ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL, SALISILAMIDA, DAN KAFEIN DALAM TABLET SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

  

ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL, SALISILAMIDA,

DAN KAFEIN DALAM TABLET

SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh :

  Lanny Setyawati NIM : 038114043

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL, SALISILAMIDA, DAN KAFEIN DALAM TABLET SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh :

  Lanny Setyawati NIM : 038114043

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

  Skripsi berjudul

  ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL, SALISILAMIDA, DAN KAFEIN DALAM TABLET SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

  oleh : Lanny Setyawati

  NIM : 038114043 telah disetujui oleh : Pembimbing Christine Patramurti, M. Si., Apt. tanggal

  ”Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dar i pada yang kit a doakan at au pikir kan, seper t i yang t er nyat a dar i kuasa yang beker ja di dalam kit a, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kr ist us Yesus t ur un t emur un sampai selama- lamanya. A min. (Efesus 3 : 20- 21)”

  Kupersembahkan karyaku ini kepada : Papa dan mama yang selalu ada bersamaku dan menyayangiku, Koko yang selalu mendukungku,

  Sahabat-sahabatku yang berbagi suka duka bersama Serta almamaterku yang selalu kukenang

  

PRAKATA

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga, hanya karena berkat dan kasih-Nyalah maka skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Selama penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikannya, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Ibu Rita Suhadi, M. Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Ibu Christine Patramurti, M. Si., Apt. selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan dorongan semangatnya selama penyusunan skripsi ini.

  3. Drs. Sulasmono, Apt. dan Dra. M. M. Yetty Tjandrawati, M. Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.

  4. Seluruh staf laboratorium kimia : Pak Mukmin, Pak Prapto, Mas Parlan, dan Mas Kunto yang telah membantu penulis selama penelitian di laboratorium.

  5. Natalia, sahabat dari awal kuliah sampai saat ini, makasih atas dukungan, semangat, kebersamaan, dan doanya.

  6. Mellissa, Niken, Lee-a, dan Anita, makasih atas kebersamaan, doa dan waktu yang telah dijalani bersama selama ini.

  7. Teman-teman kost ‘Dewi’ : Indah, Yohana, Nophie, Renny, Eunike, C’ Maria, C’ Meta, C’ Ricka, C’ Listy, Aning, Ratih, Selvi, Chika, serta teman kost yang lain, makasih untuk bantuan, kebersamaan, canda tawa, dan doanya.

  8. Teman-teman persekutuan Magelang : Jo-john, C’ Dewi , DePe, Albert, C’ Ika, koh Paul, dll, makasih atas doa dan dukungannya.

  9. Nanda, mbak Dinta dan C’ Yiyin, makasih atas diskusi dan bantuannya.

  10. Teman-teman di kelas A angkatan 2003 khususnya kelompok praktikum B, makasih atas kebersamaannya selama ini.

  11. Tiap orang yang pernah datang dan pergi dalam hidupku, yang memberi warna dalam hidupku dan menjadikanku sebagai pribadi seperti sekarang ini.

  Penulis menyadari bahwa skripsi yang disusun ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan perkembangan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

  Penulis

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, Februari 2007 Penulis Lanny Setyawati

  

INTISARI

  Saat ini banyak beredar obat analgesik antipiretik dengan bahan aktif yang digunakan adalah kombinasi dari beberapa zat aktif. Salah satu kombinasi yang ada di pasaran adalah kombinasi parasetamol, salisilamida, dan kafein. Penetapan ketiga zat aktif ini masih dilakukan dengan KLT densitometri yang mana ketiga zat aktif ini harus dipisahkan terlebih dahulu. Hal tersebut yang mendasari penelitian mengenai penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet tanpa pemisahan masing-masing zat aktif tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah metode KCKT dapat digunakan dalam penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet dan juga mengetahui apakah kadar ketiga zat aktif tersebut sesuai dengan yang tertera pada etiket.

  Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif, menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik dengan kolom C

  18 , fase gerak metanol:aquabidest:amonia (70:29:1), kecepatan alir 1,5 ml/menit, dan detektor UV pada panjang gelombang 270 nm.

  Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet. Kadar masing-masing senyawa dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket, yaitu untuk parasetamol, salisilamida, dan kafein berturut-turut adalah (194,3 ± 2,35) mg/tablet, (196,66 ± 3,24) mg/tablet, dan (51,15 ± 0,34) mg/tablet.

  Kata kunci : parasetamol, salisilamida, kafein, KCKT fase terbalik

  

ABSTRACT

  Nowadays, analgesic antipyretic medicine which uses the combination of some active substance as its substance revolves a lot. One of the combination that is exist in the market is the combination of paracetamol, salicylamide, and caffeine. The determination of the concentration of those three active substances is still be done with thin layer chromatography-densitometry in which these three active substances have to be separated first. It becomes the basic of this research. the aims of this research are to know whether HPLC method can be used in determining the concentration of paracetamol, salicylamide, and caffeine in tablet and to know whether the concentration of these three active substances suitable with the one which is stamped in the etiquette.

  This research is descriptive non experimental research. This research uses reversed phase HPLC with C18 column, mobile phase of methanol : aquabidest : ammonia (70:29:1), flow rate 1,5 ml/min, and ultraviolet detector in 270 nm.

  From the result of the research, it was found that HPLC method can be used to determine the concentration of paracetamol, salicylamide, and caffeine in tablet. The concentration of each compound in tablet should be suitable with the etiquette, that are (194,3

  ± 2,35) mg/tablet for paracetamol, (196,66 ± 3,24) mg/tablet for salicylamide, and (51,15 ± 0,34) mg/tablet for caffeine.

  Keywords : paracetamol, salicylamide, caffeine, reversed phase HPLC

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL........................................................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v PRAKATA....................................................................................................... vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... viii

  INTISARI......................................................................................................... ix

  ABSTRACT ....................................................................................................... x

  DAFTAR ISI.................................................................................................... xi DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvii

  BAB I. PENGANTAR ..................................................................................... 1 A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

  1. Permasalahan ....................................................................................... 2

  2. Keaslian penelitian ............................................................................... 3

  3. Manfaat penelitian................................................................................ 3

  B. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 4

  BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA.............................................................. 5 A. Tablet ......................................................................................................... 5 B. Parasetamol ................................................................................................ 6

  C. Salisilamida ................................................................................................ 8

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 29 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................. 29 B. Definisi Operasional .................................................................................. 29 C. Bahan ......................................................................................................... 29 D. Alat............................................................................................................. 30 E. Tata Cara Penelitian ................................................................................... 31

  6. Pembuatan larutan sampel.................................................................... 33

  5. Optimasi metode KCKT ...................................................................... 32

  4. Pembuatan fase gerak........................................................................... 32

  3. Pembuatan larutan baku kafein ............................................................ 32

  2. Pembuatan larutan baku salisilamida ................................................... 31

  1. Pembuatan larutan baku parasetamol................................................... 31

  G. Keterangan Empiris.................................................................................... 28

  D. Kafein......................................................................................................... 9

  5. Analisis kualitatif dan kuantitatif ......................................................... 27

  4. Pemisahan puncak dalam kromatografi ............................................... 21

  3. Kromatografi partisi ............................................................................. 19

  2. Pembagian jenis kromatografi ............................................................. 17

  1. Definisi dan instrumentasi.................................................................... 13

  F. KCKT......................................................................................................... 13

  E. Spektrofotometri UV.................................................................................. 11

  7. Penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam

  sampel .................................................................................................. 33

  F. Analisis Hasil ............................................................................................. 34

  BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 35 A. Pemilihan dan Penyiapan Sampel .............................................................. 35 B. Penyiapan Fase Gerak ................................................................................ 36 C. Pembuatan Larutan Baku ........................................................................... 36 D. Optimasi Metode........................................................................................ 37

  1. Penentuan panjang gelombang overlapping ........................................ 37

  2. Pembuatan kurva baku parasetamol, salisilamida, dan kafein............. 44

  E. Analisis Kualitatif ...................................................................................... 50

  F. Analisis Kuantitatif .................................................................................... 51

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 53 A. Kesimpulan ................................................................................................ 53 B. Saran........................................................................................................... 53 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 54 LAMPIRAN..................................................................................................... 57 BIOGRAFI PENULIS ..................................................................................... 85

  DAFTAR TABEL

  Tabel I. Nilai indeks polaritas pelarut ...................................................... 16 Tabel II. Data kurva baku parasetamol ..................................................... 48 Tabel II. Data kurva baku salisilamida ...................................................... 49 Tabel III. Data kurva baku kafein ............................................................... 49 Tabel IV. Data waktu retensi (t R ) masing-masing senyawa baku dan dalam sampel ......................................................................................... 51 Tabel V. Data kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet .. 52

  DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Struktur parasetamol .................................................................. 7 Gambar 2. Struktur salisilamida .................................................................. 8 Gambar 3. Struktur kafein ............................................................................ 9 Gambar 4. Peralatan KCKT .......................................................................... 14 Gambar 5. Mekanisme pemisahan kromatografi partisi ............................... 19 Gambar 6. Reaksi silanisasi .......................................................................... 20 Gambar 7. Reaksi pembuatan kolom oktadesilsilan ..................................... 20 Gambar 8. Pemisahan dua senyawa.............................................................. 21 Gambar 9. Difusi eddy ................................................................................. 24 Gambar 10. Transfer massa fase diam ............................................................ 25 Gambar 11. Transfer massa fase gerak ........................................................... 25 Gambar 12. Penentuan peak asymetry dan peak tailing factors ..................... 26 Gambar 13. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam........................ 26 Gambar 14. Gugus kromofor dan auksokrom parasetamol ............................ 38 Gambar 15. Gugus kromofor dan auksokrom salisilamida ............................ 39 Gambar 16. Gugus kromofor kafein ............................................................... 39 Gambar 17. Spektrum serapan parasetamol.................................................... 40 Gambar 18. Spektrum serapan salisilamida.................................................... 41 Gambar 19. Spektrum serapan kafein ............................................................. 42 Gambar 20. Gabungan spektrum serapan parasetamol, salisilamida, dan kafein........................................................................................... 43

  Gambar 21. Kromatogram campuran baku parasetamol, salisilamida, dan kafein .......................................................................................... 45 Gambar 22. Gugus non polar pada parasetamol, salisilamida, dan kafein ..... 46 Gambar 23. Reaksi penggaraman parasetamol dengan adanya amonia ......... 47 Gambar 24. Reaksi penggaraman salisilamida dengan adanya amonia.......... 47 Gambar 25. Kromatogram parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet ........................................................................................... 50

  DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Sertifikat analisis parasetamol............................................... 58 Lampiran 2. Sertifikat analisis salisilamida............................................... 59 Lampiran 3. Sertifikat analisis kafein........................................................ 60 Lampiran 4. Data penimbangan bahan ...................................................... 61 Lampiran 5. Kromatogram baku parasetamol ........................................... 62 Lampiran 6. Kromatogram baku salisilamida ........................................... 67 Lampiran 7. Kromatogram baku kafein..................................................... 72 Lampiran 8. Kromatogram parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel .................................................................................. 77 Lampiran 9. Contoh perhitungan kadar larutan baku parasetamol............ 78 Lampiran 10. Contoh perhitungan kadar larutan baku salisilamida ............ 79 Lampiran 11. Contoh perhitungan kadar larutan baku kafein ..................... 80 Lampiran 12. Contoh perhitungan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel ............................................................. 81 Lampiran 13. Perhitungan CV parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel ............................................................. 84

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Saat ini, sediaan obat analgesik yang banyak beredar merupakan bentuk

  sediaan obat dengan kombinasi beberapa zat aktif. Kombinasi ini ditujukan untuk memperoleh efek terapetik yang lebih baik. Salah satu kombinasi yang digunakan adalah parasetamol, salisilamida, dan kafein. Kombinasi ini berkhasiat sebagai analgesik antipiretik dalam obat seperti tablet Anaflu, tablet Anarin, tablet Cold, tablet Corexin, dan tablet Refagan. Pada penelitian ini digunakan produk obat dengan perbandingan parasetamol : salisilamida : kafein adalah 4 : 4 : 1.

  Dalam sediaan obat yang mengandung parasetamol, salisilamida, dan kafein diperlukan suatu metode yang dapat diacu dan digunakan untuk penetapan kadar ketiga senyawa tersebut. Suatu metode analisis yang tepat menjadi sangat penting karena sebagai alat untuk mengontrol suatu sediaan obat memenuhi persyaratan atau tidak yang dalam hal ini adalah jumlah zat aktif yang sesuai dengan yang tertera pada etiket. Penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet masih dilakukan dengan metode KLT densitometri (Anonim, 1998). Dengan metode ini masih perlu dilakukan pemisahan senyawa untuk dapat ditetapkan kadar bahan aktifnya. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mencoba menggunakan metode lain dalam penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet. Selain itu, belum adanya metode resmi yang dapat diacu

  2 untuk penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet secara simultan juga merupakan masalah yang harus dipikirkan.

  Pada penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet ini digunakan metode KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Pemilihan metode KCKT karena metode KCKT merupakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif yang dapat digunakan untuk analisis senyawa multikomponen dalam sampel yang berupa campuran (Johnson dan Stevenson, 1978).

  Pada penelitian ini, penulis mengacu dari penelitian yang telah dilakukan oleh Sugianto (2007) mengenai optimasi pemisahan campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein dengan metode KCKT. Pada penelitian tersebut telah didapatkan bahwa metode KCKT yang digunakan telah teruji memiliki validitas yang baik dalam penetapan kadar campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein. Hal itu yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian mengenai penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam produk obat yang dalam hal ini adalah tablet.

1. Permasalahan

  Berdasarkan latar belakang yang ada, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. apakah metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet ? b. apakah kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket ?

  3

  2. Keaslian penelitian

  Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik telah banyak dilakukan untuk menetapkan kadar dalam campuran obat. Penelitian mengenai campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein telah dilakukan dengan metode spektrofotometri derivativ baik menggunakan aplikasi metode peak to

  

peak (Friamata, 2006) maupun zero-crossing (Wulandari, 2006). Namun metode

  HPLC belum pernah dilakukan untuk penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet. Penelitian ini mengacu pada penelitian dari Sugianto (2007) mengenai optimasi pemisahan campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein dengan metode KCKT.

  3. Manfaat penelitian

  Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :

  a. manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apakah kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket.

  b. manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan prosedur pengggunaan metode KCKT dalam penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet.

  4

B. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. mengetahui apakah metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet.

  2. mengetahui apakah kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket.

  BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tablet Dalam Farmakope Indonesia (1995) menyebutkan definisi dari tablet

  adalah suatu sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Tablet adalah sediaan obat padat takaran tunggal yang dicetak dari serbuk kering, kristal, atau granulat, yang umumnya dengan penambahan bahan pembantu yang pembuatannya menggunakan mesin yang sesuai dengan tekanan yang tinggi. Tablet merupakan bentuk sediaan yang banyak digunakan saat ini. Keuntungan dari bentuk tablet antara lain adalah relatif murah dan relatif mudah digunakan pada masyarakat (Voigt, 1984).

  Tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan pada pemberian obat secara oral, dan kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Tablet lain yang penggunaannya dengan cara sublingual, bukal, atau melalui vaginal, tidak boleh mengandung bahan tambahan seperti pada tablet yang digunakan secara oral (Ansel, 1985).

  Kualitas tablet dapat dipantau dari evaluasi sifat fisik tablet (Aulton dan Summer, 1994), meliputi :

  5

  6

  1. Keseragaman kandungan. Salah satu syarat sediaan obat adalah harus memiliki sifat kandungan yang konstan dalam tiap takarannya. Sediaan farmasi berbentuk tablet harus memenuhi uji keragaman bobot untuk menggambarkan keseragaman kandungan zat aktif yang terkandung di dalam tiap tabletnya (Aulton dan Summer, 1994). Namun keragaman bobot tidak dapat menggambarkan keseragaman dosis jika sediaan obat tersebut mengandung bahan aktif dengan jumlah kurang dari 50% dari berat tablet atau sediaan obat yang mengandung bahan aktif kurang dari 50 mg (Anonim, 2005).

  2. Disintegrasi atau waktu hancur. Tablet dinyatakan hancur jika mereka terlarut atau hancur menjadi partikel dalam suatu medium penguji yaitu air bersuhu tertentu (misal 37°C) (Voigt, 1984).

  3. Kekerasan. Dikehendaki tablet yang cukup keras agar tablet tidak pecah saat pengemasan dan distribusi. Namun tidak terlalu keras agar tablet dapat hancur dan menimbulkan efek.

  4. Kerapuhan. Benturan-benturan pada proses pengemasan dan pengangkutan tidak cukup kuat untuk memecahkan tablet, tetapi dapat menghilangkan beberapa partikel obat dari permukaan tablet (Aulton dan Summer, 1994).

B. Parasetamol

  Parasetamol yang memiliki nama lain asetaminofen atau 4’-

hidroksiasetanilida memiliki bobot molekul sebesar 151,16 (Anonim, 1995).

  Rumus bangun parasetamol dapat dilihat pada gambar 1.

  7

  O

HN C CH

3 OH

Gambar 1. Struktur Parasetamol (Anonim, 1995)

  Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C

  8 H

  9 NO 2 , dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol merupakan serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau, dan berasa sedikit pahit (Anonim, 1995).

  Parasetamol mempunyai titik lebur antara 169 °C dan 172°C. Satu bagian parasetamol larut dalam 70 bagian air, 20 bagian air panas, 7 bagian etanol, dan 50 bagian kloroform. Parasetamol tidak larut dalam eter (Clarke, 1969).

  Parasetamol memiliki serapan maksimum pada daerah ultraviolet. Parasetamol memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 250 nm 1 % 1 %

  ( = 900) dalam etanol dan pada panjang gelombang 255 nm ( = 710)

  A 1cm A 1cm

  dalam larutan NaOH 0,1 N (Auterhoff, 1981). Dalam metanol, parasetamol 1 % memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 249 nm ( A = 900) 1 % 1cm (Clarke, 1969). A atau serapan jenis adalah serapan dari larutan 1% zat terlarut 1cm dalam sel dengan ketebalan 1 cm (Anonim, 1995).

  Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Parasetamol juga digunakan sebagai analgesik. Namun penggunaan parasetamol untuk meredakan demam (antipiretik) tidak seluas

  8 penggunaannya sebagai analgesik. Efek analgesik dari parasetamol yaitu meredakan rasa nyeri ringan hingga sedang (Wilmana, 1995). Dosis oral untuk nyeri dan demam 2-3 kali sehari 0,5-1 g, maksimum 4g/hari (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Tablet parasetamol mengandung parasetamol, C

  8 H

  9 NO 2 , tidak kurang

  dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 1995).

C. Salisilamida

  Salisilamida atau 2-hidroksi benzamida memiliki bobot molekul 137,14 (Anonim, 1995). Rumus bangun salisilamida dapat dilihat pada gambar 2.

  O

C NH

2 OH

Gambar 2. Struktur Salisilamida (Anonim, 1995)

  Salisilamida merupakan serbuk hablur berwarna putih, dan praktis tidak berbau. Salisilamida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C

  7 H

  7 NO

2 , dihitung terhadap zat anhidrat (Anonim, 1995).

  Salisilamida memiliki titik lebur pada suhu antara 139 °C dan 142°C. Satu bagian salisilamida larut dalam 500 bagian air, lebih larut dalam air panas, 15 bagian etanol, 35 bagian eter, dan 100 bagian kloroform (Clarke, 1969).

  Salisilamida dalam etanol memiliki serapan maksimum pada panjang 1 % 1 % gelombang 235 nm ( A = 543) dan 302 nm ( A = 295). Sedangkan dalam 1cm 1cm

  9 larutan NaOH 0,1N, salisilamida memiliki serapan maksimum pada panjang 1 % 1 % gelombang 242 nm ( A =536) dan 328 nm ( A = 435) (Clarke, 1969). 1cm 1cm

  Salisilamida adalah amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgesik antipiretik mirip asetosal. Efek analgesik antipiretik salisilamida lebih lemah dari salisilat, karena salisilamida dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas pertama sehingga hanya sebagian kecil saja yang masuk dalam sirkulasi sebagai zat aktif. Salisilamida dapat menghambat glukuronidasi obat analgesik lain di hati seperti Na salisilat dan parasetamol, sehingga pemberian bersamaan dapat meningkatkan efek terapi dan toksisitas obat (Wilmana, 1995). Dosis yang digunakan adalah 3-4 kali sehari 0,5-1 g (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Tablet salisilamida mengandung salisilamida, C H NO tidak kurang

  7 7 2,

  dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 2005).

D. Kafein

  Kafein atau 1,3,7-trimetil xantin berbentuk anhidrat dengan bobot molekul 194,19 atau hidrat dengan mengandung 1 molekul air dengan bobot molekul 212,21 (Anonim, 1995). Rumus bangun kafein dapat dilihat pada gambar 3. H 3 C N N O CH 3 O CH N

3

N

  

Gambar 3. Struktur Kafein (Anonim, 1995)

  10 Kafein mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0%

  C

  8 H

  10 N

  4 O 2 , dihitung terhadap zat anhidrat. Kafein merupakan serbuk putih atau

  bentuk jarum mengkilat putih yang biasanya menggumpal, tidak berbau, dan berasa pahit (Anonim, 1995).

  Kafein memiliki titik lebur antara 235 °C dan 237°C. Satu bagian kafein larut dalam 60 bagian air, 2 bagian air panas, 130 bagian etanol, dan 7 bagian kloroform. Kafein larut dalam eter dan lebih larut dalam larutan asam (Clarke, 1969).

  Kafein dalam etanol memiliki serapan maksimum pada panjang 1 % gelombang 273 nm( A = 519) dan dalam larutan NaOH 0,1N memiliki serapan 1cm 1 % maksimum pada panjang gelombang 272 nm ( A = 470) (Clarke, 1969). 1cm Kafein merupakan golongan xantin yang menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus, merangsang sistem saraf pusat (SSP), otot jantung, dan meningkatkan diuresis (Wilmana, 1995). Parasetamol ataupun asetosal dikombinasikan dengan kafein untuk memperkuat daya analgesiknya (Anonim, 2000). Dosis yang digunakan pada rasa letih 1-3 kali sehari 100-200 mg, sebagai adjuvans bersama analgetika 50 mg 1 kali (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Tablet kafein mengandung kafein, C H N O tidak kurang dari 90,0%

  8

  10 4 2, dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 2005).

  11

E. Spektrofotometri UV

  Spektroskopi adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik (REM). Spektrofotometri ultraviolet adalah salah satu teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dengan memakai instrument spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

  Apabila suatu molekul dikenai radiasi elektromagnetik maka akan terjadi eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi yang dikenal sebagai orbital elektron

  

antibonding . Ada empat tipe transisi elektronik yang mungkin terjadi yaitu

  σÆσ*, nÆσ*, nÆπ*, dan πÆπ*. Eksitasi elektron (σÆσ*) memberikan energi yang terbesar dan terjadi pada daerah ultraviolet jauh yang diberikan oleh ikatan tunggal, misalnya alkana. Eksitasi elektron (

  πÆπ*) diberikan oleh ikatan rangkap dua dan tiga, juga terjadi pada daerah ultraviolet jauh. Eksitasi elektron (nÆ σ*) terjadi pada gugus karbonil (dimetil keton dan asetaldehid) yang terjadi pada daerah ultraviolet jauh (Mulja dan Suharman, 1995).

  Suatu molekul dapat menyerap radiasi elektromagnetik jika memiliki kromofor, yaitu gugus penyerap dalam molekul. Molekul yang mengandung kromofor disebut kromogen. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom, yaitu gugus yang tidak menyerap radiasi namun bila terikat bersama kromofor dapat meningkatkan penyerapan oleh kromofor atau mengubah panjang gelombang serapan maksimum (Christian, 2004).

  Spektrofotometer ultraviolet melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektofotometer ultraviolet lebih

  12 banyak untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif. Analisis kuantitatif selalu melibatkan pembacaan absorban radiasi elektromagnetik oleh molekul, atau radiasi elektromagnetik yang diteruskan, yang disebut absorban (A) tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (%T). Bouger, Lambert, dan Beer membuat formula secara matematik hubungan antara transmitan atau absorban terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang dianalisis dan tebal larutan yang mengabsorpsi sebagai :

  I . c . b t − ε

  T = =

  10

  (1)

  I

1 A = = c b log ε . .

  (2)

  T

  Dimana T = persen transmitan I = intensitas radiasi yang datang I t = intensitas radiasi yang diteruskan

  • 1 -1

  ε = daya serap molar (Lt.mol .cm )

  • 1

  c = konsentrasi (mol. Lt ) b = tebal larutan (cm) A = serapan / absorbansi

  (Mulja dan Suharman, 1995)

  13

F. KCKT 1. Definisi dan instrumentasi

  Kromatografi adalah prosedur pemisahan senyawa campuran berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi, karena adanya perbedaan koefisien distribusi masing-masing senyawa di antara dua fase yang saling bersinggungan dan tidak saling campur, yang disebut sebagai fase gerak (mobile phase) yang berupa zat cair atau zat gas, dan fase diam (stationary phase) yang berupa zat cair atau zat padat (Noegrohati, 1994). Kromatografi pertama kali ditemukan oleh TSWETT pada 1903. TSWETT telah menggunakan kromatografi untuk pemisahan senyawa yang berwarna sehingga metode tersebut dinamai kromatografi (kroma yang berarti berwarna). Namun pembatasan untuk senyawa berwarna tidak berlangsung lama dan hampir kebanyakan pemisahan secara kromatografi saat ini digunakan pada senyawa yang tidak berwarna (Sastrohamidjojo, 2002).

  Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode kromatografi cair yang fase geraknya dialirkan secara cepat dengan bantuan tekanan, dan hasilnya dideteksi dengan instrument (Willard, Merritt, Dean, dan Settle, 1988). Pada mulanya teknik kromatografi ini disebut dengan High

  

Pressure Liquid Chromatography karena pada instrument ini terdapat sistem

  pompa tekanan tinggi yang mampu mengalirkan fase gerak pada tekanan tinggi sampai 300 atmosfer dan tekanan pada bagian atas kolom kurang dari 70 atmosfer (Anonim, 1995). Pada akhir tahun 1970, perkembangan instrument ini dapat menghasilkan pemisahan yang baik atau menghasilkan penampilan peak yang

  14 baik sehingga sistem ini lebih dikenal dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kromidas, 2000).

  KCKT merupakan teknik analisis yang paling sering digunakan dalam analisis farmasi untuk pemisahan, identifikasi, dan determinasi dalam campuran yang kompleks (Skoog, Holler, dan Nieman, 1998). Peralatan KCKT dapat dilihat pada gambar 4.

  

Gambar 4. Peralatan KCKT (Kazakevich dan Nair,1996)

  Ada tiga variabel utama pada sistem KCKT yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Fase gerak

  Kemampuan KCKT untuk memisahkan banyak senyawa terutama tergantung pada keanekaragaman fase gerak. Fase gerak pada KCKT sangat berpengaruh pada tambatan dan pemisahan senyawa (Munson, 1984). Fase gerak untuk analisis secara KCKT harus bersifat murni, tanpa cemaran, tidak bereaksi dengan kemasan, dapat melarutkan cuplikan (solut), viskositas rendah, memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah (jika diperlukan), dan harganya wajar (Johnson dan Stevenson, 1978). Fase gerak KCKT harus bebas dari gas terlarut karena dapat mempengaruhi respon

  15 detektor, sehingga menghasilkan sinyal palsu, dan mempengaruhi kolom (Gritter, Bobbit, dan Schwarting, 1985).

  Kepolaran pelarut merupakan ukuran kekuatan pelarut untuk mengelusi suatu senyawa. Kandungan utama fase gerak pada kromatografi fase terbalik adalah air. Kecenderungan air untuk melarutkan sampel dapat diubah dengan menambahkan garam untuk menimbulkan pengaruh penggaraman, asam, basa, dapar untuk melarutkan atau mengendapkan asam atau basa, pereaksi pengompleks untuk menimbulkan jenis pengaruh pelarutan yang khas untuk gugus fungsi tertentu atau golongan senyawa tertentu, atau pelarut organik yang dapat bercampur dengan air. Pemodifikasi organik yang banyak digunakan adalah metanol, asetonitril, dan tetrahidrofuran (Gritter et al ., 1985; Munson, 1984).

  Kepolaran pelarut dinyatakan dalam bentuk P’ (indeks polaritas). Besarnya polaritas campuran pelarut dapat dihitung dengan persamaan berikut: n

  P camp = P ' =

  1 P 1 ’ +

  2 P 2 ’ …+ n P n ’ (3)

  φ Ф Ф Ф

  ∑ i 1 =

  dengan Ф adalah fraksi pelarut dalam campuran dan n adalah jenis pelarut yang digunakan (Skoog et al., 1998).

  Berikut ini ditampilkan beberapa nilai indeks polaritas dari beberapa pelarut yang sering digunakan :

  16

  Tabel 1. Nilai indeks polaritas pelarut

Eluotropic Values Solvent Index

Polarity

  Alumina C

  18 Silica UV Cut off (nm) Hexane 0,1 0,01 - 0,00 195

Cyclohexane 0,2 0,04 - - 200

Toluene 2,4 0,29 - 0,22 284

  Tetrahydrofuram 4,0 0,45 3,7 0,53 212

Ethyl acetate 4,4 0,58 - 0,48 256

Acetone 5,1 0,56 8,8 0,53 330

  

Methanol 5,1 0,95 1,0 0,7 205

Acetonitrile 5,8 0,65 3,1 0,52 190

Dimethylformamide 6,4 - 7,6 - 268 Dimethylsulfoxide 7,2 0,62 - - 268 Water 10,2 - - - 190

  (Snyder, Kirkland, dan Glajch, 1997) Tabel di atas menunjukkan bahwa semakin besar eluotropic values dari pelarut menunjukkan semakin mudah untuk mengelusi sampel. Semakin besar indeks polaritas yang dimiliki oleh pelarut maka semakin bersifat polar pelarut yan digunakan (Snyder et al., 1997).

b. Fase diam

  Kolom merupakan bagian yang sangat penting dalam pemisahan komponen-komponen sampel. Keberhasilan pemisahan komponen sampel bergantung pada keadaan kolom (Mulja dan Suharman, 1995). Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan diameternya, yaitu : 1)

  Kolom analitik, memiliki diameter pada bagian dalam 2-6 mm. Panjang kolomnya bergantung pada jenis kemasan yaitu untuk kemasan pelikel

  17 biasanya 50-100 cm dan untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.

  2) Kolom preparatif, dengan diameter 6 mm atau lebih dan panjang kolom 25-100 cm (Johnson dan Stevenson, 1978).

c. Detektor

  Detektor yang baik hendaknya memiliki kepekaan tinggi, rentang respon liniernya lebar, tidak dipengaruhi perubahan suhu dan aliran, memberikan hasil dengan keterulangan yang baik, dan tidak banyak derau. Secara umum, detektor dibagi menjadi 2 kategori, yaitu : 1) Bulk property detectors, merupakan detektor yang mengukur perubahan sifat fisik fase gerak dan solut. Detektor tipe ini cenderung relatif tidak sensitif dan menghendaki temperatur yang terkendali. Contoh detektor jenis ini yaitu detektor indeks bias.

  2) Solute property detectors, merupakan detektor yang hanya mengukur sifat fisik solut. Detektor tipe ini 1000 kali lebih sensitif dan mampu mengukur solut sampai satuan nanogram atau lebih kecil lagi. Contoh detektor jenis ini yaitu detektor fluoresensi, detektor penyerapan (UV-Vis), dan detektor elektrokimia (Munson, 1984; Willard et al., 1988).

2. Pembagian jenis kromatografi

  Secara umum kromatografi dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu :

  18

  a. Kromatografi cair-cair atau kromatografi partisi

  Pada kromatografi partisi, fase diam dapat polar atau non polar. Bila fase diam polar dan fase gerak nonpolar disebut kromatografi partisi fase normal, sedangkan bila fase diam nonpolar dan fase gerak polar dinamakan kromatografi partisi fase terbalik (Munson, 1984).

  b. Kromatografi adsorpsi

  Kromatografi ini menggunakan fase diam padat dan fase gerak cair atau gas. Solut dapat diadsorpsi pada permukaan partikel padat (Harris, 1999).

  c. Kromatografi pertukaran ion

  Anion atau kation diikatkan secara kovalen pada fase diam padat, biasanya resin. Ion-ion solut muatan berlawanan menyerang fase diam dengan kekuatan elektrostatik. Fase geraknya cair (Harris, 1999).

  d. Kromatografi eksklusi

  Pada kromatografi ini tidak ada interaksi tarik menarik antara fase diam dan solut. Fase gerak cair atau gas melalui gel berpori. Ukuran pori cukup kecil untuk mengeluarkan molekul solut yang besar. Molekul solut yang kecil akan masuk ke dalam pori gel, sedangkan molekul yang besar akan mengalir tanpa memasuki pori gel (Harris, 1999).

  e. Kromatografi afinitas

  Digunakan untuk interaksi spesifik antara satu jenis molekul solut dan sebuah molekul yang lain yang secara kovalen terikat pada fase diam.

  Misalnya untuk pemisahan komponen protein (Harris, 1999).

  19

3. Kromatografi partisi

  Pada salah satu dari dua fase kromatografi partisi, yaitu fase gerak dan fase diam harus lebih polar dibanding yang lain. Bila fase diam lebih polar, disebut kromatografi partisi fase normal. Bila sebaliknya dinamakan kromatografi partisi fase terbalik. Mekanisme pemisahan pada kromatografi partisi dapat digambarkan sebagai berikut :

  Gambar 5. Mekanisme pemisahan kromatografi partisi (Munson, 1984)

  Prinsip kromatografi partisi didasarkan pada partisi solut di antara dua fase yang tidak saling campur, karena adanya perbedaan koefisien distribusi dari masing-masing senyawa. Jika solut ditambahkan ke dalam sistem yang terdiri dari dua pelarut tidak saling campur dan keseluruhan sistem dibiarkan setimbang, maka solut akan tersebar di antara kedua fase menurut persamaan :

  C s

  K = (4)

  C m

  K adalah koefisien distribusi, Cs adalah konsentrasi solut dalam fase diam, dan Cm adalah konsentrasi solut dalam fase gerak (Johnson dan Stevenson, 1978).

  Kolom yang biasa digunakan pada kromatografi partisi fase terbalik adalah kolom dengan kemasan fase terikat yang memiliki sifat stabil karena fase

  20 diamnya terikat secara kimia pada penyangga, sehingga tidak mudah terbawa oleh fase gerak. Penyangga pada kemasan fase terikat biasanya terbuat dari silika yang sudah diseragamkan, berpori, dan umumnya partikel mempunyai diameter 3,5 atau 10 μm (Skoog et al., 1998).

  KCKT partisi fase terbalik biasanya mengandung bagian organik yang terikat secara kimia dengan gugus silanol pada permukaan silika. Bagian organik tersebut umumnya hidrokarbon rantai panjang, sehingga fase gerak umumnya polar. Gugus silanol permukaan dapat direaksikan dengan berbagai cara untuk menempelkan berbagai jenis gugus organik. Kemasan fase terikat dengan tipe ikatan siloksan (Si-O-Si-O) dibuat dengan mereaksikan organoklorosilan dengan gugus silanol pada permukaan silika gel yang terhidrolisis sebagai berikut :

  • Si OH Cl Si(CH ) R
  • 3 2 + HCl Si O Si(CH ) R 3 2 Gambar 6. Reaksi silanisasi

      Reaksi tersebut digunakan untuk membuat isian kolom oktadesilsilan (ODS) dari gugus silanol dan oktadesilklorosilan sebagai berikut :

      CH 3

    • Si O Si (CH ) CH Si OH Cl Si (CH ) CH + HCl
    • 2 17 3 2 17 3 CH 3 Gambar 7. Reaksi pembuatan kolom oktadesilsilan

        Pada kromatografi partisis fase terbalik dengan kemasan fase terikat, R pada siloksan biasanya berupa gugus C atau C . Panjang pendeknya rantai karbon

        18

        8 mempengaruhi tertambatnya senyawa pada fase diam (Skoog et al., 1998).

        21

      4. Pemisahan puncak dalam kromatografi

        Keberhasilan atau kegagalan analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Ukuran kinerja dari kolom dapat dilihat dari kemampuan kolom dalam memisahkan senyawa. Kolom yang efisien mencegah pelebaran puncak atau menghasilkan puncak yang sangat sempit. (Johnson dan Stevenson, 1978).

        Faktor resolusi adalah ukuran pemisahan dari 2 puncak. Daya pisah, R, dapat diukur dengan persamaan :