Laporan praktikum farmakologi PROGRAM ST

Laporan praktikum farmakologi

Jilid 1

Dosen

Dra. Refdanita, Msi, Apt.

Annisa Farisa Muti, S.Farm.,M.Sc., Apt.

Di susun oleh : Siti Fakhriyyah Firza (14330132) PROGRAM STUDI FARMASI INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

TAHUN 2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah laporan praktikum farmakologi ini dapat terselesaikan.

Melalui laporan praktikum farmakologi ini kita dapat mengetahui tentang : cara-cara pemberian obat, variasi biologik, variasi kelamin, dosis obat dan respon, hipnotik-sedativ pada hewan percobaan mencit dan tikus.

Laporan praktikum farmakologi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hewan percobaan yang dipakai dan dapat menangani hewan percobaan dengan baik, mengetahui cara-cara-cara pemberian obat pada hewan percobaan, serta efek farmakologi pada hewan percobaan.

Saya sadar bahwa laporan ini belum mencapai kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat di perlukan guna perbaikan tugas-tugas berikutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat sekian dan terima kasih.

Jakarta, 2016

Penulis,

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI CARA-CARA PEMBERIAN OBAT PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT VARIASI KELAMIN DOSIS OBAT DAN RESPON HIPNOTIK-SEDATIF

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Judul Percobaan

Cara-Cara Pemberian Obat

I.2 Latar Belakang

Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan.

Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh.

Hewan yang digunakan diantaranya adalah mencit, tikus, kelinci, marmot. karakteristik utama mencit : hewan mencit di laboraturium mudah ditangani ia bersifat penakut, fotofobia, cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi dan lebih aktif dimalam hari dari pada siang hari. Kehadiran manusia akan menghambat aktivitas mencit. Suhu normal 37,4oC. Laju respirasi normal 163 kali tiap menit.

Karakteristik utama tikus : tikus relatif resisten terhadap infeksi dan cerdas. Tikus putih pada umumnya tenang dan mudah ditangani. Ia tidak begitu bersifat fotofobik dibandingkan dengan mencit,dan kecenderungan untuk berkumpul sesamanya, ukuran tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak begitu terganggu dengan adanya manusia disekitanya. Suhu tubuh normal : 37,5-38,00C. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila diperlakukan kasar (atau apabila ia mengalami defisiensi nutrisi) tikus menjadi galak dan sering menyerang si pemegang.

Karakteristik utama kelinci : kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri luar biasa ia bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa keamanannya terganggu. Suhu rektal kelinci sehat adalah antara 38,5-400C, pada umunyan 39,50C. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun karena gangguan lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 permenit, pada umumnya 50 (pada kelinci muda, laju ini dipercepat, dan pada kelinci bayi bisa mencapai 100 permenit).

Karakteristik utama marmot : marmot agak jinak tidak menimbulkan kesukaran pada waktu dipegang dan jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas: kulitnya halus dan berkilat, tidak dikotori oleh feses maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal, kuat tapi tidak kasar, marmot berdaging tebal. Tidak ada caran keluar dari hidung ataupun telinga, juga tidak meneteskan air luar atau diare. Pernafasannya teratur dan tidak bersembunyi. Sikapnya dan cata berjalannya normal. Dalam satu species, variasi bobot badan dan ukuran badan antara sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu spesies, variasi bobot badan dan ukuran badan antara tiap marmot yang berumur sama, tidak besar. Laju denyut jantung marmot normal adalah 150-160 per menit, laju respirasi 110-115 per menit, dan suhu rektal antara 39-400C.

Macam- Macam Rute Pemberian Obat

1. Rute Oral (melalui mulut)

Obat- obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok dapat relative mudah diproduksi dengan disamping itu kebanyakan pasien lebih menyukai pemakaian ini, akan tetapi pemakaina obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar diabsorbsi melaui saluran cerna atau iritasi mukosa lambung. Cara pemakaian obat merupakam cara obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Kerugiannya ialah banyak factor yang mempengaruhui biovaibilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja sama dengan penderita, tidak bisa dilakukan bila pasien koma.

2. Rute Subkutan (SK) (dibawah kulit)

Bagian kulit yang baik untuk cara pemberian ini adalah kulit disisi sebelah punggung atau tengkuk.Hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan.Absorpsi biasanya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Obat dalam bentuk padat yang ditanamkan di dalam kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau beberapa bulan.

3. Rute Intravena (kedalam pembuluh darah balik atau vena)

Penyuntikan dilakukan pada vena ekor dengan menggunakan jarum suntik number 27.Tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relative tidak sensitive dan bila disuntikan perlahan-lahan obat segera diencerkan oleh darah. Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan. Di samping itu obat yang disuntikkan IV tidak dapt ditarik kembali.

4. Rute Intraperitoneal (kedalam rongga perut)

Penyuntikan dilakukan pada bagian perut sebelah kanan.Penyuntikan ini tidak dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adisi terlalu besar.

5. Rute Intamuskular (IM)

Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik, misalnya : digoksin, fenitoin dan diazepam, akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat tergantung dari aliran darah di tempat suntikan.

I.3 Tujuan Percobaan

  1. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat.

  2. Menyadari pengaruh rute pembrian obat terhadap efek yang timbul.

  3. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis akibat rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan.

  4. Mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Banyak obat, banyak juga cara pemberiannya kepada pasien. Sediaan per-oral sering kita temukan dalam perkembangan pemberian obat. Namun, banyak Cara Pemberian & Minum Obat ke pasien selain per-oral. Mengapa hal ini terjadi? Cara Pemberian Obat Ke Pasien didasarkan beberapa faktor, diantaranya : Faktor Formulasi. Faktor zat aktif serta stabilitasnya menjadi alasan bahwa obat dibuat dalam sediaan yang cocok untuk zat aktif tersebut.

Pemberian obat ikut juga dalam menentukan cepat lambatnya dan lengkap tidaknya resorpsi suatu obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat) dan keadaan pasien serta sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih di antara berbagai cara untuk memberikan obat.

  • Untuk Memberikan Efek Sistemik (Obat disebar ke seluruh tubuh)

1. Oral :

Yaitu pemberiannya melalui mulut, mudah dan aman pemakaiannya, lazim dan praktis, tidak semua obat dapat diberikan per-oral, misalnya : Obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung (benzilpenisilin, insulin dan oksitoksin), dapat terjadi inaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya, dapat juga untuk mencapai efek lokal misalnya : obat cacing, obat diagnostik untuk pemotretan lambung – usus, baik sekali untuk mengobati infeksi usus. Bentuk sediaan oral : Tablet, Kapsul, Obat hisap, Sirup dan Tetesan.

2. Injeksi

Yaitu pemberiannya dengan jalan suntikkan, efek yang diperoleh cepat, kuat dan lengkap, keberatannya lebih banyak dari pasien, alat suntik harus steril dan dapat merusak pembuluh darah atau syaraf jika tempat penyuntikkannya tidak tepat. Terutama untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung atau tidak tidak diresorpsi oleh dinding usus.

Cara Memberikan Obat Pada Hewan Percobaan :

A. Mencit

  • Oral :

Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral, sonde oral ditempelkan pada langit –langit

mulut atas mencit kemudian masukkan perlahan-lahan sampai ke esophagus dan cairan obat dimasukkan.

  • Subkutan :

Kulit di daerah tengkuk di angkat dan di bagian bawah kulit dimasukkan obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml.

  • Intra vena :

Mencit dimasukkan ke dalam kandang restriksi mencit dengan bagian ekor menjulur keluar. Bagian ekor dicelupkan ke dalam air hangat agar pembuluh venaekor mengalami dilatasi lalu pemberian obat ke dalam pembuluh vena menjadimudah. Pemberian obat dilakukan dengan jarum suntik no.24.

  • Intra peritoneal :

Mencit dipegang dengan cara seperti pada 1.4.1, pada penyuntikkan posisikepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 10 dariabdomen pada daerah yang sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena penyuntikkan pada hati.

  • Intramuskular (im)

  • Penyuntikan dilakukan dalam otot misalnya, penyuntikan antibiotika atau dimana tidak banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf, misalnya otot pantat atau lengan atas.

B. Tikus

Pemberian secara oral, intra muscular dan intra peritoneal dilakukan dengancara sama pada mencit. Secara sub kutan dilakukan penyuntikkan di bawah kulittengkuk atau kulit abdomen dan pemberian secara intra vena dilakukan pada vena penis ketimbang vena ekor.

Pengaruh Variasi Biologis Hewan Percobaan

Variasi biologis berarti tidak ada dua akan memberikan atau lebih sediaan uji yang diharapkan akan memberikan hasil yang identic dan sediaan yang sama pada saat yang sama diharapkan menimbulkan reaksi yang berbeda.

Ada 4 hal dilihat dalam menentukan hewan coba :

1. Umur

Bayi atau hewan yang baru lahir memiliki respon yang berbeda dengan hewan yang telah dewasa. Disebabkan oleh pendewasaan organisme. Misalkan tikus, hamster, dan mencit. Hewan tersebut terlahir dengan sawar otak yang secara fungsional tidak matang dan kadar amino tak lebih rendah dari hewan dewasannya. Indikasi lain untuk membedakan hewan yang lebih muda dan lebih tua dengan memberikan reseprin pada bayi tikus dan terjadi penggosongan katekolamin otak, hal tersebut disebabkan oleh dosis resperin jauh lebih intensif pada hewan muda dibandingkan dengan hewan yang lebih tua.

2. Spesies

Pemilihan spesies akan sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan penelitian. Percobaan dilakukan ada yang menggunakan spesies yang relative kecil dan ada juga spesies yang karasteristik yang unit yang memberikan keuntungan bagi peneliti obat spesifik. Sebagai contoh monyet memiliki system respirasi dan thoraks yang sama dengan manusia. Setiap hewan berbeda –beda responnya, disebabkan oleh injeksi SC. Sebagai contoh respon obat pada kelinci dan tikus. Pada kelinci darahnya yang membuat relative resistensi terhadap blockade atropine sedangkan pada tikus terjadi reflex muntah.

3. Strain

Strain hewan yang memiliki aplikasi spesifik di dalam penelitian analog penyakit manusia, termaksuk mencit yang gemuk secara genetis yang kurang peka terhadap ambilan diafragmatik dan jaringan adipose terhadap glukosa radioaktif selama pembentukan glikogen. Aktivitas strain mencit secara konsisten lebih rendah dari pada mencit jantan dansetiap strain yang diwariskan.

Strain tikus dapat diketahui dengan perbedaan konsentrasi sel darah putih yang beredar di dalam darahnya.

4. JenisKelamin

Penelitian untuk menentukan perbedaan aktivitas biologis antara hewan jantan dan betina. Betina memiliki siklus yang berhubungan dengan ovulasi misalnya siklus estrus begitu pula dengan sebaliknya. Sebagai contoh pada tikus dianastesi dengan disuntikkan oksitosin. Selama fase diestrus dan anestrus bersifat vasodilator. Namaun pada fase estrusoksitosin menyebabkan vasokontrikisi dan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Pada tikus jantang diketahui memiliki aktivitas enzim yang lebih besar, seperti enzim aminopirin N-demitilasi dan disaat berumur 7 minggu mengalami ulkus lambung yang diinduksi oleh respire lebih nyata dibandingkan dengan tikus betina pada umur yang sama.

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

1. Rute oral :

Bahan dan Alat

Bahan :

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml

Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Alat suntik 1ml, jarum oral

Dosis0,02 ml

Prosedur :

Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum oral yang telah dipasang pada alat suntik berisi obat, diselipkan dekat langit-langit tikus dan diluncurkan masuk ke esophagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak melukai esophagus. Volume maksimum yang dapat diberikan adalah 5 ml/ 100 gram bobot badan ( bb ).

2. Rute subkutan ( SK )

Bahan dan Alat

Bahan :

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml

Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 3/4 – 1 inchi

Dosis0,25 ml

Prosedur :

Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh jarum disuntikkan langsung ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.

3. Rute Intra Vena ( IV )

Bahan dan Alat

Bahan :

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml

Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 – 1 inchi

Dosis0,2 ml

Prosedur :

Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar sebelum disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor dilatasi dengan penghangatan/ pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton/ eter. Bila jarum suntik tidak masuk ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat daerah sekitar penyuntikan terlihat memutih dan bila piston alat suntik ditarik, tidak ada darahyang mengalir masuk ke dalamnya. Dalam keadaan di mana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor.

4. Rute Intra Peritoneal ( IP )

Bahan dan Alat

Bahan :

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml

Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 – 1 inchi

Dosis0,2 ml

Prosedur :

Tikus dipegang tengkuknya sedemikian sehingga posisi badan abdomen lebih tinggi dari kepala. Larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari tikus di sebelah garis midsagital.

5. Rute Intra Muskular ( IM)

Bahan dan Alat

Bahan :

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml

Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 1/2 inchi

Dosis0,25 ml

Prosedur :

Larutan obat disuntikkan ke dalam otot sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot paha lain dari kaki belakang. Selalu perlu diperiksa apakah jarum tidak masuk ke dalam vena, dengan menarik kembali piston alat suntik.

6. Rute Rektal

Bahan dan Alat

Bahan :

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml

Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Kateter dari logam atau slikon, alat suntik 1 ml

Dosis0,2 ml

Prosedur :

Kateter dibasahi lebih dahulu dengan paraffin atau gliserin, setelah itu masukan kateter kedalam rectum tikus, sejauh kira-kira 4cm dan larutan obat di desak ke luar sehingga masuk ke rektrum

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan :

Tikus 1 – Oral

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

Perubahan Aktivitas

12:16

12:30

14 menit

Sedatif

12:30

12:50

20 menit

Hipnotik

-

-


Anastesi

-

-


Mati

-

-


Aktif

12:50

-


Tikus 2 – Intra Vena

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

Perubahan Aktivitas

12:24

12:30

3 menit

Sedatif

12:30

12:43

13 menit

Hipnotik

-

-


Anastesi

-

-


Mati

-

-


Aktif

12:43

-


Tikus 3 – Intra Rektal

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

Perubahan Aktivitas

12:33

12:37

4 menit

Sedatif

12:37

12:49

12 menit

Hipnotik

-

-


Anastesi

-

-


Mati

-

-


Aktif

12:49

-


Tikus 4 – Intra Peritoneal

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

Perubahan Aktivitas

12:32

12:39

7 menit

Sedatif

12:39

13:02

23 menit

Hipnotik

-

-


Anastesi

-

-


Mati

-

-


Aktif

13:02

-


Tikus 5 – Intra Muskular

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

Perubahan Aktivitas

12:35

12:44

9 menit

Sedatif

12:44

12:48

4 menit

Hipnotik

-

-


Anastesi

-

-


Mati

-

-


Aktif

12:48

-


Tikus 6 – Subkutan

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

Perubahan Aktivitas

12:38

12:41

3 menit

Sedatif

12:41

12:57

16 menit

Hipnotik

12:52

12:57

5 menit

Anastesi

-

-


Mati

-

-


Aktif

12:57

-


4.2 Perhitungan

Perhitungan Dosis

Faktor Konversi manusia 70 kg ke tikus 200 mg adalah 0,018

1. Tikus 1 – Oral

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-1 = 109 g

Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018

= 0,981 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml

Volume yang disuntikkan = x 1 ml

= 0,0196 ml (0,02 ml)

Pengenceran :

50 mg/ml = 10x

0,02 x 10

= 0,2 ml

2. Tikus 2 – Intra Vena

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-2 = 105 g

Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018

= 0,945 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml

Volume yang disuntikkan = x 1 ml

= 0,0189 ml (0,02 ml)

Pengenceran :

50 mg/ml = 10x

0,02 x 10

= 0,2 ml

3. Tikus 3 – Intra Rektal

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-3 = 111 g

Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018

= 0,999 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml

Volume yang disuntikkan = x 1 ml

= 0,099 ml (0,02 ml)

Pengenceran :

50 mg/ml = 10x

0,02 x 10

= 0,2 ml

4. Tikus 4 – Intra Muskular

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-4 = 140 g

Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018

= 1,26 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml

Volume yang disuntikkan = x 1 ml

= 0,0252 ml (0,025 ml)

Pengenceran :

50 mg/ml = 10x

0,025 x 10

= 0,25 ml

5. Tikus 5 – Intra Peritoneal

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-5 = 123 g

Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018

= 1,107 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml

Volume yang disuntikkan = x 1 ml

= 0,02214 ml (0,02 ml)

Pengenceran :

50 mg/ml = 10x

0,02 x 10

= 0,2 ml

6. Tikus 6 – Subkutan

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-6 = 130 g

Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018

= 1,17 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml

Volume yang disuntikkan = x 1 ml

= 0,0234 ml (0,025 ml)

Pengenceran :

50 mg/ml = 10x

0,025 x 10

= 0,25 ml

3. Pembahasan

Pada cara pemberian obat secara Oral mulai mengamati pada jam 12:14, terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam12:16 dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam12:30, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 14 menit. Sedangkan terjadinya perubahan efek sedativ pada jam 12:30 dan selesai efek sedativ pada jam 12:50, durasi pada efek sedativ selama 20 menit dan tikus 1 yang diberikan obat secara Oral kembali aktif pada jam 12:50.

Pada cara pemberian obat secara Intravena mulai mengamati pada jam 12:24, terjadinya perubahan aktivitas pada jam 12:27 dan selesai efek perubahan aktivitas pada 12:30, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit. Sedangkan terjadinya perubahan efek sedatif pada jam 12:30 dan selesai efek sedativ pada jam 12:43, durasi pada efek sedativ selama 13 menit. Pada tikus 2, obat yang diberikan secara Intravena kembali aktif pada jam 12:43.

Pada tikus ke-3 cara pemberian obatnya secara Intrarektal mulai mengatinya pada jam 12:27, terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:33 dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam 12:37, durasi obat yang diberikan selama 4 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:37 dan selsai efek sedativ pada jam 12:49, durasi obat yang diberikan selma 12 menit. Pada tikus ke-3 mulai aktif kembali pada jam 12:49.

Pada cara pemberian obat secara Intraperitoneal mulai mengamati pada jam 12:29. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:32 dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam 12:39, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 7 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:39 dan selesai efek sedativ pada jam 13:02, durasi terjadinya efek sedativ selama 23 menit dan pada tikus ke-4 kembali aktif pada jam 13:02

Pada tikus ke-5 cara pemeberian obatnya yaitu secara Intramuskular, mulai mengamati pada jam 12:31. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:35 dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam 12:44, durasi efek pada perubahan aktivitas selama 9 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:44 dan selesai efek sedativ pada jam 12:48, durasi pada efek tersebut selama 4 menit. Pada tikus ke-5 aktif kembali pada jam 12:48.

Pada tikus ke-6 cara pemberian obatnya secara Subkutan, mulai mengamati pada jam 12:34. Terjadinya perubahan aktifitas pada jam 12:38, selesai efek pada jam 12:41 dan durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit. Sedangkan pada efek sedativ mulai terjadinya efek pada jam 12:41, selesai efek pada jam 12:57 dan durasi pada efek sedativ selama 16 menit. Pada tikus ke-6 terjadinya juga efek hipnotik, mulai terjadinya efek pada jam 12:52 dan selesai efek pada jam 12:57, durasi pada efek hipnotik selama 5 menit saja. Tikus ke-6 kembali aktif pada jam 12:57.

Pada percobaan cara pemberian obat, pengamatan yang di dapat diketauhi bahwa efek sedativ pada pemberian obat Fenobarbital yaitu Oral, Intravena (IV), Intrarektal (IR), Intra peritoneal (IP), dan Subkutan memiliki efek yang lebih lambat. Tetapi pada pemberian obat secara Intramuskular (IM) memiliki efek sedativ yang lebih cepat. Sedangkan pada efek hipnotik hanya terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan obat Fenobarbital secara Subkutan.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

  1. Data menunjukkan bahwa pemberian obat dengan cara IM memiliki efek sedatif lebih cepat daripada cara-cara lainnya.

  2. Sedangkan pada efek hipnotik hanya terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan obat Fenobarbital secara Subkutan.

  3. Peningkatan dosis dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan dari pada dosis awal yang diberikan.

  4. Berat badan dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, hal.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.

Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press, Jakarta,hal.

BAB I

PENDAHULUAN

1. judul percobaan

Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat

2. latar belakang

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar sehingga menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.

Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik; kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal baik pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat lainnya. Tikus-tikus jantan muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus-tikus betina muda dewasa atau tikus jantan pubertas. Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik. Beberapa laporan klinik menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex dependent ini terjadi juga pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen, dan salisilat. wanita cenderung memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan yang sama. (Mary K. and Jim K., 2005)

3. Tujuan Praktikum

Untuk mengetahui pengaruh variasi biologis terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan.

1.4 Prinsip Percobaan

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi dosis, salah satunya yaitu variasi biologi. Variasi biologi dapat diuji dengan perbandingan tikus dengan berat badan yang berbeda, perbandingan tikus dengan perbedaan kondisi tubuh, dan dari perbedaan jenis kelamin jantan dan betina.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kerja obat dalam tubuh dipengaruhi oleh banyak variabel. Perbedaan-perbedaan nya adalah perbedaan-perbedaan fisik di antara pasien, faktor-faktor psikologi, bentuk sediaan, rute pemberian obat dan efek samping serta reaksi yang berlawanan. Perbedaan Fisik Usia pasien memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Baik anak-anak dan orang tua memerlukan dosis yang lebih sedikit pada beberapa pengobatan.

Ukuran tubuh adalah suatu faktor yang berhubungan terhadap kerja obat. Seseorang yang berbadan besar memerlukan dosis yang lebih banyak daripada dosis rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan suatu efek tertentu, sedangkan bagi orang yang kurus, akan mendapatkan efek walaupun pada dosis yang sedikit.

Dosis obat untuk anak-anak biasanya dihitung menurut berat badan, luas permukaan tubuh dan umur. Jumlah makanan yang terdapat dalam lambung secara langsung mempengaruhi kerja obat. Obat yang terdapat dalam lambung yang kosong biasanya mencapai aliran darah lebih cepat daripada ketika lambung penuh.

Obat-obat yang mengiritasi lambung sering diminum setelah makan, obat-obat yang lain diberikan ketika lambung kosong. Adanya penyakit dapat mengubah kerja obat. Perubahan fungsi gastrointestinal, misalnya, dapat menghambat atau mempercepat penyerapan obat yang diberikan secara oral. Fungsi ginjal yang terganggu dapat menurunkan jumlah obat yang diekskresikan. Jika dosis obat yang diberikan tinggi dapat menyebabkan akumulasi yang serius. Dalam kasus ini, obat-obat tersebut merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan ginjal. Faktor Psikologi Banyak kerja obat adalah hasil dari kepercayaan pasien tersebut. Jika seorang percaya bahwa obat akan bekerja, kesempatan akan ada. Efek ini didokumentasikan oleh penelitian ”efek palebo”. Sebaliknya, ketidakpercayaan pasien, sebuah tingkah laku umum yang depresi, dan perasaan putus asa biasa mengurangi aktivitas obat.

Orang-orang yang mengatur pengobatan seharusnya menyadari bahwa tingkah laku mereka terhadap obat dapat mempengaruhi pasien, secara tak langsung mempengaruhi kerja obat. Bentuk Sedian. Banyak terdapat bentuk sedian yang berbeda. Bentuk sedian dapat mempengaruhi seberapa cepat suatu obat mulai bekerja, intensitas kerjanya dan lama kerja obat tersebut. Larutan adalah cairan yang berisi zat-zat yang terlarut. Pelarutnya dapat berupa air atau alkohol seperti eliksir, tinktur, dll. Obat dalam bentuk larutan dapat diserap dengan mudah dan cepat. Makin besar konsentrasi larutan makin cepan diabsorbsi.

Takaran pemakaian yang dimuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang mutlak untuk ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan Farmakope Eropa dan Negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai ketepatannya, antara lain berhubung dengan variasi biologi dan factor-faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya (lazim) memberikan efek yang diinginkan. Doses farmakope luar negeri sebetulnya berlaku untuk orang Barat dewasa berdasarkan bobot rata-rata 150 pound (68 kg). tubuh orang Indonesia umumnya lebih kecil dengan berat rata-rata 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih rendah pula.

Usia Manula, yaitu orang berusia di atas 65 tahun, lazimnya lebih peka terhadap obat dan efek sampingnya, karena-karena perubahan-perubahan fisiologis, seperti menurunnya fungsi ginjal dan metaboisme hati, meningkatnya resiko lemak-air dan berkurangnya sirkulasi darah. Karena fungsi hati dan ginjal menurun, maka eliminasi obat pun berlangsung lebih laambat. Lagipula jumlah albumin dalam darahnya lebih sedikit, oleh karena itu pengikatan obat pun berkurang, terutama obat-obat dengan PP besar, seperti anti-koagulansia dan fenilbutazon. Hal ini berarti bahwa bentuk bebas dan aktif dari obat-obat ini menjadi lebih besar dan bahaya keracunan semakin meningkat. Selanjutnya, pada manula tak jarang terjadi kerusakan umum (difus) pada sel-sel otak, yang meningkatkan kepekaan bagi obat dengan kerja pusat, misalnya obat tidur (barbiturat, nitrazepam), opioida dan psikofarmaka. Obat ini pada dosis biasa dapat menyebabkan reaksi keracunan yang hebat pada manula, juga obat jantung digoksin, hormone insulin dan adrenalin. Anak kecil, terutama bayi yang baru lahir, menunjukkan kerentanan yang lebih besar terhadap obat karena fungsi hati dan ginjal serta system enzimnya belum berkembang secara lengkap.

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

Alat dan Bahan

  • 3 ekor tikus jantan

  • Alat suntik

  • Fenobarbital

  • Larutan NaCl fisiologis 0,9%

  • Timbangan hewan

  • Wadah tempat pengamatan

  • Kapas

  • Alcohol

Prosedur Kerja

  • Siapkan hewan coba 3 ekor tikus jantan.

  • Timbang masing-masing hewan coba

  • Hitung dosis dan volume pemberian untuk masing-masing hewan sesuai dengan berat badan

  • Lakukan pemberian larutan fenobarbital pada 2 ekor hewan coba secara IP (intraperitonial)

  • Sebagai pembanding berikan larutan NaCl fisiologis 0,9% secara IP pada 1 ekor hewan coba dengan dosis yang sama seperti fenobarbital

  • Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati efek selama 45 menit dimulai setelah pemberian obat. Efek yang diharapkan adalah hewan tertidur, tetapi masih memberikan respon bila dirangsang.

  • Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :

  1. Mati = sangat peka

  2. Tidur, bila diberikan rangsangan nyeri tidak tegak = peka

  3. Tidur, bila diberi rangsangan nyeri tegak = sesuai dengan efek yang diduga

  4. Tidak tidur, tetapi mengalami ataksia = resisten

  5. Tidak mengalami perubahan = sangat resist.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perhitungan dosis

  • Tikus I

  • Berat badan : 121g

  • Dosis Fenobarbital pada manusia : 100mg

  • Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018

  • Dosis fenobarbital pada tikus

  • Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50mg/ml

  • Volume fenobarbital yang diambil

  • Tikus II

  • Berat badan : 146g

  • Dosis Fenobarbital pada manusia : 100mg

  • Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018

  • Dosis fenobarbital pada tikus

  • Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50mg/ml

  • Volume fenobarbital yang diambil

  • Tikus III

  • Berat badan : 118g

  • Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018

  • Dosis NaCl pada tikus

  • Volume NaCl yang diambil

4.2 Hasil Pengamatan

No

Hewan Percobaan

Dosis

Pemberian

Cara Pemberian

Pengamatan

1

Tikus I

1,089mg Fenobarbital

IP

Pada menit ke-45 tikus tidak tidur tetapi mengalami ataksia = Resisten

2

Tikus II

1,314mg Fenobarbital

IP

Pada menit ke-45 tikus tidak tidur tetapi mengalami ataksia = Resisten

3

Tikus III

1,062mg NaCl 0,9%

IP

Sebelum disuntikkan tikus berontak karena stress.


Pada menit ke-45 tikus tidak menunjukkan efek apapun

3. Pembahasan

Dari hasil percobaan diperoleh data bahwa tikus I dan tikus II yang diberikan larutan fenobarbital tidak memberikan efek obat yang diharapkan pada menit yang ditetapkan, melainkan hanya memberikan efek resisten seperti tidak tidur tetapi mengalami ataksia. Pada menit ke 45 pada tikus I (berat badan 121 g), tikus mengalami ataksia ringan sedangkan pada tikus II berat badan (146 g), tikus mengalami ataksia sedang. Hal ini dapat dilihat pada saat tikus I diberikan rangsangan, respon yang di berikan tikus I sedikit lebih cepat dibanding tikus II. Namun, meskipun tikus II mengalami respon yang sedikit lebih lambat dari tikus I tidak menutup kemungkinan bahwa tikus II dapat mencapai efek yang diharapkan namun dalam waktu lebih dari 45 menit.

Hal ini kurang sesuai dengan teori yang menyatakan efek biologi tiap hewan berdasarkan berat badan.Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh dapat disebabkan karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat diberikan, atau lokasi tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial) yang kurang sesuai.

Sedangkan pada tikus III (berat badan 118 g) yang diberikan larutan fisiologis NaCl tidak memberikan efek. Hal ini sesuai karena pada percobaan ini tikus III hanya dijadikan tikus kontrol. Sifat NaCl yang isotonis tidak memberikan efek terapi obat sehingga tikus III yang diberikan larutan NaCl hanya sebagai baku pembanding saja.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Variasi biologi mempengaruhi pemberian dosis obat, pada tikus I (berat badan 121 g), tikus mengalami ataksia ringan sedangkan pada tikus II berat badan (146 g), tikus mengalami ataksia sedang.

Hal ini dapat dilihat pada saat tikus I diberikan rangsangan, respon yang di berikan tikus I sedikit lebih cepat dibanding tikus II. Namun, meskipun tikus II mengalami respon yang sedikit lebih lambat dari tikus I tidak menutup kemungkinan bahwa tikus II dapat mencapai efek yang diharapkan namun dalam waktu lebih dari 45 menit.

Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh dapat disebabkan karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat diberikan, atau lokasi tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial) yang kurang sesuai.

Sedangkan pada tikus III (berat badan 118 g) yang diberikan larutan fisiologis NaCl tidak memberikan efek. Hal ini sesuai karena pada percobaan ini tikus III hanya dijadikan tikus kontrol.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895

Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122

Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc Graw Hill ; USA. Pages 231 – 232.

Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku Salemba Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.

Mary, K., and Keogh, J. (2005). ”Pharmacology Demistified”. Mc Graw Hill ; New Jersey. Pages 42-44

Maksum Radji. (2005). ”Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan Obat Baru”

BAB I

PENDAHULUAN

1. Judul

Variasi kelamin

2. Tujuan

  1. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan

  2. Mampu membedakan terjadinya efek antara hewan coba yang berkelamin berbeda antara hewan jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan percobaan dengan memakai hewan coba

3. Teori.

Cara pemberian obat sangat penting artinya karena setiap obat berbeda penyerapannya oleh tubuh dan sangat bergantung pada lokasi pemberian. Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, terutama laju penyerapan obat. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik lingkungan fisiologis, anatomi dan biokimiawi pada daerah kontak permulaan obat dan tubuh. Perbedaan karakteristik ini mengakibatkan perbedaan jumlah obat yang dapat mencapai tempat kerja pada rentang waktu tertentu sehingga mengakibatkan perbedaan onset (mula kerja obat) dan durasi (lama kerja obat).

Pemilihan rute pemberian obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obat serta kondisi pasien. Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberikan efek local maupun sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedangkan efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat.

BAB II

METODOLOGI PRAKTIKUM

1. Alat dan bahan

  • Alat

  1. Timbangan hewan

  2. Alat suntik

  3. Wadah tempat pengamatan

  • Bahan

  1. Mencit jantan dan betina

  2. Larutan NaCl

  3. Fenobarbital

  4. Alkohol

2. Cara kerja

  1. Siapkan mencit betina dan jantan masing – masing 3 ekor.

  2. Timbang masing – masing mencit, catat hasilnya

  3. Hitung dosis masing – masing mencit sesuai berat badan masing – masing.

  4. Suntikan fenobarbital secara IP, sesuai dosis masing – masing yang telah dihitung.

  5. Catat waktu mulai efek perubahan aktifitas yang terjadi pada mencit, sedatif, hipnotik, anastesi, hingga bangun kembali efek selesai.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Data Biologis

Hewan coba

Berat badan (gram)

Mencit betina 1

28

Mencit betina 2

23

Mencit betina 3

28

Mencit jantan 1

40

Mencit jantan 2

44

Mencit jantan 3

41

2. Perhitungan Dosis

  • Dosis Fenobarbital pada manusia 100 mg

  • Factor konversi manusia (70kg)  mencit (200 gram) = 0,0026

  • Sediaan obat dilakukan pengenceran 10x, dari kadar fenobarbital 50mg/ml diambil 2ml + NaCl 20 ml sehingga menjadi = 5mg/ml

  • Pada mencit betina sediaan obat dilakukan pengenceran 10x lagi dari kadar 5mg/ml menjadi 0,5 mg/ml

1. Mencit betina 1

x 0.0026 x 100mg = 0,364 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.7 ml

2. Mencit betina 2

x 0.0026 x 100mg = 0,299 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.5 ml

3. Mencit betina 3

x 0.0026 x 100mg = 0,364 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.7 ml

4. Mencit jantan 1

x 0.0026 x 100mg = 0,52 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml

5. Mencit jantan 2

x 0.0026 x 100mg = 0,572 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml

6. Mencit jantan 3

x 0.0026 x 100mg = 0,533 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml

3. Hasil pengamatan

1. Mencit betina 1

Efek

Mulai efek

Selesai efek

Durasi

Perubahan aktivitas

02:57

13:23

11 menit 34 detik

Sedatif

13:23

18:43

5 menit 20 detik

Hipnotik

18:43

20:15

1 menit 32 detik

Anatesi

-



2. Mencit betina 2

Efek

Mulai efek

Selesai efek

Durasi

Perubahan aktivitas

03:45

10:13

6 menit 28 detik

Sedatif

10:13

15:05

4 menit 52 detik

Hipnotik

15:05

20:04

4 menit 59 detik

Anatesi

-

-


3. Mencit betina 3

Efek

Mulai efek

Selesai efek

Durasi

Perubahan aktivitas

04:02

05:26

1 menit 24 detik

Sedatif

05:26

13:27

8 menit 1 detik

Hipnotik

13:27

20:00

6 menit 33 detik

Anatesi

-

-


4. Mencit jantan 1

Efek

Mulai efek

Selesai efek

Durasi

Perubahan aktivitas

03:15

06:08

2 menit 53 detik

Sedatif

06:08

11:08

5 menit

Hipnotik

11:08

16:11

5 menit 3 detik

Anatesi

-

-


5. Mencit jantan 2

Efek

Mulai efek

Selesai efek

Durasi

Perubahan aktivitas

07:40

10:11

2 menit 31 detik

Sedatif

10:11

22:30

12 menit 19 detik

Hipnotik

22:30

23.30

1 menit

Anatesi

-

-


6. Mencit jantan 3

Efek

Mulai efek

Selesai efek

Durasi

Perubahan aktivitas

04:00

07:48

3 menit 48 detik

Sedatif

07:48

13:23

5 menit 35 detik

Hipnotik

13:23

14:40

1 menit 17 detik

Anatesi

14:40

22:37

7 menit 57 detik

4. Pembahasan

Pemberian obat secara Intra Peritonial yaitu pemberian cairan obat disuntikkan di rongga perut dibawah diagfragma. Mencit dipegang dengan cara membalikkan badannya. Bersihkan area kulit yang akan disuntik dengan alcohol 70%. Masukkan obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml.

Pada mencit betina 1, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada menit ke 2 : 57 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative, membutuhkan waktu yang lama yaitu pada menit ke 13 : 23 mencit mulai tenang. Pada menit ke 18 : 43 mencit mengalami keadaan hipnotik yang membuat mencit tidur. Setelah itu mencit terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.

Pada awalnya betina, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada menit ke 9:56 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative dalam waktu yang lama yaitu pada menit ke 17:17 mencit mulai tenang. Setelah itu mencit sadar dan dalam keadaan normal kembali sampai 17 : 20 dan kemudian, mencit pun masuk kedalam fase hipnotik hingga menit ke 37 : 25 yang membuat mencit tidur. Setelah itu mencit terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.

Pada mencit betina ke 2 dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu diamati setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke 03.45, kemudian mencit mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 10:13, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 15:05, hingga pada menit ke 20:04 mencit kembali normal, tanpa mengalami anastesi.

Pada mencit betina ke 3 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu diamati setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke 04:02, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 05:26, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 13:27, hingga pada menit ke 20:00 mencit kembali bergerak normal, tanpa mengalami anastesi.

Mencit jantan 1 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu diamati setelah disuntik, telihat mencit ,mulai mengalami perubahan aktivitas pada menit ke 03:15, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 06:08, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 11:08, hingga pada menit ke 16:11 mencit kembali bergerak normal, tanpa mengalami anastesi.

Pada mencit jantan III, aktifitas awal normal,setelah disuntikkan pada menit ke 4 : 00 terjadi perubahan aktifitas dimana mencit mulai memojok. Pada menit ke 7 : 48 mencit mulai mengalami sedative yang menenangkan mencit. Mencit mengalami sedative cukup lama, kemudian pada menit ke 13 : 23 mencit mengalami hipnotik yang meningkatkan keinginan untuk tidur. Pada menit ke 14 : 40 mencit mengalami anastesi sampai ke 22 : 37, setelah itu mencit terbangun dan melakukan aktifitas seperti biasa.

Adanya perbedaan lama durasi pada hewan uji, kemungkinan disebabkan oleh perbedaan berat badan hewan, yang mempengaruhi dosis. Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi lama kerja obat atau durasi. Kesulitan pada saat penyuntikan karna hewan coba yamg selalu bergerak atau stess juga menyebabkan kesalahan pada penyuntika tidak tepat.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

  1. Adanya perbedaan jenis kelamin hewan mempengaruhi pennyerapan obat dan metabolismenya

  2. Pada mencit betina terjadi efek yang cepat namun durasi yang cepat dikarenakan tidak memiliki kadar lemak dan air yang kecil dibandingkan dengan mencit jantan yang memiliki kadar minyak dan air yang lebih banyak.

  3. Jenis kelamin akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, dimana jantan lebih cepat memberika respon dari pada betina karena pengaruh hormone androgen.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Tim Dosen Praktikum Farmakologi,Penuntun Praktikum Farmakologi,Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Isntitut Sains Dan Teknologi Nasional,2013.

Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Farmakope Indonesia,ed.IV,1995

Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 judul percobaan

Dosis Obat dan Respon

2. Latar belakang

Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di bawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur.

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.

Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :

Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50

Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini terlalu besar sehingga menimbulkan efek toksis atau terlalu kecil sehingga tidak efektif.

Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh biavailabilitas obat ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.

Untuk kebanyakan obat, keragaman respon pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik, kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasai yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakokinetik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Faktor-faktor yang mempengaruhi respons pasien terhadap obat.

I.3 Rumusan masalah

  1. Bagaimana efek kerja obat phenobarbital setelah disuntikkan pada mencit dalam berbagai dosis yang berbeda?

  2. Bagaimana perhitungan konversi dosis mencit ke dalam dosis manusia?

  3. Bagaimana hubungan dosis obat yang diberikan dengan respon yang dihasilkan?

I.4 Tujuan praktikum

  1. Untuk mengetahui efek kerja obat phenobarbital setelah disuntikkan pada mencit dalam berbagai dosis yang berbeda.

  2. Untuk mengetahui perhitungan konversi dosis mencit ke dalam dosis manusia.

  3. Untuk mengetahui dosis obat yang diberikan dengan respon yang dihasilkan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ke tempat kerja (reseptor) dan menimbulkan efek, kemudian dengan atau tanpa biotransformasi (metabolisme) lalu di ekskresi kan dari tubuh. Proses tersebut dinyatakan sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh.

Dosis lazim suatu obat dapat ditentukan sebagai jumlah yang dapat diharapkan menimbulkan efek pada pengobatan orang dewasa yang sesuai dengan gejalanya. Dosis tunggal diberikan untuk beberapa macam obat dan dosis harian untuk yang lainnya, tergantung pada bahan obat, bentuk sediaan dan keadaan yang diberi obat. Jika suatu obat dipakai dalam jangka waktu yang lama seperti aspirin untuk artritis, maka dosis obat harian lebih tepat. Dosis bahan obat dapat berbeda-beda, tergantung pada cara pemakaiannya. Hal ini sebagian besar karena perbedaan tingkat penyerapan obat dan kelanjutan kerja obat melalui berbagai cara setelah pemakaiannya. Selama aktivitas biologik, produk-produk yang berlainan seperti penisilin, poliomielitis vaksin, dan insulin berbeda-beda, maka setiap unit dari aktivitasnya, tersendiri bagi setiap obat dan tidak ada hubungan antara satu obat dan yang lainnya.

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

Alat dan Bahan:

  • Spuit (1 ml & 3 ml)

  • Phenobarbital

  • Alkohol

  • Mencit jantan

  • Timbangan hewan

  • Kapas

  • NaCl

  • Stopwatch

Prosedur

  1. Siapkan hewan coba berupa mencit jantan sebanyak 5 ekor.

  2. Siapkan alat & bahan.

  3. Timbang berat badan masing-masing mencit dan beri penandaan tiap ekor mencit.

  4. Hitung dosis phenobarbital dan volume pemberian untuk masing-masing mencit sesuai dengan berat badan mencit.

  5. Lakukan pengenceran phenobarbital 2 ml + NaCl ad 20 ml.

  6. Suntikan larutan phenobarbital secara Intravena pada masing-masing mencit.

  7. Catat waktu pemberian dan mulai terjadinya efek obat.

  8. Tempatkan hewan pada wadah pengamatan. Amati efek selama 30 menit. Efek yang diharapkan adalah hewan dapat tertidur, tetapi masih memberikan respon bila dirangsang.

  9. Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :

  1. Perubahan aktivitas

  2. Sedatif : tidak tidur tetapi mengalami ataksia (resisten)

  3. Hipnotik : tertidur, tetapi bila diberi rangsangan nyeri tegak (sesuai dengan efek yang

diharapkan)

  1. Anestesi : tertidur, dan bila diberi rangsangan tidak tegak (peka)

  2. Mati : sangat peka

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pengamatan

  • Mencit ke 1

No.

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

1

Perubahan Aktivitas

04:33

09:56

05:23

2

Sedatif

09:56

36:57

27:01

3

Hipnotik

36:57

-

-

4

Anastesi

-

-

-

5

Mati (Dosis Letal)

-

-

-

  • Mencit ke 2

No.

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

1

Perubahan Aktivitas

08:02

25:33

17:31

2.

Sedatif

25:33

55:00

30:07

3.

Hipnotik

55:00

-

-

4.

Anastesi

-

-

-

5.

Mati (Dosis Letal)

-

-

-

  • Mencit ke 3

No.

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

1.

Perubahan Aktivitas

03:57

08:14

04:57

2.

Sedatif

08:14

10:49

02:35

3.

Hipnotik

10:49

38:26

28:17

4.

Anastesi

38:26

-

-

5.

Mati (Dosis Letal)

-

-

-

  • Mencit ke 4

No.

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

1.

Perubahan Aktivitas

08:26

12:46

04:20

2.

Sedatif

12:46

29:22

17:16

3.

Hipnotik

29:22

30:28

01:05

4.

Anastesi

30:28

-

-

5.

Mati (Dosis Letal)

-

-

-

  • Mencit ke 5

No.

Efek

Mulai Efek

Selesai Efek

Durasi

1.

Perubahan Aktivitas

01:40

05:46

04:06

2.

Sedatif

05:46

24:07

19:01

3.

Hipnotik

24:07

32:40

08:33

4.

Anastesi

32:40

-

-

5.

Mati (Dosis Letal)

-

-

-

4.2 Perhitungan

Dik : Dosis phenobarbital pada manusia = 100mg

BB mencit-1 = 41g

BB mencit-2 = 39g

BB mencit-3 = 35g

BB mencit-4 = 41g

BB mencit-5 = 39g

Dit : Dosis masing – masing mencit ? volume yang diberikan?

Jawab :

Faktor konversi manusia (70kg) → Mencit (20g) = 0,0026

  1. BB mencit-1 = 41g

Dosis phenobarbital mencit-1 = x 0,0026 x 100 mg

= 0,533 mg

  • Tiap ml sediaan mengandung phenobarbital 50 mg

Kadar phenobarbital dalam sediaan = 50 mg /ml

Volume sediaan yang diambil = x 1 ml

= 0,01 ml

  • Kadar phenobarbital dalam sediaan harus diencerkan 10x

1 ml sediaan + NaCl ad 10 ml atau

2 ml sediaan + NaCl ad 20 ml

Sehingga, kadar phenobarbital menjadi 5 mg/ml

Jadi, volume sediaan yang diambil = x 1 ml

= 0,1 ml

  1. Mencit-2 = 39 g

Dosis phenobarbital mencit-2 = x 0,0026 x (2 x 100 mg)

= 1,014 mg

Volume sediaan yang diambil = x 1 ml

= 0,2 ml

  1. Mencit-3 = 35 g

Dosis phenobarbital mencit-3 = x 0,0026 x (4 x 100 mg)

= 1,82 mg

Volume sediaan yang diambil = x 1 ml

= 0,36 ml

  1. Mencit-4 = 41 g

Dosis phenobarbital mencit-4 = x 0,0026 x (8 x 100 mg)

= 4,264 mg

Volume sediaan yang diambil = x 1 ml

= 0,8 ml

  1. Mencit-5 = 39 g

Dosis phenobarbital mencit-5 = x 0,0026 x (2 x 100 mg)

= 8,112 mg

Volume sediaan yang diambil = x 1 ml

=1,6 ml

4.3 Pembahasan

Pada percobaan dosis obat & respon dilakukan dengan menggunakan hewan coba berupa mencit jantan sebanyak 5 ekor. Langkah awal yang dilakukan adalah menimbang berat badan masing-masing mencit dan memberi penandaan pada masing-masing mencit. Kemudian hitung dosis dan volume pemberian phenobarbital untuk masing-masing mencit. Pada mencit ke-1 dengan berat badan 41 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 0,533 mg, kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,1 ml. Suntikan secara intravena pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 04:33 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit ke 09:56. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 05:23. Pada menit ke 09:56 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 36:57. Durasi efek sedatif berlangsung selama 27:01 menit. Pada menit ke 36:57 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik tidak dapat diperkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum. Pada mencit-1, efek yang terjadi diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan sebesar 0,533 mg sehingga tidak menimbulkan efek anestesi bahkan letal (mati).