Masalah Yang Membelit Pembangunan Pertan

5 Masalah Yang Membelit Pembangunan Pertanian
di Indonesia
Posted on 23 Januari 2013 by Muhamad Nurdin Yusuf
Pembangunan pertanian di Indonesia dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan
senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberlanjutan
eksistensi bangsa dalam mengatasi ancaman kelangkaan pangan dunia yang dampaknya
semakin terlihat nyata. Berkaca dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi
Asia Pasifik (APEC) di Vladivostok, Rusia, 8-9 September lalu, yang mengangkat tema
ancaman krisis pangan global, perhatian terhadap masalah krisis pangan harus lebih
ditingkatkan.
Tema krisis pangan kembali mengemuka setelah jumlah penduduk dunia diperkirakan akan
melonjak menjadi 9 miliar pada tahun 2050, naik sebelumnya 7 miliar pada tahun 2011.
Perhatian terhadap masalah tersebut semakin bertambah menguat akibat ancaman krisis
pangan kini semakin membesar, terutama setelah Organisasi Pangan dan Pertanian pada
Agustus lalu mengeluarkan laporan kenaikan harga-harga pangan dan Departemen Pertanian
Amerika Serikat kembali merevisi angka estimasi penurunan produksi pangan, terutama bijibijian. Bahkan, FAO secara serius mengingatkan Indonesia tentang ancaman krisis pangan
ini.
Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan
biji-bijian dunia telah mencapai 17 persen (38 poin dalam indeks harga) dibandingkan dengan
harga bulan Juni 2012. Departemen Pertanian AS (USDA) juga telah merevisi estimasi
produksi jagung, yang diperkirakan menurun 17 persen pada Agustus 2012 karena kekeringan

yang sangat dahsyat. Harga jagung di tingkat internasional juga telah meningkat sampai 23
persen. Bahkan, kenaikan harga jagung tercatat 46 persen jika dibandingkan dengan harga
pada Mei 2012. Kenaikan harga jagung masih akan terus berlangsung karena sekitar 42
persen jagung dunia dihasilkan oleh AS, terutama di daerah Midwest, yang kini bermasalah
karena kekeringan hebat.
Kekeringan hebat yang melanda Rusia, sebagai salah satu produsen gandum dunia, sehingga
telah menaikkan harga gandum sampai 19 persen. Stok gandum dunia diperkirakan menurun
menjadi 179 juta ton sehingga volume yang diperdagangkan pun akan menurun, yang akan
mengerek harga gandum lebih tinggi lagi. Dengan ketergantungan 100 persen pada gandum
impor, dan total impor gandum Indonesia yang mencapai 6,6 juta ton (naik 6,2 persen),
kenaikan harga tepung terigu di dalam negeri akan memiliki dampak berantai yang pasti
berpengaruh terhadap kinerja sektor riil di Indonesia.
Tingkat produksi Rusia pada tahun 2012 diperkirakan angkanya akan mencapai 70-75 juta
ton gandum dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar 94 juta ton. Kondisi ini ternyata
mengindikasikan bahwa krisis pangan kini telah menjadi ancaman serius bagi sebagian besar
penduduk dunia.
Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman yang baik dalam merumuskan respons kebijakan
dalam meredam dampak krisis pangan global 2008-2009. Kebetulan juga musim hujan cukup
bersahabat sehingga produksi beras, sebagai pangan pokok, juga meningkat bahkan di atas 6


persen. Perum Bulog juga mampu melakukan manajemen logistik beras dan penyaluran beras
untuk rakyat miskin (raskin). Kini, musim hujan di Indonesia diperkirakan masih akan
terlambat sehingga kinerja produksi pangan tak sebaik tahun 2008-2009.
Secara hakikat, sejarah tak akan pernah dapat diulang secara sama persis sehingga respons
kebijakan yang harus segera diambil pemerintah juga perlu lebih inovatif. Benar bahwa
Kementerian Pertanian telah melakukan rapat koordinasi dengan seluruh kepala dinas
pertanian. Begitu pula konsep dan strategi telah disusun dengan sejumlah perencanaan akan
menambah jumlah anggaran produksi pangan, membuka akses pada daerah-daerah yang
terisolasi, serta meningkatkan pendapatan para petani. Namun langkah nyata dan pelaksanaan
kebijakan di tingkat lapangan sangat ditunggu segera karena ancaman krisis pangan tidak
akan dapat diselesaikan hanya di ruang rapat.
5 (lima) Masalah Pembangunan Pertanian
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah
yang dihadapi, masalah Pertama yaitu penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan
pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita sudah mengalami degradasi
yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan
Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi
mengalami penurunan produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton
dan lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan
kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji

kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu
meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Berbagai hasil riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di
Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami degradasi
lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu kecil dari 2 persen.
Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan kandungan C-organik lebih
dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah > 4,3 persen. Berdasarkan kandungan Corganik tanah/lahan pertanian tersebut menunjukkan lahan sawah intensif di Jawa dan di luar
Jawa tidak sehat lagi tanpa diimbangi pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan
kering yang ditanami palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai daerah.
Sementara itu, dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa memiliki kultur dimana
orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya turun temurun, sehingga terus
terjadi penciutan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan
industri.
Masalah kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur
penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan pengembangan
waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11
persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari nonwaduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak
hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam
kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah

kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran
dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian
produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk.

Selanjutnya, masalah ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri
utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang
terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik
komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan harus
menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki standar
tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang
menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan
tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi
dapat diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di
tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi,
dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini
peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang
memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga
ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi
teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian

Hal lainnya sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha
terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas
sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat
keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber
permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan dan mempertahankan beberapa
penyerapan input produksi biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat
petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan
langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas.
Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap
melalui tim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan
Energi.
Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah masih panjangnya mata rantai tata niaga
pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena
pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan.
Pada dasarnya komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk hasil
pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari kegiatan usaha tani
tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani diharapkan dapat dilakukan dengan
seefektif dan seefisien mungkin, dengan memanfaatkan lembaga pemasaran baik untuk
pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahannya. Terlepas dari masalahmasalah tersebut, tentu saja sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan harapan, tidak
hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan

lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara