Sintesis dan Karakterisasi Mesopori Silika dari Sekam Padi Dengan Metode Kalsinasi

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sekam Padi
Sekam padi adalah bagian terluar dari bulir padi yang merupakan hasil sampingan
saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar lima belas persen dari komposisi
sekam padi merupakan abu sekam (Harsono,2002). Sekam padi dapat mencapai
20% dari 649,7 juta ton beras yang diproduksi setiap tahunnya. Komposisi kimia
dari sekam padi sangat bervariasi dari tiap sampel karena perbedaan jenis padi,
iklim dan kondisi geografis.
Tabel 2.1. Komposisi kimia dari abu sekam padi
Komposisi Oksida (% massa)
Abu Sekam Padi
SiO2

88,32

Al2O3

0,46


Fe2O3

0,67

CaO

0,67

MgO

0,44

Na2O3

0,12

K2O

2,91


(Habeeb, 2009)
Abu sekam padi sangat kaya akan silika amorf karena dapat mencapai
88,32% (Habeeb,2009). Tanaman padi banyak mengandung silika amorf karena
secara alami tanaman ini menyerap dan mengangkut silikon dalam bentuk asam
silikat pada epidermis tanaman padi (Singh, 1978).

Universitas Sumatera Utara

Tingginya kadar silika dalam abu sekam padi, ini memungkinkan untuk
memisahkannya dengan cara ekstraksi pada temperatur rendah dan energi yang
kecil (Thuadaij, 2008). Proses pengarangan sekam padi juga mempengaruhi silika
yang diperoleh, dimana semakin tinggi temperatur pada proses pengarangan
sekam dalam oven maka akan diperoleh kemurnian SiO2 yang makin tinggi
(Hwang, 2002).
Pencucian awal sekam padi dengan larutan HCl, HNO3, H2SO4, NaOH
dan NH4OH sambil dididihkan, sebelum perlakuan termal dengan suhu berkisar
500 sampai 14000C dengan berbagai interval waktu, terbukti efektif dalam
menghilangkan sebagian besar kotoran logam dan menghasilkan abu silika yang
benar-benar putih (Della, 2002).
2.2 Silika (SiO2)

Silika (Silicon Dioxide) merupakan senyawa kimia dengan rumus molekul SiO2
yang dapat diperoleh dari silika mineral dan sintesis kristal. Mineral silika adalah
senyawa yang banyak mengandung SiO2 yang ditemukan dalam bahan tambang
dan bahan galian yang berupa mineral seperti pasir kuarsa, granit, dan fledsfar
(Kalapathy, 1999).
Selain terbentuk secara alami, silika juga dapat diperoleh dengan cara
memanaskan pasir kuarsa pada suhu 870oC sehingga terbentuk silika dengan
struktur tridimit , dan bila pemanasan dilakukan pada suhu 1470oC dapat
diperoleh silika dengan struktur kristobalit. Silika dapat dibentuk dengan
mereaksikan silikon dengan oksigen atau udara pada suhu tinggi (Iler, 1979).
Silika merupakan senyawa biner yang paling umum dari silikon dan
oksigen yang merupakan dua elemen paling banyak tersedia di bumi yaitu sekitar
60% dari kerak bumi. Silika tersedia melimpah di bumi berupa senyawa murni
maupun terikat pada oksida membentuk silikat. Dalam variasi bentuk amorphous,
silika sering digunakan sebagai desiccant, adsorben, filler, dan komponen katalis.
Silika merupakan bahan baku utama pada industri glass, keramik, dan industri
refraktori dan bahan baku yang penting untuk produksi larutan silikat, silikon dan
alloy (Kirk-Othmer, 1967)
Silika ditemukan sedikitnya dalam dua belas bentuk yang berbeda. Bentuk
kristal silika yang umum yakni quartz, trydimit, cristobalit, sedangkan bentuk

silika amorf berupa endapan silika, silika gel, koloidal sol silika dan silika
pyrogenik. Silika amorf sangat berperan penting pada berbagai bidang seperti
digunakan sebagai adsorben dan untuk sintesis ultrafiltrasi membran, katalis,
support material, dan bidang permukaan yang aplikasinya berhubungan dengan
porositas (Rouqe-Malherbe, 2007).
Ketiga bentuk umum dari kristal silika tersebut ditinjau berdasarkan
kestabilannya terhadap kenaikan suhu tinggi (McColm, 1983), yaitu:
a. quartz, sampai pada suhu 870oC
b. trydimit, pada suhu 870oC sampai 1470oC

Universitas Sumatera Utara

c. cristobalit, pada suhu 1470oC sampai 1730oC
Masing-masing dari ketiga bentuk diatas memiliki perubahan pada suhu
tinggi dan rendah dimana strukturnya hanya sedikit berubah oleh perubahan yang
sederhana pada orientasi dari SiO4 yang relatif tetrahedral satu sama lain.
Perubahan bentuk pada suhu tinggi memiliki simetri yang lebih tinggi atau
memiliki unit sel yang lebih kecil daripada perubahan bentuk pada suhu yang
rendah (McColm, 1983).
Perubahan bentuk


Perubahan bentuk

867oC
Kuarsa
tinggi

1470oC
Tridimit
tinggi

Perubahan
struktur
573oC

Kuarsa
rendah

Perubahan
struktur

160oC

Tridimit
sedang

Kristobalit
tinggi
Perubahan
struktur
200-270oC

Kistobalit
rendah

Perubahan
struktur
160oC

Tridimit
rendah


Gambar 2.1. Perubahan Polimorf dari silika (Barsoum,1997)
2.2.1 Sifat Fisika dan Kimia Silika
2.2.1.1 Sifat Fisika Silika
Silika dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 gr/cm3 dengan
modulus elastisitas sebesar 10 x 106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan
oksigen (O) pada silika jenis ini, adalah 46,7 persen dan 53,3 persen. Nilai
kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan
indentor intan (metode vickers atau knoop) sebesar 710 kg/mm2 sedangkan pada
arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya mencapai
790 kg/mm2 (Mantell, 1958).

Universitas Sumatera Utara

2.2.1.2 Sifat Kimia Silika
Senyawa silika mempunyai berbagai sifat kimia antara lain sebagai berikut:
2.2.1.2.1 Reaksi dengan Asam
Silika relatif tidak reaktif terhadap asam kecuali asam hidrofluorida seperti reaksi
berikut.


SiF4(aq) + 2H2O(l)

SiO2(s) + 4HF(aq)

Dalam asam hidrofluorida berlebih reaksinya menjadi:

H2[SiF6](aq) + 2H2O(l)

SiO2(s) + 6HF(aq)

(Basset,J. 1989)

2.2.1.2.2 Reaksi dengan Basa
Silika dapat bereaksi dengan basa, terutama dengan basa kuat, seperti dengan
hidroksida alkali.

Na2SiO3(aq) + H2O(l)

SiO2(s) + 2NaOH(aq)


(Basset, J. 1989)

Secara komersial, silika dibuat dengan mencampurkan larutan natrium
silikat dengan suatu asam mineral. Reaksi ini menghasilkan suatu dispersi peka
yang akhirnya memisahkan partikel dari silika terhidra, yang dikenal dengan
silika hydrosol atau asam silikat yang kemudian dikeringkan pada suhu 110oC
agar terbentuk silika gel. Reaksi yang terjadi :

Na2SiO3(aq) + 2HCl(aq)
H2SiO3(s)

SiO2.H2O(s)

H2SiO3(l) + NaCl(aq)
(Bakri, R. 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.3 Luas Permukaan dan Porositas
Luas permukaan dan porositas merupakan karakteristik yang sangat penting pada

berbagai material. Penentuan dari isoterm adsorpsi dan desorpsi merupakan
variabel yang sangat penting untuk menentukan struktur pori dan metode BET
digunakan untuk menentukan total luas permukaan (Brown, 2003).
Suatu padatan dapat dikatakan sebagai berpori apabila memiliki pori-pori
berupa lubang, terusan (chanel) atau celah yang lebih dalam dari luasnya. Poripori memiliki tipe yang berbeda dan diklasifikasikan berdasarkan aliran zat yang
masuk melalui pori seperti gambar 2.2. berikut.

Gambar 2.2. Perbedaan jenis pori (Schubert and Husing, 2006)
Tipe pori umumnya diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu:
A. Pori yang terisolasi dari pori yang lain disebut closed-pores (a)
B. Pori yang terbuka kepermukaan luar dari padatan, yang dipengaruhi sifat
makroskopik padatan dan tidak aktif dalam reaksi kimia disebut open-pores
yang terdiri dari: bentuk botol tinta (ink-bottle) (b), bentuk silinder terbuka (c),
bentuk (funnel atau slitshaped) (d), pori terbuka pada kedua ujung (through
pores) (e), silinder tertutup (silinder blind) (f) dan porositas yang kasar
(roughness) pada permukaan luar (g) (Schubert and Husing, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Dalam karakterisasi pori sering digunakan istilah seperti yang terdapat

pada tabel 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2. Istilah yang digunakan dalam karakterisasi pori padatan
Istilah
Keterangan
Densitas
True density Densitas dari material tidak termasuk pori
dan kekosongan interpartikel (densitas dari
jaringan padatan)

Volume pori

Apparent
density

Densitas dari material tertutup dan pori yang
tidak dapat dilalui

Bulk density

Densitas material termasuk pori dan
kekosongan interpartikel (massa per total
volume, dengan volume = fase padatan +
pori tertutup + pori terbuka)

Vp

Volume pori

Ukuran pori

Biasanya disebut lebar pori (diameter); jarak
dari dua dinding yang berlawanan

Porositas

Perbandingan dari volume total pori Vp
dengan volume yang terlihat (apparent
volume) V dari partikel atau serbuk

Luas Permukaan

Area yang tercapai pada permukaan padatan
per satuan unit material

Luas pori atau diameter pori didefenisikan sebagai diameter untuk pori
silinder dan jarak antara dinding pori yang berlawanan dalam pori bentuk celah.
Luas pori diklasifikasikan oleh International Union of Pure and Applied
Chemistry (IUPAC) terbagi tiga (Gates, 1992):
1. Mikropori, diameter lebih kecil dari 2 nm (d < 2 nm)
2. Mesopori, diameter antara 2 sampai 50 nm (2 nm < d > 50 nm)
3. Makropori, diameter lebih besar dari 50 nm (d > 50 nm)
Untuk menjelaskan pori padatan secara kualitatif dan kuantitatif
diperlukan informasi tentang porositas, densitas, luas permukaan spesifik atau
ukuran pori dan distribusi ukuran pori pada padatan berpori. Nilai hasil
pengukurannya sangat ditentukan oleh metode yang digunakan, biasanya metode
hanya dapat mendeteksi pori yang terbuka. Metode yang digunakan berupa
adsorpsi molekul ke dalam celah. Hasil yang diperoleh tergantung pada ukuran
molekul yang dilewatkan pada permukaan pori. Misalnya untuk nilai luas
permukaan akan lebih kecil jika digunakan molekul yang besar, sebaliknya nilai

Universitas Sumatera Utara

luas permukaan akan semakin besar jika digunakan molekul yang lebih kecil.
Berikut ini skema adsorbsi gas pada permukaan menggunakan ukuran molekul
yang berbeda (Schubert and Husing, 2006)

Gambar 2.3. Skema Adsorbsi gas pada permukaan pori material dengan
perbedaan ukuran molekul gas (Schubert and Husing, 2006)

Menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC),
terdapat enam klasifikasi isotherm adsorbsi seperti yang diperlihatkan gambar 2.4.
Isotherm Tipe I merupakan karakteristik material mikropori (d < 2 nm). Material
yang tidak berpori dan makropori (d > 50 nm) diklasifikasikan sebagai isotherm
Tipe II dan Tipe III dengan interaksi antara adsorbat dan adsorben yang kuat.
Untuk material mesopori ( 2 nm < d > 50 nm) diklasifikasikan sebagai isotherm
Tipe IV dan Tipe V dimana terdapat pembentukan multilayer dari kurva adsorbsi
dan desorbsi. Untuk isotherm tipe III dan VI diprediksi bahwa interaksi antara
adsorbat dan adsorben yang terlalu lemah sehingga sedangkan Tipe VI merupakan
karakteristik padatan dua dimensi yang sangat homogeny seperti grafit
(Kanellopoulos, N. 2011)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. Klasifikasi Isother Adsorbsi menurut International Union Of Pure
and Applied Chemistry (IUPAC)
Silika berpori merupakan variasi dari bentuk silika amorf. Material
berbahan silika banyak diteliti karena memiliki struktur variasi yang luas, dapat
diatur ada reaksi hidrolisis dan kondensasi, stabilitas termal yang tinggi pada
jaringan amorf dan memiliki kekuatan grafting pada fungsi organik. Silika berpori
dibuat dengan mengasamkan larutan silikat basa berair dan diperoleh gel silika
pori. Material padatannya diperoleh dengan proses sol-gel dalam larutan yang
dikeringkan pada temperatur rendah dimana terjadi penekanan gel menjadi
xerogel
Parameter yang dapat mengkarakterisasi pori adalah luas permukaan
spesifik (S) dengan satuan [m2/g], volume mikropori (WMP) dengan satuan
[cm3/g], Volume pori (W) merupakan jumlah volume mikropori dan mesopori
adsorben dalam [cm3/g] dan distribusi ukuran pori (PSD) yang merupakan suatu
grafik dari ∆Vp/∆Dp versus Dp dimana Vp adalah akumulasi pori hingga luas pori
Dp diukur [cc-STP/GA]. Unit cc-STP menunjukkan jumlah pengukuran adsorbat
dalam centimeter kubik pada STP yakni pada temperatur standar dan tekanan
standar masing-masing 273,15K dan tekanan 76 Torr (1.011325 x 105 Pa)
(Schubert and Husing, 2006).

2.4. Metode penentuan Luas Permukaan dan Mikroporositas
2.4.1. Metode Adsorpsi Brunauer-Emmet-Teller (BET)
Teori BET adsorpsi multilayer untuk menentukan luas permukaan (S)
dikembangkan oleh Brunauer, Emmet dan Teller. Proses adsorpsi digambarkan
sebagai proses lapisan dengan lapisan (Layer-by-layer), permukaan secara
energetik dianggap homogen, medan adsorpsi sama dalam setiap tempat
permukaan. Proses adsorpsi dianggap tidak bergerak (setiap molekul yang
diadsorb pada sisi dasar adsorbs pada permukaan). Lapisan pertama molekul yang

Universitas Sumatera Utara

diadsorb memiliki energy interaksi dengan medan adsorbs (Ea0) dan interaksi
vertical antara molekul setelah lapisan pertama (EL0) sama terhadap panas
liqufaksi adsorbat dan molekul yang diadsorb tidak berinteraksi secara
menyamping. Model adsorbsi BET digambarkan sebagai berikut (RoqueMalherbe, 2007).
Untuk menerapkan persamaan isotherm BET terhadap data adsorpsi yang
diperoleh digunakan persamaan linier berikut:
�=

�� . �. �
(�� − �). [1 + (� − 1). �⁄�� ]

Atau dapat dituliskan sebagai berikut:


�. (�� − �)

=

1
�−1 �
+
.
�� . � �� . � ��

Dimana
p = tekanan akhir
po = tekanan jenuh
V = volume gas yang terserap pada tekanan p
Vm = volume gas terserap pada monolayer
C merupakan parameter yang dapat ditentukan dengan cara berikut:
�1 − ��
� = �. ���
��
Dengan A adalah konstanta, E1 merupakan panas yang diserap lapisan
pertama dan El adalah panas yang kondensasi dari gas.
Untuk area yang dilewati setiap molekul dalam monolayer dianggap
sempurna, dimana untuk nitrogen (N2) = 0,162 nm2 pada 77K dan argon (Ar) =
0,138 nm2 pada 87K (Kanellopoulos, N. 2011).
Metode BET tidak tepat untuk perhitungan mikropori, karena ketika
metode ini diterapkan pada adsorben mikro maka akan terjadi penyerapan pada
tekanan yang relatif rendah sehingga memungkinkan volume monolayer yang
dihitung lebih dari satu lapisan terserap. Jika nilai ini diubah menjadi luas
permukaan BET maka nilai yang dihasilkan akan lebih besar dari nilai yang
sebenarnya. Meskipun metode BET tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya, namum metode ini yang lebih umum digunakan untuk analisa
isotherm adsorbsi. Ini disebabkan metode BET relatif sederhana dan dianggap
memberikan kapasitas adsorpsi yang baik dari adsorben yang digunakan
(Kanellopoulos, N. 2011).
2.4.2. Metode Barret-Joyner-Halenda (BJH)
Metode BJH digunakan untuk menentukan distribusi ukuran pori (PSD)
merupakan grafik yang menyatakan ∆Vp/∆Dp versus Dp, dimana Vp adalah
akumulasi volume pori dan Dp merupakan luas pori diukur dalam [cc-STP/g.Å)
dan cc-STP menunjukkan jumlah adsorbat dalam centimeter kubik pada STP
berlangsung pada temperatur standar (273,15 K) dan tekanan standar (760 Torr

Universitas Sumatera Utara

atau 1.01325 x 105 Pa). Volume pori (W) adalah jumlah volume mikropori dan
mesopori adsorben dalam [cm3/g] (Roque-Malherbe,2007).
Tekanan relatif awal proses desorpsi dalam metode Barret-Joyner-Halenda
(BJH) berlangsung pada range 0,9 < P/Po < 0,95 dan semua pori telah diisi fluida
adsorbat. Pada tahap pertama (j=1) dalam proses desorpsi hanya melibatkan
pemindahan kondensasi kapiler. Tahap berikutnya melibatkan pemindahan
kondensat dari inti pori dan penipisan multilayer dalam pori yang lebih besar
(misalnya pori telah siap dikosongkan dari kondesat.

Universitas Sumatera Utara

Distribusi ukuran pori Barret-Joyner-Halenda (BJH-PSD) dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut ini.
2

���

Keterangan :

�−1

��� = �
� �∆�(�) − ∆�� � ��� �
∆�
��� + �
� =1
2
Vpn
rp
rk
Dv
dt
Ac

: volume pori pada berbagai tekanan relatif
: jari-jari pori
: jari-jari inti
: perubahan volume pada berbagai tekanan relatif
: ketebalan lapisan yang diserap
: area terbuka pori yang kosong (Roque-Malherbe, 2007).

2.5 Spektroskopi Difraksi Sinar-X (XRD)
Spektroskopi difraksi sinar-x (X-Ray diffraction / XRD) merupakan salah satu
metode karakterisasi material. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa
kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta
untuk mendapatkaan ukuran partikel. Difraksi sinar-x terjadi pada hamburan
elastis foton-foton sinar-x oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan
monokromatis sinar x dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang
konstruktif. Dasar penggunaan difraksi sinar-x untuk mempelajari kisi Kristal
adalah berdasarkan persamaan Bragg (Cullity, 1978) :
n.λ = 2.d.sin θ ; n =1,2,…
dengan; λ adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan, d adalah jarak
antara dua bidang kisi, θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal,
n adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan persamaan Bragg, ketika seberkas sinar-x menumbuk sampel
kristal, maka bidang kristal itu akan mendifraksi sinar-x yang memiliki panjang
gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal. Semakin banyak jumlah
elektron yang terdapat disekeliling atom pada suatu bidang, makin besar
intensitas pantulan yang disebabkan oleh bidang tersebut dan menyebabkan makin
jelas spot yang terekam pada film. Dengan menggunakan suatu metoda yang
dikenal dengan nama metoda sintesis Fourier, kita dapat menghubungkan
intensitas spot dengan kepekatan distribusi elektron yang terdapat dalam unit sel.
Dengan mengamati kepekatan distribusi elektron dalam unit sel, kita dapat
menduga letak atom dalam unit sel tersebut. Atom akan terletak pada daerahdaerah yang mempunyai kepekatan distribusi elektron maksimum (Bird, 1993).
Persamaan Bragg dapat digambarkan seperti berikut:
So

S

Gambar 2.5. Refleksi sinar X pada Hukum Bragg ((Eisenber, 1979)
Dimana:
So : Sinar Datang
S : Sinar Pantul
A : Lapisan Atas Benda
B : Lapisan bawah benda
d : diameter benda (Eisenber, 1979)

Universitas Sumatera Utara

2.6 Spektroskopi Inframerah (FT-IR)
Spektroskopi inframerah merupakan metode yang digunakan untuk mengamati
interaksi interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik. Prinsip dasar
spektroskopi inframerah yaitu interaksi antara vibrasi atom-atom yang berikatan/
gugus fungsi dalam molekul yang mengadsorbsi radiasi gelombang
elektromagnetik inframerah. Adsorbsi terhadap radiasi inframerah dapat
menyebabkan eksitasi energi vibrasi molekul ketingkat energi vibrasi yang lebih
tinggi. Untuk dapat mengadsorbsi, molekul harus mempunyai perubahan momen
dipol sebagai akibat dari vibrasi. Daerah radiasi spektroskopi inframerah berkisar
pada bilangan gelombang 12800-10 cm-1. Umumnya daerah radiasi inframerah
terbagi dalam daerah inframerah dekat (12800-4000 cm-1), daerah inframerah
tengah (4000-200 cm-1), daerah inframerah jauh (200-10 cm-1). Daerah yang
paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan adalah 4000-690 cm-1, daerah
ini biasa disebut sebagai inframerah tengah (Khopkar, 2008).
Instrument yang digunakan untuk mengukur serapan radiasi inframerah pada
pelbagai panjang gelombang disebut spectrometer inframerah. Pancaran
inframerah umumnya mengacu pada bagin spektrum elektromagnet yang terletak
diantara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Pancaran inframerah yang
kerapatannya kurang daripada 100 cm-1 (panjang gelombang lebih dari 100 µm)
diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran molekul.
Penyerapan itu tercatuh dan demikian spektrum rotasi molekul terdiri dari garisgaris yang tersendiri (Hartomo, 1986).
Terdapat dua macam vibrasi molekul, yaitu vibrasi ulur dan vibrasi tekuk.
Vibrasi ulur adalah suatu gerakan berirama disepanjang sumbu ikatan sehingga
jarak antar atom bertambah atau berkurang. Vibrasi tekuk dapat terjadi karena
perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatan-ikatan pada sebuah atom atau karena
gerakan sebuah gugusan. Contohnya liukan (twisting), goyangan (rocking), dan
getaran punter yang menyangkut perubahan sudut-sudut ikatan dengan acuan
seperangkat koordinat yang disusun arbiter dalam molekul. Hanya vibrasi yang
menghasikan perubahan momen dwikutub secara berirama saja yang teramati di
dalam inframerah (Hartomo, 1986).
Identifikasi pita absorbsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi
merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah (Creshwell, 1972). Hadirnya
sebuah puncak sarapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah spektrum
inframerah hampir selalu merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi
tertentu terdapat pada senyawa cuplikan. Demikian pula, tidak adanya puncak
dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah
biasanya berarti bahwa gugus tersebut yang menyerap pada daerah itu tidak ada
(Pine, 1980).

Universitas Sumatera Utara