Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota Medan)

(1)

PEDOMAN WAWANCARA

Nama Suami : Nama Istri :

Jumlah Anak :

No. Isu Sub Isu Pertanyaan

1. Pola

Komunikasi Orang Tua Berbeda Kebangsaan dalam membesarkan anak Pola Keseimbangan (terbuka, jujur dan lansung)

1. Apakah anda selalu

mendiskusikan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan anak dengan pasangan anda? 2. Apakah anda selalu jujur

membicarakan permasalahan tentang anak dengan pasangan anda?

3. Apakah anda mau bertukar pikiran dengan pasangan anda serta mau memberikan masukan satu sama lainnya terkait hal yang menyangkut kepentingan anak anda? Pola Keseimbangan terbalik (masing-masing anggota keluarga (suami-istri) mempunyai orientasi atau wewenang yang

4. Apakah sebelum menikah anda telah memiliki perjanjian yang menyangkut pembagian tugas dalam hal membesarkan anak dikarenakan anda berada dari luang lingkup budaya yang berbeda sehingga ditakutkan perbedaan itu akan membawa masalah dalam rumah tangga anda?


(2)

berbeda) 5. Apakah anda mempunyai pembagian tugas masing-masing dalam hal kepentingan anak anda? Misalkan salah satu pihak hanya berurusan dengan masalah sekolah anak sementara pihak lain menyangkut pergaulan si anak? Pola Pemisah

tidak seimbang satu orang dalam keluarga (si suami atau istri)

mendominasi.

6. Apakah terdapat salah satu pasangan diantara anda yang lebih mendominasi dalam hal membesarkan anak?

7. Apakah dikarenakan anda berdomisili di indonesia anda beranggapan bahwa pasangan yang berasal dari indonesia lebih memegang peranan penting di dalam hal membesarkan anak? 8. Apakah anda pernah berpikir

bahwa budaya salah satu pasangan anda lebih baik dalam membesarkan anak, sehingga pada akhirnya anda menyerahkan sepenuhnya urusan membesarkan anak kepada pasangan anda tersebut?

Pola Monopoli Keduanya (suami istri ) lebih suka

9. Apakah anda lebih cenderung memberikan nasehat kepada anak anda tanpa mendiskusikannya dengan pasangan anda?


(3)

memberi nasehat dari pada

berkomunikasi untuk saling bertukar pendapat.

10.Bagaimana tanggapan anda jika salah satu pasangan anda tidak menyukai cara anda dalam membesarkan anak? Apakah anda akan memikirkan masukan dari pasangan anda atau tetap melakukan yang anda mau tanpa mempedulikan tanggapan dari pasangan anda?

HASIL WAWANCARA Pasangan 1

Nama Suami : Yahya Suryono Setyowati (Belanda) Nama Istri : Wina Devianty Rambe (Indonesia) Jumlah Anak : 4 orang anak

1. Apakah anda selalu mendiskusikan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan anak dengan pasangan anda?

“Nah, ini dia. Itu biasanya tergantung hal apa dulu, tapi kalo untung kebaikan anak-anak, suami saya ikut aja sih”.

2. Apakah anda selalu jujur membicarakan permasalahan tentang anak dengan pasangan anda?

“Iya pastinya.”

3. Apakah anda mau bertukar pikiran dengan pasangan anda serta mau memberikan masukan satu sama lainnya terkait hal yang menyangkut kepentingan anak anda?

“Kadang kita tukar pikiran kalo hal yang serius, tapi kalo gak suami saya percaya sama saya dalam mengurus anak-anak.”

4. Apakah sebelum menikah anda telah memiliki perjanjian yang menyangkut pembagian tugas dalam hal membesarkan anak


(4)

dikarenakan anda berada dari luang lingkup budaya yang berbeda sehingga ditakutkan perbedaan itu akan membawa masalah dalam rumah tangga anda?

“Gak ada dek”.

5. Apakah anda mempunyai pembagian tugas masing-masing dalam hal kepentingan anak anda? Misalkan salah satu pihak hanya berurusan dengan masalah sekolah anak sementara pihak lain menyangkut pergaulan si anak?

“Gak ada sih”.

6. Apakah terdapat salah satu pasangan diantara anda yang lebih mendominasi dalam hal membesarkan anak?

“Kalo itu bukannya mendominasi ya, tapi namanya saya ibunya”.

7. Apakah dikarenakan anda berdomisili di indonesia anda beranggapan bahwa pasangan yang berasal dari indonesia lebih memegang peranan penting di dalam hal membesarkan anak?

“Gak juga, saya sebagai seorang ibu bagi anak-anak saya pastilah lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak. Jadi wajar saya menerapkan cara mendidik anak dari Negara asal saya. Yahya sebagai suami dan papa menganggap kalau cara mendidik anak di Indonesia bagus untuk moral anak,

jadi saya tidak mempermasalahkan”.

8. Apakah anda pernah berpikir bahwa budaya salah satu pasangan anda lebih baik dalam membesarkan anak, sehingga pada akhirnya anda menyerahkan sepenuhnya urusan membesarkan anak kepada pasangan anda tersebut?

“Tidaklah.”

9. Apakah anda lebih cenderung memberikan nasehat kepada anak anda tanpa mendiskusikannya dengan pasangan anda?

“Sebenarnya kalo nasihat yang biasa saja saya mau bilang ke anak-anak, suami saya setuju aja kok.”

10. Bagaimana tanggapan anda jika salah satu pasangan anda tidak menyukai cara anda dalam membesarkan anak? Apakah anda akan


(5)

memikirkan masukan dari pasangan anda atau tetap melakukan yang anda mau tanpa mempedulikan tanggapan dari pasangan anda?

“sejauh ini tidak ada masalah sih”.

Pasangan 2

Nama Suami : Azhim Hoftijzer (Belanda) Nama Istri : Belinda Maharani (Indonesia) Jumlah Anak : 2 orang anak

1. Apakah anda selalu mendiskusikan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan anak dengan pasangan anda?

“Tidak selalu, tapi pernah lah”.

2. Apakah anda selalu jujur membicarakan permasalahan tentang anak dengan pasangan anda?

“Ya sebagai suami istri harus saling jujur”.

3. Apakah anda mau bertukar pikiran dengan pasangan anda serta mau memberikan masukan satu sama lainnya terkait hal yang menyangkut kepentingan anak anda?

“Ya kalo dirasa itu penting saya lakukan, tapi kalo untuk hal sepele saya rasa itu tidak terlalu dibutuhkan”.

4. Apakah sebelum menikah anda telah memiliki perjanjian yang menyangkut pembagian tugas dalam hal membesarkan anak dikarenakan anda berada dari luang lingkup budaya yang berbeda sehingga ditakutkan perbedaan itu akan membawa masalah dalam rumah tangga anda?

“Tidak ada”.

5. Apakah anda mempunyai pembagian tugas masing-masing dalam hal kepentingan anak anda? Misalkan salah satu pihak hanya berurusan dengan masalah sekolah anak sementara pihak lain menyangkut pergaulan si anak?

“Tidak aja juga”.

6. Apakah terdapat salah satu pasangan diantara anda yang lebih mendominasi dalam hal membesarkan anak?


(6)

“Lebih ke fokus nya sih. Saya kan juga sebagai ibu rumah tangga yang

memang tugasnya mengurusi rumah tangga”.

7. Apakah dikarenakan anda berdomisili di indonesia anda beranggapan bahwa pasangan yang berasal dari indonesia lebih memegang peranan penting di dalam hal membesarkan anak?

“Tidaklah, kita sama-sama tidak mempermasalahkan hal tersebut, kita ambil mana yang baik saja antara mendidik anak dengan cara orang Indonesia atau Barat”.

8. Apakah anda pernah berpikir bahwa budaya salah satu pasangan anda lebih baik dalam membesarkan anak, sehingga pada akhirnya anda menyerahkan sepenuhnya urusan membesarkan anak kepada pasangan anda tersebut?

“Gak pernah”.

9. Apakah anda lebih cenderung memberikan nasehat kepada anak anda tanpa mendiskusikannya dengan pasangan anda?

“Sebenarnya kalo nasehat kita sering memberikannya spontan, jadi kadang saya sebagai ibunya melihat hal yang tidak sesuai dengan anak saya, maka saya nasehati, begitu juga dengan ayahnya”.

10. Bagaimana tanggapan anda jika salah satu pasangan anda tidak menyukai cara anda dalam membesarkan anak? Apakah anda akan memikirkan masukan dari pasangan anda atau tetap melakukan yang anda mau tanpa mempedulikan tanggapan dari pasangan anda?

“Tidak sih, sejauh ini baik-baik saja, suami saya setuju aja”.

Pasangan 3

Nama Suami : Albert Schoonhoven (Belanda) Nama Istri : Atika Arisma Siahaan Indonesia) Jumlah Anak : 3 orang anak

1. Apakah anda selalu mendiskusikan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan anak dengan pasangan anda?


(7)

“Berdiskusi memang penting, tapi tidak selalu, ada masanya saya sebagai

ibunya dapat menangani sendiri”.

2. Apakah anda selalu jujur membicarakan permasalahan tentang anak dengan pasangan anda?

“Iya pastinya, itukan penting.”

3. Apakah anda mau bertukar pikiran dengan pasangan anda serta mau memberikan masukan satu sama lainnya terkait hal yang menyangkut kepentingan anak anda?

“Seperti yang saya katakan berdiskusi atau tukar pikiran itu penting, tapi kalau yang bisa saya tangani, saya tidak ingin membebani suami saya. Lagian suami saya oke-oke aja”.

4. Apakah sebelum menikah anda telah memiliki perjanjian yang menyangkut pembagian tugas dalam hal membesarkan anak dikarenakan anda berada dari luang lingkup budaya yang berbeda sehingga ditakutkan perbedaan itu akan membawa masalah dalam rumah tangga anda?

“Gak ada yang seperti itu”.

5. Apakah anda mempunyai pembagian tugas masing-masing dalam hal kepentingan anak anda? Misalkan salah satu pihak hanya berurusan dengan masalah sekolah anak sementara pihak lain menyangkut pergaulan si anak?

“Tidak ada”.

6. Apakah terdapat salah satu pasangan diantara anda yang lebih mendominasi dalam hal membesarkan anak?

“Tidak dominasi sih, tapi ya saya akui saya lebih besar porsinya dalam membesarkan anak-anak”.

7. Apakah dikarenakan anda berdomisili di indonesia anda beranggapan bahwa pasangan yang berasal dari indonesia lebih memegang peranan penting di dalam hal membesarkan anak?

“Tidak sih. Saya dan suami sepakat mendidik anak-anak dengan cara orang


(8)

8. Apakah anda pernah berpikir bahwa budaya salah satu pasangan anda lebih baik dalam membesarkan anak, sehingga pada akhirnya anda menyerahkan sepenuhnya urusan membesarkan anak kepada pasangan anda tersebut?

“Gak adasampai kesitu sih”.

9. Apakah anda lebih cenderung memberikan nasehat kepada anak anda tanpa mendiskusikannya dengan pasangan anda?

“Sebenarnya kalo nasehat itu kapan pentingnya disitu kita berikan pada waktu itu juga, jadi wajar tanpa mendiskusikan dengan suami saya yang

sudah sibuk mencari nafkah”.

10. Bagaimana tanggapan anda jika salah satu pasangan anda tidak menyukai cara anda dalam membesarkan anak? Apakah anda akan memikirkan masukan dari pasangan anda atau tetap melakukan yang anda mau tanpa mempedulikan tanggapan dari pasangan anda?


(9)

BIODATA PENELITI

IDENTITAS DIRI

Nama Lengkap : Olivia Ruth Demaren Manullang Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 17 Agustus 1992

Usia : 23 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Status : Mahasiswa

Status Marital : Belum Menikah Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Asrama Brimob Blok L2 Nomor 1 Medan

No. Hp : 085276010533

Email : oliviardm@yahoo.com

PENDIDIKAN FORMAL

1. 1998 – 2004 SD SANTO ANTONIUS 2 MEDAN

2. 2004 – 2007 SMP SANTO THOMAS 1 MEDAN

3. 2007 – 2010 SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN

4. 2010 – sekarang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Abigail. 2009. Penerapan Pola Komunikasi Antara Orang Tua Dengan Anak Pada Keluarga Antar Bangsa. Jakarta: Erlangga

Alwasilah, A Chaedar. 2008. Pokoknya kualitatif. Jakarta : PT Dunia Pustaka. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

DeGenova, M.K. 2008. Intimate relationships, marriages & families. (7th ed.). New York: McGraw Hill

Denzin and Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka. Pelajar.

DeVito, Joseph A. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Pamulang : Karisma Publishing Group.

Djamarah, B.S. 2004. Pola Komunikasi Orang tua dan Anak dalam Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta

Duvall, E.M. dan Miller, B.C. 1985. Marriage and family development. New York: Harper and Row.

Effendy, Onong Uchjana. 2009. Ilmu Komunikasi, teori & Praktek. Bandung: Remaja Rosda karya.

Eriyanto. 2002. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta : LkiS.


(11)

Hadi, Sutrisno. 2003. Metodologi research (Jilid 1). Yogyakarta: Andi Offset. Hartono. 2004. Statistika untuk Penelitian. Pekanbaru: Lembaga Studi Filsafat. Hatimah, Ihat, dkk. 2008. Pembelajaran Berwawasan kemasyarakatan. Jakarta:

Universitas Terbuka

Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Pada Anak. Bandung: Penerbit Nuansa.

Hurlock, E. B. 2000. (a.b Istiwidayanti & Soedjarwo). Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (edisi keenam). Jakarta: Erlangga

Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta : Erlangga. Inman, A.G, Altman, A., Davidson, A.K., Carr, A., & Walker, J.A. 2011. Cultural

Intersections: A Qualitative Inquiry Into The Experience of Asian Indian-White Interracial Couples. Journal of Family Process, 50, 248-266.

Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Komariah, Aan. dan Satori, Djam'an. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Kriyantono, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana. Kulka, A. 2003. Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit

Jendela.

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Liliweri. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lustig, Myron.W. & Jolene Koester. 2003. Intercultural Competence:


(12)

McDermott, J.F., & Maretzki, T.W. 1977. Adjustment Intercultural Marriage. Honolulu : The University of Hawaii.

Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Mulyana, Deddy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.

______________. Jalaludin Rahmat. 1998. Komunikasi Antar Budaya. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya

Natalia, D., & Iriani, F. 2002. Penyesuaian Perempuan Non-Batak Terhadap Pasangan Hidupnya Yang Berbudaya Batak. Jurnal Ilmiah Psikologi. No.VII.27-36.

Nawawi, Hadari. 2001. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM Press.

Papalia, D.E. and Olds, S.W. and Feldman, R.D., 2007. Human development. (10th ed.). New York: McGraw – Hill International.

Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Press.

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Remaja Rosda Karya

Rogers, Everett M., D. Lawrence Kincaid. 1981. Communication Networks: Toward a New Paradigm for Research. New York: The Free Press. Romano, Dugan. 2008. Intercultural Marriage: Promises and Pitfalls. 3rd ed.

Boston: Intercultural Press.

Samovar, Larry A dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya (Communication Between Cultures) jilid 7. Jakarta: Salemba Humanika.


(13)

Samsudin, N. 2009. Intercultural Marriage. Academic Journal, 1, 189-193. Sears, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Siahaan, S.M. 1991. Komunikasi, Pemahaman, dan Penerapan. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Alfabeta.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Triandis, H. 1994. Culture and Social Behavior. New York: McGraw-hill

Tseng, W.S. 1977. Adjusment in Intercultural Marriage. Honolulu: The University Press of Hawaii.

Usman dan Akbar. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Wiranto. 2004. Penelitian Deskriptif Kualitatif: Jakarata: Pusat Penerbit Universitas Terbuka.

Yoshida, Masanori. 2008. The Study of the Javanese Life Cycle Rituals in Anthropological Perspective Expressions. Academic Journal, 4, 295-311.

Qaimi, Ali. 2002. Menggapi Langit Masa Depan Anak. Bogor: Penerbit Cahaya.

Sumber lain :

Erriyadi. (2007). Kawin dengan Pria Asing, Artikel. Available FTP : http://www.geogle.com/kawinkontrak-com. diakses pada 3 Februari 2016.

Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Riau Volume 2 Nomor 2 September 2013. Journal “Acta Diurna” Volume III. No.4. Tahun 2014.


(14)

www.health.detik.com/. Diakses pada 21 Januari 2016. www.bersosial.com diakses pada 28 Januari 2016.

www.mixedcouple.co /article/mod. diakses pada 28 Januari 2016. www.expat.or.id. Diakses pada 1 Februari 2016.


(15)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode adalah cara atau teknik yang digunakan untuk riset. Metode mengatur langkah-langkah dalam melakukan riset. Kemudian, penentuan metode riset, periset memilih metode apa yang akan dipakai dalam mendekati dan mencari data ( Kriyantono, 2010: 82). Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2002: 49).

Dalam beberapa hal, memang perlu ditentukan manakah metode yang paling baik untuk melakukan sebuah penelitian. Dalam hal kaitannya dengan penelitian ini, ada beberapa hal yang dipertimbangkan kenapa yang dipilih berbentuk kualitatif. Pertama, penelitian kualitatif merupakan pendekatan yang lebih sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif. Kedua, satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti. Dengan kata lain metode ini dipilih karena dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Poerwandari, 2009: 41).

Maka dari itu, metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Menurut Bungin (2010: 68) metode deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu.

Perspektif kualitatif memiliki tahapan berpikir kritis ilmiah, yang mana seorang peneliti memulai berpikir secara induktif yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan kemudian menganalisisnya


(16)

dan kemudian berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu (Bungin, 2010: 16). Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistik, kompleks dan rinci (Hartono, 2004: 16). Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data yang sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling serta yang lebih ditekankan adalah kualitas data bukan banyak atau kuantitas data. Menurut Kriyantono (2010: 56-57) dalam riset kualitatif, peneliti merupakan bagian integral dari data yang ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian, peneliti adalah instrumen riset yang harus terjun ke lapangan. Peneliti juga harus objektif dan hasilnya kasuistik, bukan untuk digeneralisasikan.

Menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2007: 5) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Kemudian, menurut Lexy J. Moleong (2007: 6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misal perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Menurut Djam‟an dan Komariah (2009: 23), penelitian kualitatif dilakukan karena penelitian ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu langkah kerja, formula suatu aktivitas, pengertian suatu konsep yang beragam, tata cara suatu kehidupan dan lain sebagainya. Lebih lanjut, menurut Nawawi (2001: 63), metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Menurut Rakhmat (2004: 25), menjelaskan bahwa penelitian deskriptif ditujukan sebagai berikut:


(17)

1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala-gejala yang ada.

2. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktik-praktik yang berlaku.

3. Membuat perbandingan atau evaluasi.

4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

3.2 Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, pasangan suami istri yang berbeda kebangsaan berada di kecamatan Medan Kota, Medan Sunggal, dan Medan Johor yang diharapkan dapat mewakili kota Medan.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah pola komunikasi pada pasangan berbeda kebangsaan di kota medan dalam membesarkan anak.

3.4 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. (Arikunto, 2002 : 145) Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pasangan berebeda kebangsaan. Kemudian, penentuan informan dilakukan secara snowball sampling di mana peneliti mendapatkan informasi tentang orang yang akan menjadi informan berikutnya dari informan pertama, dan seterusnya. Adapun yang menjadi informan pertama yang merupakan informan kunci penelitian ini yaitu: Pasangan Wina Devianty Rambe (Ind.) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda) yang beralamat di Jl. Brigjen Katamso Gg. Nasional no. 19, Medan.

3.5 Kerangka Analisis

Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian tentang pola komunikasi pada pasangan berbeda kebangsaan di kota Medan dalam mendidik anak, penelitian ini berangkat dari kerangka analisis. Berikut bagan kerangka analisis.


(18)

Gambar 3.1 Kerangka Analisis Sumber: Modifikasi Peneliti

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian (field research) untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara:

1. Wawancara

Menurut Denzin (2006: 154), wawancara adalah pertukaran percakapan dengan tatap muka dimana seseorang memperoleh informasi dari yang lain secara lebih lengkap. Menurut Alwasilah (2007: 53), melalui wawancara peneliti bisa mendapatkan informasi yang lebih mendalam karena peneliti dapat menjelaskan pertanyaan yang tidak dimengerti informasi, peneliti dapat mengajukan pertanyaan, informan cenderung menjawab apabila diberi pertanyaan dan informan dapat menceritakan sesuatu yang terjadi di masa lalu maupun di masa mendatang.

Selanjutnya, supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data, maka diperlukan alat-alat sebagai berikut :

a. Handphone: berfungsi sebagai alat perekam wawancara dengan informan, jika informan tersebut bersedia untuk direkam.

b. Buku catatan: berfungsi sebagai media untuk mencatat wawancara dengan informan, jika tidak bersedia untuk direkam.

Pasangan Suami Isti Pernikahan

Campuran

Pola Komunikasi

Jenis :

1. Pola Keseimbangan

2. Pola keseimbangan terbalik

3. Pola Pemisah atau Tidak Seimbang 4. Pola Monopoli


(19)

c. Kamera: peneliti juga mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Organisasi Cangkang Queer Medan seperti seminar, diskusi, sharing, dan lain-lain. Dengan adanya hasil dokumentasi ini, maka dapat meningkatkan keabsahan penelitian ini, sehingga lebih terjamin, karena peneliti memang benar melakukan pengumpulan data.

2. Observasi

Selain wawancara, peneliti juga melakukan metode observasi. Menurut Nawawi & Martini (2011: 19) observasi adalah pengamatan terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan. Observasi non partisipan merupakan metode observasi tanpa ikut peran serta dalam melakukan akivitas seperti yang dilakukan subjek penelitian, baik kehadirannya diketahui atau tidak (Kriyantono, 2010: 108-110).

Observasi dalam sebuah penelitian diartikan sebagai pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan melibatkan seluruh indra untuk mendapatkan data. Instrumen observasi bisa dalam bentuk tes, bentuk kuesioner dan rekaman gambar serta rekaman suara, (Hatimah dkk, 2008: 184-185). Menurut Bungin (2010: 142), observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Dengan demikian dapat dikatakan observasi merupakan suatu kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata dibantu dengan pancaindra lainnya.

Menurut Patton (Sugiyono, 2010: 228-229) manfaat observasi adalah sebagai berikut:

1. Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik dan menyeluruh.


(20)

2. Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery. 3. Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak

diamati oleh orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkap dalam wawancara.

4. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga.

5. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang di luar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.

6. Melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya mengumpulkan daya yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.

Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data yang yang utama adalah observasi dan wawancara. Dalam praktiknya kedua metode tersebut dapat digunakan secara bersama-sama, artinya sambil wawancara juga melakukan observasi atau sebaliknya (Sugiyono, 2010: 239).

Dalam penelitian ini, observasi dibutuhkan untuk dapat memahami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi yang peneliti lakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara.

3.7 Penentuan Informan

Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Kendarso (Usman, 2009: 56) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga subjek yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Oleh karena itu, pada


(21)

penelitian kualitatif ini tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.

Orang-orang yang dapat dijadikan informan adalah orang yang memiliki pengalaman sesuai dengan masalah penelitian, orang-orang dengan peran tertentu dan tentu saja yang mudah diakses (Bogdan, 1992: 5). Informan merupakan orang yang dianggap menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian. adapun informan dalam penelitian ini adalah pasangan suami/istri yang berbeda kebangsaan.

Menurut Bungin (2010: 108) dalam wawancara mendalam peran informan tetap menjadi sentral, walaupun kadang informan berganti-ganti. Penentuan informan dilakukan secara snowball sampling. Teknik pengambilan informan secara snowball sampling akan berhenti jika data yang didapatkan sudah jenuh atau sudah tidak ada data yang dianggap baru lagi.

3.8 Keabsahan Data

Pendekatan penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif, maka dalam menganalisis data yang berhasil dikumpulkan, tidak digunakan uji statistik melainkan non statistik. Teknik pemeriksaan keabsahan data pada penelitian deskriptif kualitatif menurut Moleong (2007: 323) yaitu :

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Dalam penelitian, keikutsertaan peneliti sangat menentukan pada saat pengumpulan data. Moleong (2007: 318) berpendapat :

“Dengan perpanjangan keikutsertaan pada penelitian, dapat menguji ketidakbenaran informasi yang diperkenalkan oleh distorsi, baik berasal dari diri sendiri maupun dari informan dan membangun kepercayaan subjek. Perpanjangan keikutsertaan menurut peneliti dapat berupa tindakan untuk melihat ke lokasi secara berulang-ulang dan mengambil data-data yang dianggap penting serta memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data. Selain itu, perpanjangan keikutsertaan dapat dimaksudkan


(22)

untuk membangun kepercayaan pada subjek terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti itu sendiri”.

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya perpanjangan keikutsertaan peneliti sangat menentukan hasil pada saat pengumpulan data. Dengan adanya perpanjangan keikutsertaan, data yang diperoleh dan dikumpulkan setelah berulang kali ke lokasi penelitian dapat dipilih kembali dari gangguan atau distorsi yang dapat ditemukan dalam penelitian.

2. Triangulasi

Menurut Moleong dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif (2007), yang dimaksud dengan keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan harus memenuhi :

1. Mendemonstrasikan nilai yang benar

2. Menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan, dan

3. Memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya.

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menguji keabsahan data yang diperoleh adalahh menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksa keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2007: 330). Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda.

Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian kualitatif dapat mempertinggi validitas, memberi kedalaman hasil penelitian, serta sebagai pelengkap apabila data yang diperoleh masih ada kekurangan. Triangulasi diartikan sebagai teknik pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.

Wiersma (Sugiyono, 2010: 125) mendefinisikan triangulasi sebagai berikut : “triangulation is qualitative cross-validation. It assesses the sufficiency of the data according to the convergence of multiple data source of multiple data collection procedures”. (Triangulasi adalah validasi silang secara kualtitatif.


(23)

Triangulasi menilai kecukupan data berdasarkan keabsahan berbagai sumber data maupun prosedur pengumpulan data).

Sugiyono (2010: 241) mengatakan bahwa “teknik triangulasi berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama”. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.2 Teknik Triangulasi Sumber: Sugiyono, 2010: 240.

Triangulasi sebagai teknik pemeriksaan data pada penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2007: 330) dapat dilakukan dengan jalan sebagai berikut :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa

yang dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu tertentu.

4. Membandingkan keadaan atau perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang berkaitan.

Jadi, triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan. Dengan kata lain bahwa dengan triangulasi, peneliti dapan me- recheck temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, atau teori.


(24)

3.9 Teknik Analisis Data

Kriyantono (2010: 196), riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berpikir induktif, yaitu cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Dalam penelitian kualitatif, interpretasi data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara mendalam dilakukan di sepanjang penelitian.

Proses penelitian kualitatif akan melibatkan data verbal yang banyak dan harus ditranskripsikan, objek-objek, situasi ataupun peristiwa dengan aktor yang sama atau bahkan sama sekali berbeda. Ini menyebabkan data atau informasi dalam penelitian kualitatif yang diterima oleh peneliti belum siap dianalisis karena masih dalam bentuk yang kasar (Idrus 2009: 146).

Analisis data, menurut Patton dalam Moleong (2007: 334) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.

Dalam penelitian kualitatif, teknik analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data (Sugiyono, 2010: 293). Maka dari itu, dalam penelitian ini, peneliti melakukan teknik analisis data dan pengumpulan data secara bersamaan.

Dalam membahas tentang analisis data dalam penelitian kualitatif, para ahli memiliki pendapat yang berbeda. Penulis menggunakan model analisis Interaktif Huberman dan Miles. Huberman dan Miles (Idrus 2009: 146) mengajukan model analisis data yang disebutnya sebagai model interaktif. Model interaktif ini terdiri dari tiga hal utama yakni :

1. Reduksi data (data reduction). Reduksi data adalah proses menginterpretasikan data atau informasi yang didapat dari catatan lapangan/observasi serta hasil wawancara mendalam terhadap subjek penelitian atau informan

2. Penyajian data (data display). Fase kedua dari analisis data ini adalah menetukan bagaimana data yang sudah direduksi itu akan disajikan berdasarkan variabel komponen strategi komunikasi.


(25)

3. Penarikan kesimpulan (conclusion). Fase ketiga dari proses analisis data ini adalah penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan melihat kembali data yang sudah direduksi tersebut guna mempertimbangkan makna dari data yang sudah dianalisis dengan implikasinya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dalam perumusan masalah tersebut.

Gambar 3.3 Model Analisis Huberman dan Miles (Idrus, 2009: 147) Penggunaan teknik analisis deskriptif kualitatif seperti yang dijelaskan pada gambar sebelumnya, dimulai dari analisis berbagai data yang terhimpun dari suatu penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan penyajian data dan diikuti dengan pembentukan kesimpulan kategoris atau ciri-ciri umum tertentu. Dalam teknik analisis ini, tiga jenis kegiatan tersebut merupakan proses siklus dan interaktif. Dengan sendirinya, peneliti harus memiliki kesiapan untuk bergerak aktif di antara empat kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak diantara empat kegiatan yakni reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan selama penelitian. Dengan begitu, analisis data pada penelitian ini merupakan proses yang berulang dan berlanjut secara terus-menerus dan saling menyusul. Kegiatan keempatnya berlangsung selama dan setelah proses pengambilan data berlangsung. Kegiatan baru berhenti saat penulisan akhir penelitian telah siap dikerjakan.


(26)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Deskripsi Pelaksanaan Penelitian

Sebelum mendeskripsikan hasil penelitian, peneliti terlebih dahulu

menjelaskan dua tahap yang dilakukan peneliti saat melaksanakan penelitian hingga mendapatkan hasil penelitian. Adapun dua tahap yang dimaksud adalah sebagai berikut :

A. Tahap Awal

Penelitian yang mengangkat judul Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota Medan) yang dilakukan di tiga tempat yaitu di kecamatan Medan Kota, Medan Sunggal, dan Medan Johor yang diharapkan dapat mewakili kota Medan. Melalui teknik snowball sampling,peneliti melakukan pra penelitian terlebih dahulu pada informan kunci yaitu pasangan Wina Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda) yang beralamat di Jl. Brigjen Katamso Gg. Nasional no. 19, Medan Kota. Melalui pasangan tersebut, peneliti kemudian mendapatkan informan selanjutnya yang bertempat tinggal di kecamatan Medan Sunggal dan Medan Johor. Setelah mendapatkan ketiga informan, peneliti yakin untuk melakukan penelitian dengan judul Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota Medan).

Perkenalan peneliti dengan informan kunci yaitu pasangan Wina Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda) berawal dari percakapan peneliti dengan teman peneliti. Sebab, teman peneliti yang bernama Diana memiliki kakak sepupu yang menikah dengan pria berkebangsaan asing. Ketika Diana menyinggung tentang pernikahan kakak sepupunya tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam terutama tentang pola komunikasi antara pasangan yang berbeda kebangsaan dalam mendidik anaknya. Oleh karena


(27)

itu, Diana memperkenalkan kakak sepupunya yang bernama Wina Devianty Rambe (istri dari Yahya Suryono Setyowati yang berkebangsaan Belanda). Melalui percakapan peneliti dengan pasangan tersebut, peneliti akhirnya dikenalkan lagi dengan pasangan yang juga berbeda kebangsaan. Pasangan selanjutnya bernama Belinda Maharani dan Azhim Hoftijzer

yang bertempat tinggal di jalan, serta Atika Riama Siahaan dan Albert

Schoonhoven yang bertempat tinggal di jalan. Wina mengatakan bahwa Belinda dan Azhim, serta Atika dan Albert juga pasangan yang terbuka, sehingga dia menyarankan peneliti untuk menjadikan mereka informan jika peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pola komunikasi antara pasangan yang berbeda kebangsaan dalam mendidik anaknya. Mengetahui hal tersebut, akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian tentang Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota Medan) yang dilakukan di tiga tempat yaitu di kecamatan Medan Kota, Medan Sunggal, dan Medan Johor.

B. Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, peneliti lebih menitikberatkan pada observasi. Oleh karena itu, peneliti mulai membangun relasi yang baik dengan para informan melalui media sosial seperti blackberry messanger dan line. Tak jarang, peneliti mengunjungi informan kunci di tempat jualannya dengan alasan minum bandrek. Wina Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda) memiliki usaha bandrek yang terletak di simpang dekat rumah mereka. Melalui percakapan ringan, peneliti juga mendapatkan data-data terkait dengan peneletian. Meskipun masih ada kata-kata yang sulit dimengerti oleh Yahya Suryono Setyowati, pria berkebangsaan Belanda tersebut tak jenuh-jenuh menjawab segala pertanyaan peneliti. Bahkan, pasangan tersebut juga menceritakan kehidupannya berkeluarga selama di Belanda. Pasangan Belinda Maharani (Indonesia) dan Azhim Hoftijzer (Belanda) serta Atika Riama Siahaan (Indonesia) dan Albert Schoonhoven (Belanda) yang


(28)

merupakan teman dari pasangan Wina Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda) juga tak jarang dijumpai peneliti. Mengingat observasi adalah penting dalam penelitian ini, peneliti juga mengunjungi kediaman mereka hanya untuk melakukan percakapan ringan selama satu hingga satu setengah jam di waktu senggang mereka. Sebab, ketiga pasangan tersebut merupakan pasangan yang terbuka dan ramah, sehingga mereka tidak segan-segan mengajak peneliti untuk berkunjung ke tempat tinggalnya.

Lebih lanjut, peneliti menyadari bahwa wawancara secara tatap muka (face to face communication) dengan para informan juga membantu peneliti dalam mengamati para informan dalam mendidik anaknya. Peneliti mengamati bagaimana pola komunikasi pasangan yang berbeda kebangsaan saat mendidik anaknya. Oleh sebab itu, peneliti lebih memilih untuk mewawancarai informan secara tatap muka, meskipun harus menunggu waktu yang tepat dengan informan. Mengingat para informan juga memiliki rutinitas yang cukup padat.

Dalam mengawali wawancara, peneliti terlebih dahulu menunjukkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan. Daftar pertanyaan tersebut berasal dari pedoman wawancara dalam penelitian ini. Kemudian, peneliti menanyakan apakah mereka bersedia menggunakan nama asli, nama panggilan, nama samaran atau bahkan inisial. Tidak hanya itu, demi kenyamanan selama berlangsungnya wawancara, peneliti juga menanyakan kesediaan informan untuk direkam suaranya saat diwawancarai. Ternyata, dua dari tiga informan tidak bersedia suaranya direkam.

Mengingat keterbatasan peneliti yang tidak mampu mengingat semua hasil wawancara, maka peneliti juga menggunakan alat tulis untuk mencatat hasil wawancara jika informan tidak berkenan jika suaranya direkam. Kemudian, peneliti juga menanyakan hal-hal yang terkait dengan penelitian saat melakukan percakapan ringan dengan para informan. Oleh karena itu, sulit untuk merekam jawaban mereka karena percakapannya


(29)

mengalir apa adanya. Observasi dalam penelitian ini terhitung mulai dari tanggal 5 Januari 2016 sampai dengan 29 Maret 2016.

Adapun karakter dari tiga informan yang diteliti adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1

Karakteristik Informan

No. Nama Kebangsaan Umur Profesi Jumlah

Anak

1. Wina

Devianty Rambe

Indonesia 45 Tahun Ibu rumah tangga

4 orang anak Yahya

Suryono Setyowati

Belanda 48 Tahun wirausahawan

2. Belinda Maharani

Indonesia 29 tahun Ibu rumah

tangga 2 orang anak Azhim

Hoftijzer

Belanda 37 tahun Wiraswasta

3. Atika Riama Siahaan

Indonesia 33 tahun Wiraswasta 3 orang anak Albert

Schoonhoven

Belanda 39 tahun Wiraswasta

Sumber: (wawancara 5 Januari 2016 sampai dengan 29 Maret 2016.)

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan ditempat yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan kesepakatan yang terjadi antara peneliti dan informan. Dari tiga informan, dua informan memilih tempat tinggalnya sebagai tempat berlangsungnya wawancara. Satu informan lebih memilih tempatnya berjualan untuk melakukan proses wawancara, yaitu informan kunci pasangan Wina Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda). Mengingat waktu senggang pasangan tersebut hanya pada malam hari, sehingga peneliti


(30)

dapat menjumpainya saat mereka sedang berjualan bandrek di simpang jalan raya dekat tempat tinggalnya berada.

Dalam pemilihan tempat wawancara, peneliti menyerahkan penentuan tempatnya sesuai dengan keinginan informan. Dua informan yang memilih tempat tinggalnya sebagai tempat pertemuan peneliti dengan informan mengaku lebih nyaman di rumah sembari menjaga anak mereka. Wawancara yang berlangsung bukanlah hanya wawancara yang dilakukan peneliti berdasarkan pertanyaan yang ada pada pedoman wawancara. Peneliti merasa pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak cukup dalam mengumpulkan data sehingga peneliti juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan tujuan penelitian guna mendapatkan data yang lebih mendalam. Tak jarang peneliti menanyakan hal-hal yang terkait dengan tujuan penelitian saat melakukan percakapan ringan dengan para informan. Misal, ketika Dewi menceritakan tentang bagaimana awal mereka pindah ke Indonesia, peneliti menanyakan bagaimana Dewi dan suaminya menangani masalah anaknya ketika baru tiba di Indonesia. Anak-anaknya yang mengalami kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan baru. Mengingat pasangan tersebut membina keluarga di Belanda dan baru 2013 silam menginjakkan kaki ke Indonesia sejak menikah.

4.1.2 Hasil Temuan Peneliti

Pasangan 1

Nama Suami : Yahya Suryono Setyowati (Belanda) Nama Istri : Wina Devianty Rambe (Indonesia) Jumlah Anak : 4 orang anak

Pasangan Wina dan Yahya adalah pasangan yang menjadi informan pertama sekaligus informan kunci pada penelitian ini. Peneliti telah mengenal Wina dan Yahya sejak pra penelitian pada 2014 lalu. Pada saat itu, pasangan Wina dan Yahya mudah berkomunikasi dengan orang baru. Terlebih sang suami yang berkebangsaan negeri kincir angin tersebut, meskipun sudah tahun ketiga berada di Indonesia, Yahya masih mengalami kesulitan dalam mengatakan suatu hal


(31)

dengan bahasa Indonesia. Dia mengaku belum terlalu menguasai bahasa Indonesia. Untung saja Wina, perempuan berdarah mandailing ini sigap dalam menerjemahkan tiap kata yang sulit diucapkan oleh suaminya dalam bahasa Indonesia.

Wina adalah sosok ibu rumah tangga yang sabar. Selain mengurusi rumah tangga, keseharian ibu empat anak ini adalah meracik bandrek yang akan dijual suaminya. Wina termasuk cekatan dalam menanggapi keaktifan anak keempatnya yang saat ini menginjak usia 5 tahun. Naya, anak terakhir pasangan Wina dan Yahya kerap membuat ibunya kewalahan karena tingkahnya. Tak hanya itu, berhubung informan penelitian ini adalah pasangan suami istri, maka Wina harus datang bersama kedua anaknya ke simpang jalan raya dekat rumahnya, tempat suaminya berjualan bandrek. Sebab, kedua anaknya masih berada di bawah pengawasannya. Sedangkan anak pertama dan keduanya pergi les di malam hari.

Saat melakukan percakapan dengan pasangan suami istri tersebut, tak jarang Naya bahkan Adira, anak ketiga mereka yang juga turut meramaikan percakapan. Mereka aktif baik dalam tingkah laku maupun komunikasi, sehingga peneliti sering mendengar kata “niet doen” yang berasal dari bahasa Belanda yang artinya jangan. Jika dirasa tidak cukup, ayahnya menatap kedua anaknya tersebut dan meletakkan jari yang ditempelkan di bibir yang menandakan bahwa Naya dan Adira harus diam.

Ketika peneliti bertanya tentang perbedaan Belanda dan Indonesia, sang istri menjawab terlebih dahulu.

Belanda salah satu negara liberal ya, beda sama Indonesia yang masih memegang norma-norma masyarakat, jadi anak-anak masih terkontrol pergaulannya, tidak ada seks bebas”.

Kemudian, sang suami juga ikut menjelaskan.

Kalau Belanda individualisnya tinggi, bahkan antara orangtua dan anak juga tidak seintim di Indonesia. Anak-anak dididik untuk mandiri dan bertanggungjawab dengan dirinya sendiri, jadi kalau ada masalah ya diselesaikan sendiri”.

Mendengar penjelasan pasangan tersebut, peneliti bertanya bagaimana cara mereka mendidik anak. Istrinya langsung menjawab.


(32)

Kalau kita ya ikut sistem orang Indonesia ya, karenakan saya sebagai ibunya adalah orang Indonesia. Ya saya ajarin Indonesia”.

Suaminya, Yahya juga turut menimpali.

“Ya kita pakai cara orang Indonesia dalam mendidik anak”.

Saat peneliti mendengarkan jawaban spontan dari sang istri, peneliti bertanya apakah pemilihan cara mendidik anak ini memang ide bersama. Sang istri menjawabnya dengan tegas.

Sayakan ibunya, jadi saya mendidik pakai cara Indonesia. Kalau abang sih untungnya setuju-setuju aja. Penurut dia orangnya”.

Kemudian sang suami juga menjelaskan alasannya mengapa menyetujui dalam hal memilih cara orang Indonesia dalam mendidik anak.

Saya setuju aja demi kebaikan. Lagian kalau begitukan anak-anak lebih patuh dengan orangtua. Kalau di Belanda orangtua dengan anak sudah seperti teman, bahkan mereka ada yang memanggil orangtuanya dengan nama saja. Jadi kalau bapaknya John ya dipanggilnya John”.

Saat suami menjawab, istrinya juga langsung menjelaskan.

Kalau anak-anak ya diajarin agar manggil papa mama. Kemudian, mereka juga diajarkan untuk minta izin kemana-mana. Bahkan mereka juga tidak kami perbolehkan membawa teman lawan jenis ke rumah apalagi sampai masuk ke kamar tidur mereka. Begitu juga sebaliknya”.

Mendengar penjelasan sang istri, peneliti bertanya apakah sejak dari lahir anaknya sudah diajari memanggil kedua orangtuanya dengan sebutan papa mama , atau ada sebutan papa mama dalam bahasa Belanda. Istrinya langsung menjawab.

Papa mama kan dari bahasa Belanda. Kan kita tahunya papa mama karena kita dahulu itu dijajah sama Belanda. Jadi ya sejak lahir memang sudah

diajarkan untuk memanggil papa mama. Bukan nama kita”.

Kemudian, sang suami menambahkan penjelasan dari istrinya.

Kalau di Belanda, anak-anaknya jika ingin sesuatu ya harus kerja dulu, makanya disana ada pekerja part time dimana-mana. Jadi, sudah biasa kalau sampai pulang tengah malam karena bekerja part time”.


(33)

Penjelasan yang dituturkan oleh sang suami menimbulkan pertanyaan baru bagi peneliti, sehingga peneliti bertanya apakah anak-anaknya juga bekerja paruh waktu seperti halnya anak-anak Belanda pada umumnya.

Sejauh ini mereka tidak ada minta yang diluar dari kebutuhan. Jadi ya belum pernah kerja part time”, jelas sang suami.

Peneliti bertanya apakah mereka tidak ada mengadopsi cara orang Belanda dalam mendidik anaknya. Saat itu sang suami sedang membuat minuman bandrek untuk pembelinya, sehingga Weni, sang istri yang menjawabnya.

Ada kok. Seperti dalam pendidikan formal ya. Di Belanda itu ketika anak saya lahir dan pulang ke rumah, perawat datang secara intens ke rumah selama tiga bulan untuk memastikan kondisi kesehatan si bayi”.

Disela penjelasan sang istri, Yahya datang dan menyimak sejenak kemudian turut memberikan jawaban.

Pemerintah Belanda memang begitu. Bahkan setelah usia anak mencapai 2,5 tahun, orang pemerintahan datang ke rumah dan mengingatkan bahwa anak kita sudah bisa masuk sekolah”.

Kemudian istrinya juga menjawab.

Iya kalau disini sebutannya TK. Disana TK dan SD itu disatukan jadi 8 Group, setelah itu SMP dan SMA 6 Group. Kemudian, lanjut ke universitas atau akademik atau kejuruan. Kalau mau ambil gelar ya di Universitas, kalau mau jadi guru ya di akademik, tapi kalau kejuruan seperti SMK disini”.

Saat menjelaskan pendidikan formal yang diterapkan di Belanda, peneliti bertanya bagaimana dengan pendidikan di Indonesia, Medan khususnya. Kemudian, sang istri langsung menjawab dengan dahi dikerutkan.

Disini pendidikannya memang berbeda jauh ya dengan yang disana. Anak saya kan yang pertama sudah ditentukan pemerintah masuk ke universitas sejak tamat SD. Dia bisa 7 bahasa loh, jadi dia kecewa dengan pendidikan formal yang dia dapati di sekolah barunya disini”.

Mendengarkan jawaban Weni, peneliti bertanya bagaimana pemerintah Belanda dalam menentukan warganya untuk masuk ke Universitas. Weni langsung menjelaskan.


(34)

Sejak dari awal sekolah hingga tamat SD, pemerintah mengamati tiap anak-anak sekolah. Dari hasil pengamatan itulah dapat ditentukan apakah si A pantas masuk universitas, atau akademik, atau kejuruan. Tidak semua bisa masuk ke universitas, hanya sedikit saja”.

Kemudian, sang suami memberikan penambahan pada penjelasan istrinya. “Makanya kita dari awal sekolah anak-anak terus memantau setiap kegiatannya. Waktu belajarnya, bermainnya, kita kontrol. Kalau pendidikan formal kita pakai cara Belanda. Disiplinnya, bertanggungjawabnya, tapi kalau pergaulan bebasnya gak kita pakai”.

Peneliti bertanya kepada pasangan suami istri tersebut apakah anak-anak mereka tidak bertanya mengapa didikan orangtuanya dengan orangtua di Belanda pada umumnya berbeda, kemudian sang istri langsung menjawab.

Mereka paham karena untuk kebaikan, jadi ketika saya melarang mereka, misalnya bermain sampai larut malam, saya memberitahu alasan dan pergaulan bebas juga saya larang dengan menjelaskan ajaran Islam. Anak-anak dan abang kan islam ikut saya”.

Penjelasan dari Weni, memberikan pertanyaan baru bagi peneliti tentang agama yang dianut oleh sang suami dahulunya sebelum menikah dengannya.

Iya abang mualaf, sebelum menikah masuk agama Islam dulu, makanya anak-anak juga Islam. Si Adi itu, anak pertama saya tetap shalat walaupun lagi di sekolah. Di kelas dia shalat dikelilingi teman-temannya”.

Peneliti bertanya bagaimana awalnya mereka mendidik anak-anaknya untuk patuh pada ajarang agama Islam. Lagi, istrinya langsung menjawab.

Saya mengajarkan dasar-dasar agama Islam seperti berdo’a, mengaji, shalat sejak dari kecil, jadi mereka sudah terbiasa. Di Belanda kan banyak yang muslim tapi ya muslim Eropa. Orang Turki mayoritas muslim di sana”.

Peneliti bertanya apakah sang suami juga turut mendidik anak-anak mereka dalam hal religi. Sang istri lagi-lagi menjawabnya.

Kalau abang ya nurut-nurut aja, abang sebagai pendukungnya. Kalau udah waktunya shalat abang mengingatkan, abang juga shalat kok”.

Peneliti juga bertanya bagaimana cara mereka mendidik anak terkait dengan pakaian yang dipakai anak-anaknya, terutama untuk anak keduanya, Isra.


(35)

Menginjak usia belianya, ternyata anak perempuan dari pasangan Weni dan Yahya mengenakan pakaian yang lebih tertutup, tidak seperti anak seusianya yang tidak mempermasalahkan jika hanya memakai hot pant maupun pakaian you can see.

“Isra itu paham kok, pakaian seperti itu tidak cocok untuknya jadi dia kalau keluar rumah khususnya, pakai pakaian yang lebih tertutup, seperti jeans selutut, baju berlengan minimal”.

Saat ditanyai bagaimana sikap mereka sebagai orangtua jika anaknya diundang dalam acara-acara temannya seperti pesta di rumah temannya, atau di tempat umum. Weni langsung menjawabnya.

Lihat dulu acaranya dimana dan siapa yang mengundang, kalau di club malam gitu jelas saya larang. Tapi kalau di tempat makan dan temannya yang saya nilai baik ya saya ijinkan. Karena dalam batas yang wajar”.

Peneliti juga menanyakan hal yang sama dengan sang suami, dan menanyainya apakah pernah tidak setuju dengan sikap istrinya.

Saya ikut saja, saya yakin itu yang terbaik, karena kalau di club malam walaupun anak kita tidak melakukan hal-hal aneh tapi faktor lingkungannya kan mendukung, takut terpengaruh saja”.

Mendengarkan penjelasan Yahya, Weni turut menambahkan.

Kalau abang ikut aja itu hahaha. Walaupun begitu, kitakan sudah membekali anak-anak mana yang baik mana yang tidak, jadi mereka paham. Tapi yang namanya orangtua tetap aja khawatir”.

Peneliti juga bertanya bagaimana sikap Weni dan Yahya sebagai orangtua jika melihat anaknya dalam masalah. Kali ini Yahya angkat bicara.

Kita didik mereka untuk bertanggungjawab, jadi kalau ada masalah ya hadapi dan selesaikan sendiri. Kita hanya kasih nasehat-nasehat saja, selebihnya kita serahkan pada anaknya”.

Selanjutnya, Weni ikut menambahkan pernyataan dari suaminya.

Memang kita biarkan dia menyelesaikan masalahnya, tapi tetap kita kontrol. Kita tanya bagaimana masalahnya apa telah selesaikah, kita juga memberi saran-saran apa yang harus dilakukan si anak biar mempermudah”.


(36)

Mendengar penambahan dari sang istri, Yahya melanjutkan jawabannya tadi.

Iya kita kasih saran, ya kalau orangtua Belanda itu memperlakukan anaknya seperti teman, jadi kalau anak ada masalah ya dibiarkan dia menyelesaikannya sendiri, memang keras tapi mereka dididik untuk lebih mandiri dan bertanggungjawab”.

Lanjut, istrinya juga ikut menimpali.

Iya di Belanda gitu. Mereka menghargai privasi, jadi kalau kita punya masalah mereka tidak akan ikut campur, kecuali kita membagi masalah ke mereka, seperti curhat dan sebagainya”.

Lagi, Yahya juga menambahkan apa yang dikatakan oleh istrinya sebelumnya.

Benar, disana orangnya menghargai privasi. Mereka tidak akan datang ke tetangga kalau tidak buat janji terlebih dahulu”.

Istrinya ikut bicara.

Jadi kalau mereka lagi makan siang, kita datang ya kita disuruh tunggu atau pulang, baru buat janji karena makan siangnya dibuat pas, walaupun saudara sendiri”.

Yahya, sang suami turut memberikan pernyataan terkait topik yang tengah di bahas.

Disana individualis, sangat menghargai privasi. Makanya banyak yang bunuh diri. Anak saya si Isra sudah dua kali menyaksikan langsung orang bunuh diri. Ada yang jatuh dari balkon atas rumahnya dan jatuh tepat di depan Isra”.

Mendengarkan penjelasan sang suami, Weni mengangguk-anggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan suaminya, kemudian memberikan pernyataan.

Makanya kita tidak mau seperti itu, kita didik anak kita untuk tetap terbuka dengan kita agar mereka tidak memikirkannya sendirian. Bukan memanjakan mereka, tapi lebih ke sharing saja, tukar pikiran agar mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi sesuatu”.


(37)

Sebagai orangtua, kita hanya inginkan yang terbaik buat anak kita. Kita didik mereka untuk bertanggungjawab atas masalahnya, tapi kita juga turut campur tangan memberikan nasehat, saran, dan perhatian agar mereka kuat menghadapi masalah, baik di pergaulan maupun di akademik”.

Pasangan 2

Nama Suami : Azhim Hoftijzer (Belanda) Nama Istri : Belinda Maharani (Indonesia) Jumlah Anak : 2 orang anak

Belinda dan Azhim adalah pasangan kedua yang diwawancarai oleh peneliti. Meskipun terbilang baru, peneliti dapat mengakrabkan diri dengan pasangan Belinda dan Azhim. Sebagai pasangan berbeda kebangsaan, Belinda dan Azhim memiliki berbagai kesamaan, baik dalam hal hobi maupun makanan.

Ketika dijumpai di kediamannya, Belinda menyambut ramah dan menyuguhkan hidangan bagi peneliti. Kami melakukan percakapan ringan sembari menunggu sang suami pulang kerja. Ini merupakan kali pertama peneliti bertemu dengan Belinda dan Azhim. Namun, peneliti berdecak kagum karena Belinda dan Azhim tak kalah ramahnya dengan pasangan sebelumnya. Memang peneliti dan pasangan tersebut sudah menjalin komunikasi melalui media sosial terlebih dahulu. Namun, tak begitu intens karena peneliti juga tidak ingin pasangan Belinda dan Azhim merasa terganggu dengannya.

Belinda merupakan perempuan berdarah Tionghoa. Meskipun demikian, aksen bicaranya tidak seperti orang Tionghoa pada umumnya. Memang Belinda dibesarkan di kota kembang Indonesia dengan lingkungan yang mayoritas Sunda. Tak heran jika bicaranya lemah lembut.

Sang suami, Azhim yang merupakan warga negara Belanda merupakan pria yang ramah dan pribadi yang santun. Setelah beberapa kali peneliti datang ke tempat tinggal pasangan tersebut, Azhim tidak sungkan-sungkan memberikan oleh-oleh yang dibawanya dari luar kota saat sedang melakukan perjalanan bisnis. Ternyata, Belinda yang mengingatkan sang suami untuk membelikan peneliti


(38)

oleh-oleh saat itu. Mendengarnya, peneliti sungguh terharu dan tak henti-hentinya kagum dengan pasangan tersebut.

Dikaruniai anak kembar, pasangan Belinda dan Azhim mengaku sudah merasa cukup dengan jumlah anak. Mereka khawatir jika lebih banyak anak maka mereka tidak maksimal dalam mendidik anaknya. Jake adalah anak pertama, sedangkan Jane, kembarannya adalah anak kedua dari pasangan Belinda dan Azhim. Awalnya peneliti berpikir bahwa pemberian nama pada anak-anak mereka berasal dari sang suami yang berketurunan Belanda, Amerika. Tapi, setelah beberapa kali melakukan percakapan dengan pasangan tersebut, ternyata asal nama Jake dan Jane adalah dari sang istri sendiri, yang berketurunan Sunda Tionghoa. Belinda mengaku cuma suka saja dengan nama tersebut, seperti karakter Jake and Jill dalam film fantasi anak-anak.

Menginjak usia ke sembilan tahun, anak-anak mereka tumbuh seperti anak Indonesia pada umumnya. Bedanya, anak-anaknya mengerti bahasa Belanda dan juga bahasa Inggris, sama seperti pasangan sebelumnya. Hanya saja, anak dari pasangan Belinda dan Azhim belum fasih dalam pengucapannya.

Memang kita ajarin anak-anak dari bayi pakai bahasa Belanda dan Inggris. Apalagi, jika ke tempat tinggal Papa nya, penggunaan bahasa Indonesianya minim”, jelas Belinda.

Pasangan tersebut memang menikah di Belanda dan sempat menetap di Belanda selama 2 tahun. Namun, pada pertengahan tahun kedua, keluarga Belinda memintanya untuk kembali ke tanah air dengan alasan rindu.

Saya dari kuliah sampai menikahkan di Belanda, terus papa mama merasa kehilangan anak semata wayangnya jadi disuruh pulang hahaha”, ujar Belinda.

Setelah satu bulan lebih di Bandung, ternyata Belinda hamil. Ya rezekinya di Indonesia makanya kita netap disini aja”, jelas Azhim.

Awalnya saya mikir wah keren nih anak-anak saya bakalan kayak bule beneran”, ujar Belinda sambil tersenyum.

Mendengarkan hal tersebut, peneliti bertanya apakah Belinda senang jika anaknya dididik gaya orang Belanda.


(39)

Saya sih senang-senang aja tapikan anak-anak besarnya di Indonesia ya jadinya pakai gaya orang Indonesia”.

Kemudian peneliti menanyakan tanggapan Azhim sebagai orangtua terkait pertanyaan sebelumnya.

“Saya mana baiknya aja, yang penting keluarga saya bahagia”.

Ketika peneliti bertanya bagaimana sikap pasangan Belinda dan Azhim dalam memperkenalkan anak-anaknya dengan hal baru, Belinda langsung memberikan penjelasan.

Anak saya yang kedua itu banyak tanyanya. Kalau yang laki-laki kalem, kayak papanya. Jadi sama Jane harus jelas memberitahunya. Misalnya saat melihat saya mengupas bawang, dia bertanya kenapa harus dikupas, kenapa tidak dibiarkan saja, jujur saya sering kesusahan menjawabnya”.

Mendengar kejujuran sang istri, Azhim memberikan penambahan.

Makanya Belinda jadi suka searching di internet tentang hal-hal sepele, karena anak-anak seperti itu harus dijelaskan dengan benar, takutnya kalau kita

jawab ngasal berdampak di kedepannya”.

Kemudian, Belinda juga turut menimpali.

Benar, bahkan Jane pernah tanya apa artinya sodom. Saya kaget dan saya tanya dari mana tahunya, ternyata papanya kan kalau pagi sebelum kerja nonton berita, Jane masuk kamar dan mendengar”.

Mendengar jawaban Belinda, peneliti bertanya apakah anak-anaknya tidur di kamar sendiri. Belinda langsung menjawab.

Iya, dari umur 4 tahun kita udah pisah kamar. Tapi saat itu, Jake dan Jane masih sekamar. Kemudian, setelah 7 tahun mereka sudah masing-masing”.

Kemudian peneliti bertanya apa alasan mereka membiarkan anak-anaknya tidur di kamar masing-masing. Kali ini Belinda lagi yang menjawab.

Saya mau mendidik anak-anak lebih mandiri aja, jadi dari kecil saya udah ajak anak-anak untuk merapikan kamarnya sendiri, walaupun sampai sekarang belum pernah bener rapinya”.

Peneliti bertanya apa tanggapan Azhim terkait hal tersebut. Kemudian Azhim menjawab sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.


(40)

Saya dulu juga begitu. Jadi saya rasa itu tidak masalah dan saya dukung istri”.

Mendengar jawaban sang suami, Belinda menambahkan penjelesannya. “Saya dulu tidak begitu, saya takut tidur sendirian karena sampe SD saya tidur dengan orangtua, makanya saya didik anak-anak begini biar tidak takut juga”.

Kemudian, Belinda juga menjelaskan hal yang dilakukannya saat menidurkan anak-anaknya.

“Sebelum tidur, papanya suka bacain cerita untuk mereka, tapi lebih ke cerita yang inspiratif dan memiliki pesan moral. Jadi, tidak melulu baca buku-buku dongeng, kadang papanya bacain dari hape”.

Jawaban Belinda memberikan pertanyaan baru bagi peneliti sehingga peneliti bertanya tentang penggunaan barang elektronik untuk anak-anaknya.

Kita kasih mereka hape, tapi hape untuk bermain saja, tidak sampai memiliki akun media sosial. Karena kita menghubungi mereka via sms atau phone call”.

Penjelasan Belinda tersebut membuat Azhim turut menambahkan penjelasan istrinya.

Kita juga tidak ingin mereka gaptek, jadi kita berikan hape yang tidak mahal, tapi berfasilitas sesuai dengan anak seusianya”.

Peneliti bertanya bagaimana yang dimaksudkan Azhim dengan fasilitas handphone yang sesuai dengan anak-anaknya.

Maksudnya seperti game berhitung, mewarnai, tebak gambar dengan bahasa Inggris tapi offline”.

Selanjutnya, Belinda juga menambahkan pernyataan suaminya, Azhim. “Kita tidak berikan paket internet biar anak-anak tidak browsing. Jadi semua game offline. Ada juga game tebak lagu daerah dan game lagu anak-anak Belanda, Jane suka itu”.

Pasangan Belinda dan Azhim saling memberikan penjelasan. Kini Azhim juga memberikan kelanjutan dari penjelasan sang istri.

Kalau browsing takut yang aneh-aneh. Apalagi Jane yang tingkat curiousity nya tinggi”.


(41)

Kali ini giliran Belinda yang menimpali penjelasan Azhim.

Tapi kita beritahu kalau internet hanya pantas digunakan saat mereka telah SMP nanti. Walaupun gitu, kita juga sering browsing di depan mereka, menunjukkan pengetahuan-pengetahun baru, bahkan mereka yang pegang hape kita tapi dalam pengawasan kita, jadi mereka tahu dan tidak mati penasaran”.

Pasangan Belinda dan Azhim mengaku pendidikan seks sejak dini juga wajib diberitahu kepada anak-anaknya agar mereka memahaminya walau tidak begitu mendalam. Berikut penuturan Belinda.

Saya pernah bawa anak-anak ke seminar di Bandung pas tahun lalu tentang pendidikan seks usia dini, disana dijelasin pengetahuan tentang seks dan dampaknya jika dilakukan di usia dini. Kemudian, bagaimana sikap orangtua dalam menanganinya”.

Aspek pengetahuan seks sejak dini dirasa penting oleh Belinda, dia mengaku bahwa anak-anaknya perlu tahu dan dia serta suaminya harus tau bagaimana menyikapinya sebagai orangtua.

Sekarang kan lagi musim pedofil itu ya, saya takut saja anak saya jadi korbannya, jadi saya ingatin bagaimana harus bersikap kalau ada orang dewasa yang memperlakukan mereka sedemikian rupa”, ujar Belinda.

Belinda mengaku tidak rela jika anak-anaknya menjadi korban, sehingga dia sudah memberikan anak-anaknya pengetahuan tentang hal tersebut terlebih dahulu. Peneliti bertanya bagaimana cara Belinda dalam memberi tahu anak-anaknya terkait masalah tersebut.

Saya jelaskan bahwa perilaku orang dewasa yang ingin melakukan kontak fisik lebih dari sewajarnya itu tidak baik, apalagi jika sampai ke alat vital, mereka harus menghindarinya, lapor ke guru, ke mama papa.”

Belinda menyadari bahwa memberitahu anak-anaknya tentang hal tersebut tidaklah gampang, tetapi Belinda selalu berusaha mengingatkan anak-anaknya tentang hal tersebut.

Bukan terlalu over protected, tapi saya tidak mau kalau masa depan anak saya terganggu dengan hal-hal demikian. Makanya saya suruh anak-anak cerita tentang apa saja ke saya tiap hari, jadi saya tahu perkembangan mereka.”


(42)

Mendengar penjelasan istrinya, Azhim menambahkan penjelasan sang istri.

Kita hanya ingin yang terbaik, hal sekecil apapun tetap kita dengarkan dari anak-anak, apalagi masalah mereka. Meskipun masih anak-anak, kita juga menyikapi masalah anak-anak baik dengan dirinya maupun lingkungannya dengan serius.”

Kemudian, sang istri, Belinda menimpali penjelasan suaminya.

Kita dengar masalahnya, kasih saran. Misalnya saat Jake tidak ingin sekolah karena temannya suka jahil, kita sarani agar dia menghadapi masalah bukan menghindar.”

Selanjutnya Azhim menambahkan penjelasan istrinya.

Dia harus berani menghadapi temannya, kalau temannya salah beritahu ke guru, kalau guru tidak ada lawan tapi tanpa kekerasan maupun makian.”

Setelah mendengarkan suaminya, Belinda melanjutkan penjelasan suaminya tersebut.

Jake bilang jangan jahilin Jake kalau mau lawan jake di ujian harian, ternyata nilai Jake lebih bagus, jadi Jake tidak diganggu lagi.”

Belinda tidak ingin anak-anaknya merasa sendirian dalam menghadapi masalah-masalahnya. Tapi, Belinda juga tidak ingin ikut campur terlalu dalam, hanya sebatas memberikan saran.

Kalau masalahnya serius ya mau tidak mau kami harus turun tangan. Tapi sejauh ini belum ada alhamdulillah”, tegas Belinda.

Mendengarkan penjelasan Belinda, peneliti bertanya apakah Azhim pernah tidak setuju dengan sikap yang diambil oleh istrinya terkait dalam mendidik anak-anaknya. Kemudian, Azhim menjawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tidak pernah ya, saya dukung istri saja karena saya tahu istri pasti melakukan yang terbaik buat anak-anak”.

Selanjutnya, Belinda menambahkan penjelasan oleh sang suami.

Kalau papanya setuju-setuju aja, lihat tuh ngangguk-ngangguk aja. Saya bilang pa begini, iya, pa begitu, iya hahaha senangnya punya suami baik begini.”


(43)

Kemudian, peneliti bertanya apakah ada keinginan Azhim untuk mendidik anak-anaknya mengikuti gaya negara asalnya, Belanda. Azhim menjawabnya.

Saya rasa itu tidak perlu dipermasalahkan, yang penting caranya benar dan kasih sayang yang cukup dari kita bisa mendidik anak-anak dengan baik, itu kuncinya”.

Setelah itu, peneliti bertanya apakah Azhim pernah merasa bingung saat sang istri mendidik anak-anaknya dengan gaya orang Indonesia, misalnya tidak memanggil nama kepada kedua orangtua seperti halnya yang dilakukan orang Barat pada umumnya. Lalu Azhim menjawabnya.

Awalnya saya cuma bingung dengan ritual saat Belinda hamil dan setelah kelahiran anak-anak. Tapi dengan caranya mengajarkan anak-anak berbicara, bertingkah laku ya hampir sama dengan saya lihat di Belanda, beda beda sedikit saja”.

Lebih lanjut, peneliti bertanya bagaimana perbedaan antara cara mendidik anak di Belanda dengan cara mendidik anak di Indonesia, kemudian Azhim menjawabanya.

Bedanya kalau di Belanda individualisme nya tinggi, saya dari kecil dibebaskan dalam bergaul dan bertingkah laku, tapi bebas dengan bertanggungjawab, jadi kalau ada masalah ya selesaikan sendiri”.

Mendengar jawaban Azhim, peneliti kembali bertanya apakah Azhim juga menerapkan caranya dahulu dididik kepada kedua anaknya. Kemudian, Azhim menjawab.

Memang saya tidak memanjakan mereka, tapi saya juga tidak serta merta melepaskan mereka bebas, tetap kita kontrol, seperti yang saya bilang, saya setuju aja dengan istri, belum saatnya si kembar dibebaskan pakai internet ya saya setuju aja”.

Tak hanya itu, pasangan Belinda dan Azhim juga membekali anak-anaknya dengan disiplin. Hal ini terbukti dari paparan sang istri, Belinda.

Kita didik anak disiplin. Paling lama setengah 6 sudah bangun, saya datangi kamarnya dan membantunya merapikan kamar. Terus kita lakukan streching sebentar sama anak-anak, papanya juga ikut”.


(44)

Kalau weekend kita tidak paksakan si kembar bangun subuh, tapi Jane sudah terbiasa bangun subuh jadi tetap bangun terus nyalain televisi nonton kartun”.

Ketika ditanyai cara mereka dalam mendidik anak-anaknya belajar di akademik, Belinda menjawabnya.

Kita udah lama memperkenalkan berhitung, alfabet. Kalau siang saya kasih mereka alat tulis dengan buku untuk meniru tulisan, tapi kalau Jane suka menggambar jadi harus ada crayon”.

Pasangan 3

Nama Suami : Albert Schoonhoven (Belanda) Nama Istri : Atika Arisma Siahaan Indonesia) Jumlah Anak : 3 orang anak

Atika dan Albert adalah pasangan ketiga yang menjadi informan peneliti. Awalnya, peneliti mengaku kesulitan untuk menjalin komunikasi dengan Atika dan Albert karena mereka berdua adalah pekerja keras. Terlebih, jadwal sang suami Albert, yang sering berpergian baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sehingga peneliti mengalami kesulitan dalam mengatur jadwal wawancara.

Awalnya peneliti ingin mengganti informan karena alasan tidak menemukan waktu yang tepat untuk mewawancarai pasangan Atika dan Albert. Ditambah dengan fakta bahwa informan dari penelitian ini bukanlah sang istri saja ataupun sang suami saja, melainkan keduanya, sehingga peneliti mencari pasangan berbeda kebangsaan yang lainnya. Tetapi, ketika peneliti bertanya kepada informan kunci yaitu, pasangan Wina Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda), Yahya mengaku akrab dengan Albert, dan bisa membantu peneliti untuk mengatur waktu wawancara dengan pasangan Atika dan Albert.

Ternyata peneliti dapat bertemu dengan pasangan Atika dan Albert atas bantuan Yahya di kediaman Atika dan Albert pada hari Sabtu 19 Maret 2016, peneliti mendapat sambutan hangat. Ketika ditemui, Atika dan Albert memperkenalkan ketiga anaknya yang sedang berkumpul. Alvino, anak pertama


(45)

pasangan Atika dan Albert yang berusia 19 tahun. Kemudian adiknya, Tsania yang menginjak usia 14 tahun, serta anak terakhirnya, Geavina yang berusia 13 tahun.

Dikaruniai ketiga anak, Atika dan Albert mengaku kesulitan, terlebih dalam mendidik anak-anaknya. Alvino dahulu memiliki pribadi yang cenderung introvert, sehingga sulit dalam mengetahui perkembangan anak sulung mereka.

Kita sempat mikir cuma dikaruniai satu anak, jadi kita melakukan berbagai cara biar Al bisa tumbuh seperti teman-temannya, tidak melulu di kamar saja”, keluh Atika.

Kemudian, Albert menambahkan pernyataan istrinya.

Al memang pendiam dulu, sampai kita pakai jasa psikolog agar mengatasi pendiamnya itu”.

Selanjutnya, Atika turut menimpali.

Waktu PAUD maupun TK Al juga pendiam, kalau lagi bermain dia duduk di pojokan sendirian mainnya, saya khawatir. Kita sering bawa Al rekreasi, mengajaknya berbicara ringan dengan candaan terus saya suka cerita yang sepele biar dia juga ikut cerita kesehariannya walau sekecil apapun”.

Albert, sang suami menambahkan penjelasan istrinya.

Kita tidak melulu menanyainya, karena kita tidak ingin dia merasa tertekan dengan pertanyaan kita, tapi kita justru cerita biar dia ikut cerita”.

Lebih lanjut, Atika ikut memberikan penambahan terhadap penjelasan sang suami, Albert.

Kita juga mendekatkan dirinya dengan temannya, biar teman-temannya juga mengajaknya bermain kalau Al lagi asik dengan kesendiriannya”.

Mendengarkan penjelasan pasangan Atika dan Albert, peneliti bertanya bagaimana mengatasi masalah Alvino, anak pertamanya. Kemudian, Atika menjawabnya.

Pada usianya 4 tahun, saya mengandung Tsania, sejak itu dia sering bertanya dengan kami tentang kandungan saya, calon adiknya seperti apa dll, jadi lebih banyak cakap”.


(46)

Sejak Tsania ada, Al jadi lebih terbuka dan sudah terbiasa membaur dengan teman-temannya, suka cerita apalagi ketika Tsania baru empat bulan, mamanya hamil Gea, yaudah makin rame”.

Ketika ditanyai tentang cara mendidik anak, Atika dan Albert mengaku terbiasa menggunakan cara orang Indonesia mendidik anak karena mereka menikah dan berkeluarga di Indonesia.

Kita kenal saat Albert bertugas di Indonesia, kebetulan kantornya dekat dengan saya di Jakarta dulu. Jadi sejak itu kita dekat dan memutuskan menikah, awalnya saya bimbang karena saya tidak terbiasa hidup di negeri orang, jadi Albert yang mengalah”, ujar Atika.

Setelah itu, Albert ikut memberikan pernyataan.

Saya tidak mempermasalahkannya, bahkan ketika saya tahu papa dan mama Atika meminta balik ke Medan, saya setuju saja”.

Peneliti bertanya bagaimana cara orang Belanda mendidik anaknya. Kemudian, Albert menjawabnya dengan santai.

Sama saja ya, tapi di Belanda anaknya bebas, individual. Privasi sangat dihargai disana, saking tidak ingin ikut campur dengan privasi orang lain, ada yang tidak tahu bahwa tetangganya telah seminggu meninggal di kamarnya”.

Kemudian, peneliti bertanya bagaimana hal yang diceritakan Albert terjadi. Albert menjawabnya.

Karena individualismenya tinggi, saat tetangganya berantam, mereka tidak ingin ikut campur. Jadi saat itu, tetangganya teman saya tidak keluar kamar selama seminggu sampai tercium bau busuk baru panggil polisi”.

Selanjutnya, peneliti bertanya apakah Albert juga menghargai privasi anak-anaknya seperti halnya di Belanda. Albert menjawabnya.

Kita menghargai, tapi kita tetap kontrol anak. Seperti Al yang pendiam, awalnya saya tidak permasalahkan sampai sang istri sering membahas sikap Al, dan saya setuju saja ketika Atika membawa Al ke psikolog anak”.

Mendengar penjelasan sang suami, Atika memberikan penjelasan.

Sayakan ingin yang terbaik buat anak. Kalau papanya setuju-setuju saja. Apalagi saat saya larang anak-anak pulang diatas jam 10 malam, awalnya papanya tidak mempermasalahkan, tapi setelah saya tegaskan papanya setuju”.


(1)

ABSTRACT

The title of this study is "Interpersonal Communication Patternin On Couple of Different Nationalities (Descriptive Study On couple of Different Nationalities of Medan in Educating Children). The purpose of this study was to determine the pattern of interpersonal communication From the analysis we concluded that a couple different nationalities in the city of Medan in educating children. There are four patterns of communication between husband and wife, according to Joseph A. DeVito ie balance pattern, the pattern reversed the balance, separation pattern is not balanced, and the pattern of monopoly. This study uses a descriptive study, the research directed to provide symptoms, facts, or events in a systematic and accurate and analyzed based on the data obtained. Informants in this study were 3 couples were selected by snowball sampling that they are Yahya and Wina, Belinda and Azhim, Atika and Albert. The techniques of data collection by using in-depth interviews and observation. Data were analyzed using analysis model Interactive Huberman and Miles, namely data reduction, data presentation, and conclusion. From the analysis we concluded that three couples are using the Indonesian way of educating children. Wina, Belinda, and Atika confessed that their husbands agree to implementing it and their husbands are not complain to use the Indonesian way in educating their children. Wina claimed that Yahya submissive husband. Atika decision prohibiting their children return above 10 pm can not be challenged by Albert, although Albert said he did not mind if there is a good reason. Belindastill bring their son, Alvino who tend to be introverted to a child psychologist, although initially unnoticed by Azhim. Therefore, the three couples have communication patterns separator pattern is unbalanced because their wifes are more dominant in educating their children.

Keywords : Interpersonal Communication , Communication Pattern,

Communication Pattern between husband and wife, Educating Children


(2)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN... ... i

LEMBAR PENGESAHAN... ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS... ... iii

KATA PENGANTAR... ... iv

ABSTRAK... ... vi

DAFTAR ISI... .. viii

DAFTAR GAMBAR... ... x

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian ... 9

2.2 Komunikasi Antarbudaya... 9

2.3 Komunikasi Antarpribadi ... 13

2.4 Pola Komunikasi ... 18

2.5 Pasangan Suami Istri ... 20

2.6 Perkawinan Antarbudaya ... 21

2.7 Mendidik Anak... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Metode Penelitian... 27

3.2 Lokasi Penelitian ... 29

3.3 Objek Penelitian ... 29


(3)

3.5 Kerangka Analisis ... 29

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.7 Penentuan Informan ... 30

3.8 Keabsahan Data ... 33

3.9 Teknik Analisis Data ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Hasil... ... 38

4.1.1 Deskripsi Hasil Penelitian ... 38

4.1.2 Hasil Temuan Peneliti ... 42

4.2 Pembahasan... ... 59

4.3 Penyajian Data Penelitian... ... 71

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 78

5.1 Simpulan... ... 78

5.2 Saran... ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Model Komunikasi Antarbudaya 12

3.1 Kerangka Analisis 30

3.2 Teknik Triangulasi 35


(5)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Karakteristik Informan 41


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

- Pedoman Wawancara Pola Komunikasi Pasangan Berbeda Kebangsaan

- Hasil Wawancara - Biodata Peneliti