Kerukunan Umat Beragama ( Peran Tokoh Agama Dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Aceh Singkil )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Kabupaten Aceh Singkil adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh,Indonesia.
Kabupaten Aceh Singkil merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan dan sebagian
wilayahnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kabupaten ini juga terdiri dari
dua wilayah, yakni daratan dan kepulauan. Kepulauan yang menjadi bagian dari Kabupaten Aceh
Singkil adalah Kepulauan Banyak. Ibu kota Kabupaten Aceh Singkil disebut Singkil.

Singkil sendiri berada di jalur barat Sumatera yang menghubungkan Banda Aceh, Medan
dan Sibolga. Namun, jalurnya lebih bergunung-gunung dan perlu dilakukan banyak perbaikan
akses jalan agar keterpencilan wilayah dapat diatasi. Fasilitas yang layak dan yang bermutu
seperti yang di harapkan pada umumnya masyarakat perkotaan. Aceh Singkil itu terditi dari 11
kecamatan yaitu :

1) Kecamatan Danau Paris
2) Kecamatan Gunung Meriah
3) Kecamatan Kota Baharu
4) Kecamatan Kuala Baru

5) Kecamatan Pulau Banyak
6) Kecamatan Pulau Banyak Barat
7) Kecamatan Simpang Kanan
8) Kecamatan Singkil

Universitas Sumatera Utara

9) Kecamatan Singkil Utara
10) Kecamatan Singkohor, dan
11) Kecamatan Suro Baru

Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee,Singkil, Alas
Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias. Bahasa yang digunakan
orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara
lain dialek Pidie, Aceh Besar,Meulaboh, serta Matang. Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang
Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas
beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang
Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut. Dilihat dari segi bahasa kosa
kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa Minangkabau lebih dominasi daripada kosa
kata bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain

dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan. Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari.
Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi
lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes,
Kalul, dan Serbejadi. Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang yang
kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh
mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu
huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade". Jadi Propinsi Aceh memiliki 13 buah
bahasa asli yaitu:

1. Bahasa Aceh = Kab. Aceh Besar, Kota Banda Aceh dan Kab. Pidie.

Universitas Sumatera Utara

2. Bahasa Gayo = Aceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Tenggara.
3. Bahasa Aneuk Jamee = Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya Pada umumnya di Kab. Aceh
Selatan, Kec. Susoh dan Kec. Manggeng.
4. Bahasa Singkil = Kota Subulussalam dan Aceh Singkil Simpang kiri
5. Bahasa Alas = Aceh Tenggara Sebahagian Daerah Aceh Tenggara
6. Bahasa Tamiang = Kab. Aceh Tamiang dan Aceh Timur Sebahagian Kab. Aceh Timur Bahasa

Kluet = Aceh Selatan Daerah Kluet
8. Bahasa Devayan = di kec. Simeulue Tengah dan Kec. Teluk
9. Bahasa Sigulai = Kec. Simeulue Barat, Kec. Salang dan Kec. Alafan
10.Bahasa Pakpak = Aceh Singkil Sebagian besar masyarakat Singkil
11.Bahasa Haloban =Aceh Singkil Di pulau Haloban Kec. Pulau banyak
12.Bahasa Lekon = Simeulue Desa Langi dan desa Lafakta Kec. Alafan
13.Bahasa Nias = Aceh Singkil Daerah Sialut kec. Alafan (sumber www.acehprov.go.id 27
september 2016, 20:00 )
Kabupaten Aceh Singkil terbentuk pada tanggal 20 April 1999 hasil pemekaran dari
Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang memliki beragam corak dan gaya hidup serta
sempat tercatat dalam sejarah sebagai salah satu kota peradaban Islam dibawah kekuasaan Aceh
Darussalam. Abad 16 sewaktu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, Syaikh
Abdurrauf Assingkili,seorang Ulama dari Singkil pernah dijadikan sebagai tempat rujukan
agama atau hukum syara‟. Tidak diragukan lagi, Islam menjadi satu acuan penting dalam
membentuk kehidupan masyarakat Singkil yang kompleks.

Lima belas tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, agama Kristen
sudah menapaki daratan Aceh Singkil yang saat ini diketahui sebagai daerah terdekat dengan

Universitas Sumatera Utara


perbatasan. Kristen pertama sekali masuk ke wilayah Aceh Singkil pada tahun 1930 melalui
seorang penginjil yang berasal dari Salak, Pakpak Bharat, pendeta itu bernama evangelist I.W
Banurea. Hingga pada tahun 1932 si pendeta Evangelist tersebut bekerjasama dengan
perkebunan Socfindo untuk mendirikan gereja, kemudian satu demi satu desa-desa itu dikunjungi
dan terbentuklah gereja-gereja. Sampai dengan saat ini, sudah ada 15 ribu jiwa yang memeluk
agama Kristen. Mencengangkan, karena pemeluk pemeluk Kristen ini tidak hanya warga Singkil,
tapi satu-persatu dimasukkan dari daerahnya.

Sepeti dalam laporan yang diuraikan secara detail, kronologis kejadian awal konflik di
Kabupaten Aceh Singkil, mulai dari tahun 1979 hingga bentrokan yang terjadi pada Selasa, 13
Oktober 2015. Dimulai dari tanggal 11 Juli 1979 lampau di Lipat Kajang, sebuah perjanjian yang
ditandatangani secara bersama sama oleh 8 ulama perwakilan umat Islam dan 8 pengurus
gereja/perwakilan umat Kristen. Mereka sepakat untuk tidak melaksanakan ataupun membangun
kembali (rehab) gereja sebelum mendapat izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II.

(

www. singkil dalam berita 20 agt 2016, 16.00)


Pada 13 Oktober 1979 dibuatlah ikrar bersama untuk menjaga kerukunan antar umat
beragama dan menaati perjanjian yang telah dibuat 11 Juli 1979. Ikrar bersama ini
ditandatangani 11 Pemuka Agama Islam dan 11 Pemuka Agama Kristen disaksikan dan
ditandatangi oleh Muspida Kabupaten Aceh Selatan (saat itu belum menjadi Aceh
Singkil),Kabupaten Dairi-Sumut, Kabupaten Tapteng Sumut, juga disaksikan oleh unsur
Muspika Kecamatan Simpang Kanan.

( www. Hidayatullah.com 20 Agt 2016, 15.45 )

Penjelasan salah seorang yang bernama Roka, salah seorang warga Kampong Suka
Makmur yang mengaku tidak mengungsi ketika terjadi pembakaran undung-undung HKI (Huria

Universitas Sumatera Utara

Kristen Indonesia). Perihal hubungan umat beragama di Kampong Suka Makmur, Kecamatan
Gunung Meriah, Roka menjelaskan hubungan umat Islam dan Kristiani selama ini baik-baik saja.
Meski peristiwa serupa pernah terjadi sebelumnya. “Yang jelas rumah ibadah ini sudah ada sejak
tahun 1962. Saat ini, kami selalu dikunjungi oleh Bapak Pendeta dari luar Aceh Singkil tiga
bulan sekali. Kami ingin mendengar firman Tuhan. Karenanya kami minta pendeta mengunjungi
kami,” klaim Roka. Dikatakannya, jumlah jemaat yang beribadah di gereja ini sekitar 200-300

orang. Setiap kali ada kegiatan Natal dan Tahun Baru, Wafat dan Kebangkitan Yesus, gereja ini
selalu membludak. (www.hidayatullah.com/. tgl, 26 agt 2016, 20:00).

Sejauh ini, seperti dikatakan Roka, pihak gereja telah berulang kali mengajukan
permohonan izin, namun mereka mengaku tidak direspon oleh Pemerintah Daerah. Ia tak
menjelaskan apa yang menjadi alasan kenapa gereja sulit mendapat izin untuk mendirikan rumah
ibadah. Senada dengan Laher Manik,warga Katolik di Kampong Suka Makmur mengatakan,
hubungan umat beragama di Singkil sebenarnya berlangsung baik. Hanya saja persoalan izin
pendirian rumah ibadah Nasrani tidak pernah selesai sejak 1979. Sehingga jika tidak ada izinnya
harus dibongkar.“Itu urusan pemerintah. Yang jelas, aku lahir di sini sejak tahun 1980-an ketika
mengungsi dari wilayah lain dengan kasus yang sama. “ (www.hidayatullah.com/ 26 agt 2016
20.00.)

Rusli, Imam mukim di Kampong Siompin yang beragama Islam, mengaku hubungan
Muslim-Nasrani sejauh ini hidup berdampingan, tidak ada masalah. “Ketika menjadi Sekretaris
Desa, saya selalu diundang saudara kami yang beragama Kristen untuk merayakan kebahagiaan
mereka setiap kali peringatan Natal. Tapi ketika rumah ibadah mereka tak berizin itu dibongkar,

Universitas Sumatera Utara


mereka legowo,dan hubungan kami tetap baik dan bisa ngopi bareng,” kata Rusli. Jadi siapa
ingin memecah Aceh? (www.hidayatullah.com/ 26 agt 2016 20.00.)

Aceh kembali dengan munculnya tindakan intoleransi penyerangan gereja gereja di
Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Peristiwa ini mencuatkan keprihatinan yang amat
mendalam dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa. Pascatsunami 2014, Aceh dibangun dalam
semangat toleransi, pluralisme, dan kemanusiaan. Oleh karenanya, Aceh bukan milik masyarakat
Aceh saja, tetapi Aceh milik Indonesia dan juga dunia. Sehingga kasus kekerasan atas nama
agama yang terjadi di Aceh Singkil mencoreng semangat kerukunan dan perdamaian yang telah
tumbuh dalam masyarakat. Demikian ditegaskan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA)
melalui rilisnya kepada Beritasatu.com pada Rabu (14/10) terkait dengan kasus Aceh Singkil,
Aceh.

Masyarakat Aceh pascatsunami 2004, jelas dia, adalah masyarakat cinta damai yang telah
dibangun kembali dengan semangat toleransi, pluralisme, dan solidaritas yang menghargai dan
menjunjung tinggi Kemanusiaan. “Semangat Aceh bukan hanya milik masyarakat Aceh saja,
tetapi juga milik masyarakat Indonesia dan dunia. Maka kekerasan atas nama agama telah
mencoreng

semangat


kerukunan

dan

perdamaian

yang

telah

tumbuh

di

Bumi

Rencong,”tandasnya. penyerangan terhadap rumah ibadat sejatinya merupakan penyerangan
terhadap logika dan keyakinan kemanusiaan yang menyadari kelemahannya sebagai makhluk
ciptaan Allah yang Maha Esa. Karena pada kenyataannya di rumah rumah ibadah itulah -apa pun

agamanya- Allah Yang Maha Esa ditinggikan dalam berbagai cara dan keyakinan iman.
(Muliawan Margadana 13:30 wib).

Universitas Sumatera Utara

Dari berbagai kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang terjadi, aktor-aktor
non-negara dinilai memiliki peran dalam mempengaruhi merosotnya penghargaan atas
kebebasan beragama. Penghargaan masyarakat, termasuk tokoh/elite agama, terhadap kebebasan
beragama dinilai sangat rendah, sehinga perlu ditingkatkan. Dalam konteks ini penting kiranya
membuat terobosan dalam rangka revitalisasi peran tokoh-tokoh lintas agama yang mewakili
seluruh elemen: mayoritas dan minoritas, yang berpaham „liberal‟, moderat sampai yang
berpaham radikal sekalipun, dan lintas generasi. Revitalisasi tersebut dapat dilakukan melalui
berbagai media atau kegiatan yang bisa mencakup edukasi untuk meningkatkan pemahaman
terhadap prinsip-prinsip umum hak kebebasan beragama, dan dialog lintas agama dan lintas
generasi untuk menumbuhkan saling pengertian dalam tatanan masyarakat demokratis dan
majemuk.

Sekalipun pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi hak kebebasan beragama
atau berkeyakinan seluruh warga negaranya, peranan tokoh agama-agama dapat dikatakan jauh
lebih signifikan. Ini disebabkan tokoh agama memiliki kedudukan yang tinggi dalam

masyarakat, terutama dalam komunitas agamanya. Mereka dihormati sebagai pemimpin dan
patron bagi komunitas agamanya. Bahkan, pemerintah memandang tokoh agama sebagai faktor
sosial dan politik yang sangat penting. Tidak ada tokoh politik atau pemerintahan yang tidak
menjalin hubungan dengan tokoh agama, baik untuk kepentingan politik jangka pendek maupun
untuk kepentingan keberlangsungan program-program pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari
fakta bahwa tokoh agama memiliki intensitas hubungan dan komunikasi yang tinggi dengan
umat dan masyarakatnya, karena mereka hidup di tengah-tengah masyarakat dan mendengar
keluhan keluhan, mulai dari soal-soal agama sampai soal-soal kehidupan sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara

Dalam konteks posisi dan kedudukan seperti ini, tokoh agama dari berbagai agama dan
aliran perlu didorong untuk menjalankan fungsi edukatif sebagai pendidik dan pencerah terhadap
komunitas agamanya menyangkut pemahaman yang benar terhadap prinsip-prinsip ajaran agama
(Syari„ah) yang sejalan atau kompatibel dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya
hak kebebasan beragama. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan kapasitas dan pemahaman yang
benar pula di kalangan elite dan tokoh agama mengenai prinsip prinsip dan dimensi-dimensi
kebebasan beragama. Jika pemahaman yang dimiliki tidak benar atau bahkan menyesatkan,maka
yang ter-transfer kekomunitas kegamaan sebagai pengetahuan justru akan kontraproduktif bagi
penguatan pemahaman dan penghargaan terhadap hak kebebasan beragama.


Institusi keagamaan seperti Masjid atau Gereja dapat berfungsi sebagai lembaga edukatif
bagi komunitas agama, bukan sebaliknya berfungsi provokatif dalam pengertian negatif. Dalam
komunitas Muslim, lembaga pesantren -melalui peran para kyai- dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman tentang ajaran keagamaan yang kompatibel dengan ide-ide modern tentang hak
asasi manusia dan kebebasan beragama, tidak malah menjadi tempat menanamkan pemikiran
radikal yang berujung kepada rendahnya penghargaan kepada kebebasan beragama.

Tokoh agama merupakan artikulator dari aspirasi masyarakat, lebih-lebih ketika mereka
merasa aspirasi politiknya tidak terwakili oleh wakil rakyat yang mereka pilih. Kedekatan tokoh
agama dengan umatnya lebih genuine (asli) ketimbang kedekatan politisi dengan rakyat yang
diwakilinya. Jadi, tokoh agama memiliki fungsi sebagai agen pencerahan masyarakat melalui
kegiatan pendidikan atau pengajaran agama yang dapat mengembangkan pengetahuan, wawasan
dan kesadaran beragama masyarakat yang terbuka, toleran dan apresiatif terhadap keragaman.
Kurangnya komunikasi antar tokoh/ pemuka agama, dipandang dapat berpengaruh terhadap

Universitas Sumatera Utara

ketidak harmonisan hubungan antar kelompok masyarakat dan kurang dapat berfungsinya peran
antisipasi pencegahan kesalahpahaman antar kelompok, terutama di tingkat kecamatan dan
pedesaan. Persoalan pendirian rumah ibadah yang kurang memenuhi prosedur, penyiaran agama,
dan aliran aliran sempalan di lingkungan internal kelompok agama masih dirasakan sebagian
masyarakat sebagai gangguan dalam membangun hubungan umat yang harmonis.

Eratnya relasi antarumat beragama menjadi benteng untuk mempererat persatuan,
mencegah

konflik

agama,

dan

mencegah

menyebarkan

paham

radikalisme

yang

mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, pertemuan dan deklarasi kerukunan umat beragama
tersebut menjadi penting. Karena pentingnya makna pertemuan antartokoh dan umat antaragama,
pertemuan serupa harus digelar pula di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan. Pertemuan juga
melibatkan tokoh masyarakat dan jajaran pemerintah di level kecamatan dan desa.

Tokoh agama juga dapat berfungsi sebagai penyelesai konflik jika terjadi ketegangan
atau konflik, baik di internal umat beragama, maupun antar umat beragama, yang diakibatkan
oleh perwujudan hak kebebasan beragama. Sangat disayangkan jika yang terjadi malah
sebaliknya, ketika tokoh agama malah menjadi pendorong terjadinya ketegangan dan konflik
berbasis agama. (https://www.itsme.id/peran-tokoh-lintas agama-dalam-kebebasan-beragama)

Pada 21-23 April lalu terlaksana "Dialog Kerukunan dan Perdamaian"antar umat
beragama Aceh Singkil. Langkah kecil bermakna Acara ini tidak hanya mempertemukan umat
Islam dan Kristen dalam satu forum, juga menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, pentingnya
menjaga perdamaian dan menjauhi segala langkah permusuhan yang bisa melukai perasaan.
Kedua, kesadaran bahwa Singkil adalah satu garis kekerabatan yang harus terus dinaungi
semangat Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga, mengedepankan pendekatan hukum dalam

Universitas Sumatera Utara

menyelesaikan perselisihan. inilah pertemuan pertama yang berhasil mempertemukan komunitas
Muslim dan Kristiani secara langsung. Selama ini pola komunikasi tidak pernah rata semeja. Apa
yang selama ini disebut dialog hanya rekahan monolog karena dilakukan terpisah kamar. Efek
pola komunikasi seperti itu hanya menyuburkan prasangka dan klaim kebenaran. Problem lain
yang menyebabkan dialog damai tak kunjung hadir di Singkil adalah belum adanya mediator
netral dan adil sehingga kedua pihak nyaman berbicara. Menyerahkan kepada pemerintah daerah
sebagai wasit untuk mempertemukan dua kelompok jelas mustahil. Pemerintah lokal ikut ditabal
sebagai pihak berkonflik.
Melalui dialog berketerusan, dapat dilihat ada peluang memperbaiki dinding toleransi
yang retak itu melalui modal kultural. Contoh kasus, ketika dalam pertemuan itu peserta Muslim
mengucapkan "assalamualaikum", kelompok Kristiani seakan pegal membalasnya. Mungkin
takut dianggap lancang. Demikian pula ketika kaum Kristiani mengucapkan "salam sejahtera",
kelompok Islam memilih bergumam. Namun, ketika diucapkan "njuah-njuah kita khatana",
serempak peserta menyambutnya dengan sukacita. Arti kalimat bahasa Singkil (atau Pakpak) itu
dalam bahasa Indonesia kira-kira 'sehat-sehatlah kita semua'. Kalimat njuah-njuah kita khatana
menjadi pin pemersatu masyarakat Singkil. Secara semiotik, ia juga berfungsi doa kebaikan bagi
siapa pun dan agama apa pun. ( http://www.acehkita.com/kasus-singkil-bukan-konflik-agama/.
tgl, 29 agt 2016, 15:40).
Di Indonesia kerukunan merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara persatuan
rakyat dan bangsa Indonesia. Tanpa terwujudnya kerukunan diantara berbagai suku, Agama, Ras
dan antar Golongan bangsa Indonesia akan mudah terancam oleh perpecahan dengan segala
akibatnya yang tidak diinginkan.

Universitas Sumatera Utara

Kerukunan antar agama merupakan salah satu pilar utama dalam memelihara persatuan
bangsa dan kedaulatan negara Republik Indonesia. Kerukunan sering diartikan sebagai kondisi
hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat
menghormati harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan
kepribadian pancasila.
Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukununan adalah damai dan perdamaian.
Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya dipergunakan dan berlaku dalam dunia
pergaulan. Kerukunan antar umat beragama bukan berarti merelatifir agama-agama yang ada dan
melebur kepada satutotalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama yang ada itu
sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan sebagai cara atau sarana untuk
mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan
umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
kerukunan ialah hidup damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat yang beragama
sama maupun berbeda, kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan dengan
keyakinan.(Lubis, 2005;)
Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat
adanya toleransi agama. Toleransi agama adalah suatu sikap saling pengertian dan menghargai
tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama. Lalu, adakah
pentingnya kerukunan umat beragama di Indonesia ? Jawabannya adalah iya.
Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah
kesejahteraan hidup di negeri ini. Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki keragaman yang
begitu banyak. Tak hanya masalah adat istiadat atau budaya seni, tapi juga termasuk
agama.Walau mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada beberapa agama lain

Universitas Sumatera Utara

yang juga dianut penduduk ini. Kristen, Khatilik, Hindu, dan Budha adalah contoh agama yang
juga banyak dipeluk oleh warga Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan masing-masing
dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu
saudara dalam tanah air yang sama, kita harus menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia
agar negara ini tetap menjadi satu kesatuan yang utuh.

Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas puluhan etnis, budaya, suku, dan
agama. Membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang damai dan
rukun. Dipungkiri atau tidak, perbedaan sangat beresiko pada kecenderungan konflik. Terutama
dipacu oleh pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di masyarakat.

Perbedaan atau

kebhinekaan Nusantara tidaklah diciptakan dalam satu waktu saja. Proses perjalanan manusia di
muka bumi Indonesia dengan wilayah yang luas menciptakan keberagaman suku dan etnis
manusia. Maka lahir pula sekian puluh kepercayaan dan agama yang berkembang di setiap suku
-suku di Indonesia.

Alasan penulis untuk megangkat kerukunan umat beragama di Aceh Singkil ini ialah
penulis ingin melihat dan meninjau sejauh mana peran tokoh agama dan adat dalam menjaga
kerukunan umat beragama aceh singkil tersebut.Karna seperti baru ini penulis terkejut dan
mendengar singkil kembali terjadi konflik SARA, alangkah lucunya masyarakat singkil yang
mendominasi muslim dan tau banyak tentang agama kenapa bisa sampai terjadi konflik.
berdasarkan hasil pegetahuan yang penulis cari tau pada umumnya masyarakat Singkil
menjelaskan bahwa kami ( masyarakat ) sangat menjaga kerukunan dan perdamaian untuk
perkembangan Aceh Singkil yang lebih baik lagi. Dan yang paling megejutkan ternyata barubaru ini terjadi lagi konflik antar umat beragama yang di dasari dengan pembakan gereja dan

Universitas Sumatera Utara

menimbulkn korban jiwa, sehingga masyarakat takut dan resah. Aceh Singkil sendiri yang mana
sebelumnya juga sudah pernah terjadi konflik pada tahun 1979 yaitu didasari dengan
pembagunan gereja sehinga masyarakat Singkil yang beragama muslim keberatan dan tidak
menerima pembagunan gereja itu, penulis penasaran dan bertanya-tanya apakah ada oknum atau
kegiatan politik yang di dasarkan pada kerukunan umat beragama ?.. dan bagai mana tokoh
agama dan adat menanggapi kejadian seperti ini dan apa peran took agama dan adat di aceh
Singkil ini, apakah mereka hanya melihat dan menyaksikan konflik yang terus-terus terjadi
bukankah peran mereka sangat penting bagi masyarakat yang ingin damai dan aman seperti
penjelasan sila kedua “kemanusian dan adil dan beradab dan sila kelima keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dari hasil penulisan ini nantinya penulis berharap jagan ada lagi
konflik yang seperti ini terjadi, sangat memalukan ketika konflik yang di dasar kan dengan
pembagunan gereja yang tidak memiliki ijin. Alangkah baiknya kedua agam ini bersatu
membagun dan menjaga perdamain Singkil jagan sampai mereka ( masyarakat ) terhasut dengan
orang-orang yang ingin menghancurkan dan menceraibelaikan masyarakaat khususnya muslim
dan Kristen yang ada di Aceh Singkil. Bukan kah kebebasan dalam memeluk agama itu
ada,dalam penjelasan yang penulis ketahui TUHAN memang satu tapi cara penyampaian dan
pendidikan agama yang di anut la berbeda. Apalagi Singkil dengan sebutan nagari batuah atau
singkil yang bersih dan penuh dengan ajaran agama yang di pimping oleh syekh Abdurrauf jadi,
alangkah merisnya kalo singkil terlibat konflik hanya dengan kesalah pahaman antara muslim
dan Kristen.
Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menyalurkan aspirasi
ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan
masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijikan gubernur dan, melaukan

Universitas Sumatera Utara

sosialisasi peraturan perundang undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan
dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai Negara kesatuan
yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945, Indonesia telah memberikan tempat yang sanat
tehormat akan keberagamaan suku, agama, ras, dan antargolongan warganya yang hidup
berkembang. Sebagai organisasi kemasyarakatn yang berbasis pada pemulian nilai-nilai agama,
FKUB memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam membagun daerah,”FKUB
memiliki peran penting. Antara lain menjadi jembatan penghubung di internal umat masingmasing.
1.2.Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian ilmiah.
Perumusan masalah berguna untuk mengatasi kerancuan dalam pelaksanaan penelitian.
Berdasarkan masalah yang dijadikan fokus penelitian, masalah pokok penelitian tersebut
dirumuskan sebagai berikut:

1.

Bagaimana peran tokoh agama dalam menjaga kerukunan umat beragama di kabupaten Aceh
Singkil

2. Fakto-faktor yang mempengaruhi kerukunan umat beragama di kabupaten Aceh Singkil

1.3.Tujuan dan mamfaat penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk megetahui peran tokoh agama dalam menjaga kerukunan umat beragama di kabupaten
Aceh Singkil

Universitas Sumatera Utara

2. Untuk megetahui faktor yang mempengaruhi kerukunan umat beragama di kabupaten Aceh
Singkil

Mamfaat penelitian yaitu:

1) Secara akademis penelitian agar dapat memperluas dan memperkaya bahan referensi,bahan
penelitian sertasumber bacaan di lingkungan FISIP USU
2) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pegetahuan megenai peran pemuda
dalam menjaga kerukunan umat beragama
3) Secara praktis, diharapkan dapan menjadi bahan masukan bagi pihak yang berkepentinggan baik
itu institusi dan lembaga masyarakat

1.4.Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian penulis lakukan iyalah di kabupaten Aceh Singkil dan wilayah
kerja yang netral . Alasan penulis melakukan penelitian di daerah tersebut ialah inggin melihat
langsung bagai mana kerukunan masyarakat muslim dan Non-muslim yang terjadi di daerah
Singkil. Selain itu jarak yang penulis tempuh ke lokasi tidak bagitu jauh sehingga mebudahkan
penulis dalam mencari data dan keterangan dari masyarakat.

1.5.Tinjauan Pustaka

1.5.1 Hubungan Umat Beragama

Universitas Sumatera Utara

Beberapa tahun terakhir, isu agama begitu cepat menyebar keberbagai lapisan sehingga
terciptakerentanan yang cukup menengakan dalam kehidupan beragama masyarakat. Sedikit saja
tersentuh ego keagamaan atau etnis suatu kelompok, maka reaksi yang ditimbulkan sangat besar
terkadang berlebihan. Dalam suasana seperti ini agama seringkali di jadikan titik singgung paling
sensitif dan eksklsif dalam pergaulan pluralitas masyarakat.

Persoalan kemanusian harus di lihat sebagai persoalan seluruh agama. Kekerasan dan
tragedi kemanusian yang terjadi atas nama agama telah mencoreng wajah agama yang
sebenarnya ramah dan penug kedaimaan. Orang yang beragama semestinya orang yang mampu
member bagi sesamanya. Karenanya tragedi kemanusian, seperti dianalisis T.H. Sumartana
seharusnya menjadi sesuatu peringatan bahwa kesadaran agama tidak dapat lagi dijabarkan atau
diekspresikan secara persial saja. Dengan kata lain, agama harus menyadari bahwa tugasnya
menyelamatkan umat manusia tidak dapat lagi di lakukan secara sendri-sendri.

( T.H

Sumartana,1985 hlm 166 ).

Sebagai agama dengan ajarannya yang bersifat universal, islam sangat menekankan nilai-nilai
kemanusian. Kemanusian adalah satu. Manusia bukan saja berasal dari satu orang pertama, akan
tetapi juga berasal dari suatu kehendak yang menciptakan, yakni kehendak tuhan.

Sejalan dengan itu islam juga menegaskan universalisasi prinsip-prinsip moral. Moral islam ini
memperkuat hubungan antar-anggota masyarakat, mempersatukan persatuan yang merupakan
dasar kebajikan universal dan mempersatukan kaidah-kaidah yang memaksa yang sangat perlu
bagi kehidupan kolektif. ( Marcel A.Boisard, 1980 Hlm 180).

Universitas Sumatera Utara

Agama lain seperti kristen juga memiliki ajaran yang kurang lebih sama tentang
kemanusian,sebagaimana yang disinyalir oleh Patricia Muhali Nabti, bahwa pada dasarnya
antara islam dan Kristen memiliki sebuah titik temu, di mana dalam sistem kepercayaan dan
pengalaman kedua agama ini menurut terbagunnya sebuah kemandirian kebutuhan kemanusian
secara utuh , dan ini sangat tampak dalam doktrin teologis dan kebudayaan kedua agama.
(Patricia Muhali Nabti )

Selanjutnya Paul.F. Knitter, menyatakan bahwa Kristen dan seluruh agama yang lain pada
dimensi transendetal dan seluruh agama islam yang lain pada dimensi eskatologinya memiliki
kesamaan pandangan, yaitu sebagai salah satu upaya untuk mengontrol moralitas kemanusian.
(Paul.F. Knitter, 1947 hlm 122).

Kemajemukan agama (pluralism) dan budaya (multikulturalisme ) adalah tantangan yang
di hadapi pemikiran dan kehidupan umat manusia dewasa ini. Namun masih ad ketakutan bahwa
agama tetap memiliki potensi melahirkan kaum militant yang gampang merasa terganggu dan
jadi penganjur ketidak toleran dan kekerasan.

Charles Taylor (1994) dalam Multiculturalism megatakan:
“ Masing – masing kelompok budaya dan agama menuntut
( dan berhak
mendapatkan ) pegakuan dan penghargaaan. Namun bahyanya,mereka yang memiliki
identitas tertentu menolak mengakui dan menghargai yang lain. Kurang toleran seperti ini
berdampak serius, khsusnya bagi demokrasi dan keadilan. Sebabnya adalah kekakuan
identitas komunal yang mempercayai dirinya sebagai otentik dan superior, atau kekakuan
identitas universalis yang berusaha untuk mempengaruhi yang lain dengan cara
memaksa”. ( muhamad Ali : 2008 , hl 71-72 ).
B. Realitas yang melatarbelakangi konflik

Universitas Sumatera Utara

Konflik terbuka yang terjadi secara missal dengan mengunakan symbol-simbol agama di
Maluku,

tentu

nya

juga

tidak

serta

merta

terjadi.

Meskipun

ada

provokator

yang“membakar”massa tujuan dan kepentingannya, namun tindakan tersebut hanya efektif jika
memang terdapat prakondisi yang memungkinkan dan mencukupi bagi terjadinya konflik
tersebut. Dalam kaitanya dengan prakondisi konflik di maksud, Ted Robert Guur menganggap
setiap kekerasan yang terjadi dalam masyarakat di golokannya sebagai kekerasan politik.
Kekerasan politik terjadi karna muncul ketidaksesuaian antara ke inginan/ harapan dengan
kemampuan, atau karena terjdinya kesengajaan (relative deprivation ) didalam masyarakat.
Kesenjagan dan perampasan berkembangang dan menimbulkan frustasi dan ketidak pauasan
kolektif. Frustasi dan ketidak puasan inilah yang merupakan faktor memungkinkan, dan jika
sampai pada tingkat yang mencukupi, meledak dalam berbagai bentuk tindak kekerasan
kolektif;misalnya: kekacauan, kerusuhan, konspirasi, terror, perang saudara, kudeta dan makar.
Jika faktor frustasi dan ketidakpuasan kolektif merupakan kondisi yang memungkinkan konflik,
maka faktor politasi selanjutnya merupakan faktor yang menciptakan kondisi yang mencukupi
bagi terjadinya konflik. Dengan kondisi demikian maka peran aktor dan provokator menjadi
signifikan sebagai pihak yang mematangkan prakondisi konflik.
Melengkapi pandangan Ted Gur tentang kekerasan politik, Charles Tilly menyatakan, “
Revolusi dan kekerasan politik lebih sering muncul secara langsung dari pusat terjadinya prosesproses

politik

dalam

masyarakat,

ketimbang

mencerminkan

ketidak

puasan

dalam

masyarkat”.(Ted Robert Gur, 2004 hlm 4-5).
Mengikuti kerangka pikir Gurr dan Tilly, bahwa frustasi dan ketidak puasan kolektif
merupakan proses yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama, di mana ketidak puasan

Universitas Sumatera Utara

dan frustasi kolektif saling terakumulasi, maka penulis menemukan bahwa frustasi ketidak
puasan rakyat Maluku baik yang beragama islam maupun Kristen di sebabkan oleh saling
interpenetasi antara faktor persaingan politik kekuasan, ekonomi budaya yang berskala nasional
(pusat), yang berimplikasi pada aras lokal (daerah).

Dalam kehidupan beragama, keberagamaan orang Maluku memiliki cirri yang khas.
Orang Maluku, baik yang beragama islam maupun Kristen, umumnya adalah orang yang taat
beragama dan bertaqwa. Hal ini memiliki akar-akar sejarah yang panjang. Inilah cirri positif
yang dapat di temukan orang Maluku. Namun, juga terdapat cirri lain dalam kehidupan
beragama orang Maluku yang sifatnya negative. Umumnya orang Maluku memandang orang
yang tidak seagamanya “orang kafir” dan agama lain diaanggap bukan agama yang di
perkanalkan ALLAh yang di sembahnya.

Secara sosiologis- antropologis, meskipun lewat penelitian, Frank Cooley mengatakan
bahwa kehidupan beragama orang Maluku adalah seperti “kue lapis”,di mana agama menepati
lapisan luar dan adat menjadi lapisan dalamnya. Namun pendapatCooley tersebut perlu diuji
kembali, yakni pertama masuknya arus migrasi dari luar, dan kedua melemahnya fungsi dan
peran adat. (Frank Cooley, 1996 hlm 81).

Sepanjang sejarah bngsa Indonesia, konflik yang berkembang sebenarnya dapat dipilah
ke dalam dua tipe yaitu konflik vertical dan horizontal. Konflik verikal merupakan konflik yang
didasarkan ide komunitas tertentu yang di hadapkan kepada penguasa. Konflik horizontal
merupakan konflik yang terjadi antarkomunis dalam masyarakat akibat banyak aspek misalnya
komunitas lain dianggap mengancam kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan identitas
kelompoknya.

Universitas Sumatera Utara

Maraknya konflik antarumat beragama tersebut tidak dapat di lepaskan dari kontribusi
Orde baru. Sebab memalalui politik SARA-nya penguasa telah menekan semua perbedaan yang
berbau kesukuan, keagamaan, ras, dan antar golongan. Semua dimasukan dalam bingkai
kesatuan, dan stabilitas politikdan keamanan demi pertumbuhan ekonomi. Melalui kebijakan ini
menjadikan konflik,baik laten maupaun manifest, harus ditekan dan celakanya tidak pernah
diselesaikan secara tuntas. Akibatnya masih sering muncul kasus konflik anatrumat beragama di
berbagai dearah yang menjadi ganjalan kerukunan seperti di Bali, Situbondo, pasuruan,
Yogyakarta, solo, Bandung, Tasikmalaya, Ambon dan lainya. Konflik yang memakan banyak
korban harta maupun jiwa itu ada yang relatif ditemukan penyelesaiannya, namun ada yang
sampe sekarang masih menggantung dan berlangsung. Konflik yang terjadi itu telah merusakan
pertemanan, hubungan antarmanusia yang telah di jalin, dan tentu diperlukan waktu yang
panjang untuk memulihkan trauma dan sakit hati. Jika proses pemulihan tida dilakukan dengan
serius, tidak mustahil masalah kerukunan di Indonesia pada tahun tahun mendatang hanya
sebuah nama ( suseno 1999 hlm 56).

Jika pasca perang dunia II yang dianggap potensial sebagai sumber konflik adalah
idiologi kebangsaan ( nasionalisme ), maka di penghujung abad ke 20 sumber konflik itu
bergeser pada kebangkitan sentiment agama dan enisitas. Dibeberapa pelosok bumi, demikian
juga halnya Indonesia, kita menyaksikan bahwa misi dan eksitensi agama yang selama ini
diperjuangkan sebagai juru damai, tiba-tiba bisa tampil bersama sentimen etnis sebagai ssenjata
perusak dan pembunuh terutama saat-saat terjadinya reformasi akhir abad ke 20. ( Kurtz Laster
1995 hlm 83 )

Universitas Sumatera Utara

Kerusuhan di Situbundo pada oktober 1996, pada penghujung desember 1996 muncul
kerusakan seperti di Tasikmalaya. Sebelumnya 1990, kasus yang signifikan untuk dikemukakan
di sini adalah ketika sensitivitas masa islam terkoyak oleh ulah arswendo Atmudiloto yang
mengadakan kuis di Tabloid Monitor yang merangking nami, yang hasilnya melecehkan umat
islam tahun 1996. Kemudain awal tahun 1997 konflik serupa pecah di Rengasdenklok. Tahun
1998 pecah insiden ketapang yang kemudian berlanjut pada tragedi ketapang. Pada tahun yang
sama, bertetapan pada Hari Raya Idul Fitri insiden ambon pecah. Sebagai kelanjutan konflik ini
terjadi pertikai antar agama di Halmamera dan Poso. Dalam demontrasi mahasiswa terjadi
pelecehan ( membuang najis ) di mesjid DPR Tk-1 Provinsi Sumatera Utara Tahun1999, dan
pada 28 Mei 2000 terjadi pegeboman terhadap rumah-rumah ibadah di Medan. Banyak lagi
konflik konflik yang terjadi yang tidak dapat di beberkan semuanya. Sering kali kebayakan umat
beragama, termasuk pemerintah dan tokoh-tokoh agama, kurang peka terhadap potensi dan
gejala konflik. Baru setelah potensi itu menjadi golambang konflik yang multi di mensioanal,
umat dan toko-tokoh agama merasa kebingungan dan kerepotan. ( Harahap, Syahrin 1994 hlm
85).

Konflik yang terjadi pada lokasi focus semuanya antara umat Islam sebagai mayoritas
dan kritiani ( baik kathalik maupun protestan ) sebagai minoritas. Walupun perlu dicatat
komposisi mayoritas-nimoritas ini tidak selalu memperlihatkan kekuatan dalam memainkan
konflik yang ada, sehingan pihak minoritas memperoleh dukungan dari kelompok sosial diluar
dirinya yang justru seagama dengan kelompok minoritas. Kasus Kulonrpogo menunjukan di
daerah ini terjadi pengeseran issu sumber konflik yaitu dari persoalan penolakan umat protestan
terhadap kebijakan pemerintah tentang hak siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai
agamanya, berubah menjadi penolokan terhadap pendirian sekolah negeri. Akhirnya beberapa

Universitas Sumatera Utara

kelompok sosial yang anggotanya muslim terperangkap dalam issu tersebut, sehinga
konfliknyamenjadi antar kelompok islam dengan kelompok protestan dan kelompok sosial yang
anggotanya beragama islam.

Dari lokasi yang ada, Pasuruan, Tasikmalaya, dan Solo sama-sama pernah memiliki sejarah
konflik sosial khususnya antar umat beragama. Di ponorogo, dan Propinsi Derah Itimewa
Yogyakarta, termasuk daerah yang selama ini dikenal tidak terjadi konflik terbuka meskipun
konfliknya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di daerah lain. ( Ismail,Nawari 2004
hlm 175).

Fakta bahwa adanya sebuah tatanan hidup yang plural bukanlah sebuah fenomena baru
yang datang dari dunia lain pada abad modern ini, melainkan sebuah warisan realita sosial yang
telah terjadi berabad-abad. Hidup dalam zaman pluralis memungkinkan setiap kita untuk
bertemu ataupun berinteraksi langsung dengan “sesama” kita yang beragam, termasuk
keberagaman agama. Hal ini juga didukung dengan era-globalisasi yang memungkinkan bahwa
setiap komunitas agama tersebut suka atau tidak, terima ataupun tidak, akan mengalami
perjumpaan dengan komunitas agama yang lain. Perjumpaan-perjumpaan tersebut dengan
sendirinya dapat membuka gerbang untuk terciptanya sebuah relasi atau hubungan yang unik di
antara mereka. Keberadaan dalam tatanan dunia yang plural ini juga dialami oleh kedua “anak
anak” Abraham/Ibrahim yakni Kristen dan Islam.1 Hal ini tentu saja berarti bahwa pertemuan
mereka dengan agama yang lain adalah bukan perkara yang baru terjadi.(Sarapung,1995 75-79 )

1

“arapu g, Pe ga tar: Me egaska , ii drew D. Clarke da Bru e Wi ter pe u ti g , Satu Allah Satu Tuhan,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 75-97; Lht. juga A dreas Hi awa, “ikap Kriste Mula-mula Terhadap Agama
Lai dala Jur al Amanat Agung Vol. 8, no. 2 Desember 2012, (Jakarta: STT Amanat Agung, 2012), 235;
Sedangkan untuk agama Islam, sejak kelahirannya telah bertemu dengan agama yang lain

Universitas Sumatera Utara

Setiap gerbang yang tercipta dalam hubungan antar agama memang menciptakan suatu
hubungan yang unik. Namun perlu diingat bahwa sepanjang sejarah agama memiliki “wajah
ganda”. Hal ini dipahami dalam artian bahwa agama-agama dapat menghidupkan suasana hidup
bermasyarakat dan bernegara, tetapi sekaligus juga dapat merusak kehidupan itu sendiri. Wajah
ganda agama ini di pihak lain sebagai sumber inspiratif dan spirit untuk kekuatan damai dan
memperdamaikan, tetapi juga sekaligus sebagai insiprasi dan spirit untuk kekuatan perang dan
mengacaubalaukan bahkan mematikan kehidupan. 2 Dengan demikian setiap hubungan yang
spesial dan unik itu juga memiliki dua macam sifat dan karakter yakni “lembut” dan “keras”.
Berbicara mengenai kerukunan umat beragama memang merupakan suatu persoalan yang
bersifat kompleks. Hal ini dikarenakan persoalan-persoalan yang ada tidak hanya melibatkan
satu dimensi saja melainkan lebih. Tentu saja timbulnya berbagai dimensi atau faktor yang
mempengaruhi hubungan anta-agama disebabkan karena agama tidak saja berurusan dengan
dirinya sendiri tetapi juga berkaitan atau berurusan dengan “kawan bermainnya”. Hal ini yang
dikatakan oleh Abdurrahman bahwa persoalan agama selain terkait dengan faham atau
keyakinan para pemeluknya tentang kebenaran mutlak “doktrin agama” masing-masing sebagai
bagian terdalam dari manusia, tetapi juga terkait dengan faktor-faktor sosial yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat.3 Hal yang senada juga ditegaskan bahwa agama bukan saja suatu
lembaga yang berhubungan dengan “Yang Mutlak” saja, tetapi juga adalah lembaga sosial. Dia
(agama) adalah bagian dari kebudayaan karena dia dihidupi dalam kehidupan manusia seharihari, sama seperti kehidupan lainnya. Berdasarkan contoh-contoh perjumpaan antar umat
beragama beserta peluang dan kendala kerukunan dari para ahli di atas, teridentifikasi ada
2

“arapu g, Pe ga tar: Me egaska , ii
35Haedar Nasir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 93 mengutip
Moesli A durrah a , Posisi Ber eda Aga a dala Kehidupa “osial di Pedesaa , dala Mul o o “oe ardi,
Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 142

3

Universitas Sumatera Utara

beberapa dimensi atau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antar-agama,
khususnya agama Kristen dan Islam, baik itu faktor internal (agama) ataupun faktor eksternal
(non-agama). Berikut ini adalah factor faktor tersebut:
1. Faktor Agama
Faktor agama memiliki peran yang kuat dalam menentukan pola hubungan atau relasi
antar agama. Peran faktor agama biasanya yang berkaitan dengan hubungan antar agama adalah
ajaran agama, pemahaman umat terhadap ajaran, penyebaran agama, pendirian rumah ibadah dan
sikap mental dari umat sendiri.
2. Faktor Politik
Faktor politik ini biasanya terjadi perihal kekuasaan mengenai siapakah yang dapat
memberikan pengaruh dalam pemerintahan. Walaupun terkadang bukan persoalan agama tapi
biasanya situasi-situasi politik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi relasi kedua
agama.Misalnya saja kita berkaca dari kasus di Poso pada tahun 1998, saat itu situasi politik
(pemilihan bupati) memberikan pengaruh bagi hubungan kedua agama.4
3. Faktor Keadaan Sosial
Faktor ini berkaitan dengan adanya kesamaan pergumulan keadaan sosial yang dialami
secara bersama, misalnya kemiskinan, ketidakadilan ataupun pergumulan-pergumulan sosial
lainnya. Dari kesamaan pergumulan inilah yang memungkinkan terciptanya suatu hubungan
antar agama.
4. Faktor Kebudayaan

4

Aritonang, Sejarah Perjumpaan, 539

Universitas Sumatera Utara

Kebudayaan sendiri merupakan salah satu nilai atau dasar hakiki bagi masyarakat yang
menganutnya. Di dalam kebudayaan kita dapat menemukan begitu banyak nilai-nilai serta
falsafah-falsafah hidup yang sampai saat ini masih dipertahankan dan dipegang oleh masyarakat,
terutama masyarakat tradisional. Nilai-nilai itu sendiri mengatur gaya hidup masyarakat tersebut.
Aritonang menyebutnya sebagai ikatan kultural sosial yang sama.5 Contohnya seperti yang juga
sudah disebutkan yakni adat Pela di Maluku, Mapulus di Minahasa, Rumah Betang di kalangan
suku Dayak di Kalimantan Tengah.
5. Faktor Keluarga atau Kekerabatan
Di dalam budaya Indonesia, nilai kekeluargaan memang sangat dijunjung tinggi, apalagi
jika memiliki ikatan darah. Sehingga hal ini pun memungkin memiliki pengaruh bagi relasi
antar-agama. Berkaitan dengan faktor ini, ada banyak sekali kehidupan keluarga atau kerabat di
Indonesia menunjukan adanya pluralisme agama dalam keluarga, yakni dalam satu keluarga
biasanya terdapat beberapa anggota keluarga yang memiliki agama yang berbeda.
6. Faktor Pemerintah
Sikap dan peran yang diambil oleh Pemerintah dalam memposisikan dirinya dalam
kebhinekaan sangatlah penting. Dalam posisinya sebagai “penguasa”, pemerintah diharapkan

dapat bertindak secara adil dan benar. Jika terdapat tindakan yang diskriminatif, maka dapat
menciptakan kondisi yang disharmoni. Sehingga tindakan yang diambil pemerintah sangatlah
menentukan relasi seperti apa yang akan tercipta. Sikap pemerintah sebagai fasilitator ini harus
dipertahankan.
7. Faktor Kepemimpinan

5

Ibid., 598

Universitas Sumatera Utara

Dukungan para pemimpin juga akan sangat mempengaruhi kerukunan umat beragama.
Peran tokoh masyarakat atau pemuka agama sangat penting dalam mempengaruhi umatnya ke
arah hidup berdampingan secara rukun dengan umat agama lain.

6

Secara sederhana

dibutuhkannya tokoh yang berani dan dapat dijadikan teladan bagi pengikut mereka. 7 Seperti
Karol Józef Wojtyła (Paus Yohanes Paulus II), Josef Ratzinger (Paus Benediktus XVI), Piere
Claverie (Uskup Oran 1981-1996) Abdullah bin Abdul Aziz (raja Arab Saudi), Muhammad
Sayed Tantawi (Syeikh Agung Al-Azhar Mesir), Mohammad Chantami (Presiden Iran). Di
Indonesia sendiri kita memiliki tokoh seperti Abdurrahman Wahid (presiden Indonesia ke-4),
John A. Titaley (Rektor UKSW Salatiga), Ebenhaizer I Nuban Timo (Ketua Sinode GMIT
20072011), A.A Yewangoe (Ketua PGI), dan masih banyak tokoh yang lain.
8. Faktor Globalisasi
Gelombang Globalisasi yang terus meningkat dengan segala aksesnya seperti
konsumerisme, hedonisme, promiskuitas dan sebagainya - mendorong banyak pengikut agama
semakin otensitas, baik dalam agama yang mereka peluk maupun dalam penghadapan dengan
agama-agama lain.8 Dengan demikian dapat kita lihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
relasi atau hubungan antar agama, khususnya agama Kristen dan Islam, adalah Faktor Agama,
Faktor Politik,Faktor Keadaan Sosial, Faktor Kebudayaan, Faktor Keluarga atau Kekerabatan,
Faktor Pemerintah, Faktor Kepemimpinan dan Faktor Globalisasi.
B. Status dan Peran

6

La pira : Pe dapat U u te ta g Keruku a Beraga a, 997 dala Wei ata “airi pe u ti g ,
Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-butir Pemikiran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
, 55 a g dia gkat dari duku e rak at da keruku a eraga a .
7
Ro ert B. Baowollo, Pe gatar Editor: “i Vis Pa e , Para Dialogu : )iarah Bersama Agama-agama Abrahamik
Me ari Akar Ke ersa aa , dala Menggugat Tanggung Jawab, 49-61
8
Az u ardi Azra, kata Pe ga tar dala Arito a g, Sejarah Perjumpaan , xiii

Universitas Sumatera Utara

Status adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam
masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan
ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status
sosialnya rendah.
Peran adalah peran yang dimainkan seseorang dalam lingkungan sosialnya. Peran ini
adalah merupakan tuntutan dari masyarakat terhadap individu untuk memberikan sumbangan
sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan dalam
masyarakat tersebut.Peran sosial bisa berupa aktivitas individu dalam masyarakat dengan cara
mengambil bagian dalam kegiatan yang ada di masyarakat dalam berbagai sektor, baik
sosial,politik, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Pengambilan peran ini tergantung pada
tuntutan masyarakat dan atau pada kemampuan individu bersangkutan serta kepekaannya dalam
melihat keadaan masyarakatnya.
C. Faktor pendorong dan penghambat
Faktor Pendorong dan Penghambat Kerukunan Antar Umat Beragama di Kota Semarang
Memperhatikan jejak rekam para aktifis lintas agama yang duduk di kepengurusan forum lintas
agama Kota Semarang, baik di Paguyuban Petamas,FKUB, Forkagama, maupun interfaith
nampaknya mereka mayoritas terdiri dari orang-orang atau tokoh yang mempunyai berbagai
macam kesibukan di luar forum lintas agamaBeberapa faktor pendorong kerukunan antar umat
beragama di Kota Semarang, di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Munculnya beberapa wadah atau forum atau paguyuban lintas agama yang dapat memfasilitasi
bagi para penganut agama untuk berkomunikasi secara sinergis dan diskusi secara langsung dan
berkesinambungan.

Universitas Sumatera Utara

2) Pemerintah daerah memfasilitasi berbagai kegiatan yang telah diprogramkan oleh wadah atau
forum atau paguyuban lintas agama.
3) Adanya iktikad baik dari para pemimpin atau tokoh agama di Kota Semarang untuk hidup
4) rukun berdampingan saling menghormati dan menghargai.
5) Kematangan berfikir, keterbukaan sikap para penganut agama dan kebiasaan bersilaturahim atau
berkunjung oleh tokoh agama tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah ketika perayaan hari
besar keagamaan secara bergantian.
6) Ikut sertanya media massa dalam mendukung kehidupan keberagamaan melalui pemberitaan
yang adil dan berimbang dalam setiap liputan berita kegiatan keagamaan tertentu.
7) Pelibatan generasi muda dalam setiap penyelenggaraan kegiatan lintas agama.
8) Adanya semangat gotong royong dan saling hormat menghormati kebebasan menjalankanibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
9)

Kerjasama di kalangan intern maupun antarumat beragama.( Imron HS, 2016 )
Beberapa faktor penghambat kerukunan antar umat beragama diKota Semarang, di antaranya
adalah sebagai berikut:

1) Kurang optimalnya kualitas dialog antar umat beragama.
2) Warisan politik imperialis peninggalan Kolonial.
3) Fanatisme dangkal oleh kelompok sekte-sekte agama tertentu.
4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.
5) Masih adanya kecurigaan dan ketidak percayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain,
kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu.
6) Sikap sentimen dan cara-cara agresif penyebaran agama sebagai akibat dari penafsiran tentang
misi suci atau dakwah yang konfrontatif.

Universitas Sumatera Utara

7) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.
8) Pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara satu agama dengan agama lain maupun ketidak
matangan dan ketertutupan penganut agama.
Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah;
penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya],secara luas
bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka
berbeda secara suku, agama ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses
untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan
untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk
mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog,saling terbuka,menerima
dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.

Sedangkan kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati,saling menghargai dalam
kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan
bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya