompoknya Mujahidin Indonesia Timur. Kelompok teroris tersebut telah menyatakan berbaiat atau memberi

134

Lihat : Aulia Bintang Pratama. Ledakan Thamrin, Tujuh Orang Meninggal Dunia (14 Januari 2016) diakses dari

135

Lihat : Kapolri: Perampokan Bank CIMB Niaga Terkait Terorisme (20 September 2010) diakses dari Maret 2016 pukul 10.00 WIB


(11)

dukungan kepada ISIS.136

Undang-undang nomor nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi titik awal pencegahan terhadap ancaman teror oleh teroris di Indonesia. Pencegahan dalam hal pendanaan dinilai dapat mengurangi potensi serangan dan kemunculan berbagai tindakan yang mengancam keselamatan masyarakat. Lahirnya

Kelompok teroris di Indonesia sendiri mendasarkan aksi-aksinya pada ajaran Islam radikal dan bukan bertindak sebagai gerakan separatis seperti yang ada di Filipina maupun Thailand.

Berbagai aksi terorisme itu sendiri memunculkan sejumlah aturan terkait terorisme. Peraturan yang dimaksud ialah undang-undang nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. Undang-undang tersebut merupakan dasar dari penegakan hukum terkait tindak pidana terorisme di Indonesia. Terdapat 47 pasal dalam Perpu yang telah disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 4 April 2003 tersebut. Keberadaan undang-undang nomor 15 tahun 2003 tersebut hanya menjadi aturan yang bersifat memberi hukuman atau penanganan tindakan terorisme. Aturan ini belum memasukkan unsur pencegahan terorisme sebagai salah satu tindakan anti terorisme di Indonesia. Akibatnya, berbagai serangan teroris masih terjadi meski telah disahkannya undang-undang ini pada tahun 2003.

136

Lihat : Selamat Ginting. Kiblat Radikalisme Mengapa Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menjadi sentral dari gerakan jaringan kelompok terduga teroris di Indonesia? diakses dari http://www.republika.

co.id/berita/koran/teraju/16/01/12/o0tyga1-kiblat-radikalisme-mengapa-mujahidin-indonesia-timur-mit-menjadi-sentral-dari-gerakan-jaringan-kelompok-terduga-teroris-di-indonesia pada 11 Maret 2016 pukul 10.32 WIB


(12)

undang tersebut merupakan lanjutan dari ratifikasi sebuah perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The

Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan

Terorisme, 1999). Keterlambatan pemerintah dalam meratifikasi konvensi ini merupakan salah satu penyebab dari belum maksimalnya pencegahan tindak pidana terorisme melalui penghentian aliran dana untuk kegiatan teroris.

Keterlambatan Indonesia dalam penanganan masalah teroris juga terlihat dengan baru diratifikasinya konvensi internasional pemberantasan pengeboman oleh teroris melalui Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of Terrorist

Bombings, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman Oleh

Teroris, 1997), padahal konvensi itu sudah ada sejak tahun 1997.

Selanjutnya, untuk menambah kekuatan dalam penegakan hukum, Indonesia juga meratifikasi konvensi ASEAN mengenai pemberantasan terorisme tahun 2007 melalui undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention On Counter Terrorism (Konvensi ASEAN Mengenai Pemberantasan Terorisme). Meskipun terlambat lima tahun, munculnya undang-undang ini menunjukkan mulai tumbuhnya kesadaran pemerintah terhadap kebutuhan akan kerjasama regional untuk mencegah dan menangani permasalahan terorisme di Indonesia. Kerjasama ini menunjukkan


(13)

bahwa terorisme dimasukkan dalam kategori kejahatan lintas negara yang memerlukan kerjasama antar negara untuk menanganinya.

Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2014 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of Acts Of Nuclear

Terrorism (Konvensi Internasional Penanggulangan Tindakan Terorisme Nuklir)

merupakan langkah pemerintah untuk mencegah kemungkinan serangan terorisme menggunakan senjata nuklir. Ratifikasi terhadap konvensi ini juga tergolong lambat, konvensi yang disahkan pada tahun 2005 ini mengalami ratifikasi oleh pemerintah Indonesia setelah sembilan tahun, yaitu tahun 2014.

Keberadaan beberapa konvensi yang telah diratifikasi tersebut seharusnya menyebabkan terjadinya perubahan undang-undang tentang terorisme di Indonesia. Perubahan dimaksud untuk memperkuat dan memperluas aturan tentang segala hal yang dianggap sebagai ancaman terorisme berdasarkan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi. Penguatan undang-undang tersebut haruslah memberikan landasan hukum terhadap proses pencegahan terorisme di Indonesia. Hal tersebut sangatlah penting karena terorisme telah berkembang menjadi kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas negara. Undang-undang yang baru juga harus memasukkan segala kemungkinan tindakan, dan penggunaan jenis senjata baru untuk aksi teror di Indonesia.

Selain keterlambatan dalam kemunculan undang-undang, pemerintah Indonesia juga lambat dalam pembentukan badan untuk melakukan penanggulangan tindak pidana terorisme. Seperti telah dipaparkan pada bab


(14)

sebelumnya pembentukan badan ini baru dilaksanakan pada tahun 2010 melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Keputusan itu lahir dari rekomendasi Komisi I DPR yang melakukan penilaian terhadap kondisi terorisme di Indonesia.

Tugas BNPT sendiri di atur pada pasal 2 ayat 1 peraturan Presiden tersebut yang berbunyi “BNPT mempunyai tugas : a. menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; b. mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; c. melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.” Kemudian terdapat ayat 2 yang berbunyi, “Bidang penanggulangan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional”137

Fungsi BNPT juga diatur dalam Perpres ini yaitu pada pasal 3 yang berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BNPT menyelenggarakan fungsi: penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; b.monitoring, analisa, dan evaluasi di bidang penanggulangan terorisme; c. koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal di bidang

137


(15)

penanggulangan terorisme; d. koordinasi pelaksanaan deradikalisasi; e. koordinasi pelaksanaan perlindungan terhadap obyek-obyek yang potensial menjadi target serangan terorisme; f. koordinasi pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapsiagaan nasional; g. pelaksanaan kerjasama internasional di bidang penanggulangan terorisme; h. perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya serta kerjasama antar instansi; i. pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas dilaksanakan dalam rangka pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penanggulangan terorisme.138

138

Ibid

.

Keberadaan tugas dan fungsi dari BNPT ini sebenarnya sudah termasuk maju dalam hal menanggapi fenomena terorisme yang terjadi di Indonesia. Sebagai hasil dari peraturan presiden, keberadaan BNPT sebenarnya tidak sekuat Polisi yang diatur dengan undang-undang tersendiri. Selain masalah kekuatan hukum yang melandasi pendiriannya, tugas dan fungsi BNPT sendiri yang terdapat tindakan pencegahan serta deradikalisasi tidak diatur dalam undang-undang nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. Tidak diaturnya hal tersebut akan menyebabkan kesulitan dalam menilai dan mengambil tindakan untuk melakukan tindakan pencegahan dan deradikalisasi.


(16)

Selain masalah terorisme, permasalahan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba juga menjadi masalah keamanan non tradisional di Indonesia. Kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba juga banyak terjadi di Indonesia. Berikut adalah hasil kasus yang diungkapkan oleh Polri termasuk tersangka yang juga berasal dari warga negara asing :

Tabel 3.1. Jumlah Kasus Narkoba Tahun 2007-2015

No Tahun Jumlah

1 2007 22.630

2 2008 29.364

3 2009 30.878

4 2010 26.614

5 2011 29.713

6 2012 28.727

7 2013 35.436

8 2014 28.108

9 2015 34.296

Jumlah 265.766

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Tabel 3.2. Jumlah Tersangka Kasus Narkoba Tahun 2007-2015

No Tahun Jumlah

1 2007 36.169

2 2008 44.711

3 2009 38.403

4 2010 33.422

5 2011 36.589

6 2012 35.640

7 2013 43.767

8 2014 35.177

9 2015 42.900

Jumlah 346.778


(17)

Pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sejak tahun 2009 dilakukan juga oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Sejak mulai tahun 2009 BNN telah melakukan berbagai pengungkapan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Berikut adalah kasus yang diungkap oleh BNN :

Tabel 3.3. Jumlah Kasus dan Tersangka Narkoba Tahun 2009-2015

No Tahun Jumlah Kasus Jumlah Tersangka

1 2009 5 2

2 2010 64 75

3 2011 94 153

4 2012 117 187

5 2013 166 244

6 2014 408 595

7 2015 682 1.042

Jumlah 1.536 2.286

Sumber : Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia

Data yang dilansir oleh BNN tersebut merupakan gabungan data dari BNN dan BNNP. Kemudian data tersebut sudah termasuk jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkotika yang di dalamnya juga ada memasukkan unsur prekursor atau bahan pembuat narkotika. Data kasus tersebut juga termasuk kasus tindak pidana pencucian uang terkait hasil peredaran gelap narkotika di Indonesia.

Selanjutnya berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh BNN dengan Puslitkes Universitas Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari penyalahguna narkoba. Berdasarkan survei tersebut, jumlah penyalahguna di Indonesia pada usia 10-59 tahun di tahun 2014 mencapai 3,8 sampai 4,1 juta orang. Kemudian, survei tersebut juga menampilkan perkiraan pemakai pada tahun 2015 yaitu mencapai 4,3 juta orang dan hingga tahun 2020 nantinya


(18)

diperkirakan akan terdapat 5,0 juta penyalahguna narkoba di Indonesia.139

Jumlah biaya yang dihasilkan dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba ini juga cukup besar. Estimasi kerugian biaya ekonomi akibat narkoba diperkirakan sekitar Rp.63,1 trilyun di tahun 2014. Jumlah tersebut sekitar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2008, atau naik sekitar 31% dibandingkan tahun 2011. Jika dipilah, diperkirakan sebesar Rp.56,1 trilyun untuk kerugian biaya pribadi (private) dan Rp.6,9 trilyun untuk kerugian biaya sosial. Pada biaya private sebagian besar digunakan untuk biaya konsumsi narkoba (76%). Sedangkan pada biaya sosial sebagian besar diperuntukan untuk kerugian biaya akibat kematian karena narkoba (premature death) (78%).

Angka tersebut menunjukkan besarnya penyalahguna narkoba yang kemudian menjadi penyebab tumbuhnya pasar peredaran gelap narkoba di Indonesia.

140

Jumlah orang meninggal akibat penyalahgunaan narkoba diperkirakan mencapai 12.044 orang pertahun.141

Selain mengungkapkan estimasi biaya yang ada pada tahun 2014 penelitian ini juga memberikan proyeksi biaya ekonomi akibat narkoba. Diproyeksikan akan terjadi peningkatan kerugian biaya ekonomi & sosial (sosek) akibat penyalahgunaan narkoba sekitar 2,3 kali lipatnya atau meningkat dari Rp.63,1 trilyun menjadi 143,8 trilyun di tahun 2020. Hal yang perlu dicermati pada komponen biaya konsumsi narkoba, diproyeksikan biaya tersebut akan

139

BNN dan Puslitkes UI. 2014. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyelahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014. hal 16. diunduh dar

140

Ibid. hal. 30 141


(19)

meningkat dari Rp.42,9 trilyun pada 2014 menjadi Rp.97,8 trilyun pada 2020.142

Masalah narkoba bukan hanya diatur dalam satu undang-undang di Indonesia. Seperti dipaparkan pada bab sebelumnya, terdapat undang-undang Angka tersebut cukup besar untuk membuat bisnis narkoba terus berjalan di Indonesia.

Permasalahan narkoba sendiri diatur dalam berbagai peraturan mulai dari undang-undang hingga peraturan pemerintah. Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menjadi undang-undang paling baru yang diterbitkan pemerintah terkait permasalahan narkoba. Kehadiran undang-undang ini menggantikan undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-undang ini mengatur tentang peredaran narkoba dan juga prekusor atau bahan pembuat narkoba. Selain tentang peredarannya, undang-undang ini mengatur pula tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana.

Berbagai jenis hukuman mulai dari penjara hingga hukuman mati juga dimasukkan ke dalam undang-undang ini sebagai hukuman terhadap berbagai tindakan yang terkait penyalahgunaan dan perdagangan ilegal narkoba di Indonesia. Namun, pasca diberlakukannya undang-undang ini belum terjadi pengurangan yang signifikan akan kasus pidana terkait narkoba. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya kasus dan juga tersangka dalam hal penyalahgunaan dan juga perdagangan ilegal narkoba seperti dipaparkan sebelumnya.

142


(20)

nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Undang-undang ini masih berlaku hingga saat ini dan belum dilakukan perubahan sama sekali. Selain undang-undang itu, ada juga undang-undang-undang-undang nomor 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya sebagai salah satu perjanjian internasional yang diratifikasi untuk penanganan permasalahan narkotika di Indonesia.

Selain itu ada pula undang-undang nomor 7 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs

and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988). Undang-undang itu menjadi salah satu cara Indonesia untuk berkerjasama dengan negara lain dalam menangani masalah peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Hingga undang-undang nomor 8 tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971).

Keberadaan undang-undang tersebut sudah lama dan seharusnya dilakukan pergantian undang-undang dengan yang lebih baru supaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Kasus kejahatan narkoba yang mengalami peningkatan tiap tahun menunjukkan undang-undang sebagai power negara masih lemah. Keberadaan undang-undang yang lama memberikan celah bagi para pelaku kejahatan mengembangkan modus baru untuk melakukan tindak pidana yang menyangkut permasalahan narkoba.


(21)

Badan untuk mengatur permasalahan narkoba sudah ada sejak tahun 2002 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional. Kemudian, BNN mengalami penguatan dasar hukum setelah munculnya undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. BNN pun menjadi lembaga pemerintah nonkementerian. Sejak tahun 2009, BNN memulai tugas melakukan pemberantasan kasus narkoba bersama dengan kepolisian yang sejak awal ditugaskan mengatasi permasalahan narkoba.

BNN memiliki beberapa tugas yaitu, : a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; h. mengembangkan laboratorium Narkotika


(22)

dan Prekursor Narkotika; i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.143

143

Lihat : Pasal 70 Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

BNN juga memiliki wewenang yang diatur dalam pasal 71 Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.” Pengaturan narkotika yang diperuntukan sebagai obat-obatan diatur oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut.

Keberadaan lembaga yang menangani kasus penyalahgunaan dan perdagangan ilegal narkoba menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan banyaknya kasus yang terungkap. Namun, masih terdapat banyak tantangan yang ditunjukkan dengan estimasi jumlah penyalahguna narkoba yang akan mengalami peningkatan tiap tahun. Permasalahan itu ditambah dengan tingginya keuntungan yang didapat melalui bisnis narkoba yang tidak hanya melibatkan pelaku dari dalam negeri, namun juga menggunakan jaringan internasional untuk memasok narkoba. Keberadaan jaringan narkoba internasional ini sudah diperlihatkan pada data di dalam bab sebelumnya.


(23)

Penanganan masalah terorisme dan narkoba tersebut tidak dapat disamakan dengan penanganan ancaman keamanan tradisional yang dilakukan melalui penguatan militer. Bila melihat dari sudut pandang realisme, maka kapabilitas nasional haruslah kuat dalam menghadapi masalah keamanan. Hal tersebut harus dimilki tiap negara karena kapabilitas nasional akan menjadi power bagi negara dalam menghadapi ancaman keamanan negara. Kapabilitas tersebut dalam era perang adalah militer, sedangkan dalam menghadapi ancaman keamanan non tradisional seperti terorisme dan narkoba adalah undang-undang, serta badan-badan sektoral.

Indonesia sendiri masih belum memiliki undang-undang yang secara lengkap mengurusi pencegahan dan penanganan ancaman terorisme dan narkoba seperti dibahas sebelumnya. Padahal undang-undang sangat penting dalam menghadapi ancaman terorisme dan narkoba di Indonesia. Undang-undang memiliki peranan sebagai landasan hukum yang mengatur semua tindakan terkait ancaman terorisme dan narkoba. Hingga keberadaan badan-badan sektoral dapat melaksanakan perintah undang-undang tersebut secara menyeluruh dan menjaga keamanan nasional dari gangguan terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara kemampuan undang-undang yang ada dengan ancaman terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba. Kesenjangan itu dari sisi ancaman terorisme terlihat dengan belum adanya undang-undang baru yang mengatur tindakan pencegahan


(24)

atau deradikalisasi. Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kontra Terorisme ASEAN yang di dalamnya mengatur tentang pencegahan dan deradikalisasi. Harusnya terjadi perubahan dalam undang-undang untuk mempermudah badan-badan sektoral yang bertanggung jawab melakukan fungsi dan tugasnya.

Kesenjangan juga terjadi di undang-undang tentang narkoba. Hanya narkotika yang telah memiliki undang-undang yang baru, padahal masalah narkoba bukan hanya narkotika. Terdapat juga masalah psikotropika, dan zat adiktif yang juga dapat disalahgunakan. Masalah psikotropika hanya diatur dengan undang-undang yang dibuat pada tahun 1997, padahal sebagai zat kimia psikotropika pasti mengalami perkembangan dan modus baru dalam peredaran penyalahgunaannya. Zat adiktif juga hanya diatur dengan peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Hal ini menunjukkan masih adanya celah bagi para pengedar dan penyalahguna narkoba untuk melakukan kegiatannya.

Kesenjangan antara undang-undang dan juga keberadaan badan-badan sektoral dengan ancaman terorisme dan narkoba juga diperparah dengan dinamika politik di Indonesia. Sebagai negara demokrasi, Indonesia memberikan kebebasan berpendapat bagi tiap warga negara. Kebebasan berpendapat juga sering terjadi dalam melihat masalah keamanan negara. Terdapat pihak yang mendukung tindakan pemerintah untuk melakukan penguatan undang-undang dan


(25)

badan-badan sektoral, namun ada pula yang menolak dengan berbagai alasan. Terutama saat pemerintah memutuskan untuk melakukan kerjasama antar negara untuk mencegah dan menangani masalah keamanan negara. Padahal dengan makin terorganisirnya serta perubahan sifat menjadi kejahatan lintas negara menjadikan terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba membutuhkan kerjasama dengan negara lain untuk mencegah dan menanganinya

Bila melihat teori realisme, tidak lengkapnya undang-undang merupakan bentuk dari kelemahan kapabilitas nasional. Lemahnya kapabilitas dalam mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba akan menjadi celah bagi terganggunya keamanan negara. Padahal keamanan negara adalah prioritas utama dari tiap negara. Berdasarkan teori realisme, Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan negara lain untuk kepentingan keamanannya. Kerjasama tersebut juga dapat dijadikan upaya dalam memperkecil celah atau kesenjangan antara undang-undang dengan kondisi terorisme dan narkoba di Indonesia.

3.2. ASEAN Political-Security Community sebagai Pilihan Kerjasama

Masalah terorisme dan narkoba di Indonesia seperti dipaparkan sebelumnya merupakan ancaman bagi keamanan, perdamaian dan stabilitas negara. Ancaman tersebut dapat mengganggu jalannya pembangunan di Indonesia. Kesenjangan antara undang-undang dan badan-badan sektoral dengan ancaman terorisme dan narkoba menjadi hambatan dalam upaya pencegahan dan penanganan permasalahan terorisme dan narkoba di Indonesia. Hal tersebut menjadikan Indonesia berinisiatif untuk menggagas kerjasama antar negara.


(26)

Kerjasama antar negara dipilih dengan negara-negara ASEAN yang kondisi geografisnya saling berdekatan. Hal itu terjadi karena perbatasan antar negara ASEAN yang saling berdekatan dapat menjadi lokasi terjadinya kejahatan lintas negara. Kerjasama politik dan keamanan antar negara ASEAN yang saling berdekatan akan mempermudah pencegahan dan penanganannnya.

Isu-isu keamanan non tradisional seperti dipaparkan sebelumnya merupakan suatu tantangan baru bagi stabilitas keamanan di negara-negara anggota ASEAN. Kejahatan ini bersifat kompleks, terorganisir dengan menggunakan teknologi mutakhir dan dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara. Mengingat kejahatan ini berkarakter lintas negara, maka untuk menanganinya mutlak diperlukan upaya kerja sama antar negara.144 Indonesia menggagas ASEAN Security Community yang disampaikan saat Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) ke-36 di Phnom Penh, Kamboja pada Juni 2003.145

Gagasan tersebut kemudian disahkan dalam Deklarasi Bali Concord II di Bali tahun 2003 mengenai upaya perwujudan Komunitas ASEAN dengan ketiga pilarnya

(politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya).

146

144

Lihat :Media Publikasi Direktorat Kerjasama ASEAN. 2015. Masyarakat ASEAN : Maju Bersama Masyarakat ASEAN “ASEAN Adalah Kita” Edisi 10/ Desember 2015. (Jakarta : Direktorat Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia) hal. 8 diunduh dar

Dipilihnya bentuk komunitas keamanan karena sejarah panjang ASEAN yang tanpa perang hingga tidak perlu membentuk suatu pakta pertahanan atau aliansi militer.

/Majalah/ASEAN%20Edisi%2010.pdf pada 21 Maret pukul 14.00 WIB

145

C.P.F. Luhulima, dkk. Op Cit. hal. 35. 146

Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010. ( Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia) hal. 31.


(27)

Keamanan komprehensif sebagai pendekatan utama dalam perwujudan APSC sendiri terletak pada poin B cetak biru APSC yang berbunyi “A Cohesive,

Peaceful and Resilent Region with Shared Responsibility for Comprehensive

Security”, yang terdiri dari enam sub bagian.147

Cetak biru itu sendiri secara formal diimplementasikan pada tahun 2015, namun sejak disahkan pada 2009 telah dimulai pelaksanaan langkah-langkah aksi yang terdapat dalam cetak biru APSC. Pada pertemuan APSC ke-13 di sela-sela KTT ASEAN ke-27 disampaikan oleh sekretaris jenderal ASEAN bahwa per tanggal 20 November 2015 seluruh langkah aksi dalam cetak biru APSC yang berjumlah 146 telah terlaksana. Sementara, langkah aksi yang bersifat berkelanjutan dimasukkan ke dalam APSC Blueprint 2025 untuk diimplementasikan dalam jangka sepuluh tahun ke depan.

Salah satu dari sub bagian tersebut memasukkan isu keamanan non tradisional sebagai masalah yang harus ditangani. Penanganan tersebut dilakukan sebagai upaya membentuk kawasan yang kompak, damai, dan elastis. Tindakan yang dilakukan adalah melalui mekanisme-mekanisme yang diatur dalam cetak biru tersebut.

148

KTT ASEAN ke 27 tepatnya pada tanggal 22 November 2015 menyepakati perubahan dalam cetak biru dari ketiga komunitas ASEAN yang bertajuk ASEAN 2025 : Forging Ahead Together. Bagian B dari cetak biru ini berubah menjadi, “Peaceful, Secure and Stable Region”, namun tetap terdapat enam sub bagian yang dianggap sebagai kunci dari perwujudan perdamaian,

147

Lihat : ASEAN Political-Security Community Blueprint. hal. 8-14 148


(28)

keamanan, dan stabilitas kawasan.149

Sesuai dengan teori realisme yang menyatakan tidak ada pemerintahan dalam politik internasional, maka APSC menjadikan tiap negara yang berada di dalamnya setara dan tidak ada negara yang menjadi pemegang hak veto untuk menghukum negara lain. Hal tersebut akan memperkecil kemungkinan konflik akibat merasa kedaulatan negaranya terancam oleh sanksi dari negara pemegang Permasalahan keamanan non tradisional juga masuk menjadi salah satu sub bagian dari bagian B ini. Cetak biru yang baru ini secara lebih rinci memberikan panduan tentang apa saja yang harus dilakukan sebagai tindakan dalam pelaksanaan APSC termasuk dalam permasalahan keamanan non tradisional.

APSC yang merupakan kerjasama dalam bidang keamanan dapat dianaliss dengan realisme. Hal tersebut teradi karena realisme meletakkan keamanan negara sebagai kepentingan nasional yang harus diperjuangkan dalam hubungan internasional. Realisme menyatakan bahwa negara diperbolehkan memanfaatkan kerjasama untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Sebagai kerjasama antar negara, APSC menjadi sebuah struktur sistem internasional. Keberadaan APSC sebagai sebuah struktur sistem internasional juga bersifat anarki. Maksudnya, di dalam APSC tidak ada negara yang menjadi negara yang menjadi pemerintah bagi negara lainnya. Hal tersebut terjadi karena dalam pandangan realisme negara harus menolak setiap upaya pengaturan perilaku internasional melalui mekanisme pemerintahan global.

149


(29)

hak veto. Komunitas politik-keamanan ini dipilih sebagai upaya menjaga keamanan negara tanpa mengganngu kedaulatan negara anggota lainnya karena dalam cetak biru APSC terdapat prinsip independensi, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, non interference, dan identitas nasional. Artinya tiap negara menghormati negara lain dalam urusan negara masing-masing dan hal tersebut akan menghindarkan konflik yang menambah ancaman keamanan bagi tiap negara.

Analisis berikutnya, Komunitas Politik-Keamanan ASEAN merupakan perwujudan dari defensive realism yang memahami bahwa tidak baik memiliki kapabilitas negara yang sangat besar dari negara lainnya karena hanya akan meningkatkan potensi konflik. Selain itu, komunitas politik-keamanan ASEAN yang menginginkan adanya kesetaraan kapabilitas antar negara anggota merupakan upaya penciptaan kondisi balance of power antara negara-negara di kawasan. Upaya tersebut akan menyebabkan pengurangan potensi konflik antar negara untuk berfokus dalam menghadapi ancaman keamanan non tradisional. Negara-negara di kawasan ASEAN melalui cetak biru APSC diarahkan untuk membentuk peraturan yang kuat dalam mencegah gangguan mulai dari kejahatan lintas negara berbentuk terorisme, perdagangan gelap dan penyalahgunaan narkoba.

Penguatan peraturan dan badan-badan di dalam negara masing-masing dipercaya dapat mencegah dan menangani permasalahan keamanan di kawasan. Hal tersebut terjadi karena adanya pandangan yang sama dari negara-negara di


(30)

kawasan tentang ancaman keamanan di negaranya yang sebenarnya juga ancaman keamanan di negara lain. Kemudian, upaya pencegahan dan penanganan akan dilakukan di dalam negara tersebut hingga ancaman keamanan tidak akan menyebar ke negara lain di kawasan. Kondisi tersebut merupakan upaya menciptakan kawasan yang aman, damai dan stabil.

Selain sebagai upaya dalam mencegah dan menangani permasalahan terorisme dan narkoba, penguatan peraturan dan badan-badan di tiap negara juga memiliki fungsi lain. Realisme percaya bahwa dengan kondisi sistem internasional yang anarkis tiap negara akan mengejar ketertinggalan dalam hal kapabilitasnya dan akan merasa terancam dengan kapabilitas yang lebih besar dari negara lain. Penguatan peraturan dan badan-badan sebagai kapabilitas nasional tiap negara anggota menjadi kunci dari upaya penciptaan kondisi balance of

power yang dalam pandangan realisme akan mengurangi potensi konflik antar

negara. Keberadaan kapabilitas nasional yang setara juga akan mempermudah integrasi kawasan demi mewujudkan identitas kawasan yang menjadi ciri dari keberadaan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN.

Kondisi balance of power harus diwujudkan melalui APSC karena kesenjangan kapabilitas nasional antara satu negara dengan negara lain hanya akan memicu kecurigaan. Kecurigaan tersebut dapat menimbulkan konflik antar negara di kawasan. Konflik tersebut dapat menghambat persatuan di kawasan dan menjadi celah bagi muncul dan berkembangnya ancaman terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.


(31)

Kondisi tersebut akan menghambat pembangunan dan kegiatan perekonomian dan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, berdasarkan teori realisme, APSC haruslah berupaya mewujudkan balance of power agar tercipta kondisi aman, damai dan stabil di kawasan.

Berkembangnya ASEAN dari organisasi yang bersifat longgar hingga menjadi organisasi yang berdasarkan hukum memberikan perubahan signifikan terhadap kondisi negara anggotanya. Kemunculan APSC yang memiliki cetak biru sebagai landasan bagi tindakan tiap negara dalam mengikutinya merupakan contoh dari perkembangan ASEAN tersebut. Tindakan-tindakan yang ada di APSC menjadi panduan dan standar bagi tiap negara untuk membentuk suatu identitas kawasan hingga tercipta kawasan yang terintegrasi. Integrasi kawasan merupakan syarat utama keberlangsungan komunitas politik keamanan ASEAN. Penguatan undang-undang dan badan-badan di tiap negara menjadi upaya menciptakan balance of power hingga mengurangi potensi konflik untuk mempermudah integrasi kawasan. Berkurangnya konflik antar negara di kawasan akan menyebabkan negara-negara di ASEAN mampu berfokus mencegah dan menangani masalah keamanan negaranya, khususnya terorisme dan narkoba.

Kemunculan APSC sebagai salah satu pilar dari komunitas ASEAN memberikan suatu peluang tersendiri dalam menghadapi masalah terorisme dan narkoba. ASEAN Political-Security Community dibangun dengan pendekatan keamanan komprehensif dan tidak mengarah pada sebuah pakta pertahanan atau


(32)

aliansi militer maupun kebijakan luar negeri bersama.150

Upaya penciptaan identitas bersama itu juga dipengaruhi oleh dinamika politik di dalam negara tiap anggota ASEAN, seperti yang terjadi di Indonesia, Sebagai negara yang menganut demokrasi, terdapat kebebasan berpendapat di Indonesia untuk berbagai permasalahan. Hal itu juga terjadi dalam menyikapi kondisi politik internasional. Sering terjadi protes dalam bentuk demonstrasi yang terkadang melakukan tindakan penghinaan terhadap negara lain oleh masyarakat Indonesia. Kejadian tersebut pun sering menyebabkan Indonesia mendapat reaksi negatif dari negara-negara yang merasa dilecehkan oleh aksi demonstrasi tersebut. Aksi para demonstran tersebut lahir dari anggapan tindakan-tindakan negara lain khususnya di ASEAN yang merugikan Indonesia. Contohnya dalam kasus

Peluang untuk mengahadapi masalah terorisme dan narkoba tersebut muncul dari intensnya pertemuan-pertemuan antar negara yang menghasilkan kesepakatan terkait masalah terorisme dan narkoba yang dianggap sebagai kejahatan lintas negara di kawasan. Kesepakatan itu dapat berupa konvensi, atau hanya bersifat pernyataan bersama yang menjadi bentuk komitmen dari tiap negara dalam menghadapi permasalahan tersebut. Kesepakatan bersama itu merupakan konsekuensi dari komunitas keamanan yang mengupayakan adanya penciptaan suatu identitas bersama dari tiap negara anggotanya secara bersama dan terus menerus hingga dapat menjaga stabilitas negara-negara anggotanya.

150


(33)

terorisme dan narkoba, sering terjadi tudingan bahwa teroris dan narkoba yang ada di Indonesia masuk dari Malaysia.

Keberadaan APSC dengan berbagai mekanisme yang ada di dalamnya akan mencegah masalah dalam hubungan antar negara meluas ke masyarakat dan menyebabkan aksi-aksi yang dapat mempersulit pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut. APSC mengatur bahwa setiap perselisihan yang terjadi harus diselesaikan dengan perundingan-perundingan dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama untuk diimplementasikan bersama, bukannya melalui langkah non-hukum. Begitu pula dengan masalah keamanan non tradisional, berbagai mekanisme hadir untuk menghasilkan kesepakatan sebagai upaya menguatan kapabilitas tiap negara di kawasan. Hal itu dilakukan agar tidak tercipta anggapan bahwa salah satu negara membiarkan ancaman keamanan non tradisional bebas masuk dan berkembang di negara-negara kawasan ASEAN yang kalau dibiarkan akan menghambat proses penciptaan identitas bersama di kawasan.

Terorisme menjadi salah satu masalah yang masuk dalam cetak biru APSC. Terdapat dua belas tindakan yang menjadi upaya dalam mencegah dan menangani masalah terorisme. Tindakan tersebut salah satunya adalah dengan penerapan ASEAN Convention On Counter Terrorism yang telah diratifikasi Indonesia dan ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter-Terrorism. Keberadaan konvensi ini akan memaksa seluruh negara yang menandatanganinya merubah dan menyesuaikan undang-undang negaranya dengan konvensi ini.


(34)

Penyesuaian dengan konvensi ini akan memperkuat undang-undang yang berarti memperkuat kapabilitas nasional dalam menangani terorisme.

Sementara itu, ASEAN Comprehensive Plan of Action on

Counter-Terrorism berfungsi sebagai petunjuk strategis langkah-langkah apa saja yang

harus dilaksanakan tiap negara dalam mencegah dan menghadapi terorisme. Berdasarkan rencana aksi tersebut terdapat tujuh belas cakupan langkah-langkah kerjasama dalam pemberantasan terorisme, yaitu :

- Taat kepada Resolusi Dewan Keamanan PBB dan instrumen internasional lainnya yang relevan menyinggung terorisme;

- Implementasi kerangka hukum, instrumen, dan persetujuan regional yang ada berkaitan dengan terorisme;

- Mengatasi akar penyebab terorisme dan kondisi penyebab penyebarannya;

- Pertukaran cara terbaik untuk melindungi infrastruktur penting, termasuk fasilitas telekomunikasi, pembangkit listrik, fasilitas penyaluran air, bandara dan pelabuhan, kereta api dan angkutan jalan, bangunan pemerintah dan bisnis, dan lainnya melawan serangan teroris;

- Penambahan keamanan paspor, dan dokumen perjalanan lainnya, dan dokumen lain yang diterbitkan negara-negara anggota ASEAN;


(35)

- Peningkatan pertukaran informasi kehilangan dan pencurian paspor, kendaraan hilang dan dicuri, sidik jari, buronan, dan lainnya, dalam kerjasama yang erat dengan ASEANPOL;

- Pembangunan metode pengawasan dan kontrol pergerakan terpadu di daerah rawan sepanjang perbatasan di negara-negara anggota ASEAN, dan mulainya patroli yang terkoordinasi untuk mencegah infiltrasi teroris.

- Pembentukan mekanisme kelembagaan untuk pertukaran informasi dan intelijen pada pengawasan dan pelacakan tersangka teroris termasuk organisasi mereka serta kegiatan mereka dengan maksud mencegah aksi teror mereka;

- Pembentukan komputerisasi basis data bersama pada organisasi teroris dan asosiasi mereka sebagaimana kelompok kejahatan transnasional terorganisir yang mungkin berhubungan dengan organisasi teroris yang bertujuan mengembangkan penilaian resiko dan ancaman bersama; - Peningkatan kemampuan dan kerjasama antara Financial Intelligence

Unist ( FIUs ) dari negara-negara anggota ASEAN , terutama pada

hal-hal yang berkaitan dengan memerangi pendanaan teroris;

- Peningkatan kerjasama antar komunitas intelijen, badan-badan penegak hukum, dan otoritas pengawas keuangan dari negara-negara anggota ASEAN mengenai pemberantasan keuangan teroris;


(36)

- Peningkatan peraturan atau prosedur yang ada dalam pengendalian perdagangan gelap senjata, dan bahan peledak termasuk bahan kimia, bilogi, radiologi, dan nuklir (CBRN) dengan tujuan meningkatkan efektivitasnya. Negara-negara ASEAN yang berlum memiliki peraturan tersebut didorong untuk segera membuatnya;

- Peningkatan kerjasama antara Pusat Data Bom dari negara anggota ASEAN, dengan tujuan untuk mengembangkan standar pelaksanaan penanganan bahan peledak , detonator , senjata api dan bahan kimia, biologi, radiologi, serta nuklir. Negara-negara anggota ASEAN yang memiliki pengetahuan yang lebih maju tentang masalah ini didorong untuk memberikan bantuan kepada negara anggota lainnya yang belum memperoleh kemampuan tersebut;

- Pengembangan dan pengesahan prosedur, yang akan memungkinkan dimulainya latihan bersama pada pemberantasan terorisme antar lembaga penegak hukum dari negara-negara ASEAN dan apabila memungkinkan, operasi penegakan hukum bersama, khususnya di daerah perbatasan;

- Pengembangan dan pengesahan prosedur, sesuai dengan perjanjian yang ada dan/atau instrumen hukum termasuk Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, yang akan memungkinkan penyelidikan lintas batas dan penuntutan kegiatan teroris;


(37)

- Pengembangan dan pengesahan standar operasional untuk perlindungan penduduk sipil dalam peristiwa serangan teroris, seperti Modul Perlindungan Sipil atau Mekanisme Perlindungan Sipil;

- Meningkatkan kerja sama pemberantasan terorisme dengan negara-negara mitra ASEAN dan pihak-pihak luar.151

Cetak biru APSC juga menekankan agar tiap negara melakukan ratifikasi terhadap berbagai instrumen internasional terkait penanganan terorisme. Indonesia sendiri sebagaimana disebutkan sebelumnya, masih meratifikasi tiga instrumen internasional yang menyangkut terorisme.

Terdapat pula kesepakatan lain yang menjadi komitmen dari negara-negara ASEAN dalam menghadapi masalah terorisme dan narkoba. Sebuah Pernyataan Bersama dalam forum ASEAN Foreign Ministers Meeting pada tahun 2015 lalu di Kuala Lumpur menjadi contoh dari komitmen menanggapi masalah terorisme dan narkoba :

- Menegaskan kembali komitmen dalam hal keamanan non tradisional, seperti pemberantasan kejahatan transnasional dan tantangan lintas batas. Untuk menanggapinya maka dilaksanakan The 10th ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) di Kuala

Lumpur, Malaysia pada 29 September –1 Oktober 2015. The Special

Ministerial Meeting on the Rise of Radicalisation and Violent Extremism di Kuala Lumpur, Malaysia pada 2 Oktober 2015 sebagai

151

ASEAN. 2009. ASEAN Documents on Combating Transnational Crime and Terrorism : A Compilation of ASEAN Declarations, and Statements on Combating Transnational Crime and Terrorism. (Jakarta :


(38)

bagian dari upaya ASEAN menghambat perkembangan ancaman radikalisasi dan kejahatan eksrim di kawasan ASEAN.

- Mengakui ancaman Narkoba di kawasan ASEAN dan mengadakan the

ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters yang diselenggarakan

pada 27-29 Oktober 2015 di Langkawi, Malaysia. Memperkenalkan institusionalisasi dari The ASEAN Ministerial Meeting on Drug

Matters yang akan menjadi dorongan politik bagi kerjasama dalam

masalah narkoba dan panduan strategi untuk The ASEAN Senior

Officials Meeting on Drug Matters (ASOD). Menanggapi itu, akan

dilakukan pelipatgandaan usaha secara komprehensif, dan holistik melibatkan pengurangan permintaan dan suplai narkoba sejalan dengan

ASEAN Leaders Declaration on Drug Free ASEAN 2015, yang

disahkan pada The 20th ASEAN Summit in 2012, di Phnom Penh, Kamboja.152

Bentuk komitmen lainnya ialah diadakannya AMMTC setahun sekali mulai tahun 2017 sebagaimana disebutkan dalam Joint Statement Of The Tenth

Asean Ministeral Meeting On Transnational Crime (10th AMMTC). Perubahan

jadwal pertemuan tersebut akan menyebabkan lebih cepatnya respon terhadap perkembangan masalah terorisme dan narkoba yang merupakan kejahatan lintas negara. Makin intensnya pertemuan juga akan memberikan peluang bagi evaluasi

152

Lihat : Joint Communiqué 48th ASEAN Foreign Ministers Meeting Kuala Lumpur, Malaysia 4th August 2015 “OUR PEOPLE, OUR COMMUNITY, OUR VISION” hal. 6-7 diunduh dar


(39)

dan proyeksi terhadap langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan terorisme dan narkoba.

Masalah narkoba juga menjadi perhatian ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya empat belas langkah yang masuk ke dalam cetak biru APSC di bagian narkoba. Upaya utama dari ASEAN adalah mewujudkan Drug Free

ASEAN. Tindakan yang dimasukkan ke dalam cetak biru APSC sendiri sudah ada

yang dimasukkan ke dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Masuknya prekursor, kerjasama penanganan narkotika, serta pembuatan laboratorium untuk mengembangkan keilmuan tentang narkotika ke dalam undang-undang tersebut merupakan beberapa tindakan ada pada cetak biru APSC.

Permasalahan narkoba memiliki forum tersendiri untuk membahasnya yaitu, ASEAN Ministers Meeting on Drug Matters yang menjadi peluang untuk membuat suatu kesepakatan bersama dalam mengahadapi bahaya ancaman narkoba. Pada pertemuan AMMD tahun 2015 terdapat sebuah pernyataan yang salah satu poinnya sepakat untuk melanjutkan keinginan Drug-Free ASEAN dan memperkenalkan permintaan ASOD untuk membuat sebuah rencana kerja pemberantasan produksi, perdagangan, dan penggunaan narkoba ilegal pasca 2015. ASOD akan mengesahkan sebuah pendekatan seimbang, melibatkan langkah-langkah pengurangan permintaan dan pasokan, dan penguatan pelaksanaan bidang-bidang, pendidikan pencegahan, perawatan dan rehabilitasi, penelitian dan pembangunan alternatif. Para menteri juga menerima permintaan


(40)

Indonesia untuk mengadakan suatu pelatihan untuk mengembangkan rencana kerja ASOD pasca 2015.153

a. Pemberantasan perladangan ilegal, menarik masyarakat yang bermata pencaharian dari peladangan ini dan menyediakan alternatif yang berkelanjutan untuk masyarakat ini;

Masih dalam pernyataan tersebut, para menteri mencatat langkah-langkah lanjutan dalam menghadapi permasalahan ini, yaitu :

b. Meningkatkan upaya pencegahan dan akses untuk perawatan dan rehabilitasi pengguna narkoba, dan memastikan bahwa mereka menerima pelayanan standar yang sesuai untuk pengintegrasian kembali mereka dengan masyarakat;

c. Mencegah perdagangan prekursor ilegal dan sindikat narkoba internasional, nilai dan keuntungan tinggi dari kejahatan narkoba melalui aksi yang kuat oleh badan penegak hukum;

d. Meningkatkan upaya kolaborasi antar negara anggota ASEAN, dan mitra kerjasama;

e. Meningkatkan kewaspadaan akan bahaya narkoba ilegal melalui kampanye pendidikan anti narkoba, dan pengesahan pita hijau dan putih sebagai simbol dari komitmen Drug-Free ASEAN.154

153

The 4th ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters 29 October 2015, Langkawi, Malaysia Chairman’s

Statement. hal. 2 diunduh dar

154


(41)

Peluang untuk memperkuat kapabiltas dan komitmen dari tiap negara ASEAN dalam menghadapi ancaman narkoba juga terlihat dalam Pernyataan Posisi ASEAN yang menerapkan zero-tolerance terhadap narkoba (drugs), untuk selanjutnya akan disampaikan pada the 59th Session of the Commission on

Narcotic Drugs (CND) bulan Maret 2016 dan the United Nations General Assembly Special Session (UNGASS) on the World Drug Problem bulan April

2016.155

Pernyataan posisi ASEAN terhadap narkoba menyebutkan juga ASEAN menggunakan pendekatan komprehensif dan seimbang menghadapi narkoba, mendukung sentralitas dari konvensi pengaturan narkoba internasional dan berdiri tegas menghadapi narkoba, termasuk tegas melawan legalisasi narkoba, memberi kedaulatan pada masing-masing negara dalam menggunakan pendekatan menghadapi bahaya narkoba, siap berkerjasama dengan kawasan lain, dan mendukung peranan the Commission on Narcotic Drugs (CND).

156

Jumlah tindakan terkait terorisme dan narkoba adalah yang paling banyak dalam cetak biru APSC di bagian keamanan non tradisional. Selain itu, seperti disebutkan sebelumnya terdapat banyak kesepakatan lain terkait terorisme dan narkoba yang dihasilkan dari pertemuan-pertemuan yang juga diatur cetak biru ASEAN sendiri belum memiliki konvensi tersendiri untuk permasalahan narkoba sebagai upaya mengikat dan penguatan undang-undang di tiap negara anggota ASEAN.

155

Lihat: ASEAN 2025: Forging Ahead Together. hal. 17 156

Position Statement Endorsed And Adopted By The 4th Asean Ministerial Meeting On Drug Matters 29 October 2015, Langkawi, Malaysia. hal. 1-2 diunduh dari pada 23 Maret 2016 pukul 22.30 WIB.


(42)

APSC. Bila melihat berbagai poin yang ada dalam kesepakatan-kesepakatan tersebut, harusnya negara-negara di kawasan ASEAN dapat mengurangi jumlah ancaman terorisme dan narkoba.

Banyaknya kesepakatan yang dihasilkan menjadi bukti dari keseriusan negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi masalah terorisme dan narkoba. Keseriusan yang ditunjukkan tersebut merupakan peluang bagi berkurangnya ancaman terorisme dan narkoba di negara-negara anggota ASEAN apabila benar-benar dilaksanakan. Penguatan peraturan dan peran dari badan-badan yang mengurusi terorisme dan narkoba harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh negara-negara anggota APSC. Implementasi dari hasil penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral tersebut juga harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Hal tersebut dibutuhkan karena penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral saja tidak akan memberikan dampak apapun jika tidak diimplementasikan.

Penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral bila dilihat dari sudut pandang realisme terjadi karena negara tidak boleh mengandalkan organisasi internasional atau hukum internasional untuk menjamin keamanan nasionalnya. Berdasarkan pandangan realisme tersebut, tindakan-tindakan yang diatur dalam APSC pun tidak menjadikan ASEAN sebagai pihak utama dalam menjamin keamanan nasional tiap negara anggotanya. APSC melalui cetak birunya hanya memberikan panduan untuk peningkatan kapabilitas nasional tiap negara yang


(43)

juga ditujukan untuk memperkecil perbedaan kapabilitas antar negara demi mewujudkan balance of power.

Peluang yang hadir tersebut bila dilihat menggunakan realisme menunjukkan adanya kepentingan dari Indonesia sebagai penggagas APSC dan negara dengan wilayah yang paling luas di kawasan ASEAN. Ancaman terorisme dan narkoba dapat berkembang menjadi kejahatan lintas negara hingga dapat menambah permasalahan terorisme dan narkoba yang sudah ada di Indonesia. Melihat ancaman tersebut Indonesia mengajukan gagasan pembentukan komunitas keamanan yang kemudian berkembang menjadi komunitas politik-keamanan ASEAN dengan mengacu pada kepentingan nasional yaitu menjaga keamanan negara.

Ikut sertanya negara-negara ASEAN dalam APSC menjadikan tiap negara akan mengupayakan pembentukan kesamaan identitas yang merupakan ciri utama komunitas politik-keamanan. Kesamaan identitas itu akan memunculkan kesamaan pandangan dalam upaya mencegah dan menghadapi ancaman terorisme dan peredaran gelap serta penyalahgunaan narkoba. Tiap negara yang ikut serta di APSC akan diarahkan untuk melakukan penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral melalui cetak biru APSC. Hal tersebut akan memberikan kemungkinan tindakan yang sama dalam mencegah dan menghadapi terorisme dan narkoba di tiap negara anggota ASEAN.

Kondisi tersebut menunjukkan Indonesia berada pada posisi yang diuntungkan dalam penerapan APSC. Posisi yang diuntungkan itu dapat terjadi


(44)

karena dengan adanya APSC berarti Indonesia dapat mengurangi kemungkinan ancaman terorisme dan narkoba yang berasal dari negara lain di ASEAN. Kemungkinan berkurangnya ancaman itu berarti Indonesia telah berhasil memperjuangkan kepentingan nasionalnya yaitu menjaga keamanan negara.

Meskipun berada pada posisi yang diuntungkan dalam pelaksanaan APSC, Indonesia masih harus melakukan penguatan terhadap undang-undang dan badan-badan sektoralnya. Hal tersebut terjadi karena masih terdapat kesenjangan antara undang-undang yang ada dengan standar yang terlihat dari cetak biru APSC maupun kesepakatan lainnya yang hadir dari mekanisme-mekanisme yang diatur dalam cetak biru APSC. Penguatan itu juga akan menunjukkan bahwa Indonesia tidak menggunakan organisasi internasional atau hukum internasional sebagai kekuatan utama dalam menjaga keamanan negara. Indonesia yang berada di posisi menguntungkan dalam penerapan APSC pun bila merujuk pada teori realisme dapat keluar sewaktu-waktu dari APSC. Hal tersebut dapat dilakukan karena dalam realisme dibenarkan suatu negara keluar apabila kerjasama internasional yang diikutinya dinilai sudah tidak menguntungkan dan juga jauh dari pencapaian kepentingan nasionalnya.


(45)

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

ASEAN merupakan organisasi kerjasama antar negara di kawasan Asia Tenggara. Sejak dibentuk pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, ASEAN mengalami banyak perubahan. Perubahan terjadi dalam hal keanggotaan yang awalnya hanya lima negara menjadi sepuluh negara anggota. Peningkatan kuantitas anggota ini secara otomatis meningkatkan potensi sengketa antar negara anggota ASEAN. Keadaan ini menimbulkan kesadaran dari negara-negara anggota bahwa ASEAN belum mewujudkan suatu perasaan kolektif yang menjadikan negara-negara ASEAN sebagai keluarga. Keinginan untuk menciptakan suatu perasaan kolektif ini diwujudkan dengan ide pembentukan komunitas Asia Tenggara yang “saling perduli dan berbagi” yang disampaikan pada 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur yang dikenal dengan “ASEAN Vision 2020”.

Pada tahun 2003 para pemimpin negara ASEAN memproklamirkan pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang terdiri atas tiga pilar, yakni Komunitas Kemanan ASEAN (ASEAN Security Community- ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community-ASCC) yang saling mengikat dan memperkuat untuk mencapai tujuan bersama demi menjamin perdamaian yang dapat dipertahankan, stabilitas dan kemakmuran yang terbagi di kawasan Asia Tenggara.


(46)

Bentuk organisasi pun kemudian berubah, ASEAN yang pada awalnya bersifat longgar menjadi organisasi yang berdasarkan hukum pasca disepakatinya Piagam ASEAN pada tahun 2008. Hadirnya ASEAN Charter tersebut juga mengubah ASEAN Security Community menjadi ASEAN Political-Security

Community. Selain perubahan nama pilar komunitas, penerapan Komunitas

ASEAN juga dipercepat menjadi tahun 2015. Percepatan itu pun didukung dengan disahkannya cetak biru dari masing-masing pilar komunitas ASEAN untuk menjadi panduan dalam membentuk identitas bersama yang merupakan ciri komunitas. Komunitas ASEAN ini sendiri akan diwarnai pencapaian kerja sama, solidaritas, bersama melawan kemiskinan, dan menikmati rasa aman, termasuk keamanan manusia (human security)

Keamanan manusia sendiri merupakan perubahan fokus dalam keamanan negara. Ancaman terhadap keamanan negara tidak hanya dianggap datang dari negara lain dalam bentuk perang yang membahayakan kedaulatan negara. Keamanan negara juga dapat terancam dari sisi manusia yang hidup di dalamnya atau dalam bentuk ancaman keamanan non tradisional. APSC sendiri menyadari hal tersebut dan memasukkan bentuk-bentuk ancaman tersebut ke dalam cetak birunya. Bentuk ancaman keamanan tersebut antara lain, terorisme, peredaran ilegal dan penyalahgunaan narkoba, perdagangan ilegal senjata, perdagangan manusia, cybercrimes hingga manajemen bencana.

Penanganan yang dilakukan pun berbeda, masalah keamanan tradisional harus dihadapi dengan kekuatan militer sedangkan masalah keamanan non


(47)

tradisional dapat dihadapi dengan penguatan undang-undang, badan-badan sektoral, serta kerjasama antar negara seperti yang dilakukan Indonesia dengan mengikuti APSC. Hal tersebut perlu dilakukan karena untuk mencegah dan menangani masalah keamanan non tradisional harus ada landasan hukum yang kuat. Landasan hukum tersebut akan menjadi pedoman dari segala tindakan yang dapat dilakukan oleh badan-badan sektoral dalam mencegah dan menangani masalah keamanan non tradisional.

APSC sendiri telah menyadari hal tersebut, dibuktikan dengan isi cetak birunya, baik yang disahkan pada tahun 2009 maupun perubahannya pada tahun 2015. Terdapat banyak tindakan yang merupakan upaya penguatan terhadap undang-undang dan badan-badan sektoral dalam mencegah dan menangani masalah keamanan non tradisional di negara-negara ASEAN. Penguatan ini menjadi upaya utama karena Komunitas Politik-Keamanan ASEAN memiliki berbagai prinsip yang menghalangi intervensi berlebih terhadap masalah suatu negara oleh negara-negara lain. Maka, sebagai upaya membentuk kesamaan pandangan terhadap masalah keamanan non tradisional oleh seluruh negara anggotanya dilakukanlah penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral di masing-masing negara. Penguatan itu dipandu oleh tindakan-tindakan yang diatur dalam cetak biru APSC.

Sebagai negara yang menggagas dan juga ikut dalam pelaksanaan APSC, Indonesia memiliki berbagai masalah keamanan non tradisional terutama terorisme dan narkoba. Terorisme dan narkoba ialah dua masalah yang paling


(48)

banyak tindakannya di dalam cetak biru APSC. Konsekuensi keikutsertaannya adalah Indonesia harus melakukan tindakan-tindakan yang ada dalam cetak biru APSC, termasuk dalam masalah terorisme dan narkoba. Tindakan yang dilakukan tersebut ialah penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral. Penguatan dilakukan dengan melihat pada cetak biru APSC, maupun kesepakatan-kesepakatan yang hadir dari berbagai forum di ASEAN yang diikuti oleh Indonesia. Kesepakatan-kesepakatan tersebut dapat berupa konvensi maupun rencana kerja yang lebih bersifat taktis.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki undang-undang dan badan-badan terkait masalah terorisme dan narkoba. Namun, keberadaannya masih belum mencapai standar yang diharapkan dalam cetak biru APSC. Pada masalah terorisme, masih terdapat kesenjangan antara kondisi yang diharapkan oleh APSC dengan keadaan undang-undang di Indonesia. Kesenjangan itu terlihat dengan belum ada diaturnya masalah pencegahan baik itu deradikalisasi maupun yang lainnya dalam undang-undang tentang terorisme.

Undang-undang terkait masalah narkoba, khususnya narkotika sendiri lebih maju dengan dimasukkannya prekursor, kerjasama penanganan narkotika, serta pembuatan laboratorium untuk mengembangkan keilmuan tentang narkotika yang merupakan tindakan-tindakan dalam cetak biru APSC. Namun, masalah narkoba bukan hanya tentang narkotika, masih ada psikotropika yang pengaturannya masih menggunakan undang-undang lama. Bahkan, zat adiktif


(49)

sendiri hanya diatur dengan peraturan pemerintah dan terkhusus pada masalah zat adiktif dalam bentuk tembakau.

Hal tersebut menjadi bukti bagaimana masih kurangnya kapabilitas nasional Indonesia dalam menghadapi permasalahan terorisme dan narkoba. Rendahnya kapabilitas nasional yang dimiliki Indonesia dalam hal peraturan dan badan-badan sektoral menjadi celah bagi masuk dan berkembangnya ancaman keamanan non tradisional di Indonesia. Bila melihat dari sudut pandang realisme, maka negara dapat melakukan kerjasama dengan negara lain dalam masalah keamanan. Indonesia memilih bekerjasama dalam bentuk Komunitas Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/APSC).

Keberadaan APSC sendiri dapat dianalisis dengan realisme yang menunjukkan sebagai sebuah struktur sistem internasional APSC bersifat anarki. Maksudnya, di dalam APSC tidak ada negara yang menjadi negara yang menjadi pemerintah bagi negara lainnya. Hal tersebut terjadi karena dalam pandangan realisme negara harus menolak setiap upaya pengaturan perilaku internasional melalui mekanisme pemerintahan global. Kondisi sistem internasional yang anarkis akan menyebabkan tiap negara mengejar ketertinggalan dalam hal kapabilitasnya dan akan merasa terancam dengan kapabilitas yang lebih besar dari negara lain.

Melihat kenyataan tersebut, maka APSC melalui cetak birunya berfokus pada upaya penguatan peraturan dan badan-badan sebagai kapabilitas nasional tiap negara anggota. Upaya itu menjadi kunci dari upaya penciptaan kondisi


(50)

balance of power yang dalam pandangan realisme akan mengurangi potensi

konflik antar negara. Keberadaan kapabilitas nasional yang setara juga akan mempermudah integrasi kawasan demi mewujudkan identitas kawasan yang menjadi ciri dari keberadaan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN.

Berkembangnya ASEAN dari organisasi yang bersifat longgar hingga menjadi organisasi yang berdasarkan hukum memberikan perubahan signifikan terhadap kondisi negara anggotanya. Kemunculan APSC yang memiliki cetak biru sebagai landasan bagi tindakan tiap negara dalam mengikutinya merupakan contoh dari perkembangan ASEAN tersebut. Perkembangan ini juga terlihat dengan munculnya konvensi-konvensi yang mengikat negara-negara anggota ASEAN. Terkait masalah terorisme misalnya, terdapat ASEAN Convention On

Counter Terrorism yang turut diratifikasi oleh Indonesia. Artinya, Indonesia akan

melakukan perubahan dalam undang-undangnya menyesuaikan dengan isi dan standar dari konvensi itu.

Masalah narkoba sendiri masih belum memiliki konvensi yang secara khusus mengikat negara-negara ASEAN. Namun, sudah banyak kesepakatan baik berupa deklarasi, pernyataan, maupun rencana kerja untuk mewujudkan Drug

Free ASEAN. Terorisme dan narkoba merupakan dua masalah yang paling banyak

langkah-langkahnya di dalam cetak biru APSC dalam bagian keamanan non tradisional. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian dari negara-negara anggota ASEAN terhadap kedua permasalahan ini. Berbagai kesepakatan dan tindakan yang telah ada menunjukkan adanya peluang untuk pengurangan ancaman


(51)

terorisme dan narkoba. Peluang tersebut hadir karena berbagai kesepakatan yang ada mengarahkan pada penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral di tiap negara ASEAN.

Peluang yang muncul dari adanya kerjasama tersebut bila dilihat dari sudut pandang realisme adalah peningkatan kapabilitas nasional. Hal tersebut terjadi karena tindakan-tindakan yang diatur dalam APSC tidak menjadikan ASEAN sebagai pihak utama dalam menjamin keamanan nasional tiap negara anggotanya. APSC melalui cetak birunya hanya memberikan panduan untuk peningkatan kapabilitas nasional tiap negara yang juga ditujukan untuk memperkecil perbedaan kapabilitas antar negara demi mewujudkan balance of power. Hal tersebut merupakan bentuk dari asumsi realisme yang menyatakan bahwa negara tidak boleh bergantung pada organisasi internasional atau hukum internasional untuk masalah keamanannya.

Kesetaraan dalam undang-undang di tiap negara akan menyebabkan masing-masing negara melakukan tindakan yang sama untuk mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba. Kondisi itu menempatkan Indonesia pada posisi yang diuntungkan dalam penerapan APSC ini. Hal tersebut terjadi karena tiap negara anggota APSC yang turut mencegah dan menangani permasalahan keamanan non tradisional di negaranya masing-masing dapat mengurangi potensi meluasnya ancaman tersebut ke Indonesia.

APSC sendiri dapat ditinggalkan Indonesia, apabila dalam perjalannya sudah tidak adalagi kepentingan Indonesia dalam pelaksanaan APSC. Hal tersebut


(52)

dibenarkan dalam pandangan realisme. Segala kerjasama dan juga perjanjian internasional dapat dikaji ulang dan dihentikan apabila sudah tidak sesuai dengan kepentingan nasional sebuah negara.

4.2. Saran

Posisi Indonesia yang diuntungkan dengan pelaksanaan APSC belum berarti menjadikan Indonesia aman dari ancaman terorisme dan narkoba. Berbagai peluang yang ada sebagaimana dituliskan sebelumnya haruslah benar-benar dimanfaatkan Indonesia. Indonesia tidak boleh menjadikan organisasi internasional atau hukum internasional sebagai kekuatan utama dalam menjaga keamanan. Indonesia harus melakukan penguatan terhadap kapabilitas nasionalnya dalam menghadapi terorisme dan narkoba.

Kapabilitas dalam masalah terorisme dan narkoba ini ialah undang-undang dan badan-badan sektoral. Cetak biru APSC mengatur apa saja tindakan yang harus dilakukan untuk menguatkan undang-undang dan badan-badan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka Indonesia haruslah segera melaksanakan penguatan berdasarkan tindakan tersebut. Selain dengan tindakan-tindakan yang di cetak APSC, Indonesia juga harus melaksanakan langkah-langkah lain yang merupakan kesepakatan dari mekanisme-mekanisme yang juga diatur dalam APSC.

Indonesia harus melakukan penguatan terhadap undang-undang tentang teorisme sebagai konsekuensi pelaksanaan APSC dan juga ratifikasi dari ASEAN


(53)

deradikalisasi haruslah segera dimasukkan ke dalam undang-undang terorisme. Keberadaan BNPT juga harus diperkuat layaknya BNN yang melakukan penindakan terhadap kasus-kasus narkotika, dan bukan hanya sebagai pelaksana koordinasi antar lembaga.

Terkait masalah narkoba, Indonesia haruslah melakukan pembaharuan terhadap undang-undang psikotropika yang sudah berlaku sejak 1997 serta menghadirkan undang-undang yang mengatur zat adiktif. Indonesia harus melaksanakan hasil-hasil kesepakatan yang hadir dari mekanisme-mekanisme dalam pelaksanaan APSC. Peluang untuk mengurangi ancaman terorisme dan narkoba sudah ada dan sebagai negara yang mengikuti APSC, Indonesia harus memanfaatkan dengan melaksanakan tindakan-tindakan sebagaimana telah disepakati dalam cetak biru APSC maupun kesepakatan lain.


(54)

BAB II

DESKRIPSI INDONESIA DALAM PENERAPAN ASEAN

POLITICAL-SECURITY COMMUNITY

2.1. Kondisi Keamanan Non Tradisional

Cetak biru APSC mengatur kondisi-kondisi yang termasuk dalam kategori keamanan non tradisional dan juga langkah-langkah pencegahan dan penanganannya. Berikut adalah kondisi yang termasuk dalam kategori keamanan non tradisional menurut poin-poin dalam bagian B.3 cetak biru APSC yang terjadi di Indonesia :

2.1.1. Terorisme

Sejak serangan terorisme meruntuhkan gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York dan sebagian gedung Pentagon di Washington, DC. tanggal 11 September 2001 isu terorisme global menjadi perhatian semua aktor politik dunia baik negara maupun non negara.57 Mulai saat itu, Amerika Serikat melakukan kampanye besar-besaran dalam melawan terorisme. Pada kampanye anti teroris, beberapa negara, termasuk negara-negara ASEAN, secara langsung bertanggung jawab dalam penangkapan teroris dengan menggolongkan dan menerapkan tindakan keamanan internal pada setiap negara masing-masing.58

Negara-negara di kawasan ASEAN sendiri tidak lepas dari aksi terorisme. Keberadaan jaringan teroris Al-Qaeda di kawasan Asia Tenggara dituding

57

Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik edisi 2 (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2014) hal.125 58

Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah (Jakarta, 20 September 2003) diunduh dari 2016 pukul 10.19 WIB


(55)

menjadi bangkitnya gerakan Islam Radikal di kawasan ini menjadi kelompok teroris yang melakukan operasi di Filipina, Thailand, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Adapun kelompok-kelompok Islam radikal yang telah berkembang menjadi kelompok teroris adalah Moro Islamic Liberation Front (MILF), dan Abu

Sayyaf Group (ASG) di Filipina; Laskar Jundullah di Indonesia; Kumpulan

Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia; Jemmah Salafiyah di Thailand; Arakan

Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan Rohingya Solidarity Organization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh; dan Jemaah Islamiyah (JI),

merupakan salah satu jaringan yang berkembang sampai ke Australia.59

Kemunculan kelompok-kelompok ini sendiri tidak hanya dapat dilihat dari ajaran Islam radikal yang dibawakan oleh Al-Qaeda. Kelompok-kelompok ini sendiri memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kelompok teroris di Filipina dan Thailand misalnya, selain sebagai gerakan yang muncul karena ajaran agama, kelompok ini hadir sebagai wujud gerakan separatis. Gerakan separatis ini menuntut wilayah yang didudukinya untuk dilepas dan dijadikan negara sendiri karena merasa tidak diperdulikan oleh pemerintah nasional yang sedang berkuasa. Akibat kepentingan yang dimiliki oleh jaringan teroris Al-Qaeda yang melakukan perang terhadap pasukan Unisovyet maka jaringan teroris Al-Qaeda memberikan pelatihan dan bantuan dana untuk membantu kelompok-kelompok Islam radikal yang berada di Asia Tenggara dalam mencapai tujuan dan motivasi

59

Vasperton Sinambela. 2015. Kepentingan Indonesia Dalam Konvensi Asean Tentang Pemberantasan Terorisme (Asean Convention On Counter Terrorism). hal. 55 diunduh dari

11.53 WIB.


(56)

kelompok radikal tersebut di masing-masing negara. Dibalik pelatihan dan bantuan yang diberikan oleh jaringan teroris Al-Qaeda ada kepentingan jaringan Al-Qaeda di dalamnya yaitu mendapatkan bantuan relawan yang akan melakukan perang terhadap Unisovyet dan memasukkan paham ideologi untuk menegakkan Khalifah Islam dengan menentang dominasi barat yaitu AS dan sekutunya.60

Terkhusus di Indonesia, terdapat Jama’ah Islamiyah (JI) sebagai kelompok teroris terbesar dan paling banyak menjadi otak dibalik serangkaian aksi terorisme. Pada awalnya, kelompok ini tidak begitu dikenal luas dan tidak diwaspadai oleh masyarakat, hingga Indonesia dituduh tidak serius dalam menanggapi masalah terorisme. Namun kondisi itu mulai berubah sejak terjadinya peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dan melukai 235 orang.61

Kasus terorisme menjadi pembahasan utama dan menarik perhatian secara luas. Serangkaian aksi terorisme kembali terjadi dan JI masih dianggap sebagai kelompok paling bertanggung jawab atas serangan tersebut. Selain kelompok JI, ancaman kasus terorisme saat ini berasal dari Santoso bersama kelompoknya Mujahidin Indonesia Timur. Kelompok teroris tersebut telah menyatakan berbaiat atau memberi dukungan kepada ISIS.62

60

Ibid. hal 56.

61

Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah (Jakarta, 20 September 2003) diunduh dari 2016 pukul 10.19 WIB

62

Lihat : Selamat Ginting. Kiblat Radikalisme Mengapa Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menjadi sentral dari gerakan jaringan kelompok terduga teroris di Indonesia? diakses dari http://www.republika.


(1)

vi

Alhamdullillah, puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Posisi Indonesia dalam Penerapan ASEAN Political Security Community (Studi Analisis Realisme dalam Hubungan Internasional). Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana kapabilitas nasional Indonesia dalam menghadapi ancaman keamanan non tradisional hingga membutuhkan kerjasama antar negara. Kemudian, skripsi ini akan menunjukkan bagaimana posisi Indonesia di dalam kerjsama antar negara, yaitu APSC dengan menggunakan realisme sebagai alat analisisnya. Hasilnya, Penulis menyimpulkan Indonesia berada pada posisi yang diuntungkan dalam penerapan APSC tersebut. Penulisan skripsi ini merupakan sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis ucapkan kepada kedua orang tua Penulis, Drs. Ilham Rusdi Burhan dan Siti Fatimah, S.Pd yang telah memberikan dukungan yang sangat besar baik secara moril maupun materil selama ini. Kemudian, Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan FISIP USU, Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si. 2. Ketua Departemen Ilmu Politik, Ibu Dra. T.Irmayani, M.Si.

3. Dosen Pembimbing Akademik sekaligus Pembimbing Skripsi, Bapak Drs. Ahmad Taufan Damanik, MA yang telah banyak memberikan masukan terhadap skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan Staff di Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

5. Keluarga besar Departemen Ilmu Politik FISIP USU, terkhusus stambuk 2012.

6. Keluarga Besar HMI Komisariat FISIP USU, terkhusus kepengurusan Periode 2014-2015 dan 2015-2016.

7. Teman-teman dari Komunitas Sumatran Youth Food Movement


(2)

vii

8. Berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dukungan baik moril maupun materil dalam proses penulisan skripsi ini.

Penulis juga memohon maaf apabila terdapat kekurangan baik secara penulisan maupun substansi dari skripsi ini. Demikian, semoga Skripsi ini bermanfaat dan menambah pengetahuan dari pembacanya.

Medan, 27 Juni 2016

(Haris Fadhil) 120906053


(3)

viii

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Halaman Pengesahan ... iv

Halaman Persetujuan ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi... viii

Daftar Tabel ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4.Manfaat Penelitian ... 12

1.5.Kerangka Teori... 13

1.5.1. Realisme ... 13

1.6.Metodologi Penelitian ... 26

1.6.1. Jenis Penelitian ... 26

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... 28

1.6.3. Teknik Analisa Data ... 29

1.7.Sistematika Penelitian ... 29

BAB II. DESKRIPSI INDONESIA DALAM PENERAPAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY ... 31

2.1. Kondisi Keamanan Non Tradisional ... 31

2.1.1. Terorisme ... 31

2.1.2. Narkoba ... 34

2.1.3. Perdagangan dan Penyelundupan Manusia ... 36

2.1.4. Penyelundupan Senjata Api ... 37

2.1.5. Cybercrimes ... 38

2.1.6 Bencana ... 39


(4)

ix

2.2.1. Terorisme ... 41

2.2.2. Narkoba ... 43

2.2.3. Perdagangan dan Penyelundupan Manusia ... 44

2.2.4. Penyelundupan Senjata Api ... 45

2.2.5. Cybercrimes ... 46

2.2.6. Bencana ... 47

2.3. Pelaksanaan ASEAN Political-Security Community 2.3.1. APSC Council ... 48

2.3.2. ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) ... 48

2.3.3. ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM) ... 50

2.3.4. ASEAN Law Ministers Meeting (ALAWMM) ... 51

2.3.5. ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes ... 52

2.3.6. ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters ... 55

2.3.7. ASEAN Regional Forum (ARF) ... 56

2.3.8. Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ... 58

2.3.9. ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes ... 59

2.3.10. ASEAN Convention on Counter Terrorism dan ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter Terrorism ... 60

2.3.11. The ASEAN Convention Against Traffickin in Persons, Especially Women and Children dan the ASEAN Workplan of Action Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children ... 61

2.3.12. ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response ... 63

BAB III. ANALISIS REALISME POSISI INDONESIA DALAM PENERAPAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY ... 65

3.1. Analisis Kapabilitas Nasional terhadap Ancaman Terorisme dan Narkoba di Indonesia... 65

3.2. ASEAN Political-Security Sebagai Pilihan Kerjasama ... 82


(5)

x

4.2. Saran ... 110 DAFTAR PUSTAKA ... 112 LAMPIRAN


(6)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jumlah kejadian dan korban bencana tahun 2000-2016 ... 39

Tabel 3.1. Jumlah Kasus Narkoba Tahun 2007-2015 ... 73

Tabel 3.2. Jumlah Tersangka Kasus Narkoba Tahun 2007-2015 ... 73