PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA REMAJA LAKI-LAKI YANG BERTINDIK DAN YANG TIDAK BERTINDIK

  

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA

REMAJA LAKI-LAKI YANG BERTINDIK

DAN YANG TIDAK BERTINDIK

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Ivanty Lesmana

NIM : 029114009

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

  (Halaman Persetujuan)

  (Halaman Pengesahan)

  MOTTO Just live your live!

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Tuhan Yesus Kristus Bunda Maria

  Papa dan Mamaku Dawy dan Agun

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

  Yogyakarta, 23 Mei 2009 Penulis,

  Ivanty Lesmana

  

ABSTRAK

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA REMAJA LAKI-LAKI

YANG BERTINDIK DAN YANG TIDAK BERTINDIK

  Ivanty Lesmana 029114009

  Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta Penelitian komparatif ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat harga diri antara remaja laki-laki yang bertindik dan yang tidak bertindik. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah tingkat harga diri remaja. Harga diri adalah evaluasi seseorang secara global terhadap dirinya sendiri dan tingkah lakunya, baik itu evaluasi positif maupun evaluasi negatif, terhadap kemampuan, keberhasilan, keberhargaan serta penerimaan individu yang berasal dari interaksi individu dengan orang lain yang kemudian menjadi penopang kepercayaan diri dan keberhargaan dirinya. Variabel bebas dari penelitian ini adalah remaja laki- laki yang memiliki tindik dan yang tidak memiliki tindik. Subyek penelitian ini adalah remaja laki-laki berusia 18-21 tahun sebanyak 120 orang dengan jumlah subyek yang bertindik adalah 60 orang dan subyek yang tidak bertindik adalah 60 orang. Estimasi reliabilitas alat ukur harga diri adalah sebesar 0,916. Penelitian ini menggunakan metode analisis data independent sample T-test. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat harga diri antara remaja laki-laki yang bertindik dan yang tidak bertindik, dengan nilai t sebesar 8,112 (p<0,05), yang berarti bahwa remaja laki-laki yang bertindik memiliki tingkat harga diri yang lebih rendah (Mean = 122,73) dibandingkan dengan remaja laki-laki yang tidak bertindik (Mean = 140). Kata kunci : Harga Diri, Remaja, Tindik

  

ABSTRACT

THE SELF-ESTEEM LEVEL DIFFERENCE BETWEEN PIERCED AND

NON-PIERCED MALE ADOLESCENTS

  Ivanty Lesmana 029114009

  Psychology Faculty Sanata Dharma University

  Yogyakarta This comparative research aims to know the difference of self esteem level between pierced and non-pierced male adolescents. The dependent variable in this research is self-esteem level of male adolescents. Self esteem is the global evaluation of ourselves and our attitudes, which are negative or positive, about our ability, success, respect and individual acceptance which comes from the individual interactions with others and as supports of existance and happiness. The independent variables are pierced male adolescents and non-pierced male adolescents. The subjects of this research are 120 male adolescents with 18 – 21 range ages. There are 60 subjects who had pierced and 60 subjects who had not. Reliability estimation of this measurement is 0,916. This research uses independent sample T-test method of data analyses. It finds out that there is a difference of self-esteem level between pierced and non-pieced male adolescents with t = 8,112 (p<0,05). It means that the pierced male adolescents have a lower level of self esteem (Mean = 122,73) than the non- pierced male adolescents (Mean = 140). Keywords : Self-esteem, Adolescents, Piercing/Pierced

  (Halaman Pesetujuan Publikasi)

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat yang diberikan dalam penulisan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan suatu kewajiban dan salah satu syarat bagi setiap mahasiswa untuk menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi,

  Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Dalam rangka memenuhi kewajiban dan syarat tersebut, maka penulis memilih judul “PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA REMAJA LAKI- LAKI YANG BERTINDIK DAN YANG TIDAK BERTINDIK”

  Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, karya tulis ini tidak akan berhasil sebagaimana mestinya. Oleh karenanya penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

  1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas semua berkat yang telah diberikan kepadaku.

  2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

  3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi atas segala waktu, dukungan dan kesabaran yang diberikan kepada penulis.

  4. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi., sebagai dosen penguji karya tulis ini.

  5. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si., sebagai dosen penguji karya ini sekaligus sebagai dosen pembimbing studi kami yang baru.

  6. Mas Gandung, Mas Doni, Mas Muji, Pak Giek dan Mbak Naniek atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis.

  7. Teristimewa untuk kedua orang tuaku, Lie Djien Kiong dan Rifka Rika, atas semua doa, dukungan, pengertian dan kesabarannya menunggu penulis menyelesaikan studi serta untuk segala hal yang telah diberikan selama ini.

  8. Dawy dan Agun, The Greatest Sister and Brother.

  9. Larry dan Andre atas waktu dan kesediaan diri untuk membantu dalam pengumpulan questioner.

  10. Teman-teman Psikologi, terutama Danang, atas dukungan dan semangat yang diberikan selama ini. Saya benar-benar takut kamu ‘mengejarku’ hehehe.. dan Hera serta P&G atas pinjaman buku-buku dan email- emailnya.

  11. R. Aswin Ajie Praditya, My Beloved Hunny, for all things.. Lop u..

  12. Serta semua pihak yang tidak sempat ditulis, atas dukungan dan bantuannya selama ini.

  Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini, tapi semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua.

  Yogyakarta, Penulis

  DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..i

  HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………...ii

  HALAMAN PEGESAHAN…………………………………………………..iii

  HALAMAN MOTTO……………………………………………………..iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………...v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………..vi ABSTRAK………………………………………………………………..vii

  ABSTRACT ……………………………………………………………….viii

  HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………....ix KATA PENGANTAR………………………………………………….....x DAFTAR ISI……………………………………………………………..xii DAFTAR TABEL………………………………………………………..xv DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..xvi

  BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………….1 A. LATAR BELAKANG MASALAH……………………………1 B. RUMUSAN MASALAH………………………………………5 C. TUJUAN PENELITIAN………………………………………

  5 D. MANFAAT PENELITIAN…………………………………….5

  BAB II. LANDASAN TEORI....................................................................7 A. HARGA DIRI REMAJA........................................................7

  1. Pengertian Harga Diri.......................................................7

  2. Pembentukan Harga Diri.................................................. 9

  3. Aspek-Aspek Harga Diri................................................. 12

  4. Penggolongan Harga Diri................................................ 13 5. Remaja.............................................................................

  16

  6. Karakteristik Remaja....................................................... 16

  7. Harga Diri Remaja........................................................... 19

  B. MODIFIKASI TUBUH......................................................... 21

  1. Pengertian Modifikasi Tubuh.......................................... 21

  2. Istilah-Istilah Modifikasi Tubuh..................................... 21 3. Tindik..............................................................................

  22

  a. Sejarah Tindik........................................................... 22 b. Pengertian Tindik......................................................

  24

  c. Metode Dalam Tindik................................................25

  C. Pandangan Masyarakat Terhadap Tindik.............................. 26

  D. Hubungan Harga Diri Dengan Tindik....................................27

  E. Hipotesis.................................................................................30

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...................................................31 A. Jenis Penelitian.......................................................................31 B. Identifikasi Variabel Penelitian..............................................31 C. Definisi Operasional Variabel Penelitian...............................31 D. Subyek Penelitian...................................................................33 E. Metode Pengumpulan Data....................................................33 F. Uji Validitas dan Reliabilitas.................................................36

  1. Uji Coba Alat Ukur......................................................... 36

  2. Estimasi Validitas........................................................... 36

  3. Analisis Aitem.................................................................37

  4. Estimasi Reliabilitas........................................................39

  G. Metode Analisis Data............................................................39

  H. Prosedur Penelitian................................................................40

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...........................42 A. Pelaksanaan Penelitian...........................................................42

  1. Waktu Pelaksanaan Penelitian.........................................42

  2. Cara Pelaksanaan Penelitian............................................42

  B. Deskripsi Data Penelitian.......................................................43

  C. Analisis Hasil Penelitian....................................................... 43

  1. Uji Asumsi Penelitian..................................................... 43

  2. Uji Hipotesis................................................................... 45

  D. Pembahasan............................................................................46

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................50 A. Kesimpulan............................................................................ 50 B. Saran.......................................................................................50 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................52

  

DAFTAR TABEL

  Tabel 1. Kisi-Kisi Skala Tingkat Harga Diri Sebelum Diujicobakan..................35 Tabel 2. Kisi-Kisi Skala Tingkat Harga Diri Setelah Diujicobakan....................38 Tabel 3. Deskripsi Data Penelitian......................................................................43 Tabel 4. Data Tingkat Harga Diri Berdasarkan Perbedaan Mean.......................43 Tabel 5. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov..................................................44 Tabel 6. Uji Homogenitas...................................................................................44 Tabel 7. Tabel Ringkasan Hasil Uji-t..................................................................45 Tabel 8. Ringkasan Hasil Uji t Berdasarkan Aspek Harga Diri..........................46 Tabel 9. Ringkasan Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Per Aspek................46

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran A. Tabulasi Data Aitem

  1. Uji Coba

  2. Penelitian Lampiran B. Uji Reliabilitas Lampiran C. Deskripsi Data Penelitian Lampiran D. Instrumen Penelitian

  1. Skala Uji Coba

  2. Skala Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini semakin banyak kita jumpai para remaja yang melakukan

  tindik (piercing). Mereka seolah tidak peduli bagaimana pandangan orang- orang sekitar terhadap mereka (Kompas, 2007). Tindik tubuh atau sering juga disebut piercing merupakan salah satu bentuk modifikasi tubuh dengan tujuan memakai perhiasan. Beberapa orang melakukan penindikan dengan alasan agama maupun budaya, sedangkan di masa modern ini, khususnya dunia Barat, tindik dilakukan karena alasan keyakinan, hiasan semata, atau tujuan seksual (Wales and Sanger, 2007).

  Di Indonesia sendiri, tindik mulai dikenal remaja diperkirakan sekitar tahun 1970-an dan mulai diminati oleh masyarakat awal tahun 1990- an. Mereka ditindik karena terpengaruh mode atau trend dan tindik dianggap mempunyai nilai seni setelah tattoo yang sudah lebih dulu diakui eksistensinya. Ada juga alasan lain yaitu agar diterima dan mendapatkan pengakuan dari kelompoknya dan menambah rasa percaya diri (Kompas, 2007).

  Menurut Greif, Hewitt & Armstrong (dalam Krell, 2003) modifikasi tubuh sudah dipraktekkan beribu-ribu tahun yang lalu di seluruh dunia.

  Selama 20 tahun terakhir, modifikasi tubuh seperti tindik dianggap sebagai suatu ciri-ciri penyimpangan, namun seiring dengan berjalannya waktu, tindik juga sudah mulai diterima oleh masyarakat (Hewitt dalam Krell, 2003). Modifikasi tubuh telah berubah dari suatu hal yang pernah dianggap tabu menjadi suatu bentuk seni yang diterima masyarakat (DeMello dalam Krell, 2003). Walaupun hal ini secara luas sedang diterima, tidak berarti bahwa tidak ada stereotip atau pandangan dan anggapan negatif dari masyarakat terhadap para pemilik tindik. Modifikasi tubuh sering dikaitkan pada penyimpangan, pemberontakan atau perilaku beresiko lainnya (Garza dalam Krell, 2003).

  Penelitian Drews, Allison, & Probst (dalam Krell, 2003) secara rinci melihat tentang perbedaan konsep diri antara murid-murid yang melakukan modifikasi tubuh dengan yang tidak melakukan modifikasi tubuh. Studi itu menunjukkan bahwa murid-murid yang memodifikasi tubuhnya cenderung menempatkan diri mereka sebagai orang yang kreatif, menarik, dan petualang daripada mereka yang tidak melakukan modifkasi tubuh.

  Menurut Adler & Towne (dalam Twyman, 2001), harga diri digambarkan sebagai bagian dari konsep diri (kesatuan persepsi, pegangan diri mereka). Harga diri merupakan kunci kesuksesan dan kebahagiaan seseorang (Coopersmith dalam Elkins, 1979). Harga diri adalah evaluasi yang kita buat mengenai diri kita sendiri, yaitu tentang bagaimana kita memandang dan menilai diri kita (Taylor, Peplau, & Sears, 2000; Page & Page, 2000). Sedangkan Rogers (dalam Huffman, Vernoy & Vernoy, 1997) menyatakan bahwa harga diri adalah suatu perasaan mengenai diri kita, baik maupun buruk, yang sifatnya relatif permanen. Biasanya, harga diri dapat digolongkan menjadi 2, yaitu tingkat tinggi dan tingkat rendah. Harga diri bukan sesuatu yang konkret namun tinggi rendahnya harga diri yang dimiliki seseorang tercermin dalam kata-kata, sikap dan perilakunya sehari- hari.

  Harga diri ditentukan sebagian besar oleh peran dan hubungan dengan orang lain. Banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari yang bisa menyebabkan harga diri yang rendah, salah satunya adalah melalui kritik tidak menyenangkan tentang seseorang. Hal ini menyebabkan seseorang merasa bahwa mereka tidak sebagus orang lain atau bahwa mereka sedang kekurangan beberapa hal penting dalam hidup mereka. Salah satu hal penting ini adalah penampilan fisik tubuh mereka (Twyman, 2001).

  Remaja yang merupakan masa untuk mencari identitas diri biasanya akan menggunakan penampilan mereka, seperti daya tarik fisik, bentuk tubuh, pakaian dan lain-lain untuk mengangkat diri mereka (Hurlock, 1980). Remaja sadar dukungan sosial sangat besar dipengaruhi oleh penampilan diri dan mengetahui bahwa kelompok sosial menilai dirinya berdasarkan benda-benda yang dimilikinya, kemandirian dan keanggotaan sosial. Ini adalah “simbol status” yang mengangkat wibawa remaja di antara teman- teman sebaya dan memperbesar kesempatan memperoleh dukungan sosial yang lebih besar (Santrock, 1998).

  Para remaja melakukan modifikasi tubuh untuk meningkatkan dan memperindah penampilan diri mereka (Kompas, 2007). Houghton et al.

  (dalam Carroll & Anderson, 2002) menuliskan bahwa hal yang memotivasi seseorang untuk melakukan tindik adalah hasrat untuk meningkatkan penampilan diri. Menurut Martin (dalam Carroll & Anderson, 2002) masa remaja merupakan masa dimana modifikasi tubuh menjadi suatu hal yang menarik terkait dengan perjuangan remaja dalam mencari identitas diri dan kontrol terhadap perubahan tubuh yang mereka alami.

  Menurut Caplan (dalam Krell, 2003) tindik merupakan salah satu media untuk mengekspresikan identitas pribadi atau membuat pernyataan diri. Tindik juga merupakan salah satu bentuk kompensasi dari suatu gambaran diri yang tidak baik yang dirasakan oleh remaja. Banyak remaja merasa lebih baik tentang gambaran diri mereka setelah melakukan suatu jenis modifikasi tubuh. (Twyman, 2001). Modifikasi tubuh menyebabkan seseorang memiliki harga diri lebih tinggi daripada yang mereka miliki sebelumnya. Lazimnya, remaja dengan penghargaan diri rendah melihat diri mereka tidak berharga daripada orang lain. Mereka memutuskan untuk mengubah tubuh mereka dengan harapan hal itu dapat menyebabkan orang lain memperhatikan mereka dikarenakan kini mereka bisa menjadi diri mereka sendiri dan memiliki identitas diri sendiri (Twyman, 2001).

  Harga diri dipandang memegang peranan penting dalam kehidupan. Banyak remaja menindik tubuhnya untuk meningkatkan harga diri yang dimiliki. Namun mereka dengan tindik tubuh sering dipandang sebagai pemberontak, tidak bertanggungjawab, bodoh bahkan kriminil. Hal ini dikarenakan tindik dimiliki oleh sebagian besar para kriminil yang akhirnya menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap mereka yang berpenampilan seperti itu (Liputan6, 2006). Di tengah adanya stereotip atau pandangan negatif masyarakat tentang remaja yang memiliki tindik, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan tingkat harga diri antara remaja laki-laki yang bertindik dan remaja laki-laki yang tidak bertindik. Penulis ingin melihat kelompok manakah yang memiliki tingkat harga diri yang lebih tinggi.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang terurai di atas, maka yang akan menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada perbedaan tingkat harga diri antara para remaja laki-laki yang bertindik dengan yang tidak bertindik?”

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat harga diri antara para remaja laki-laki yang bertindik dengan yang tidak bertindik.

  D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi perkembangan ilmu psikologi terutama Psikologi Perkembangan dan Psikologi Kepribadian, yakni terutama kajian tentang perbedaan tingkat harga diri pada remaja laki-laki yang bertindik dan yang tidak bertindik.

2. Manfaat Praktis

  Memberikan gambaran pada para remaja akan tingkat harga diri antara remaja yang bertindik dan yang tidak bertindik, sehingga diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi dan refleksi akan pentingnya harga diri dalam kehidupan sehari-hari.

  Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat memberikan informasi dan sumber acuan bagi penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan topik harga diri pada remaja.

BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri Remaja

1. Pengertian Harga diri

  Ada berbagai definisi mengenai harga diri yang dikemukakan oleh para ahli. Rosenberg & Coopersmith (dalam Bachman & O’Malley, 1977) menggunakan istilah harga diri untuk memberikan pengertian tentang evaluasi diri yang merupakan dimensi global dan mempunyai sifat relatif tetap. Coopersmith (1967) mengartikan harga diri sebagai suatu hasil dari evaluasi diri yang dilakukan seseorang, yang biasanya dipertahankan dan sebagian berasal dari interaksi individu dengan lingkungan dan dari sejumlah penghargaan, penerimaan serta perhatian orang lain yang diterimanya. Sedangkan menurut Branden (1998), harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian sebagai kunci penting dalam perkembangan perilaku seseorang karena berpengaruh pada proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, berpengaruh pada nilai-nilai dan tujuan hidupnya.

  Branden (1998) menambahkan bahwa harga diri merupakan pengalaman intim yang berada dalam inti kehidupan. Harga diri mempunyai dua komponen, yaitu perasaan pribadi dan perasaan nilai pribadi, sehingga dengan kata lain, harga diri merupakan perpaduan antara kepercayaan diri (self-confidence) dan penghormatan diri (self-respect). Terkait dengan kepercayaan diri, Berne dan Savary (1988) mendefinisikan harga diri sebagai penopang rasa percaya diri sehingga seseorang dapat membina hubungan yang sehat dengan orang lain, melihat diri mereka sebagai orang yang berhasil dan memperlakukan orang lain tanpa kekerasan.

  Harga diri seseorang berkaitan dengan kehidupan sehari-harinya. Bila orang memiliki penilaian yang baik terhadap dirinya, ia akan tampak bahagia, sehat dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang menimbulkan stres. Sebaliknya jika orang memiliki penilaian negatif terhadap dirinya, seringkali tampak cemas, depresi dan pesimis (Brehm & Kassin, 1996).

  Kepuasan terhadap terpenuhinya kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan percaya diri, kuat, stabil, merasa berguna dan diperlukan oleh orang lain (Koeswara, 1991). Sebaliknya, kegagalan untuk memenuhi harga diri menyebabkan perasaan inferior, lemah dan keadaan tidak berdaya. Ini sesuai dengan pendapat Maslow (dalam Goble, 1987) yang mengatakan bahwa seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri, lebih mampu menjalani kegiatan dengan berhasil.

  Sebaliknya, jika harga diri kurang maka ia akan diliputi rasa rendah diri, rasa tidak berdaya dan selanjutnya putus asa.

  Harga diri dalam penelitian ini merupakan evaluasi seseorang secara global terhadap dirinya sendiri dan tingkah lakunya, baik itu evaluasi positif maupun evaluasi negatif, terhadap kemampuan, keberhasilan, penerimaan serta perhatian orang lain terhadap individu yang berasal dari interaksi individu dengan orang lain. Penilaian ini memiliki peranan penting dalam tingkah laku sosial seseorang

2. Pembentukan Harga Diri

  Harga diri tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk oleh pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Coopersmith (1967) mengatakan bahwa harga diri sebagai salah satu aspek kepribadian yang terbentuk dalam interaksi dengan lingkungan sosial, karena itu lingkungan memiliki peran dalam pembentukan dan perkembangan harga diri seseorang.

  Harga diri seseorang mengalami perkembangan. Menurut Branden (1998) mengembangkan harga diri berarti mengembangkan keyakinan- keyakinan seseorang bahwa individu mampu hidup dan patut untuk bahagia dalam menghadapi kehidupan yang penuh keyakinan, kebajikan dan optimisme, yang akan membantu kita mencapai tujuan hidup.

  Mengembangkan harga diri berarti memperluas kapasitas untuk mencapai kebahagiaan.

  Pembentukan harga diri dipengaruhi oleh adanya penghargaan, pengertian, penerimaan dan perlakuan orang lain terhadap dirinya sendiri, juga adanya prestasi yang dicapai, lingkungan sosial dan lingkungan dimana dia bergaul, kerabat kerja, dan lingkungan keluarga.

  Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan harga diri

  a. Faktor Internal / Psikologis Individu Coopersmith (1967) menyatakan beberapa ubahan yang ada pada harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi, dan mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan mempunyai arti yang tidak sama pada tiap individu, tetapi tetap memberikan pengaruh pada harga diri. Kesuksesan dapat dipandang sebagai popularitas, hadiah, kepuasan, ataupun yang lain. Nilai yang dimaksud Coopersmith lebih kepada konteks nilai kompetensi berdasarkan lingkungan sosialnya.

  b. Lingkungan keluarga Setiap individu dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu lingkungan sosial. Sikap dan perilaku orang tua lebih membentuk kepribadian seseorang (Hurlock, 1980) karena dari sikap orang tua inilah anak dapat merasa diterima atau ditolak, merasa berharga atau tidak berharga, dicintai atau tidak dicintai orang tuanya.

  c. Lingkungan sosial Perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri tergantung bagaimana individu membandingkan dirinya dengan orang lain. Harga diri tumbuh secara luas dari persepsinya mengenai bagaimana individu melihat dirinya sendiri dalam relasinya dengan orang lain (Hamachek, 1987). Pandangan seseorang terhadap dirinya didasarkan atas apa yang dia ketahui tentang dirinya dan juga berdasarkan penilaian orang lain atas dirinya.

  d. Kondisi fisik Wright (dalam Setyaningsih, 1992) mengatakan bahwa orang cacat cenderung menunjukkan penerimaan sosial yang negatif akibat kurangnya penghargaan sosial terhadap dirinya. Hal tersebut juga dikuatkan oleh hasil beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa penampilan menarik (physical attractiveness) berkolaborasi positif dengan harga diri seseorang. Individu yang berpenampilan menarik juga lebih dihargai dan mendapatkan perlakuan istimewa dari lingkungannya (Hatfield dan Sprecher,1986). Dikatakan pula bahwa semakin tinggi persepsi diri seseorang tentang daya tarik fisiknya, semakin tinggi pula harga dirinya. Keinginan tampil menarik ini dapat diwujudkan dengan memodifikasi tubuh.

  Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri tidak dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk dari pengalaman individu dengan individu lain sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sosial. Harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang antara lain adalah psikologis individu, lingkungan keluarga, lingkungan sosial, serta kondisi fisik seseorang.

3. Aspek-Aspek Harga Diri

  Coopersmith (1967) membatasi harga diri sebagai evaluasi yang dibuat seseorang dan bersifat menetap. Dalam analisisnya tentang harga diri, Coopersmith menjelaskan aspek-aspek yang ada di dalam harga diri, yaitu sebagai berikut: a) Kekuasaan

  Yang dimaksud kekuasaan adalah kemampuan mengontrol dan mempengaruhi diri sendiri dan orang lain. Kekuasaan akan tampak apabila orang lain menghargai, mempertimbangkan hak dan pendapat orang tersebut.

  b) Rasa Keberartian Rasa keberartian yang ada pada diri seseorang meliputi penerimaan, perhatian dan afeksi dari orang lain. Hal ini ditandai dengan kehangatan, responsif, dan minat kepada orang lain seperti kepada dirinya sendiri.

  c) Pemilikan Moral dan Etik Penilaian benar dan salah sehingga individu mampu bersosialisasi dengan baik (sesuai dengan usianya). Orang tua sangat diharapkan untuk memberikan bimbingan yang sesuai dengan tradisi setempat dan nilai-nilai keagamaan yang ada kepada anak-anak mereka. Indikator positif yang tampak adalah perilaku yang tidak agresif, tidak mencuri, ketaatan berdoa dan kepatuhan, serta hormat kepada orang tua. d) Kompetensi Kompetensi digambarkan sebagai kemampuan individu dalam mencapai prestasi. Hal ini akan tampak sebagai perilaku spontan serta kemandirian yang memberikan perasaan berharga terhadap segala sesuatu yang dilakukannya.

  Selain keempat hal di atas, Coopersmith menambahkan bahwa harga diri memiliki pengaruh besar terhadap penyesuaian diri yang baik, kebahagiaan personal, dan fungsi afektif baik pada anak-anak maupun terhadap orang dewasa. Harga diri menunjukkan pengenalan individu terhadap diri sendiri serta sikap mereka terhadap diri sendiri.

4. Penggolongan Harga Diri

  Harga diri dapat bersifat positif dan negatif. Rasa harga diri yang positif adalah kemampuan untuk melihat diri sendiri berharga, berkemampuan, penuh kasih sayang dan menarik, memiliki bakat-bakat pribadi yang khas serta kepribadian yang berharga dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang memiliki rasa harga diri positif biasanya juga memiliki rasa percaya diri, dapat membina hubungan yang sehat dengan orang lain, melihat diri sebagai orang yang berhasil dan memperlakukan orang lain tanpa kekerasan. Sebaliknya rasa harga diri yang negatif tercermin pada orang-orang yang cenderung memikirkan kegagalan, dan meremehkan kemampuan diri sendiri (Berne & Savary, 1998).

  Coopersmith (1967) menggolongkan harga diri menjadi dua golongan, yaitu : a. Harga Diri Tinggi

  Harga diri tinggi adalah penilaian seseorang bahwa dirinya penting dan berharga. Seseorang yang berharga diri tinggi percaya bahwa mereka adalah pribadi yang berhasil dalam hidup dan menerima diri, bahagia dan lebih mampu memenuhi harapan lingkungan daripada mereka yang berharga diri sedang dan rendah (Coopersmith, 1967). Harga diri tinggi identik dengan harga diri positif. Harga diri positif merupakan harga diri yang paling sehat apabila seseorang dapat mengenal dan menerima diri sendiri dengan segala keterbatasannya. Mereka mudah memandang keterbatasannya sehingga menjadi bagian dari realitas diri (Berne & Savary, 1998).

  b. Harga diri rendah Harga diri rendah adalah penilaian seseorang bahwa dirinya tidak berarti, tidak dibutuhkan dan kurang percaya diri. Harga diri yang negatif diliputi rasa rendah diri, tampak tidak berharga, tidak mampu, tidak berdaya, tidak dicintai dan selalu membandingkan diri dengan orang lain (Berne & Savary, 1998).

  Jadi dalam perkembangannya harga diri dapat digolongkan menjadi tingkat tinggi dan rendah. Harga diri tinggi merupakan penilaian seseorang yang memandang bahwa dirinya penting dan berharga. Mereka mampu menerima dirinya sendiri. Sedangkan orang yang memiliki tingkat harga diri rendah biasanya merasa bahwa dirinya tidak berarti dan tidak berharga yang mengakibatkan kurangnya percaya diri.

  Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan evaluasi seseorang secara global terhadap dirinya sendiri dan tingkah lakunya, baik evaluasi negatif maupun positif terhadap kemampuan, keberhasilan, keberhargaan serta penerimaan individu yang berasal dari interaksinya dengan orang lain. Harga diri seseorang tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk seiring dengan pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya. Pembentukan harga diri dipengaruhi oleh adanya penghargaan, pengertian, penerimaan dan perlakuan orang lain terhadap dirinya sendiri, psikologis individu, lingkungan keluarga, lingkungan sosial, kondisi fisik seseorang, dan juga adanya prestasi yang dicapainya.

5. Remaja

  Para psikolog menyetujui bahwa masa remaja dimulai dari masa puber (Pettijohn, 1992). Masa puber pria dimulai kira-kira pada usia 12 tahun sedangkan pada wanita dimulai pada usia kira-kira 11 tahun. Masa puber tersebut ditandai terjadinya perubahan fisik, diantaranya yakni pada wanita terjadi menstruasi pertama, sedangkan pada anak laki-laki mengalami perubahan suara menjadi lebih besar dari pada wanita, dan selain itu terjadinya mimpi basah. Pada kenyataannya, masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa yaitu dari sifat yang tergantung menjadi sifat yang mandiri.

  Secara umum batasan usia remaja berlangsung pada usia 12 sampai dengan 21 tahun. Menurut Monks (2001) ada tiga tahap masa remaja yaitu usia 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

  Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan segala perubahan-perubahan fisik yang dialaminya. Oleh karena itu dari batasan- batasan yang telah terurai di atas, peneliti membatasi penelitian ini dengan mengambil remaja berusia 18 sampai dengan 21 tahun.

6. Karakteristik Remaja

  Clarke-Stewart dan Friedman (1987), Ingersol (dalam Agustiani, 2006) mengungkapkan bahwa masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduksi. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berfikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.

  Selain perubahan dalam diri remaja, terdapat pula perubahan dalam lingkungan seperti sikap orang tua atau anggota keluarga lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini merupakan reaksi terhadap pertumbuhan remaja, remaja dituntut untuk menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai dengan orang-orang seusianya. Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar dirinya itu membuat kebutuhan remaja semakin meningkat terutama kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologisnya. Dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut remaja memperluas lingkungan sosialnya di luar lingkungan keluarga, seperti lingkungan teman sebaya dan lingkungan masyarakat lain (Agustiani, 2006).

  Myers (1999) mengungkapkan bahwa perkembangan masa remaja sangat dipengaruhi oleh konteks dimana mereka berada. Latar belakang lingkungan, sosio-kultural masyarakat sekitar maupun latar belakang keluarga (orang tua), akan ikut memberikan corak dan arah proses perkembangan maupun proses pembentukan identitas diri remaja yang bersangkutan.

  Selain kondisi-kondisi yang disebutkan di atas, stereotip populer juga mempengaruhi sikap remaja terhadap dirinya sendiri. Anthony (dalam Hurlock, 1980) menjelaskan “stereotip juga berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja, yang menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggap sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai dengan gambaran ini”.

  Remaja yang merupakan masa untuk mencari identitas diri biasanya akan menggunakan penampilan mereka seperti daya tarik fisik, bentuk tubuh, pakaian dan lain-lain untuk mengangkat diri mereka (Hurlock, 1980). Seorang remaja yang berbeda secara fisik dari remaja lainnya sering memiliki harga diri yang rendah (Tjahjono, 1996). Yang sering berkembang adalah kemarahan terhadap diri sendiri karena berbeda dan dilecehkan oleh orang lain yang melihatnya, atau karena menyoroti kelainannya.

  Reaksi individu atas perkembangan fisiknya tergantung pula pada pengaruh lingkungan dan sifat pribadinya sendiri; interpretasi dirinya terhadap lingkungannya itu. Seringkali menjadi sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya apabila sejak kanak-kanak telah mengagungkan suatu konsep tertentu tentang penampilan diri pada waktu dewasa nanti (Hurlock, 1980). Adapun sebabnya adalah bahwa mereka sadar dukungan sosial sangat besar dipengaruhi oleh penampilan diri dan mengetahui bahwa kelompok sosial menilai dirinya berdasarkan benda- benda yang dimilikinya, kemandirian dan keanggotaan sosial. Di dalam interaksi sosial, penampilan fisik merupakan ciri pribadi yang paling jelas dan paling mudah untuk dikenali oleh orang lain, oleh karena itu kepuasan terhadap tubuhnya sendiri merupakan hal yang sangat penting selama masa remaja (Hurlock, 1980).

  Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Perkembangan pada masa remaja sangat dipengaruhi oleh konteks dimana mereka berada, yaitu latar belakang lingkungan, sosio- kultural masyarakat sekitar maupun latar belakang keluarga (orang tua).

7. Harga Diri Remaja

  Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting bagi setiap individu. Harga diri yang positif juga merupakan faktor yang penting dalam perkembangan kepribadian seseorang (Fuhrmann, 1990). Terutama pada masa remaja, pembentukan harga diri sedang berada pada tahap yang krisis karena pada masa ini remaja mulai memiliki kebutuhan untuk mencari jati dirinya dan mencapai kepercayaan dirinya dan hal ini dapat dicapai dengan harga diri. Harga diri memegang peran yang sangat penting dalam tingkah laku remaja dalam usahanya memenuhi kebutuhan psikologisnya. Kebutuhan akan harga diri pada remaja dilihat melalui sudut pandang orang lain sehingga harga diri kemudian menjadi evaluasi individu atas semua yang dia harapkan (Fuhrmann, 1990).

  Rasa harga diri yang tinggi merupakan salah satu sumber daya paling berharga yang dimiliki oleh seorang individu (Clemes dan Bean, 1995). Dapat dikatakan bahwa remaja dengan harga diri tinggi akan belajar dengan lebih efektif, mengembangkan hubungan yang lebih bermakna, lebih mampu memanfaatkan kesempatan dan bekerja secara produktif dan mandiri. Seorang remaja yang meninggalkan tahap ini dengan rasa harga diri yang berkembang kuat, dia akan memasuki masa dewasa dengan dibekali fondasi kuat yang diperlukannya untuk menjalani kehidupan yang produktif dan memuaskan.

  Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan harga diri, remaja dituntut untuk terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri. Dengan mengenali dirinya akan muncul kepercayaan diri untuk dapat menentukan pilihan dan mengatasi rintangan yang berat. Oleh Mecca (dalam Setyaningsih, 1992), bahwa penerimaan terhadap diri tersebut juga akan menghasilkan suatu modal dalam kepribadian, yaitu untuk membentuk dan mengembangkan rasa percaya diri.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting bagi remaja. Harga diri memegang peran yang sangat penting dalam tingkah laku remaja dalam usahanya memenuhi kebutuhan psikologisnya. Remaja dengan harga diri tinggi akan belajar dengan lebih efektif, mengembangkan hubungan yang lebih bermakna, lebih mampu memanfaatkan kesempatan dan bekerja secara produktif dan mandiri.

B. Modifikasi Tubuh

  1. Pengertian Modifikasi Tubuh

  Modifikasi tubuh adalah perubahan tubuh manusia yang disengaja dan bersifat permanen atau semi-permanen untuk alasan-alasan yang tidak medis, seperti tindakan spiritual, sebagai ciri sosial dan indikasi perlawanan, ataupun alasan kecantikan. Terdapat berbagai motivasi yang mendorong seseorang melakukan modifikasi tubuh, dari perubahan tubuh yang dapat diterima secara sosial (contoh: tindik telinga pada banyak komunitas sosial) maupun kewajiban secara agama sebagai hukuman fisik. Namun ada juga beberapa orang yang mempunyai alasan tidak jelas untuk memodifikasi tubuhnya (Wales and Sanger, 2007).

  2. Istilah-istilah Modifikasi Tubuh

  Ada beberapa bentuk modifikasi tubuh yang sering dilakukan, antara lain body piercing (tindik) adalah penggunaan perhiasan secara permanen melalui fistula, seringkali dimodifikasi lebih dalam dengan pelebaran (stretching). Tattoo adalah penggunaan tinta pada bagian kulit tubuh. Tongue splitting adalah pembelahan pada lidah seperti pada ular.

  Female genital cutting adalah pemotongan labia minora atau klitoris. Male circumcision adalah penghilangan kulit khatan, sering juga disebut

  frenulum. Sebaliknya beberapa pria memilih melakukan pemulihan kulit khatan.

  Perubahan bentuk secara ekstrim pada umumnya dilihat sebagai gejala kerusakan tubuh, sakit jiwa, atau sebagai ekspresi kesombongan yang tidak terkendali. Masyarakat pada umumnya tidak siap dengan beberapa bentuk modifikasi tubuh dan mengelompokkannya sebagai orang-orang dari kelompok tertentu (Wales and Sanger, 2007).

  Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa modifikasi tubuh merupakan perubahan tubuh manusia yang disengaja dan bersifat permanen atau semi-permanen untuk alasan-alasan yang tidak medis, seperti spiritual, sebagai ciri sosial, ataupun alasan kecantikan. Walaupun demikian, hal ini belum sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat umum karena dianggap sebagai kegiatan memalsukan keindahan alami tubuh (Wales and Sanger, 2007).

3. Tindik

a. Sejarah Tindik

  Catatan sejarah menunjukkan bahwa tindik tubuh (termasuk tindik telinga) telah dilakukan oleh orang di seluruh dunia sejak zaman purba. Tubuh mumi dengan tindik telah ditemukan, termasuk tubuh mumi tertua yang ditemukan, Otzi Si Manusia Lintah, yang ditemukan di gletser Valentina Truiilon. Mumi ini memiliki tindik telinga 7-11 mm (Wales and Sanger, 2007).

  Tindik telinga dan tindik hidung juga disebutkan dalam Kitab Suci. Di Kejadian 24:22, pembantu Abraham memberi anting hidung dan telinga pada Rebeka, istri dari Ishak. Tindik hidung merupakan hal yang biasa di India sejak abad ke-16. Tindik lidah adalah hal yang populer untuk kaum bangsawan Aztec dan Maya, meskipun hal ini dilakukan sebagai bagian dari ritual darah dan tindik yang tidak bersifat permanen (Wales and Sanger, 2007).

  Suku Indian melakukan body piercing dengan cara mengantungkan kait besi di bagian dada. Ritual yang disebut OKIPA ini diperuntukan bagi lelaki yang akan diangkat menjadi tentara atau panglima perang. Sementara sebuah suku di India melakukan ritual menusuki tubuh dengan jarum yang panjangnya bisa mencapai sekitar satu meter untuk menghormati dewa. Ritual bernama Kavandi ini biasanya digelar setiap Februari (Wales and Sanger, 2007).

  Di Indonesia, tradisi tindik biasa dilakukan warga Suku Asmat di Kabupaten Merauke dan Suku Dani di Kabupaten jayawijaya, Papua. Lelaki Asmat menusuki bagian hidung dengan batang kayu atau tulang belikat babi sebagai tanda telah memasuki tahap kedewasaan. Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaaan tubuh melalui tindik di daun telinga sejak abad ke-17. Tak sembarangan orang bisa menindik diri, hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping. Sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting pemberat untuk memperbesar cuping daun telinga. Menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga, semakin cantik dan tinggi status sosialnya di masyarakat. Model primitif inilah yang akhirnya banyak ditiru komunitas tindik di dunia (Wales and Sanger, 2007).

b. Pengertian Tindik

  Piercing atau tindik merupakan salah satu bentuk modifikasi

  tubuh yang bertujuan memakai perhiasan. Tindik dapat pula berarti kegiatan penindikan tubuh atau menindik bagian tubuh yang terbuka.

  Beberapa orang melakukan penindikan dengan alasan agama maupun budaya, sedangkan di masa modern ini, khususnya dunia Barat, tindik dilakukan karena alasan keyakinan, hiasan semata, atau tujuan seksual (Wales and Sanger, 2007).

  Untuk penempatan/letak tindikan dalam penelitian ini akan dianggap sebagai satu populasi karena penelitian ini ditujukan bagi para remaja laki-laki dimana tindik dimanapun pada laki-laki belum lazim diterima oleh masyarakat.

c. Metode Dalam Tindik

  Tindik dapat dilakukan dalam beberapa cara diantaranya adalah:

  1. Cara Sederhana Dahulu, seseorang yang ingin menindik tubuhnya menggunakan alat yang tajam, seperti jarum. Jarum dipanaskan dan ditusuk ke bagian tubuh yang ingin ditindik (biasanya telinga).

  2. Cara Medis Menggunakan jarum khusus untuk melubangi bagian tubuh yang ingin ditindik. Biasanya tenaga medis mencari rongga kosong diantara fistula, keadaan abnormal suatu jaringan yang diantara dua epithelium (jaringan kulit).

  3. Metode cannula Metode ini juga digunakan oleh tenaga medis. Biasanya memasukkan sejenis tabung ke bagian tubuh yang akan ditindik.

  Cara kerjanya seperti chateter.

  4. Pistol Tindik Ada alat khusus seperti pistol pada umumnya, tapi digunakan untuk menindik. Biasanya penindik sudah melengkapinya dengan satu perhiasan kecil diujung jarumnya, sehingga begitu jarum menyentuh bagian tubuh yang ingin ditindik, seketika itu pula perhiasan menempel di tubuh. Namun penggunaan alat ini tidak disarankan karena mampu menularkan berbagai virus seperti HIV.