Kerukunan umat beragama antara islam, kristen dan sunda wiwitan: Studi Kasus Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur, Kuningan-Jawa Barat.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Angga Syaripudin Yusuf

NIM 109015000130

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Antropologi, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari tahu faktor dan pola kehidupan seperti apa yang diterapkan oleh masyarakat Desa Cigugur sehingga mereka bisa hidup rukun berdampingan satu sama lain meskipun berbeda-beda keyakinan. Selanjutnya peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan masyarakat di Desa Cigugur terhadap konsep kerukunan hidup antar umat beragama pada masa kini.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan datanya antara lain, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa terciptanya kerukunan, karena masing-masing dari setiap pemeluk agama saling terbuka dan menerima keberadaan dari agama lain. Adanya keanekaragaman beragama yang ada di Cigugur, tidak membuat hubungan interaksi antara warga Cigugur menjadi renggang dan kaku, justru hal tersebut membuat keindahan tersendiri yang dapat dilihat didalam pola interaksi bermasyarakat warga Cigugur. Dalam melakukan kegiatan yang bersifat sosial, masyarakat Desa Cigugur tidak memandang adanya kelompok mayoritas ataupun minoritas. Mereka selalu menanamkan rasa persaudaraan yang sangat kuat dan menjunjung tinggi sikap gotong-royong di dalam masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pola kerukunan umat beragama, masyarakat desa Cigugur secara umum mempunyai pola kerukunan yang sangat dinamik. Hal ini terlihat dari pola hubungan sosial keagamaan dan pola hubungan sosial kemasyarakatan, yang mana hal-hal tersebut akan menjelaskan bagaimana pola kerukunan umat beragama yang terjadi di desa Cigugur. Selain itu, terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi kerukunan kerukunan yang terjadi di Cigugur yaitu: ikatan kekeluargaan, saling menghormati dan menghargai antar umat beragama dan gotong royong.


(6)

v

Sciences and Knowledges, Facultyof Tarbiyah and Teaching Knowledge, Universityof Islamic State Syarif Hidayatullah Jakarta.

The purpose of this reasearch is to find out life styles and factors applied in Cigugur citizens untill they can live together with diversity of faith. Furthermore, the reasearcher wonder about the point of view Cigugur Citizen toward modern concept of harmony living among inter-religious people.

Method applied in this reasearch is qualitative descriptive. Techniques of data collection are observation, interview, and documentation. Then, technique of data analysis applied are data reduction, data presentation and conclusion.

From the research result are found that the harmony reached because of every religious afiliation are open minded and accept of the presence of other reigion. The diversity of faith in Cigugur did not make the interaction among the citizen stiff and rift, moreover it become a unique situation can be seen from their interaction. In society activities they do not see about the differences of majority and minority. They always hold a good brotherhood and work together in their society. Related to the harmony of religious afiliation, Cigugur citizen have a dynamic harmony style generally. It can bee seen from social religiuos and society relation style, which describe religious affilition harmony style in Cigugur. Meanwhile, there are some factors influences the harmony in Cigugur. Family relationship, honoring and respecting each other and working together .


(7)

vi Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Syukur Alhamdulilah segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, atas rahmat dan karunia-nya kepada penulis maka selesailah skripsi ini yang berjudul“ Kerukunan Umat Beragama Antara Islam, Kristen dan Sunda Wiwitan (Studi Kasus: Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan-Jawa Barat)”. Tak lupa sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan bagi manusia, dan semoga kita menjadi pengikutnya yang taat hingga nanti, amin.

Selesainya skripsi ini tak lupa do’a dan kesungguhan hati, kerja keras serta

bantuan dari berbagai pihak baik saran maupun bantuan lainnya. Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan ini, dan lebih khusus ucapan terimakasih yang saya ucapkan kepada: 1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Nurlena Rifa’i MA.Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga sebagai

dosen Pembimbing Akademik

4. Drs. H. Syaripulloh, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, juga sebagai dosen pembimbing skripsi bagi penulis, terimakasih atas segala bimbingan, pengarahan, ilmu, baik dalam

bidang akademik maupun kehidupan, waktu, serta motivasinya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelasaikan skripsi ini.


(8)

vii

6. Rama Djati Kusumah, Pangeran Gumirat Barna Alama,Mang Didi, Ibu Uti, Ibu uum, Pak Kento Subarman, Pak Aang Taufik di Cigugur, terima kasih atas bantuan dan kesediaanya untuk menjadi sumber dalam penulisan Skripsi ini

7. Kedua Orang Tuatercinta, Yusuf Abdullah (ayah) dan Kokom Kodarul Hasanah (ibu), terimakasih yang tak terhingga atas setiap cinta yang terpancar, doa dan restu yang selalu mengiring tiap langkah penulis. semangat, kasih sayang, pengorbanan, dan ketulusannya dalam mendampingi penulis. Semoga

Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho-Nya kepada keduanya. 8. Adik tercinta Anggi Nurlaela Yusuf, terimakasih atas do’a, canda, tawa serta

dukungannya. Semoga semua usaha penulis dapat menjadi lecutan semangat tak terhingga agar adiktercinta dapat menggapai hal yang sama bahkan lebih

demi kebahagiaan dan kebanggaan kedua orang tua tercinta. Penulis bangga mempunya adik seperti beliau.

9. Linda Maulinda Rosalinda yang terbiasa penulis panggil “Neng”. Terimakasih atas motivasi, dukungan dan harapannya. Juga sebagai tempat penulis

berkeluh kesah berbagi kesedihan, kegembiraan dan memberikan arahan yang terbaik sehingga penulis bisa menjadi lebih baik.

10.Teman-teman penulis, (Didik, Iqbal, Rahman, Furqon, Cesna, Bayu, Ucup,

Imam, Akbar, Umar, Nandar, Adul, Apri, Wahyu Dj, Indah, Desi, Ella, lilis dkk) yang selalu memberikan do’a dan motivasi kepada penulis.

11.Teman-teman Seperjuangan Cigugur, Didik, Fery, Aisyah, Lita, Aini, Faisal. 12.Bung dan Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Didik,


(9)

viii

dan langkah kita sehari-hari untuk mewujudkan cita-cita Revolusi 17 Agustus 1945, dan semoga semangat pembebasan terhadap kaum Marhaen tetap tertanam kuat dalam sanubari kita.

13.Keluarga Mahasiswa Kabupaten Subang Jakarta Raya (KEMBANG JAYA), terimakasih atas pelajaran dan pengetahuan khususnya pemahaman tentang kedaerahan kepada penulis.

14.Semua teman-teman seperjuangan Jurusan IPS angkatan 2009 kelas C

sosioantro , serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.

Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidak sempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya,

dan pembaca umumnya. Semoga skipsi ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Alhamdulillahirrobil’Alamin

Wassalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.

Jakarta, 9 September 2014


(10)

ix

LEMBAR PENGESAHAN ...ii

LEMBAR PERNYATAAN ...iii

ABSTRAK ...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masala ... ...1

B. Identifikasi Masalah .. ...8

C. Pembatasan Masalah .... ...9

D. Perumusan Maslah ... ...9

E. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ...9

BAB II KAJIAN TEORI A.Kajian Teori...11

1. Interaksi Sosial ... ...11

a. Pengertian ... ...11

b. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial ... ...12

c. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial ... ...13

2. Kerukunan Antar Umat Beragama ... ...15

a. Definisi Kerukunan ... ...15

b. Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama .. ...16

c. Disharmonisasi Antar Umat Beragama ... ...22

d. Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia ...23

B.Hasil Penelitian Relevan .. ...26


(11)

x

B.Latar Penelitian ... ...32

C.Metode Penelitian ... ...32

D.Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... ...33

1. Pengumpulan Data .... ...33

2. Pengolahan Data ...35

E. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data .... ...36

F. Analisis Data ... ...37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.. Profil Desa Cigugur .. ...40

1. Kondisi Geografis . ...40

2. Kondisi Demografis .. ...43

3. Kondisi Sosial ... ...45

B. Pembahasan ... ...54

1. Pandangan Masyarakat Desa Cigugur Mengenai Kerukunan Antar Umat Beragama ... ...55

2. Pola Kerukunan Umat Beragama di Desa Cigugur ... ...61

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerukunan Antar Umat Beragama di Desa Cigugur ... ...66

4. Potensi Konflik Antar Umat Beragama di Desa Cigugur ...68

5. Analisis Hasil Penelitian .. ...73

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan .. ...80

B. Saran . ...81

Daftar Pustaka ...83


(12)

(13)

xii

Lampiran 1 Pedoman Observasi Lapangan

Lampiran 2 Hasil Observasi Lapangan

Lampiran 3 Pedoman Wawancara

Lampiran 4 Hasil Wawancara

Lampiran 5 Dokumentasi

Lampiran 6 Struktur Organisasi Kelurahan Cigugur

Lampiran 7 Peta Kelurahan Cigugur

Lampiran 8 Lembar Uji Referensi

Lampiran 9 Surat Keterangan Penelitian Dari Kelurahan Cigugur

Lampiran 10 Surat Keterangan Penelitian Dari KESBANGPOL Kabupaten Kuningan


(14)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Kerukunan antarumat beragama di Indonesia masih banyak menyisakan masalah. Kasus-kasus yang muncul terkait dengan hal ini belum bisa terhapus secara tuntas. Kasus Ambon, Kupang, Poso, dan lainnya masih menyisakan masalah ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu siap membara dan memanaskan suasana di sekelilingnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat tentang kerukunan antarumat beragama perlu ditinjau ulang. Banyaknya konflik yang melibatkan agama sebagai pemicunya menuntut adanya perhatian yang serius untuk mengambil langkah-langkah yang antisipatif demi damainya kehidupan umat beragama di Indonesia pada masa-masa mendatang. Jika hal ini diabaikan, dikhawatirkan akan muncul masalah yang lebih berat dalam rangka pembangunan bangsa dan negara di bidang politik, ekonomi, keamanan, budaya, dan bidangbidang lainnya.

Adanya perubahan kondisi seperti sekarang ini seharusnya meningkatkannkesadaran masyarakat kita akan arti penting persatuan dan kesatuan. Akan tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Angin reformasi membawa dampak kebebasan yang kurang terkendali. Hal ini akan sangat berbahaya ketika terjadi di tengah-tengah bangsa yang tingkat heterogenitasnya cukup tinggi seperti Indonesia. Rakyat Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat yang cinta damai dan diikat oleh rasa persatuan nasional untuk membangun sebuah negara yang majemuk. Persatuan ini tidak lagi membeda-bedakan agama, etnis, golongan, kepentingan, dan yang sejenisnya.

Pengkajian tentang hubungan antar umat beragama dan antar etnis sekarang ini memasuki tantangan baru dan semakin menarik untuk diteliti dan di diskusikan. Hal ini disebabkan oleh munculnya konflik-konflik bernuansa SARA (Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan) dan perubahan dinamika hubungan sosial dan keagamaan yang terjadi dilapangan. Berbagai peristiwa


(15)

yang sempat menggejolak disebagian wilayah Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukan indikasi bahwa telah terjadi pergeseran hubungan antar agama dan antar etnis di negeri ini. Konflik agama terutama merupakan ungkapan sengit atas kesalahan-kesalahan yang menggunakan agama sebagai basis identitas kelompok. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Indonesia adalah tanggapan terhadap ketimpangan sosial ekonomi, penggusuran ekonomi oleh pendatang, legitimasi politik yang menurun, dan pandangan mengenai ancaman terhadap identitas kelompok. Dalam sejumlah kasus, kerusuhan itu melibatkan keluhan yang lebih langsung atas hak-hak praktik beragama. Penggunaan identitas agama menuntut penjelasan melampaui berbagai sebab kekerasan yang bersifat langsung.1

Beberapa tahun terakhir, isu agama begitu cepat menyebar ke berbagai lapisan sehingga tercipta kerentanan yang cukup menegangkan dalam kehidupan beragama masyarakat. Sedikit saja tersentuh ego keagamaan atau etnis suatu kelompok, maka reaksi yang ditimbulkan sangat besar dan terkadang berlebihan. Yang lebih menyedihkan, reaksi tersebut cenderung berupa kekerasan dengan berbagai tingkat eskalasinya. Eskalasi kekerasan dengan berbaju SARA ini telah menciptakan suasana kehidupan yang tegang dan meresahkan. Dalam suasana seperti ini agama seringkali dijadikan titik singgung paling sensitif dan eksklusif dalam pergaulan pluralitas masyarakat.Keberadaan negara bangsa (nation state) merupakan kesepakatan final dari para founding fathers, sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralitas yang menjadi pilar tegaknya negara Indonesia. Dengan tegas pengakuan kemajemukan ini tertuang dalam lambang negara Bhineka Tunggal Ika.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, kemajemukan telah melahirkan perpaduan yang sangat indah dalam berbagai bentuk mozaik budaya. Berbagai suku, agama, adat istiadat dan budaya dapat hidup berdampingan dan memiliki ruang negoisasi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, keragaman yang terajut indah itu kini terkoyak dan tercabik-cabik

1

Jacques Bertrand, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h. 179-180


(16)

oleh sikap eksklusif yang tumbuh dari akar primordialisme sempit kesukuan, agama dan golongan. Peristiwa konflik atau kerusuhan terjadi di beberapa daerah, baik dalam eskalasi kecil maupun besar dengan membawa korban harta, manusia, bangunan perkantoran maupun perdagangan dan lainnya, sehingga menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan kebangsaan kita.2

Kemajemukan agama-agama (pluralisme) dan budaya

(multikulturalisme) adalah tantangan yang dihadapi pemikiran dan kehidupan

umat manusia dewasa ini. Namun masih ada ketakutan bahwa agama tetap memiliki potensi melahirkan kaum militan yang gampang merasa terganggu

dan menjadi penganjur ketidaktoleranan dan kekerasan. „Kelompok -kelompok bersemangat’ ini bisa berbahaya ketika menjadi gerakan massa, atau ketika kepercayaan mereka tersistematiskan dalam lembaga-lembaga keagamaan yang memperlakukan kelompok-kelompok ini sebagai heretik, yang pantas mendapat celaan dan bahkan kematian. Di pihak lain ada ketakutan bahwa agama-agama menciptakan kepasifan ketika berhadapan dengan ketidak adilan, bahkan melahirkan romantisme, kebodohan, dan keterbelakangan ketika berhadapan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Dua jenis ketakutan itu percaya bahwa agama selalu bersifat dogmatik, intoleran, dan tidak berubah. ‘The Order’ dianggap inferior dan berhak didakwahi, dipaksa atau dikerasi, ketimbang dianggap sejajar. Disinilah kemudahan kita bertanya apakah mungkin bagi orang-orang yang berbeda-beda agama dan budaya itu hidup berdampingan dan mengalami perbedaan dalam kesamaan.

Charles Taylor dalam Multiculturalism: Exmining the Politics of

Recognition (1994) mengatakan:

“Masing-masing kelompok budaya dan agama menuntut (dan berhak mendapatkan) pengakuan dan penghargaan. Namun, bahayanya, mereka yang memiliki identitas tertentu menolak mengakui dan menghargai yang lain. Kurangnya toleran seperti ini berdampak

2Konflik Sosial Bernuansa Agama Di Indonesia

, (Departemen Agama RI Badan LITBANG Agama dan Keagamaan PUSLITBANG Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama tahun 2003), h. 1-2


(17)

serius, khususnya bagi demokrasi dan keadilan. Sebabnya adalah kekakuan identitas komunal yang mempercayai dirinya sebagai otentik dan superior, atau kekakuan identitas universalis yang berusaha untuk mempengaruhi yang laim dengan cara memaksa”.3 Setidaknya ada tiga kata kunci yang tersirat dari pemaparan diatas: pertama, agama sama sekali tidak bisa meninggalkan untuk tidak

menyebutnya lengket “emosi”, sedangkan “emosi” merupakan cikal bakal

agresivitas yang mudah berbelok kepada tindakan kekerasan. Kedua, aktivitas dan kegiatan keagamaan dapat mengurangi tindak kekerasan, jika ia berfungsi dengan baik sebagai alat peredam (katarsis). Tetapi sebaliknya aktivitas keagamaan bisa menjelma menjadi daya dorong yang hebat dan memicu kekerasan, jika ia justru menimbulkan perasaan frustasi dan tidak puas bagi para pemeluknya. Dan yang ketiga, masyarakat beragama yang tidak agresif biasanya dikondisikan oleh corak dan model pendidikan agama yang ditawarkan oleh para pimpinan agama, masyarakat, atau kelompok agama yang santun secara sosial4

Setiap pemeluk agama umumnya meyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan yang paling benar (baginya). Dalam intern umat beragama sendiri, walaupun dengan teks dan kitab suci yang sama. Karena berbagai faktor, terdapat penafsiran dan pemahaman yang juga bisa berbeda. Perbedaan interpretasi terhadap teks-teks suci tersebut mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda diantara para penganut agama yang sama tersebut. Semua itu tentu tidak masalah sejauh keyakinan dan pemahaman tersebut tidak dibarengi dengan prasangka bahwa diluar agama yang dipeluk oleh kelompoknya dan diluar paham yang dia anut adalah sesuatu yang salah dan sesat. Sayangnya, diantara problem yang paling dekat dan menghadang dalam mewujudkan masyarakat pluralis saaat ini antara lain adalah berkembangnya faham keagamaan eksklusif yang secara

3

Muhamad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan (Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS, 2008), h. 71-72

4

M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multi Kultural Multi Religius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 18-19


(18)

esensi memandang bahwa hanya agamanya saja yang paling benar sedangkan yang lain salah belaka. Karenanya demi tegaknya kebenaran (versi mereka) semua yang salah itu harus dieleminasi, kalau perlu dengan kekerasan. Kelompok eksklusif semacam inilah yang cenderung menampilkan agama dalam wadah yang keras dan radikal dan biasanya ekstrim. Kelompok semacam ini terdapat pada setiap agama. Hanya saja, baik intensitas ekstrimitas maupun besar kecilnya perkembangan gerakan tersebut sangat tergantung pada kesempatan yang ada atau yang dapat mereka raih. Syukurlah bahwa secara keseluruhan kelompok seperti ini kecil jumlahnya, tetapi seringkali suara dan gemanya lebih nyaring dari yang lain sehingga dapat berdampak pada citra keseluruhan kelompok agama yang bersangkutan dan bagi umat beragama diluarnya. Sebaliknya, kelompok arus utama (the main stream) dari berbagai kelompok agama yang ada pada umumnya adalah moderat, namun biasanya suaranya kalah nyaring dibanding kelompok eksklusif. Keberadaan berbagai kelompok eksklusif dan ekstrem tersebut tak urung telah menyulut terjadinya sejumlah konflik baik internal dalam satu agama maupun eksternal antar agama, walau agama secara esensial mengajarkan hidup rukun dan damai baik antar sesama maupun antar sesama dengan lingkungan.5

Jika bangsa yang multi-agama dan budaya bertekad untuk keluar darin krisis multi-dimensi, maka tidak ada jalan lain kecuali mengakui multikulturalisme dengan dukungan teologi yang relevan. Ancaman disintegrasi dan konflik horizontal dalam berbagai bentuknya tetap akan menghantui para pemimpin dan rakyat kita jika pemahaman akan multikulturalisme begitu dangkal, yang memudahkan siapa saja untuk berlaku tidak adil terhadap yang lain.

Seorang multikulturalis tidak beragama secara mutlak-mutlakan. Artinya ketika klaim kebenaran yang dianutnya dilihat dari luar maka ia menjadi tidak mutlak. Ini bisa disebut dengan sikap keberagamaan ‘relatively

5

Muhaimin AG, Damai di Dunia Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004), h. 3-4


(19)

absolut’ dengan mengatakan, “Apa yang saya anut memang benar dan saya berjuang untuk mempertahankannya, tetapi tetap saja relatif ketika dihubungkan dengan apa yang dianut orang lain, karena orang lain melihat

apa yang saya anut dari kacamata anutan orang lain itu”. Keberagamaa

mutlak-mutlakan dalam banyak kasus cukup berbahaya dalam konteks interaksi antar agama dan antar budaya. Klaim kebenaran absolut merupakan benih bagi tumbuhnya fundamentalisme radikal yang bisa membenarkan segala cara.6

Selain itu keberagamaan multikulturalis merupakan keberagamaan yang tidak kering. Kekakuan yang berlebihan dalam menjalankan agama seringkali menyebabkan kurangnya kesadaran spiritual. Salah satu nikmatnya beragama adalah merasakan apa yang kita lakukan secara sadar dan tanpa paksaan, misalkan merasakan betapa indahnya kemajemukan dan kebersamaan.7Keberagamaan multikulturalis tidak melepaskan simbol, tetapi selalu berupaya melihat makna. Bagaimana, simbol memegang peranan penting dalam setiap agama. Tanpa simbol, tudak ada agama. Namun, keberagamaan multikulturalis bergerak lebih jauh dan lebih dalam dari sekedar simbol. Ia menerima ekspresi-ekspresi keberagamaan simbolik, namun menyadari makna dari setiap simbol itu.

Keberagamaan multikulturalis tidak dimaksudkan semata-mata demi agama itu sendiri, tetapi lebih dari itu untuk kemanusiaan. Seorang multikulturalis tidak akan mengatakan bahwa dirinya lebih berjuang lebih membela Tuhan, ketimbang orang lain. Ketuhanan dan kemanusiaan memang bersifat fitrah, tetapi selalu berbeda dalam ruang dan waktu. Seorang multikulturalis memahami mengapa dia beragama dan berusaha sesuai kemampuannya untuk menjalankan agamanya, sambil menyadari bahwa dirinya adalah produk sejarah dan bahwa kemajemukan ekspresi kebudayaan manusia adalah hal yang lumrah. Kesadaran multikulturalis dalam beragama paling tidak akan mengurangi tumbuhnya budaya kekerasan atas nama agama

6

Ibid., h. 79


(20)

yang dalam dekade belakangan ini menjadi bagian masalah nasional dan global.8

Agama dan budaya menjadi sangat problematik ketika memiliki implikasi horizontal. Yaitu, ketika satu keberagamaan atau keberbudayaan seseorang atau kelompok tertentu bergesekan dengan keberagamaan atau keberbudayaan orang atau kelompok lain. Perjumpaan antar iman dan budaya dewasa ini, akibat faktor-faktor eksternal seperti globalisasi, politik domestik, dan kondisi sosial budaya, selain faktor-faktor internal seperti penafsiran agama dan budaya, telah melahirkan problem-pronlem fundamentalisme, konflik antar agama, konflik etnis, serta ketegangan budaya.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, ketegangan dan konflik etnis, agama, budaya, dan politik belum juga menurun dan masih menjadi bagian potret interaksi masyarakat. Sejak menjelang kemerdekaan hingga era reformasi sekarang ini, perbedaan-perbedaan lebih sering menjelma menjadi pertentangan, sehingga pada gilirannya melahirkan ketidaknyamanan hidup bersama dan ketidakproduktifan. Pergantian rezim seakan tidak berarti pergantian mental dan budaya konflik dan kekerasan, sementara masyarakat tidak harmonis dalam perbedaan itu.9

Namun fenomena konflik yang dilatar belakangi agama dan budaya diatas berbanding terbalik dengan fenomena yg penulis jumpai di Desa Cigugur. Cigugur adalah sebuah Desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan bahkan kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari kota Bandung10.

Masyarakat di Desa Cigugur hidup dalam sebuah perbedaan. Dan yang menjadi perbedaan mendasar pada masyarakat Cigugur adalah perbedaan agama pada masing-masing individunya. Dimana, perbedaan

8Ibid,

h. 80

9Ibid.,

h. 87-88

10

Mustafid Sawunggalih, Menyusur Agama Djawa Sunda Dari Cigugur, 2012, (Www.Nusantaraislam.Blogspot.Com) Di Akses Selasa, 29 Januari 2013


(21)

tersebut tidak hanya terdapat pada masing-masing warganya melainkan perbedaan tersebut juga ada dalam satu keluarga. Misalkan, Ayah dan Ibunya penganut agama Islam, dan anak-anaknya ada yang menganut agama Katolik, Hindu, Budha, atau agama Islam juga sesuai dengan orang tuanya. Dan itu sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Suatu hal yang perlu diketahui disini adalah bahwa perbedaan yang ada pada masyarakat Cigugur tersebut tidaklah menjadikan mereka hidup dalam ketegangan hingga menimbulkan suatu konflik seperti konflik-konflik yang sering terjadi dewasa ini yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, namun kehidupan mereka justru sangat harmonis, bisa hidup secara berdampingan, dan sangat menjunjung tinggi Toleransi dalam beragama. Yang mana pada setiap masyarakatnya bukan hanya mengakui keberadaan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan dari setiap masing-masing penganut agama yang ada. Faktanya, bahwa setiap masyarakat yang berbeda agama tersebut dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.

Dengan latar belakang tersebut, penulis bermaksud mengadakan penelitian mengenai“Kerukunan Umat Beragama Antara Islam, Kristen dan Sunda Wiwitan (Studi Kasus: di Desa Cigugur Kec. Cigugur Kuningan)”.

B.

Identifikasi Masalah

Dari masalah yang dijelaskan diatas maka dapat diidentifikasikan masalahnya, yaitu:

1. Terdapat beberapa Agama di Desa Cigugur yang mengedepankan kebudayaan Sunda

2. Terciptanya kerukunan umat beragama pada masyarakat Desa Cigugur 3. Terdapat pola kerukunan umat beragama pada masyarakat Desa Cigugur 4. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kerukunanumat beragama pada

masyarakat Desa Cigugur

5. Terdapat upaya yang dilakukan untuk menjaga kerukunan umat beragama pada masyarakat Desa Cigugur


(22)

C.

Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dilakukan agar penelitian lebih terarah, terfokus, dan tidak menyimpang dari sasaran pokok penelitian. Oleh karena itu, penulis, memfokuskan kepada pembahasan atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks kerukunan umat beragama (Islam, Kristen dan Sunda Wiwitan). Subyek yang diteliti adalah masyarakat Cipager, desa Cigugur, Kecamatan Cigugur.

D.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian ilmiah. Perumusan masalah berguna untuk mengatasi kerancuan dalam pelaksanaan penelitian. Berdasarkan masalah yang dijadikan fokus penelitian, masalah pokok penelitian tersebut dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Cigugur mengenai kerukunan

antar umat beragama ?

2. Bagaimana pola kerukunan umat beragama di Desa Cigugur sehingga mereka bisa hidup rukun berdampingan satu sama lain meskipun berbeda agama?

3. Apa faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Cigugur yang masing-masing-masing memiliki perbedaan keyakinan agama tersebut dapat hidup rukun dan berdampingan satu sama lain?

E.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Desa Cigugur mengenai kerukunan antar umat beragama.

b. Untuk mengetahui pola kerukunan umat beragama di Desa Cigugur sehingga mereka bisa hidup rukun berdampingan satu sama lain meskipun berbeda agama.


(23)

Cigugur yang masing-masing-masing memiliki perbedaan keyakinan agama tersebut dapat hidup rukun dan berdampingan satu sama lain. 2. Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi mengenai bagaimana kerukunan umat beragama antara Islam, Kristen dan Sunda Wiwitan, dan dapat dijadikan bahan kepustakaan serta hasil penelitian ini sebagai suatu informasi bagi penelitian serupa atau peneliti-peneliti lain yang berkaitan dengan penelitian ini.


(24)

11

A.

Kajian Teori

1. Interaksi Sosial

a. Pengertian Interaksi Sosial

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses sosial hanyalah bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu.

Merupakan hal yang sangat mustahil jika manusia tidak membutuhkan pertolongan atau bantuan dari orang lain, karena pada hakekatnya manusia selalu membutuhkan orang lain dalam berbagai hal dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu manusia disebut mahluk sosial. Upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dilaksanakan melalu suatu proses sosial yang disebut dengan interaksi social.

Sedangkan menurut Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto,

“interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas-aktifitas sosial. Bentuk lain proses sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perongan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia”.1

Menurut Kimball Young dan Raymond dalam Soerjono Soekanto

“interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama”.

1


(25)

Kehidupan bersama dalam pengertian interaksi sosial tersebut dapat diarrtikan salah satunya adalah terjadinya kerukunan. Karena melalui interaksi sosial, masyarakat melakukan pola hubungan yang seperti menegur, menyapa dan saling berbicara.2

Dengan demikian interaksi sosial adalah suatu hubungan sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.

b. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial

Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memnuhi dua syarat, yaitu:

1) Kontak Sosial

Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh), jadi artinya secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, oleh karena orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, seperti misalnya, dengan cara berbicara dengan pihak lain tersebut.

Dengan demikian, kontak sosia adalah aksi individu atau kelompok dalam bentuk isyarat yang memiliki arti (makna) bagi si pelaku, dan si penerima membalas aksi tersebut dengan reaksi.3

2) Komunikasi

Arti terpenting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.4

Hal ini mengisyaratkan bahwa komunikasi penting untuk membangun konsep diri, untuk kelangsungan hidup, aktualisasi diri,

2

Ibid.,h.54

3

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 74

4


(26)

untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketergantungan, antara lain lewat komunikasi yang menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. Melalu komunikasi sosial kita dapat bekerja sama dengan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

c. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

1) Kerja Sama (Cooperation)

Kerja sama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.

Bentuk dan pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok manusia, kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (in-group-nya) dan kelompok lainnya (out-group). Kerja sama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan secara tradisional atau institusional telah tertanam dalam diri kelompok, dalam diri seorang atau segolongan orang.

Menurut Charles H. Cooley dalam Soerjono Soekanto pentingnya fungsi kerja sama digambarkan sebagai berikut :5

“Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka

mempunyai kepentingan –kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna”.

Dalam hubunganya dengan kebudayaan suatu masyarakat, kebudayaan itulah yang mengarahkan dan mendorong terjadinya kerja sama. Terdapat lima bentuk kerja sama menurut James D. Thompson

5


(27)

–Wiliam J. McEwen dalam Soerjono Soekanto sebagai berikut: a) Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong

b) Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran

barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.

c) Kooptasi (Cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

d) Koalisi (Coalition) yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.

e) Joint Venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya pengeboran minyak dan pertambangan batu bara.6

2) Akomodasi

Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses . Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitanya dengan norma-norma sosial dan nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.

Sedangkan menurut Gillin dan Giliin dalam Soerjono Soekanto akomodasi adalah:

“suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial. Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai sutu proses dimana orang-perorangan atau kelompok- kelompok manusia saling mengadakan penyusaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.7

6

Ibid.,h.68

7


(28)

Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu:

a) Untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. b) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu

atau secara temporer.

c) Untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial yang hidupnya terpisah sebagia faktor-faktor soasial psikologis dan kebudayaan.

d) Mengususahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah.8

3) Asimilasi

Merupakan proses sosial yang ditandai oleh adanya upaya-upaya mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok sosial yang diikuti pula usaha-usaha untuk mencapai kesatuan tindakan, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan bersama.9

Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antar kelompok. Selanjutnya individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Denikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

2. Kerukunan Antar Umat Beragama a. Definisi Kerukunan

Secara etimologis kata kerukunan berasal dari bahasa Arab,

yaitu “ruknun” yang berarti tiang, dasar, sila. Jamak dari ruknun ialah

arkaan” yang berarti bangunan sederhana yang terdiri atas berbagai

8

Ibid.,

9

Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 81


(29)

unsur. Jadi, kerunan itu merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsure yang berlainan dan setiap unsur tersebut saling menguatkan.10

Krukunan artinya adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antara semua orang meskipun mereka berbeda secara suku, agama, ras dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan serta kemampuan dan kemauan untuk hidup bersama dengan damai serta tentram.

Kerukunan juga diartikan sebagai kehidupan bersama yang diwarnai oleh suasana baik dan damai, hidup rukun berarti tidak bertengkar, melainkan bersatu hati, dan sepakat dalam berfikir dan bertindak demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Didalam

kerukunan semua orang bisa “hidup bersama tanpa kecurigaan, dimana

tumbuh semangat dan sikap saling menghormati dan kesediaan untuk bekerja sama demi kepentingan bersama.11 Kerukunan atau hidup rukun adalah sikap yang berasal dari lubuk hati yang terdalam, terpancar dari kemauan untuk memang berinteraksi satu sama lain sebagai manusia tanpa tekanan dari pihak manapun.12

Sementara dalam kaitan sosial, rukun diartikan dengan adanya yang satu mendukung keberadaan yang lain.13 Dengan demikian kerukunan dalam konteks sosial merupakan norma yang sepatutnya diimplementasikan agar terwujudnya masyarakat madani yang saling peduli dan mendukung eksistensi masin-masing elemen masyarakat.

b. Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama

1) Perlunya Kerukunan Hidup beragama

10

H. Said Agil Husin Al Munawar, Fikih hubungan Antaragama ( Jakarta:Ciputat Press, 2003), h. 4

11

M. Zainudin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia ( Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan departemen Agama RI, 2001), hal. 67

12

Taher, Elza Peldi, Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, (Jakarta: ICRP, 2009), h. 84

13

Hamka Haq, Jaringan kerjasama antarumat beragama: Dari wacana ke aksi nyata ( Jakarta: Titahandalusia Press, 2002), h. 54


(30)

Yang mempersatukan bangsa dan masyarakat indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi dan terdalam adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dilengkapi horizontal oleh sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Bila sikap dasar vertikal dan horizontal itu dipahami, dihayati, dan diamalkan konsekuen konsisten, buahnya ialah persahabatan, persaudaraan, saling menghargai, saling menolong, saling memekarkan. Jadi, sikap-sikap dasar yang berciri inklusif saling merangkul. Kesatuan dan persatuan dalam arti sejati. Meskipun kadang-kadang berselisih, namun selalu ingin rukun kembali. 14

Kerukunan hidup beragama bukan sekedar terciptanya keadaan dimana tidak ada pertentangan intern umat beragama, antar golongan-golongan agama dan antar umat-umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan hidup beragama merupakan keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan dan kehidupan bermasyarakat yang saling menguatkan dan diikat oleh sikap mengendalikan diri dalam wujud saling menghormati, bekerja sama, dan saling tenggang rasa.

Kerukunan antar umat beragama di Indonesia termasuk salah satu masalah yang mendapat perhatian penting dari pemerintah. Masalah kerukunan hidup antar umat beragama mempunyai kaitan yang besar dengan usaha pembangunan. Dengan adanya kerukunan antarumat beragama akan menjamin dan terpelihara stabilitas sosial untuk keberhasilan serta memperlancar pembangunan. Jika kita tidak dapat menjaga kerukunan antar umat beragama tentu akan berpengaruh pada stabilitas sosial.15

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai suku bangsa, agama dan golongan yang memiliki watak sosial yang berbeda satu dengan yang lainya. Atas kesadaran dari diri masing-masing untuk hidup berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, masyarakat Indonesia yang beragam suku, agam, ras, dan antar golongan seharusnya melakukan integrasi

14

Nur Achmad, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 30

15

Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), h. 46


(31)

nasional untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika.16 Integrasi nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa.17

Oleh karena itu masyarakat Indonesia harus memaklumi dengan kemajemukan yang ada. Potensi konflik dalam kemajemukan harus diantisipasi dengan penguatan etika-moral bangsa, dengan mengembangkan semangat kerukunan dan memantapkan tatanan integrasi nasional.18 Dengan kerukunan, akan terpelihara stabilitas sosial yang akan memperlancar pembangunan.

Di Indonesia kerukunan antarumat beragama sudah terpelihara baik sejak dulu. Karena itu salah satu ahli sejarah Inggris yang

bernama Arnold J. Toynbee menamakan Indonesia sebagai “ The

land where the Religions are Good Neighbours” ( negeri dimana

agama-agama hidup bertetangga dengan baik) pada tahun 1957, setelah dia mengunjungi Indonesia. Selain itu dia juga mengatakan :

“Sungguhpun negeri ini berhadapan dengan berbagai persoalan dan kesulitan dengan masyarakatnya yang serba aneka namun selalu bebas dari salah satu kebatilan umat manusia, yakni sengketa agama, apalagi perang agama seperti di negeri-negeri lain, baik di Timur maupun di Barat. Kalaupun bangsa Indonesia mempergunakan agama dalam peperangan, hal itu adalah perang sabil melawan penjajah, bukan melawan agama

lain.”19

Oleh karena itu, jika masyarakat menginginkan Indonesia tetap hidup damai dan rukun seperti dulu haruslah mempunyai sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi, seperti yang dilakukan salah satu Organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama yang

16Musbir Ibrahim Meuraxa, “Etika Islam Dalam Kebijakan Pembinaan Kerukunan Umat

Beragama” vol XI, no.1 (2001) hal 1

17

Ibid., hal 2

18

Ibid.

19

Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), h. 47


(32)

menyebutkan dan menegaskan bahwa tasamuh harus menjadi landasan dalam kehidupan beragama masyarakat Indonesia, sehingga dapat terciptanya kerukunan antar umat beragama.

Sebenarnya setiap umat beragama khususnya umat islam pasti memiliki kecintaan pada negaranya . Mereka menginginkan negeri ini tetap menjadi negara yang adil dan makmur, aman, tenteram,, damai, dalam naungan keridlaan Illahi. Dan toleransi adalah sikap hidup umat islam yang sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad agar tetap hidup rukun.20

Salah satu usaha pemerintah pada masa lalu adalah merukunkan intern umat beragama, antarumat beragama dan umat beragama dengan pemerintah. Dengan dicanangkannya trilogi kerukunan seperti itu hilanglah sesuatu yang selama ini dapat memisahkan antara orang atau kelompok yang berbeda pendapat.21 2) Kerukunan Intern Umat Beragama

Kehidupan intern umat beragama masih seringkali terdapat masalah-masalah yang dapat menimbulkan perpecahan intern umat beragama. Disini diperlukan pembinaan kerukunan intern umat beragama oleh pemuka agama agar pertentangan yang terjadi tidak menimbulkan perpecahan antara pengikutnya.22 Segala persoalan yang terjadi hendaknya diselesaikan dengan kekeluargaan dan sikap saling mementingkan toleransi terhadap sesamanya.

Kerukunan intern umat beragama, lebih khusus umat islam yang telah tumbuh dan berkembang perlu dilestarikan agar ukhuwah islamiyah benar-benar menjadi kenyataan, sehingga perbedaan pemahaman agama tidak lagi menjadi pemisah dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat dan tidak lagi menganggap orang yang

20

Ibid.

21 Syamsul Bahri, “ Peranan Agama Dan Adat Dalam Melestarikan Kerukunan Antar

Umat Beragama,” vol XI, no.1 (Januari-Juni 2001), h. 41

22

Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama


(33)

tidak sepaham sebagai orang lain atau orang yang diasingkan.23 Perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama itu adalah suatu ajaran yang wajar. Tetapi dalam Islam tidak dibenarkan jika memaksakan orang lain harus menerima sebagaiman yang dipahaminya itu.24 Sebaiknya, sebagai umat Islam seharusnya melaukakan cara-cara yang lebih halus dan lembut pada orang-orang yang tidak sepaham dengan kita, karena Indonesia merupakan masyarakat majemuk sehingga wajar jika satu dengan yang lainya berbeda pendapat asalkan masih sesusai dengan undang-undang yang berlaku di negara dan tidak mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena pada zaman sekarang ini toleransi umat beragama yang tidak wajar menyebabkan timbulnya aliran-aliran ataupun organisasi-organisasi yang mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia baik itu di Intern Islam maupun didalam agama-agama yang terdapat di Indonesia.

3) Kerukunan Antarumat Beragama

Masalah kehidupan beragama di masyarakat merupakan masalah peka. Sebab terjadinya suatu masalah sosial akan menjadi sangat rumit, jika masalah tersebut menyangkut pula masalah agama dan kehidupan beragama.

Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama merupakan aturan permainan bagi penyiaran dan pengembangan agama di Indonesia demi terciptanya kerukunan hidup antarumat beragama, persatuan bangsa, stabilitas dan ketahanan nasional.25

Dengan dikeluarkannya keputusan Menteri Agama tersebut bukan berarti membatasi untuk memeluk dan melaksanakan agama

23

Syamsul Bahri, “ Peranan Agama Dan Adat Dalam Melestarikan Kerukunan Antar Umat Beragama,” vol XI, no.1 (Januari-Juni 2001), h. 49

24

Ibid., hal 42

25


(34)

masing-masing. Tetapi disini memberikan pedoman dan untuk melindungi hak kebebasan memeluk agaman yang dianut warga Indonesia sebagaimana dalam pasal UUD 1945.

Kemudian agar pelaksanaan pedoman penyiaran agama dapat berjalan tertib ditetapkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1979, tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.26

Dengan Keputusan Bersama ini maka menjadi tanggung jawab Kementrian Agama maupun Kementrian dalam negeri serta pedoman bagi seluruh aparat pemerintahan dalam pelaksanaan tugasnya yang berhubungan dengan masalah keagamaan.

4) Kerukunan Atarumat Beragama dengan Pemerintah

Seiring dengan dinamika kehidupan yang terus berjalan dan semakin berkembang, serta semakin kompleks persoalan kerukunan umat beragama, pemerintah akan terus berupaya mengembangkan kebijakan yang bertujuan akan membangun keharmonisan hubungan di antara sesama umat manusia. Langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam hal ini departemen agama, pada awalnya adalah sosialisasi prinsip dasar kerukunan yaitu tidak saling mengganggu antara kelompok-kelompok agama yang berbeda-beda.27

Antarumat beragama dan pemerintah seharusnya ditemukan apa yang saling diharapkan keduanya untuk dapat dilaksanakan bersama. Pemerintah mengharapkan tiga prioritas nasional yang diharapkan umat beragama dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam rangka pembinaan kehidupan beragama yaitu pemantapan ideologi Pancasila, pemantaan stabilitas dan ketahan nasional serta sukses pembangunan nasional.

26

Ibid.,hal 51

27

Muhaimin AG., Damai di Dunia Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama


(35)

Dengan tiga prioritas nasional tersebut, diharapkan umat beragama dan pemerintah berpartisipasi aktif dan positif dalam usaha membudayakan Pancasila, memantapkan stabilitas dan ketahanan nasional, serta melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan.

c. Disharmonisasi Antarumat Beragama

Beberapa masalah yang menjadi penyebab disharmonisasi antarumat beragama, yakni :

1) Munculnya isu-isu yang menyangkut terjadinya lintas batas sosial keagamaan. Sebagaimana para pengamat antropologi agama melihat bahwa Indonesia bagian barat adalah wilayah kultur islam, sedangkan bagian timur wilayah kultur nasrani. Jika terdapat gejala-gejala yang berbeda dengan agama mayoritas penduduk, maka akan menimbulkan prasangka adanya ekspansi dari apa yang disebut mereka.28

2) Pendirian tempat ibadah dan pemanfaatan rumah tinggal untuk peribadatan merupakan sumber disintegrasi sosial, disebabkan oleh perbedaan keyakinan agama. Masalah ini berkaitan dengan prasangka akan merosotnya pengaruh suatu agama pada struktur dan kultur masyarakat yang bersangkutan.

3) Agama sebagai alat pembenar terhadap suatu tindakan yang sebenarnya bukan masalah agama. Agama juga sering dipergunakan sebagai pembenar untuk aski-aksi kerusuhan dan kekerasan yang mapan.

Keadaan disharmonisasi antar umat beragama ini jelas memperlemah kondisi bangsa yang sebenarnya harus sadar bahwa kerukunan nasional mestinya diupayakan agar semakin kokoh. Kondisi bangsa yang kokoh sangat diperlukan karena dua alasan ke dalam dan ke luar. Ke dalam kita harus membangun masyarakat dan

28

Ahmad Syafii Mufid, Dialog Agama dan Kebangsaan, (Bandung: Grasindo, 2008), h. 35


(36)

negeri agar lebih sejahtera, maju, aman, tertib dan damai. Ke luar harus bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan dunia yang semakin kompetitif.

d. Mewujudkan Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia

Kehidupan beragama di kalangan Bangsa Indonesia dalam bentuknya yang sederhana, telah tumbuh dan berakar semenjak dahulu kala. Simbul-simbul penyembahan suku-suku yang masih primitifnterhadap benda-benda yang dianggap “sakti” dan “keramat” adalah satu bentuk dari pada pernyataan dalam kehidupan kerohanian dari nenek moyang bangsa Indonesia.29

Indonesia sebagai salah satu masyarakat yang pluralistik baik dari segi etnis, budaya, suku adat istiadat, bahasa, maupun agama. Dari segi etnis, budaya, suku adat istiadat, bahasa, maupun agama. Dari segi agama, sejarah telah membuktikan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar, Islam, Kristen, Hindu dan Budha dapat berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Karena itu sikap religuisitas, saling mwnghormati dan toleransi sangat dibutuhkan agar terjalin kerukunan di Indonesia.

Beberapa sikap religousitas pemeluk agama dalam mengembangkan dan membangun hubungan umat beragama untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama diantaranya:

1) Membangun sikap toleransi beragama

Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, hubungan antarumat beragama menjadi suatu hak yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antar sesama pemeluk tidak dapat terlepas dari kebutuhan sosial untuk memenuhi hidupnya. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya toleransi. Toleransi merupakan salah satu ajaran penting dalam islam. Ada banyak kisah dan ajaran tentang toleransi yang ditorehkan umat islam, termasuk di Indonesia. Toleransi adalah pemberian kebebasan kepada sesama manusia dan masyarakat untuk

29Monografi Kelembagaan Agama di Indonesia

, (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama RI, 1983), h. 45


(37)

menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat harus terciptanya ketertiban dan pedoman dalam masyarakat.30

2) Membangun Sikap Keterbukaan (tepo seliro)

Salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seseorang untuk menjaga kerukunan antarumat beragama adalah adanya sikap untuk mengakui keberadaan pihak lain. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memilih agama dan keyakinannya. Hubungan antar pemeluk agama akan dapat terjalin dengan baik, jika masing – masing memiliki sikap ketergantungan untuk menerima pihak lain ke dalam komunitas kita, Sikap terbuka ini akan menjadi sarana untuk menegakan kerukunan bidup beragama, dan dilaksanakan juga oleh setiap pemeluk agama, sehingga hubungan antarumat beragama tidak ada rasa saling mencurigai, dan rasa permusuhan di antara pemeluk agama lain.31

3) Membangun kerja sama antar pemeluk agama

Sesuatu yang tidak dapat dipisahkan pula dalam kehidupan mayarakat adalah adanya kerjasama dan interaksi sosial. Dengan adanya kerjasama dan interaksi sosial. Dengan adanya kerjasama dan interaksi sosial sesama manusia ataupun sesama pemeluk agama akan lebih mempererat hubungan bersama, sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya. Dalam jonteks interaksi sosial siapapun berhak melakukannya, karena telah menjadi kodrat hidup, memenuhi kebutuhan primernya, hubungan ini tidak mengenal lintas batas agama, etnis, suku dan kebangsaan. Maka lahirlah kerjasama.

4) Membangun diaolog antar umat beragama

Suatu hal prinsipil dan utama yang harus diperhatikan ketika

30

Jasmadi,”Membangun Relasi Antar Umat Beragama, (Refleksi Pengalaman Islam di Indonesia),”vol.5,no2 (Juli 2010),h.166-168

31Ibid.,


(38)

berbicara tentang dialog antar agama adalah bahwa dialog hendaknya tidak dilakukan secara intelektual verval dan teologis belaka.

Untuk mengembangkan etika Dan kultur kerukunan umat beragama dapat dilakukan melalui dialog antar agama. Menurut Azyumardi Azra terdapat lima bentuk dialog yang dapat dilakukan, yaitu:32

a) Dialog Parlementer (Parliamentary Dialogue), yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta. Dalam dialog dunia global, dialog ini paling awal diprakarsai oleh world’s parliament of religious pada tahun 1893 di Chicago.

b) Dialog Kelembagaan (Institusional Dialgue). Yakni dialog diantara wakil-wakil institusional berbagai organisasi agama. Dialog kelembagaan ini seperti yang dilakukan melalui wadah Musyawarah Antarumat Beragama oleh majeli agama yakni MUI. c) Dialog Teologi (Theological Dialogue), yakni mencakup

pertemuan-pertemuan regular maupun untuk membahas persoalan teologis dan filosofis, seperti dialog ajaran tentang kerukunan antarumat beragama, melalui konsep ajaran sesuai dengan agama masing-masing.

d) Dialog dalam masyarakat (Dialogue in Community), dan dialog kehidupan (Dialogue of Life), dialog dalam kategori ini pada umumnya ialah penyelesaian pada hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan. Seperti, pemecahan masalah kemiskinan, masalah pendidikan.

e) Dialog Kerohanian (Spiritual Dialogue), dialog ini bertujuan menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama.

Tentu saja dialog juga dapat dilihat sebagai tujuan

32Dialog: Kritik dan Identitas Agama

, (Yogyakarta: DIAN (Dialog Antar Iman di Indonesia ) dengan Penerbit PUSTAKA PELAJAR), h. 117


(39)

menengah atau tujuan instrumental. Dialog bukan merupakan tujuan akhir, melainkan sesuatu yang dijalankan untuk mencapai tujuan selanjutnya. Namun, tujuan hidup bersama tidaklah dapat dicapai dengan baik tanpa keterlibatan semua pihak. Dalam cakrawala holistik, partisipasi dan rasa bagi keseluruhan merupakan keutamaan. Dengan demikian, dialog merupakan gaya hidup orang beriman dan beragama, merupakan sesuatu yang perlu dan harus dijalankan jika seseorang atau komunitas ingin setia kepada panggilan manusiawi dan ilahiah.33

B.Hasil Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Toto Suryana dalam Jurnal yang berjudul

“Konsep dan Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama”. Hasil menunjukan bahwa keberagaman merupakan realita dan ketentuan dari Allah Tuhan semesta alam, maka diperlukan rasa keberterimaan dan usaha untuk memelihara dengan mengarahkannya kepada kepentingan dan tujuan bersama. Perbedaan yang terjadi merupakan fakta yang harus disikapi secara positif sehingga antar pemeluk agama terjadi hubungan kemanusiaan yang saling menghargai dan menghormati. Agama bersifat unversal, tetapi beragama tidak mengurangi rasa kebangsaan, bahkan menguatkan rasa kebangsaan. Agama mendorong penganutnya untuk membela kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya. Pluralitas merupakan sebuah fakta sosial historis yang melekat pada ke Indonesian. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dan multikultural. Menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang sanggup hidup dalam perbedaan dan bersikap toleran. Bersikap toleran berarti bisa menerima perbedaan dengan lapang dada, dan menghormati hak pribadi dan sosial pihak yang berbeda (the other) menjalani kehidupan mereka.34

33

J.B. banawiratma, Zainal Abidin Bagir, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2010), h. 13

34

Toto Suryana, Konsep dan Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, Vol. 9, No. 2, 2011


(40)

2. Penelitian yang dilakukan oleh Moch. Yudi Sulaiman tentang “Pembinaan Kesadaran Pluralisme Agama Dikalangan Narapidana Lembaga

Permasyarakatan Anak di Blitar”. Hasil menunjukan bahwa Manfaat yang ditimbulkan dari pembinaan kesadaran pluralisme agama di kalangan LP. Anak di Blitar adalah bertambahnya semangat para narapidana untuk hidup dalam perbedaan dan terciptanya saling menghormati, menghargai, menyayangi, dan saling tolong-menolong terhadap agama lain. Pembinaan keagamaan yang dilakukan para pembina ataupun agamawan menimbulkan dampak positif bagi narapidana yaitu dengan terciptanya kerukunan beragama, baik antar interen agama maupun antar narapidana yang berlainan agama.35

3. Penelitian yang dilakukan oleh Kajian LEMHANAS RI tentang

“Membangun Kerukunan Umat Beragama Guna Terwujudnya Harmonisasi

Kehidupan Masyarakat Dalam Rangka Ketahanan Nasional”. Hasil menunjukan bahwa:

a. Bangsa Indonesia memiliki heterogenitas dalam bidang agama. Perbedaan ini merupakan kekuatan, namun berpotensi menjadi ancaman konflik sosial bernuansa agama yang terjadi berulang kali dan sulit dihilangkan. Oleh karena itu diperlukan upaya komprehensif dari segenap elemen bangsa untuk menangani dan mengantisipasinya ke depan.

b. Kerukunan hidup umat beragama mengandung arti kesediaan untuk menerima perbedaan keyakinan individu maupun kelompok lain, kesediaan memberi kebebasan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya dan kemampuan untuk bersikap simpati dan empati pada suasana kekhusyukan yang dirasakan orang lain.

c.Kerukunan umat beragama merupakan suatu keadaan yang dinamis. Hal tersebut sangat tergantung pada sikap dan respons dari masyarakat umat beragama terhadap permasalahan yangdapat memicu terjadinya konflik.

35

. Yudi Sulaiman, Pembinaan Kesadaran Pluralisme Agama Dikalangan Narapidana Lembaga Permasyarakatan Anak di Blitar, skripsi pada STAIN Kediri, 2004, h. 60-61


(41)

Adapun faktor-faktor pemicu konflik bernuansa agama di Indonesia, antara lain:

1) Perbedaan keyakinan/akidah 2) Penyiaran agama

3) antuan keagamaan luar negeri 4) Perkawinan antarpemeluk agama 5) Pendidikan agama

6) Perayaan hari besar keagamaan 7) Penodaan agama

8) Kegiatan kelompok sempalan 9) Pendirian rumah ibadah

10) Kepentingan politik, ekonomi dan ideologi

11) Masalah individu/kelompok yang melibatkan umat lainnya

d.Pada setiap konflik bernuansa agama, pemerintah harus selalu hadir untuk menangani dengan memberi solusi melalui berbagai cara (pendekatan keamanan, dialog, pembinaan dan pendidikan). Cara tersebut belum optimal karena persoalannya menyangkut keyakinan (keimanan) yang tidak bisa diseragamkan. Peran pemerintah harus ditingkatkan dengan menggandeng semua pihak.

e.Selain pemerintah hadir di seluruh sektor kehidupan masyarakat, ketegasan para pemimpin untuk membela Konstitusi RI perlu ditingkatkan, juga harus dijaga agar jangan sampai masuk ke dalam situasi tuna konstitusi dan terus-menerus menghidupkan serta menggiatkan terwujudnya Civil Society, yang salah satu cirinya adalah kedewasaan dalam bertindak dan berperilaku.

f. Ketegasan negara dalam menegakkan konstitusi menjadi sangat mendesak. Hal ini menuntut kecekatan negara untuk hadir dalam berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, khususnya dalam ketegangan yang terindikasi berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Kalau negara terkesan membiarkan kekerasan yang ada, maka eskalasi akan terjadi dan tentu berakibat buruk bagi kesatuan dan persatuan


(42)

bangsa. Negara jangan sampai kalah terhadap tekanan dari

kelompok-kelompok “radikal” dan yang tidak menginginkan kehidupan yang

rukun.36

4. Penelitian yang dilakukan oleh Marzuki tentang “Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Wacana Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah

dan Relevansinya Bagi Indonesia”37

. Hasil penelitiannya menunjukan: a. Piagam Madinah adalah kumpulan naskah yang berisi perjanjian yang

dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan kaum Muslim, baik dari golongan Muhajirin maupun golongan Anshar, dan perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Yahudi di Madinah. Piagam ini terdiri dari 47 pasal yang mengatur masalah kesatuan umat (bangsa) di Madinah, kesediaan untuk saling membantu, saling menasehati, saling membela, danmenghormati kebebasan beragama.

b. Piagam Madinah mengatur dengan tegas kebebasan beragama bagi para penganut agama yang ada di Madinah, terutama kaum Muslim dan kaum Yahudi. Sebagai kepala negara, Nabi menjamin hak semua rakyat Madinah, baik Muslim maupun non-Muslim dalam melakukan aktivitas keagamaan. Nabi akan menindak tegas siapa pun yang melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian yang sudah dibuat dalam Piagam Madinah.

c. Kerukunan umat beragama di Indonesia pada prinsipnya sudah di atur dengan baik. Berbagai aturan sudah dibuat oleh pemerintah untuk melaksanakannya. Aturanaturan ini tidak jauh berbeda dengan aturan yang tertuang dalam Piagam Madinah. Jika pada akhirnya muncul berbagai konflik antarumat beragama di Indonesia, hal ini tidak semata-mata terkaitdengan masalah agama belaka, tetapi sudah ditunggangi oleh berbagaikepentingan, terutama kepentingan politik.

36

LEMHANAS RI, Membangun Kerukunan Umat Beragama Guna Terwujudnya Harmonisasi Kehidupan Masyarakat Dalam Rangka Ketahanan Nasional, Jurnal Kajian LEMHANAS RI, edisi 14, Desember, 2012.

37

Marzuki, Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Wacana Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah dan Relevansinya Bagi Indonesia, dalam Jurnal, 2006.


(43)

C.Kerangka Berfikir

Setiap orang selalu ingin hidup rukun dengan siapa saja, baik dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam pekerjaan, dimana dan kapan dan dengan siapa saja, setiap orang selalu menginginkan kjerukunan, ketenangan, perdamaian. Semua orang yang sungguh-sungguh ingin atau berkehendak baik tentu ingin hidup damai dalam hidupnya. Ini memang keinginan yang sangat luhur.

Oleh karena itu semua orang selalu berusaha bagaimana dapat menciptakan suasana hidup rukun dimana saja berada. Namun disadari atau tidak, bahwa perdamaian atau kerukunan, ketentraman itu bukan sesuatu yang akan terjadi dengan sendirinya, tetapi kita sendiri yang harus berusaha untuk membina perdamaian, ketentraman, persatuan, kerukunan dalam lingkungan kita sendiri, entah itu dalam rumah tangga, dalam antar tetangga, dalam suku bangsa, negara maupun di dunia.

Dan untuk mewujudkan semua itu perlu adanya pembinaan kerukunan yang memiliki landasan yang sama, yang disetujui bersama dan ditaati bersama oleh semua masyarakat dalam ruang lingkup tertentu. Maksud dari landasan disini adalah bertitik tolak pada kenyataan bahwa kita hidup sebagai mahluk sosial, mahluk yang tidak dapat hidup sendirian, mahluk yang selalu membutuhkan orang lain. Sebab tanpa orang lain kita tidak dapat berkembang dalam segala hal.

Hal tersebut terjadi di dalam masyarakat Cigugur. Dimana masyarakat yang beragam agama dan kepercayaan bisa hidup rukun berdampingan dan harmonis dalam menjalankan rutinitas sehari-hari, baik dalam segi peribadatan, bertetangga maupun bermasyarakat. Merekapun turut aktif berpartisipasi dalam semua acara-acara agama tertentu tanpa membedakan agama yang ia yakini.

Selain keberagaman yang terjadi diatas, keberagaman pun terjadi dalam satu keluarga, banyak masyarakat Cigugur yang mengalami perbedaan keyakinan tersebut. Tetapi masyarakat Cigugur tetap bisa hidup berdampingan dengan rukun, tanpa terjadi konflik yang dilatar belakangi oleh perbedaan agama atau keyakinan.


(44)

baik itu para penganut Islam, Kristen atau kepercayaan Sunda Wiwitan menjalankan pola-pola interaksi atau upaya-upaya menciptakan kerukunan yang selama ini terjalin dengan baik dan mereka mempertahankannya sehingga kondisi kerukunan itu bisa tetap bisa terlaksana hingga saat ini.


(45)

32

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Peneltian ini dilakasanakan pada semester VIII tahun 2013. Peneletian dilaksanakan di desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

B. Latar Penelitian

Desa Cigugur terletakdi lereng Gunung Ciremai, Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 26,80 mm dan suhu udara rata-rata sekitar 26°C.

Objek penelitiannya adalah masyarakat desa Cigugur untuk meneliti

mengenai “Kerukunan Umat Beragama Antara Islam, Kristen dan Sunda Wiwitan.”

C.Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pengertian penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.1 Prosedur-prosedur kualitatif memiliki pendekatan yang lebih beragam dalam penelitian akademik ketimbang metode-metode kuantitatif. Penelitian kualitatif juga memiliki asusmsi-asumsi filosofis, strategi-strategi penelitian, dan metode-metode pengumpulan, analisis, dan interpretasi data yang beragam. Meskupun prosesnya sama, prosedur-prosedur kualitatif tetap mengandalkan data berupa teks dan gambar, memiliki langkah-langkah unik dalam analisis datanya, dan bersumber dari strategi-strategi penelitian yang berbeda-beda.2

1

Bagong Suyanto Dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2005), h.166-168.

2

John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed,


(46)

Jenis penelitiannya adalah Etnografi, etnografi adalah studi yang sangat mendalam tentang perilaku yang terjadi secara alami di sebuah budaya atau sebuah kelompok sosial tertentu untuk memahami sebuah budaya tertentu dari sisi pandang pelakunya. Para ahli menyebutnya sebagai penelitian lapangan, karena memang dilaksanakan di lapangan dalam latar alami. Peneliti mengamati perilaku seseorang atau kelompok sebagaimana apa adanya. Data diperoleh dari observasi sangat mendalam sehingga memerlukan waktu berlama-lama di lapangan, wawancara dengan anggota kelompok budaya secara mendalam, mempelajari dokumen atau artifak secara jeli. Tidak seperti jenis penelitian kualitatif yang lain dimana lazimnya data dianalisis setelah selesai pengumpulan data di lapangan, data penelitian etnografi dianalisis di lapangan sesuai konteks atau situasi yang terjadi pada saat data dikumpulkan. Penelitian etnografi bersifat antropologis karena akar-akar metodologinya dari antropologi.3

D.Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lazimnya menggunakan observasi dan wawancara. Juga tidak diabaikan kemungkinan penggunaan sumber-sumber non-manusia (non-human source information), seperti dokumen dan rekaman atau catatan (record) yang tersedia.

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

a. Observasi

Observasi, seperti halnya wawancara, termasuk teknik pengumpulan data yang utama dalam kebanyakan penelitian kualitatif. Dengan wawancara, peneliti dapat menanyakan pada informan tentang keadaan masa lampau, sekarang, dan yang akan datang. Juga dapat dilacak tentang hal-hal yang tak tampak, yang tersembunyi di “museum

3

Mudjiraharjo, Jenis Dan Metode Penelitian Kualitatif, 2013, (Http://Mudjiarahardjo.Com/Materi-Kuliah/215.Html?Task=View Di Akses Pada Hari Senin 28 Januari 2013 Pukul : 20.10 WIB)


(47)

batin” subjek yang diteliti (yang bersifat tacit). Itulah keunggulan teknik wawancara. Keunggulan yang dipunyai wawancara memang tak dipunyai oleh observasi. Akan tetapi, observasi juga mempunyai keunggulan lain yang tak dapat ditandingi wawancara. Misalkan, mereka yang pernah melihat Hongkong, meskipun hanya sekali, tetap akan lebih baik pengertiannya tentang bagaimana “Hongkong” dibandingkan dengan yang hanya mendengar saja dari cerita orang walaupun telah ratusan orang yang menceritakannya. Karenanya, observasi adalah utama kegunaannya dalam penelitian kualitatif.4

Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencacatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. Disini pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan terlibat (Partisipant

observation). Pengamatan terlibat ini dilakukan untuk memperlancar

peneliti dalam memasuki setting penelitian dan untuk menghindari jawaban yang kaku yang diberikan oleh informan akibat kecurigaan atau keengganan karena mencium bau penelitian. Dengan ini diharapkan akan dapat mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat diungkapkan oleh informan.

b. Wawancara

Dalam penelitian kualitatif biasanya digunakan teknik wawancara sebagai cara utama untuk mengumpulkan data atau informasi. Ini bisa dimengerti, setidak-tidaknya karena dua alasan. Pertama, dengan wawancara peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami oleh seseorang atau subjek yang diteliti, tetapi apa juga yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian (explicit knowledge maupun tacit knowledge). Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang.5

4

Ibid., h. 77.

5

Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif : Dasar-dasar dan Aplikasi, (Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990), h. 61-62.


(48)

Penelitian ini melakukan wawancara mendalam (Indepth

interview) terhadap beberapa informan penelitian yakni masyarakat

cigugur, dengan sebelumnya didahului pembicaraan informal untuk menciptakan hubungan yang akrab dengan informan. Hubungan yang akrab ini diperlukan agar bisa memudahkan dalam mendapatkan umpan balik dalam proses selanjutnya. Perlu diingat bahwa untuk mencapai suasana santai dan akrab diperlukan waktu agar lebih saling mengenal. Oleh karena itu, wawancara yang pertama lebih banyak ditujukan untuk membina keakraban hubungan. Lambat laun wawancara yang semula bersifat informal beralih menjadi lebih formal walaupun keakraban senantiasa dipelihara. Digunakan pula pedoman wawancara yang berupa garis-garis besar pokok pertanyaan yang dinyatakan dalam proses wawancara dan disusun sebelum wawancara dimulai.

c. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data ini termasuk dalam pengumpulan data dengan menggunakan sumber non-manusia (non-human source information). Yang disebut dokumen ialah semua jenis rekaman atau catatan

“sekunder” lainnya, seperti surat-surat, memo atau nota, pidato-pidato, buku harian, foto-foto, kliping berita koran, hasil-hasil penelitian, agenda kegiatan.6

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data, dalam metode kualitatif ada 3 tahap dalam pengolaha data:

a. Reduksi

Dalam tahap ini peneliti melakukan pemilihan, dan pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh.

b. Penyajian data

Peneliti mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Display data atau

6


(49)

penyajian data yang lazim digunakan pada langkah ini adalah dalam bentuk teks naratif.

c. Penarikan Kesimpulan dan verifikasi

Peneliti berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari makna setiap gejala yang diperolehnya dari lapangan, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena, dan proposisi.7

E.Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data

Untuk memperoleh keabsahan data maka peneliti menggunakan beberapa teknik pemeriksaan keabsahan data, yaitu:

1. Teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (crebebelity). Teknik ini dapat dilakukan dengan jalan:8

a. Keikutsertaan peneliti sebagai instrumen (alat) tidak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti, sehingga memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan.

b. Ketentuan pengamatan, yaitu dimaksuk untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur serta situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari dan kemudian memutuskan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan demikian maka perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, sedangkan ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman. c. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan kebasahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding. Teknik yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan terhadap sumber-sumber lainya.

7

Atwar Bajari, Mengolah data dalam Penelitian Kualitatif, 2013, (http://atwarbajari.wordpress.com/2009/04/18/mengolah-data-dalam-penelitian-kualitatif, Di Akses Pada Hari Sabtu 2 Februari 2013 Pukul : 19.22 WIB)

8

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991), h.175.


(50)

d. Kecukupan refrensial yakni kecukupan bahan yang tercatat dan terekam dapat digunak\an sebagai patokan untuk menguji dan menilai sewaktu-waktu diadakan analisis dan interpretasi data.

2. Teknik pemeriksaan keteralihan (transferability) dengan cara uraian rinci. Teknik ini meneliti agar laporan hasil fokus penelitiandilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan kontek tempat penelitian diadakan. Uraiannya harus mengungkapkan secara khusus segala sesuatu yang dibutuhkan oleh para pembaca agar mereka dapat memahami penemuan-penemuan yang diperoleh.

3. Teknik pemeriksaan ketergantungan (dependability) dengan cara auditing ketergantungan.

Teknik ini tidak dapat dilaksanakan bila tidak dilengkapi dengan catatan pelaksanaan keseluruhan hasil dan proses penelitian. Pencatatan itu diklasifikasikan dari data mentah sehingga formasi tentang pengembangan instrument sebelum auditing dilakukan agar dapat mendapatkan persetujuan antara auditor dan auditi terlebih dahulu.

F. Analisis Data

Data mentah yang telah dikumpulkan oleh peneliti tidak akan ada gunanya jika tidak dianalisa. Analisa data merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian ilmiah, karena dengan analisalah data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah-masalah penelitian.9

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapanga. Analisis telah dimulai sejak merumuskan dan mejelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian, dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data, analisis data kualitatif

9


(51)

berlangsung selama proses pengumplulan data, kemudiaan dilanjutkan setelah selesai pengumpulan data.10

1. Analisis Sebelum di Lapangan

Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan digunakan untuk menentukan focus penelitian. Namun demikian, focus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan.

2. Analisis Selama di lapangan

Selama penelitian berlangsung dan pengumpulan data masih berlangsung, peneliti melakukan analisi data, dengan vara mengklasifikasi data dan menafsirkan isi data.

3. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak. Untuk itu, perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu, perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.Mereduksidata berarti meragkum,memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

4. Penyajian Data

Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data, dalam penilian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnnya, yang paling sering digunakan adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Penyajian data akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

10


(52)

5. Conclusion Drawing/Verification

Langkah selanjutnya dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah hingga ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Akan tetapi kesimpulan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data,kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan pengetahuan baru yang belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumya masih remang-remang atau gelap sehingga setalah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis, atau teori.11

11


(53)

40

A.Profil Desa Cigugur 1. Kondisi Geografis

Secara geografis posisi Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan merupakan salah satu Kelurahan yang terletak di sebelah barat dari pusat kota Kabupaten Kuningan yang berjarak + 3,5 Km dari Ibu Kota Kabupaten dan terletak di kaki gunung Ciremai bagian timur. Berada pada ketinggian + 661 M dari permukaan laut dan secara astronomis kira – kira terletak pada 108o 27’ 15” Bujur Timur dan 05o 58’ 8” Lintang Selatan.

a. Lanskap Kelurahan Cigugur

Wilayah Kelurahan Cigugur adalah bagian dari Wilayah Kecamatan Cigugur sebagai berikut :

1) Sebelah utara secara umum merupakan dataran rendah dan sebagian kecil berbukit yang berfungsi sebagai lahan persawahan dan tanaman pangan.

2) Sebelah timur merupakan dataran rendah berupa persawahan dan sebagian berupa perbukitan (Bungkirit).

3) Sebelah selatan merupakan dataran rendah persawahan.

4) Sebelah barat merupakan dataran tinggi dan perbukitan yang diantaranya difungsikan sebagai lahan peternakan dan perkebunan.

b. Batas Administratif

Secara administratif Kelurahan Cigugur berbatasan dengan wilayah Desa / Kelurahan yang lain yaitu :

1) Sebelah Utara : Kelurahan Cipari 2) Sebelah Timur : Kelurahan Kuningan 3) Sebelah Selatan : Kelurahan Sukamulya 4) Sebelah Barat : Desa Cisantana


(54)

c. Luas Wilayah

Luas wilayah Kelurahan Cigugur adalah 300,15 Ha yang terdiri atas berbagai macam penggunaan.1

1) Wilayah Darat

Wilayah darat terbagi atas beragam penggunaan seperti :

a) Pekarangan : 49 H

b) Tegalan / Kebun / Darat : 205,90 Ha

c) Lapangan Olahraga : 1,2 Ha

d) Alun – alun : 0,2 Ha

e) Sarana Keagamaan : 0,15 Ha

f) Kuburan : 2,6 Ha

g) Puskesmas : - Ha

h) Jalan : 2,8 Ha

i) Solokan : 0,02 Ha

j) Perkantoran / Sekolah : 0,28 Ha

k) Kolam : 3 Ha

2) Wilayah Pesawahan

Wilayah pesawahan di Kelurahan Cigugur memiliki luas sekitar 80 Ha.

d. Iklim Dan Cuaca

1) Iklim

Kelurahan Cigugur dengan ketinggian + 661 mdpl sama seperti daerah yang lain di wilayah Kabupaten Kuningan pada umumnya dipengaruhi oleh iklim tropis dan angin muson. Dengan perincian sebagai berikut :

a) Musim kemarau berlangsung antara bulan Juni – Oktober.

b) Musim Penghujanberlangsung antara bulan November – Mei, dengan curah hujan rata – rata 2000 – 2500 mm / tahun, dan curah hujan paling tinggi terjadi antara bulan Desember – Maret.

1

Sulkan, Laporan Kinerja Tahun 2012 dan Rencana Kerja Tahun 2013 Sekertaris Kelurahan Cigugur.


(55)

2) Cuaca a) Suhu

Suhu rata – rata 180 – 280 Celcius, suhu tertinggi antara pukul 12.00 – 14.00 BBWI dan suhu terendah antara pukul 00.30 – 03.30 BBWI.

b) Keadaan Terang

Matahari terbit pada pukul 05.30 BBWI dan matahari terbenam pada pukul 17.45 BBWI

e. Keadaan Medan

1) Permukaan Bumi

a) Dibagian utara terdapat daerah persawahan dengan kemiringan antara 25 – 30 derajat, menurun ke sebelah timur.

b) Dibagian timur terdapat daerah persawahan dengan kemiringan antara 25 – 30 derajat, menurun ke sebelah timur.

c) Dibagian selatan terdapat daerah persawahan dengan kemiringan antara 20 – 25 derajat, menurun ke sebelah timur. Disamping itu terdapat daerah perbukitan dengan tingkat kemiringan atara 25 – 30 derajat.

d) Dibagian barat juga terdapat daerah perbukitan dengan tingkat kemiringan antara 30 – 50 derajat.

2) Sungai

a) Di wilayah Kelurahan Cigugur terdapat beberapa sungai diantaranya adalah :

b) Sungai Cigeureung yang melintasi wilayah Kelurahan Cigugur tepatnya melintasi RT. 14/15/16/17/32 RW. 04/05/06.

c) Sungai Citamba yang melintasi wilayah Kelurahan Cigugur tepatnya pada RT. 03 RW. 01

3) Sawah / Ladang a) Sawah

Kelurahan Cigugur terdapat lahan sawah seluas ± 80 Ha yang luasnya merupakan 26,67 % bagian dari luas wilayah


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)