MEMBICARAKAN SASTRA MADURA TALKING ABOUT

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

MEMBICARAKAN SASTRA MADURA:
DARI POTENSI, REALITA, DAN HARAPAN
Iqbal Nurul Azhar
Universitas Trunojoyo, JL. Raya Telang PO.BOX 2 Kamal
Abstrak: Tulisan ini mendeskripsikan dan menjelaskan empat hal yaitu: (1) jenis-jenis
sastra Madura, (2) potensi sastra Madura dalam mendukung kebesaran budaya nasional,
(3) hambatan-hambatan terkait pengembangan sastra Madura dan (4) strategi
mempertahankan sastra Madura. Diharapkan, dengan adanya artikel ini, masyarakat
Madura dapat tergugah dan bahu membahu memajukan sastra Madura di masa yang akan
datang
Kata-kata kunci: sastra, Madura, budaya

TALKING ABOUT MADURESE LITERATURE:
FROM ITS POTENTIALS, ITS PRESENT REALITY, AND ITS FUTURE
Iqbal Nurul Azhar
Universitas Trunojoyo, JL. Raya Telang PO.BOX 2 Kamal
Abstract: This article describes and explains four things, those are: (1) kinds of Madurese
literature, (2) Madurese literature potentials to support the greatness of national culture,

(3) the obstacles related to the development of Madurese literature, (4) the strategies to
conserve Madurese literature. The existance of this article is hoped to inspire Madurese
people to work together to develop Madurese culture in the futute.
Keywords: literature, Madurese, culture

A. Pendahuluan
Sastra Madura penuh dengan pesan, kesan, kritik dan ajaran-ajaran. Di masa lampau
sastra lisan maupun tulisan madura sangat diminati oleh masyarakat baik itu dari kalangan
rakyat jelata maupun kalangan elit atau bangsawan. Sastra Madura disukai karena dengan
inilah rakyat madura dapat mengeskpresiankan diri, menyampaikan pesan moral, gejolak hati,
maupun ajaran agama. Orang Madura yang dikenal memiliki karakter keras dalam menjalani
hidup, selalu maju menantang kondisi yang keras, ternyata dalam kehidupan sehari-harinya
masih memiliki waktu untuk menciptakan dan mendendangkan sastra–sastra. Kondisi
geografis Madura yang panas dan dikurung oleh ombak lautan yang garang, memberikan
pengaruh yang kuat terhadap bentuk-bentuk sastra dan pesan moral yang ada dalam sastrasastra orang Madura. Kebanyakan, karya sastra orang Madura dipenuhi dengan motivasi,
pesan ajaran yang ketat.
Sayangnya, karya sastra orang Madura ini akhir-akhir ini mulai ditinggalkan. Ini bisa
dilihat pada jamaknya fakta yang menunjukkan bahwa banyak generasi muda telah mulai
tidak menggunakan dan melupakan kaya Sastra Madura. Lebih parahnya lagi, ada beberapa
generasi muda bahkan terkadang malu untuk bersinggungan dengan karya sastra Madura


Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

karena bagi mereka, karya sastra tersebut dinilai kampungan. Padahal generasi muda Madura
tersebut merupakan agen penerus tongkat estafet Sastra Madura.
Sebagai aksi keprihatinan akan fenomena ini, beberapa orang telah melakukan studi
terkait sastra Madura, seperti yang dilakukan oleh Sofyan (2008, 171-194), Djunaidah (2009),
Anton (2012), Hariyadi (1981), Anton (2008), Anton (2012), Azhar (2009). Keprihatinan ini
secara jelas mereka tunjukkan melalui adanya satu bagian khusus (saran) yang berisi
himbauan kepada pemerintah daerah untuk lebih perhatian lagi dalam merawat dan
mengembangkan sastra Madura.
Tulisan ini memaparkan macam-macam jenis sastra Madura beserta ancamanancaman yang dapat membuat punah sastra ini. Topik artikel ini secara umum mengikuti road
map studi-studi di atas yaitu pada sastra Madura. Yang membedakan studi ini dengan studi
sebelumnya adalah kespesifikan gaya penulisannya yang tidak murni deskriptif tetapi lebih
kepada eksposisi hortatori (persuasif). Perbedaan yang lain terletak pada taksonomitaksonominya yang secara jelas membagi sastra menjadi dua jenis.

D. Pembahasan
a. Jenis Sastra Madura
Secara umum, terdapat dua jenis sastra Madura, yaitu sastra Madura populis dan sastra

Madura partikularis. Disebut Populis karena sastra Madura jenis ini dikenal luas oleh segenap
lapisan masyarakat Madura. Disebut partikularis karena sastra jenis ini dikenal hanya oleh
beberapa lapis masyarakat dan biasanya oleh generasi tua.
Contoh dari sastra Madura populis adalah dungngeng (dongeng). Dungngeng adalah
cerita rakyat yang mengandung pesan-pesan moral dan harapan dan sering didendangkan
dalam perkumpulan-perkumpulan bahkan dalam keluarga. Dungngeng ini merupakan bingkai
dari kisah-kisah kehidupan masyarakat Madura di masa lampau. Beberapa dungngeng Madura
yang terkenal adalah dungngeng kepahlawanan pangeran Tronojoyo, Potre Koneng, Asal
muasal kerapan sapi, Sakera, Ke’ lesap, Angling Darma Ambya Madura, dan lainnya.
Contoh yang kedua dari sastra populis adalah syi’ir. Syi’ir merupakan rangkaian katakata indah yang membentuk kalimat-kalimat yang terpadu dan biasanya di baca di pesantrenpesanten, majlis ta’lim, dan walimatul urs. Si’ir Madura tersusun dari 4 padda/biri (baris).
Tiap padda terdiri dari 10 keccap (ketukan). Tiap akhir suara pada padda mengandung pola a
– a – a – a. Isi syi’ir bermacam-macam, bergantung dari selera dan kesenangan serta tujuan
dari pembuatnya. Jenis-jenis syi’ir beraneka ragam seperti syi’ir yang menceritakan kisah

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

nabi, cerita orang mati siksa kubur, perhatian pada pendidikan, agama atau akhlak. Contohcontoh syi’ir adalah sebagai berikut
Pong-pong gi’ kene’ gi’ ngodha-ngodha
Pabajeng nyare elmo akida

Manabi nyaba dhapa’ gan dhadha
Kastana ampon bi’ tadha’padha

Mumpung masih kecil masih muda-muda
Rajinlah mencari ilmu akidah
Apabila nyawa telah sampai di dada
Menyesalpun tidak akan ada manfaatnya

Jenis sastra yang kedua adalah sastra Partikularis (tertentu/tidak umum). Pembagian
sastra jenis ini sebenarnya tidak perlu ada andaikata masyarakat Madura masih tetap
mempopulerkan sastra jenis ini di masyarakat luas. Karena jarang ditemuinya sastra jenis ini,
maka sastra jenis ini disebut juga sebagai sastra arkais. Sastra jenis ini memiliki ragam, jenis,
pola-pola atau aturan-aturan tertentu dan harus diingat dengan baik. Syarat mengingat dan
memahami pola-pola inilah yang dinilai sangat berat bagi para generasi muda, sehingga
banyak diantara mereka yang enggan untuk mempertahankan dan mempraktekkan sastra jenis
ini. Akibatnya, tidak banyak orang Madura yang memahami sastra jenis ini, padahal,
keberadaan sastra jenis ini benar-benar mendukung kebesaran sastra Madura. Adapun sastra
jenis ini adalah: (a) Bangsalan (b) Puisi Pantun Madura (c) Paparegan (d) Saloka, dan (e)
Tembhang Macapat (Jasin, 2005).
a) Bangsalan

Yang dimaksud bangsalan adalah ungkapan sastra yang dirangkai sedemikian rupa
dengan menggunakan pola indirectness (tidak langsung ke maksudnya). Kalimat ini terdiri
dari tiga pilar yaitu bangsalan, teggessa, dan oca’ panebbus. Bangsalan adalah ungkapan
sastra konkrit dalam kalimat, teggessa adalah arti atau makna yang dirujuk oleh bangsalan,
sedangkan oca’ panebbus adalah makna dari bangsalan. Bentuk teggessa harus memiliki
kemiripan dengan kata penebusnya (harus mengandung guru sastra maupun guru swara).
Guru sastra adalah sama/miripnya bentuk tulisan antara bangsalan dan panebbhus, sedang
guru swara adalah miripnya bunyi ucap bangsalan dan panebbhus. Untuk lebih jelasnya,
dapat dilihat dalam kalimat di bawah ini:
”Eatore pondhut dha’ar, bigi accem ”Silahkan dimakan, biji asam seadanya”
sagi-manggina”
(persilahan untuk orang yang lebih tua)
bangsalan: bigi accem (biji asam)
teggessa: magi’ (suara ”gi”) (bahasa madura untuk biji asam)
panebbussa: sagi-manggina (suara ”gi”) (seadanya)
Terkadang bangsalan dan penebbus posisinya terbalik. Panebbus diucapkan dahulu
baru kemudian bangsalan diucapkan, seperti contoh:
”Ma’ ce’ kasosona ba’na Le’, ma’ “Kok kamu terburu-buru dik, kok pisang kulitnya

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS

dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

enggaddhang kole’na tepes”
tipis”
bangsalan: anggeddhang kole’na tepes (pisang kulitnya tipis)
teggessa: geddhang susu (suara su)
(pisang susu)
panebbussa: kasusu (suara su)
(terburu-buru)
Contoh bangsalan yang lain seperti
BANGSALAN
kareta messin
bato kene’
baddhung padhi
balang pagar
cabbi kene’
barakay mowara
beddha’ anga’
pereng kene’


TEGGESSA
motor
baliker
nye-anye
jerring
cabbi lete’
baja
balsem
leper

PANEBBUS
mator
pekker
nye-nganye
egiring
te’lette’an
babaja
ressem
caleper


Penguasaan terhadap bangsalan pada jaman dahulu dapat dijadikan sebagai penanda
apakah seseorang yang berbicara bahasa Madura adalah memang asli keturunan Madura. Jika
ia mahir bertutur dengan menggunakan bangsalan, maka ia merupakan suku asli Madura. Jika
tidak, maka ia akan dianggap belum ”Madura” dan hanya menguasai bahasa Madura kulitnya
saja. Bentuknya yang unik, berpola indirektif dan butuh ingatan kuat untuk mengingat bentukbentuk bangsalan menjadikan sastra jenis ini benar-benar dianggap sebagai identitas asli
budaya Madura, karena hanya orang maduralah yang tahu makna tuturan bangsalan. Budaya
bertutur dengan menggunakan sastra jenis ini memiliki beberapa aspek positif antara lain: (1)
bentuknya yang indirektif dianggap efektif dalam membangun komunikasi yang sopan dan
santun (2) adanya aturan guru sastra dan guru swara menyebabkan naluri dan semangat
kesusastraan orang Madura meningkat (3) karena sifat bangsalan, teggessa dan penebbus
yang arbriter, dan hanya diketahui oleh orang Madura, maka ketiganya menjadi simbol jati
diri dan budaya orang Madura dan dapat menjadi alat pemersatu antarorang Madura
b) Puisi Pantun Madura
Pantun Madura dikenal juga sebagai sendhilan. Sendhilan digunakan sebagai salah
satu bentuk komunikasi antarorang Madura. Keunikan dari komunikasi sendhilan adalah
komunikasi jenis ini dilakukan dengan menggunakan pantun atau paparegan. Biasanya,
sendhilan dilakukan antara kaum laki dan kaum perempuan dengan cara berbalas-balasan
pantun.
Di dalam sebuah pantun ada yang dinamakan


andheggan (bait) pantun dan

padda/biri (baris) pantun. Setiap andheggan terdiri dari empat padda, dan pada tiap-tiap
padda biasanya berisi delapan keccap (ketuk/suku kata). Lafal (suara/bunyi) yang berada di

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

akhir padda pertama harus sama dengan lafal suara di akhir padda tiga. Lafal suara akhir
padda dua sama dengan lafal suara pada akhir padda keempat (Jasin, 2005).
Pantun yang digunakan dalam sastra dan budaya Madura ada 4 jenis, yaitu: (1) Pantun
agama: berisi ajaran dan pesan-pesan agama, (2) Pantun baburugan (nasehat): berisi nasehat
yang mengandung aturan, ajaran budi pekerti, pendidikan dan akhlak, (3) Pantun sekaseyan:
digunakan oleh para pemuda ketika jatuh cinta, (4) Pantun palenggiran: berisi kalimat yang
dapat membuat orang tertawa karena lucu.
Contoh puisi pantun Agama
Ngare’ lalang ka Pangleghur
Nompa’ rata asamperan
Ta’ elanglang dika lebur
Kor ja’ loppa dha’ Pangeranna


Mengambil ilalang ke pangleghur
Naik rata memakai kain samper
Tidak dihalangi anda senang
Asalkan jangan lupa pada penciptanya

Contoh Pantun Babhurugan
Ngala’ sere epapesa
Esarenga gan sakone’
Knesserra oreng towa
Semeyara kabit kene’

Ngambil sirih dipisahkan
Disaring sedikit demi sedikit
Sayangilah orang tua
Yang memelihara sejak kecil

Contoh Pantun Sekaseyan
Pasar bara’ pasar Pakong
Melle jamo copa’agi

Mon ta’ endha’ enggi ampon
Ding tatemmo sapaagi

Pasar barat pasar Pakong
Beli jamu diludahkan
Kalau tidak mau tidak apa-apa
Kalau bertemu sapalah

Contoh Pantun Plenggiran
Kalarassa geddhang bigi
Geddhang ambon nyot kenynyoddan
Malaradda ta’ andhi’ gigi
Ngakan sagon ngot-serngodan

Daun keringnya pisang biji
Pisang ambon diemut-emut
Sulit sekali tidak punya gig
Makan sagon sambil menghisap ingus

c) Paparegan
Paparegam adalah salah satu bentuk sastra Madura yang biasa digunakan untuk memberi
nasehat. Bentuk paparegan ada dua yaitu:
(1) Paparegan yang terbentuk dari dua padda/biri (baris) dalam satu andheggan

(bait).

Padda/biri pertama adalah samperan/bibidan. Padda/biri kedua adalah isi/teggessa
(2) Paparegan yang terdiri dari 4 padda/biri dalam satu andheggan. Padda/biri 1 dan 2
berupa samperan/bibidan. Sedang padda/biri 3 dan 4 adalah isi/teggessa dari Paparegan
(Jasin, 2005).
Paparegan yang terdiri dari 4 padda/biri memiliki bentuk yang hampir sama seperti
pantun. Keduanya sama-sama mengandung guru sastra dan guru sowara. Bedanya, jika

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

pantun ditentukan berapa jumlah keccap (ketuk/suku kata), maka dalam paparegan tidak
ditentukan banyaknya keccapnya.
Contoh Paparega yang terdiri dari 2 padda
Blarak klare trebung manyang
Baras mare tedhung nyaman

Blarak klare trebung manyang
Selesai sudah tidurpun tenang

Contoh Paparega yang terdiri dari 4 padda
Sapa bara’ ro
Mano’ keddi’ mano’ poter
Ta’ enga’ lamba’ ro
Bekto baji’ ker masoker

Siapa di barat ro
Burung keddi’ burung puter
Tidak ingat dulu ro
Waktu benci tidak mau menyapa

d) Saloka
Saloka adalah kata-kata sastra yang berisi berisi petuah-petuah bijak, dan penuh
makna. Sering disampaikan dalam banyak acara dan dalam tulisan-tulisan sastra Madura.
Kebenaran dari isi petuah-petuah bijak ini telah banyak dibuktikan sehingga orang yang
mendengar atau membaca akan selalu membenarkannya dan meyakini. Contoh
(1) Juda nagara potos: hokum nagara ta’ ekenneng tandhinge (Yuda Negara Putus; Hukum
negara tidak bisa ditandingi)
(2) Namen cabbi molong cabbi: jube’na oreng gumantong dhari lakona dibi’ (Menanan cabai
menuai cabai; keburukan orang tergantung dari tingkah lakunya sendiri)
(3) Mon bagus kodu pabagas: mon oreng bagus robana kodhu pabagus reya Gulina (Orang
yang wajahnya bagus seharusnya tingkah lakunya juga bagus)
e)Tembhang
Tembhang tidak jauh berbeda dengan syi’ir. Biasanya tembhang dibaca ketika
seseorang mempunyai hajat seperti akan mengawinkan anak atau yang lainnya. Tembhang ini
di baca oleh dua orang atau lebih sepanjang malam.
Ada 3 jenis jenis tembhang yang dikenal oleh orang Madura. Yaitu Tembhang
Macapat, Tembhang Tengnga’an, dan Tembhang Raja. Tembhang Macapat terdiri dari 9
macam jenis antara lain: (1) Tembhang artate, (2) Tembhang Maskumambang, (3) Tembhang
Senom, (4) Tembhang Kasmaran, (5) Tembhang Salanget/Kenanthe, (6) Tembhang Pangkor
(7) Tembhang Durma, (8) Tembhang Mejil, (9) Tembhang Pucung. Tembhang Tengnga’an
terdiri dari ada 5 jenis yaitu (1) Tembhang Jurudemmong (2) Tembhang Wirangrong (3)
Tembhang Balabak (4) Tembhang Gambu (5) Tembhang Magattro. Adapun tembhang yang

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

terakhir adalah tembhang Raja. Yang termasuk tembhang jenis ini hanya ada satu yaitu
tembhang Giriso (Jasin, 2005)..
Yang paling banyak digunakan dan dibahas dalam buku kesusastraan Madura adalah
Tembhang Macapat yang berjumlah sembilan. Dalam makalah ini, akan didiskusikan secara
umum ciri kesembilan jenis tembang tersebut.
Tembhang Artate memiliki arti pengharap kebaikan. Tembhang ini biasanya
digunakan untuk menyebarkan nasihat baik, bisa juga digunakan untuk kagemaran, juga
dipakai untuk pembuka di tengah maupun di akhir cerita. Tembhang Maskumambang
memiliki pengertian prihatin, kondisi yang sangat susah dan mengenaskan. Tembhang Senom
mengandung kiyasan atau parsemon, sangat bagus digunakan untuk ajaran kebatinan.
Tembhang Kasmaran memiliki arti asmara atau kasemsem, tembhang ini menungjukkan
perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta. Tembhang Salanget/Kenanthe memiliki arti
kanthe dan longet. Tembang ini digunakan untuk ajaran kebaikan, kegandrungan, kerukunan
dan lalonget. Tembhang Pangkor memiliki arti ekor. Tembang ini digunakan untuk
menunjukkan perasaan keras, marah, dan menghadapi perang. Tembhang Durma memiliki
arti sifat macan, sedih, sangat marah, perang. Tembhang Mejil memiliki arti keluar.
Digunakan untuk kegemaran, kesusahan dan prihatin. Tembhang Pucung memiliki arti keluar,
bersifat lebih ringan, dan biasanya berupa tebak tebakan atau teka-teki.
Tiap-tiap tembhang memiliki aturan tersendiri baik itu berupa jumlah andheggan
maupun paddha/biri. Pada tiap-tiap paddha, guru bilangan telah ditentukan, demikian juga
guru lagunya. Yang dimaksud guru bilangan adalah banyaknya ketukan pada tiap padda.
Yang dimaksud guru lagu adalah suara pada tiap akhir padda. Contoh aturan pada tembhang
(dalam hal ini Pucung):
Bapa’ pucung ropana amendha gunong
Tadha’ reng se tresna
Mala kabbhi pada baji’
Ding kanggunan elos-ellos ngesprengesan
Sifat Pucung: (a) Andheggan: 4 padda/biri (b) Padda no 1 guru bilangannya 12 ketuk
mengandung guru lagu o atau u (c) Padda no 2 mengandung guru bilangan 6 ketuk.
Mengandung guru lagu a (d) Padda no 3 mengandung 8 ketuk, mengandung guru lagu e atau
i (e) Padda no 4 mengandung guru lagu 12 ketuk, mengandung guru lagu a (Jasin, 2005).
Contoh tembhang lainnya (dala hal ini Slanget dan Maskumambang bisa dilihat di bawah ini:
SLANGET
Tabbuwanna pon ngaromong
Najagana padha oneng

Musiknya telah berkumandang
Pemainnya telah paham

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9
Sadajana reng pettengan
Swarana nyaman ka kopeng
Terros kerkas tale rassa
Otek somsom bara ate
Adhu adhu benne kaka’ benne ale’
Benne sana’ kadhang
Mon mate noro’ nangesen
Marga melo kaelangan

Semuanya gelap
Suaranya merdu di telinga
Menggetarkan hati
Otak sumsum paru-paru hati
MAS KUMAMBANG
Aduh aduh bukan kakak bukab adik
Bukan snak sudara
Jika meninggal ikut menagis
Karena ikut merasa kehilangan

b. Potensi dan Apresiasi Masyarakat Madura Terhadap Sastra Madura
Berbicara tentang potensi Sastra Madura tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang ciri
khas dan modal-modal yang dimiliki sastra Madura untuk dapat berkembang pesat.
Modal pertama terletak pada jumlah penutur bahasa Madura yang besar yaitu
menempati posisi keempat di Indonesia dan menyebarnya suku Madura di seluruh daerah di
Nusantara dapat mejadi modal besar bagi penyebaran sastra Madura secara cepat dan luas di
Indonesia. Selain itu, berbagai karya sastra Madura tercipta oleh penutur besar ini, didasarkan
pada nilai-nilai filosofis yang luhur dan lengkap seperti berdasarkan pada filosofi
nelayan‚"abantal omba’ asapo’ angen" (berbantal ombak berselimut angin=bekerja keras),
filosofi petani "atatanem kaaangguy mamakmora nagara tor bangsa" (bertanam untuk
memakmurkan negara dan bangsa=peduli bangsa), filosofi negarawan "juda nagara potos"
(hukum negara tidak tertandingi=sadar hukum), filosofi prajurit "sami’na wa atho’na" (saya
mendengar dan saya taat=ketaatan pada pimpinan), filosofi sarjana/orang berpendidikan
"buppa’ bubbu’ guru ratoh", (hormat pada bapak, ibu, guru dan pemimpin) dan masih banyak
lagi. Lengkapnya filosofi yang menjadi dasar pembentukan sastra Madura ini jarang dimiliki
oleh sastra dari daerah lain dan hal ini menyebabkan sastra Madura memiliki karakter kuat
dan variatif;
Modal kedua terletak pada jiwa orang Madura. Orang madura memiliki jiwa relijius
yang kuat yang dimiliki suku madura turut mempengaruhi sastra Madura, sehingga sastra
Madura yang tercipta adalah sastra yang penuh dengan kebaikan serta berisi pesan moral dan
agama sehingga sangat cocok dengan budaya Indonesia yang kental dengan budaya ketimuran
dan relijius. Relijiusitas ini berpengaruh pada sastra Madura yaitu munculnya ciri yang kuat
yang berbentuk tatanan bahasa yang penuh semangat, keras, lugas, namun jujur yang
merupakan perwujudan dari karakter orang Madura secara umum. Dengan aspek-aspek inilah
orang Madura mampu memproduksi sastra Madura yang memiliki bentuk yang unik dan
variatif. Kondisi ini jarang dimiliki sastra dari daerah lain;

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

Modal ketiga terletak pada aspek regulasi. Telah diberlakukannya ejaan bahasa
Madura baku baru-baru ini oleh Balai Bahasa Surabaya menyebabkan proses penciptaan
karya sastra Madura menjadi makin mudah dan proses inventarisasi karya sastra Madura
dalam bentuk buku dan majalah menjadi makin mudah pula.
Potensi besar yang dimiliki sastra Madura menyebabkan sastra Madura memiliki
peran yang besar pula dalam mengembangkan budaya nasional. Dua peranan besar yang
dimainkan sastra Madura terhadap pengembangan budaya nasional adalah: (1) sastra Madura
merupakan komponen penyumbang ide dan semangat terhadap perkembangan sastra dan
budaya nasional, (2) eksistensi sastra Madura adalah pelindung sastra dan budaya Nasional
dari serangan budaya asing.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sastra Indonesia dan budaya nasional berkembang karena
didukung oleh sastra dan budaya daerah. Bentuk dukungan sastra dan budaya daerah terhadap
sastra dan budaya nasional ini dapat berupa banyak hal seperti” (1) sumbangan kosakata
daerah yang muncul dalam berbagai karya sastra nasional, (2) filsafat luhur yang muncul dari
daerah-daerah yang berbeda memainkan peran signifikan dalam membentuk karya sastra dan
budaya nasional, (3) terkadang karya sastra daerah seperti folklore dan/atau folktales
diadaptasi menjadi sastra dan budaya nasional.
Sastra Madura sebagai salah satu sastra daerah tentu saja memainkan peranan yang
signifikan dalam membangun sastra dan budaya daerah. Kita dapat melihat berbagai macam
kosakata Madura diadaptasi ke dalam sastra dan budaya Nasional. Kata clurit, kerapan sapi,
carok, dsb, muncul dalam berbagai karya sastra nasional dan dianggap sebagai bagian dari
budaya nasional. Demikian juga filosofi-filosofi Madura yang telah disebutkan di atas, turut
serta mempengaruhi bentuk dari sastra dan budaya Nasional. Folklore Madura seperti kisah
pangeran Trunojoyo, Sakera, dan sejarah kerapan sapi, muncul dan memperkaya khasanah
sastra dan kebudayan Indonesia
Selain sebagai sumber ide dan semangat sastra dan budaya Indonesia, sastra Madura
memiliki peranan lain yaitu sebagai baju pelindung sastra dan budaya Indonesia dari serangan
budaya asing. Baju pelindung dalam hal ini didefinisikan sebagai watak masyarakat Madura
dalam menjaga dan melindungi apa-apa yang dimilikinya. Jika sastra Madura mampu
bertahan hidup, semata-mata itu karena watak peggunanya yang bertanggungjawab dan
berkepribadian baik. Jika masyarakat Madura memiliki watak yang baik, maka mereka tidak
akan pernah rela kehilangan sastra yang telah mereka punyai dan mereka gunakan yaitu sastra
Madura.

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

Mempertahankan keberlangsungan hidup sastra Madura secara tidak langsung telah
mengajarkan kepada masyarakat Madura untuk bertanggungjawab terhadap kondisi sosial
masyarakat mereka sendiri. Jika mereka mampu melakukan ini, maka mereka akan mampu
pula mempertahankan sastra Indonesia serta budaya Nasional.
Sayangnya, potensi ini akhir-akhir ini mulai terabaikan. Ini ditunjukkan dengan
banyaknya sorotan terkait sastra Madura. Sorotan tersebut berbentuk sebuah pertanyaan besar
seputar eksistensi sastra Madura yaitu apakah sastra Madura masih tetap hidup ataukah mulai
”mati”. Kalaupun masih hidup, siapakah yang membuatnya hidup dan jika telah mati, apa
yang harus orang Madura lakukan untuk menghidupkannya kembali.
Pertanyaan seputar eksistensi sastra Madura yang tampaknya provokatif tersebut
sebenarnya adalah pertanyaan wajar dan instingtif yang muncul dari masyarakat Madura yang
merasa cemas akan keberlangsungan sastra dan budaya Madura di masa yang akan datang.
Pertanyaan provokatif ini muncul karena dalam kenyataannya, saat ini sastra Madura tidak
hanya seperti kehilangan ruh, tapi juga badannya. Ruh sastra Madura terletak pada daya
imajinasi dalam menghasilkan karya sastra dan perhatian serta semangat masyarakat Madura
untuk melestarikan dan mengembangkan sastra mereka, sedangkan badan atau bentuk
konkretnya adalah keberadaan sastra Madura dalam masyarakat. Keduanya, meskipun tidak
resmi, telah dinyatakan hilang. Andaikata ada beberapa tokoh Madura yang masih
menganggap sastra Madura masih tetap eksis, kokoh dan kuat mengakar, setidaknya mereka
harus dapat mengkaji dan memberikan bukti pada masyarakat tentang kondisi sastra Madura
berdasarkan kriteria empat daya hidup yang menjadi penanda bertahannya sebuah sastra atau
budaya yaitu: (1) kemampuan beradaptasi terhadap modernisasi dan perubahan jaman, (2)
kemampuan mobilitas dan promosi ke daerah yang bukan domainnya, (3) kemampuan
tumbuh dan berkembang, (4) serta kemampuan regenerasi.
Kriteria empat daya di atas apabila kita kajikan pada keberadaan sastra Madura,
menghasilkan sebuah simpulan bahwa sastra Madura mulai terabaikan dan ditinggalkan.
Kemampuan beradaptasi sastra Madura dalam menyongsong modernisasi terutama dalam
merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat
dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, sastra
Madura, sebagai bagian dari pembentuk budaya madura, sepertinya tidak memiliki daya hidup
manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.
Ancaman paling dini yang dapat dideteksi terhadap eksistensi sastra Madura dapat
dilihat dalam fenomena alih bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia dalam komunikasi

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

tulis. Padahal, bahasa dan komunikasi tulis dengan menggunakan bahasa Madura adalah ruh
dari sastra Madura. Dalam artikel Azhar (2008), nampak jelas bahwa bahasa beserta sastra
Madura telah mulai hilang dalam tulisan. Hal ini didukung oleh fakta-fakta menarik yang
Azhar temukan di lapangan.
Dari hasil pengamatannya terhadap tulisan pada 65 spanduk yang bertebaran di
Kabupaten Bangkalan, bisa dihitung dengan jari jumlah spanduk yang menggunakan bahasa
Madura. Hanya 2 spanduk yang menggunakan bahasa tersebut. Sisanya, yaitu 63 buah,
menggunakan bahasa Indonesia. Dari dua spanduk tersebut, tidak satupun yang memuat sastra
Madura baik itu populis maupun partikularis. Di antara 50 siswa di sebuah sekolah di
Kabupaten Bangkalan yang penulis wawancarai untuk mengetahui apakah mereka menulis
SMS dengan menggunakan bahasa Madura ataukah tidak, ternyata dijumpai tidak satupun
diantara mereka yang memiliki komitmen untuk selalu menulis SMS dengan menggunakan
bahasa Madura. Lebih dari separuh atau sekitar 43 orang menyatakan belum pernah SMS
dengan menggunakan bahasa Madura. Sisanya mereka menyatakan pernah SMS dengan
menggunakan bahasa Madura dan itupun hanya satu atau dua kali saja. Diantara media cetak
lokal yang ada di Madura, hanya satu yang menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa
utama untuk menyampaikan informasi (media cetak tersebut bernama Jokotole, dengan
pengelola Balai Bahasa Surabaya), dan itupun dengan oplah kecil dengan tingkat sosialisasi
yang rendah pula. Radar Madura, koran dengan oplah terbesar dan merupakan bagian dari
koran lokalpun hanya mencantumkan peribahasa Madura saja untuk dikaji.
Prof. Dr. Suripan Sadi Hotomo (dalam Zuhdi, 2009) mendukung temuan Azhar dan
menyatakan bahwa:
“Sastra Madura telah mati, sebab sastra ini tak lagi mempunyai majalah BM (Berbahasa
Madura). Buku-buku BM pun tak laku jua, dan sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader
penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia. Meskipun
demikian dewasa ini sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada, yang berminat menulis sastra
dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh sastrawan Madura, seperti Abdul Hadi WM, Moh.
Fudoli, dan lain-lain lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia. Sedangkan nama-nama
penerjemah sastra Madura yang terkenal seperti SP. Sastramihardja, R. Sosrodanoekoesoemo,
R. Wongsosewojo kini telah tiada dan belum ada penggantinya. Mungkin hal ini merupakan
sebuah proses sastra Madura sedang mengindonesiakan diri. Namun, dengan demikian sastra
Madura tidaklah lenyap dari peredaran tanpa menyisakan bekas sedikitpun”

d. Hambatan dan Strategi Untuk Memajukan Sastra Madura
Sastra Madura Partikularis yang sebenarnya merupakan aset budaya Madura untuk
dikembangkan tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri,
khususnya para generasi muda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan dan menunjukkan
sastra Madura, seperti paparegan dan bangsalan dalam komunikasi sehari-hari terkadang

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

diidentikkan dengan “keterbelakangan”. Akibatnya, timbul rasa gengsi untuk menggunakan
sastra Madura dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang
ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang sastra dan budaya
Madura.
Mulai menghilangnya sastra Madura sebenarnya dapat menjadi ceminan betapa
kurang baiknya watak orang Madura dalam menghargai dan mempertahankan apa-apa yang
dimiliki mereka. Jika mental seperti ini terus dibiarkan, tidaklah mengherankan bila semakin
lama akan semakin banyak unsur kebudayaan Madura yang tergilas oleh modernisasi dan
kebudayaan asing. Suatu ketika, bahasa, sastra dan budaya Madura hanyalah tinggal nama.
Dilihat dari kaca mata keempat daya hidup yang dimiliki sastra Madura, nampak jelas
sastra Madura kurang berdaya. Kemampuan yang pertama yaitu kemampuan beradaptasi
sastra Madura memperlihatkan tingkat yang kurang begitu menggembirakan. Ini terlihat dari
bentuk sastra Madura yang masih standar, belum mampu beradaptasi dengan kemajuan jaman
dan teknologi. Demikian pula dengan kemampuan yang kedua yaitu mobilitasnya. Promosi
sastra dan budaya Madura baik vertikal yaitu menjadi terkenal di Nusantara maupun
horizontal yaitu menyebar ke segenap lapisan masyarakat, dapat dikatakan sangat lemah. Hal
negatif ini juga terjadi pada pada tataran kemampuan ketiga yaitu kemampuan untuk tumbuh
dan berkembang. Saat ini, diskusi tentang paradigma-paradigma dan karya-karya baru dalam
sastra Madura, masihlah menjadi sesuatu yang besar dan langka karena fokus pembicaraan
masyarakat masih tetap berada pada seputar argumentasi apakah sastra Madura telah mati
ataukah tidak, serta pada seputar usaha untuk memunculkan iktikad melestarikan sastra
Madura. Pada tataran kemampuan keempat yaitu regenerasi, sastra Madurapun juga
nampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut. Budaya buppa’ bubbu’
guru ratoh (hormat pada bapak ibu guru dan pemerintah) yang demikian kental melingkupi
kehidupan sehari-hari orang Madura dianggap menjadi salah satu penyebab lemahnya proses
regenerasi sastra Madura. Selain itu, komunikasi yang tidak sinkron antargenerasi tua dan
generasi muda juga memperlama proses regenerasi. Dalam perspektif tokoh-tokoh tua,
generasi Madura dianggap memiliki kebiasaan jelek yaitu selalu menyerahkan segala
sesuatunya pada yang tua serta menunggu senior-senior mereka dalam menghasilkan karya
sastra, padahal belum tentu yang tua mampu melakukannya. Sedangkan dalam perspektif
generasi muda, generasi baru sastra Madura seperti tidak diberi ruang terbuka untuk
berkompetisi dengan sehat, karena kentalnya senioritas serta “terlalu majunya” pemikiran

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi
sebelumnya.
Materialisme yang kini melanda kebudayaan Madura telah menggeser parameter
kebaikan. Parameter yang berlaku kini bergeser dari terlaksananya kewajiban dan tanggung
jawab yang dimilikinya secara optimal, menjadi seberapa besar materi yang akan
diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kebaikan sudah bergeser
pada hal-hal yang bersifat materi, maka idealisme akan semakin sulit dipegang. Para
materialis dengan kampanye hedonisnya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupus
idealisme sastra Madura. Akibatnya, kini sulit dijumpai komunitas penggemar sastra Madura
yang bekerja secara idealis untuk memajukan sastra Madura.
Berpijak pada fakta terkait lemahnya daya hidup serta kualitas sastra Madura, maka
ada pertanyaan mendasar yang dapat dimunculkan, adakah yang salah dengan sastra Madura?
Telah banyak argumentasi dimunculkan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya layak untuk
dijadikan referensi penyebab kemunduran sastra Madura adalah (1) karena ketidakjelasan
strategi dalam mengembangkan sastra Madura serta (2) lemahnya tradisi, baca, tulis, dan lisan
di kalangan komunitas sastra Madura.
Kebugaran (fitness) dan sintasan (survival) sastra Madura sangat bergantung pada
frekuensi kemunculannya di masyarakat. Semakin sering sastra Madura muncul di
masyarakat, maka semakin besar pula kesempatan sastra Madura untuk bertahan hidup.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan sastra Madura agar terus hidup dan
berkembang, ada beberapa fase yang dapat ditempuh.
Pertama, kenalkan revitalisasi sastra Madura. Sastra Madura harus dioptimalkan
penggunannya dalam segenap aspek kehidupan, utamanya penggunaan sastra Madura
berbahasa Enggi-Bunten (halus). Segenap penutur asli bahasa Madura dianjurkan untuk
membiasakan diri mendengar dan menggunakan sastra Madura baik lisan maupun tulisan.
Tahapan ini harus melibatkan Pemerintah Kabupaten, karena Pemerintah Kabupaten adalah
satu-satunya institusi yang mampu mengeluarkan kebijaksanaan formal tentang konservasi
sastra Madura dalam bentuk Peraturan Daerah. Dalam dunia pendidikan di pulau Madura atau
daerah lain yang mayoritas penduduknya adalah penutur bahasa Madura, pengajaran bahasa
Madura harus mampu disisipkan sastra-sastra Madura yang pengajarannya tidak hanya
sebatas pengajaran pengetahuan saja, namun lebih menjurus pada praktek dan pembiasan.
Pantun-pantun, paparegan, tembhang berbahasa Madura wajib dimunculkan pada acara yang
mengandung dimensi budaya seperti lomba-lomba, festifal, dan seminar budaya

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

Kedua, lakukan kodifikasi beserta sosialisasinya. Tahapan ini dilakukan dengan cara
merumuskan kodifikasi atau pembakuan bahasa Madura dibidang ejaan, istilah, tatabahasa
dan leksikon (Kusnadi, 2008), sehingga kerancuan yang terjadi dalam masyarakat tentang
bagaimana seharusnya menuliskan kata dalam bahasa Madura tidak terjadi lagi. Setelah
kodifikasi ada, maka sosialisasikan kodifikasi ini pada sluruh instansi yang ada di Madura
utamanya pendidikan. Kamus bahasa Madura yang diterima dan digunakan seluruh
masyarakat Madura haruslah ada. Dengan adanya Standarisasi ini akan memudahkan
melakukan pendokumentasian karya-karya sastra Madura
Ketiga, munculkan semangat renaisansi buku berbahasa madura. Ketika tahap
revitalisasi sukses, dan semua penduduk Madura dan penutur bahasa Madura telah mulai
terbiasa dengan hadirnya sastra Madura, maka tahap yang kedua ini dapat dilaksanakan.
Tahap ini dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada kaum intelektual,
sastrawan, pendidik,

budayawan Madura untuk menulis buku sastra berbahasa Madura

massive seperti kumpulan tembhang, dungngeng dan pantun. Buku-buku ini haruslah beredar
tidak hanya di pulau Madura saja tapi harus didistribusikan ke seluruh kawasan Nusantara.
Tujuan tahapan ini adalah pengenalan sastra Madura secara intensif kepada masyarakat
Nusantara.
Keempat, promosikan sastra dan budaya madura. Tahapan ini dilakukan melalui
berbagai media seperti surat kabar dan televisi. Forum-forum resmi seperti seminar, lokakarya
dan konfrensi tentang sastra Madura harus diagendakan secara rutin tiap tahun di setiap
daerah yang mayoritas penuturnya adalah penutur bahasa Madura. Ruang pemberitaan,
siaran-siaran berbahasa Madura harus diusahakan ada pada tiap daerah di Madura atau daerah
yang mayoritas penduduknya penutur asli bahasa Madura. Kegiatan promosi lainnya seperti
lomba-lomba dhungngeng, nembhang, sendilan, membuat puisi dan prosa berbahasa Madura
haruslah diselenggarakan setiap tahun.
Kelima, lakukan konservasi sastra madura. Ketika empat tahapan di atas telah dilewati
dengan sukses, ini menunjukkan kepada kita bahwa sastra Madura telah berkembang dengan
baik. Perkembangan ini harus dicermati dengan seksama agar eksistensi dan kemurnian sastra
Madura tetap terjaga. Konservasi ini dilakukan dengan cara melakukan kegiatan inventarisasi,
penelitian di bidang sastra dan diskusi-diskusi tentang sastra Madura.

Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu halaman 56-65, 2013. Diterbitkan atas kerjasama FKIP UNS
dan Penerbit Yuma Pustaka. ISBN 978-602-8580-80-9

C. Penutup
Kurang bertanggungjawabnya penutur dan pengguna sastra Madura untuk memikirkan dan
melestaikan sastra madura dapat berakibat buruk pada keberlangsungan sastra Madura.
Sebuah hal yang sangat disayangkan apabila sastra Madura yang dinilai tinggi kualitasnya
harus punah di tangan penuturnya.
Mencermati dan mengkaji fenomena hidup dan matinya sastra Madura adalah salah satu
cara untuk melestarikan dan mengembangkan sastra ini. Dengan pengkajian ini, diharapkan
ancaman terhadap keberadaan sastra Madura akan dapat diketahui sedini mungkin sehingga
dapat diambil langkah antisipatif sebelum ancaman tersebut benar-benar menghancurkan
sastra Madura.
Tulisan ini telah memaparkan berbagai ancaman terhadap sastra Madura. Ancaman ini
apabila tidak segera ditanggulangi akan berdampak buruk bagi sastra Madura di masa yang
akan datang. Rekomendasi yang ditawarkan tulisan ini cukup sederhana. Mulailah mencicil
untuk melakukan lima langkah yang ditawarkan di atas jika tidak ingin sastra Madura
termasuk dalam salah satu sastra yang punah.
Referensi
Anton, Syaf. 2012. Menggali Puing-puing Sastra Madura yang Tersisa.
http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/11/menggali-puing-puing-sastra-madura-yangtersisa-456582.html. Diakses 24 Maret 2013 jam 11.30
Anton, Syaf. 2008. Mengembangkan Ingatan Kelestarian Sastra Madura.
http://lontarmadura.com/mengembangkan-ingatan-kelestarian-sastra-madura2/#ixzz1llbUOYmx. Diakses 24 Maret 2013 jam 11.30
Azhar, N, Iqbal. 2008. Bahasa dan Sastra Dalam Berbagai Perspektif: Ketika Bahasa
Madura Tidak Lagi Bersahabat Dengan Kertas dan Tinta. Yogyakarta: Tiara Wacana
Azhar, Iqbal Nurul. 2009. Karakter Masyarakat Madura dalam Syair-syair Lagu Daerah
Madura. ATAVISME Volume 12, Nomor 2, Edisi Desember. Surabaya. Balai Bahasa
Surabaya
Djunaidah, Dju (2009) Representasi Filosofi Hidup yang Ada dalam Sastra Madura Modern.
Masters thesis, Magister Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia.
Hariyadi, M. Dkk.1981. Sastra Madura modern : cerkan dan puisi : inventarisasi, klasifikasi,
dan analisis komparatif dengan sastra Indonesia modern. Jakarta. Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jasin, Moh. 2005. Paramasastra Madura: Sato’or Malathe Pote. Bangkalan: tidak
dipublikasikan
Kusnadi, Drs, M.A. 2008. Strategi Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra
Madura. Makalah dipresentasikan dalam Kongres I bahasa Madura 15-19 Desember
2008
Sofyan, Akhmad. 2008. Variasi, Keunikan, dan Penggunaan Bahasa Madura. Surabaya.
Balai Bahasa Surabaya
Zuhdi, Halimi.2009. Sastra Madura dan Kekerasan. www.penulislepas.com. Diakses 24
Maret 2013 jam 11.30

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPONEN MAKNA KATA YANG BERMAKNA DASAR MEMUKUL DALAM BAHASA MADURA DIALEK PAMEKASAN

28 440 50

PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI ANTARA MAHASISWA SUKU JAWA DAN SUKU MADURA

6 144 7

ISTILAH-ISTILAH PERTANIAN PADI DAN PALAWIJA PADA MASYARAKAT MADURA DI KECAMATAN SUMBERMALANG KABUPATEN SITUBONDO (SUATU TINJAUAN ETNOLINGUISTIK) HOLTOCULTURAL TERMS RICE AND CRUPS OF MADURESE SOCIETY IN SUMBERMALANG SUB-DISTRICT SITUBONDO (AN ETHNOLINGUIS

1 33 7

KAJIAN TEMA DALAM ANTOLOGI CERPEN BANTEN SUATU KETIKA DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SMP

1 51 51

INTERTEKSTUAL CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA A.A. NAVIS DENGAN “BURUNG KECIL BERSARANG DI POHON” KARYA KUNTOWIJOYO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

34 414 108

LAPORAN BACA KARYA SASTRA BALAI PUSTAKA

0 23 34

WARNA LOKAL DALAM KUMPULAN CERPEN PEREMPUAN DI RUMAH PANGGUNG KARYA ISBEDY STIAWAN ZS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMP

3 21 60

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

23 172 81

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA CERPEN-CERPEN KARYA SISWA SMP DALAM MAJALAH HORISON DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMP

2 33 89

View of PENINGKATAN KEMAMPUAN BERCERITA DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA PADA MAHASISWA YANG PERAKTIK DI LABORATORIUM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA TAHUN PELAJARAN 2016/2017

0 0 7