1 PANDANGAN MAZHAB HANAFI DAN SYAFI’I TENTANG WALI NIKAH SERTA RELEFANSINYA DENGAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 SKRIPSI

  P

ANDANGAN MAZHAB HANAFI DAN SYAFI’I TENTANG

WALI NIKAH SERTA RELEFANSINYA DENGAN

  

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974

S K R I P S I

Skripsi

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum

  Pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

  

Oleh

MOH. INSANI OHOITENAN

NIM. 10400108023

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

  

2015

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

  Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang di peroleh karenanya batal demi hukum.

  Makassar, 31 Agustus 2015 Penyusun,

MOH. INSANI OHOITENAN NIM. 10400108039

  

PENGESAHAN SKRIPSI

  Skripsi yang berjudul, “Pandangan Mazhab Hanafi dan Syafi’i tentang Wali Nikah Serta Relefansinya dengan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974,” yang disusun oleh Moh. Insani Ohoitenan, NIM: 10400108023, mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, telah diuji dan dipertahankan dalam sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Selasa, tanggal 15 September 2015 M, bertepatan dengan 1 Dzulhijjah 1436 H, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Syariah dan Hukum, Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (dengan beberapa perbaikan).

  Makassar, 15 September 2015 M.

  1 Dzulhijjah 1436 H. DEWAN PENGUJI:

  Ketua : Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag (…………………..)

  Sekretaris : Dr. Abdillah MustariM.Ag (…………………..)

  Munaqisy I : Prof. Dr. H.A. Kadir Gassing HT MS (…………………..)

  Munaqisy II : Drs. Muh Jamal Jamil M.Ag (…………………..)

  Pembimbing I : Irfan S.Ag.,M.Ag (…………………..)

  Pembimbing II: Abdi Wijaya SS.,M.Ag (…………………..)

  Diketahui oleh : Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar,

  Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag NIP. 19621016 199003 1 003

KATA PENGANTAR

  

   

  

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatu

  Segala puji hanya milik Allah SWT, Tuhan Pencipta, Pengatur dan Pemelihara semesta alam. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang setia hingga Hari Pembalasan. Syukur Alhamdulillah dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana pada Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Fakultas Syariah dan Hukum.

  Atas segala kerendahan hati, penulis menghadirkan karya ilmiah ini tentu masih jauh dari kesempurnaan dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberi kontribusi bagi yang berminat pada tema kajian ini, yang berjudul

  “ Pandangan Mazhab Hanafi dan Syafi‟i tentang Wali Nikah serta Relefansinya dengan Undang- Undang No.1 Tahun 1974.” Skripsi ini memperoleh banyak arti kebersamaan yang sesungguhnya, motivasi, semangat hidup untuk tetap melangkah mencapai cita-cita serta bantuan dari berbagai pihak menjadi motivator tersendiri bagi penulis. Ucapan terima kasih penulis persembahkan keada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Musafir, M.Si. Selaku Rektor UIN Alauddin

  Makassar yang telah memberikan kebijakan-kebijakan demi membangun UIN Alauddin Makssar agar lebih berkualitas dan dapat bersaing dengan perguruan tinggi lain.

  2. Bapak Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin. M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alaudiin Makassar.

  3. Bapak Irfan, S.Ag.,M.Ag, Selaku Pembimbing I dan Bapak Abdi Wijaya,S.S.,M.Ag, Selaku Pembimbing II penulis, di tengah kesibukan beliau tetap menerima penulis untuk berkonsultasi.

  4. Bapak Prof. Dr. H. A. Kadir Gassing HT MS. dan Bapak Drs. Muh Jamal Jamil M.A.g. Selaku Penguji I dan II penulis, selalu memberikan masukan berupa saran dan kritik sehingah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.

  5. Para Wakil Dekan I, II, dan III, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar yang telah memberikan kebijakan kepada penulis dalam proses penyelesaian studi.

  6. Bapak Dr. Abdillah Mustari, S.Ag.,M.Ag., selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Bapak Achmad Musyahid, S.Ag.,M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, serta staf jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Alauddin Makassar.

  7. Kedua Orang Tua tercinta, Ayahanda Hatta Ohoitenan dan Ibunda Nurhayati Ohoitenan, yang telah mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang tanpa adanya keluh kesah sedikit pun.

  8. Moh. Ozil Ohoitenan, Ibu Namira Mahu, Mufti Ohoitenan dan semua saudaraku yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas dukungan dan semangatnya yang luar biasa.

  9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2008 yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu, terima kasih banyak atas partisipasinya semoga langkah kita selalu diridhoi oleh sang Pencipta.

  10. Kepada semua pihak yang telah berjasa kepada Penulis yang hanya karena keterbatasan ruang hingga tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu;

  Akhirnya hanya kepada Allah SWT Jualah penulis memohon agar mereka yang telah berjasa kepada Penulis di berikan balasan yang berlipat ganda dan semoga Skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua. Amin

  Makassar, 31 Agustus 2015

  Moh. Insani Ohoitenan

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................................... ii PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................... iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... vii ABSTRAK ....................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................

  1 A.

  1 Latar Belakang Masalah .......................................................................

  B.

  6 Rumusan Masalah ................................................................................

  C.

  6 Pengertian Judul ...................................................................................

  D.

  7 Tinjaun Pustaka ...................................................................................

  E.

  8 Metode Penelitian.................................................................................

  F.

  9 Tujuan dan Kegunaan Penelitian .........................................................

  G.

  10 Sistematika Penulisan ..........................................................................

  BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM ....................................

  12 A.

  12 Pengertian Perkawinan .........................................................................

  B.

  14 Syarat dan Rukun Perkawinan .............................................................

  C.

  18 Tujuan dan Hukum Perkawinan ...........................................................

  D.

  25 Wali Dalam Perkawinan……………………………………………...

  BAB III BIOGRAFI DAN LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN SERTA WALI NIKAH DARI PANDANGAN ULAMA DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN 31 ………………………………….................... .........

  A.

  31 Biografi Ulama Hanafi .........................................................................

  B.

  35 Biografi Ulama Syafi‟i .........................................................................

  C.

  37 Lahirnya Undang-Undang Perkawinan ................................................

  D.

  41 Pandangan Hanafi Tentang Wali Nikah……………………………...

  E.

  48 Pandangan Syafi‟i tentang Wali Nikah……………………………… F.

  51 Wali Menurut Undang-Undang perkawinan……………… ................

  BAB IV PERBANDINGAN ULAMA HANAFIYAH DAN SYAFI‟IYAH TENTANG WALI NIKAH DAN RELEFANSINYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN ............................................

  57 A.

  57 Perbedaan Pandangan Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah .....................

  B.

  Persamaan Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah dengan Undang- Undang Perkawinan .............................................................................

  58 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................

  59 A.

  59 Kesimpulan ..........................................................................................

  B.

  61 Saran-saran ........................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ DAFTAR RIWAYAT HIDUP .........................................................................

  

ABSTRAK

Nama : Moh. Insani Ohoitenan Nim : 10400108023 Fak/Jurusan : Syariah dan Hukum / PMH Judul : Pandangan Mazhab Hanafi dan Syafi’i tentang Wali

  Nikah serta relefansinya dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

  Judul dari skripsi ini adalah “Pandangan Mazhab Hanafi dan Syafi‟i tentang wali nikah serta relefansinya dengan Undang-

  Undang No 1 Tahun 1974” masalah yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah : Bagaimana kedudukan wali nikah menurut ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah ? Bagaimana ketentuan wali nikah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Bagaimana persamaannya antara kedua ulama dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

  Adapun metode dalam penyusunan skripsi ini, adalah Metode Pendekatan yuridis, historis dan filosofi pendekatan yuridis yaitu mendekati masalah-masalah dengan memperlihatkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan, yang telah ditetapkan oleh syariat islam, historis dan filosofi, Adapun metode Pengumpulan Data yang digunakan adalah metode riset kepustakaan (Library Research) yaitu pelelitian kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari berbagai literatur yang ada relefansinya dengan pembahasan atau masalah-masalah yang akan dibahas. Hasil dari kajian ini di lihat dari perbedaan dan persamaanya, yaitu ulama Hanafi, berpendapat bahwa untuk perkawinan anak kecil baik sehat akal ataupun tidak sehat akal diwajibkan adahnya wali yang akan mengakadkan perkawinannya, sedangkan perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adahnya wali, ulama Syafi‟iyah, Syafi‟i berpendapat bahwa setiap akad perkawinan yang dilakukan oleh wali baik itu perempuan sudah dewasa atau masih kecil, janda atau perawan, sehat akal atau tidak sehat akal tidak ada hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya. Adapun kesamaan dari kedua ulama dengan Undang-Undang Perkawinan diantaranya ; Ulama Hanafi memandang pernikahan harus menggunakan (ada) wali dalam akad pernikahan asalkan mempelai wanita tidak sekuffu dengan calon suaminya, sedangkan Ulama Syafi‟i memandang perlu adanya keharusan menikah harus menghadirkan adanya wali dalam prosesi akad nikah baik wanita itu seorang gadis ataupun janda. Sedangkan dalam Undang- Undang Perkawinan sendiri walaupun tidak menjelaskan secara terperinci wali sebagai salah satu syarat atau rukun dalam perkawinan tetapi Undang-Undang Perkawinan menyinggung wali dalam perkawinan dalam pembatalan perkawinan terdapat pada Pasal 26 ayat (1). Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyepakati wali nikah sebagai rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya hal ini sesuai dengan Pasal 19 KHI.

  Di Negara Indonesia telah diatur permasalahan wali nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) jadi menurut penulis sebagai warga negara yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan

  umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami, isteri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera

  1 yang bahagia yang selalu mendapat ridha dari Allah SWT.

  Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia sebagaimana tersebut di atas, maka diperlukan perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama tata aturan yang berlaku. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami isteri tersebut sangat bergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan perkawinan tersebut. Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya cinta lahir bathin antara pasangan suami isteri tersebut. Perkawinan yang dibangun dengan cinta yang semu (tidak lahir bathin), maka perkawinan yang demikian itu biasanya tidak berumur lama dan berakhir dengan suatu perceraian. Apabila perkawinan sudah berakhir dengan suatu perceraian maka yang menanggung akibatnya 1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, adalah seluruh keluarga yang biasanya sangat memprihatinkan. Perkawinan merupakan perintah Allah SWT, kepada hamba-Nya untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat yaitu dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan tentram.

  Demikian diungkapkan dalam Al- Qur‟an surat Ar-Ruum ayat 21 :

                       

  Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi 2 . kaum yang berfikir

  Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa, dari hidup bersama ini kemudian akan melahirkan anak dari keturunan mereka dan merupakan sandi yang paling utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Perkawinan adalah sandi keluarga, sedangkan keluarga adalah sandi di masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai hidup dan nilai-nilai kehormatan yang tidak mengutamakan tata aturan perkawinan.

  Perkawinan bukan merupakan perbuatan hukum saja tetapi juga merupakan sunnah Rasul sesuai sabda Nabi yang diriwayatkan ole h Jama‟ah ahli hadis dan Imam Muslim : 2 Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, (Bandung : CV Jumanatul Ali Art, 2005), h.

  َّنِّم َسْيَلَف ِتَِّن ُس ْنِع َبِغَر ْنَمَفَء َا َسَنمّا ُجوَزَحَأَو

  Artinya

  dan aku mengawini wanita-wanita, barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk umatku .

  Berkeluarga yang baik menurut Islam sangat menunjang untuk menuju kepada kesejahteraan, termasuk dalam mencari rezeki Tuhan. Oleh karena itu, perkawinan ini dengan prolog dan epilogny, mengamanan dan pengamalan tata aturan adalah yang menjadi tugas suci bagi seluruh warga negara

3 Indonesia.

  Sejarah mencatat bahwa permasalahan yang timbul pertama dipersoalkan oleh generasi umat islam sesudah Muhammad Rasulullah SAW wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang memimpin umat atau lazim disebut juga pesoalan Imamah. Pad a masa tabi‟in peristiwa ini telah terjadi (masa imam-imam mazhab) saat itu juga umat islam sudah terpecah menjadi tiga kelompok besar yaitu : Khawarij, Syi‟ah dan Jumhur. Setiap golongan berpegang tegu kepada pendapat masing-masing dan pada umumnya mereka merasa bangga atas pendapat masing-masing serta berusaha mempertahankannya, hal ini menimbulkan perbedaan pandangan dalam menetapkan hukum Islam khususnya masalah-masalah pokok dalam furu.

  Dengan adanya perselisihan faham tersebut maka timbullah prinsip yang berbeda, diantaranya masalah-masalah pokok dalam furu hal inilah yang menjadi perhatian Islam terhadap ursah muslimah (keluarga muslimah) dan keselamatannya serta damainya kehidupan di dalamnya dan kita lihat juga 3 metode-metode yang Islam syariatkan untuk mengatasi segalah perpecahan yang salah satunya muncul di tengah keluarga yaitu pernikahan.

  Dalam Bab I Pasal 1 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa yang di maksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

4 Ketuhanan yang Maha Esa. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa

  landasan perkawinan adalah Ketuhan yang Maha Esa, maka perkawinan yang sah adalah perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

  Dalam segi formalnya perkawinan itu harus dicatatkan pada kantor catatan sipil bagi mereka yang melangsungkan perkawinan selain agama islam dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam dilakukan di kantor urusan agama (KUA).

  Suatu perkawinan itu bukan merupakan perbuatan hukum saja, tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, karena sah dan tidaknya perkawinan tergantung pada agama dan kepercayaan masing-masing. Karenanya perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 haruslah benar-benar atas dasar sukarela dan tidak ada unsur paksaan.

  Menurut Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam masyarakat Indonesia yang beragama islam menggunakan hukum Islam untuk mengatur masalah perkawinan sesuai Pasal 2 ayat (1) UUD No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat sebagaimana diatur 4 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing, 2007), h. 71. dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, maksudnya bahwa perkawinan dikatan sah apabila memenuhi syarat-syarat dan rukunnya dan apabila syarat- syarat tidak lengkap maka perkawinan tersebut menjadi tidak dapat dilangsungkan dan apabila dari salah satu rukunnya tidak ada maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah atau batal.

  Peran wali nikah dalam perkawinan sangatlah penting dan menentukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang

  5 harus dipenuhi bagi mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

  Menurut Hukum Islam, wali nikah itu sangat penting peranan dan keberadaannya, sebab ada atau tidaknya wali nikah menentukan sahnya suatu perkawinan sesuai bunyi pasal yang telah dijelaskan di atas, akan tetapi dalam permasalahan wali ini para imam mazhab memiliki presepsi yang berbeda- beda ada yang mengatakan wali harus ada dalam pernikahan dan sebaliknya wali tidak menjadi rukun dalam suatu akad nikah. Untuk itu dalam penulisan ini penulis akan mencoba meneliti dasar-dasar imam mazhab Hanafiyah dan Syafi‟iyah menentukan keberadaan wali dalam pernikahan serta persamaannya dengan Undang-Undang Perkawinan.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas, maka menjadi masalah pokok yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah “Bagaiman pandangan antara Ulama

5 Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

  Hanafiyah dan Syafi‟iyah tentang wali nikah dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 /KHI.

  Untuk menghindari terjadinya pembahasan yang terlalu luas maka penulis mencoba membatasi pembahasan ini pada :

1. Bagaimana kedudukan wali nikah menurut ulama Hanafiyah dan

  Syafi‟iyah ? 2. Bagaiman ketentuan wali nikah menurut Udang-Undang No 1 Tahun 1974

  ? 3. Bagaimana persamaannya antara kedua Ulama dengan Undang-Undang

  No1 Tahun 1974 ? Berdasarkan batasan di atas dapat dipahami pembahasan pada tulisan ini menyangkut tentang bagaimana pandangan Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah tentang wali nikah serta relefansinya dengan Undang-Undang Perkawinan.

C. Pengertian Judul

  Judul Skripsi ini adalah “ Pandangan Mazhab Hanafiyah dan Syafi‟iyah tentang wali nikah serta relefansinya dengan Undang-Undang No 1 Tahun

  1974” Agar tidak terlalu kerancauan dalam memahami judul, maka penulis akan memberikan pengertian beberapa istilah teknis tersebut : “ Pandangan ialah gambaran, pemikiran tentang suatu hal/masalah “Ulama Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi “Ulama Syafi‟iyah pendiri Mazhab Sayafi‟i

  “Wali ialah seseorang yang karena kedudukanya berwenang untuk

  6 bertindak terhadap dan atas nama orang lain.

  7

  “Pernikahan ialah membentuk keluarga dengan lawan jenis Berdasarkan pengertian yang dimaksudkan di atas maka secara operasional pengertian judul ini ialah pandangan dari Mazhab Hanafi dan

  Syafi‟i tentang wali nikah, kemudian persamaanya dengan Undang-Undang No 1 tahun 1974.

D. Tinjauan Pustaka

  Dari tinjauan pustaka ini penulis merujuk kepada beberapa referensi yang berhungan dengan pembahasan judul skripsi ini. Adapun referensi tersebut antara lain :

  Muhammad Jawad Mughniyah, dalam Fiqih lima Mazhab, buku ini selain memaparkan biografi lima mazhab tetapi juga berbagai pandangan yang berbeda, dan sekaligus memuat kesepakatan para ulamah dalam masalah fiqih.

  Prof. Dr. Abdurahman Ghozali, dalam Fiqih Munakahat, buku ini membahas dari pengertian perkawinan syarat dan rukun, tujuan dan hukumnya, dan perwalian.

  Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, buku ini membahas dari perwalian dalam pandangan mazhab dan berbagai metode ijtihad serta menentukan hukum-hukumnya.

  6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 69 7 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 456. Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

  Prof. Dr. H Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di

  Indonesia, buku ini selain membahas tentang asas-asas hukum perkawinan dan problematika di Indonesia.

  Prof. Dr Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonsia, Antara

  Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , buku ini memaparkan secara terperinci beberapa muatan hukum dalam sebuah ikatan perkawinan.

E. Metode Penelitian

  Dalam metode penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode yaitu :

1. Metode Pendekatan a.

  Pendekatan Yuridis, yakni mendekati masalah-masalah dengan memperlihatkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan, yang telah ditetapkan oleh syariat islam khususnya tentang wali nikah dalam pernikahan.

  b.

  Pendekatan Historis, yakni suatu pendekatan dengan cara mempelajari tentang pentingnya wali dalam pernikahan.

  c.

  Pendekatan Filosofi, yaitu cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai suatu yang berada di objek formal terkhusus kepada Ulama Mazhab Hanafi dan Syafi‟i 2. Metode Pengumpulan Data

  Dalam pengumpulan data digunakan metode library research yaitu dengan mengumpulkan beberapa literatur kepustakaan yang ada relefansinya dengan masalah-masalah yang akan dibahas dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku yang ada kaitanya dengan pembahasan yang akan dibahas.

3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

  Data yang terkumpul melalui library research akan diolah dengan mengunakan teknik sebagai berikut : a.

  Teknik Deduktif, yakni menganalisa data yang bersifat umum, kemudian diuraikan untuk dapat memperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.

  b.

  Metode Komparatif, yankni metode yang digunakan dengan membanding-bandingkan dari beberapa data atau pendapat yang masuk, kemudian mengambil suatu kesimpulan yang dianggap lebih kuat dan tepat.

F. Tujuan dan Keguanaan

  Tujuan dan kegunaan penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Penelitian a.

  Untuk mengetahui lebih intensif pandangan Ulama Hanafiyah tentang wali dalam pernikahan b.

  Untuk mengetahui lebih intensif pandangan Ulama Syafi‟iyah tentang wali dalam pernikahan.

  c.

  Untuk mengataui lebih jelas wali nikah menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Kegunaan Penelitian

  Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberi nilai tambahan dan menjadi bahan komperatif terhadap perkembangan kajian-kajian hukum islam terutama berhubungan dengan pernikahan khususnya permasalahan wali dalam pernikahan.

G. Sistematika Penulisan

  Untuk mengetahui gambaran keseluruhan pembahasan peneliti ini berikut akan dikemukakan bahasan pokok dalam tiap bab.

1. Bab I Pendahuluan

  Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang menjadi alasan ketertarikan penulis untuk meneliti dan membahas pandangan antara Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah tentang walinikah serta relefansinya dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974, kemudian merumuskan kedalam beberapa rumusan dan masalah yang menjadi acuan dalam pembahasan ini, selanjutnya defenisi dan operasional ruang lingkup pembahasan untuk mendapatkan pengertian yang jelas dari judul yang di maksudkan. Didalamnya, diuraikan pula metodologi penelitian yang dugunakan, kajian pustaka, tujuan dan kegunaan dari penelitian ini dan diakhiri dengan garis besar isi skripsi semua hal di atas merupakan kerangka awal dalam pembahasan selanjutnya.

  2. Bab II Ruang lingkup Perkawinan

  Bab ini membahas tentang ruang lingkup perkawinan dan bagaimana wali dalam pernikahan.

  3. Bab III Biografi dan Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Berisi tentang biografi dan lahirnya Undang-Undang serta pandangan

  Ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah dan ketentuan Undang-Undang Perkawinan tentang wali dalam pernikahan/KHI.

  4. Bab IV Perbandingan Ulama Hanafiyah tentang wali nikah kesamaanya dengan Undang-Undang Perkawinan/KHI Berisi tentang perbedaan Ulama Ha nafiyah, Syafi‟iyah dan persamaanya dengan Undang-Undang Perkawinan/KHI.

  5. Bab V Penutup.

  Bab ini merupakan penutup dikemukakan kesimpulan dan implikasi penelitian sebagai rekomendasi yang lahir dari uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya.

BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Perkawinan Dalam bahasa indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

  menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan dugunakan untuk arti tersebut (wathi). Ka ta “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.

  Menurut istilah hukum islam, terdapat beberapa defenisi, diantaranya adalah menurut Abu Yahya Zakariya Al Anshari mendefenisikan nikah menurut istilah syariat ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz atau tazwij atau semakna dengan

  8

  keduanya Dari beberapa pengertian nikah tersebut di atas maka dapat penulis kemukakan bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua bela pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarah yang telah ditetapkan syarah untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain

  8 saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah

  9 tangga.

  Disamping itu, Komplikasi Hukum Islam di Indonesia menberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti-arti defenisi UUD tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut: perkawinan

  menurut Islm adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan qholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan 10 ibadah (pasal 2).

  Dalam pandangan islam disamping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasulullah, sunnah Allah berarti menurut kodrat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasullah berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.

  Sebagaimana firman Allah SWT QS, Ath, Thuur (51) : 49 yaitu

       

  Terjemahannya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu

  11

  mengingat akan kebesaran Allah

B. Syarat dan Rukun Perkawinan

  9 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h.10-11. 10 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonsia, (Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing, 2007), h. 142 11 Al-Quaran Al-Karim dan Terjemahannya, (Bandung : CV Jumanatul Ali Art, 2005), h. 522.

1. Syarat Nikah

  Syarat yaitu suatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam

  12 rangkaian pekerjan itu, seprti menutup aurat untuk shalat.

  Syarat yang berhubungan dengan kedua calon mempelai pria dan wanita adalah : a.

  Keduanya memiliki identitas dan keberadaan yang jelas.

  b.

  Keduanya beragama islam. Sebagaimana firman Allah SWT QS.Al- Baqarah (2) : 221.

                                               

  Terjemahan : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang- orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah- perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

  c.

  Keduanya tidak dilarang melangsungkan perkawinan islam (larangan karena berbeda agama, hubungan darah, hubungan perkawinan, 12 sepersusuan, poliandri). d.

  Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melaksanakan perkawinan e.

  Unsur Kafa’ah (kesamaan) antara kedua bela pihak.

  f.

  Adanya hak dan kewajiban dalam suami istri

  13 Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan.

  Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sahlah pernikahan dan menimbulkan kewajiban dan hak sebagai suami isetri.

  Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang perkawinan di Indonesia No 1 Tahun 1974 dalah :

  1) Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon pengantin.

  2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum capai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua

  3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimasuk ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

  4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai

13 Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan fiqh Kontemporer, (Jakarta : Raja Wali Pers,

  hubungan dara dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup atau dalam menyatakan kehendak.

  5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantaranya mereka tidak menyatakan pendapat maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

  6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan

  14 kepercayaanya itu dari yang bersangkutan menentukan lain.

2. Rukun Nikah

  Rukun yaitu suatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan suatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram

  15 untuk shalat.

  Rukun nikah menurut hukum islam meliputi hal, yaitu : calon suami, calon istri, wali, saksi dan ijab Kabul.

  a.

  Calon Mempelai Calon suami dan calon isteri, biasanya hadir dalam upacara 14 pernikahan. Calon isteri selalu ada dalam upacara tersebut, tetapi

  Undang-Undang RI No 1 Tahaun1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Isam , (Bandung : Citra Umbara, 2013) h. 3-4. 15 calon suami, mungkin karena sesuatu keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab Kabul.

  b.

  Wali Nikah Walli yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita.

  c.

  Saksi Saksi dalam pernikahan harus terdiri dari dua orang yang memenuhi syarat.

  d.

  Ijab Kabul Tentang pelaksanaan ijab Kabul atau akad, pernikahan harus dimulai

  16 dengan ijab dan dilanjutkan dengan Kabul.

  Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat : Imam Maliki mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :

  1) Wali dari pihak perempuan

  2) Mahar (maskawin)

  3) Calon pengantin laki-laki

  4) Calon pengantin perempuan

  5) Sighat akad nikah

  Imam Syafi‟i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam yaitu :

1) Calon pengantin laki-laki.

  2) 16 Calon pengantin perempuan.

  Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers,

  3) Wali

  4) Dua orang saksi

5) Sighat akan nikah.

  Menurut Ulama Hanafih, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon

  17 pengantin laki-laki).

  Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk dalam rukun, karena mahar trsebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan. Dengan demikian mahar itu termasuk dalam syarat perkawinan.

C. Tujuan dan Hukum Perkawinan 1. Tujuan perkawinan

  Tujuan perkawinan pada umumnya tergantung pada masing-masing individu yang akan melakukan, karena lebih bersifat objektif. Namun demikian ada tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.

  Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut : a.

  Melaksanakan Libido Seksual

  17

  Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai insting seks, hanya kadar dan instensitasnya yang beda. Dengan pernikahan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya kepada seseorang perempuan dengan sah begitu pula sebaliknya.

  Dalam firman Allah QS, Al-Baqarah (2) : 223, yang berbunyi :

                     

  Terjemahanya : isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-

  18 orang yang beriman.

  b.

  Memperoleh Keturunan Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria ataupun wanita, akan tetapi, perlu diketahui bahwa, mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanah dari Allah SWT, walaupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan untuk

  19

  tidak mempunyai anak c. Memperoleh Kebahagiaan dan Ketentraman

  Dalam hidup berkeluarga perlu adahnya ketentraman, 18 kebahagiaan, dan ketenangan lahir batin. Dengan keluarga yang 19 Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya (Bandung : CV Jumanatul Ali Art, 2005)

  Slamet Abidin Dan Amiruddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999) bahagia dan sejahtera akan dapat mengantarkan pada ketenangan ibadah.

  Firman Allah SWT QS. An Nahl S (16) : 72 yang berbunyi :

                        

  Terjemahannya : Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari

  20

  nikmat Allah ?" d. Mengikuti Sunnah Nabi SAW

  Sebagaimana Hadis Nabi yang artinya : “nikah itu adalah sunnahku maka barang siapa yang tidak mau mengikuti sunnahku dia bukan umatku” e.

  Menjalankan Perintah Allah SWT Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam untuk menikah apabila telah mampu untuk melaksanakannya baik secara lahir dan bathin.

  f. 20 Untuk berdakwah.

  Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya, ( Bandung : CV Jumanatul Ali Art, 2005), h.

  Dari poin-poin diatas tentang tujuan pernikahan menurut hukum islam dapat disimpulkan yaitu untuk memenuhi tuntunan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul- Nya.

2. Hukum Perkawinan

  Kaum muslimin bersepakat bahwa menikah merupakan bahwa

  21

  secara rinci hukum pernikahan adalah perkara yang di syari‟atkan sebagai berikut : a.

  Wajib Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah mendesak serta takut terjerumus dalam lemba perzinahan.

  Menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib maka jalan yang terbaik adalah menikah.

  Imam Al-Qurtuby berkata dalam kitab fiqh sunnah bahwa. “bujangan yang sudah mampu menikah, yang takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan diri tidak ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia nikah. Jika nafsunya telah mendesak, sedang ia tidak mampu menafkahi istrinya, maka Allah nanti akan melapangkan

  22

  rejekinya ”. 21 Firman Allah SWT Q.S An-Nur ayat 33 yang berbunyi :

  Abu Malik Kamal As Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah III, (Jakarta : Pustakan Azzam, 2007), h.110 22

            

  Terjemahannya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memberikan Kemampuan Mereka

  23

  dengan Karunia-Nya Senada dengan pendapat ini adalah ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang menyukainya dan takut akan dirinya terjerumus kejurang perzinahan manakala ia tidak menikah, sedangkan berpuasa ia tidak sanggup. Selanjutnya

  Malikiyah memberikan beberapa kriteria tentang wajibnya menikah

  bagi seorang, yaitu : 1)