Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Tuberkulosis
2.1.1 Definisi Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang
yang telah terinfeksi basil tuberkulosis (Kemenkes RI, 2013).
Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di
berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang
tinggi (Tabrani, 2010).
2.1.2 Penyebab Tuberkulosis Paru
Penyakit TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
berbentuk batang dan bersifat tahan terhadap asam sehingga terkenal juga sebagai
Batang Tahan Asam (BTA) jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh
seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882 (Syafrudin,
2011).
BTA positif artinya setelah diberi warna kemerahan yang sangat asam,
bakteri tersebut masih bertahan dan tampak sebagai batang-batang yang
berkelompok berwarna kemerahan. Bila dijumpai BTA pada dahak orang yang
sering batuk-batuk, maka orang tersebut didiagnosis sebagai penderita

tuberkulosis aktif dan amat berbahaya karena memiliki potensi penularan yang

10
Universitas Sumatera Utara

11

luar biasa (Achmadi, 2011). Bakteri ini tidak tahan terhadap sinar ultraviolet,
karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari (Tabrani, 2010).
2.1.3 Cara Penularan
Penularan penyakit TB paru adalah melalui udara yang tercemar oleh
mycobacterium tuberculosis yang dikeluarkan/dilepaskan oleh sipenderita saat
batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang
dewasa yang menderita TBC (syafrudin, 2011). Penularan dapat terjadi dimana
saja, dirumah, dikeramaian, ruang tertutup dan lembab,tempat umum dan
sebagainya (Achmadi, 2011).
Penderita TB paru positif dapat menyebarkan bakteri ke udara dalam
bentuk percikan dahak, yang dalam istilah kedokteran disebut droplet nuclei.
Sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan dahak. Melalui udara yang
tercemar oleh mikobakterium tuberkulosis yang dilepaskan/dikeluarkan oleh

penderita TB paru saat batuk. Jadi jika seorang penderita TB paru positif
membuang dahak di sembarang tempat, maka kuman TB dalam jumlah besar
berada di udara (Achmadi, 2011).
Bakteri akan masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul hingga
berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan
tubuh rendah. Sementara, bagi yang mempunyai daya tahan tubuh baik, maka
penyakit TB paru tidak akan terjadi. Tetapi bakteri akan tetap ada di dalam paru
dalam keadaan ”tidur”, namun jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh
menurun maka bakteri yang ”tidur” akan ”bangun” dan menimbulkan penyakit
(Aditama, 2006).

Universitas Sumatera Utara

12

Bakteri mycobacterium tuberculosis sangat sensitif terhadap cahaya
matahari. Kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil karena
bahaya penularan terbesar terdapat pada perumahan-perumahan yang padat
penghuni dengan ventilasi yang kurang baik serta cahaya matahari tidak dapat
masuk kedalam rumah. Jadi penularan TB paru tidak terjadi melalui perlengkapan

makan, baju, dan perlengkapan tidur (Achmadi, 2008).
2.1.4 Gejala Tuberkulosis Paru
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal berupa
gejala respiratorik (PDPI, 2011).
1. Gejala respiratorik
Gejala respiratorik sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai
gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari:
(PDPI, 2011)
a. Batuk : merupakan gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan.
Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang
berlangsung > 2 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.
b. Batuk darah : Darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercakbercak atau atau bahkan dalam jumlah banyak.
c. Sesak napas : dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat
kerusakan paru yang cukup luas.
d. Nyeri dada : Timbul apabila sistem pernapasan yang terdapat di pleura
sudah terlibat.

Universitas Sumatera Utara


13

2. Gejala sistemi,
Gejala sistemik yang dapat timbul berupa:
a. Demam
b. Keringat malam
c. Anoreksia : yaitu tidak selera makan dan penurunan berat badan.

2.1.5 Penemuan Penderita Tuberkulosis
Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita merupakan
langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB paru. Penemuan
dan penyembuhan penderita TB paru menular, secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB paru, penularan TB paru di
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB paru
yang paling efektif di masyarakat (Depkes RI, 2005).
1. Penemuan TB paru pada orang dewasa
Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum
atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen

yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS
diulang. Jika hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita di diagnosis
sebagai penderita TB paru BTA positif. Dan jika hasil rontgen tidak mendukung
TB paru, maka pemeriksaan dahak SPS di ulang (Depkes RI, 2005).

Universitas Sumatera Utara

14

2. Penemuan TB paru pada anak
Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi
misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk
bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem
skor yang dilakukan dokter dengan parameter : kontak Tuberkulosis, uji
tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran
kelenjar limpe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut,
falang, foto thoraks. (Depkes RI, 2008).

2.1.6 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberkulosis

1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak
menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
Tuberkulosis positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

Universitas Sumatera Utara

15

2) Tuberkulosis paru BTA negatif.
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif.
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru
Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
a. Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e. Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.


Universitas Sumatera Utara

16

2.1.7 Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru
1. Pencegahan Tuberkulosis Paru
Cara pencegahan penularan TB menurut Depkes RI (2007) sebagai berikut:
a. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh.
b. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena
pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui
percikan dahak.
c. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat
khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup
yangsudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan
tanah.
d. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain:
1) Menjemur peralatan tidur.
2) Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari
masuk.

3) Ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di
udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.
4) Makan makanan bergizi.
5) Tidak merokok dan minum minuman keras.
6) Lakukan aktifitas fisik/olahraga secara teratur.
7) Mencuci peralatan makan dan minum dengan air bersih mengalir
memakai sabun.
8) Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun.

Universitas Sumatera Utara

17

Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara
berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan
pencegahan tertier, sebagai berikut:
a. Pencegahan Primer
Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah
orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan
rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin

(BCG) segera setelah bayi lahir (Depkes RI, 2007).
b. Pencegahan Sekunder
Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis
paru merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai
peran penting dalam penanggulangan tuberkulosis paru berkaitan dengan
kegiatan deteksi pasien tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan
pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2007).
c. Pencegahan Tertier
Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah,
misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah
beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya
tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk
(Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara

18

2. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah
penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB
tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian
menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan
penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO
telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan
TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan
dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2007).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat
waktu dengan mutu terjamin.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.
Menurut Hudoyo (2008), mengobati penderita dengan TB paru cukup
mudah, karena penyebab TB paru sudah jelas yaitu, bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri ini dapat di matikan dengan kombinasi beberapa obat yang
sudah jelas manfaatnya. Sesuai dengan sifat bakteri Mycobacterium tuberculosis,

Universitas Sumatera Utara

19

untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai
adalah :
a. Obat harus di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat
(Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol) dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua bakteri
(termasuk bakteri persisten) dapat di bunuh. Hal ini untuk mencegah
timbulnya kekebalan terhadap OAT.
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

2.2 Karakteristik Individu
2.2.1 Umur
Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif (15 – 50) tahun. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis
seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk
penyakit TB paru (Albert, 2006).
Menurut kelompok umur, kasus baru yang ditemukan paling banyak pada
kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,40% diikuti kelompok umur 35-44
tahun sebesar 19,41% dan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar
19,39%.Kasus baru BTA+ pada kelompok umur 0-14 tahun merupakan proporsi
yang paling rendah (kemenkes RI, 2013).

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.2 Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita
TB Paru. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak melakukan mobilisasi dan
mengkonsumsi alkohol dan rokok. (Depkes RI, 2005).
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan yaitu hampir 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan.
Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Disparitas paling tinggi antara
laki-laki dan perempuan terjadi di Sumatera Utara, kasus pada laki-laki dua kali
lipat dari kasus pada perempuan (Kemenkes RI, 2013).

2.2.3 Pekerjaan
Penyakit tuberkulosis dapat di hubungkan dengan beberapa penyakit paru
akibat kerja, mengingat penyakit ini adalah penyakit yang ditularkan melalui
udara, maka juga dapat ditemukan penyebaran penyakit pada lingkungan kerja
disekitar penderita. Telah dilaporakan dari sebuah kapal Amerika Serikat yang
mempunyai sirkulasi udara yang tertutup, seorang penderita tuberkulosis BTA
positif yang amat simtomatik telah menyebabkan konversi tuberkulin dari negatif
menjadi positif pada 53 dari 60 orang (>80%) yang berada satu ruangan, dimana
enam diantaranya kemudian menderita tuberkulosis. Sedangkan pada ruangan
lain disebelah ruangan kasus awal, ditemukan perubahan test tuberkulin pada 43
dari 81 orang (53%) dimana seorang diantaranya memang menderita tuberkulosis
(Aditama, 2010). Menurut Achmadi (2011) Penyakit lain yang sering diderita

Universitas Sumatera Utara

21

angkatan

kerja

Indonesia

termasuk

petani

adalah

tuberkulosis

(TBC).

2.2.4 Penghasilan
Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya bakteri Mycobacterium
tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan per
kapita. Sejalan dengan kenyataan bahwa pada umumnya yang terserang penyakit
TB

paru

adalah

golongan

masyarakat

yang

berpenghasilan

rendah

(Tjiptoherijanto, 2008).
Banyaknya penderita tuberkulosis paru terjadi pada masyarakat kelas
ekonomi rendah dengan tingkat pendidikan rendah dan pekerjaan yang tidak tetap
sehingga pengetahuan tentang penyakit menular juga rendah. WHO (2003)
menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang pada
kelompok dengan sosial ekonomi yang lemah atau miskin (Achmadi , 2008)
Menurut (WHO, 2003 dalam Suarni, 2009) juga menyebutkan 90%
penderita TB paru di dunia menyerang kelompok dengan ekonomi lemah atau
miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB paru bersifat timbal balik, TB
paru merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka mereka menderita
TB paru. Kondisi ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya berhubungan secara
langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya
kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap
pelayanan kesehatan juga menurun.
Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB paru kehilangan 3 sampai 4
bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun

Universitas Sumatera Utara

22

secara total mencapai 20% - 30% dari pendapatan rumah tangga, kinerja dan
produktivitas rendah, pilihan kerja terbatas,dan akan membebani keluarga.
Dibidang pendidikan dan pekerjaan juga kehilangan peluang (Achmadi, 2011).

2.2.5 Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu
terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih
dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau
masyarakat (Notoatmodjo, 2011).
Sebagian besar penderita TB paru berasal dari kelompok usia produktif
dengan tingkat pendidikan relatif rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan,
pengetahuan tentang penyakit TB paru yang kurang, kesadaran untuk menjalani
pengobatan secara teratur dan lengkap juga relatif rendah. Pengaruh lain dari
tingkat pendidikan yang rendah tercermin dalam hal menjaga kesehatan dan
kebersihan lingkungan yaitu perilaku dalam membuang dahak dan meludah di
sembarang tempat (Suarni, 2009).
Pendidikan merupakan salah satu faktor terjadinya penularan penyakit TB
paru. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pegetahuan seseorang di
antaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan
tentang penyakit TB paru. Dengan pengetahuan yang cukup seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat (Suarni, 2009).

Universitas Sumatera Utara

23

2.3 Praktik Higiene
Tindakan atau praktik terdiri dari 4 tingkatan yaitu : persepsi (perception),
respon terpimpin (guided respons), mekanisme (mecanism), adaptasi (adaptation).
Tindakan kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan
serta lingkungan kesehatan. Tindakan kesehatan terhadap lingkungan seperti
hindari kerumunan orang banyak (yang sekaligus dapat mengurangi penyakit
saluran pernapasan yang menular), terhadap ventilasi rumah dengan cara menutup
dan membuka jendela di pagi dan siang hari, serta ajakan agar setiap orang tidak
meludah disembarang tempat (Notoatmodjo, 2011).
Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya
penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi
lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Depkes
RI, 2007). Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tuberkulosis
adalah buang ludah sembarangan, dan tidak menutup mulut saat batuk (Ditjen
Pemas, 2007).
Higiene dan sanitasi mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Higiene dan sanitasi merupakan usaha
kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada
manusia. Usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi

Universitas Sumatera Utara

24

lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit
karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi
lingkungan yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan
lingkungan disebut higiene (Depkes RI, 2009).
Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena
pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui
percikan dahak. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang
pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup
yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah
(Depkes RI, 2007).
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, penderita mengeluarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). TB Paru dapat ditularkan melalui percikan ludah pada waktu
berbicara, batuk, dan bersin. Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam (Achmadi, 2011).
Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Pada anak-anak sumber infeksi umumnya
berasal dari penderita TB dewasa yang tinggal satu rumah. Meningkatnya
penularan infeksi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain kondisi sosial
ekonomi yang buruk, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai
tempat tinggal, dan adanya epidemi dari infeksi HIV(Nur, 2007).
Menurut Chin (2008), ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam
pengendalian penyakit TB paru yaitu dengan cara pencegahan penyebaran dan

Universitas Sumatera Utara

25

penularan penyakit sebagai upaya agar penderita tidak menularkan kepada orang
lain dan meningkatkan derajat kesehatan pribadi dengan cara:
a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.
b. Tidak batuk di hadapan anggota keluarga atau orang lain.
c. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.
d. Tidak meludah disembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol,
dan dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
e. Menjemur alat tidur secara teratur pada siang hari karena bakteri
mycobacterium tuberculosis akan mati bila terkena sinar matahari.
f. Membuka jendela pada pagi hari dan mengusahakan sinar matahari masuk
keruang tidur dan ruangan lainnya agar rumah mendapat udara bersih dan
cahaya matahari yang cukup sehingga bakteri mycobacterium tuberculosis
dapat mati.
g. Tidak merokok dan minum minuman keras.
h. Minum obat secara teratur sampai selesai dan sembuh bagi penderita TB
paru.

2.4 Sanitasi Lingkungan Rumah
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya. Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia
(Notoatmodjo, 2011).

Universitas Sumatera Utara

26

Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana
orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur
tersebut juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang
berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk
keluarga dan individu, oleh karena itu lingkungan rumah merupakan suatu hal
yang sangat penting bagi kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2011).
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.
Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban,
lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang
ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya
penyakit sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan
mudah terjadi di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2011).
TBC juga diperburuk dengan kondisi sanitasi perumahan yang buruk,
tidak memenuhi persyaratan kesehatan, dan lingkungan rumah yang kurang baik
merupakan salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit seperti
penyakit TB paru (Soemirat, 2009).
2.4.1 Persyaratan Rumah Sehat
Rumah sehat adalah rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi
ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka
melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga
memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Rumah
sehat dapat membantu mengurangi bakteri yang berada dilantai atau peralatan

Universitas Sumatera Utara

27

rumah lainnya. Genteng kaca dipercaya dapat memasukkan sinar ultraviolet
matahari masuk kedalam kamar dan mengeliminasi kuman-kuman atau bakteri
yang berada di lantai atau tempat tidur (Achmadi, 2011).
Menurut Mukono (2011) Perumahan harus menjamin kesehatan
penghuninya dalam arti luas. Oleh sebab itu diperlukan syarat perumahan sebagai
berikut :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis
Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan pencahayaan yang
optimal, perlindungan terhadap kebisingan, ventilasi yang memenuhi
persyaratan, dan tersedianya ruangan yang optimal untuk bermain anak.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis
Kebutuhan psikologis berfungsi untuk menjamin privacy bagi penghuni
perumahan.
3. Perlindungan terhadap penularan penyakit
Untuk mencegah penularan penyakit diperlukan sarana air bersih, fasilitas
pembuangan air kotor, fasilitas penyimpanan makanan, menghindari intervensi
dari serangga atau hewan lain yang dapat menularkan penyakit.
4. Perlindungan/pencegahan terhadap bahaya kecelakaan dalam rumah.
2.4.2 Kepadatan Hunian
Kepadatan adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah
anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan untuk kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum

Universitas Sumatera Utara

28

per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang
tersedia (Kepmenkes RI, 1999).
Menurut

Keputusan

Menteri

Kesehatan Republik

Indonesia No.

829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar
tidur minimal 8 meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang
tidur dalam satu ruangan. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni ≥ 2 orang kecuali
untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Jarak antara tempat tidur satu
dengan lainnya adalah 90 cm. Apabila ada anggota keluarga yang menderita.
penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya
akan menyababkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena di samping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada
anggota keluarga yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan
kepada dua sampai tiga orang di dalam rumahnya (Notoatmodjo, 2011).
2.4.3 Jenis Lantai Rumah
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi
lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari
kotoran dan debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam
ruangan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah
sebaiknya di naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu

Universitas Sumatera Utara

29

dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab
dan selalu basah seperti tegel, semen dan keramik (Suyono, 2005).
Lantai rumah jenis tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
penyakit TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas bakteri Mycobacterium
tuberculosis di lingkungan juga sangat mempengaruhi (Achmadi, 2008).
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan
perkembang biakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi
kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono,
2005).
2.4.4 Ventilasi
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan
antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan meteran.
Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah

Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik Individu, Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

2 70 160

HUBUNGAN ANTARA SANITASI LINGKUNGAN, HIGIENE PERORANGAN, DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KEJADIAN DEMAM TIFOID DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGMUNDU KOTA SEMARANG TAHUN 2012

4 32 168

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 6 129

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

2 3 16

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

2 4 2

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

4 7 9

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 1 3

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 0 31

HUBUNGAN ANTARA SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN TB PARU PADA ANAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WEDUNG ABUPATEN DEMAK

0 2 66

HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN PEMBERIAN ASI DI KELURAHAN LALANG WILAYAH KERJA PUSKESMAS DESA LALANG KECAMATAN MEDAN SUNGGAL

0 0 5