Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota Medan)

22

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Perspektif/Paradigma Kajian
Konstruktivisme berada di titik temu dua aluran besar dalam sejarah

sosiolog: sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi sains
(sociology of science) (Kulka, 2003: 13). Istilah konstruksi sosial atas realitas
(social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L.
Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social
Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowladge” pada tahun
1966. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang
mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008: 189).
Asal mula konstruksi sosial dari paradigma konstruktivisme, yang dimulai
dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian
konstruktif kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang

secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila
ditelusuri, sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog
dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).
Semua orang bisa saja mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas
suatu realitas. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi,
pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural,
konstruksi juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas
tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas objektif (Eriyanto,
2002: 16).
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Pola komunikasi
antarpribadi pada pasangan berbeda kebangsaan di kota Medan menggunakan
paradigma konstruktivisme karena masing-masing suami maupun istri yang
berbeda kebangsaan mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.
Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan
lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Hal tersebut jelas mempengaruhi
sepasang suami/istri yang berbeda kebangsaan dalam mendidik anak mereka.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara


23

2.2

Komunikasi Antarbudaya
Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi

komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (dalam
Liliweri, 2003: 11). Sedangkan menurut Stuward L. Tubbs komunikasi
antarbudaya merupakan komunikasi yang terjadi diantara dua anggota yang
berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik secara rasial, etnik maupun
sosial-ekonomi (dalam Purwasito, 2003:122-124). Dapat disimpulkan bahwa
komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang
dilakukan oleh orang-orang yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri,
2003: 9).
Istilah „culture‟ berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau
mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan
tanah atau bertani. Kata „colere‟, kemudian berubah menjadi culture, diartikan

sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam
(Soekamto, 1996: 188). Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang
membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang
pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya, yang disebabkan
perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya
maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.
E.B.

Taylor,

seorang antropolog memberikan

definisi

mengenai

kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakupi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Bahkan beliau mengatakan bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan

dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif artinya mencakup segala cara atau
pola berpikir, merasakan dan bertindak (dalam Soekamto, 1996: 189). Definisi
yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambahkan kata
budaya dalam kedalam pernyataan “komunikasi antara dua orang/lebih yang
berbeda latar belakang kebudayaan” dalam beberapa definisi komunikasi
sebelumnya. Kita juga dapat memberikan definisi komunikasi antarbudaya yang

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

24

paling sederhana, yakni komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka
yang berbeda latar belakang kebudayaan.
Lebih lanjut, Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A.
Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader –
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial
(Samovar dan Porter, 1976: 25). Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang

latar belakang kebudayaannya berbeda (Samover dan Porter, 1976: 27).
Kemudian, Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya
meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991:
5).
Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik,
interpretatif, transaksional, kontekstual, yang dilakukan oleh sejumlah orang yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu – memberikan
interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam
bentuk prilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Lustig dan Koester,
Intercultural Communication Competence, 1993: 21). Guo-Ming Chen dan
William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses
negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia
dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.
Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan
antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui
simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya
mempunyai makna tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan
makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.

2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan
antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat
untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

25

3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun
bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.
4. Menunjukkan

fungsi

sebuah

kelompok

sehingga


kita

dapat

membedakan diri dari kelompok lain dan mengindentifikasinya dengan
pelbagai cara.
Menurut Samover dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi bila
komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan)
adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema
pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar
belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang
disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang
berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.
Sehubungan dengan itu, Porter dan Samover memperkenalkan model komunikasi
antarbudaya sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model Komunikasi Antarbudaya
Sumber : Mulyana dan Rakhmat. 1998: 21
Pengaruh budaya atas individu dan masalah–masalah penyandian dan

penyandian balik pesan terlukis pada gambar diatas. Tiga budaya diwakili dalam
model ini oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Budaya A dan budaya B
relatif serupa dan masing – masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi
delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat
berbeda dari budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

26

bentuk melingkar budaya C dan jarak fisik dari budaya A dan budaya B. Dalam
setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini
menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit
berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini Budaya A Budaya B
Budaya C menunjukkan dua hal. Pertama, ada pengaruh–pengaruh lain di
samping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan
sesuatu kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang–orang dalam
suatu budaya pun mempunyai sifat–sifat yang berbeda. Penyandian dan
penyandian balik pesan antarbudaya dilukiskan oleh panah–panah yang

menghubungkan budaya–budaya itu. Panah–panah ini menunjukkan pengiriman
pesan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Ketika suatu pesan meninggalkan
budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung makna yang dikehendaki oleh
penyandi (encoder). Ini ditunjukkan oleh panah yang meninggalkan suatu budaya
yang mengandung pola yang sama seperti pola yang ada dalam individu penyandi.
Ketika suatu pesan sampai pada budaya dimana pesan itu harus disandi balik,
pesan itu mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya penyandi balik
(decoder) telah menjadi bagian dari makna pesan. Makna yang terkandung dalam
pesan yang asli telah berubah selama fase penyandian balik dalam komunikasi
antarbudaya, oleh karena perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang
dimiliki decoder tidak mengandung makna–makna budaya yang sama seperti yang
dimiliki encoder. Model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam
perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya
terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi–interaksi antara
orang–orang yang berbeda secara ekstrem hingga interaksi–interaksi antara
orang–orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai
subkultur dan subkelompok yang berbeda (Mulyana dan Rakhmat, 1998 : 20).
2.3

Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan suatu bidang ilmu komunikasi,

bidang ini setiap hari hadir dalam setiap hubungan antar manusia kapan dan
dimana saja. Seorang tukang kayu, tukang foto, dramawan dan sastrawan, pastor
dan haji, profesor dan musikus, pelajar dan mahasiswa dalam dunianya sendiri
maupun dunia bersamanya melakukan komunikasi antar manusia. Dari jenis

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

27

pekerjaan dan profesi seseorang kepada orang lain, mungkin masih ditambah lagi
dengan cara berpikirnya, melahirkan perasaannya dan perilaku nyatanya. Ilmu
komunikasi, khususnya komunikasi antar pribadi mempelajari objek hubungan
antara manusia. Meskipun demikian banyak ahli juga berpendapat bahwa semua
yang menjadi tekanan dalam komunikasi antar pribadi akhirnya bermuara pada:
perspektif situasi. Perspektif situasi merupakan suatu perspektif yang menekankan
bahwa sukses tidaknya komuniksi antar pribadi sangat tergantung pada situasi
komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua orang atau sebagian

kecil orang dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati
satu dengan yang lain pada saat itu juga daripada memperhatikan umpan balik
yang tertunda (misalnya dalam hal komunikasi antar manusia bermedia seperti
surat menyurat, percakapan, telepon, faximile), menurut De Haan (dalam Liliweri,
1991: 31).
Masih dalam buku Alo Liliweri (2003: 31), ada tujuh sifat yang
menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi
antar pribadi dan bukan komunikasi lainnya yang terangkum dari pendapatpendapat Reardon. Sifat-sifat komunikasi antar pribadi itu adalah:
1. Melibatkan didalamnya perilaku verbal dan non verbal.
2. Melibatkan pernyataan/ungkapan yang spontan, scripted dan contrived.
3. Komunikasi antar pribadi tidaklah statis melainkan dinamis.
4. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi
(pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya).
5. Dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.
6. Komunikasi antar pribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan.
7. Melibatkan didalamnya bidang persuasif.
Disamping itu, Halloran (dalam Liliweri, 2003: 48) mengemukakan bahwa
manusia sebenarnya berkomunikasi dengan orang lain karena beberapa faktor,
yaitu:
1. Perbedaan antar pribadi.
2. Manusia meskipun merupakan makhluk yang utuh namun tetap
mempunyai kekurangan.
3. Adanya perbedaan motivasi antar manusia.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

28

4. Kebutuhan akan harga diri yang harus mendapat pengakuan dari orang
lain.
Masih dalam buku Alo Liliweri (2003: 48), Cassagrande juga berpendapat
hampir senada, bahwa orang berkomunikasi dengan orang lain karena:
1. Setiap orang memerlukan orang lain untuk saling mengisi
kekurangan dan membagi kelebihan.
2. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif tetap.
3. Interaksi hari ini merupakan spektrum pengalaman masa lalu, dan
buat orang mengantisipasi masa depan.
4. Hubungan yang diciptakan kalau berhasil merupakan pengalaman
yang baru.
Kita akhirnya dapat mengatakan bahwa komunikasi antar pribadi tidak
dapat dielakkan dalam hidup bermasyarakat itu. Suatu kesadaran akan kekurangan
yang dimiliki, suatu perbedaan kesadaran akan adanya perbedaan yang hakiki
antar pribadi, perbedaan dalam motif (dorongan-dorongan untuk mencapai
kebutuhan yang berbeda baik kebutuhan biologis, sosiologis) keinginan untuk
mendapatkan pengakuan dari orang lain menyebabkan setiap orang mencari relasi
dengan orang lain. Relasi, interaksi itu dapat dimulai oleh setiap orang mulai dari
dalam rumah, tetangga, kemudian meluas ke bidang pekerjaan.
Saling melengkapi kekurangan atas perbedaan tersebut senantiasa dialami
karena masyarakat terus berubah untuk memenuhi kebutuhan yang satu terhadap
kebutuhan lainnya yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Ia, manusia mencatat
pelbagai pengalamannya masa lalu dari relasinya dengan orang lain kemudian
mengantisipasikan, memperkirakan apakah komunikasi masih relevan dilakukan
untuk pemenuhan kebutuhan di masa datang. Oleh karena itu, pada saat sekarang
para ahli komunikasi menghendaki supaya seorang yang berkomunikasi harus
mampu mengubah cara berpikir, perasaan atau perilaku sesama, hal itu akan
tercapai kalau ia juga memberikan kesempatan pada pihak lain untuk dapat
mengungkapkan pikiran, pendapat, perasaan dan perilakunya.
Menurut

Devito

(2007:

259-266)

terdapat

sepuluh

karakteristik

komunikasi interpersonal yang efektif yaitu:

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

29

1. Keterbukaan
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari
komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang
efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini
tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua
riwayat hidupnya.memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak
membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk
membuka

diri

disembunyikan,

mengungkapkan
asalkan

informasi

pengungkapan

diri

yang
ini

patut.

biasanya
Aspek

keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator
untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang
diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta
percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara
terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak
mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak
acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita
memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan
terhadap orang lain.
2. Empati
Henry Backrack (dalam DeVito, 2007: 192) mendefinisikan
empati sebagai ”kemampuan seseorang untuk „mengetahui‟ apa yang
sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang
orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak
lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih.
Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang
mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan
yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu
memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap
mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang.
Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non
verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati
dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

30

ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat
meliputi komtak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan
kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.
3. Sikap mendukung
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana
terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang
perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi
yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang
tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan
bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic,
dan (3) provisional, bukan sangat yakin.
4. Sikap positif
Kita

mengkomunikasikan

sikap

positif

dalam

komunikasi

interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif
dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita
berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari
komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina
jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri.
Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya
sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih
menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak
menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap
situasi atau suasana interaksi.
5. Kesetaraan
Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah
seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik,
atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang
benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini,
komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara.
Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak
sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

31

mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu
hubungan

interpersonal

yang

ditandai

oleh

kesetaraan,

ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk
memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan
untuk menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita
menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan
nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau
menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk
memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.
2.4

Pola Komunikasi
Devito (2007: 271) pola komunikasi didefinisikan sebagai komunikasi

yang terjadi antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang, dimana
terjadi proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan, dengan beberapa umpan
balik seketika. Sedangkan Djamarah (2004: 73), pola komunikasi merupakan
bentuk hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman pesan dan
penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami dan dimengerti. Sehingga secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
komunikasi merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran, dan rasa antara
komunikator dengan komunikan (Mulyana, 2002: 53).
Lebih lanjut, pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari
proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi
dengan komponen lainnya (Soekamto, 1996 : 27). Pola Komunikasi diartikan
sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman,
dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Maka dari itu, suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara
dua orang atau lebih dalam proses mengkaitkan dua komponen yaitu gambaran
atau rencana yang menjadi langkah – langkah pada suatu aktifitas dengan
komponen – komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan
antar organisasi ataupun juga manusia.
Dari pengertian sebelumnya, maka suatu pola komunikasi adalah bentuk
atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan
penerimaan pesan secara tepat. Balswick dan Balswick (1990: 43), menyatakan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

32

komunikasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga merupakan jantung
kehidupan, guna menunjang interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga, di
samping mengeksplorasi emosi. Keluarga menentukan bagaimana bentuk
komunikasi yang disepakati dan akhirnya membentuk suatu pola tertentu yang
membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.
Pola komunikasi keluarga menentukan tingkat kepuasan anggota keluarga
didalamnya. Kehadiran komunikasi memberikan pengaruh yang sangat kuat
dalam menciptakan suasana kondusif dalam keluarga. Sebab, setiap masalah yang
mungkin muncul dalam sebuah keluarga dapat diselesaikan dengan cara
berkomunikasi. John Gottman (dalam Degenova, 2008: 42) menemukan bahwa
pola komunikasi pada keluarga atau pasangan sangat penting dalam kebahagiaan
pernikahan.
Triandis (1994: 64), menyatakan bahwa pola komunikasi di dalam
keluarga berbeda berdasarkan budayanya, dimana budaya Asia (atau sering
disebut budaya Timur) umumnya memiliki jenis komunikasi High Context
communication, dimana apa yang diucapkan belum tentu sama maksud yang
sebenarnya. Sementara budaya di negara-negara Barat lebih ke arah Low Context
communication, yaitu mengemukakan apa yang ingin disampaikan secara tegas
dan apa adanya bahkan di depan publik, apa yang disampaikan adalah apa yang
dirasakan.
Terdapat empat pola komunikasi antar suami dan istri menurut Joseph A.
DeVito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (2007: 277-278)
diantaranya :
1. Pola keseimbangan. Pola keseimbangan ini lebih terlihat pada teori
dari pada prakteknya, tetapi Ini merupakan awal yang bagus untuk
melihat komunikasi pada hubungan yang penting. Komunikasi yang
terjalin antara suami istri sangat terbuka, jujur, langsung dan bebas.
2. Pola keseimbangan terbalik. Dalam pola keseimbangan terbalik,
masing-masing anggota keluarga (suami-istri) mempunyai orientasi
diatas daerah atau wewenang yang berbeda. Masing-masing suami istri
adalah sebagai pembuat keputusan konflik yang terjadi antara
keduanya (suami-istri), dianggap bukan ancaman oleh si suami atau si

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

33

istri karena keduanya memiliki keahlian sendiri-sendiri untuk
menyelesaikannya.
3. Pola pemisah tidak seimbang, satu orang dalam keluarga (si suami atau
istri) mendominasi.
4. Pola Monopoli. Dalam pola monopoli ini, si suami atau si istri samasama menganggap dirinya sebagai penguasa. Keduanya (suami istri)
lebih suka memberi nasehat dari pada berkomunikasi untuk saling
bertukar pendapat
2.5

Pasangan Suami Istri
Relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi

keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika
terjadi kegagalan dalam relasi suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan
adalah keberhasilan melakukan penyesuain di antara pasangan. Penyesuain ini
bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian
adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
Calhoun & Acocella, (dalam Sri Lestari, 2012: 63). Terdapat tiga indikator bagi
proses penyesuaian sebagaimana diungkapkan Glenn (dalam Sri lestari, 2012: 64),
yakni konflik, komunikasi dan berbagai tugas rumah tangga. Keberhasilan
penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang
terjadi. Penyesuain dalam perkawinan tidak ditandai oleh sikap dan cara yang
konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif
merupakan salah satu komponen dalam melakukan resolusi konflik yang
konstruktif.
Walaupun demikian, komunikasi berperan penting dalam segala aspek
kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran terpenting
komunikasi adalah membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan.
Journal “Acta Diurna” Volume III. No.4. Tahun 2014 bila kedekatan dan
keintiman suatu pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal itu menandakan
bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik Banyak
kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan biasanya dipadankan dengan
kebahagiaan perkawinan atau kepuasaan perkawinan Glenn (dalam Sri Lestari,

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

34

2012: 65). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang
dimiliki pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada
kenikmataan, kesenangan, dan kesukaan. Perbedaanya adalah bila kebahagiaan
perkawinan berdasarkan pada evaluasi afektif, sedangkan kepuasaan perkawinan
berdasarkan pada evaluasi kognitif. David H. Olson dan Amy K. Olson (dalam Sri
Lestari, 2012: 68), terdapat sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan
yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu: komunikasi, fleksibilitas, kedekatan,
kecocokan kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiataan di waktu luang,
keluarga dan teman, pengelolahan keuangan, dan keyakinan spritual.
Di antara sepuluh aspek tersebut, lima aspek yang lebih menonjol adalah
komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, dan resolusi konflik.
Keterampilan dalam berkomunikasi dapat mewujud dalam kecermatan memilih
kata yang digunakan dalam penyampaian gagasan pada pasangan. Pemilihan kata
yang kurang tepat dapat menimbulkan kesalahan presepsi pada pasangan yang
diajak berbicara. Intonasi dalam melakukan komunikasi juga perlu untuk
diperhatikan. Penekanan pada kata yang berbeda, meskipun dalam kalimat yang
sama dapat menimbulkan respons perasaan yang berbeda pada pasangan.
Hal ini berkaitan dengan kesediaan dan kemampuan mengungkapkan diri
(self-disclosure). Pengungkapan diri adalah menyampaikan informasi pribadi
yang mendalam, atau segala hal yang kemungkinan orang lain tidak mengerti bila
tidak diberitahu. Informasi tersebut dapat berupa gagasan dan pemikiran, impian
dan harapan, maupun perasaan positif dan negatif. Kesalahpahaman dalam
komunikasi dapat menimbulkan konflik, yang sering terjadi karena menggunakan
gaya komunikasi negatif. Menurut Ali Qaimi (2002: 61) berlebihan juga sepasang
suami-isteri berbicara dengan gaya bahasa resmi dan dengan dialek seorang
pejabat atau pemimpin rakyat. Namun, yang dituntutadalah bersikap hati- hati
dalam berbicara. Sebab, ketergelinciran lidah adakalanya mendatangkan akibat
yang fatal.

2.6

Perkawinan Antarbudaya
Dipaparkan dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Riau Volume 2

Nomor 2 September 2013, istilah pernikahan antarbudaya yang digunakan dalam

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

35

penelitian ini disebut oleh ahli ilmu komunikasi dengan istilah yang berbeda-beda.
Romano (2008: 121) menyebutnya sebagai inter-cultural marriage. Sementara
Hondius (dalam Sri Lestari, 2012: 70) menamainya dengan istilah mixed
marriage. Para ahli lain menyebut feno-mena ini dengan istilah cross cultural
marriage,

international

marriage,

interethnic

marriage,

intercultural

relationship, atau intermarriage. Falicov (dalam Romano, 2008: 229), salah
seorang peneliti di bidang ini menyebut istilah intercultural marriage sama saja
dengan istilah intermarriage dan cross-cultural. Ketiga istilah tersebut dapat
saling dipertukarkan.
Meskipun ada beragam terminologi yang digunakan untuk menamai
fenomena ini, penger-tian yang diberikan terhadap istilah ini ternyata relatif sama
yakni sebagai pernikahan dua orang invidu yang memiliki latar belakang budaya
berbeda (Romano, 2008: 11). Menurut Falicov (dalam Romano, 2008: 232), kata
budaya yang menyertai kata perkawinan dalam istilah ini pada kenyataanya
memiliki pengertian yang luas dan cair karena mencakup juga perbedaan agama,
etnik, status sosial, negara, bahkan ras. Apabila ditelusuri lebih jauh, pernikahan
antarbudaya ini sebenarnya bukanlah fenomena baru. Samsudin (2009: 71)
menyebutkan pernikahan yang melibatkan pasangan berbeda etnik atau budaya
atau agama telah terjadi sejak Masa lalu bahkan sebelum masehi. Nabi Musa yang
pe-nganut Yahudi misalnya, menikah Zypporah se-orang wanita asli Kenya,
sedangkan dalam contoh yang lebih dekat, John Lenon misalnya yang menikahi
Yoko Ono atau ibunda Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, dua kali
menikah dengan pria yang berbeda bangsa, satu dari Kenya dan satu lagi dari
Indonesia. Kalau kita mengambil contoh yang lebih aktual maka kita menemukan
contoh pernikahan Tiger Wood dengan Ellin Nordergen. Menurut Romano (2008:
318) kecenderungan melakukan pernikahan antarbudaya akan semakin menguat
pada abad 21 ini. Hal ini disebabkan oleh freukensi orang melakukan perjalanan,
pindah rumah, bersekolah, berwisata atau bekerja di luar negeri menjadi semakin
besar. Lebih dari itu merebaknya media sosial semakin memmudahkan orang
membangun kontak tanpa dibatasi oleh jarak. Media ini juga memungkinkan
mereka membangun hubungan yang bersifat personal. Meskipun belum ada angka
yang pasti tapi jumlah orang yang menikah karena membangun kontak lewat

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

36

media sosial kecenderungan membangun kontak dan hubungan personal melalui
saluran ini semakin besar (dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Riau
Volume 2 Nomor 2, 2013: 4).
Menurut Maretzki (dalam McDermott & Tseng, 1977: 42) menyebutkan
bahwa perkawinan antar budaya (intercultural marriage) adalah perkawinan yang
terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.
Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan
tersebut tentu memiliki dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut
keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Di dalam
perkawinan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda
(Koentjaraningrat, 1998: 12).
Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan.
Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan,
sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga, Purnomo (dalam
Natalia & Iriani, 2002: 31). Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa perkawinan antar etnis adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.
Menurut Tseng (1977: 36) terdapat faktor-faktor Pendukung Tercapainya
Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan budaya yaitu :
a. Adanya saling keterbukaan pikiran atau openmindedness.
b. Memiliki sikap fleksibilitas atau keluwesan.
c. Adanya toleransi yang tinggi.
d. Pengetahuan.
e. Kepekaan terhadap kebutuhan pasangan.

2.7

Mendidik anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “mendidik” artinya memelihara

dan memberi latihan. dalam memeliahara dan memberi latihan diperlukan adanya
ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran.
Sedangkan menurut Darmodiharjo (1982: 31), mendidik ialah menunjukkan usaha
yang lebih ditujukan kepada pengembangan budi pekerti, semangat, kecintaan,
rasa kesusilaan, ketakwaan, dll.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

37

Menurut

The

Minimum

Age

Convention

Nomor

138

tahun

1973, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.
Sebaliknya, dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah
diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990
disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.
Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia
antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang
belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang
Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun (Huraerah, 2006: 19).
Sementara itu, pengertian anak yang terdapat dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 yaitu (https://www.bersosial.com):
1. Anak adalah dalam orang yang perkara anak nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
2. Anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau
anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
bersangkutan.
3. Anak Terlantar adalah anak yang berdasarkan penetapan pengadilan
ditetapkan sebagai anak terlantar, atas pertimbangan anak tersebut
tidak terpenuhi dengan wajar kebutuhannya, baik secara rohaniah,
jasmaniah, maupun sosial disebabkan : Pertama, adanya kesalahan,
kelalaian, dan atau ketidakmampuan orang tua, wali atau orang tua
asuhnya. Kedua, statusnya sebagai anak yatim piatu atau tidak ada
orangtuanya.
Mendidik atau membimbing anak adalah suatu pekerjaan yang dipikul
oleh

orangtua

untuk

mengarahkan

anak-anak

didik

dalam belajar

dan

dalam berprilaku yang baik, baik itu di lingkungan rumah atau di masyarakat.
Untuk mengarahkan anak-anak bersifat yang positif dan menjauhkan anak
berprilaku yang buruk, atau berprilaku negatif. Orang tua haruslah cerdik dalam

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

38

mengajarkan anaknya, sehingga dengan mendidik yang baik atau cara ajar yang
bagus, maka terciptalah sifat anak yang positif baik itu dalam belajar dan dalam
berperilaku di masyarakat.
Mendidik memang bukan persoalan yang gampang dan sederhana. Pada
tataran filosofis, mendidik berkaitan dengan proses pembentukan kualitas manusia
dan peradaban yang akan dihasilkannya. Setiap anak memiliki kemampuan yang
berbeda-beda dan juga memiliki kelebihan masing-masing. Berbedanya seorang
anak dengan yang lain menunjukkan bahwa setiap anak adalah unik.
Cara orangtua mendidik anaknya juga berbeda-beda. Orangtua keturunan
China dianggap begitu superior terhadap anaknya sedangkan orangtua di negaranegara Barat lebih demokratis dan menghargai individu anak. Buku 'Battle Hymn
of the Tiger Mother' karangan Amy Chua, seorang profesor sekolah hukum dari
Yale Law School menceritakan bagaimana ibu-ibu di China atau keturunan China
dengan didikan kerasnya mampu membuat anaknya berhasil. Hal yang sama
seperti dialami Amy ketika kecil hingga menjadi orang sukses seperti sekarang.
Amy kini menerapkan gaya didik orangtuanya kepada dua anaknya Sophia dan
Louisa yang sudah beranjak remaja. Anak-anaknya dilarang main game dan
nonton TV, menginap di rumah teman, harus mendapat nilai A, harus les biola
atau piano. Di negara AS misalnya, anak-anak yang didik orangtua keturunan
China jago matematika, pintar main piano dan sering jadi juara di kelasnya.
Mendidik dengan disiplin dan kontrol orangtua yang besar menurut Amy juga
dilakukan orangtua keturunan Korea, India, Jamaika, Irlandia dan Ghana. Dalam
salah satu penelitian terhadap 50 ibu di Amerika dan 48 ibu-ibu imigran China,
hampir 70 persen ibu-ibu barat mengatakan bahwa 'menekankan keberhasilan
akademis tidak baik untuk anak-anak' karena yang terpenting 'orang tua perlu
mendorong ide bahwa belajar adalah hal yang menyenangkan'. Sebaliknya,
sebagian besar ibu keturunan China mengatakan bahwa mereka percaya anakanaknya dapat menjadi siswa 'yang terbaik' karena 'prestasi akademik
mencerminkan orangtua yang sukses mendidik' dan 'jika anak-anak tidak unggul
di sekolah itu artinya ada masalah pada orangtua kenapa anak tidak mengerjakan
tugasnya'. Studi lain menunjukkan bahwa dibandingkan dengan orangtua Barat,
orangtua China menghabiskan 10 kali lebih lama waktunya untuk terlibat dan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

39

memantau aktivitas akademik anak-anaknya. Sebaliknya, anak-anak Barat lebih
banyak berpartisipasi dalam kegiatan dan tim olahraga ketimbang prestasi
akademik. Amy juga mengatakan ketika orangtua China menerapkan disiplin dan
pola didik yang terkontrol, anak-anak China juga akan menolak. Namun kuncinya,
kesabaran orangtua untuk mendampingi anak karena memang akan sulit dijalani
di masa-masa awal. Hal yang berbeda dengan tipikal orangtua barat yang
cenderung menyerah pada kemauan anak ketika anak menolak.

Sebaliknya

orangtua Barat hanya meminta anaknya mencoba melakukan yang terbaik.
Mereka akan berhati-hati untuk tidak membuat anak mereka merasa tidak mampu
dan tidak akan pernah memanggil anaknya dengan sebutan 'bodoh', 'tidak berguna'
atau 'memalukan'. Orangtua China bisa melakukan seperti itu karena tradisi China
men-stigma anak-anak berutang ke orangtuanya yang telah berkorban banyak
sehingga mereka harus membayarnya dengan prestasi dan kebanggaan serta rasa
hormat kepada orangtua.Sebaliknya, orangtua di Barat tidak berpikir demikian.
Anak-anak tidak memilih orangtuanya dan bahkan mereka tidak memilih untuk
dilahirkan sehingga anak-anak tidak berutang apa-apa. Tugas mereka adalah
membuat anak-anak menjadi diri mereka sendiri. Orangtua Barat mencoba untuk
menghormati individua anak-anaknya, mendorong mereka untuk mengejar
keinginan mereka, mendukung pilihan mereka, dan memberikan dukungan dan
lingkungan yang positif. Sebaliknya, orangtua China percaya bahwa cara terbaik
untuk melindungi anak-anak mereka adalah dengan mempersiapkan masa depan
mereka, membekali anak dengan keterampilan, kebiasaan kerja yang tekun dan
disiplin, dan keyakinan batin yang tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang
bisa mengambilnya (http://health.detik.com/).

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara