Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tuberkulosis (TB) Paru
2.1.1 Definisi TB Paru
TB paru adalah penyakit yang ditimbulkan karena adanya infeksi akut atau
kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat
sistemis (menyeluruh) sehingga dapat mengenai hampir seluruh organ tubuh,
dengan lokasi terbanyak di paru-paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
yang pertama kali terjadi. TB paru menyebabkan reaksi jaringan yang aneh di
dalam paru-paru, yang meliputi penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag dan
pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa yang membentuk
tuberkel. Proses pembentukan dinding ini membantu membatasi penyebaran
bakteri tuberkulosis kemudian di dalam paru-paru (Algasaff, 1989).
Tuberkulosis disebabkan oleh kuman, dan bukanlah penyakit keturunan.
Karena disebabkan oleh kuman maka tuberkulosis dapat ditularkan dari seseorang
ke orang lain. Bila seorang penderita tuberkulosis batuk-batuk misalnya, maka
kuman tuberkulosis yang ada di dalam paru-parunya akan ikut dibatukkan keluar,
dan bila kemudian terhirup orang lain maka kuman tuberkulosis tersebut akan ikut
pula terhisap dan mungkin menimbulkan penyakit. Hanya saja memang perlu
diketahui bahwa tidak semua penderita tuberkulosis paru berpotensi menularkan

penyakitnya pada orang lain (Amin dan Bahar, 2006).

10

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.2 Tatalaksana Pasien TB
2.1.2.1 Penemuan Pasien TB dan Diagnosis TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien (Kemenkes, 2014).
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan
keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga
kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan
keluhan tersebut.
Penemuan pasien TB merupakan langkah pertama dalam tatalaksana
pasien TB (Kemenkes RI, 2014). Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular
secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB
serta sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB. Penemuan secara

aktif dapat dilakukan terhadap:
a. Kelompok khusus yang rentan terhadap atau beresiko tinggi sakit TB
seperti pada pasien HIV, Diabetes melitus, dan malnutrisi.
b. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi
terjadinya penularan TB, seperti: lapas/rutan, tempat pengungsian, daerah
kumuh, tempat kerja, asrama, dan panti jompo.
c. Anak di bawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.
d. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat.
Tahap awal penemuan pasien TB paru dilakukan dengan menjaring
mereka yang memiliki gejala utama batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,

Universitas Sumatera Utara

12

malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan (Kemenkes RI, 2014).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Berdasarkan
pedoman TB nasional yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI pada tahun 2014,
menjelaskan bahwa pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
a. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat
pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung
dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
fasilitas pelayanan kesehatan.
c. S (sewaktu): dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosis TB paru
harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan
bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan,
dan tes cepat. Apabila pemeriksaan bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang


Universitas Sumatera Utara

13

telah terlatih TB. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik
pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis. Juga tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan
pemeriksaan uji tuberkulin.
2.1.2.2 Klasifikasi dan Tipe Pasien TB
Berdasarkan pedoman TB nasional yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI
pada tahun 2014, menjelaskan bahwa tujuan dari pengklasifikasian dan pemberian
tipe pada pasien TB adalah untuk kepentingan

pengobatan dan surveilan

penyakit, dengan maksud:
a. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat.

b. Penetapan paduan pengobatan yang tepat.
c. Standardisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB.
d. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologis dan riwayat pengobatan.
e. Analisis kohort hasil pengobatan.
f. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat
baik dalam maupun antar kabupaten / kota, provinsi, nasional, dan global.
Berdasarkan

riwayat

pengobatan

sebelumnya,

pasien

TB

dapat


dikelompokkan menjadi :
a. Pasien baru

Universitas Sumatera Utara

14

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Pasien kambuh (relaps)
Adalah pasien TB yang telah sembuh atau mendapat pengobatan lengkap,
kemudian dinyatakan sakit TB kembali dengan BTA(+).
c. Pasien pengobatan setelah putus berobat
Adalah pasien yang putus berobat selama 2 bulan atau lebih, kemudian
dinyatakan masih sakit TB dengan hasil BTA(+)
d. Pasien gagal (failure)
Adalah pasien TB yang mulai pengobatan kembali setelah hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan ke-5 atau lebih, pada masa pengobatan sebelumnya.

e. Pasien pindahan (transfer in)
Adalah pasien yang dipindahkan dari Puskesmas/Rumah Sakit antar
kabupaten/kota yang berbeda untuk melanjutkan pengobatannya.
2.1.2.3 Pengobatan Pasien TB
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (Kemenkes RI, 2014). Dalam
proses pengobatan, pasien TB akan diberi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) karena
OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Tujuan pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b. Mencegah kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

15

c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat
Berdasarkan pedoman TB pada tahun 2014, prinsip pengobatan TB adalah

sebagai berikut:
a. OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan
b. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya yang paling efisien untuk
mencegah penularan lebih lanjut dari kuman TB
c. Pengobatan diberikan dalam paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
d. Diberikan dalam dosis yang tepat
e. OAT ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO sampai
selesai pengobatan
f. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
Pengobatan TB harus meliputi 2 tahap yaitu:
a. Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan teratur

Universitas Sumatera Utara


16

dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu.
b. Tahap lanjutan: tahap ini merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan dalam pengobatan TB
adalah sebagai berikut:
a. Isoniazid (H)
b. Rimfapisin (R)
c. Parazinamid (Z)
d. Streptomisin (S)
e. Etambutol (E)
Paduan obat yang digunakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi
WHO yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah :
a. Kategori 1


: 2(HRZE)/4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan kepada pasien baru yaitu pasien TB paru yang
terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru yang terdiagnosis klinis, dan
pasien TB ekstra paru.
b. Kategori 2

: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT ini dberikan kepada pasien BTA(+) yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang), yaitu pasien kambuh, pasien gagal pada

Universitas Sumatera Utara

17

pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang
diobati kembali setelah putus obat (lost to follow-up).
c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta
OAT lini ke-1 yaitu piranizamid dan etambutol.
Dalam kegiatan pengobatan TB, harus selalu dilakukan pemantauan.
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan dilaksanakan dengan pemeriksaan
ulang dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI, 2014). Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi).
Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut
negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan
ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Kemenkes RI, 2014).
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila
tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

18

ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan (Kemenkes RI, 2014).
2.2
Perilaku
2.2.1 Pengertian Perilaku
Perilaku menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2003) adalah hasil
hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respons). Perilaku dari
pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme
yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas
dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai
bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian,
dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir,
persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia.
Untuk kepentingan kerangka analisis dalam penelitian ini dapat dikatakan
bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh penderita TB paru dalam
menjalani pengobatan, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak
langsung.
Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut
Skinner dalam Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut :
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau
reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan
dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil
yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-

Universitas Sumatera Utara

19

komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada
terbentuknya perilaku yang dimaksud.
c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai
tujuan- tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau penguat untuk
masing-masing komponen tersebut.
d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen
yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka
penguatnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau
perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau
perilaku ini sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku)
yang kedua, diberi penguat (komponen pertama tidak memerlukan penguat
lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah
itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai
seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.
2.2.2 Perilaku Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku kesehatan adalah suatu respon
seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit
dengan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta
lingkungan.
Backer dalam Notoatmodjo (2010), membuat klasifikasi lain tentang
perilaku kesehatan antara lain :

Universitas Sumatera Utara

20

1. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan
upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatannya.
2. Perilaku sakit (illness behavior), yakni mencakup respon seseorang
terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan
tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit dan
sebagainya.
3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior), yakni dari segi sosiologis
orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit
dan kewajiban sebagai orang sakit. Hak dan kewajiban itu harus diketahui
oleh orang sakit sendiri maupun orang lain, yang selanjutnya disebut
perilaku orang sakit. Perilaku ini melipuli :
a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b. Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau
penyembuhan penyakit yang layak.
c. Mengetahui hak dan kewajiban orang sakit.
2.2.3 Determinan dan Perubahan Perilaku
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi
karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku menurut Notoatmodjo (2003) terbentuk dari dua faktor utama yakni:


Stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (faktor
eksternal). Faktor eksternal adalah faktor lingkungn, baik lingkungan fisik

Universitas Sumatera Utara

21

maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
sebagainya.


Respons merupakan faktor dari diri dalam diri orang yang bersangkutan
tersebut (faktor internal). Faktor internal adalah faktor yang menentukan
respons seseorang terhadap stimulus seperti: perhatian, pengamatan,
persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya.
Green dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan dalam teorinya bahwa

perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk oleh 3 faktor:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku seseorang,
yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilainilai, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas, obat-obatan, laboratorium,
dan sebagainya.
c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Karr dalam Notoatmodjo (2010) mengidentifikasi adanya 5 determinan
perilaku, yaitu :
a. Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan
objek atau stimulus diluar dirinya.

Universitas Sumatera Utara

22

b. Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support).
c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya
informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh
seseorang.
d. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk
mengambil keputusan.
e. Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk
bertindak apapun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat
WHO menganalisis bahwa ada 4 alasan pokok (determinan) yang
menyebabkan seseorang berperilaku, yaitu:
a. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) dapat diartikan sebagai
pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus,
merupakan modal awal untuk bertindak atau berprilaku.
b. Kepercayaan (personal references). Di dalam masyarakat dimana sikap
paternalistik masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat tergantung
dari perilaku acuan (referensi) yang pada umumnya adalah para tokoh
setempat.
c. Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk
terjadinya perilaku seseorang.
d. Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap
terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

23

2.3

Kepatuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kepatuhan dapat

didefinisikan sebagai sifat patuh atau ketaatan (taat pada perintah, aturan, dan
sebagainya). Kepatuhan atau ketaatan adalah tingkat pasien dalam melaksanakan
cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau orang lain.
Haynes & Sackett (1976) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana
perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional
kesehatan.
Dalam hal pengobatan TB Paru, Kemenkes RI (2014) mengemukakan
bahwa penderita yang patuh berobat ialah yang menyelesaikan pengobatannya
secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan
8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh adalah penderita yang tidak datang
rutin berobat dan bila frekuensi meminum obat tidak dilaksanakan sesuai dengan
rencana pengobatan yang ditetapkan.
Selain menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa
terputus selama minimal 6 bulan hal penderita TB paru dinyatakan patuh dalam
pengobatan TB paru ialah penderita yang melakukan pemeriksaan dahak
mikroskopis secara langsung yaitu :
a. Akhir tahap intensif
b. Sebulan sebelum akhir pengobatan
c. Akhir pengobatan.
Dunbar & Stunkard dalam Niven (2002) mengemukakan bahwa saat ini
ketidakpatuhan pasien telah menjadi masalah serius yang dihadapi tenaga

Universitas Sumatera Utara

24

kesehatan profesional. Oleh karena itu penting untuk diketahui tentang tingkat
kepatuhan, faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan dan cara-cara untuk
meningkatkan kepatuhan.
Ley (1988) menyatakan bahwa 48,7% pasien gagal meminum antibiotik
mereka, 37,5% gagal meminum obat-obat anti tuberkulosis , dan bahkan diantara
pasien-pasien yang berusaha untuk mematuhi instruksi yang diberikan pada
mereka, 25% sampai 75% mungkin meminum dosis yang salah, lebih dari 30%
membuat kesalahan yang potensial berakibat fatal.
Niven (2002) menyatakan bahwa derajat kepatuhan ditentukan oleh
beberapa faktor:







Kompleksitas prosedur pengobatan
Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan
Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi nasihat tersebut
Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan
Apakah pengobatan tersebut terlihat berpotensi menyelamatkan hidup
Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien dan bukan
profesional kesehatan.
Niven (2002) menyatakan ada empat faktor yang memengaruhi kepatuhan,

diantaranya yaitu:
1. Pemahaman tentang instruksi,
2. Kualitas interaksi,
3. Isolasi sosial dan keluarga,
4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Universitas Sumatera Utara

25

Lorenc dalam Niven (2002) menyatakan dalam kuesioner penelitiannya
bahwa :
1. Kepatuhan dapat ditingkatkan dengan menyediakan informasi yang
komprehensif melalui leaflet.
2. Tingkat pengetahuan pasien tidak ada yang perlu dilakukan dengan
kemungkinannya untuk menjadi patuh.
3. Pasien

yang

mengalami

perawatan

dalam

jangka

waktu

lama,

kepatuhannya kurang dibandingkan dengan pasien yang mengalami
perawatan dalam jangka waktu pendek.
4. Pasien yang merasa puas akan lebih patuh terhadap anjuran pengobatan.
5. Pasien diatas 65 tahun akan lebih tidak patuh dibandingkan dengan pasien
yang lebih muda.
6. Orang-orang yang hidup sendiri cenderung melakukan pengobatan
dibandingkan dengan pasien-pasien lainnya.
7. Frekuensi minum obat yang lebih sering, secara otomatis akan
menurunkan kepatuhan.
Pengkajian yang akurat terhadap individu yang tidak patuh merupakan
suatu tugas yang sulit (Cluss dalam Niven, 2002). Gordin dalam Niven (2002)
mengatakan bahwa perkiraan tentang kepatuhan yang dilakukan oleh profesional
kesehatan dan laporan yang disampaikan oleh pasien sendiri adalah tidak akurat.

Universitas Sumatera Utara

26

2.4

LandasanTeori
Landasan teori yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan teori

Lawrence Green yang dijelaskan oleh Notoatmodjo (2003) mengenai determinan
perilaku dalam hal ini perilaku yang dimaksud adalah perilaku penderita TB paru
dalam melakukan pengobatan TB paru.
Green dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan dalam teorinya bahwa
perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk oleh 3 faktor:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku seseorang,
yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilainilai, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas, obat-obatan, laboratorium
pemeriksaan sputum, dan sebagainya.
c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain,
motivasi dari keluarga yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

27

2.5

KerangkaKonsep
Berdasarkan penjelasan dari landasan teori diatas, maka kerangka konsep

dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Variabel Independen

Variabel Dependen

Faktor Predisposisi
(predisposing factors):
1. Karakteristik
(umur,
jenis
kelamin,
pendidikan, pekerjaan,
penghasilan keluarga )
2. Pengetahuan
pasien
tentang TB paru
3. Sikap pasien TB paru

Faktor
Pendukung
(enabling factors) :
1. Jarak dari tempat
tinggal
ke
Puskesmas
2. Ketersediaan OAT
di Puskesmas

Kepatuhan Pengobatan
Penderita TB Paru

Faktor
Pendorong
(reinforcing factors) :
1. Sikap
Petugas
Kesehatan
2. Motivasi
dari
keluarga

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

28

2.6

Hipotesis
Hipotesis penelitian ini meliputi:
1. Ada pengaruh karakteristik responden terhadap kepatuhan pengobatan
penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli
Serdang tahun 2016.
2. Ada pengaruh pengetahuan responden terhadap kepatuhan pengobatan
penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli
Serdang tahun 2016.
3. Ada pengaruh sikap responden terhadap kepatuhan pengobatan penderita
TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun
2016.
4. Ada pengaruh jarak tempat responden dengan Puskesmas terhadap
kepatuhan pengobatan penderita TB paru di puskesmas Kecamatan
Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016.
5. Ada pengaruh ketersediaan OAT di Puskesmas terhadap kepatuhan
pengobatan penderita TB di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten
Deli Serdang tahun 2016.
6. Ada pengaruh sikap petugas kesehatan terhadap kepatuhan pengobatan
penderita TB paru puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli
Serdang tahun 2016.
7. Ada pengaruh motivasi dari keluarga terhadap kepatuhan pengobatan
penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli
Serdang tahun 2016.

Universitas Sumatera Utara